46122035-Mati-Batang-Otak.pdf

download 46122035-Mati-Batang-Otak.pdf

of 19

Transcript of 46122035-Mati-Batang-Otak.pdf

  • Medical UPN "Veteran" Jakarta

    Senin, 26 April 2010

    TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

    PENDAHULUAN

    Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat detak

    jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan

    untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati,

    sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak

    dan bukan fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan,

    bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat

    dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika Serikat, kematian

    dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis

    Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala

    berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan

    oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika,

    penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid .

    Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan

    tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi

    suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi

    korteks daripada batang otak .

    Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959,

    Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah irreversible coma atau koma

    ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam

    kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta

    menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite ad hoc

    di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan

    koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas,

    pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya

    telah diidentifikasi. Pada tahun 1976, The Conference of Medical Royal Colleges di

    Inggris menyatakan bahwa kematian otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang

    komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981, Presidents Commission for the Study of

  • Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research

    mempublikasikan panduan berkaitan dengan kematian otak.

    Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan

    bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal

    dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang

    bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan

    mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) ,

    fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat

    menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan

    resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata denyut jantung telah berhenti maka

    ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ

    telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan atau organ.

    Diagnosis mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI

    tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama

    terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis

    fungsi batang otak.

    Definisi Mati

    Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah henti

    sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel.

    Pada masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulijan

    semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang

    optimal.

    Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak

    dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati

    biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak

    yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,

    ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.

    Mati serebral (kematian kortek) adalh kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,

    terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral

    ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan

    batang otak.

    Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan kerusakan

    berat ireversibel pada pasien yang tetap atidak sadar dan tidak responsif, tetapi

    mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini harus

  • dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan

    tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas spontan. Pada keadaan

    vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur. ( Sunatrio. 1986, Safar P, 1984)

    DEFINISI MATI BATANG OTAK

    Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian

    otak dalam kata-kata adalah sulit. Di kriteria Inggris, tidak ada definisi yang jelas.

    Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang

    dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut: Istilah

    kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak

    secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang

    ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat

    secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.

    (Hing-yu, 1994).

    Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh

    beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen,

    yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak

    adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil

    terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji

    kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan,

    menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan

    respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG

    yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa

    adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat

    seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff,

    2009)

    Menurut Uniform Determination of Death Act, yang diembangkan oleh National

    Conference of Commissioners on Uniform State Laws, Presidents Commission for

    the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research,

    seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi

    dan respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya semua fungsi otak secara

    keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009)

    Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan

    usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai

  • dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya

    refleks-refleks.

    Menurut panduan yang digunakan di Amerika, kematian otak didefinisikan sebagai

    hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan

    penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea

    (New York State Department of Health, 2005).

    PEMERIKSAAN KLINIS

    Banyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun

    kebijakan dan panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya

    ada sedikit perbedaan yang ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada

    pengujian apnea dan penilaian fungsi otak sebagai metode plihan dalam menegakkan

    diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin dengan elektroensefalografi tidak

    lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup mendapat validasi dan

    memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya.

    Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan

    usia 2 bulan ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis

    dengan pendekatan yang berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi

    uji apnea, uji fungsi otak berulang, elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral

    (Lazar et al, 2001).

    Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak

    dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien

    yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi

    tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga

    identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda

    neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebingungan,

    interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes laboratorium tambahan

    yang dianggap perlu (Wijdicks, 2001. Walshe,2001).

    Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan

    perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes

    refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak

    ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan

    kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan (New York State

    Department of Health, 2005).

  • Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami

    kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi:

    penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya

    gangguan elektrolit, asam basa, atau endokrin; tidak adanya hipotermia parah,

    didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan 32oC; dan tidak

    adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler (Wijdicks,

    2001).

    Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang

    mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom

    dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan

    diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi.

    Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan

    proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak).

    Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh

    kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang

    dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut

    dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera

    kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun,

    saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi

    yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami

    embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu

    lebih lama.

    Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis

    kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien

    tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau

    lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.

    Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat

    penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada

    farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar

    serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan.

    Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat

    antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk

    mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan

  • obat pelemas otot (muscle relaxant).

    Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan

    harus di atas 35O C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan

    juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri (Hong Kong

    Society of Critical Care Medicine, 1998. Walshe,2001).

    Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk

    menentukan penyebab kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa

    beserta herniasi otak, lesi hemisferik multipel dengan edema, atau edema saja.

    Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem sitotoksik dan tekanan intrakranial

    dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh aqusduktus

    atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi

    otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris

    (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan

    intraparenkimal dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT

    tidak menghilangkan kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain

    yang mungkin menyesatkan diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat

    menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah henti jantung dan paru dan pada

    pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan cairan serebrospinal

    dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf pusat.

    Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut:

    Koma

    Tidak ada respon motorik

    Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan

    dilatasi (4 6 mm)

    Tidak ada refleks kornea

    Tidak ada refleks tersedak

    Tidak ada respon kalorik

    Tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakhea

    Tidak ada refleks menghisap dan menutup mulut

    Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg di atas nilai

    dasar normal

    Interval antara kedua evaluasi, sesuai usia pasien:

    Lahir hingga 2 bulan, 48 jam

  • >2 bulan hingga 1 tahun, 24 jam

    >1 tahun hingga 2 bulan hingga 1 tahun, 1 tes konfirmasi

    >1 tahun hingga

  • pengujian. Batas stimulasi maksimal pusat pernapasan di medula oblongata (yang

    dapat mengalami gangguan fungsi akibat cedera) telah diatur di Amerika Serikat pada

    tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau lebih tinggi 20 mmHg

    daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan memungkinkan tekanan parsial

    karbon dioksida untuk meningkat di atas 60 mmHg dan pH turun di bawah 7,28

    dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien yang menggunakan bantuan ventilator,

    oksigenasi dipertahankan dengan memberikan preoksigenasi dan menggunakan

    oksigen aliran rendah (biasanya 5 hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter

    yang ditempatkan di trakhea setinggi karina.

    Bila aspek-aspek pemeriksaan klinis tidak dapat dilakukan maka prosedur diagnosis

    pendukung dapat dipertimbangkan. Absennya aliran darah intracranial, ditunjukkan

    dengan pindaian radionuklida atau angiografi serebral 4-vasa, akan sangat mendukung

    diagnosis kematian otak. Elektroensefalografi telah terbukti tidak dapat diandalkan

    dalam menjadi uji pendukung untuk kematian otak dan tidak lagi disertakan dalam

    panduan praktek. Potensial pacuan batang otak, Doppler intracranial, pencitraan lain

    seperti MRI dan uji atropine kini masih dalam investigasi untuk menentukan

    manfaatnya dalam mendukung diagnosis kematian otak (Lazar et al, 2001).

    Walaupun banyak publikasi yang membahas tentang isu kematian otak, terdapat

    kekurangan dalam literatur yang berbasis bukti untuk mendukung praktek di masa

    sekarang sehubungan dengan penentuan kematian otak. Beberapa aspek yang masih

    menjadi kontroversi adalah sebagai berikut:

    Keahlian dokter

    Walaupun ada beberapa panduan dan ketentuan memberikan spesifikasi kualifikasi

    dari dokter yang terlibat dalam penentuan kematian otak, banyak yang tidak

    memberikan hal tersebut. tidak ada bukti di literatur untuk merekomendasikan adanya

    spesialisasi. Dokter yang menangani perawatan kritis, spesialis ilmu saraf,

    anestesiologis, dan ahli bedah trauma umumnya terlibat dalam penanganan pasien

    yang mengalami cedera otak. Pelatihan yang tepat yang dilengkapi dengan keahlian

    klinis mungkin lebih penting daripada spesialisasi dari dokter yang ada. Banyak

    panduan yang secara eksplisit mengeksklusi dokter yang terlibat dalam transplantasi

    organ dari pasien yang menjalani proses penentuan kematian otak, seperti

    dimandatkan oleh hukum di semua propinsi Kanada.

    Kriteria klinis

    Penilaian klinis untuk menentukan kematian otak sangat mirip di kebanyakan

  • panduan. Sementara pemeriksaan menyeluruh kadang terhambat oleh kondisi dari

    cedera yang dialami pasien, namun secara umum semuanya merekomendasikan tes

    diagnosis ansiler untuk dilakukan. Semua panduan menuntut hilangnya respon yang

    dimediasi saraf pusat terhadap nyeri. Sebagian pasien mungkin masih menunjukkan

    beberapa aktivitas spinal refleks yang mungkin dapat menyesatkan pengamat umum

    atau klinisi yang tidak berpengalaman. Aktivitas refleks spinal yang teramati dapat

    berkisar dari kedutan yang pelan hingga Tanda Lazarus yang lebih kompleks. Tetap

    adanya refleks-refleks ini tetap sejalan dengan kematian otak seperti dikonfirmasi

    oleh uji elektroensefalografi atau absennya aliran darah otak.

    Terdapat perbedaan tipis pada berbagai panduan berkaitan dengan penilaian respon

    pupil terhadap cahaya dan derajat dilatasi, namun tidak ada dasar ilmiah untuk

    perbedaan-perbedaan tersebut yang diidentifikasi dengan jelas. Kebanyakan panduan

    tidak mencantumkan refleks okulosefalik atau dolls eye. Walaupun demikian, Pallis

    dan Harley merekomendasikan inklusi respon dolls eye walaupun tidak dituntut oleh

    hukum United Kingdom untuk penentuan kematian otak.

    Penentuan apnea persisten dituntut oleh semua panduan walaupun akhir dari evaluasi

    tersebut tidak konsisten. Pada negara-negara yang tidak terlalu maju secara teknis,

    apnea yang ditentukan oleh pemutusan ventilator mungkin cukup. Bagaimanapun,

    kebanyakan panduan pada negara-negara barat membutuhkan dokumentasi dari batas

    apnea dengan analisis gas darah arteri, sementara di United Kingdom batas PaCO2

    50 mmHg dibutuhkan. Kebanyakan panduan Amerika Utara merekomendasikan

    batas apnea PaCO2 60 mmHg. Beberapa panduan juga membutuhkan dokumentasi

    pH asam

  • dengan panduan paling awal yang dikeluarkan oleh komite ad hoc Harvard Medical

    School. Beberapa panduan seperti yang dikembangkan oleh Australiand and New

    Zealand Intensive Care Society (ANZICS) memandatkan harus ada dua dokter yang

    menentukan kematian otak bila akan dilakukan transplantasi organ, sementara lainnya

    tidak. Lebih seringnya, seorang dokter dapat melakukan kedua pemeriksaan klinis.

    Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung posisi tersebut dalam literatur.

    Panduan yang sesuai usia

    Hanya sedikit dasar ilmiah untuk pnduan yang spesifik sesuai usia. Walaupun

    demikian, hampir semua panduan menyebutkan bahwa protokol harus disesuaikan

    bila mengevaluasi neonatus dan bayi. Kebanyakan badan setuju bahwa kritria klinis

    dewasa dapat diterapkan pada anak dengan usia di atas 52 minggu. Bagaimanapun,

    pemeriksaan klinis sendiri umumnya tidak cukup untuk anak berusia di bawah satu

    tahun. American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children

    merekomendasikan waktu interval antar pemeriksaan yang disesuaikan dengan usia

    pasien.

    Faktor-faktor yang menyesatkan

    Telah dikeahui bahwa hipotermia, yang didefinisikan sebagai suhu inti tubuh

  • Dua tes diagnosis yang dapat mengidentifikasi henti sirkulasi serebral secara

    menyeluruh adalah angografi serebral dan angiografi radionuklida Tc-99m

    heksamethilpropilen-amin oksim (Tc-HMPAO) (Baron et al, 2006).

    TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

    Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon,

    absennya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi

    tes refleks batang otak, penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan,

    dan evaluasi respon motor terhadap nyeri.

    1. Koma atau tidak adanya respon.

    Pengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan

    daerah supraorbita dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini

    adalah kemungkinan adanya respon motorik (Lazarus sign) yan dapat terjadi secara

    spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan

    berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan

    kelemahan motorik yang cukup lama.

    2. Absennya refleks batang otak.

    A. Pupil.

    Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya

    yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval,

    ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan

    berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9

    mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan kematian otak, karena jalut

    servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang tersusun radial

    masih dapat tetap utuh.

    Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat

    mempengaruhi ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara

    intravena tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak

    ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat neuromuskuler tidak mempengaruhi

    ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli

  • dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non

    reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari

    operasi harus dieksklusi.

    B. Pergerakan okuler.

    Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik

    dengan air es. Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau

    instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal

    harus diperiksa dengan pencitraan untuk menunjukkan tidak adanya fraktur atau

    instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang dengan menggerakkan

    kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan,

    pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan

    gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher.

    Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan

    pergerakan mata vertikal dan horizontal.

    Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari

    tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling

    baik dengan menggunakan kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan

    menghubungkannya dengan siring 50 ml yang diisi dengan air es. Deviasi tonus dari

    mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan muncul pada kematian

    otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian stimulus, dan

    waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.

    Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat

    mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida,

    antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah

    cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat

    menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga

    mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi

    langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon

    kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang

    ekimoses.

    C. Sensasi fasial dan respon motor fasial

    Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang

    harus absen. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan

    memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada

  • daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi

    temporomandibuler.

    Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang

    berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.

    D. Refleks faring dan trakhea

    Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop,

    harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.

    Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara

    oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

    3. Apnea

    Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian.

    Perubahan yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia

    kardia berat) yang ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan

    kurangnya pengamatan terhadap kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian,

    walaupun perubahan tersebut dapat terjadi secara spontan karena asidosis yang

    meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: (1) suhu

    inti lebih dari atau sama dengan 36,5O C (4,5O C lebih tinggi dari suhu yang menjadi

    persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32O C), (2) tekanan darah sistolik

    yang lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim

    apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila

    PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau

    apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200 mm Hg). Oksimeter pulsa

    dihubungkan pada pasien.

    Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:

    Memutus hubungan dengan ventilator

    Memberikan O2 100% 6 l/menit. Pilihannya adalah dengan menempatkan kanul

    setinggi karina.

    Amati dengan seksama pergerakan respirasi. Respirasi didefinisikan dengan

    pergerakan abdomen atau dada yang menghasilkan volume tidal yang adekuat. Bila

    ada, respirasi dianggap ada pada uji apnea ini. Saat terjadi gerakan yang mirip dengan

    respirasi, maka harus diamati hingga akhir uji apnea, dmana oksigenasi berada pada

    level yang lebih rendah. Saat hasilnya meragukan, spirometer dapat dihubungkan

    dengan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada volume tidal.

    Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah kira-kira 8 menit dan hubungkan kembali

  • dengan ventilator.

    Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan atau lebih dari 60 mm

    Hg (pilihan lain adalah PCO2 yang meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar),

    maka tes apnea dinyatakan positif (sehingga mendukung diagnosis klinis kematian

    otak).

    Bila teramati adanya gerakan respirasi, maka tes apnea dinyatakan negatif (sehingga

    tidak mendukung diagnosis klinis kematian otak), dan tes harus diulang.

    Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, oksimeter pulsa

    menunjukkan desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah,

    hubungkan dengan ventilator, dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea

    memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 60 mm Hg

    atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2 kurang dari 60 mm

    Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan.

    Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan

    ketidak jelasan batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat

    pernafasan, maka tergantung pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes

    konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis kematian otak.

    Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada

    aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10

    menit. (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009)

    Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:

    1. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian

    otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.

    2. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-

    benar terjadi atau tidak.

    3. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau

    gangguan metabolik.

    4. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.

    5. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Tes

    tidak boleh terbatas pada beberapa pusa penelitian saja; idealnya ia harus dapat

    diterapkan pada semua Intensive Care Unit (ICU) dan teknik harus dapat diandalkan

    dan mudah dipelajari.

  • Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis

    (elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan

    pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik), tes aliran darah otak

    (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler

    transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), dan

    pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena

    jugularis, dan tes atropin.

    Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan

    supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya

    kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG

    merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala

    dan tidak merekam dari struktur sbkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan

    hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar. Lebih

    jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil

    datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat

    lain.

    Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya

    dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan

    dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar

    atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana

    keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi

    positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari

    ideal untuk penentuan kematian otak.

    Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak

    dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya

    diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep

    bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu

    akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi

    transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik

    edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi

    sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata.

    Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya

    memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak,

    sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak

  • memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan

    kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau

    hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat,

    dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi

    empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes

    kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi

    dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak

    dua dimensi.

    Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur

    arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara

    patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial

    menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur

    tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh.

    Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak

    serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam

    melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah

    daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru

    dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati

    otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.

    Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi

    serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien

    ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis

    interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan

    darah arteri rata-rata.

    Selain tes konfirmasi, tidak ada tes lain yan dapat dipertimbangkan secara serius. Tes

    atropin misalnya, hanya memberikan penilaian dari fungsi medulla yang terbatas.

    Atropin adalah obat antikolinergik yang akan menghilangkan tonus vagus yang

    tersisa, seperti dibuktikan dengan peningkatan denyut jantung. Pada kematian otak,

    tes atropin akan menyebabkan peningkatan denyut jantung

  • oksigen vena sentral dan bulbus jugularis
  • 2. Buat tabel sederhana tentang pemeriksaan kematian otak ( Cara caranya ) di

    Indonesia

    3. Kesimpulan : TAMBAH tentang pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan.

    4. Kalau sudah diperbaiki kirim kembali ke saya ( sudah diprint biar bisa ditanda

    tangani )

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 Apr 19

    344 1215-1221

    1. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N Engl J Med, vol. 344, no. 16- april 19 2001.

    2. So Hing-Yu, MBBS, FANZCA FFICANZCAFHKAM(Anesthesiology), UPDATE

    ARTICLE Brain Death, Honng Kong Practitioner 16 (II) November 1994.

    3. Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in ethical declaration of death, Can J ANESTH 2003/ 50:7 / pp 725-731.

    4. Pernyataan IDI tentang mati. Surat Keputusan PB IDI No 231/PB/A.4/90.

    5. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM ,2006.

    6. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1984:185.

    7. Sunatrio S: Penentuan mati/Pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di ICU. Lokakarya tentang Mati & Euthanasia pasif, PKGDI 1986.

    8. Stephen T. Mernoff, MD, Brain Death: Neurologists Perspective, clinical Assistant

    profesor of neurology, brown medical school,neurorehabilitation program,

    rehabilitation hospital of rhode island.

    9. Guidelines For Detremining Brain Death, New York State Departement of Health, December 2005

  • 10.Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ Mar 20,2001;164 (6).

    11.Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care Medicine, journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.

    12.Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief Review: History, Concept And Controversies In The Neurological Determination Of Death.

    CAN J Anesth 2006/53;6/pp 602-608.

    13.Carlos Eduardo Reis MD. MEDSTUDENTS-NEUROLOGY: Brain Death CriteriaBetterhealth Channel. Article Brain Death; WWW.betterhealth.vic.gov.au.

    14. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary Tests In

    The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 620-627.