44428743-KOEFISIEN-FENOL

download 44428743-KOEFISIEN-FENOL

of 14

Transcript of 44428743-KOEFISIEN-FENOL

PENENTUAN DAYA HAMBAT DARI SUATU SEDIAAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTISEPTIK ATAU DESINFEKTAN (WIPOL) TERHADAP BAKTERI UJI koefi Bacillus subtilis

I.

TUJUAN Menentukan daya hambat suatu sediaan yang berpotensi sebagai antiseptika atau desinfektan, dengan membandingkan terhadap standar fenol (koefisien fenol).

II.

PRINSIP Metode pegenceran bertingkat Dengan mengurangi konsentrasi zat sebanyak setengah dari konsentrasi awal dengan volume yang sama V1 N1 = V2 N2 Hasil kali konsentrasi dengan volume senyawa yang semula digunakan adalah sama dengan hasil kali konsentrasi senyawa tersebut dalam volume setelah pengenceran. Metode turbidimetri Menentukan takaran dengan melihat kekeruhan yang terjadi setelah percobaan dilakukan

III.

TEORI Antiseptik ialah obat yang dapat meniadakan atau mencegah keadaan sepsis. Antiseptik ialah zat yang digunakan untuk membunuh atau mencegah pertumbuhan mikrooranisme, biasanya merupakan sediaan yang digunakan pada jaringan hidup (Paul & Batzing,1987). Desinfektan ialah zat yang digunakan untuk mencegah infeksi dengan mematikan mikroba, misalnya sterilisasi alat kedokteran. Sterilisasi ditujukan untuk membunuh semua mikroorganisme. Obat ini dapat bersifat bakterisid atau bakteriostatik. Berdasarkan sifat kimia, antiseptik digolongkan dalam golongan fenol, alkohol, aldehid asam, halogen, peroksidan dan logam berat(Paul & Batzing,1987).

Penyiapan media pertumbuhan mikroorganisme harus mengandung nutrisi yang dibutuhkan bakteri supaya dapat tumbuh membentuk koloni dan harus steril sehingga tidak ada kontaminan dari lingkungan. Media pertumbuhan dasar untuk bakteri adalah Nutrient Broth (NB), Nutrient Agar (NA), Tryptic Soy Broth (TSB), dan Tryptic Soy Agar (TSA) (August,2001). Cara Kerja Antimikroba,antara lain: a) Merusak DNA. Sejumlah unsur antimikroba bekerja dengan merusak DNA. Unsur ini meliputi radiasi pengion (ionisasi), sinar ultraungu, dan zat-zat kimia reaktif DNA. Pada kategori yang terakhir ini terdapat zat-zat alkilasi dan zat lain yang bereaksi secara kovalen dengan basa purin dan pirimidin sehingga bergabung dengan DNA atau membentuk ikatan silang antar untai. Penyinaran merusak DNA melalui beberapa cara, misalnya sinar ultraungu menyebabkan penyilangan diantara pirimidin yang berdekatan pada salah satu untai yang sama dari dua untai polinukleotida, membentuk dimer pirmidin. Radiasi pengion memecahkan untaian tunggal atau ganda. Kerusakan DNA yang ditimbulkan karena penyinaran atau secara kimiawi akan mematikan sel terutama karena mengganggu replikasi DNA (Jawetz et. al., 1996). b) Denaturasi protein. Protein terdapat dalam keadaan tiga dimensi, terlipat, yang ditentukan oleh pertautan disulfida kovalen intramolekul dan sejumlah pertautan nonkovalen seperti ikatan ion, ikatan hidrofob, dan ikatan hidrogen. Keadaan ini dinamakan struktur tersier protein; struktur ini mudah terganggu oleh sejumlah unsur fisik atau kimiawi, sehingga protein tidak dapat berfungsi lagi. Kerusakan struktur tersier ini dinamakan denaturasi protein (Jawetz et. al., 1996).

c) Gangguan selaput atau dinding sel. Selaput sel berguna sebagai penghalang yang selektif, meloloskan beberapa zat terlarut dan menahan zat lainnya. Beberapa zat diangkut secara aktif melalui selaput, sehingga konsentrasinya dalam sel tinggi. Selaput sel juga merupakan tempat bagi banyak enzim yang terlibat dalam biosintesis berbagai komponen pembungkus sel. Zat-zat yang terkonsentrasi pada permukaan sel mungkin

mengubah sifat-sifat fisik normalnya dan dengan demikian membunuh atau menghambat sel. Dinding sel berlaku sebagai struktur pemberi bentuk pada sel, melindungi sel terhadap lisis osmotik. Dengan demikian, zat yang merusak dinding sel (misalnya lisozim) atau menghalangi sintesis normalnya (misalnyapenisilin) akan menyebabkan lisis sel (Jawetz et. al., 1996). a. Pembuangan gugus sulfhidril bebas. Berbagai protein enzim yang mengandung sistein memiliki rantai samping yang berakhir dalam gugus sulfhidril. Selain itu, paling kurang satu koenzim utma (koenzim A, diperlukan untuk transfer gugus asil) mengandung suau gugus sulfhidril bebas. Enzimdan koenzim ini tidak dapat berfungsi kecuali gugus sulfhidril tetap bebas dan dalam keadaan tereduksi. Zat pengoksidai mengganggu metabolisme dengan mengkat sulfhidril yang berdekatan dengan ikatan sulfida. Banyak logam, misalnya ion merkuri mengganggu pula dengan bergabung bersama sulfhidril. Ada banyak enzim sulfhidril dalam sel. Karena itu, zat pengoksida dan logam berat dapat menimbulkan kerusakan besar (Jawetz et. al., 1996). b. Antagonisme kimiawi. Gangguan suatu unsur kimia terhadap reaksi normal antar enzim khusus dengan substratnya dikenal sebagai antagonisme kimiawi. Zat antagonis ini bekerja dengan bergabung pada suatu bagian dari holoenzim (salah satu dari apoenzim protein aktivator logam, atau koenzim), dan dengan demikian mencegah penempelan substrat normal. Suatu antagonis bergabung dengan suatu enzim karena mamiliki afinitas tehadap tepat penting pada enzim itu. Enzim melaksanakan fungsi katalisisnya berdasarkan afinitas terhadap substrat alamiahnya. Karena itu, setiap zat yang strukturnya mnyerupai suatu substrat pada bagian yang penting, akan memiliki pula afinitas terhadap enzim tersebut. Bila afinitas ini cukup besar, analog akan menggantikan substrat normal dan menghalangi reaksi yang biasa berlangsung (Jawetz et. al., 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan antiseptik atau desinfektan yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme adalah:

1. Jenis organisme yang digunakan. 2. Jumlah mikroorganisme yang digunakan. 3. Umur dan sejarah dari mikroorganisme. 4. Jaringan atau unsur-unsur yang ada dalam mikrorganisme. a. b. Efek-efek dari zat kimia terhadap jaringan. Efek-efek dari jaringan terhadap zat kimia.

5. Jenis racun dari zat kimia (jika diambil secara internal). 6. Waktu bagi zat kimia untuk bekerja dan konsentrasi yang dipakai. 7. Temperatur pada zat kimia dan pada jaringan atau unsur-unsur yang terlibat (Sarles et. al., 1956). Ciri-ciri suatu desinfektan yang ideal adalah memenuhi hal-hal berikut : 1. Aktivitas antimikrobial, pada konsentrasi rendah harus mempunyai aktivitas antimikrobial dengan spektrum luas. 2. Kelarutan, harus dapat larut dalam air atau pelarut lain sampai taraf yang diperlukan untuk dapat digunakan secara efektif. 3. Stabilitas, perubahan yang terjadi pada substansi bila dibiarkan beberapa hari harus seminimal mungkin dan tidak boleh menghilangkan sifat antimikrobialnya secar nyata. 4. Tidak bersifat racun 5. Homogen 6. Tidak bergabung dengan bahan organik 7. Aktivitas antimikrobial pada suhu kamar 8. Tidak menimbulkan karat dan warna 9. Kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap 10. Memiliki kemampuan sebagai deterjen atau pembersih Tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga yang pantas (Eka,2006). Yang termasuk golongan fenol adalah fenol, timol, resolsinol dan heksaklorofen. Fenol merupakan zat pembaku daya antiseptik obat lain sehingga daya antiseptik dinyatakan dengan koefisien fenol. Obat ini bukan antiseptik yang kuat. Banyak obat lain yang mempunyai daya antiseptik lebih kuat. Dalam kadar 0,01-1%, fenol bersifat bakteriostatik. Larutan 1,6% bersifat bakterisid, yang dapat mengadakan koagulasi protein. Ikatan fenol denga protein mudah lepas, sehingga

fenol dapat berpenetrasi ke dalam kulit utuh. Larutan 1,3% bersifat fungisid, berguna untuk sterilisasi ekskreta dan alat kedokteran. Dalam toksikologi senyawa ini penting, karena sering digunakan pada percobaan bunuh diri. Terhadap mukosa saluran cerna dan mulut, bahan ini bersifat kaustik dan korosif. Terhadap SSP menyebabkan eksitasi disusul depresi (Pelczar & Reid,1958). Intoksikasi fenol menyebabkan tremor dan eksitasi. Kematian biasanya disebabkan perforasi atau depresi pusat vital, sehingga terjadi syok. Urin berwarna kehitam-hitaman, karena hasil oksidasi fenol. Juga terlihat silinder hialin dan sel epitel. Pengobatan intoksikasi ini ialah segera melakukan bilas lambung dan pemberian demulsen (Eka,2006). Timol mempunyai koefisien fenol 30, bersifat bakterisid, antelmintik dan fungisid, terutama efektif untuk infeksi jamur (aktinomikosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, dan kandidosis). Sediaan timol terdapat dalam bentuk tingtur (larutan dalam alkohol) 1% dan salep 10% (unguentum Whitfieldi) (Eka,2006). Resosinol mempunyai sifat yang menyerupai fenol, berefek bakterisid dan fungisid. Dalam klinik digunakan untuk mengobati infeksi jamur di kulit, ekzema, psoriasis, dan dermatitis seboroik. Resolsinol bersifat keratolitik dan iritan ringan (Eka,2006). Heksaklorofen ialah senyawa bisfenol yang mengandung klor. Heksaklorofen kadar rendah dapat mengganggu transport elektron kuman dan menghambat enzim yang terikat pada membran. Konsentrasi tinggi dapat menyebabkan pecahnya membran kuman. Heksaklorofen lebih aktif terhadap kuman grampositif daripada gram-negatif, efek bakteriostatiknya tinggi tetapi dibutuhkan waktu kontak yang cukup, hampir tidak efektif terhadap spora. Larutan heksaklorofen 3% dapat membunuh Staph. Aureus dalam 20-30 detik tetapi untuk membunuh kuman gram-negatif dibutuhkan waktu 24 jam. E. Coli, Klebsiella dan P. Aeruginosa sering ditemukan sebagai kontaminan dalam heksaklorofen dan dapat menimbulkan epidemi di rumah sakit (Byrne,2004). Penggunaan obat ini secara berulang kali dapat menimbulkan superinfeksi kuman gram-negatif. Biasanya dikombinasi dengan paraklorometoksifenol atau paraklorometokresol, walaupun demikian dibuthkan waktu 3 jam untuk membunuh kuman gram-negatif. Nanah dan serum menurunkan aktivitas

heksaklorofen. Toksisitas sistemik dapat timbul pada anak setelah penggunaan topikal berupa bingung, diplopia, letargi, kejang, henti nafas dan kematian. Karena itu penggunaan heksaklorofen untuk memandikan bayi tidak

dianjurkan(Byrne,2004). Obat ini juga bersifat teratogenik. Heksaklorofen digunakan untuk membersihkan kulit sebelum pembedahan. Heksaklorofen terdapat dalam bentuk emulsi, larutan dan sponge 3% (Byrne,2004). Bacillus substilis Bacillus substilis merupakan bakteri gram positif yang biasanya ditemukan di tanah, termasuk kedalam genus Bacilus. Seperti spesies yang lainnya, kuman ini memiliki kemampuan untuk membentuk endospora pelindung, yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Tidak seperti beberapa kuman Bacillus yang lainnya, Bacillus substilis merupakan kuman aerob obligat (Fontana, 2000). Bacillus substilis tidak dianggap sebagai kuman patogen, tetapi dapat mengkontaminasi makanan dan jarang sebagai penyebab keracunan (Fontana, 2000). Bacillus subtilis adalah bakteri Gram-positif (+), katalase-positif, berbentuk batang dan bakteri aerob pembentuk endospora. Non-patogen. Biasanya ditemukan dalam tanah dan termasuk ke dalam genus Bacillus. It is one of the most studied gram-positive bacteria. Salah satu yang menarik dari B. subtilis adalah kemampuannya untuk differensiasi dan membentuk endospora.. B. subtilis memiliki kemampuan untuk membentuk endospora yang kuat sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrem. Tidak seperti beberapa spesies lain, B. subtilis memiliki sejarah pernah digolongkan pada golongan organisme yang harus membutuhkan oksigen. Percobaan-percobaan pada masa kini telah membuktikan hal tersebut tidaklah demikian.B. subtilis tidak dianggap sebagai bakteri patogen pada manusia walau dapat mengkontaminasi makanan, tetapi hal itu jarang menyebabkan keracunan makanan. Spora B. Bacillus subtilis dapat bertahan dari pemanasan (Fontana,2000).

Bacillus subtilis Kingdom: Bacteria Phylum: Firmicutes Class: Order: Family: Genus: Gram-stained Bacillus subtilis Bacilli Bacillales Bacillaceae Bacillus

Bacillus subtilis Species: subtilis (Ehrenberg 1835) Cohn 1872 (Fontana,2000).

IV.

ALAT DAN BAHAN ALAT :

1. Inkubator 2. Labu ukur 100 mL 3. Lampu spirtus 4. Mortir dan stamper 5. Ose 6. Rak tabung 7. Stopwatch 8. Tabung reaksi besar ( 6 ) 9. Tabung reaksi kecil ( 36 ) 10. Volume pipet 1 mL dan 10 mL

BAHAN2. Fenol

:

1. Aquades

3. Nutrien Broth ( NB ) 4. Pelarut sediaan uji 5. Sediaan uji (lisol) 6. Suspensi bakteri Staphilococcus aureus

V.

PROSEDUR Dibuat larutan sediaan uji dengan konsentrasi 2,5% v/v. Direncanakan pengenceran dan dihitung konsentrasi larutan pada masing-masing tabung besar. Dibuat 6 pengenceran bertingkat larutan sediaan uji dan larutan standar fenol dengan air suling steril dalam tabungtabung reaksi besar, sebagai berikut : Larutan wipol 2,5% yang dipipet 5 4 4 4 4 4 Volum yang dibuang 0 0 1 2 3 4

Tabung

Kekuatan wipol 1/40 1/50 1/60 1/70 1/80 1/90

Air Suling steril 0 1 2 3 4 5

Total yang diperlukan 5 5 5 5 5 5

A B C D E F

Diisi 36 tabung reaksi kecil dengan 1 ml NB. Disusun tabungtabung besar dan kecil dalam rak tabung. Baris pertama terdiri dari 6 tabung besar yang berisi hasil pengenceran, diberi tanda A, B, C, D, E, dan F. Baris kedua berisi 6 tabung kecil berisi NB, diberi tanda a1, b1, c1, d1, e1, dan f1. Baris ketiga sampai keenam masingmasing berisi 6 tabung kecil berisi NB, diberi tanda a2, b2, c2, d2, e2, dan f2 sampai a6, b6, c6, d6, e6, dan f6. Dibuat susunan ini untuk sediaan uji dan standar fenol. Dimasukkan 0,2 mL suspensi bakteri uji pada masingmasing tabung besar secara berurut, dengan rentang waktu 30 detik. Dimasukkan masingmasing 1 ose larutan dari tabung A secara berurut ke tabung a1, a2, a3, a4, a5, a6 secara berurut, dengan selang waktu 30 detik. Dilakukan juga untuk tabung tabung B, C, D, E, dan F.

Gbr: Diagram prosedur kerja uji koefisien fenol

VI.

DATA PENGAMATAN Sediaan uji : Wipol ( pine oil: 2,5 %)

Waktu 2,5 menit Konsentrasi 1/40 + 1/50 1/60 + 1/70 1/80 + 1/90 Keterangan : ( - ) (+)

5 menit + + + -

7,5 menit 10 menit + + + + + + -

12,5 menit + + + -

15 menit + + + -

bening keruh

Sediaan pembanding : Fenol (2,5 %) Waktu 2,5 menit Konsentrasi 1/40 1/50 + 1/60 + 1/70 + 1/80 + 1/90 + keterangan : ( - ) (+) 5 menit + + + + + bening keruh 7,5 menit + + + + 10 menit + + + 12,5 menit + + 15 menit + +

VII.

PERHITUNGAN Koefisien fenol = (konsentrasi bening pertama + konsentrasi bening terakhir ) sediaan uji (konsentrasi bening pertama konsentrasi bening terakhir ) standar fenol = 1 / 50 1 / 90 =0,031 0,0393

1 / 40 1 / 70

= 0,788

VIII.

PEMBAHASAN Percobaan diawali dengan pengenceran desinfektan menjadi beberapa macam konsentrasi. Pengenceran dilakukan secara bertingkat hingga akhirnya diperoleh konsentrasi tabung A = 1/40; tabung B = 1/50; tabung C = 1/60; tabung D = 1/70; tabung E = 1/80; dan tabung F = 1/90. Tabung yang telah berisi desinfektan dengan kadar yang berbeda-beda tersebut kemudian ditambahkan suspensi bakteri Bacillus subtillis sebanyak 0,2 ml. Pada saat menambahkan suspensi bakteri, digunakan mikropipet agar volume suspensi bakteri yang diambil benar-benar

akurat dan dilakukan dalam keadaan aseptis untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Bakteri yang telah dimasukkan ke dalam 6 tabung besar berisi pengenceran fenol tadi kemudian dipindahkan lagi ke dalam 6 tabung reaksi kecil yang berisi

Nutrient Broth sebanyak satu ose untuk setiap tabung besar. Setiap tabung besar memiliki 6 tabung kecil sehingga jumlah tabung kecil yang berisi Nutrient Broth sebanyak 36 tabung. Pemindahan suspensi bakteri pada tabung besar dilakukan dengan menggunakan ose yang telah difiksasi sebelumnya. Setelah difiksasi, ditunggu beberapa saat sampai ose tidak terlalu panas sebelum digunakan untuk mengambil suspensi bakteri. Hal ini dilakukan agar bakteri tidak mati karena ose terlalu panas. Tetapi perlu diingat juga bahwa ose tidak boleh terlalu lama didiamkan karena ose tersebut dapat terkontaminasi dengan bakteri dari udara. Penanaman bakteri dilakukan pada interval 30 detik antar tabung kecil, dengan urutan tabung A1 hingga F1 dahulu baru A2 hingga F2 dan seterusnya. Penanaman bakteri pada tabung F bersamaan dengan penanaman pada tabung A selanjutnya, misalnya penanaman pada tabung F1 bersamaan dengan tabung A2. Dengan menggunakan metode tersebut, maka perbedaan waktu kontak pada tabung 1 dan tabung 2, tabung 2 dan tabung 3, dan seterusnya memiliki perbedaan waktu sebesar 2,5 menit, misalnya perbedaan waktu kontak dari A1 dan A2 adalah 2,5 menit. Hal ini dilakukan karena waktu untuk menguji kekuatan desinfektan adalah 18-24 jam, sedangkan untuk mata tidak mungkin selama itu maka digunakan waktu tertentu dengan metode kontak secara konvensional dengan waktu yang paling cepat adalah 2,5 menit, sedangkan waktu yang paling lama adalah 15 menit. Dengan menggunakan perbedaan waktu penanaman bakteri dalam NB dari masing-masing tabung berisi desinfektan tersebut dapat diketahui waktu kontak yang paling efektif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis. Percobaan di atas juga dilakukan pada larutan baku pembanding, yaitu fenol dengan menggunakan bakteri yang sama yaitu bacillus subtilis dan pada kondisi yang sama pula. Hal ini dilakukan agar dapat dibandingkan keefektifan dari suatu desinfektan dengan fenol, sehingga diperoleh suatu hasil perbandingan berupa pecahan yang disebut koefisien fenol. Nilai tersebut didapat berdasarkan rumus :(konsentrasi bening pertama konsentrasi bening terakhir) sediaan uji (konsentrasi bening pertama konsentrasi bening terakhir) s tan dar fenol

koefisien fenol

Setelah semua tabung reaksi kecil ditanam dengan bakteri, maka diinkubasikan seluruhnya dalam inkubator selama 18-24 jam pada suhu 370C. Proses inkubasi dilakukan pada suhu tersebut karena suhu 370C merupakan suhu tubuh manusia, dimana bakteri Bacillus subtilis dapat tumbuh secara optimal. Setelah diinkubasi, tabung-tabung tersebut diamati. Jika hasil yang didapatkan pada tabung reaksi adalah keruh (positif) maka menandakan pada tabung ada pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis. Sedangkan jika tabung reaksi bening (negatif), menandakan bahwa tidak ada pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis karena telah terbunuh oleh desinfektan. Hasil yang diperoleh untuk pengujian dengan wipol adalah pada tabung A dengan konsentrasi 1/40 dengan waktu kontak 2,5 menit desinfektan tidak mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena hasilnya ternyata keruh. Seharusnya Pada tabung B dengan konsentrasi 1/50 dengan waktu kontak 2,5;5;10 menit desinfektan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena hasil yang didapat pada tabung reaksi adalah negatif(bening). Sedangkan pada menit selanjutnya, hasil tabung menunjukkan hasil positif yang menandakan bahwa desinfektan tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada tabung C dengan konsentrasi 1/60 pada setiap waktu kontaknya tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Pada tabung D dan F setiap waktu kontaknya dapat menghambat pertumbuhan baketri. Pada tabung E waktu kontak 2,5;5;7,5 tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri sedangkan waktu selanjutnya

menghambat pertumbuhan bakteri. Data yang diperoleh dari hasil percobaan, tidak sesuai dengan teori yang diberikan. Seharusnya, pada konsentrasi desinfektan tertinggi yaitu pada tabung A seluruh tabung memberikan hasil yang negative, namun pada hasil percobaan hasil yang diperoleh positif begitu pun pada tabung-tabung selanjutnya, hasilnya tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat disebabkan : 1. Pada saat memfiksasi ose, untuk mengambil bakteri ose yang dicelupkan ke dalam suspense bakteri masih panas, sehingga menyebabkan bakteri uji mati karena suhu terlalu tinggi. Jika bakteri sudah terlebih dahulu mati sebelum dimasukkan ke dalam media agar, maka yang terjadi adalah tidak terdapat

bakteri uji pada media agar tersebut. Sehingga pada akhirnya hasil yang didapat negative. 2. Pada saat percobaan, pengerjaan dilakukan kurang aseptis, sehingga dapat menyebabkan kontaminan masuk kedalam tabung uji. Akibatnya, dapat mempengaruhi hasil pengamatan. 3. Pada saat percobaan, waktu kontak bakteri dengan desinfektan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien fenol sebesar 0,78. Hal ini berarti, kekuatan desinfektan wipol adalah 0,78 kali dari kekuatan desinfektan fenol.

IX.

KESIMPULAN Kekuatan desinfektan wipol adalah 0,78 kali dari kekuatan desinfektan fenol.

DAFTAR PUSTAKA

August.

2001.

Nutrient

Agar

and

Nutrient

Broth

Preparation.

http://www.austin.cc.tx.us/microbugz/01mediaprep.html (diakses : 3 Mei 2010) Byrne. 2004. Heksaklorofen. http://medicastore.com (diakses : 3 Mei 2010) Eka. 2006 . Desinfektan dan Antiseptik. (diakses : 3 Mei 2010) Fontana, Roberta. 2000. Antimicrobial of Bacilus Substilis. http://www.medicastore.com

http://aac.asm.org/cgi/content/full/42/7/1574 (diakses : 3 Mei 2010) Jawetz, E., J. L. Melnick, & L. N. Ornston. 1987. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, diterjemahkan oleh Edi Nugroho & RF Maulany. EGC. Jakarta Pelczar, M. J. Jr., R. G. Reid. 1958. Microbiology. Diterjemahkan Hadioetomo dkk .Mc Graw-Hill Book Company, Inc. London. Paul, J. V., B. L. Batzing. 1987. The Microbes an Introduction to Their Nature and Importance. Cummings publishing company, Inc. Sarles, W. B., W. C. Frazier, J. B. Wilson, S. G. Knighl. 1956. Microbiology General and Applied. Second edition. Harper & Brothers. New York oleh Ratna Siri