repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites...

32

Transcript of repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites...

Page 1: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA
Page 2: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA
Page 3: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA
Page 4: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

141

KLONING DAN SEKUENSING GEN 529 (R529) Toxoplasma gondii ISOLAT LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN METODEDIAGNOSIS

BERBASIS GEN

Sri Hartati1, Asmarani Kusumawati2, Hastari Wuryastuti1, Sri Widada,3 1Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2Bagian Reproduksi, Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Gadjah Mada,3UMR 5119, “Pathogens and immunity”, CNRS, Université Montpellier II, 34095 Montpellier Cedex 5, France.

e-mail: [email protected]

ABSTRAK Toxoplasma gondii adalah protozoa parasit obligat intraseluler yang

dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas termasuk manusia dan merupakan agen patogenik yang menyebabkan toksoplasmosis. Sekuen R529 menunjukkan 200-300 copy di dalam genom T. gondii, hal ini merupakan target ideal untuk metode deteksi.Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan amplifikasi, kloning dan sekuensing gen repetitif R529 T. gondii isolat Indonesia (lokal) sebagai sarana untuk pengembangan diagnosis berbasis gen. Fragmen DNA R529 diisolasi dan amplifikasi dengan PCR menggunakan pasangan primer S1/C1 dan S2/C1. Hasil amplifikasi di klon pada plasmid PCR-21TOPO lalu di sekuensing. Hasil penelitian menunjukkan: amplifikasi R529 dengan primer S1/C1 menghasilkan fragmen DNA 522bp, sedangkan dengan primer S2/C1 menghasilkan fragmen DNA sekitar 380 bp dan 900 bp. Hasil sekuensing ternyata panjang sekuen R529 T. gondii isolat lokal 522 bp.

Kata kunci: Gen R529, T. gondii isolat lokal, kloning, sekuensing, PCR

CLONING AND SEQUENCING 529 GENE (R529) OF A LOCAL

ISOLATE Toxoplasma gondii FOR THE DEVELOPMENT OF DIAGNOSTIC METHOD BASED ON GENE

ABSTRACT

Toxoplasma gondii is an obligate intracellular protozoan parasite that infects all warm blooded animals, including humans, and is the pathogenic agent of toxoplasmosis. The repeat sequence 529 (R529) exhibits the highest copy number within the genome, ranging from 200 to 300 copies, and it is an ideal target for detection method. The obyectives of the research were: to amplify, to clone and sequence R529 gene of the Indonesian (local) T. gondii isolate for developing of gene based diagnosis method. R529 gene was isolated and then amplified using PCR. Amplification product was cloned in pCR-21 plasmid and sequenced.The results showed that amplification of

Page 5: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

142

R529 using primers S1/C1 poduced full length R522 bp, while amplification using primers S2/C1 gave two DNA fragments: 380 bp and 900 bp. The actual length of the R529 gene of the local T. gondii isolate is 522 bp.

Key words: R529, local isolate T. gondii, cloning, sequencing, PCR

PENDAHULUAN

Toksoplasmosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh T.

gondii, yaitu suatu protozoa intraseluler obligat yang dapat menginfeksi

mamalia termasuk manusia dan bangsa burung (Montoya & Liesenfeld,

2004; Soulsby,1982). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, dan lebih sering

terjadi pada daerah iklim panas dibandingkan pada daerah iklim dingin

(Okolo, 1985). Pada infeksi akut kebanyakan bersifat asimtomatik dan jarang

menunjukkan gejala sakit, sehingga sering tidak terdiagnosa (Frenkel, 1990;

Montoya & Liesenfeld, 2004). Pada ibu hamil dan hewan bunting, infeksi

yang berat dapat menyebabkan keguguran atau cacat kongenital pada anak

yang dilahirkan (Gandahusada,1990; Montoya & Liesenfeld, 2004; Roberts

& Janovy, 2000).

Diagnosa toksoplasmosis secara klinis sulit ditegakkan karena

gejalanya mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Untuk meyakinkan

diagnosa dapat dilakukan isolasi parasit dengan cara menginokulasi jaringan

pada mencit atau hewan percobaan yang peka, namun cara ini memerlukan

waktu yang lama dan kurang sensitif (Montoya and Liesenfeld, 2004;

Soulsby,1982). Diagnosa yang biasa dilakukan adalah berdasarkan uji

serologis untuk mendeteksi antibodi. Uji toksoplasmosis secara serologis

konvensional yang saat ini banyak dilakukan yaitu: Indirect

haemagglutination, fiksasi komplemen, dye test, indirect fluorescence test

dan aglutinasi latex, tetapi uji tersebut kurang sensitif, mahal dan sulit

Page 6: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

143

digunakan untuk sampel yang jumlahnya banyak (Tenter et al., 1992). Hal

ini mengakibatkan interpretasi diagnosa tidak tepat dan menjadi kendala

dalam upaya pencegahan maupun pengobatan toksoplasmosis. Teknik

diagnosa paling baru yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah teknik

Polymerase Chain Reaction (PCR) yang terbukti sensitif dan spesifik serta

relatif cepat (Fuentes et al., 1996). Diagnosa dengan tehnik PCR banyak

digunakan pada toksoplasmosis kongenital dan pasien imunosupresif

(Montoya & Liesenfeld, 2004; Roberts & Janovy, 2000).

Genom T. gondii menyandi beberapa fragmen DNA repetitif

atau repeat sequence. Diantaranya yang memungkinkan sebagai target

diagnosa adalah : repeat B1 yang memiliki 30 copy (Burg et al., 1989; Jalal

et al., 2004), repeat Tg4 (Angel et al., 1991), interspersed repeat (IRE)

(Echeverria et al., 2000) dan fragmen DNA repetitif 529 bp (R529) (Homan

et al., 2000; Reischl et al., 2003). Sebagai target amplifikasi, gen-gen

tersebut sangat menarik sehubungan dengan banyaknya jumlah copy didalam

genom, sehingga diagnosa akan lebih sensitif. Diantara sequence repeat,

R529 memiliki jumlah copy paling tinggi didalam genom parasit

(diperkirakan jumlahnya 200-300 copy) (Homan et al., 2000).

Tujuan penelitian ini adalah : Isolasi, kloning dan sekuensing gen

R529 T. gondii isolat lokal, sebagai sarana untuk pengembangan metode

diagnosa didasarkan gen.

MATERI DAN METODE

Bahan-bahan utama yang digunakan untuk penelitian adalah:

Toxoplasma gondii isolat lokal, Ready – To Go PCR Beads (Amersham

Pharmacia Biotech), plasmid pCR2.1-TOPO (Invitrogen), Luria Bertani/LB

(Oxoid), Agarose, Marker DNA (Eurogentec). Primer gen R529 (S1): 5’-

Page 7: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

144

CTGCAGGGAG GAAGACGAAAG-3’, (S2): 5’-

TTCACAGGCAAGCTCGCCTG-3’dan (C1): 5’-

CTGCAGACACAGTGCATCTGG-3’. Primer-primer tersebut merupakan

primer baru yang dirancang secara khusus berdasarkan data GenBank (Sri-

Widada, pers. commun). Isolat lokal yang digunakan dalam penelitian ini

adalah hasil isolasi T. gondii dari diafragma domba yang berasal dari Rumah

Potong Hewan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat (Iskandar, 1998).

Sepuluh ekor mencit umur 8 minggu disiapkan untuk produksi

takizoit T. gondii stadium takizoit. Setiap ekor mencit diinfeksi secara

intraperitoneal dengan 1 x 106 takizoit T. gondii isolat lokal. Setelah mencit

menunjukkan asites (4 - 6 hari pasca infeksi), mencit dieutanasi dan takizoit

yang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA

(Sri Hartati et al., 1997).

Fragmen DNA R529 diisolasi dan diamplifikasi dengan PCR,

menggunakan primer S1 sens dan primer C1 antisens atau primer S2 sens

dan C1 antisens. Amplifikasi dikerjakan mengikuti kondisi PCR : denaturasi

awal 940C, 2 menit; 30 siklus : denaturasi 940C, 30 detik, annealing 55 0C,

30 detik, elongasi 720C, 1 menit dan elongasi tambahan 720C, 5 menit.

Reaksi dikerjakan pada volume akhir 25 μl. Analisis hasil amplifikasi

dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose 1%. Hasil amplifikasi

tersebut selanjutnya diklon pada pCR21. Beberapa klon positif akan

dianalisis dengan PCR menggunakan universal primer M13. Sekuensing

dikerjakan pada dua klon R529 dalam plasmid pCR2.1 (Mille Gen,

Perancis). Perbandingan dilakukan secara manual antara R529 isolat lokal

dengan dua sekuen nukleotida R529 yang terdapat di GenBank.

3

Page 8: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

145

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil propagasi T. gondii stadium takizoit dapat dilihat pada Gambar

1. Jumlah takizoit setelah diperbanyak : 1,5 x 109. Bentuk takizoit seperti

bulan sabit dengan salah satu ujungnya tumpul dan ujung yang lain runcing,

berukuran 6 - 8 m (Ajioka, 2001; Soulsby, 1982).

Gambar 1. T. gondii stadium takizoit (400x)

Sekuen R529 isolat lokal yang diisolasi dan diamplifikasi dengan

PCR menggunakan pasangan primer S1/C1 menunjukkan fragmen dengan

panjang 522 (Gambar 2. A, pita 1, 2), sedangkan amplifikasi dengan primer

S2/C1 diperoleh dua fragmen yang panjangnya 379 bp dan 900bp (Gambar

2. A, pita 3, 4). Hasil amplifikasi yang diperoleh dengan pasangan primer

S2/C1 selanjutnya diklon dalam pCR 2.1 dan dianalisa dengan PCR

menggunakan primer M13 (Gambar 2. B).

T

Page 9: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

146

A) B)

M 1 2 3 4 M 1 2 3 4 5

Gambar 2. Amplifikasi fragmen DNA repetitif R522 dan analisis kloning

dengan PCR. A) Amplifikasi menggunakan pasangan primer S1/C1 (pita 1, 2) dan pasangan primer S2/C1 (pita 3, 4). Marker DNA (M). B) Analisa klon dalam pCR-21: 379 bp (pita 1, 5); 522 bp (pita 2, 4) dan 900 bp (pita 3)

Hasil analisis yang diperoleh (Gambar 2. B) menunjukkan adanya 3

tipe klon/plasmid yaitu: plasmid mengandung insert sepanjang yang

diperkirakan (379 bp) (klon 1 dan 5), plasmid dengan insert sekitar 500 bp

(klon 2 dan 4) dan klon yang kemungkinan berisi plasmid yang mengandung

fragmen DNA yang diharapkan (379 bp) disamping sekuen lengkap R529.

Dari hasil yang diperoleh, diperkirakan bahwa primer S2/C1 menempel pada

targetnya dalam satu repeat unit dan memberikan ukuran yang diharapkan

atau dalam tandem repeat (908 bp) yang merupakan fragmen dengan sekuen

lengkap dan fragmen parsial R529.

Hasil sekuensing dua klon yang mengandung fragmen 900 bp,

secara jelas menunjukkan bahwa fragmen 900 bp mengandung satu unit

repeat penuh sekuen repetitif R529. Fragmen 900 bp juga mengandung satu

repeat unit parsial, terdiri atas 379 bp seperti yang diharapkan dengan

amplifikasi menggunakan primer S2/C1. Dalam fragmen 900 bp, unit parsial

The image cannot be displayed. Your computer may not have enough memory to open the image, or the image may have been corrupted. Restart your computer, and then open the file again. If the red x still appears, you may have to delete the image and then insert it again.

400 bp

600 bp

1000 bp 1000 bp 600 bp 400 bp

Page 10: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

147

berada pada sisi upstream sedangkan unit penuh terletak pada bagian

downstream.

Hasil isolasi fragmen yang terdiri atas 2 unit repeat (parsial dan

penuh), memungkinkan sekuen gabungan antar unit dapat ditentukan secara

pasti. Sekuen R529 yang dilaporkan pertama kali (Homan et al., 2000; AF

146527), menunjukkan bahwa repeat unit diawali dan diakhiri dengan

“ctgcag” yang panjangnya 529 bp., dan “ctgcag” juga merupakan sisi untuk

enzim restriksi PstI. Homan et al. (2000), menyatakan bahwa sekuen

repetitif diisolasi dari DNA genom yang dipotong secara parsial dengan PstI.

Dengan isolasi deretan dua unit repeat (fragmen 900 bp), gabungan antar

unit dapat ditentukan secara pasti, dan ternyata “ctgcag” hanya ditemukan

satu kali dalam unit dengan lokasi pada ujung upstream atau downstream.

Karena “ctgcag” hanya ditemukan satu kali maka panjang unit repeat tidak

lagi 529 bp tetapi 523 bp. Laporan Homan et al. (2000) menyatakan bahwa

pada posisi 371 ditemukan nukleotida yang tidak terdapat baik dalam unit

repeat isolat lokal maupun dalam sekuen repetitif yang dilaporkan oleh

Reischl et al. (2003) (AF487550) (Gambar 3), sehingga dapat disimpulkan

bahwa nukleotida tambahan tersebut terjadi akibat kesalahan teknik

sekuensing. Dengan demikian sebenarnya panjang sekuen repetitif isolat

lokal adalah 522 bp. Maka diusulkan nama sekuen repetitif R529 diganti

dengan R522. Pemeriksaan sekuen nukleotida R529 isolat lokal, ternyata

menunjukkan beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan dua sekuen

R529 yang ada di GenBank (Gambar 3), meskipun keduanya juga termasuk

strain RH.Tujuh posisi R529 cenderung bervariasi. Variasi sekuen tersebut

kemungkinan terjadi karena kesalahan waktu proses duplikasi yang

merupakan mekanisme evolusi sekuen R529. Fragmen DNA R529

merupakan satu dari kandidat target yang sangat menjanjikan untuk diagnosa

molekuler karena dalam genom parasit mempunyai jumlah kopi yang banyak

Page 11: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

148

(200 – 300 copy) (Homan et al., 2000). Hal ini diharapkan akan

meningkatkan sensitivitas diagnosa toksoplasmosis, karena peningkatan

jumlah template. Adanya varian sekuen juga akan membantu dalam

merancang primer amplifikasi yang cocok untuk diagnosa T. gondii. A° ctgcagggag gaagacgaaa gttgtttttt tatttttttt tctttttgtt tttctgattt 60 B° ggag gaagacgaaa gttgtttttt tatttttttt tctttttgtt tttctgattt C° ---- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- D° ---- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- A° ttgttttttt tgactcgggc ccagctgcgt ctgtcgggat gagaccgcgg agccgaagtg 120 B° ttgttttttt tgactccggc ccagctgcgt ctgtcgggat gagaccgcgg agccgaagtg C° ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- D° ---------- ---------- ---------- ---------- gagaccgcgg agccgaagtg A° cgttttcttt ttttgacttt tttttgtttt ttcacaggca agctcgcctg tgcttggagc 180 B° cgttttcttt ttttgatttt tttttgtttt ttcacagacg agctcgcctg tgcttggagc C° ---------- ---------- ---------- ttcacaggcg agctcgcctg tgcttggagc D° cgttttcttt ttttgatttt tttttgtttt ttcacaggcg agctcgcctg tgcttggagc A° cacagaaggg acagaagtcg aaggggacta cagacgcgat gccgctcctc cagccgtctt 240 B° cacagaaggg acagaagtcg aaggggacta cagacgcgat gccgctcctc cagccgtctt C° cacagaaggg acagaagtcg aaggggacta cagacgcgat gccgctcctc cagccgtctt D° cacagaaggg acagaagtcg aaggggacta cagacgcgat gccgctcctc cagccgtctt A° ggaggagaga tatcaggact gtagatgaag gcgagggtga ggatgagggg gtggcgtggt 300 B° ggaggagaga tatcaggact gtagatgaag gcgagggtga ggatgagggg gtggcgtggt C° ggaggagaga tatcaggact gtagatgaag gcgagggtga ggatgagggg gtggcgtggt D° ggaggagaga tatcaggact gtagatgaag gcgasggtga ggatgagggg gtggcgtggt A° tgggaagcga cgagagtcgg agagggagaa gatgtttccg gcttggctgc ttttcctgga 360 B° tgggaagcga cgagagtcgg agagggagaa gatgtttccg gcttggctgc ttttcctgga C° tgggaagcga cgagagtcgg agagggagaa gatgtttccg gcttggctgc ttttcctgga D° tgggaagcga cgagagtcgg agagggagaa gatgtttccg gcttggctgc ttttcctgga A° gggtggaaaa agagacaccg gaatgcgatc cagacgagac gacgctttcc tcgtggtgat 420 B° gggtggaaaa –gagacaccg gaatgcgatc tagacgagac gacgctttcc tcgtggtgat C° gggtggaaaa -gagacaccg gaatgcgatc tagacgagac gacgctttcc tcgtggtgat D° gggtggaaaa –gagacaccg gaatgcgatc tagacgagac gacgctttcc tcgtggtgat A° ggcggagaga attgaagagt ggagaagagg gcgagggaga cagagtcgga ggcttggacg 480 B° ggcggagaga attgaagagt ggagaagagg gcgagggaga cagagtcgga ggcttggacg C° ggcggagaga attgaagagt ggagaagagg gcgagggaga cagagtcgga ggcttggacg D° ggcggagaga attgaagagt ggagaagagg gcgagggaga cagagtcgga ggcttggacg A° aagggaggag gaggggtagg agaggaatcc agatgcactg tgtctgcag 529 B° aagggaggag gaggcgtagg agaggaatcc agatgcactg tgtctgcag C° aagggaggag gaggcgtagg agaggaatcc agatgcactg tgtctgcag D° aagggaggag gaggcgtagg agagg----- ---------- ---------

Gambar 3. Perbandingan sekuen nukleotida dari 4 repeat unit fragmen DNA repetitif 529 bp T. gondii. Untuk memudahkan nomer nukleotida (atas , kanan) sekuen AF 146527 dipergunakan sebagai referensi untuk perbandingan. Oligonukleotida (sisi PstI)

Page 12: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

149

“ctgcag” digaris bawah dan lokasi varian digaris bawah dan huruf tebal. Accession numbers: A (AF 146527; repeat unit lengkap), B (EF 195646; repeat unit lengkap), C (EF 195646; repeat unit bagian), D (AF 487550; repeat unit bagian). B dan C adalah bagian dari tandem repeat 900 bp (522 bp + 378 bp) isolat lokal.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Fragmen DNA

repetitif R529 isolat lokal berhasil diamplifikasi sebagai suatu tandem repeat

dan hasil sekuensing menentukan sekuen antar repeat serta menunjukkan

adanya beberapa variasi, dan ternyata panjang sekuen repetitif T. gondii

isolat lokal adalah 522 bp.

DAFTAR PUSTAKA

Ajioka, J. W, Fitzpatrick and J. M., Reitter, C. P. 2001. Toxoplasma gondii Genomics: Shedding Light on Pathogenesis and Chemotherapy. http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk.

Burg, J.L., Grover, C.M., Pouletty, P. and Boothroyd, J.C. 1989. Direct and sensitive detection of a pathogenic protozoan, Toxoplasma gondii, by polymerase chain reaction. J. Clin. Microbiol. 27: 1787-1792.

Echeverria, P.C., Rojas, P.A., Martin, V., Guarnera, E.A., Pszenny, V. and Angel, S.O. 2000. Characterisation of a novel interspersed Toxoplasma gondii DNA repeat with potential uses for PCR diagnosis and PCR-RFLP analysis. FEMS Microbiol. Lett. 184: 23-27.

Frenkel, J.K. 1990a. Transmission of toxoplasmosis and the role of immunity in limiting transmission and illness. J. Am. Vet. Med. Assoc. 196: 233-240.

Frenkel, J. K. 1990b. Toxoplasmosis in human being. J. Am. Vet. Med. Assoc. 192 (2): 233-240.

Fuentes, I., Rodriguez, M., Domingo, C. J., Del-Castillo, F., Juconsa, T. and Alvar, J. 1996. Urine sample Used for Congenital Toxoplasmosis

Page 13: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

150

Diagnosis by PCR (Absract). J. Clin. Microbiol. Oct. 34 (10): 2368-71.

Gandahusada, S. 1990. Toksoplasmosis: epidemiologi, patogenesis dan diagnostik. Kumpulan Makalah Simposium: Toksoplasmosis. Fak. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.: 1-10.

Homan, W.L., Vercammen, M., De Braekeleer, J. and Verschueren, H. 2000. Identification of a 200- to 300-fold repetitive 529 bp DNA fragment in Toxoplasma gondii, and its use for diagnostic and quantitative PCR. Int. J. Parasitol. 30: 69-75.

Iskandar, T. 1998. Pengisolasian Toxoplasma gondii dari otot diafragma seekor domba yang mengandung titer antibodi tinggi dan tanah-tinja dari seekor kucing. J. Ilmu Ternak dan Vet. 3 (2): 111 – 116.

Jalal, S., Nord, C.E., Lappalainen, M. and Evengard, B. 2004. Rapid and sensitive diagnosis of Toxoplasma gondii infections by PCR. Clin. Microbiol. Infect. 10: 937-939.

Montoya, J. G. and Liesenfeld, O. 2004. Toxoplasmosis. Lancet. 263: 1965-1975.

Okolo, M. I. O. 1985. Toxoplasmosis in Animals and the Public Health Aspect. In. J. Zoon. 12: 247-256.

Reischl, U., Bretagne, S., Krueger, D., Ernault, P. and Costa, J.M. 2003. Comparison of two DNA targets for the diagnosis of Toxoplasmosis by real-time PCR using fluorescence resonance energy transfer hybridization probes. BMC Infect. Dis. 3. 27.

Roberts, L. S. and Janovy, Jr. 2000. Gerald Schmidt & Larry S. Robert’ s foundations of parasitology, 6 th ed., Mc Graw Hill Book Co. Singapura: 127-132.

Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals, 7th ed., The English Language Book Society and Bailliere Tyndall, London: 670-680.

Sri-Hartati, Artama, T. A., Hastari-Wuryastuti and Sumartono. 1997. Identifikasi molekuler Toxoplasma gondii isolat lokal. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tenter, A. M., Vietmeyer, C. and Johnson, A. M. 1992. Development of ELISA based on recombinant antigens for the detection of Toxoplasma gondii-specific antibodies in sheep and cats. Vet. Parasitol. 43: 189 – 201.

Page 14: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

188

DETEKSI VIRUS PENYAKIT JEMBRANA DARI JARINGAN BLOK PARAFIN

Asmarani Kusumawati1, Narendra Yoga Hendarta2 dan Issabelina D.

Tampubolon3

1. Bagian Reproduksi FKH Universitas Gadjah Mada 2. Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

3. PS. Bioteknologi Universitas Gadjah Mada Korespondensi Penulis: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit Jembrana disebabkan oleh virus jembrana, sejenis Bovin Lentivirus yang dapat menginfeksi sapi, khususnya sapi Bali (Bos javanicus). Penyakit jembrana memiliki karakteristik sebagai penyakit yang sangat menular dan mematikan, khususnya pada fase akut. Angka kematiannya hingga 71% pada 1-6 minggu awal infeksi akut. Untuk keperluan pengawasan atau penelitian sudah umum menyimpan sampel jaringan dalam bentuk awetan. Hasil awetan paraffin dapat dipergunakan kembali. Deteksi berdasarkan amplifikasi asam nukleat memberikan hasil yang akurat dan sensitif namun sangat tergantung pada keberhasilan ekstraksi asam nukleat target. Template asam nukleat hasil ekstraksi yang baik yaitu memiliki integritas tinggi dan bebas dari zat pengotor yang dapat menghambat reaksi amplifikasi. Penelitian ini mencoba mengisolasi RNA virus dari sampel spesimen yang telah diparafin. Kemudian dikonfirmasi menggunakan metode two step RT-PCR. Isolasi RNA diawali dengan deparafinisasi menggunakan xilen dan dicuci dengan alkohol. Pelet diresuspensi dengan PBS dan RNA virus diekstrak menggunakan kit RNA. RNA virus diamplifikasi dengan two-step RT-PCR dengan primer spesifik pada sekuen gen target env-tm. Amplikon dianalisis dengan gel elektroforesis memperlihatkan adanya pita spesifik. Hal ini menunjukan RNA virus berhasil diekstraksi dengan integritas yang bagus walaupun sampel telah diawetkan dengan parafin. Kata kunci : Virus penyakit jembrana, awetan parafinasi, RNA virus, two step RT-PCR.

Page 15: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

189

DETECTION OF JEMBRANA DISEASE VIRUS (JDV) FROM PARAFFINIZED TISSUE SAMPLE

ABSTRACT

Jembrana disease caused by Jembrana Disease Virus (JDV), bovine

lentivirus that infect cattle, especially Balinese cattle (Bos javanicus). Jembrana disease is very infectious and deadly disease, especially in acute disease. The mortality rate is up to 71% in the first six weeks in acute disease. For the purposes of monitoring or research, generally storing of the tissue sample is in the form of preserved samples. Using paraffin, the preservation can be re-used. Sensitive detection based on nucleic acid amplification method is highly dependent on the success of the target nucleic acid extraction. Good template of nucleic acid extraction has high integrity and free from impurities that can inhibit the amplification reaction. This study aim to isolate viral RNA from the sample specimen that has been paraffinized. Then confirmed using two step RT-PCR method. RNA isolation begins with deparaffinized using xylene and washed with alcohol. Deresuspension of pellet is done with PBS then viral RNA was extracted using RNA kit. Viral RNA was amplified with two-step RT-PCR method with specific primers that target in env-tm gene sequences. Amplicons were analyzed by gel electrophoresis showed a specific band. This indicated that successful viral RNA extraction with great integrity, although the sample was preserved with paraffin.

Keyword: Jembrana Disease Virus, paraffinized sample, RNA virus, two step RT-PCR.

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana disebabkan oleh virus jembrana, sejenis Bovin

Lentivirus yang bersifat sangat akut dan fatal (Soeharsono et al., 1990).

Virus ini menginfeksi berat sapi Bali (Bos javanicus) dan sapi lainnya

dengan gejala yang ringan. Sapi Bali yang terinfeksi mengalami kematian

hingga 71% pada 1-6 minggu pertama (Chen et al., 1999). Sedangkan sapi

yang selamat baru membentuk respon imunitas adaptif (antibodi) pada

Page 16: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

190

minggu ke-5 dimana terdeteksi hingga 22 bulan dan menjadi carrier virus

hingga 24 bulan (Soeharsono et al., 1995). Deteksi penyakit tersebut selama

ini hanya berdasarkan gejala penyakit yang kemungkinan besar mirip dengan

penyakit lain dan metode ELISA masih menunjukan reaksi silang dengan

BIV (Bovine Immunodefiency Virus) (Hartaningsih, 1993). Deteksi

berdasarkan amplifikasi asam nukleat memberikan hasil yang akurat dan

sensitif. Teknik deteksi ini tergantung pada keberhasilan teknik isolasi atau

ekstraksi asam nukleat (DNA atau RNA) (McDowell, 1999). dari sampel

segar seperti darah dan organ maupun sampel awetan seperti spesimen dalam

blok parafin. Penelitian ini mencoba mengisolasi RNA virus dari sampel

spesimen yang telah diparafin kemudian dikonfirmasi menggunakan teknik

RT-PCR.

MATERI DAN METODE

Isolasi RNA diawali dengan deparafinisasi menggunakan xilen

selama 30 menit pada suhu 37oC sebanyak tiga kali dan selanjutnya dicuci

dengan alkohol 100% melalui sentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama

10 menit sebanyak 3 kali. Pelet diresuspensi dengan PBS dan diekstrak RNA

virus menggunakan High Pure Viral Nucleid Acid Kit dari Roche (Jerman)

mengikuti prosedur dari pabriknya. RNA diamplifikasi two-step RT-PCR

yaitu sintesis cDNA menggunakan enzim AMV-RT dari Promega dimana

sampel RNA dan primer reverse (TTTCTCCCCACAGTCCAC) dipanaskan

terlebih dahulu pada suhu 70oC selama 5 menit lalu didinginkan dalam es

selama 5 menit. Kemudian dicampur dengan komponen sintesis cDNA

lainnya, diinkubasi suhu 37oC selama 60 menit dan dipanaskan suhu 95oC

selama 2 menit. Hasil cDNA diamplifikasi menggunakan kit

DreamTaq™Green PCR Master Mix 2X dari Fermentas. Amplifikasi pada

Page 17: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

191

gen target env-tm sepanjang 211 bp menggunakan primer forward

AGAAGCTCAGCGAAGGCA dan backward

TTTCTCCCCACAGTCCAC. Kontrol positif dengan plasmid rekombinan

yang telah disisipi gen env sepanjang 1.1 kbp (pGEX-TM) dan kontrol

negatif berupa dH2O. Reaksi PCR dilakukan dengan program satu siklus

denaturasi awal pada suhu 95°C selama 5 menit diikuti 30 siklus masing-

masing dengan tahap denaturasi pada suhu 95°C selama 45 detik,

penempelan primer pada suhu 58°C selama 30 detik, perpanjangan pada

suhu 72°C selama 45 detik, dilanjutkan dengan satu siklus untuk

perpanjangan akhir pada suhu 72°C selama 10 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplikon RT-PCR dianalisis dengan gel elektroforesis 1,8%

menunjukan adanya pita spesifik pada marker sekitar 200 bp. Hal ini

menunjukan RNA virus berhasil diekstraksi dengan integritas yang bagus

walaupun sampel telah diawetkan dengan parafin dalam waktu yang lama.

Keutuhan (integritas) cetakan sebagai target reaksi amplifikasi sangat

menentukan hasil amplifikasi dimana target yang terdegradasi akan

menghambat amplifikasi (McDowell, 1999). Reaksi berjalan dengan baik

dengan ditunjukan adanya pita amplikon pada kontrol positif dan tidak

adanya pita amplikon pada kontrol negatif (Roux, 1995).

4

Page 18: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

192

Gambar 1. Gambaran amplikon hasil two step RT-PCR dari sampel jaringan pada gel elektrofoesis 1,8%. (1-5) sampel jaringan limpa, ginjal, paru, hati, lidah; (6) kontrol positif plasmid pGEX-TM; (7) kontrol negatif dH2O; (M) Marker 1000 bp.

KESIMPULAN

RNA virus jembrana berhasil diisolasi dari jaringan terinfeksi yang

telah diparafinasi dan disimpan dalam waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

Chen H, Wilcox G, Kertayadnya G and Wood C (1999). Characterization of the Jembrana disease virus tat gene and the cis- and trans-regulatory elements in its long terminal repeats. J. Virol., 73 : 658-666.

Hartaningsih N, Wilcox GE, Kertayadnya G and Astawa M (1993a). Antibody response to Jembrana disease virus in Bali cattle. Vet. Microbiol., 39 : 15-23.

McDowell, D.(1999). PCR: Factors Affecting Reliability and Validity. In Analitycal Molecular Biology. Quality and Validation. Edited by Ginny C. Saunder and Helen C. Parker. Pp. 58-78. Laboratory of the Government Chemist, Teddington.UK.

Roux, K.H. (1995). Optimation and Trobleshooting in PCR. Manual

Suplement. Genom Res. Cold Spring Harbour Laboratory Press 4:S185-S194.

6

1000 bp

200 bp

1 2 3 4 5 6 7 M M

Page 19: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

193

Soeharsono, S. Hartaningsih, N. Soetrisno, M. Kertayadnya, G. and Wilcox, GE. (1990) Studies of experimental jembrana disease in Bali cattles I. Transmision and persistence of the infectious agent in ruminant and pig, and resistence of recovery cattle to reinfection. J. Comp. Pathol.103:49-59.

Page 20: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

220

VIRUS JEMBRANA DALAM DARAH SAPI BALI SEHAT DI KALIMANTAN SELATAN

Narendra Yoga Hendarta1 dan Asmarani Kusumawati2

1. Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 2. Bagian Reproduksi FKH Universitas Gadjah Mada

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Virus Jembrana adalah agen penyebab penyakit jembrana yang sangat infeksius dan yang menyerang sapi khususnya sapi bali (Bos javanicus). Penyakit jembrana memiliki karakteristik sebagai penyakit yang fatal dan akut yang dapat mengakibatkan kematian hingga 71% pada 1-6 minggu awal infeksi. Virus memiliki karakteristik mampu bertahan dalam darah dalam waktu lama pada sapi yang selamat yang dapat menularkan ke sapi lainnya. Penyebaran virus jembrana melalui kontak langsung dengan cairan dan darah dari sapi yang terinfeksi maupun melalui vektor serangga seperti nyamuk secara mekanik. Oleh karena itu pengawasan sangat penting untuk mengantisipasi penyebaran penyakit baik pada saat wabah maupun tidak. Kalimantan Selatan baru saja mengalami wabah penyakit jembrana yang menimbulkan kematian beberapa sapi bali. Setelah kejadian wabah, didatangkan lagi sapi bali sehat yang menempati kandang yang sama pada sapi terinfeksi sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan virus ini pada sapi baru yang sehat ini. Sapi baru yang sehat diambil darahnya dan diekstraksi RNA virus. Amplifikasi RNA virus menggunakan metode two step RT-PCR dengan primer spesifik yang mengamplifikasi sekuen gen env-tm. Amplikon dianalisis visual dengan gel elektroforesis memperlihatkan pita spesifik yang menunjukan adanya virus penyakit jembrana pada darah sapi bali sehat. Hal ini menunjukan bahwa pengawasan pada sapi sehat juga sangat diperlukan dalam antisipasi penyebaran penyakit yang sangat berbahaya ini.

Kata kunci : Virus penyakit jembrana, penyakit jembrana, sapi Bali sehat ,

RNA virus, two step RT-PCR.

Page 21: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

221

JEMBRANA VIRUS IN THE BLOOD OF HEALTHY BALINESE CATTLE ON SOUTH KALIMANTAN

ABSTRACT

Jembrana virus is the causative agent of Jembrana Disease. This

disease infects cattle, especially Balinese cattle (Bos javanicus). Jembrana disease is very infectious and deadly disease, especially in acute disease. The mortality rate is up to 71% in the first six weeks in acute disease. The characteristic of Jembrana disease is the virus can be persistence in the blood of the survived cattles that has suffer the disease, making them so infectious. The transmission of Jembrana virus through direct contact could from any fluid and blood of the infected cattles. The vector of the virus can also transmit the virus mechanically. Therefore the strategy of surveillance is very important to prevent the disseminating disease, especially in an epidemic disease. In South Kalimantan, recently occurred an epidemic of Jembrana disease that cause several death of Balinese cattle. After this epidemic, other healthy Balinese Cattle from outside occupy the same cage of previous infected cattle. This research is conducted to discover the presence of Jembrana virus in these healthy Balinese cattle which is predisposed of Jembrana virus infection. The blood from healthy Balinese cattle is taken and the RNA virus from this blood specimen is extracted. Then the RNA virus is multiplicated using two step RT-PCR method with primer that specifically bind the target env-tm gene sequence. The result of the multiplication (amplicon) is analyzed visually with electrophoresis gel method. The result shows the presence of Jembrana virus in the blood of healthy cattle determined by specific band that is appeared. Therefore surveillances in healthy cattle are critical aspects to anticipate disseminating this fatal disease to another cattle.

Keyword: Jembrana disease, Jembrana virus, healthy cattle, RNA virus.

PENDAHULUAN

Virus Jembrana adalah agen penyebab penyakit Jembrana yang

sangat infeksius dan yang menyerang sapi khususnya sapi Bali (Bos

javanicus) (Soeharsono et al., 1990). Penyakit jembrana memiliki

karakteristik sebagai penyakit yang fatal dan akut yang dapat mengakibatkan

kematian hingga 71% (Chen et al., 1999) dengan masa inkubasi yang pendek

Page 22: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

222

yaitu 4-12 hari dan munculnya gejala klinik selama 5-12 hari (Soeharsono et

al., 1995). Sapi yang terinfeksi akan memperlihatkan beberapa gejala yang

paling sering yaitu sebagai respon demam yaitu suhu naik, susah makan,

lemah, pembesaran kelenjar limpa, kadang-kadang diikuti oleh diare

berdarah, banyak keluar cairan ludah,cairan keluar dari hidung dan erosi

pada membran mukosa (Soesanto et al., 1990; Dharma et al., 1994;

Soeharsono et al.,1995; Wareing et al., 1999). Perubahan hematologi mayor

terjadi seperti leukopenia sebagai akibat dari limfopenia, easinopenia dan

neutropenia. Selain itu juga terjadi trombositopenia ringan, anemia

normokromik normositik, uraemia, dan hipoproteinaemia (Soesanto et al.,

1990; Soeharsono et al., 1995). Sebagai tanda umum dalam diagnosis

penyakit diperlihatkan adanya pembesaran kelenjar limpa (Budiarso dan

Hardjosworo, 1976). Kematian timbul pada 1-6 minggu awal infeksi,

sedangkan pada sapi yang selamat akan membangun respon imun pada

minggu ke-5 yang terdeteksi hingga 22 bulan. Namun sapi ini masih

mengandung titer virus dalam darah selama 24 bulan (Soeharsono et al.,

1995). Sapi yang selamat akan tahan terhadap infeksi kedua yang

menunjukkan bahwa vaksinasi memberikan efektivitas yang cukup baik

(Soeharsono et al., 1990).

Penyebaran virus Jembrana melalui kontak langsung dengan cairan

dan darah dari sapi yang terinfeksi maupun melalui vektor serangga seperti

nyamuk secara mekanik (Astawa et al., 2006). Oleh karena itu pengawasan

sangat penting untuk mengantisipasi penyebaran penyakit baik pada saat

wabah maupun tidak. Kalimantan Selatan baru saja mengalami wabah

penyakit jembrana yang menimbulkan kematian beberapa sapi Bali. Setelah

kejadian wabah, didatangkan lagi sapi Bali sehat yang menempati kandang

yang sama pada sapi terinfeksi sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberadaan virus ini pada sapi baru yang sehat ini.

Page 23: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

223

MATERI DAN METODE

Sapi baru yang sehat diambil darahnya dan dianalisis kandungan

virus menggunakan metode two step RT-PCR. RNA virus dalam darah

diekstraksi dengan High Pure Viral Nucleid Acid Kit dari Roche kemudian

ditranskrip balik dengan AMV-RT dari Promega menggunakan primer

antisense TTTCTCCCCACAGTCCAC yang mengamplifikasi sekuen gen

env-tm menggunakan waterbath. Hasil cDNA kemudian di amplifikasi

dengan kit DreamTaq™Green PCR Master Mix 2X dari Fermentas dengan

primer sense AGAAGCTCAGCGAAGGCA dan antisense

TTTCTCCCCACAGTCCAC yang mengamplifikasi sepanjang 211 bp

menggunakan thermocyler. Hasil PCR di analisis visual dengan gel

elektroforesis 1,8%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Gambaran amplikon hasil two step RT-PCR

dengan sampel sarah sapi Bali sehat pada gel elektrofoesis 1,8%. (1-4) sampel darah; (M) Marker 1000 bp.

1000 bp

200 bp

1 2 3 4 M

Page 24: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

224

Hasil visualisasi pada gel elekroforesis 1,8% memperlihatkan

adanya pita di marker sekitar 200 bp yang menunjukkan adanya virus

Jembrana dalam darah sapi Bali sehat. Virus penyakit Jembrana ditularkan

melalui cairan dan darah sapi yang terinfeksi maupun carier secara langsung

maupun tidak langsung (Astawa et al., 2006). Sapi yang telah divaksinasi

menggunakan vaksin virus yang dilemahkan kemungkinan masih

mengandung virus ini. Virus ini mampu bertahan dalam darah selama 24

bulan (Soeharsono et al, 1995) yang bisa menular ke sapi sehat lainnya..

Karakteristik virus yang mampu bertahan lama dalam darah sapi dan setiap

saat dapat mengakibatkan wabah yang akut dan fatal menjadikan

pengawasan terhadap penyebaran melalui perpindahan hewan ternak sangat

penting.

KESIMPULAN

Virus Jembrana terdapat dalam darah sapi Bali sehat yang baru

didatangkan setelah wabah. Sapi ini kemungkinan menjadi carrier virus

yang diperoleh melalui kontak langsung maupun tidak langsung dari sapi

yang terinfeksi ataupun yang selamat.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa N.M, Hartaningsih N., Agustini L.P., Tenaya W.M., Berata K., and Widiyanti L.P.M., (2006). Detection of Jembrana Disease Virul Antigen in Peripheral Blood Lymph Ocytes by Monoclonal Antibody. Media Kedokteran Hewan. 22 (3) : 154-160.

Budiarso, I.T. and Hardjosworo,S.(1976). Jembrana disease in Bali cattle . Australian Vet. J. 52 : 27.

Chen H, Wilcox G, Kertayadnya G and Wood C (1999). Characterization of the Jembrana disease virus tat gene and the cis- and trans-regulatory elements in its long terminal repeats. J. Virol., 73 : 658-666.

Page 25: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

225

Dharma, DM. Ladds, PW. Wilcox, GE. and Champbell, R.S. (1994) Immunopathology of experimental Jembrana disease in Bali cattle. Vet. Immunolpathol. 44: 31-44.

Soeharsono, S. Hartaningsih, N. Soetrisno, M. Kertayadnya, G. and Wilcox, G.E. (1990) Studies of experimental Jembrana disease in Bali cattles I. Transmision and persistence of the infectious agent in ruminant and pig, and resistence of recovery cattle to reinfection. J. Comp. Pathol.103:49-59

Soeharsono S, Wilcox, G.E., Dharma, D.M., Hartaningsih N, Kertayadnya G and Budiantono A (1995). Species differences in the reaction of cattle to Jembrana disease virus infection. J. Comp. Pathol., 112 : 391-402.

Soesanto, M. Soeharsono, S. Budiantoro, A. Sulistyana, K. Tenaya, M.and Wilcox, G.E. (1990). Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle. II. Clinical signs and haematological changes. J. Comp. Pathol., 103 : 61-71.

Wareing, S., Hartaningsih, N., Wilcox, G. E., and Penhale, W. J. (1999). Evidence for immunosuppression associated with Jembrana disease virus infection of cattle. Vet. Microbiol. 68(1-2):179-85.

Page 26: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

259

DETEKSI VIRUS PENYAKIT JEMBRANA (JDV) PADA SPESIMEN DARAH LAMA

Erwin Nugroho TA1, Narendra Yoga Hendarta2 dan Asmarani

Kusumawati1 1. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

2. Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Korespondensi Penulis: [email protected]

ABSTRAK

Virus jembrana adalah virus eksogenus anggota Lentiviridae,

sebagai agen penyebab penyakit jembrana yang menginfeksi fatal pada penyakit fase akut. Penyakit jembrana dapat mengakibatkan kematian hingga 71% pada 1-6 minggu awal infeksi. Virus ini menginfeksi berat sapi Bali (Bos javanicus) dan sapi lainnya dengan gejala yang ringan. Virus jembrana merupakan virus RNA dalam famili retroviridae dengan inangnya pada sel yang mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama seperti limfosit T, monosit, makrofag dan sel dendritik yang berada dalam darah. Penyimpanan sampel darah terinfeksi dengan antikoagulan EDTA telah umum dilakukan dalam prosedur rutin laboratorium. Virus akan bertahan pada sel inangnya yang masih utuh selama penyimpanan ataupun dalam bentuk partikel bebas dalam plasma darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi deteksi virus Jembrana dari dalam darah-EDTA yang sudah disimpan lama (lebih dari 10 bulan) pada suhu 40C dengan metode two step RT-PCR. Beberapa sampel darah terinfeksi dari BBVET Kalimantan diisolasi RNA virus menggunakan kit dan diamplifikasi dengan two-step RT-PCR menggunakan primer spesifik pada sekuen gen target env-tm. Amplikon dianalisis dengan gel elektroforesis memperlihatkan adanya pita spesifik. Hal ini menunjukan RNA virus berhasil diekstraksi dengan integritas yang bagus walaupun darah-EDTA specimen telah disimpan lama. Kata kunci : Virus penyakit jembrana, darah EDTA, RNA virus, two step RT-PCR

Page 27: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

260

DETECTION OF JEMBRANA DISEASE VIRUS (JDV) FROM LONG STORING TIME BLOOD SPECIMEN

ABSTRACT

Jembrana virus is exogen virus (member of Lentiviridae), as

causative agent of Jembrana disease that infenct universally fatal in acute disease. The mortality rate is up to 71% in the first six weeks in acute disease. Jembrana virus infects seriously in Balinese cattle (Bos javanicus) and also mildly in other cattle. Virus jembrana is RNA virus belong to Retroviridae family as lymphocyte CD4 T cell, monocyte, macrophage, and dendritic cell as its host cell in the bloodstream. The storing of infected blood sample utilizing EDTA, generally be used in routine laboratory procedure. Jembrana virus reside wholly in host cell and also in free particle form in blood plasma. This research aim to explore detection of Jembrana virus from EDTA- blood after a long storing time (more than 10 months) in 4oC, using two step RT-PCR method. RNA virus in several infected blood sample from BBVET Kalimantan was isolated using RNA extraction kit then amplificated using two step RT-PCR with specific primers that target in env-tm gene sequences. Amplicons were analyzed by gel electrophoresis showed a specific band. This indicate that successful viral RNA extraction with great integrity, although the EDTA-blood sample specimen was stored after a long storing time.

Keyword : Jembrana Virus Disease (JDV), blood, EDTA, two step RT-PCR

PENDAHULUAN

Sapi Bali (Bos javanicus) merupakan plasma nutfah Indonesia

dengan karakter reproduksi baik sehingga mudah dikembangkan dan tersebar

ke berbagai pulau sebagai hewan ternak potensial. Penyakit Jembrana terjadi

pertama kali di Bali tahun 1964, dalam 9 bulan telah menyebar ke berbagai

daerah di Bali dan membunuh 60.000 ekor sapi Bali. Penyakit ini telah

menyebar ke berbagai daerah diantaranya Jawa Timur, Lampung,

Kalimantan, dan Sumatra Barat (Hartaningsih et al., 1994) serta Australia

(Chadwick et al., 1998) dan menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar.

Page 28: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

261

Penyakit Jembrana yang disebabkan Jembrana Disease Virus (JDV)

sulit dideteksi dengan gejala klinis karena adanya kemiripan gejala dengan

penyakit lainnya. Diagnosa secara serologis (ELISA dan presipitasi antigen-

antibodi) juga tidak bisa dilakukan saat awal infeksi karena sifat JDV dalam

menekan respon imun humoral (IgG dan IgM) (Wareing et al., 1999)

sedangkan ELISA hanya dapat diterapkan apabila sistem kekebalan humoral

sapi yang terinfeksi bereaksi sehingga mampu mensintesis antibodi. Antibodi

terhadap JDV tidak dapat dideteksi pada mayoritas sapi yang terinfeksi pada

awal kejadian penyakit sampai sapi tersebut dapat bertahan dari fase akut

hingga 11 hari pasca infeksi (Hartaningsih et al., 1994).

Jembrana Disease Virus (JDV) memiliki kekerabatan dekat dengan

Bovine Immunodeficiency Virus (BIV) dan dapat terjadi reaksi silang dalam

deteksi secara serologis tanpa adanya antibodi monoklonal. Meskipun upaya

pembuatan antibodi monoklonal protein kapsid 10H1 untuk deteksi BIV

telah dilakukan (Zeng et al., 2001), namun ketersediaan antibodi tersebut

terbatas serta menggunakan teknologi hibridoma sehingga memerlukan biaya

tinggi. Selain itu penelitian selanjutnya dari Desport et al., (2005),

menunjukkan beberapa domain antigenik protein rekombinan gag 10H1 JDV

tersebut belum mampu digunakan untuk membedakan secara serologis JDV

dengan Lentivirus non patogenik lain yang menyerang sapi Bali. Karena

beberapa kelemahan dalam pendekatan metode serologis tersebut maka

diperlukan pendekatan selain secara serologis untuk deteksi JDV. Dalam hal

ini pendekatan genomik memungkinkan untuk dapat digunakan dalam

meningkatkan akurasi, spesifitas dan sensitivitas deteksi lebih dini.

Ketersediaan metode deteksi yang spesifik dan cepat diperlukan

untuk pengawasan kesehatan hewan terutama hewan yang berpotensi untuk

dikembangkan dalam skala peternakan. Dalam hal ini deteksi infeksi viral

yang infeksius penting sebagai upaya pencegahan terjadinya outbreak karena

Page 29: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

262

infeksi virus. Teknik genomik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

RT-PCR .

MATERI DAN METODE

Beberapa sampel darah terinfeksi dari BBVET Kalimantan diisolasi

RNA virus menggunakan High Pure Viral Nucleid Acid Kit dari dari Roche

(Jerman) mengikuti prosedur dari pabriknya. RNA diamplifikasi two-step

RT-PCR yaitu sintesis cDNA menggunakan enzim AMV-RT dari Promega

dimana sampel RNA dan primer reverse (TTTCTCCCCACAGTCCAC)

dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 70oC selama 10 menit lalu didinginkan

dalam es selama 5 menit. Kemudian dicampur dengan komponen sintesis

cDNA lainnya, diinkubasi suhu 37oC selama 60 menit dan dipanaskan suhu

95oC selama 2 menit. Hasil cDNA diamplifikasi menggunakan kit

DreamTaq™Green PCR Master Mix 2X dari Fermentas. Amplifikasi pada

gen target env-tm sepanjang 211 bp menggunakan primer forward

AGAAGCTCAGCGAAGGCA dan backward

TTTCTCCCCACAGTCCAC. Reaksi PCR dilakukan dengan program satu

siklus denaturasi awal pada suhu 95°C selama 5 menit diikuti 30 siklus

masing-masing dengan tahap denaturasi pada suhu 95°C selama 45 detik,

penempelan primer pada suhu 58°C selama 30 detik, perpanjangan pada

suhu 72°C selama 45 detik, dilanjutkan dengan satu siklus untuk

perpanjangan akhir pada suhu 72°C selama 10 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 30: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

263

RNA virus hasil ektraksi di analisis dengan gel elektroforesis 1%

memperlihatkan integritas virus yang masih bagus. Genom virus penyakit

jembrana berbentuk RNA untai tunggal dengan panjang 7732 basa

nukleotida (Chadwick et.al., 1995) terlihat pada sekitar marker DNA 8 kbp.

Keutuhan (integritas) RNA sangat penting jika RNA yang tidak utuh akan

menghambat reaksi amplifikasi (McDowell, 1999). Amplikon hasil RT-PCR

dianalisis dengan elektroforesis gel agaros 1,8% memperlihatkan adanya pita

spesifik pada marker sekitar 200 bp yang menunjukan adanya target virus.

Hal ini menunjukan bahwa RNA hasil ekstraksi memiliki kualitas yang

masih bagus. Walaupun darah EDTA telah disimpan lama, RNA virus masih

dapat diekstraksi dengan baik dalam keadaan utuh.

Gambar 1. Gambaran RNA VPJ dari sampel darah sapi Bali dan Kalimantan hasil ekstraksi pada gel elektroforesis 1%. (1-5) Darah darah terinfeksi; (M) Marker 10 kbp

6 1 2 3 4 5 M

10 kb 9 kb 8 kb

4

Page 31: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

264

Gambar 2. Gambaran amplikon hasil two step RT-PCR dengan sampel sarah sapi Bali pada gel elektrofoesis 1,8%. (1-5) sampel; (M) Marker 1000 bp.

KESIMPULAN

RNA virus penyakit jembrana dapat diisolasi dengan baik dari darah

sapi terinfeksi yang disimpan lama dalam EDTA suhu 4oC.

DAFTAR PUSTAKA

Chadwick, BJ. Coelen, RJ. Wilcox, G.E. Sammels, LM and Kertayadnya, G. (1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus: a bovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. J. Gen Virol., 76: 1637-1650.

Chadwick B.J., Desport M., Brownlie J., Wilcox G.E., Dharma D.M. 1998. Detection of Jembrana disease virus in spleen, lymph nodes, bone marrow and other tissues by in situ hybridization of paraffin-embedded sections. J. Gen Viro.l, 79:101-106.

Desport M., Stewart M.E., Sheridan C.A, Ditcham W.G., Setiyaningsih S., Tenaya W.M., Hartaningsih N., Wilcox G.E. 2005. Recombinant Jembrana Disease Virus gag protein identify several different antigenic domains but do not facilitate serological differentiation of JDV and nonpathogenic bovine lentiviruses. Journal of Virological Methods, 124(1-2):135-42.

M 5 4 3 2 1

1000 bp

200 bp

Page 32: repository.ugm.ac.id43,44,45 Proceeds PPDH Emerging (3 Des 2011) .pdfyang ada dalam cairan asites dipanen, selanjutnya dilakukan isolasi DNA (Sri Hartati et al., 1997). Fragmen DNA

265

Dharma, DM. Ladds, PW. Wilcox, GE. And Champbell, RS. (1994). Immunopathology of experimental jembrana disease in Bali cattle. Vet. Immunolpathol. 44: 31-44.

Hartaningsih N., Wilcox G.E., Kertayadnya G., Astawa M. 1994. Antibody response to Jembrana disease virus in Bali cattle. Vet. Microbiol., 39 (1-2): 15-23.

Kertanyadnya, G. Wilcox, GE. Soeharsono. S. Hartaningsih, N. Coelen, RJ. Cook, RD. Collins, ME and Brownlie, J. (1993). Characteritic of a retrovirus associated with jembrana disease virus in Bali cattles. J. Gen. Virol. 74: 1765-1773.

McDowell, D.(1999). PCR: Factors Affecting Reliability and Validity. In Analitycal Molecular Biology. Quality and Validation. Edited by Ginny C. Saunder and Helen C. Parker. Pp. 58-78. Laboratory of the Government Chemist, Teddington.UK.

Soeharsono, S. Hartaningsih, N. Soetrisno, M. Kertayadnya, G. and Wilcox, GE. (1990) Studies of experimental jembrana disease in Bali cattles I. Transmision and persistence of the infectious agent in ruminant and pig, and resistence of recovery cattle to reinfection. J. Comp. Pathol. 103:49-59.

Soeharsono S, Wilcox GE, Dharma DM, Hartaningsih N, Kertayadnya G and Budiantono A (1995). Species differences in the reaction of cattle to Jembrana disease virus infection. J. Comp. Pathol., 112 : 391-402.

Wareing S., Hartaningsih N., Wilcox G. E., Penhale W. J. 1999. Evidence for immunosuppression associated with Jembrana disease virus infection of cattle Veterinary Microbiology, 68 (1-2):179-185.

Vogt, V.M. (1997). Retroviral Virions and Genome. In Retroviroses, pp.27-69. Edited by J.M. Coffin, S.H. Hughes and H. E. Varmur. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.

Zheng L., Zhang S., Wood C., Kapil S., Wilcox G.E., Loughin T.A., Minocha H.C. 2001. Differentiation of two bovine lentiviruses by a monoclonal antibody on the basis of epitope specifity. Clin Diagn Lab Immunol, 8(2): 283-287.