4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum...
Transcript of 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum...
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Muara Angke mempunyai luas wilayah 67 Ha, terletak di Delta Muara Angke
Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara
astronomis terletak pada (6°6′21″ LS, 106°46′29.8″ BT). Kawasan Muara Angke
secara secara geografis berbatasan dengan:
- Sebelah barat : Kali Angke
- Sebelah selatan : Kali Angke
- Sebelah timur : Jalan Pluit
- Sebelah barat : Laut Jawa
Muara angke secara umum terbagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan
perumahan, kawasan pengolahan hasil perikanan tradisional, kasawan tambak ujicoba
dan kasawan pelabuhan perikanan. Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW)
yiatu RW 01, RW 11, dan RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional
di Muara Angke yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang.
Secara geografi kontur permukaan tanah kawasan Muara Angke datar dengan
ketinggian dari permukaan laut antara 0–1 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai
sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter,
gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini.
Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara
0–1 meter, jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Di
Muara Angke terdapat bagan tancap budidaya kerang hijau yang di kelola secara
swadaya oleh Masyarakat Muara Angke, terutama oleh Masyarakat Blok Empang yang
berada di utara kawasan ini. Jumlah bagan tancap selalu meningkat dari tahun ke tahun,
dan saat ini jumlahnya kurang lebih 250 buah.
4.2. Kondisi Perairan Muara Angke
4.2.1. Kualitas Air
Pada penelitian ini kondisi kualitas Perairan Muara Angke, diwakili oleh kualitas
perairan Kali Angke dan kualitas perairan di lokasi budidaya kerang hijau. Adapun
kualitas air di lokasi penelitian tersebut, yakni suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut
(dissolved oxygen/DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen
54
demand/BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/COD), nurtien
(nitrat/NO3, dan ortofosfat), dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan
timbal (Pb) serta debit Kali Angke dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya keranghijau
No Parameter Kali Angke BM AirSungai
BudidayaKerang Hijau
BM AirLaut
Fisika1 Suhu (oC) 27,8 Alami 28,6 Alami2 Salinitas (‰) 0 Alami 32 Alami
3 Debit (m3/detik) 9,094 – – –Kimia1 pH 6,45 6,0–8,5 7,58 7–8,52 Oksigen terlarut (mg/l) 3,7 3,0 5,6 > 53 BOD (mg/l) 40,06 10 35,85 104 COD (mg/l) 74,03 20 176,52 205 Nitrat (mg/l) 0,066 10 0,043 0,0156 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,5 0,01 0,0087 Merkuri (mg/l) 0,086 0,001 0,043 0,0018 Kadmium (mg/l) 0,011 0,01 0,07 0,0019 Timbal (mg/l) 0,105 0,1 0,005 0,008Keterangan:BM Air sungai: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995BM Air laut: Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004
Suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang
secara langsung berpengaruh terhadap perairan dan secara langsung mempengaruhi
aspek biologi. Hasil pengamatan diperoleh data yang dipengaruhi oleh faktor musim,
cuaca dan lokasi. Suhu permukaan air sungai 27,8 oC dan suhu permukaan air laut
28,6oC. Variasi suhu permukaan dan variasi salinitas di perairan kawasan tropis seperti
Indonesia, umumnya, relatif tidak terlalu jauh. Pengamatan dilakukan pada Nopember
2010-Februari 2011, yang mewakili musim barat dan musim hujan, membuat tingginya
curah hujan yang cenderung tinggi sehingga run off sungai yang besar. Kondisi tersebut
membuat suhu dan salinitas cenderung lebih rendah. Effendi (2003) menyatakan
kisaran suhu yang tepat bagi organisme perairan di tropis dalam 20-30oC. Suhu perairan
tersebut masuk pada kategori normal. Kisaran suhu di lokasi penelitian masuk pada
kategori normal dan relatif mendukung kehidupan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Abowei dan George (2009), suhu air di daerah tropis umumnya bervariasi
55
antara 25 oC dan 35 oC. Namun demikian apabila terjadi peningkatan suhu dan terjadi
penurunan salinitas ada kecenderungan terjadinya peningkatan toksisitas logam berat
(Ahalya et al. 2004).
Derajat keasaman (pH) pada Kali Angke 6,45 yang berarti cenderung asam,
padahal di lokasi pengambilan sampel pengaruh air laut (pasang) sangat besar. Kondisi
pH yang relatif lebih asam diduga karena adanya penguraian bahan organik yang
jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siradz et al. (2008) yang
mengatakan bahwa pH perairan sungai dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain (i)
bahan organik atau limbah organik,mengingat meningkatnya kemasaman dipengaruhi
oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian, (ii)
bahan anorganik atau limbah anorganik, seperti pada air limbah industri yang bahan
anorganiknya umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga
kemasamannya juga tinggi, (iii) basa dan garam basa dalam air, (iv) hujan asam akibat
emisi gas.
Dugaan tingginya bahan organik di Kali Angke didasarkan pada warna air yang
hitam dan bau busuk yang menyengat. Adapun rendahnya derajat keasaman disebabkan
pada penguraian bahan organik akan dihasilkan karbon dioksida, yang jika bereaksi
dengan air akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan
mengakibatkan pH lebih rendah. Sebenarnya dalam air terdapat mineral yang salah
satunya berasal dari air laut (pasang), namun diduga jumlah mineral tersebut masih
lebih sedikit dibanding bahan organik, sehingga air pasang tidak mengakibatkan
tingginya pH air Kali Angke.
Tingginya bahan organik dalam Kali Angke diduga selain bahan organik yang
berasal dari hulu, juga berasal dari banyaknya masyarakat sekitar (warga, pelaku
kegiatan pasar ikan dan TPI Muara Angke) yang membuang sampah hasil kegiatan
langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga dalam sungai tersebut
akan terjadi proses penguraian bahan organik. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Fardiaz (1992), Abowei and George (2009), Adedokun et al. (2008) dan Adeyemo et
al. (2008) yang menyatakan bahwa penguraian bahan organik yang mengandung karbon,
nitrogen, sulfur dan phospat, baik yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein
dalam proses aerobik dan anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya
asam.
56
Derajat keasaman pada lokasi budidaya kerang hijau adalah 7,58, hal ini
memperlihatkan bahwa perairan sekitar lokasi budidaya cenderung bersifat basa, namun
nilai tersebut mendekati nilai normal. Kondisi tersebut menunjukan adanya
ketidakseimbangan CO2 di atmosfer dengan laut. Air laut yang dalam keadaan
seimbang dengan CO2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3
(Supangat dan Muawanah). Kordi (1996) dalam Rahman (2006) dan Effendi (2003)
menyatakan pH dengan kondisi tersebut menunjukan air bersifat alkalis yang berarti
mendukung laju dekomposisi pada perairan sehingga akan menurunkan nilai oksigen
terlarut dalam air. Selain itu kisaran pH tersebut masih mendukung kehidupan yang ada
di dalamnya karena menurut Adeyemo et al. (2008), pertumbuhan organisme perairan
dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5–8,2.
Nilai kelarutan oksigen (dissolved oxygen) di perairan Kali Angke adalah 3,7
mg/l, sedangkan pada bagan tancap budidaya kerang hijau mencapai 5,6 mg/l. Menurut
Effendi (2003) dan Adedokun et al. (2008) pada dasarnya kandungan oksigen terlarut
dalam perairan memiliki pola fluktuasi harian dan musiman, tergantung faktor
percampuran (mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi
dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan. Tingginya masukan limbah
organik dari sungai ke dalam perairan Teluk Jakarta mengakibatkan turunnya
konsentrasi oksigen dalam air, karena oksigen terlarut tersebut dimanfaatkan untuk
penguraian bahan organik yang jumlahnya melimpah di Teluk Jakarta. Selain hal itu
adanya curah hujan yang tinggi pada musim hujan serta adanya angin musim barat
berperan meningkatkan difusi oksigen dari atmosfer baik perairan Kali Angke maupun
di sekitar lokasi budidaya kerang hijau. Kondisi ini akan mempengaruhi toksisitas
logam berat yang ada di dalamnya, karena semakin rendah kadar oksigen dalam air
umumnya akan meningkatkan daya racun logam berat (Bryan 1984; Nordberg et al.
1986; Begum et al. 2009 serta Danazumi dan Bichi 2010).
4.2.1.1. BOD
Biologycal oxygen demand (BOD) merupakan gambaran bahan organik yang
dapat diuraikan oleh mikroorganisme di perairan. Nilai BOD dapat menjadi acuan
sebagai gambaran kadar bahan organik yang dapat terdekomposisi (Davis dan Cornwell
1991; McKinneya 2004; Manahan 2005; Mukhtasor 2007) sekaligus dapat
57
dimanfaatkan untuk menilai tingkat pencemaran suatu perairan (Lee et al. 1978). Hasil
pengamatan terhadap BOD, baik di perairan Kali Angke (40.06 mg/l) maupun di sekitar
bagan tancap kerang hijau (35,85 mg/l) nilainya melebihi bakumutu (10 mg/l).
Menurut Jeffries dan Mills (1996) dalam Effendi (2003) nilai BOD perairan alami
berkisar antara 0,5–7,0 mg/l, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari 10 mg/l
merupakan perairan yang tercemar. Nilai BOD air Kali Angke yang lebih tinggi
dibanding di laut (bagan tancap) menunjukan tingginya buangan domestik, kegiatan
perkotaan dan kegiatan industri di sepanjang Kali Angke menuju Muara Angke
sehingga meningkatkan aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, tetapi
cenderung menurun pada lokasi bagan tancap. Perbedaan nilai BOD tersebut
disebabkan laut bersifat lebih dinamis, sehingga bahan organik yang ada di Muara
Angke tersebar ke lokasi lain, yang pada akhirnya mengakibatkan nilai BOD-nya
menurun, atau dengan kata lain menurunnya BOD tersebut disebabkan oleh adanya
daya pulih air laut. Hal ini juga ditunjukkan pada oksigen terlarut yang lebih tinggi
pada lokasi budidaya dibanding di Sungai Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat
Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa nilai BOD yang tinggi secara langsung
mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak
langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang terlarut.
4.2.1.2. COD
Chemical oxygen demand (COD) mengambarkan total oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik yang relatif lebih sulit terurai oleh mikroorganisme.
Oleh karena itu maka pada COD, oksidasi terjadi pada bahan yang bersifat
biodegradable (mengalami penguraian oleh mikroorganisme) dan yang bersifat non-
biodegradable (tidak mengalami penguraian oleh mikroorganisme) (Novonty dan Olem
1994; Manahan 2005). Nilai COD mengambarkan tingginya pencemaran suatu perairan.
Nilai COD di Kali Angke hampir empat kali lebih besar dari nilai baku mutu COD,
bahkan nilai COD di perairan sekitar budidaya kerang hijau. lebih tinggi lagi, yakni
hampir sembilan kali lipat dari baku mutu yang ditentukan (20 mg/l). Kondisi ini
memperlihatkan bahwa secara umum, pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta sudah
sangat tinggi. Pada dasarnya perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi
58
kepentingan perikanan terutama untuk kegiatan budidaya, sehingga kondisi tersebut
akan menganggu kehidupan biota perairan yang hidup di dalamnya.
Tabel 13 juga memperlihatkan bahwa nilai COD di Kali Angke dua kali lipat nilai
BOD-nya, sedangkan di sekitar bagan budidaya kerang hijau nilai COD-nya lima kali
nilai BOD-nya. Hal ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik yang dapat
didegradasi oleh mikroorganisme lebih tinggi dibanding bahan organik non
biodegradable. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaerts dan Santika (1984) bahwa di
samping terdapat bahan-bahan pencemar organik yang dapat dibiodegradasi oleh
mikroorganisme terdapat juga bahan-bahan yang tidak dapat dibiodegradasi. Selain itu
juga diperkuat oleh pendapat Raja et al. (2008), yang menyatakan bahwa nilai COD
yang lebih tinggi dari nilai BOD mengindikasikan tingginya keberadaan bahan-bahan
organik yang dapat teroksidasi secara kimia terutama adalah bahan-bahan non-
biodegradable.
4.2.1.3. Nutrien
Pada penelitian ini pengukuran nutrien dilakukan dengan tujuan mendapatkan
informasi besaran nutrisi yang masuk dan diterima pada lokasi penelitian. Pada
penelitian ini nutrien yang diambil adalah nitrat dan ortofosfat. Fosfat menjadi faktor
pembatas bagi produsen di air tawar sedangkan nitrogen (nitrat) menjadi faktor
pembatas pada air laut (Odum 1996 dan Effendi 2003).
Hasil pengamatan nitrat di Kali Angke nilainya lebih rendah dari baku mutu
pada air tawar, sedangkan di bagan tancap tempat budidaya kerang hijau lebih tinggi.
Rendahnya nitrat di Kali Angke menunjukan terjadinya dominansi proses denitrifikasi
yang disebabkan oleh rendahnya ketersediaan oksigen terlarut dalam air. Berbeda
dengan Kali Angke, pada lokasi budidaya kerang hijau yang konsentrasi oksigennya
lebih tinggi, maka akan terjadi proses nitirifikasi dari ammonia menjadi nitrit dan
kemudian nitrit akan dioksidasi lagi menjadi nitrat, sehingga konsentrasi nitrat menjadi
lebih tinggi. Adanya proses nitrifikasi di wilayah lebih ke arah laut tersebut sejalan
dengan penelitian Damar (2004) sehingga di wilayah yang lebih dekat ke arah darat
nilai amoniaknya lebih tinggi dari nitrat. Namun di lain pihak, tidak selamanya nitrat
yang tinggi baik untuk ekosistem, karena hasil penelitian Burkholder et al. (1992)
59
memperlihatkan bahwa jika terjadi peningkatan nitrat di perairan, air akan menjadi lebih
toksik bagi tanaman lamun.
Fosfat merupakan nutrien yang harus ada dalam suatu ekosistem, mengingat fosfat
dan nitrat merupakan bahan esensial yang diperlukan oleh produsen di perairan
(Romimohtarto 2008). Namun demikian apabila konsentrasinya berlebih maka fosfat
juga akan menjadi faktor pembatas yang akhirnya membahayakan ekosistem perairan
tersebut. Pada kedua lokasi penelitian, ortofosfat ditemukan lebih tinggi dari baku mutu
yang ditentukan. Nilai fosfat yang tinggi diduga selain berasal dari hasil penguraian
bahan organik, diduga juga sebagai akibat masukan deterjen yang umumnya
mengandung 60 %–65 % bahan pembentuk senyawa polifosfat (Fardiaz 1992; Laws
1993; Sawyer et al. 1994; Manahan 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Adedokun et
al. (2008) yang menyatakan bahwa keberadaan ion posfat dalam air sungai berasal dari
pelepasan limbah pertanian ke dalam sungai dan atau penggunaan aditif posfat dalam
formulasi deterjen (Na5P3O10) yang masuk ke dalam badan air melalui produksi limbah
cair industri, domestik/perkotaan dan atau dari industri pakaian dan pencelupan warna.
Tingginya fosfat dalam perairan dapat menyebabkan penyuburan perairan
(eutrofikasi) secara umum di Teluk Jakarta. Tingginya kandungan fosfat di Teluk
Jakarta ini sejalan dengan pengamatan DPPK DKI Jakarta (2006) yang memperlihatkan
bahwa Teluk Jakarta mengalami eutrofikasi, bahkan di lokasi yang berdekatan dengan
darat dikategorikan hyper-eutrophic (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan pendapat
Adeyemo et al. (2003), yang mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi
dalam perairan dapat menyebabkan eutrofokasi yakni meningkatkan pertumbuhan alga
dan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air.
Gambar 10. Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).
60
4.2.1.4. Logam Berat di Air
Konsentrasi logam berat dalam suatu kawasan ekosistem perairan berkaitan
dengan limbah logam berat yang masuk pada kawasan tersebut, sehingga semakin tinggi
masukan limbah logam, cenderung semakin meningkatkan akumulasinya dalam
ekosistem perairan. Logam berat yang masuk pada suatu ekosistem perairan akan
mengalami berbagai proses yakni pengendapan, pengenceran, dispersi dan absorpsi oleh
organisme yang tinggal pada habitat kawasan ekosistem perairan tersebut (US EPA
1973; Hutagalung 1984; Dahuri 1996). Merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb)
merupakan tiga jenis logam berat yang bermanfaat dan digunakan pada kegiatan
industri tetapi memiliki sifat yang berbahaya dan beracun tidak hanya bagi organisme
perairan tetapi juga pada manusia (Baird, 1995; Volesky 1990; Darmono 2001; Fardiaz
2005; Lu 2006), oleh karenanya maka ketiga jenis logam berat tersebut diamati pada
penelitian ini. Hasil analisis logam berat kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan timbal (Pb)
di Kali Angke dan daerah budidaya kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 13.
4.2.1.4.1. Merkuri (Hg)
Hasil pengamatan logam Hg di Kali Angke (0,086 mg/l) dan bagan tancap
kerang hijau (0,043 mg/l) menunjukan hasil yang cukup tinggi dan melebihi baku mutu
yang ditentukan pemerintah, yakni sebesar 0,001 mg/l. Kandungan Hg di sungai lebih
tinggi dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Neff (2002) bahwa Hg cenderung lebih tinggi di daerah sungai dan estuaria
dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan bahwa merkuri juga akan
berasosiasi dengan suspended material oleh karenanya maka di lokasi bagan tancap
yang dinamika airnya relatif tenang, akan memungkinkan berasosiasinya merkuri
dengan bahan-bahan tersuspensi yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya
kandungan merkuri dalam perairan di sekitar bagan tancap. Selain itu lebih rendahnya
merkuri di sekitar lokasi budidaya kerang hijau, diduga karena Hg yang terlarut dalam
perairan diabsorpsi oleh kerang hijau yang dibudidaya di lokasi tersebut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa merkuri yang terlarut dalam
air akan diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya. Lebih rendahnya kandungan
merkuri di perairan sekitar bagan tancap ini tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak
61
tercemar merkuri, karena dari data kandungan merkuri tetap memperlihatkan bahwa
Perairan Muara Angke secara umum tercemar logam berat merkuri.
Terdapatnya merkuri di lokasi penelitian diduga karena secara alami, merkuri di
perairan bersumber dari pelapukan batuan dan tanah yang kemudian dibawa oleh aliran
air namun jumlahnya sangat sedikit (Volesky 1990). Selain itu merkuri diduga berasal
dari kegiatan industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta, terutama yang berada di
kawasan industri Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990);
Darmono (2001) dan Alfian (2006) yang menyatakan bahwa tingginya peran Hg
sebagai bahan campuran dan utama, dalam segala bidang, terutama industri, akan
meningkatkan masukan merkuri dalam perairan. Selain hal tersebut merkuri yang
berada di lokasi penelitian juga diduga berasal dari kegiatan pertanian (pestisida) yang
terdapat di daerah hulunya. Hal ini sesuai pernyataan Baird (1995); Darmono (1995);
Effendi (2003); Volesky (1990) dan Fardiaz (2005) yang mengatakan bahwa merkuri
dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai bahan produksi pestisida.
Sumber merkuri lainnya diduga dari sampah plastik yang melimpah di Kali Angke, di
sekitar bagan tancap kerang hijau, dan di perairan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan
logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia,
terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik
(Fardiaz 2005).
Adanya merkuri pada lokasi penelitian ini dapat memberikan dampak negatif
pada biota yang hidup di dalamnya. Namun demikian dampak dari terpaparnya suatu
biota perairan oleh merkuri berbeda-beda, tergantung dari organismenya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Neff (2002) setelah terpapar Hg selama beberapa waktu tertentu,
ikan Fundulus heteroclitus akan mengalami gangguan pada penetasan dan terganggunya
perkembangan larva Crassostrea gigas dan Mytilus edulis, namun pada Penaeus indicus
tidak menunjukan efek yang berarti setelah dipapar logam Hg. Penelitian Athena et al.
(2004) juga memperlihatkan bahwa dampak merkuri pada manusia tergantung seberapa
besar konsentrasi yang masuk ke dalam tubuh, sehingga ada yang masuk pada efek akut,
namun dapat pula masuk pada efek kronis. Dampak akut dari masuknya merkuri antara
lain adalah adanya gangguan permanen pada otak, seperti daya ingat, penglihatan,
pendengaran, gangguan respirasi dan pencernaan serta terjadi peningkatan tekanan
62
darah. Dampak kronisnya adalah nefrotoksik yang dikenal gangguan fungsi ginjal
hingga kematian.
4.2.1.4.2. Kadmium (Cd)
Berdasarkan hasil analisis logam kadmium di Kali Angke (0,011 mg/l) dan di
bagan tancap kerang hijau (0,07 mg/l). Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi
kadmium di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yakni sebesar 0,01
mg/l untuk air sungai dan 0,008 mg/l untuk air laut, yang ditentukan pemerintah.
Berbeda dengan Hg, konsentrasi Cd di Kali Angke lebih rendah dibandingkan di
kawasan bagan tancap. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa
konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah laut. Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata
0,42 ppb (Neff 2002) walaupun demikian berdasarkan hasil analisis perairan Muara
Angke dan secara umum perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat kadmium.
Tingginya konsentrasi kadmium disebabkan tingginya aktivitas industri
(Nordberg et al. 1986; Volesky 1990 dan Paasivirta 2000) pada wilayah Jakarta dan
sekitarnya. Tingginya buangan sampah keramik, plastik, baterai, benda elektronik dan
penggunaan plat besi dan baja pada kapal pada wilayah Muara Angke dan Kali Angke
serta asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan diduga
menjadi sumber pencemar kadmium, hal ini sesuai pernyataan Baird, (1995); Darmono
(1995); Volesky (1990) dan Lu (2006).
Mance (1990) menyatakan masuknya Cd sebesar 0,01-0,1 mg/l pada
fitoplankton akan mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O2 ketika
membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika
konsentrasinya menjadi meningkat (Nordberg et al. 1986), bahkan apabila konsentrasi
Cd terlarut 8–85 mg/l dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akut pada ikan estuari.
Menurut Manahan (2001) efek toksik Cd pada manusia terjadi karena tergantinya Zn
pada enzim oleh Cd sehingga timbul efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan
tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah.
Menurut Volesky (1990) efek kronis Cd akan menyebabkan proteinuria dan
terbentuknya batu ginjal dan osteomalacia. Effendi (2003) dan Lu (2006)
menambahkan efek keracunan yang dapat ditimbulkan Cd dapat berupa penyakit paru-
63
paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan
serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Berdasarkan hal tersebut, maka
keberadaan Cd ini di perairan sekitar bagan tancap budidaya kerang hijau pada
umumnya dan di perairan Teluk Jakarta pada khususnya perlu mendapat perhatian yang
sangat serius mengingat konsentrasi Cd walaupun tidak mematikan (akut), namun akan
menimbulkan berbagai masalah terutama terjadinya kerusakan pada berbagai organ
tubuh kerang hijau yang dipelihara di dalamnya, sehingga akan mengganggu kehidupan
kerang hijau dan biota lain yang ada di dalam perairan tersebut.
4.2.1.4.3. Timbal (Pb)
Konsentrasi Pb (plumbum) pada perairan yang belum tercemar umumnya sangat
kecil, yakni 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya menjadi lebih dari 1 μg/L pada
perairan pantai atau perairan teluk (Neff 2002). Pada penelitian ini didapatkan hasil
bahwa konsentrasi logam Pb di Kali Angke 0,105 mg/l dan di sekitar bagan tancap
kerang hijau konsentrasinya 0,05 mg/l. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa
konsentrasi Pb di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang
ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 0,1 mg/l untuk air sungai serta baku mutu untuk
air laut yang ditentukan pemerintah sebesar 0,008 mg/l. Kondisi tersebut
memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke telah tercemar oleh logam berat timbal,
sehingga keberadaan logam berat tersebut sangat perlu diwaspadai, karena akan
mengganggu kehidupan biota yang hidup di dalamnya.
Terdapatnya timbal dalam perairan Kali Angke dan di sekitar bagan tancap
diduga berasal dari kegiatan antropogenik, terutama dari kegiatan industri. Hal ini
sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa sejak terjadinya
revolusi industri tahun 1750 terjadi peningkatan jumlah Pb yang signifikan dan
pencemaran Pb yang sangat progresif (mengikuti logaritmik) terjadi sejak tahun 1930-
an. Namun kegiatan yang juga banyak memberikan sumbangan Pb diduga berasal dari
penggunaan bahan bakar kapal (solar) nelayan untuk kegiatan mencari ikan, untuk
pulang pergi ke lokasi bagan budidaya serta dari kegiatan transportasi di Muara Angke.
Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa pencemaran
Pb yang tinggi berasal dari pembakaran BBM dari kendaraan bermotor, karena pada
solar terdapat timah hitam (Pb) sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan
64
pada perairan. Bahkan Pb bukan hanya berasal dari transportasi di laut, namun juga
berasal dari lalulintas di jalan raya, sehingga pencemaran Pb di permukaan laut dapat
terjadi dari udara sekitarnya, bahkan berasal dari lalulintas yang jaraknya lebih dari 25
km (Volesky 1990). Selain sumber tersebut, dari wawancara penulis dengan
masyarakat nelayan Muara Angke terungkap bahwa masyarakat umumnya akan
membuang aki (baterai kendaraan bermotor) yang sudah tidak terpakai lagi ke dalam
sungai atau laut. Di lain pihak, elektroda dari aki yang dibuang oleh penduduk sekitar
tersebut dapat menjadi sumber pencemar Pb. Sumber Pb lainnya diduga berasal dari cat
pelapis kayu, mengingat timah hitam merupakan bahan campuran cat yang digunakan
untuk melapisi kapal (Volesky 1990; Fardiaz 2005; Lu 2006).
Organisme perairan yang terpapar timbal akan mengalami pengaruh negatif,
seperti pada larva Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister mengakibatkan
terjadinya pertumbuhan abnormal, namun pada makro alga memberikan efek subletal
(Neff 2002). Hal ini terjadi karena logam Pb merupakan racun metabolisme umum dan
inhibitor pada enzim, dalam hal ini Pb memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel
dan dengan biomolekul seperti enzim dan hormon (Paasivirta 2000). Sutrisno (2008)
menambahkan timbal menjadi beracun karena dapat menggantikan kation-kation logam
yang aktif biologis, seperti kalsium dan zink, dari protein-proteinnya. Darmono (1995)
menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam
pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang
diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu
dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal juga dapat menyerang susunan saraf,
saluran pencernaan serta mengakibatkan terjadinya depresi.
4.2.1.5. Beban Pencemaran
Pada penelitian ini analisis beban pencemaran dilakukan untuk mengetahui
sumber, jenis dan besarnya bahan pecemaran yang masuk ke Perairan Muara Angke
pada khususnya dan ke Teluk Jakarta pada umumnya, mengingat masukan limbah yang
di buang melalui sungai akan membebani ekosistem penerimanya. Besarnya beban
pencemaran setiap hari dari Kali Angke untuk beberapa parameter perairan Teluk
Jakarta dapat dilihat pada Tabel 14.
65
Pada paparan sebelumnya dinyatakan bahwa pencemaran air di lokasi penelitian
berasal dari limbah domestik dan industri (Danazumi dan Bichi 2010). Adanya
pencemaran limbah domestik terbukti dari tingginya beban limbah BOD, nitrat dan
fosfat, sedangkan pencemaran dari limbah industri berasal terlihat dari tingginya COD
dan logam berat. Bahan pencemar dari domestik ini akan masuk ke Kali Angke serta
menyebar ke perairan Teluk Jakarta, terutama daerah bagan tancap tempat budidaya
kerang hijau yang dimiliki warga Muara Angke. Konsentrasi bahan pencemar dari
sungai yang masuk ke lokasi penelitian (Teluk Jakarta) ada beberapa parameter yang
konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian
Abowei dan George (2009) yang mengatakan bahwa kegiatan antropogenik di
sepanjang sungai dapat meningkatkan kandungan bahan-bahan pencemar terutama di
bagian muara sungai. Namun demikian parameter-parameter tersebut pada umumnya
mempunyai konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi di sungai. Kondisi ini
terjadi karena nasib bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan mengalami
nasib yang berbeda, namun pada umumnya menjadi rendah karena diencerkan dan
disebarkan sebagai akibat dinamika laut, diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya,
berikatan dengan bahan organik dan anorganik sehingga mengendap ke dasar perairan.
Hal ini sesuai dengan pendapat US EPA (1973) bahwa bahan pencemar yang masuk ke
dalam laut akan mengalami pengenceran dan penyebaran akibat adukan atau turbulensi
sungai dan/atau arus laut, akan mengalami pemekatan karena proses biologi, serta akan
dibawa oleh arus sungai/laut dan oleh organisme atau biota laut.
Tabel 14. Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta
No Parameter Konsentrasi (ppm) Beban (ton/hari) Beban (ton/bulan)1 BOD (mg/l) 40,06 31,4772 944,31592 COD (mg/l) 74,03 58,1692 1745,07503 Nitrat (mg/l) 0,066 0,05186 1,55584 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,04401 1,32015 Merkuri (mg/l) 0,086 0,06757 2,02726 Kadmium (mg/l) 0,011 0,00864 0,25937 Timbal (mg/l) 0,105 0,08250 2,4751
Beban pencemar organik pada saat dilakukan penelitian ini sangat tinggi, yakni
untuk bahan organik yang terurai oleh mikroorganisme (BOD) jumlahnya mencapai
944,3159 ton/bulan dan bahan organik yang terurai secara kimia (COD) jumlahnya
66
mencapai 1745,075 ton/bulan. Selain itu berdasarkan data sekunder, juga terlihat bahwa
beban pencemaran organik (yang dilihat dari nilai COD dan BOD) yang masuk ke
Teluk Jakarta cenderung naik setiap tahunnya. Dalam hal ini terjadi kenaikan bahan
pencemar organik dari tahun 2006 hingga awal tahun 2011, seperti yang tertera pada
Gambar 11.
Gambar 11. Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta2006-2011
Gambar 12. Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun 1870-2010 (Sumber BPS2005-2011)
584,76
1450,78
1745,075
267,03
624,13
944,316
0
500
1000
1500
2000
2006 2008 2011Be
ban
Pe
nce
mar
an(t
on
/bu
lan
)
Tahun
COD
BOD
0
2,000,000
4,000,000
6,000,000
8,000,000
10,000,000
12,000,000
18
70
18
80
18
86
18
95
19
05
19
20
19
28
19
40
19
50
19
61
19
80
20
00
20
06
20
10
Jumlah penduduk
67
Gambar 13. Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun 2006-2010 (Sumber BPS 2005-2011)
Terjadinya peningkatan bahan pencemar organik yang masuk ke dalam perairan
diduga ada kaitannya dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang pada akhirnya
mengakibatkan meningkatnya kegiatan antropogenik, seperti peningkatan aktivitas
penduduk dan aktivitas industri baik yang terjadi di sekitar Kali Angke maupun di
bagian hulunya. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk dan jumlah industri dari
tahun 2006 hingga tahun 2010 yang setiap tahunnya meningkat seperti yang terlihat
pada Gambar 12.
Selain bahan organik, bahan anorganik terutama logam berat di lokasi penelitian
juga sangat tinggi. Logam berat ini pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
suplemen yang harus ada dalam industri terutama industri elektronik. Tingginya logam
berat tersebut di perairan diduga ada kaitannya dengan tingginya pertumbuhan industri
di DKI Jakarta. Dalam hal ini dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri seperti
yang terlihat pada Gambar 13.
4.2.2. Kualitas Sedimen
Pada penelitian ini dilihat kualitas sedimen di Kali Angke dan di lokasi budidaya
kerang hijau, adapun parameter kualitas sedimen yang diamati di sini adalah pH dan
logam berat merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb). Hasil analisis terhadap
kualitas sedimen tersebut dapat dilihat pada Tabel 15
1400
1450
1500
1550
1600
1650
1700
1750
1800
1850
1900
2006 2007 2008 2009 2010 2011
ind
ust
ri
Tahun
68
Tabel 15. Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau
No Parameter Kali Angke BudidayaKerang Hijau
Baku Mutu(level target)
1 pH 5,44 6,18 -2 Merkuri (ppm) 2,363 1,935 0,033 Kadmium (ppm) 1,169 0,962 0,84 Timbal (ppm) 1,171 2,089 85Keterangan:Baku mutu (BM) logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan,sehingga BM logam berat pada sedimen IADC (International Association of Drilling Contractors) /CEDA (Central Dredging Association) (1997) level target yang berarti jika konsentrasi kontaminanyang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yangada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan
Pada penelitian ini diukur nilai pH sedimen, karena nilai pH sedimen
mempunyai hubungan yang cukup erat dengan adsorpsi logam berat pada sedimen. pH
air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan serta dapat
mempengaruhi jenis dan toksisitas dari unsur-unsur renik seperti logam (Saeni 1989;
Voleky 1990). Senada dengan hal tersebut Nordberg et al. (1986); Novotny dan Olem
(1994) dan Volesky (1990) menyatakan bahwa toksisitas logam mengalami peningkatan
pada pH rendah.
pH sedimen di lokasi penelitian berada pada kisaran yang asam, yakni 5,44
untuk sedimen Kali Angke dan 6,18 pada sedimen di daerah budidaya kerang hijau.
Rendahnya pH pada lokasi penelitian menunjukkan tingginya bahan organik dalam
sedimen, sehingga proses dekomposisi pada sedimen juga tinggi. Pada proses
penguraian bahan organik dalam sedimen ini, akan dihasilkan karbon dioksida, dan
apabila karbon dioksida ini bereaksi dengan air sedimen (pore water), sementara di
dalam sedimen tersebut tidak ada mineral, akan menyebabkan kondisi menjadi asam
atau dengan kata lain akan mengakibatkan pH lebih rendah. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Fardiaz (1992) bahwa pemecahan komponen molekul organik yang
mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat yang berasal dari karbohidrat, lemak
atau protein, baik secara aerobik maupun anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida
yang sifatnya asam serta hasil penelitian Adeyemo et al. (2008) bahwa pada perairan
yang menerima bahan organic dalam jumlah banyak derajat keasaman sedimennya
relative rendah.
Nilai pH sedimen Kali Angke lebih rendah dibanding nilai pH di sekitar bagan
tancap. Kali Angke pada dasarnya merupakan kali yang sangat dipengaruhi oleh air laut,
69
melalui proses pasang surut, namun pengaruh air laut ini tidak mengakibatkan tingginya
pH sedimen. Hal ini diduga karena bahan organik yang terdapat pada perairan sungai
jauh lebih besar yang berakibat rendahnya nilai pH seperti yang dinyatakan oleh
Adeyemo et al. (2008), oleh karena itu maka air laut yang masuk ke dalam sungai
tidak mampu menetralkan suasana asam akibat proses penguraian bahan organik dalam
sedimen. pH sedimen di sekitar bagan tancap mendekali netral. Berbeda dengan
sedimen sungai, sedimen yang berada di lokasi bagan tancap yang lokasinya di laut
diduga karena laut yang mempunyai banyak mineral mempunyai kemampuan
menetralkan (buffering system) yang tinggi. Selain itu pada air laut juga terdapat
mineral yang jumlahnya tinggi, sehingga relatif mampu menyangga terjadinya
penurunan pH pada sedimen.
4.2.2.1.Logam Berat di Sedimen
Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke
perairan akan menjadi sedimen. Nordberg et al. (1986); Hutagalung (1991); Novotny
dan Olem (1994), Volesky (1990) dan Asonye et al. (2007) menyatakan bahwa logam
berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-
kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Semakin tinggi
polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan
tersebut dalam sedimen (Sanusi 2006 dan Adeyemo et al. 2008). Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kualitas fisik dan kimia sedimen suatu
perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan.
4.2.2.1.1. Merkuri (Hg)
Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat Hg pada sedimen
Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level
limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Oleh karena itu maka konsentrasi Hg
yang ada di lokasi penelitian berpotensi untuk membahayakan lingkungan dan
organisme perairan yang hidup pada ekosistem tersebut. Pada penelitian ini terlihat
bahwa konsentrasi merkuri di sedimen lebih tinggi dibandingkan pada air Kali Angke
dan di perairan daerah budidaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harahap (1991)
dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) yang juga dilakukan di tempat yang relatif
70
sama. Tingginya Hg pada sedimen diduga karena Hg yang terdapat pada kolom air
bereaksi dengan partikel organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan, dan
selanjutnya akan mengendap ke dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Selain itu
rendahnya pH perairan juga diduga memicu tingginya merkuri dalam sedimen baik di
Kali Angke maupun di sekitar bagan tancap. Hal ini sesuai pernyataan Sanusi (2006)
dan Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa
pH merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+.
Rendahnya pH pada sedimen juga akan memicu peningkatan toksisitas Hg bagi
organisme yang habitatnya di lokasi penelitian.
4.2.2.1.2. Kadmium (Cd)
Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam kadmium pada sedimen
Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level
limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Tingginya nilai Cd pada sedimen
diduga karena beberapa faktor, yakni konsentrasi kadmium yang tinggi pada kedua
lokasi penelitian, tingginya partikel organik dan anorganik yang terlihat dari keruhnya
perairan (berwarna kecoklatan), serta rendahnya nilai pH akan memicu kemungkinan
proses adsorpsi logam berat lebih tinggi seperti yang dinyatakan oleh Asonye et al.
(2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa rendahnya nilai
pH dapat meningkatkan adsorpsi logam berat. Pada konsentrasi tersebut, Cd memiliki
potensi bahaya bagi biota yang hidup di Kali Angke dan kerang hijau yang dibudidaya
di bagan tancap. Sama seperti merkuri, hasil analisis logam berat Cd juga menunjukan
konsentrasi yang lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua
lokasi penelitian.
4.2.2.1.3. Timbal (Pb)
Hasil analisis logam timah hitam pada sedimen Kali Angke dan sedimen di
daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang
ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Adapun penyebabnya, diduga faktor yang sama
mempengaruhi tingginya Hg dan Cd pada sedimen, yakni tingginya konsentrasi Pb
kedua perairan, banyaknya partikel organik dan anorganik di perairan serta rendahnya
nilai pH yang memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi (Asonye et
71
al. 2007; Begum et al. 2009, Danazumi dan Bichi 2010 serta Olubunmi dan Olorunsola
2010). pH perairan membuat timbal mengalami proses hidrolisi menjadi Pb(OH)+
terlarut (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009; Akan et al. 2010). Sama seperti
merkuri dan kadmium, hasil analisis logam berat timah hitam juga menunjukan hasil
lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi.
4.2.3. Kerang Hijau
4.2.3.1. Morfologi
Jumlah contoh kerang hijau yang diambil serta hasil analisis morfologi berupa
ukuran cangkang, berat tubuh serta volume daging kerang hijau hasil budidaya di Muara
Angke dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Sample kerang hijau dengan usia lebih dari
6 bulan dapat dikatakan sulit untuk didapatkan karena petani umumnya memanen
kerang hijau pada usia 4-6 bulan.
Tabel 16. Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancapkerang hijau, Muara Angke
Umur NUkuran cangkang (cm)
Panjang Lebar Tebal
1-2 bulan 240 2,03 ± 0,63 1,14 ± 0,22 0,66 ± 0,35
3-4 bulan 240 4,91 ± 1,26 2,01 ± 0,57 1,81 ± 0,57
5-6 bulan 240 8,51 ± 1,16 5,17 ± 1,60 3,46 ± 1,25
Tabel 17. Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau dibagan tancap kerang hijau, Muara Angke
Umur NBerat tubuh (g) Volume daging
(ml)Total Daging Cangkang
1-2 bulan 240 0,96 ± 0,56 0,36 ± 0,23 0,60 ± 0,35 0,37 ± 0,23
3-4 bulan 240 8,61 ± 1,65 3,38 ± 0,90 5,22 ± 1,16 3,33 ± 0,92
5-6 bulan 240 17,08 ± 0,68 7,49 ± 1,23 9,60 ± 1,41 7,51 ± 1,27
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa panjang, lebar, dan
tebal kerang hijau serta berat tubuh dan volume daging yang didapat pada penelitian ini
(Tabel 16 dan Tabel 17) pada umumnya lebih rendah dibanding kerang hijau pada
kondisi normal, yakni dalam kondisi panjang (mm) normal, pada umur 1-2 bulan adalah
2,13 ± 1,16; pada usia 3-4 bulan adalah 7,175 ± 0,59; pada usia 5-6 bulan adalah 8,79 ±
0,52 (Seed 1976, Sivalingam 1977, Cheong dan Chen 1980, Beales dan Lindley 1982,
72
Valiky 1989, Mohamed et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Riani
(2009) yang mengatakan bahwa pertumbuhan kerang hijau dalam beberapa tahun
terakhir relatif sangat lambat, sehingga usia panen sebelum tahun 1990 adalah tiga
bulan, namun saat ini diperlukan waktu tujuh bulan dari sejak dipasang tali nilon hingga
panen. Hal ini diduga terjadi karena ada pengaruh dari logam berat dalam lingkungan
hidupnya (Tabel 14 dan Tabel 15) yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan kerang
hijau. Rosell (1985) menyatakan akibat kontaminasi merkuri sebesar 100 ppb, Perna
viridis akan mengalami perlambatan kinerja fungsi tubuh. Beales dan Lindley (1982)
menambahkan laju pertumbuhan P. viridis di tempat yang tidak tercemar 9 mm/bulan,
sedangkan yang hidup di lokasi tercemar adalah 5,2 mm/bulan.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Garcia (2001) saat melakukan penelitian
pengaruh konsentrasi logam berat Cu dan Pb di lingkungan tempat hidupnya terhadap
kerang hijau Perna viridis, yang memperlihatkan bahwa logam berat Cu dan Pb dapat
menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase yang
dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi daging kerang. Adanya
hambatan terhadap kedua jenis enzim tersebut mengakibatkan menurunnya
pertumbuhan kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang
menyatakan bahwa kerang hijau yang tubuhnya terkontaminasi oleh logam berat akan
menyebabkan terganggunya sel-sel tubuh kerang hijau tersebut, karena sel-sel tersebut
pada umumnya mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab
terjadinya degenerasi sel tersebut disebabkan oleh terjadinya bioakumulasi logam berat
pada vacuola dari organel lisosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (1989) dan
Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) yang mengatakan bahwa pencemaran logam
Cu dan Cd mengakibatkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel yang
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel. Selanjutnya dikatakan
bahwa logam Cu dan Cd tersebut juga akan mengganggu proses oksidasi, kerja
enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Oleh karena itu maka proses fisiologis di
dalam sel menjadi terganggu, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya
degenerasi sel dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kerang hijau.
73
4.2.3.2. Logam Berat di Kerang Hijau
Hasil analisis akumulasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal dapat dilihat
pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 dan 19 tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi
bioakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Terjadinya bioakumulasi
logam berat dalam tubuh kerang hijau ini sangat dimungkinkan mengingat logam berat
dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup (Baldwin et al.
1999). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat tersebut masuk ke dalam sel tubuh
mahluk hidup melalui lapisan lipida dari dinding sel melalui proses endositosis, melalui
sistem pemompaan dan sistem kelat organik. Oleh karenanya maka konsentrasi logam
berat yang terdapat pada kerang hijau baik yang berumur 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6
bulan tinggi (Tabel 18 dan 19).
Tabel 18 menunjukan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau, selain
hepatopankreas, insang dan tissue daging, juga termasuk di dalamnya gonad, kelenjar
dan saluran pencernaan, otot dan organ lainnya. Logam berat yang telah terakumulasi
pada organ hepatopankreas, insang dan tissue daging (Tabel 19) termasuk logam berat
yang tidak bisa dilepaskan kembali, karena telah berikatan dengan gugus sulfidril
(Manahan 1995, Vouk 1986, Mance 1990, Paasivirta 2000). Pada organ lain terdapat
kemampuan untuk mereduksi logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran
pencernaan akan dibuang bersamaan dengan feses. Pada darah logam berat akan di
fagositasi oleh sel darah putih. Sebenarnya dalam hepatopankreas juga terdapat
cytochrome P450 yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan logam berat dari
tubuh, tetapi karena jumlahnya terbatas, logam berat yang telah masuk dalam tubuh
akan disimpan dahulu, dengan cara di fagositasi oleh sel pada hepatopankreas, dan
nantinya akan dibuang (De-Faverney et al. 2001, Garza et al. 2006). Disisi lain, karena
afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan
gugus sulfidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Bryan
1976).
Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik
yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada di luar ambang batas yang
ditentukan. Logam berat mengalami peningkatan hingga bulan ke 5-6, namun demikian
konsentrasi logam berat yang relatif tinggi di Perairan Muara Angke tersebut tidak
mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa
74
Tabel 18. Kandungan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau di bagan tancap
kerang hijau, Muara Angke
Konsentrasi 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan
Hg (μg/g bk) 35.47 ± 7.17 205.72 ± 49.46 209.82 ± 35.58 Cd (μg/g bk) 0.07 ± 0.03 0.08 ± 0.03 0.15 ± 0.03 Pb (μg/g bk) 17.12 ± 11.72 33.51 ± 6.44 41.94 ± 1.92
Tabel 19. Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan
insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke
UmurKandungan Hg (μg/g bk) Kandungan Cd (μg/g bk) Kandungan Pb (μg/g bk)
TD H I TD H I TD H I
1-2 bulan 1,76 12,232 6,066 0 0,034 0 0,318 5,146 1,431
3-4 bulan 2,347 71,657 11,04 0 0,053 0 0,767 8,33 2,727
5-6 bulan 4,35 88,886 23,133 0,01 0,06 0,01 1,09 15,691 2,786
Keterangan TD: Tissue Daging; H: Hepatopankreas; I: Insang/Ctenedium
Konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada
konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Hal ini sesuai
dengan pendapat Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) yang mengatakan bahwa
pada konsentrasi dengan toksisitas akut akan mengakibatkan kematian, yang umumnya
ditandai dengan terjadinya kematian masal. Selanjutnya dikatakan bahwa pada
konsentrasi dengan toksisitas kronis tidak mengakibatkan kematian namun pada
umumnya akan berdampak negatif terhadap berbagai organ tubuh dan dapat
mengakibatkan kecacatan bawaan pada larva kerang hijau.
Pada Tabel 18 terlihat bahwa terjadi kenaikan konsentrasi logam berat Hg, Cd
dan Pb pada tubuh kerang hijau dari usia satu hingga enam bulan. Terjadinya kenaikan
akumulasi Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau yang semakin tua, diduga karena ketiga
logam berat yang sudah terakumulasi dalam tubuh kerang hijau bersifat irreversible
(Bryan, 1976), sehingga logam berat yang sudah terakumulasi tidak akan lepas kembali
dan dengan adanya akumulasi baru, maka logam berat tersebut akan semakin meningkat.
Oleh karenanya maka semakin tua kerang hijau, baik Hg, Cd maupun Pb yang
terakumulasi pada tubuh kerang hijau juga semakin meningkat. Hal ini juga terlihat
pada Tabel 19 yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia kerang hijau, semakin
meningkat kandungan logam berat pada organ tubuh daging, hepatopankreas dan insang
kerang hijau.
75
Kondisi perairan Teluk Jakarta yang juga telah tercemar logam berat tidak
membuat mati kerang hijau yang di budidaya ini sesuai dengan hasil penelitian Riani
(2004), yang mengatakan bahwa konsentrasi logam berat masih belum mematikan,
namun logam berat tersebut terakumulasi pada organ tertentu seperti insang dan
hepatopankreas dan telah menyebabkan kerusakan pada ke dua organ tersebut. Hal ini
terbukti dari hasil analisa pada Tabel 18. Tabel 18 memperlihatkan bahwa seluruh
logam berat yang dianalisis pada penelitian ini terakumulasi pada kerang hijau. Organ
yang paling banyak mengakumulasi adalah hepatopankreas. Logam berat yang paling
tinggi terakumulasi adalah merkuri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004)
yang menyatakan kerang hijau mampu menyerap logam merkuri dan menyimpannya
dalam tubuhnya dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai
biofilter logam berat terutama Hg (Riani 2006) dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi
perairan tercemar logam berat (Riani 2009). Volesky (1990), Neff (2002) dan Ahalya et
al. (2004) menyatakan setiap organisme dapat mengakumulasi logam berat berbeda
pada tiap jaringan atau organnya. Hal ini tampak pada krustasea Nephrops norvegica
mengakumulasi merkuri di bagian insang dan hepatopankreasnya. Paasivirta (2000)
menambahkan akumulasi paling tinggi Cd pada kima (Crasostrea gigas) pada bagian
ginjal, sedangkan pada lobster dengan konsentrasi yang paling banyak ditemukan pada
organ hepatopankreas. Neff (2002) menambahkan kebanyakan organisme air
mengakumulasi logam timbal pada bagian insang dan mantel (Neff 2002). Di dalam sel,
timbal akan terkonsentrasi pada mitokondria, sehingga menyebabkan terjadinya
kerusakan dan menurunkan fungsinya. Hasil tersebut juga menggambarkan semakin
besar ukuran kerang hijau dan semakin lama umur dari kerang hijau akan semakin
memperbesar kemungkinan akumulasi logam berat pada kerang hijau yang di budidaya
tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Riani (2004) yang menyatakan semakin besar
ukuran kerang hijau dan lamanya menetap kerang hijau akan meningkatkan konsentrasi
logam berat pada kerang hijau.
Kandungan logam berat pada kerang hijau ini cukup membahayakan bagi yang
mengkonsumsinya, karena semua parameter logam berat yang diukur pada penelitian ini
telah melebihi baku mutu yang telah ditentukan oleh berbagai organisasi. Untuk logam
berat merkuri, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, RI (BPOM-RI) menyatakan
konsentrasi maksimum merkuri yang diizinkan adalah 0,5 mg/kg, sedangkan FAO-
76
WHO PBB menyatakan maksimum konsentrasi adalah 0,03 ppm. Vettorazzi dalam
Darmono (2001) merekomendasikan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) total
Hg dalam makanan 5 ppb sedangkan untuk metil-merkuri sebesar 3,3 ppb. Konsentrasi
maksikum merkuri dalam makanan menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001
adalah 0,5 mg/kg. BPOM-RI menambahkan untuk logam berat kadmium dalam
makanan maksimum 2 mg/kg. The Codex Committee on Food Additive and
Contaminants (2006) menyatakan nilai maksimum kadmium pada makanan 0,4 mg/kg.
Menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 konsentrasi maksimum kadmium adalah
1 mg/kg. Kandungan logam berat jenis timah hitam maksimum pada makanan
berdasarkan persyaratan BPOM-RI adalah 2 mg/kg sedangkan standar Uni Eropa EC
No. 466/2001 yaitu 1 mg/kg.
Dalam kondisi yang melebihi baku mutu tersebut, Volesky (1990), Ahalya et al.
(2004) serta Ochiai (1977) dalam Palar (2004) menyatakan logam berat, terutama Hg,
Pb dan Sn memiliki kemampuan larut dalam lemak, sehingga mampu melakukan
penetrasi pada dinding membran sel. Kondisi tersebut membuat logam berat mampu
terakumulasi pada sel, jaringan dan organ dari suatu organisme. Lebih lanjut (Ochiai
1987; Volesky 1990; Olsson 1998 dan Ahalya et al. 2004) menambahkan toksisitas
logam berat timbul karena mekanisme, proses “penyerangan” ikatan sulfida pada
gugusan biomolekul yang penting untuk proses biologi seperti struktur protein dan
enzim sehingga menimbulkan kerusakan pada stuktur yang diserang. Ikatan sulfida
berubah karena ion logam berat menggantikan ion logam yang esensial. Logam berat
yang menempel pada gugusan molekul tersebut akan memodifikasi sehingga protein
dan enzim tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, seperti terganggunya aktifitas
enzim. Dalam kondisi ini menyebabkan terganggunya metabolisme pada tingkat sel,
sehingga sel tersebut menjadi lisis dan akhirnya lemah serta rusak. Viarengo (1980);
Volesky (1990); Olsson 1998 dan Ahalya et al. (2004) menambahkan bahwa logam
berat akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada sel, terutama pada organel
lisosomnya. Logam berat tersebut memodifikasi proses enzim yang ada dan
mengganggu serta menggantikan ion Ca sehingga mempengaruhi oksidasi. Hal ini
sesuai dengan penelitian Gosling (1992) yang mengatakan bahwa gamet kerang genus
Mytilus yang berasal dari kawasan perairan tercemar logam berat akan mengalami
77
degenerasi atau mengalami pembengkakan sel. Kondisi ini timbul jika sel tidak dapat
mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel.
4.2.3.3. Malformasi
Perkembangan struktur tubuh organisme secara abnormal yang disebabkan
mutasi genetik, infeksi, obat-obatan, pengaruh lingkungan dan atau interaksi dari hal
tersebut disebut deformasi atau malformasi (Encyclopædia Britannica 2011). Pada
perairan yang tercemar bahan beracun terutama logam berat akan memperbesar
kemungkinan terjadikan kejadian deformitas tersebut. Darmono (1995) menyebutkan,
logam berat dalam perairan ada dalam bentuk ion kemudian di absorpsi dan akhirnya
terakumulasi dalam hewan air, terutama bentos. Walaupun demikian, pengaruh logam
berat tersebut sifatnya jangka panjang. Contoh kejadian malformasi adalah logam berat
tributiltin yang menganggu enzim pada proses kalsifikasi cangkang (Alzieu) berupa
kecenderungan menggelembungkan cangkangnya dan terbentuknya alur pertumbuhan
seperti pelapisan yang kasar.
Tabel 20. Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau
Umur Kerang Jumlah Malformasi Persentase Malformasi
Total 720 96 13,33%
Bulan 1-2 240 4 1,67%Bulan 3-4 240 44 18,33%Bulan 5-6 240 48 20,00%
Tabel 21. Analisa kandungan logam berat per individu
Umur Kandungan logam berat per-individu
Hg (μg/ind) Pb (μg/ind) Cd (μg/ind)
1-2 bulan 1,288 0,622 0,0033-4 bulan 69,597 11,335 0,0265-6 bulan 163,511 32,684 0,119
Pada penelitian ini malformasi dilihat dari ukuran tebal lebih besar
dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil analisis malformasi dapat dilihat pada Tabel 20.
Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar
dibandingkan lebarnya. Hal ini terjadi karena menurut Ochiai (1987) ion-ion logam
berat seperti Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak dan mampu melakukan penetrasi
78
pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi
di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan
menyebabkan terganggunya aktifitas enzim dan metabolisme dalam sel, sehingga
perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Lebih jauh Viarengo
(1989); Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) mengatakan bahwa sel yang telah
mengalami akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau
lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya malformasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang
mengatakan bahwa tindak lanjut dari proses bioakumulasi logam berat yang toksik
dalam tubuh kerang hijau M. edulis akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel,
sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Selain Gosling (1992), Viarengo et
al. (1981) juga mengatakan bahwa contoh biota yang melakukan proses transformasi
tersebut sehingga mengalami malformasi adalah kerang genus Mytilus. Berdasarkan hal
tersebut, maka sangat wajar jika kerang hijau yang diteliti oleh penulis, yakni yang
hidup di Perairan Muara Angke dengan lingkungan hidupnya yang tercemar logam
berat dan tubuhnya terkontaminasi logam berat, mengalami malformasi.
Terjadinya malformasi pada kerang hijau yang diteliti di sini diduga terjadi
karena logam berat yang terdapat pada embrio kerang hijau tersebut akan mengganggu
pembelahan sel. Hal ini terjadi karena setelah terjadi pembuahan sel telur oleh sperma
selanjutnya akan terjadi pembelahan sel, padahal pembelahan sel merupakan satu fase
yang sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan, mengingat terjadinya perubahan
pada saat terjadinya pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan susunan kromosom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian De-
Faverney et al. (2001) bahwa logam berat seperti merkuri akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada DNA, serta akan mempengaruhi transkripsi DNA (Liu 2010).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dixon (1982) pada kerang biru (M. edulis) yang
mendapatkan bahwa akibat pencemaran logam yang berkepanjangan dapat
menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan
menyebabkan abrasi kromosom, sehingga mengakibatkan terjadinya malformasi pada
kerang biru tersebut. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ercal et al. (2001) yang
mengatakan bahwa logam berat toksik seperti Pb, Cd dan Hg dapat mengakibatkan
teroksidasinya asam nukleat pada DNA yang akan mengakibatkan gangguan pada
79
perbaikan DNA, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya mutasi gen, terjadinya
kanker dan teratogenik. Menurut Fichet et al. (1998) pada organisme tingkat tinggi
serta pada larva moluska, adanya sel-sel yang mengalami mutagen tersebut
diekspresikan pada fenotif dalam bentuk tubuh yang tidak sempurna (malformasi).
Adapun terjadinya kerusakan permanen dan mutasi pada DNA tersebut, salah satunya
dapat diakibatkan karena Pb mengikat nucleus, dan menghambat kegiatan nucleus
tersebut (Garza et al. 2006). Oleh karenanya maka pencemaran logam berat terutama
Pb dan Cd dapat mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang hijau. Ditinjau dari
umurnya, terdapat kecenderungan semakin lama umur kerang hijau, maka malformasi
yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang
semakin besar, seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau.
Pada Tabel 20 terlihat bahwa semakin tua kerang hijau semakin banyak yang
mengalami malformasi, dan terkesan malformasinya semakin terlihat dengan jelas
(Gambar 14). Hal ini diduga ada kaitannya dengan konsentrasi logam berat yang
terakumulasi pada kerang hijau, yakni semakin tinggi akumulasi logam berat pada
kerang hijau, semakin tinggi prosentase malformasi pada kerang hijau (Tabel 18, 19 dan
21). Adapun hubungan antara konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh
dan terjadinya malformasi ini diduga lebih disebabkan oleh logam berat Pb dan Cd,
mengingat Pb dan Cd merupakan logam yang mempunyai sifat mirip Ca, dan dapat
mensubtitusi Ca (Heath 1987 dan Volesky 1990). Pada kerang hijau, Ca paling banyak
terdapat pada cangkang, padahal cangkang merupakan pelindung tubuh yang
berhubungan langsung dengan lingkungan. Di lain pihak lingkungan yang ditempati
kerang hijau adalah lingkungan yang tercemar logam berat, oleh karenanya diduga
semakin bertambah umur kerang hijau akan semakin tinggi akumulasi Pb dan Cd pada
cangkangnya, sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan
bentuk cangkang, sehingga pada umur yang lebih tua malformasi semakin terlihat
dengan jelas dan presentase kerang yang lebih tua yang mengalami malformasi semakin
tinggi.
80
(b)
Keterangan (a) kerang normal (valiky 1989);
umur 3-4 bulan; (d) sample kerang umur 5
Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau
4.2.4. Pemodelan Akumulasi Logam Berat
Pemodelan yang disusun
pencemaran dan sub-model akumulasi
model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau
di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan
penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh
pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa
perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem
(lingkungan). Peubah penting diturunkan
identifikasi sistem ditunjukan
Dalam suatu sistem terdapat masukan (
Input terbagi menjadi tiga,
Input lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI
Jakarta). Input terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni
peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi
(a)
(c)
kerang normal (valiky 1989); (b) sample kerang umur 1-2 bulan;
sample kerang umur 5-6 bulan
Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau
Akumulasi Logam Berat
Pemodelan yang disusun pada penelitian ini, dibangun oleh sub model beban
model akumulasi logam berat pada kerang hijau. Kedua sub
model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau
di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan
penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh
pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa
perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem
(lingkungan). Peubah penting diturunkan berdasarkan formulasi masalah dan
entifikasi sistem ditunjukan oleh diagram input-output (Gambar 9).
Dalam suatu sistem terdapat masukan (input) yang memiliki luaran (
terbagi menjadi tiga, input lingkungan, input terkontrol dan input
lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI
terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni
peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi
(d)
2 bulan; (c) sample kerang
ini, dibangun oleh sub model beban
pada kerang hijau. Kedua sub-
model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau
di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan
penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh logam berat dan
pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa
perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem
berdasarkan formulasi masalah dan
) yang memiliki luaran (output).
tidak terkontrol.
lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI
terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni
peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi
81
masyarakat. Masukan terakhir pada sistem adalah input tak terkontol yang merupakan
masukan yang sulit untuk dikendalikan yakni limbah, debit air, iklim dan jumlah
penduduk. Ketiga input tersebut akan menghasikan luaran (output) yang diharapkan
dan dapat pula tidak diharapkan. Adanya manajemen pengendalian, diharapkan output
tersebut dapat dikonversi menjadi luaran yang dapat dikendalikan. Luaran yang
diharapkan dari pemodelan ini adalah beban pencemaran menurun, kualitas air
memenuhi baku mutu, bioakumulasi minimal dan tidak ada malformasi kerang,
sehingga atas dasar komponen yang dirunut menjadi variabel tersebut, pemodelan
sistem dinamik akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta dibuat.
Pada pembuatan model ini dibuat beberapa asumsi seperti kondisi perairan
homogen, yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan malformasi adalah logam
berat yang mempunyai toksisitas tinggi yakni Hg, Cd dan Pb. Asumsi lain yang
digunakan di sini adalah pengaruh bahan pencemar lain selain logam berat adalah kecil.
4.2.4.1. Sub Model Beban Pencemaran
Sub model ini merupakan bagian dari pemodelan akumulasi logam berat untuk
mengetahui variabel jumlah total limbah yang masuk dari muara sungai menuju Teluk
Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada
Gambar 15, selanjutnya diagram stock flow submodel beban pencemaran dapat dilihat
pada Gambar 16.
konsentrasibahan
pencemar
debit airmuara sungai
total bebanpencemaran
kapasitasasimilasi
+
+
+
-
rasio bebanpencemaran dan
kapasitas asimilasi
limbahdomestik
limbahindustri
++
Gambar 15. Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran
82
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sub
model beban pencemaran yang menjadi sumber pencemar adalah kegiatan industri dan
kegiatan domestik, dampaknya adalah peningkatan limbah cair sehingga menurunkan
kualitas ekosistem badan air penerimanya, dalam hal ini adalah penurunan kapasitas
asimilasi. Pencemaran lingkungan perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh pencemaran
akibat dibuangnya sampah dan pencemaran limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu ke
sungai yang berimplikasi pada kualitas lingkungan, yakni terjadinya pencemaran pada
badan air penerimanya yaitu ekosistem perairan Teluk Jakarta. Disamping hal tersebut
dapat dikatakan bahwa terjadinya pencemaran bersumber dari ketidakmampuan pihak-
pihak yang menghasilkan limbah cair untuk membersihkan air limbahnya, yang diduga
karena mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah limbah (IPAL) dan mahalnya serta
sulitnya dalam hal pengoperasian.
Gambar 16. Diagram stock flow submodel beban pencemaran
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat
tujuh variabel yang paling berpengaruh terhadap sub model pencemaran beban
bebanCODrii lbebanCOD
KACOD
debit
KonsCODperTh
KABOD
bebanBODriil
bebanBOD
KANO3
KonsBODperTh
bebanNO3
KonsPO4perThbebanPO4
KonsNO3perTh
KAPO4 bebanPO4rii l
bebanNO3rii l
bebanHgKonsHgPerTh
bebanHgRiilKAHg
bebanCdKonsCdPerTh
bebanCdRiilKACd
bebanPb KonsPbPerTh
bebanPbRiilKAPb
pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta,
3)NO3, 4) PO4, 5) logam
logam berat timah hitam (Pb)
yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar
4.2.4.2. Simulasi Sub Model Beban Pencemaran
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun
terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap
permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri
antara lain : 1) beban masukan
logam berat ke Teluk Jakarta
logam berat pada kerang hijau
tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.
Sub model beban pencemaran
Gambar 17. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari
Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada
beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban
NO3- dan beban PO4
3-.
pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta, antara lain : 1)
logam berat merkuri (Hg), 6) logam berat kadmium (Cd)
(Pb). Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan
yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar
Sub Model Beban Pencemaran
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa
terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap model kebijakan pengelolaan
permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri
ban masukan bahan organik ke Teluk Jakarta, 2)
logam berat ke Teluk Jakarta, 3) akumulasi logam berat pada sedimen dan
logam berat pada kerang hijau serta 5) kapasitas asimilasi. Kondisi (state
tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.
beban pencemaran di masa datang disajikan pada Gambar 17
Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, NO
Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada
beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban BOD, beban
. Beban BOD dari tahun 2011 sebesar 3715,53 ton
83
antara lain : 1) COD, 2) BOD,
admium (Cd) dan 7)
. Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan
yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar 16.
diketahui bahwa
model kebijakan pengelolaan
permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri
, 2) beban masukan
dan 4) akumulasi
state) faktor-faktor
tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.
7.
OD, NO3 dan PO4
Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada
OD, beban COD, beban
3715,53 ton/tahun
84
menjadi 11784,8 ton/tahun
menjadi 30546,01 ton/tahun
beban COD, yang juga terus
2011 sebesar 33511,61 ton/tahun
menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada
NO3 yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun
2015 dan menjadi 20,22 ton/tahun pada tahu
NO3, ternyata PO4 pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar
8,33 ton/tahun menjadi 10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun
pada tahun 2020. Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan
posfat, mengingat menurut Odum
perbandingannya di luar dari 16:1 akan menjadi fa
tingginya fosfor dapat mengakibatk
memfiksasi nitrogen dari udara bebas.
Gambar 18. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)
Pada simulasi Beban masukan
memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada
organic yang terlihat dari beban
2011 sebesar 1,46 ton/tahun
tahun pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat
ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada
juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini
33511,61 ton/tahun, menjadi 36351,36 ton/tahun pada tahun
menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada
yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun
20,22 ton/tahun pada tahun 2020. Seperti halnya BOD, COD dan
pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar
10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun
Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan
posfat, mengingat menurut Odum (1996) imbangan antara nitrogen dan p
ar dari 16:1 akan menjadi faktor pembatas. Dalam hal ini
tingginya fosfor dapat mengakibatkan terjadinya blooming plankton
memfiksasi nitrogen dari udara bebas.
Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)
Beban masukan logam berat Hg, Cd, Pb ke Teluk Jakarta
memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah
organic yang terlihat dari beban logam berat Hg, Cd dan Pb. Beban
ton/tahun menjadi 1,66 ton/tahun pada tahun 2015,
kemudian cenderung terus meningkat
Demikian halnya yang terjadi pada
dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun
pada tahun 2015, dan
menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada
yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun
n 2020. Seperti halnya BOD, COD dan
pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar
10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun
Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan
imbangan antara nitrogen dan posfor jika
. Dalam hal ini
plankton yang dapat
Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)
ke Teluk Jakarta
beban pencemaran limbah
. Beban Hg pada tahun
2015, kemudian
85
cenderung terus meningkat menjadi 1,91 ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya
yang terjadi pada beban logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun,
dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 0,15 ton/tahun, menjadi 0,58 ton/tahun pada
tahun 2015, dan sangat meningkat tajam menjadi 2,68 ton/tahun pada tahun 2020.
Kondisi yang sama juga terjadi pada logam berat Pb yakni sebesar 1,9 ton/tahun pada
tahun 2011, menjadi 2,01 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 2,22 ton/tahun pada
tahun 2020 (Gambar 18).
4.2.4.3.Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau
Sub model yang kedua bertujuan untuk mengetahui variabel akumulasi limbah
logam berat yang terakumulasi pada sedimen dan pada kerang hijau di perairan Teluk
Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada
Gambar 19. Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa
sumber utama sub model akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau adalah
konsentrasi logam berat yang ada di perairan laut Teluk Jakarta yang berasal dari
kegiatan industri dan kegiatan domestik, karena sifat kesetimbangan dampaknya
terakumulasinya logam berat pada sedimen dan kemampuan penyerapan kerang hijau
terhadap pencemar yang sangat baik mengakibatkan akumulasi logam berat pada organ
tubuhnya.
Akumulasilogam beratdi sedimen
Akumulasilogam berat dikerang hijau
Akumulasilogam beratdi kolom air
konsentrasipencemar
logam berat
+
+ +
+
+
+
Gambar 19. Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan
kerang hijau
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat
variabel yang paling berpengaruh terhadap akumulasi logam berat pada sedimen dan
pada kerang hijau, antara lain : 1) logam berat merkuri (Hg) 2) logam berat cadmium
86
(Cd) 3) logam berat timbal (Pb) yang ada di air, sedimen dan pada kerang hijau.
Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap
variabel yang diteliti, selengkapnya tersaji pada Gambar 20.
Gambar 20. Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan
kerang hijau
4.2.4.4. Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau
Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada sedimen di Teluk Jakarta
memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd,
Pb. Akumulasi logam berat Hg pada sedimen, yakni pada tahun 2011 sebesar 1,45 ppm
menjadi 2,57 ppm pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 4,3
ppm pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd,
yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar
1,41 ppm, meningkat sangat tajam menjadi 5,23 ppm pada tahun 2015, dan sangat
meningkat tajam lagi menjadi 19,66 ppm pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga
terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada sedimen yakni sebesar 0,57 ppm pada tahun
2011, menjadi 0,98 ppm pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 1,71 ppm pada
tahun 2020 (Gambar 21).
Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau di Teluk
Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat
Hg, Cd, Pb pada kerang hijau. Akumulasi logam berat Hg pada kerang hijau, yakni
pada tahun 2011 sebesar 138,24 μg/g bk menjadi 206,03 μg/g bk pada tahun 2015,
AkumHgSedAkumCdSed
AkumPbSed
AkumHgKH AkumCdKH AkumPbKH
debit
bebanHgKonsHgPerTh
bebanHgRiilKAHg
bebanCdKonsCdPerTh
bebanCdRiilKACd
bebanPb KonsPbPerTh
bebanPbRiilKAPb
kemudian cenderung terus meningkat menjadi
Demikian halnya yang terjadi pada
meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini
meningkat sangat tajam men
tajam lagi menjadi 24.94 μg/g bk pada tahun 2020.
Gambar
Gambar 22
kemudian cenderung terus meningkat menjadi 263.9 μg/g bk pada tahun
Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang
dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 9.68 μg/g bk ,
ingkat sangat tajam menjadi 18.65 μg/g bk pada tahun 2015, dan sangat meningkat
tajam lagi menjadi 24.94 μg/g bk pada tahun 2020.
Gambar 21. Akumulasi logam berat pada sedimen
2. Akumulasi logam berat pada kerang hijau
87
pada tahun 2020.
yang juga terus
sar 9.68 μg/g bk ,
dan sangat meningkat
88
Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada kerang hijau
yakni walau tidak besar tapi terjadi peningkatan dari tahun ke tahun yakni sebesar 1.37
μg/g bk pada tahun 2011, menjadi 1.71 μg/g bk pada tahun 2015 dan meningkat tajam
menjadi 2.53 μg/g bk pada tahun 2020 (Gambar 22). Terjadinya peningkatan
akumulasi yang relative rendah dari logam berat Pb pada kerang hijau diduga karena
kelarutan Pb dalam air yang sangat rendah (Volesky, 1990).
4.2.5. Validasi Model
Model merupakan salah satu cara untuk menggambarkan perilaku sistem nyata
dengan cara menyederhanakan fakta sehingga perilaku sistem dapat dipahami lebih
mudah, walaupun demikian model tidak akan sama dengan sistem nyata sehingga
dibutuhkan validasi yang bertujuan menggambarkan hasil model dengan hasil data yang
mewakili sistem nyata. Eriyatno (2003) menyatakan validasi model bertujuan
mengetahui apakah model yang dibuat sesuai dan dapat mewakili realitas sistem nyata.
Dalam sistem dinamik, proses validasi model dibagi menjadi dua kriteria validasi, yakni
validasi struktur dan validasi perilaku model (output model).
Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem.
Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian.
Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami
mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan
untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena
pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak
berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan
apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan
meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. Validasi perilaku
model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat
digunakan: 1) Absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai
rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual dan 2) Absolute variation error
(AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual.
Berdasarkan validasi yang telah dilakukan, nilai AME dan AVE dari seluruh
konsentrasi pencemar hasil riil dan model kurang dari 10%. Menurut Barlas (1996) dan
89
Muhammadi et al. (2001) batas penyimpangan yang diizinkan untuk pemodelan sistem
dinamik <10%, hal tersebut menunjukan bahwa model akumulasi pemodelan di perairan
Teluk Jakarta mampu mensimulasikan perubahan yang terjadi.
Tabel 22. Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari
konsentrasi pencemar
TahunBOD COD NO3 PO4
riil model riil model riil model riil model
2006 73.564 77.179 120.815 115.18 0.043 0.05 0.7 0.8
2007 130.52 133.33 72.77 90.74 0.073 0.07 1.466 1.31
2008 147.42 146.89 118.75 125.59 0.03 0.04 1.178 1.33
2009 138.72 140.45 58.57 60.71 0.08 0.06 0.328 0.36
2010 156.28 154 164.72 133.1 0.068 0.07 0.89 0.79
2011 135.85 167.56 176.52 185.78 0.043 0.07 0.01 0.42
Rata-rata 130.73 136.57 118.691 118.52 0.0562 0.06 0.762 0.835
AME 2.623144747 2.025822478 2.14372448 8.858433424
varian 2306.1 984.71 2238.13 1782.3 0.0004 0.0002 0.289 0.1744
AVE 1.341927514 0.255775069 1.528541667 0.65497722
Tahun Hg Cd Pb
riil model riil model riil model
2006 0.0595 0.06 0.01 0.02 0.0922 0.09
2007 0.062 0.06 0.02 0.02 0.0928 0.09
2008 0.0648 0.07 0.0211 0.03 0.0934 0.09
2009 0.0678 0.07 0.0236 0.03 0.0939 0.09
2010 0.071 0.07 0.0375 0.04 0.0945 0.09
2011 0.073 0.07 0.045 0.05 0.005 0.09
Rata-rata 0.0534 0.061 0.0246 0.0317 0.0798 0.09
AME 7.010653241 4.332385 3.749295952
varian 0.0004 8E-05 0.000613 0.000137 0.0008 2E-34
AVE 4.261516157 3.48495276 3.96429E+30
4.2.6. Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan
Akumulasi Logam Berat
Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh
langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yaitu (1) skenario pesimis, (2) skenario
moderat, dan (3) skenario optimis. Skenario optimis dan moderat dibangun berdasarkan
keadaan (state) faktor kunci, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
sudah berjalan dengan skala “cukup baik” untuk skenario moderat dan skala “baik”
90
untuk skenario optimis dalam pengendalian beban pencemaran di Teluk Jakarta dan
akumulasi logam berat. Skenario optimis dan skenario moderat merupakan keadaan
masa depan yang mungkin terjadi yang diperhitungkan dengan penuh pertimbangan
sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki.
Skenario pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition), dengan
pengertian bahwa walaupun sudah memiliki usaha pengelolaan namun belum
mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan
sehingga tidak memiliki prospek pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang
berpandangan jauh ke depan.
Asumsi yang di gunakan adalah tingkat efektivitas baik di pemukiman dan
industri IPAL akan mengurangi 70-90% limbah yang keluar dari kegiatan tersebut.
Terdapat 1866 perusahaan sedang dan besar dengan tingkat pertumbuhan 4.02% setiap
tahun (BPS DKI Jakarta 2011) di Jakarta yang di duga menghasilkan logam berat belum
ada yang memiliki IPAL, begitu juga dengan di pemukiman. Rata-rata, limbah yang
dihasilkan hanya di endapkan dan langsung di buang menuju badan perairan. Asumsi
adanya pertumbuhan IPAL 1 % pertahun akan mengurangi limbah yang di buang ke
Teluk Jakarta sebesar 1%.
Skenario yang di gunakan terdiri dari
1. Skenario pesimis (pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1%
serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta
sebesar 1%),
2. Skenario moderat (pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4%
serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta
sebesar 4%)
3. Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7%
serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta
sebesar 7%)
Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan
akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga
skenario yang digunakan. Skenario ke-3 (skenario pesimis) memberikan tingkat
pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario
lainnya yakni skenario moderat (ke
pada Gambar 23-35
Gambar 23. Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Gambar 24. Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk
Keterangan1. Kondisi non skrenario
Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
lainnya yakni skenario moderat (ke-2) dan optimis (ke-3). Hasil skenario
Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Kondisi non skrenario
oderat
91
skenario dapat dilihat
Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
sampai tahun 2020
92
Gambar 25. Prediksi beban pencemaran NO
Gambar 26. Prediksi beban pencemaran PO
Gambar 27. Prediksi beban pencemaran
Prediksi beban pencemaran NO3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi beban pencemaran PO4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun
perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 28. Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Gambar 29. Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Keterangan1. Kondisi non skrenario
Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun
1. Kondisi non skrenario
3. Skenario moderat
93
Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
94
Gambar 30. Prediksi akumulasi
Gambar 31. Prediksi
Keterangan1. Kondisi non skrenario
Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
akumulasi Hg di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun
1. Kondisi non skrenario
2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
sampai tahun 2020
Gambar 32. Prediksi akumulasi Cd di s
Gambar 33. Prediksi akumulasi
Keterangan1. Kondisi non skrenario
Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
Prediksi akumulasi Cd di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi akumulasi Cd di kerang hijau sampai tahun
1. Kondisi non skrenario
2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
95
edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
di kerang hijau sampai tahun 2020
96
Gambar 34. Prediksi akumulasi Pb di
Gambar 35. Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun
Keterangan1. Kondisi non skrenario
Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
Prediksi akumulasi Pb di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun
Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun
1. Kondisi non skrenario
2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis
edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun 2020