4 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN -...
Transcript of 4 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN -...
51
4 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, membahas tentang gambaran variabel yang digunakan pada
penelitian. Kemudian juga akan menunjukkan bagaimana hasil dari estimasi, serta
analisis baik ekonometrik, statistik, dan ekonomi berdasarkan model regresi
ekonometrika yang diperoleh dari pengolahan data panel 26 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010-2017. Melalui analisis ekonometrik, akan
melihat keterkaitan variabel independen dalam memengaruhi variabel dependen.
Sedangkan analisis statistik akan menjelaskan bagaimana variabel independen
dalam menjelaskan variabel dependen dan tingkat signifikansinya melalui
pengujian statistik terhadap model dalam penelitian. Selanjutnya, dilakukan analisis
ekonomi dalam rangka menjelaskan ar ti dari parameter yang diteliti dan hipotesis
yang ditetapkan serta kaintannya dengan teori ekonomi.
4.1 Gambaran Variabel yang Diteliti
Bagian ini akan menjelaskan gambaran secara umum mengenai beberapa
variabel yang digunakan sebagai bahan kajian dalam penelitian ini selama periode
tahun 2010 hingga tahun 2017. Variabel yang akan diteliti adalah PDRB riil,
infrastruktur jalan, infrastruktur listrik, infrastruktur kesehatan, infrastruktur
pendidikan, dan tenaga kerja di 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
52
4.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil Perkapita
PDRB riil merupakan PDRB yang menggambarkan seberapa besar nilai
tambah barang dan jasa setiap tahunnya berdasarkan harga pada satu tahun tertentu
sebagai tahun dasar. Sehingga dengan melihat PDRB riil suatu daerah dapat melihat
bagaimana pertumbuhan ekonomi daerah tersebut tanpa adanya pengaruh dari
faktor harga. Sedangkan PDRB riil perkapita merupakan PDRB riil dari setiap
penduduk pada daerah tersebut. Semakin tingga PDRB riil perkapita pada suatu
daerah, menunjukkan bahwa perekonomian daerah tersebut semakin baik.
Grafik 4.1 PDRB riil Perkapita Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Tahun
2010-2017
Sumber: Badan Pusat Stastistik (data diolah)
Dalam grafik 4.1 menunjukkan seberapa besar PDRB riil perkapita
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2010 hingga tahun 2017. Dari
grafik tersebut dapat dilihat bahwa PDRB riil perkapita kabupaten/kota di Provinsi
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
70000000
80000000
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
53
Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kota Bandung
merupakan daerah dengan PDRB riil perkapita tertinggi di Jawa Barat, yaitu
sebesar 42.655.670,98 rupiah pada tahun 2010 dan terus mengalami peningkatan
hingga mencapai 69.197.858,39 rupiah pada tahun 2017. Sebaliknya, Kabupaten
Ciamis merupakan daerah dengan PDRB riil perkapita terendah yaitu sebesar
7.973.235,421 rupiah pada tahun 2010 dan Kabupaten Tasikmalaya 12.626.945,98
rupiah pada tahun 2017. Dengan PDRB riil perkapita yang tinggi menunjukkan
daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik.
4.1.2 Infrastruktur Jalan
Infrastruktur jalan merupakan salah satu dari infrastruktur transportasi yang
bertujuan untuk memfasilitasi keberlangsungan pengguna alat transportasi
khususnya transportasi darat. Dalam penelitian ini, variabel infrastruktur jalan yang
digunakan merupakan perbandingan antara panjang jalan dengan kondisi baik dan
sedang dengan luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
54
Grafik 4.2 Rasio Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang per Luas Wilayah
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat 2010-2017 (Km)
Sumber: Badan Pusat Stastistik (data diolah)
Berdasarkan grafik 4.2, rasio panjang jalan kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Kota Bandung merupakan daerah
dengan rasio panjang jalan yang tertinggi yaitu 5,145 km pada tahun 2010 dan
meningkat menjadi 6,403 km pada tahun 2017. Sedangkan Kabupaten Ciamis
memiliki rasio panjang jalan terendah yaitu sebesar 0,131 km pada tahun 2010.
Akan tetapi, pada tahun 2017, Kabupaten Cianjur merupakan daerah dengan rasio
panjang jalan terendah yaitu sebesar 0,121 km.
4.1.3 Infrastruktur Listrik
Infrastruktur listrik dapat ditunjukkan dengan melihat bagaimana rasio
elektrifikasi pada suatu daerah. Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan antara
jumlah penduduk yang tersalurkan listrik dengan jumlah total penduduk pada
daerah tersebut.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
55
Grafik 4.3 Rasio Elektrifikasi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Tahun
2010-2017 (Persen)
Sumber: PLN Distribusi Jabar-Banten
Berdasarkan pada grafik 4.3, rasio elektrifikasi kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, Kota
Bogor merupakan daerah dengan rasio elektrifikasi tertinggi yaitu sebanyak
84,79% daerah yang sudah tersalurkan listrik. Sebaliknya, Kabupaten Cianjur
merupakan daerah dengan rasio elektrifikasi terendah yaitu sebanyak 51,93%
daerah yang sudah tersalurkan listrik. Sedangkan pada tahun 2017, rasio
elektrifikasi tertinggi adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten
Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota
Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Tasikmalaya, dan Kota
Banjar 100% daerahmya telah tersalurkan listrik. Kemudian daerah dengan rasio
elektrifikasi terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya dengan 80,12% daerah yang
sudah tersalurkan listrik.
0102030405060708090
100
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
56
4.1.4 Infrastruktur Kesehatan
Dalam melihat infrastruktur kesehatan, dapat dicerminkan melalui rasio
tempat tidur rumah sakit pada daerah tersebut. Rasio tempat tidur rumah sakit
merupakan perbandingan antara tempat tidur rumah sakit dengan jumlah total
penduduk pada daerah tersebut. Berdasarkan standar dari World Health
Organization (WHO), rasio tempat tidur untuk perawatan terhadap penduduk
adalah 1:1.000 penduduk, artinya minimal terdapat satu tempat tidur untuk
melayani 1.000 penduduk. Semakin tinggi rasio tempat tidur rumah sakit, artinya
daerah tersebut memiliki pelayanan kesehatan yang cenderung baik karena
kebutuhan akan tempat tidur rumah sakit terpenuhi.
Grafik 4.4 Rasio Tempat Tidur Rumah Sakit Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Barat Tahun 2010-2017
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (data diolah)
Berdasarkan grafik 4.4, rasio tempat tidur kabupaten/kota Provinsi Jawa
Barat mengalami fluktuasi dari tahun ketahun. Meskipun begitu, rasio tempat tidur
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
57
tersebut memiliki tren yang cenderung positif. Dilihat dari grafiknya, Kota Cirebon
memiliki rasio tempat tidur rumah sakit tertinggi yaitu sebanyak 3,1275 tempat
tidur untuk setiap 1.000 penduduk pada tahun 2010, dan meningkat menjadi 3,9448
tempat tidur untuk setiap 1.000 penduduk pada tahun 2017. Sedangkan daerah
dengan rasio tempat tidur terendah pada tahun 2010 adalah Kabupaten Tasikmalaya
yaitu sebanyak 0 tempat tidur untuk setiap 1.000 penduduk, artinya pada tahun 2010
belum tersedia tempat tidur rumah sakit di Kabupaten Tasikmalaya. Akan tetapi,
pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu menjadi 0,1179 tempat tidur untuk
setiap 1.000 penduduk.
4.1.5 Infrastruktur Pendidikan
Untuk melihat bagaimana fasilitas pendidikan di suatu daerah dapat dilihat
dari rasio ketersediaan sekolah pada daerah tersebut. Rasio ketersediaan sekolah
merupakan rasio perbandingan antara jumlah sekolah untuk setiap 10.000
penduduk pada usia sekolah. Rasio ini mengindikasikan bagaimana kemampuan
sekolah untuk menampung semua penduduk usia sekolah. Semakin tinggi rasio
ketersediaan sekolah, semakin baik pelayanan pendidikan suatu daerah. Hal
tersebut dikarenakan peningkatan jumlah murid diimbangi dengan peningkatan
jumlah sekolah yang tersedia. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah rasio
ketersediaan sekolah semakin buruk pelayanan pendidikan suatu daerah, karena
jumlah sekolah yang kurang dan tidak dapat mengimbangi jumlah murid yang ada.
58
Grafik 4.5 Rasio Keterserdiaan Sekolah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Barat Tahun 2010-2017
Sumber: Badan Pusat Stastistik (data diolah)
Berdasarkan grafik 4.4, rasio ketersediaan sekolah kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat cenderung mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Daerah
dengan rasio ketersediaan sekolah tertinggi adalah Kabupaten Ciamis dengan rasio
ketersediaan sekolah sebanyak 57,0252 sekolah untuk setiap 10.000 penduduk usia
sekolah pada tahun 2010, dan sebanyak 57,3406 sekolah untuk setiap 10.000
penduduk usia sekolah pada tahun 2017. Sedangkan daerah yang memiliki rasio
ketersediaan sekolah terendah adalah Kota Cimahi yaitu sebanyak 20,2160 sekolah
untuk setiap 10.000 penduduk usia sekolah pada tahun 2010 dan sebanyak 21,4605
untuk setiap 10.000 penduduk usia sekolah pada tahun 2017.
4.1.6 Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam
praktiknya, tenaga kerja memiliki peran sebagai perantara antara infrastruktur dan
0
10
20
30
40
50
60
70
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
59
pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya tenaga kerja, infrastruktur dapat
dimanfaatkan secara optimal sehingga akan berdampak terhadap pertumbuhan
ekonomi pada suatu daerah.
Grafik 4.6 Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat
Tahun 2010-2017 (orang)
Sumber: Badan Pusat Stastistik (data diolah)
Berdasarkan grafik 4.5, Jumlah tenaga kerja kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dilihat dari
grafiknya, Kabupaten Bogor memiliki jumlah tenaga kerja tertinggi yaitu sebanyak
1.722.345 orang pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 2.351.753 orang pada
tahun 2017. Sedangkan untuk jumlah tenaga kerja terendah terdapat di Kota Banjar
yaitu sebanyak 67.957 orang pada tahun 2010 dan menjadi 84.032 pada tahun 2017.
4.2 Hasil Estimasi
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Panel
Corrected Standard Errors (PCSE). Dalam melakukan pengolahan data, Pada tahap
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
Bo
gor
Suka
bu
mi
Cia
nju
r
Ban
du
ng
Gar
ut
Tasi
kmal
aya
Cia
mis
Ku
nin
gan
Cir
eb
on
Maj
alen
gka
Sum
edan
g
Ind
ram
ayu
Sub
ang
Pu
rwak
arta
Kar
awan
g
Bek
asi
Ban
du
ng
Bar
at
Ko
ta B
ogo
r
Ko
ta S
uka
bu
mi
Ko
ta B
and
un
g
Ko
ta C
ireb
on
Ko
ta B
eka
si
Ko
ta D
epo
k
Ko
ta C
imah
i
Ko
ta T
asik
mal
aya
Ko
ta B
anja
r
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
60
awal pengolahan data melalui uji Hausman, untuk memilih metode terbaik. Setelah
dilakukan uji Hausman, metode terbaik yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan metode random effect model. Hal tersebut dikarenakan, nilai
probabilitas chi-square lebih besar dari tingkat signifikansi 5% (Lampiran 4). Akan
tetapi, ketika dilakukan uji heteroskedastisitas dan uji asumsi klasik, model tersebut
memiliki masalah heteroskedastisitas (Lampiran 5) dan terdapat autokorelasi
(Lampiran 7). Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut digunakanlah metode
Panel Corrected Standard Errors (PCSE). Penelitian ini menggunakan PDRB riil
perkapita sebagai variabel dependen, sedangkan variabel infrastruktur jalan,
infrastruktur listrik, infrastruktur kesehatan, infrastruktur pendidikan, dan tenaga
kerja digunakan sebagai variabel independen. Model persamaan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
𝒍𝒏 𝑮𝑫𝑹𝑷𝒊𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝒍𝒏 𝒓𝒐𝒂𝒅𝒊𝒕 + 𝜷𝟐𝒍𝒏 𝒆𝒍𝒆𝒄𝒕𝒓𝒊𝒄𝒊𝒕𝒚𝒊𝒕 + 𝜷𝟑𝒍𝒏 𝒉𝒆𝒂𝒍𝒕𝒉𝒊𝒕
+ 𝜷𝟒𝒍𝒏 𝒆𝒅𝒖𝒄𝒊𝒕 + 𝜷𝟓𝒍𝒏 𝒍𝒂𝒃𝒐𝒓𝒊𝒕 + 𝒖𝒊𝒕
Di mana,
𝐺𝐷𝑅𝑃 : PDRB riil perkapita
𝑙𝑛𝑟𝑜𝑎𝑑 : Rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang per luas wilayah
𝑙𝑛𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑖𝑐ity : Rasio elektrifikasi
𝑙𝑛ℎ𝑒𝑎𝑙𝑡ℎ : Rasio tempat tidur rumah sakit
𝑙𝑛𝑒𝑑𝑢𝑐 : Rasio ketersediaan sekolah
𝑙𝑛𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 : Jumlah tenaga kerja
𝛽0 : Konstanta
𝛽1 − 𝛽5 : Koefisien regresi
61
𝑢 : Standard error
𝑖 : Cross section (26 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)
𝑡 : Time series (periode waktu tahun 2010 hingga 2017)
Berdasarkan model persamaan tersebut, menghasilkan estimasi sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Hasil Estimasi PCSE
VARIABLES lngdrp
lnroad 0.0314008*
(0.0173224)
lnelectricity 0.2872546***
(0.0770753)
lnhealth 0. .3040356***
(0.0239769)
lneduc -0.3289043***
(0.077697)
lnlabor 0. 2823874***
(0.0144768)
constant 14.43631***
(0.4139306)
observations 208
R-Squared 0.43523203
Keterangan: *** 𝑝 < 0.01, ** 𝑝 < 0.05, *𝑝 < 0.1
Sumber: Hasil pengolahan data
62
Berdasarkan hasil estimasi PCSE, dapat dilihat bahwa variable jalan, listrik,
kesehatan dan tenaga kerja memiliki pengaruh yang positif serta signifikan terhadap
PDRB riil perkapita yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini.
Sedangkan variabel pendidikan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap PDRB riil perkapita. Kemudian, variabel konstanta memiliki hasil yang
positif dan signifikan terhadap PDRB riil perkapita di kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat. Selanjutnya, untuk nilai statistik R-squared dalam penelitian ini
memiliki nilai sebesar 0,43523203.
4.3 Hasil Uji Asumsi Klasik
4.3.1 Uji Heteroskedastisitas
Hasil dari uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas
𝑷𝒓𝒐𝒃 > 𝝌𝟐 Significant level Keterangan
0.000 5% 𝐻0 ditolak
Sumber: Hasil pengolahan data
Dilihiat dari hasil uji heteroskedastisitas di atas, dapat dikatakan bahwa
model penelitian ini memiliki masalah heteroskedastisitas di dalamnya. Hal
tersebut dikarenakan nilai probabilitas dari chi-square kurang dari tingkat
signifikansi (𝛼 = 5%). Sehingga, dalam mengatasi masalah tersebut dapat dengan
mengubah model random effect menjadi metode Panel Corrected Standard Errors
(PCSE). Dengan begitu, masalah heteroskedastisitas dapat teratasi.
63
4.3.2 Uji Multikolinearitas
Berikut merupakan hasil dari uji multikolinearitas yang dihasilkan setelah
mengestimasi menggunakan Panel Corrected Standard Errors (PCSE):
Tabel 4.3 Hasil Uji Multikolinearitas
road electric health educ lnlabor
lnroad 1.000
lnelectricity 0.5083 1.000
lnhealth 0.6784 0.5122 1.000
lneduc -0.6846 -0.3316 -0.5666 1.000
lnlabor -0.3897 -0.0890 -0.5854 0.0783 1.000
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel 4.3, hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa nilai
koefisien korelasi pada setiap variabel independen dalam model peneletian ini tidak
memiliki masalah multikolinearitas. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien
korelasi yang tidak melebihi 0.8 (Gujarati & Porter, 2009).
4.3.3 Uji Autokorelasi
Dengan dilakukannya perubahan dari random effect model menjadi Panel
Corrected Standard Errors (PCSE), hasil estimasi regresi tersebut sudah tidak
memiliki masalah autokorelasi. Hal tersebut disebabkan karena dengan
64
menggunakan metode PCSE, maka model telah memenuhi asumsi klasik sehingga
masalah autokorelasi dalam teratasi (Blackwell, 2005).
4.4 Hasil Uji Signifikansi Koefisien
4.4.1 Koefisien Determinasi (𝑹𝟐)
Hasil estimasi dari regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi
(𝑅2) pada model dalam penelitian ini memiliki nilai sebesar 0.43523203 atau
43,5%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel
independen yang terdiri dari jalan, listrik, kesehatan, pendidikan, dan tenaga kerja
dalam penelitian ini mampu menjelaskan variabel dependen yaitu pertumbuhan
ekonomi sebesar 43,5%, sedangkan sebesar 56,5% lainnya dijelaskan oleh variabel
lain di luar model yang tidak digunakan dalam penelitian ini.
4.4.2 Uji Signifikansi Simultan
Uji signifikansi F yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F)
df 𝑭𝒔𝒕𝒂𝒕𝒊𝒔𝒕𝒊𝒌 𝑭𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍 𝑯𝟎 Keterangan
F (5; 202) 30.98 3.11 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%
Signifikansi 𝜶 Prob F 𝑯𝟎 Keterangan
0.01 0.0000 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%
Sumber: Hasil pengolahan data
65
Berdasarkan tabel 4.3, hasil uji signifikansi F menunjukkan bahwa
keseluruhan variabel independen yaitu jalan, listrik, pendidikan, kesehatan, dan
tenaga kerja secara bersamaan memengaruhi PDRB riil─yang merupakan variabel
dependen─secara signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai F-stat yang
lebih besar dibandingkan dengan nilai F-tabel yaitu 30,98 > 3,11 (nilai F tabel
pada tingkat signifikansi 1% dan degree of freedom n1 dan n2 yaitu 5;202).
Kemudian dapat dilihat juga melalui nilai probabilitias F yang lebih kecil dari
tingkat signifikasi 𝛼 = 1%.
4.4.3 Uji Signifikansi Parsial
Uji signifikansi parsial yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Signifikansi Parsial
Variabel Prob t 𝑯𝟎 Keterangan
lnroad 0.070 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 10%
lnelectricity 0.000 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%
lnhealth 0.000 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%
lneduc 0.000 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%
lnlabor 0.000 𝐻0 ditolak Signifikansi pada 𝛼 = 1%,
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel 4.5, hasil uji signifikansi parsial menunjukkan bahwa
variabel listrik, kesehatan, pendidikan, dan tenaga kerja memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap PDRB riil pada tingkat signifikansi 1%. Sedangkan variabel
jalan memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat signifikansi 10%.
66
4.5 Analisis Model dan Ekonomi
4.5.1 Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi, infrastruktur jalan memiliki nilai koefisen
sebesar 0.0314008 pada tingkat signifikansi 10%. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa infrastruktur jalan memiliki pengaruh positif serta signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Hasil tersebut
menjelaskan bahwa setiap peningkatan jumlah pajang jalan sebesar 1%, akan
menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03%, ceteris paribus. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh
(Caldéron & Servén, 2004) yang menunjukkan bahwa infrastruktur jalan memiliki
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data dari BPS menunjukkan bahwa kondisi jalan di Provinsi
Jawa Barat sendiri cenderung semakin membaik baik. Dengan infrastruktur jalan
yang membaik, akan meningkatkan konektivitas antar daerah, dengan begitu akan
meminimalisir biaya transportasi, serta dapat dengan mudah menjangkau sumber
daya dan mendistribusikannya. Selain itu, masyarakat akan dengan mudah
mengakses layanan kesehatan dan pendidikan, sehingga aktivitas perekonomian
akan lebih efisien dan efektif. Meskipun begitu, menurut (Bappeda Jawa Barat,
2018) kondisi jalan di Provinsi Jawa Barat masih belum optimal. Salah satu
penyebabnya karena jaringan jalan yang belum merata serta masih adanya
ketimpangan kawasan antara jalur utara, tengah, dan selatan sehingga mobilitas
antar wilayah menjadi terbatas.
67
4.5.2 Pengaruh Infrastruktur Listrik terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi regresi, variabel infrastruktur listrik memiliki
koefisien sebesar 0.2872546 pada tingkat signifikansi 1%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa setiap peningkatan infrastruktur listrik sebesar 1%, akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,28%, ceteris paribus. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lorde, et al., 2010) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara konsumsi energi listrik terhadap
pertumbuhan ekonomi. Secara spesifik, konsumsi energi listrik yang dilakukan oleh
sektor non-perumahan memiliki peran sebagai pendorong pertumbuhan dalam
jangka panjang.
Dilihat dari Statistik PLN Distribusi Jabar-Banten, pengguna listrik dari
tahun 2010 hingga tahun 2017 mengalami peningkatan sehingga pengadaan
pasokan listrik juga mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan adanya
upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan infrastruktur listrik di Jawa
Barat. Dengan adanya pasokan listrik yang baik, dapat membantu untuk
menggerakkan perekonomian daerah terutama pada sektor industri.
4.5.3 Pengaruh Infrastruktur Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi regresi terhadap variabel infrastruktur kesehatan,
menghasilkan nilai koefisien sebesar 0.3040356 pada tingkat signifikansi 1%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa infrastuktur kesehatan memiliki pengaruh positif
serta signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga setiap adanya kenaikan
jumlah tempat tidur rumah sakit sebesar 1%, maka akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,30%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal tersebut
68
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bloom, et al., 2004). Dalam
penelitiannya, menjelaskan bahwa kesehatan memiliki pengaruh positif dan
signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan
bahwa dengan adanya peningkatan fasilitas kesehatan akan berdampak pada
produktifitas tenaga kerja yang semakin meningkat.
Menurut Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2017, sejak tahun 2011 sampai
dengan tahun 2017, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah tempat tidur
rumah sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa layanan tempat tidur rumah sakit
semakin memadai setiap tahunnya. Dengan pelayanan kesehatan yang baik, maka
masyarakat dapat beraktivitas dengan lebih produktif. Pengeluaran terhadap
kesehatan akan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan secara tidak langsung. Dengan pelayanan kesehatan yang memadai
dapat mendorong pertumbuhan melalui pengaruhnya terhadap kualitas Sumber
Daya Manusia. Selain itu, pengaruh positif dari ketersediaan sarana prasarana
kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas dari pemerintah dalam mengelolanya
(Baldacci, et al., 2008).
4.5.4 Pengaruh Infrastruktur Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi, variabel infrastruktur pendidikan menghasilkan
nilai koefisien sebesar -0.3289043 pada tingkat signifikansi 1%. Sehingga setiap
adanya kenaikan infrastruktur pendidikan sebesar 1%, akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.0142%, ceteris paribus. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan penelitian (Ritonga, 2017) yang menunjukkan bahwa pembangunan
infrastruktur pendidikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
69
pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pendidikan merupakan salah satu tujuan
pembangunan mendasar pada suatu wilayah. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah
salah satu investasi pada modal manusia dalam rangka mendorong peningkatan
kualitas SDM. Kemudian (Ozturk, 2001) menyimpulkan bahwa pendidikan
memperkaya pemahaman masyarakat terhadap dunia, meningkatkan kualitas
kehidupan, dan mengarah pada manfaat sosial yang luas bagi individu dan
masyarakat. Pendidikan juga meningkatkan produktivitas ekonomi dan kreativitas.
Akan tetapi, (Baldacci, et al., 2008) menyatakan pendidikan membutuhkan waktu
selama 10 hingga 15 tahun untuk dapat dirasakan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Di Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk usia sekolah mengalami
peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak
diimbangi dengan jumlah sekolah yang tersedia sehingga mengakibatkan pelayanan
pendidikan di Jawa Barat menjadi kurang terpenuhi. Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat menyatakan bahwa tidak semua kecamatan di Jawa Barat memiliki
sekolah menengah terutama Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri. Dari
626 kecamatan di Jawa Barat, hanya 407 kecamatan yang sudah memiliki sekolah
negeri dan sisanya yaitu sebanyak 219 kecamatan masih belum memiliki sekolah
negeri. Pendidikan di Jawa Barat juga memiliki permasalahan utama yaitu
distribusi. Sekolah yang terdapat di Jawa Barat hanya dapat menampung 34% dari
jumlah keseluruhan siswa yang akan lulus (Republika, 2019). Di sisi lain,
ketersediaan sekolah saja belum cukup berperan dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Di samping itu, diperlukan adanya penyelenggaraan
70
pelayanan pendidikan yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
telah ditentukan meliputi kualitas tenaga pendidik, sarana dan prasana sekolah,
serta peran pemerintah dalam mengelola dan menentukan kebijakan.
4.5.5 Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Bardasarkan hasil estimasi, variabel tenaga kerja menghasilkan koefisien
sebesar 0.2823874 pada tingkat signifikansi 1%. Sehingga dapat dikatakan bahwa
apabila terdapat peningkatan terhadap jumlah tenaga kerja sebesar 1%, akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,28%, ceteris paribus. Hal tersebut
sesuai dengan teori pertumbuhan Solow yang menyatakan bahwa tenaga kerja
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di Jawa
Barat tahun 2015 berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 301.474 orang.
Penyerapan tenaga kerja tersebut memiliki kontribusi sebesar 21% dari keseluruhan
penyerapan tenaga kerja di Indonesia yaitu sebanyak 1.435.704 tenaga kerja.
Sehingga di Pulau Jawa sendiri, Jawa Barat menjadi provinsi dengan daya serap
tenaga kerja tertinggi (Kemenperin, 2016). Dengan tenaga kerja yang tinggi dapat
meningkatkan output barang dan jasa yang dihasilkan, sehingga akan mendorong
pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat.