3

3
3. Peningkatan Mutu Guru atau Tenaga Kependidikan Barangkali tidak semua kita masih ingat bagaimana, Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an dan awal tahun 1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas pendidikan guru dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip kurikulumUniversitas menjadi khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu berlebih-lebihanmenekankan pembelajaran dan mengurangi secara besar-besaran materi bidang studi.(Zamroni, 2009). Para pedagog yang tidak sefaham dengan resep ini dengan sinismengatakan bahwa “di kurikulum IKIP yang baru ini, “bagaimana cara memegang kapur pun diajarkan”. Dari kebijakan ini hasilnya luar biasa, mutu guru lulusan IKIP merosottajam. Guru menguasai berbagai pendekatan dan metodologi mengajar, tetapi tidak menguasai apa yang harus diajarkan.Kebijakan ke dua dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkankualitas guru lewat projek peningkatan mutu guru yang dilakukan dengan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori, praktik sampai on the job trainingdi sekolah-sekolah masing-masing. Mereka yang dilatih di pusat menjadi guru inti, yang bertugas mengembangkan pelatihan bagi para guru di daerah masing- masing. Proses ini, berhasil melatih dan meningkatkan kualitas kemampuan professional ribuan guru.Sayangnya, ketika beberapa tahun proyek telah usai dan evaluasi dilakukan oleh lembagaindependen, kesimpulan sangat menarik. Yakni, pelatihan telah berhasil meningkatkankualitas profesional guru tetapi tidak berhasil meningkatkan mutu siswa. Karena peningkatan kualitas kemampuan professional guru belum menjamin peningkatankualitas pembelajaran. Terdapat faktor sekolah sebagai suatu entitas utuh yang berpengaruh 4. Mutu pendidikan. Sejak pelita I s.d pelita V mutu pendidikan terus-menerus dijadikan salah satu kebijakan pokok. Peningkatan mutu pendidikan di era orde baru cenderung secara patuhmelaksanakan kebijakan Bank Dunia.(Zamroni, 2009). Atmosfer pembelajaran dalamdunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan,sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral sepertiyang didambakan oleh masyarakat. Paling tidak ada dua argumen yang dapatdikemukakan(Ngatiman, 2010).Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik dari persoalan-

description

sxnjkncj

Transcript of 3

Page 1: 3

3. Peningkatan Mutu Guru atau Tenaga KependidikanBarangkali tidak semua kita masih ingat bagaimana, Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an dan awal tahun 1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas pendidikan guru dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip kurikulumUniversitas menjadi khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu berlebih-lebihanmenekankan pembelajaran dan mengurangi secara besar-besaran materi bidang studi.(Zamroni, 2009). Para pedagog yang tidak sefaham dengan resep ini dengan sinismengatakan bahwa “di kurikulum IKIP yang baru ini, “bagaimana cara memegang kapur  pun diajarkan”. Dari kebijakan ini hasilnya luar biasa, mutu guru lulusan IKIP merosottajam. Guru menguasai berbagai pendekatan dan metodologi mengajar, tetapi tidak menguasai apa yang harus diajarkan.Kebijakan ke dua dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkankualitas guru lewat projek peningkatan mutu guru yang dilakukan dengan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori, praktik sampai on the job trainingdi sekolah-sekolah masing-masing. Mereka yang dilatih di pusat menjadi guru inti, yang bertugas mengembangkan pelatihan bagi para guru di daerah masing-masing. Proses ini, berhasil melatih dan meningkatkan kualitas kemampuan professional ribuan guru.Sayangnya, ketika beberapa tahun proyek telah usai dan evaluasi dilakukan oleh lembagaindependen, kesimpulan sangat menarik. Yakni, pelatihan telah berhasil meningkatkankualitas profesional guru tetapi tidak berhasil meningkatkan mutu siswa. Karena peningkatan kualitas kemampuan professional guru belum menjamin peningkatankualitas pembelajaran. Terdapat faktor sekolah sebagai suatu entitas utuh yang berpengaruh

4. Mutu pendidikan.Sejak pelita I s.d pelita V mutu pendidikan terus-menerus dijadikan salah satu kebijakan pokok. Peningkatan mutu pendidikan di era orde baru cenderung secara patuhmelaksanakan kebijakan Bank Dunia.(Zamroni, 2009). Atmosfer pembelajaran dalamdunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan,sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral sepertiyang didambakan oleh masyarakat. Paling tidak ada dua argumen yang dapatdikemukakan(Ngatiman, 2010).Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup.Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia pendidikan meminjam istilahZamroni (2000) sebagai engine of growth; penggerak dan loko pembangunan. Agar  proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan danteori-teori. Namun, disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi denganmunculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yangditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.Dalam upaya peningkatan mutu sekolah di era orde baru juga menekankan ketersediaanfasilitas, seperti pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaharuan kurikulum.

5. Pendidikan KejuruanSesuai dengan gerakan pembangunan telah disadari sejak pelita I akan langkanya tenaga-tenaga terampil. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan mendapat prioritassejak pelita I s.d pelita V. Hingga awal tahun 90-an menurut Dody Heriawan Priatmoko, paling tidak ada 3 permasalah pendidikan di Indonesia, yakni : Pertama, adalahkurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan

Page 2: 3

hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kedua, adalah rendahnya tingkat Relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yangmenganggur. Data BAPPENAS yang dikumpulkan sejak 1990 menunjukan angka penganggur terbuka yang di hadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47 %, Diploma sebesar 27,5 % dan PT sebesar 36,6 %. Sedangkan pada priode yang sama pertumbuhankesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4 %,14,21 %, dan 15,07 %.Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja disebabkankurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkanketika peserta didik memasuki dunia kerja. Ketiga, adalah rendahnya mutu pendidikan.Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalamskala internasional, menurut laporan Bank Dunia(Greaney,1992), study IEA( International Assosiation for The Evaluation of Educatin Achievemen) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD pada tingkat terendah, danrata-rata skor untuk siswa SD Indonesia adalah 51,7 %. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 % dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekalimenjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini dikarenakanketerbiasaan mereka menghapal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda