3. Tinjauan Pustaka anestesi metro

31
II.TINJAUAN PUSTAKA A. DEMAM BERDARAH DENGUE 1. Definisi DD, DBD, DSS Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. DBD adalah penyakit yang dapat menyerang orang dewasa dan anak-anak yang ditandai dengan demam yang mendadak serta timbulnya gejala klinis yang tidak khas. Terdapat kecenderungan diathesis hemoragic dan risiko terjadinya syok yang dapat berakibatkan kematian (Depkes, 2005). Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi gejala,

description

Tinjauan pustaka

Transcript of 3. Tinjauan Pustaka anestesi metro

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. DEMAM BERDARAH DENGUE

1. Definisi DD, DBD, DSS

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. DBD

adalah penyakit yang dapat menyerang orang dewasa dan anak-anak yang ditandai

dengan demam yang mendadak serta timbulnya gejala klinis yang tidak khas.

Terdapat kecenderungan diathesis hemoragic dan risiko terjadinya syok yang

dapat berakibatkan kematian (Depkes, 2005).

Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua

atau lebih manifestasi gejala, seperti : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia,

ruam pada kulit, manifestasi perdarahan, dan leukopenia serta di tunjang dengan

pemeriksaan laboratorium serologis IgM dan IgG.

Dengue shock syndrom merupakan suatu keadaan yang sangat buruk,

penderita DBD dalam keadaan apapun perlu mendapatkan perawatan dan

pemantauan yang serius, terutama jika demam mendadak turun. Selain menjadi

indikasi kesembuhan, penurunan suhu tubuh sering menjadi gejala awal penderita

memasuki tahap dengue shock syndrome

2. Manifestasi Klinis DD, DBD, DSS

a. Demam

Penyakit DBD ditandai dengan demam tinggi secara mendadak disertai

facial flushing dan sakit kepala. Demam ini berlangsung terus-menerus selama 2-

7 hari kemudian turun secara cepat. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi

sampai 40oC dan dapat dijumpai kejang demam. Pasien kehilangan nafsu makan,

muntah, nyeri epigastrium, nyeri perut di daerah lengkung iga sebelah kanan.

Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut

dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok.

b. Tanda-tanda perdarahan

Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati,

trombosipenia gangguan fungsi trombosit serta koasulasi intravasculer yang

menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti

ptekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda

perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetepai

dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epistaksis,

perdarahan gusi, melena dan hematemesis.

c. Hepatomegali

Pada umumnya dapat ditemukan pada awal penyakit, bervariasi dari hanya

sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan.

Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk

menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di

daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai

ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini

berhubungan dengan adanya perdarahan.

d. Syok

Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke-3

sampai 7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembap

terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi

gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak teraba. Walaupun pada beberapa

pasien tampak sangat lemah, pada saat akan terjadi syok, pasien sangat gelisah.

Sesaat sebelum syok sering kali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai

dengan denyut nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg

atau kurang), jadi untuk menilai tekanan nadi perhatikan tekanan sistolik dan

diastolik, misalnya 100/90 mmHg berarti tekanan nadi 10 mmHg atau hipotensi

(tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang), kulit dingin dan

lembab. Syok harus bisa segera ditangani, apabila tidak, akan terjadi asidosis

metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain, yang

berprognosis buruk.

e. Trombositopeni

Penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000/mm3 atau < 1-2 trombosit /

lapangan pandang dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, pada

umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan

terjadi sebelum suhu turun. Jumlah htrombosit < 100.000/mm3 biasanya

ditemukan antara hari sakit ke-3 sampai hari sakit ke-7. Pemeriksaan trombosit

perlu di ulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau

menurun. Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila

normal maka diulang pada hari sakit ke-3 tetapi bila perlu diulang setiap hari

sampai suhu turun.

f. Hemokonsentrasi / kadar hematokrit

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) atau hemokonsentrasi selalu dijumpai

pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma,

sehingga perlu dilakukan pememeriksaan Ht secara berkala. Pada umumnya

penurunan trombosit mendahului peningkatan Ht. Hemokonsentrasi dengan

peningkatan Ht 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%), mencerminkan

peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai Ht dipengaruhi

oleh penggantian cairan atau perdarahan (WHO, 2011).

3. Kriteria Diagnosis DBD

Dikatakan demam berdarah apabila seseorang tinggal atau pernah berkunjung

ke daerah endemis, Demam dan diikuti minimal 2 kriteria :

Mual, muntah

Timbulnya rash

Nyeri perut atau ulu hati

Tes torniket positif

Leukopenia

Dan ada beberapa warning sign::

− Nyeri tekan pada ulu hati

− Muntah yang terus menerus

− Gambaran klinis terjadi akumulasi cairan

− Perdarahan mukosa

− Letargi

− Hepatomegali > 2cm

− Peningkatan HCT dengan penurunan platelet count (WHO, 2011).

4. Patogenesis

Pendekatan patogenesis DBD dengan penyulit bertitik tolak dari perjalanan

imunopatogenesis DBD. Pada tahap wal virus dengue akan menyerang sel-sel

makrofag dan bereplikasi dalam sel langerhans dan makrofag di limpa.

Selanjutnya, akan menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang sel T aviditas

rendah dan reaksi silang sel T spesifik, yang akan meningkatkan produksi spesifik

dan reaksi silang antibodi. Pada tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi

silang antibodi dengan trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan

produk spesifik. Proses ini kemudian akan meningkatkan peran antibody dalam

meningkatkan titer virus dan di sisi lain antibodi bereaksi silang dengan

endotheliocytes. Pada tahap berikutnya terjadi efek replikasi sel mononuclear. Di

dalam sel endotel, terjadi infeksi dan replikasi selektif dalam endotheliocytes

sehingga terjadi apoptosis yang menyebabkan disfungsi endotel. Di sisi lain, akan

terjadi stimulasi mediator yang dapat larut (soluble), yaitu TNF α, INF γ, IL-1, IL-

2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, GF β, C3a, C4b, C5a, MCP-1,CCL-2, VEGF,

dan NO yang menyebabkan ketidakseimbangan profi l sitokin dan mediator lain;

pada tahap berikutnya terjadi gangguan koaguasi dan isfungsi endotel. Pada hati,

akan terjadi replikasi dalam hepatosit dan sel Kuppfer. Terjadi nekrosis dan atau

apoptosis yang menurunkan fungsi hati, melepaskan produk toksik ke dalam

darah, meningkatkan fungsi koagulasi, meningkatkan konsumsi trombosit,

aktivasi sistem fibrinolitik, dan menyebabkan gangguan koagulasi. Pada makrofag

di jaringan, terjadi apoptosis sehingga mediator larut (soluble) akan meningkatkan

TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF β, C3a, C4b, C5a,

MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO, berakibat ketidakseimbangan profi l terhadap

sitokin an mediator lain sehingga terjadi gangguan ndotel dan koagulasi. Pada

sumsum tulang, terjadi replikasi lam sel stroma sehingga terjadi supresi

hemopoietik yang berkembang ke arah angguan koagulasi. Sedangkan stimulasi

terhadap sistem mplemen dan sel imunitas didapat akan meningkatkan koagulasi,

menurunkan mediator larut (soluble), terjadi ketidakseimbangan profil sitokin

sehingga berkembang menjadi gangguan koagulasi.

Gambar 1. Patogenesis DBD

5. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran

plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.

Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan

terjadinya trombositopeniapada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak

demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan

cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada

kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai

apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap

kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun

asites yang masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi non farmakologis yang diberikan meliputitirah baring (pada

trombositopenia yang berat)dan pemberian makanan dengan kandung-an giziyang

cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran

cerna. Sebagai terapisimptomatis, dapat diberikan antipiretik berupaparasetamol,

serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin

ataupun obatanti inflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko

terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD

dewasa mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi

dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2).

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (gambar 3).

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20% (gambar 4).

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 5).

Gambar 2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit >20%

Gambar 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

a. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan

Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum

masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan

memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang

jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak

dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis.

Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang

menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan

penyulit lainnya. Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit

hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.

b. Kasus DBD derajat I & II

Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini

mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut,

disarankan pemberian cairan kristaloid.

Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit

yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih

dari 20% dari harga normal, ada kebocoran plasma dan sebaiknya penderita

dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.

Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin,

nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap.

Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus

dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti.

Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti

yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan

cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan

kembali dalam waktu 203 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali

dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit

secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat

untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang

cukup dan mencegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar

sebagai berikut :

(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti

yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode

kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan

kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam

jaringan paru yang berakhir dengan edema.

Jenis Cairan

(1) Kristaloid

− Ringer Laktat

− 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat

− 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering

− 5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi

(faali),dan

− 5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi

(2) Koloid

− Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)

− Plasma

Kebutuhan Cairan

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur

dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat

hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan

disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan

rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)

10 100 per kg BB

10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)

> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

c. Kasus DBD derajat III & IV

“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus

kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh

cairan pengganti secara cepat. Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit

(hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC.

Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi.

Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam

isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5%

Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan

jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat

diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).

Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal

(dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau

plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam. Selanjutnya pemberian

cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang

hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital

yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous

pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang

sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan

kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid

yang cukup banyak.

Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal

garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan

penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh

diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal.

Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil

dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup

baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang

cukup merupakan tanda penyembuhan.

Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi

membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah

membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan

dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini

hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai

perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg)

dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.

Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik

Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering

dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya

ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang.

Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus

yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadanga-kadang terjadi

hipoglemia.

Obat Penenang

Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada

kasus yang sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral

hidrat oral atau rektal dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi jangan lebih

dari 1 jam) digunakan sebagai satu macam obat hipnotik. Di RSUD Dr. Soetomo

digunakan valium 0,3 – 0,5 mg/kg/BB/1 kali (bila tidak terjadi gangguan

pernapasan) atau Largactil 1 mg/kgBB/kali.

Terapi Oksigen

Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen

Transfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan

melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat

berguna untuk mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur

untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring

adalah:

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30

menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien

stabil

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis

cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan

sudah mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.

d. DBD DENGAN PENYULIT

Penatalaksanaan DBD dengan penyulit memerlukan perhatian optimal.

Penyebab kematian DBD dengan penyulit di Departemen Penyakit Dalam FK

UNAIR tahun 1999 adalah dengue shock syndrome (DSS) yang disertai distres

pernafasan akut, DSS dengan syok refrakter dan perdarahan otak.

DBD pada Kelainan Ginjal

Kelainan ginjal pada DBD tidak mudah didiagnosis. Saat outbreak Demam

Dengue tahun 2002 di Taiwan terjadi kematian beberapa pasien dengan penyakit

ginjal kronik (chronic kydney disease, CKD). Laporan tersebut mengungkapkan

tiga kasus DBD dan DSS meninggal dunia meskipun dirawat intensif. Kesulitan

diagnosis dan pengobatan merupakan dilema pada CKD dengan DD sehingga

diagnosis terlambat, meningkatkan risiko mortalitas. Sempitnya jendela toleransi

pemberian cairan pada pasien CKD lebih lanjut menghambat keberhasilan

resusitasi pada DBD dan DSS. CVVD (continuous venous to venous

hemodialysis) sangat membantu menstabilkan hemodinamik. Untuk menurunkan

angka kematian, perhatian utama harus diberikan pada kewaspadaan dini dan

upaya pengobatan agresif infeksi virus dengue pada pasien dengan CKD. Laporan

tersebut juga mengkaji kesulitan diagnosis dan dilema pengobatan pada tiga kasus

kematian DBD/ DSS. Dalam populasi umum, mortalitas DBD berkisar 1-5 %.

Kesulitan diagnosis dan pengobatan pasien CKD menyebabkan risiko tinggi

kematian karena kemiripan gejala dan tanda yang di antara DD dan CKD. Dugaan

klinis untuk membuat diagnosis antara lain adanya riwayat perjalanan dari daerah

endemik, riwayat paparan vektor pasien CKD.

Kelainan ginjal pada penderita DBD yang mengalami syok disebabkan

karena hipoperfusi ginjal, azotemia pre renal dan nekrosis tubuler akut. Gagal

ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal syok yang tidak teratasi.

Untuk mempertahankan keseimbangan cairan, pemasangan kateter vena sentral

menjadi alternatif untuk pedoman pemberian cairan. Bila penggantian cairan telah

terpenuhi atau sesuai kebutuhan, syok telah teratasi, tetapi produksi urine masih

tetap belum ada, dipertimbangkan pemberian furosemid 1 mg/kgBB setelah yakin

tidak ada faktor post renal yang menghambat aliran urine. Dopamin dapat

dipertimbangkan untuk membuka aliran darah ginjal yang sebelumnya terganggu.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan elektrolit dan gangguan

asam basa. Asidosis metabolik harus segera dikoreksi karena akan memicu DIC.

Diuresis, kadar ureum dan kreatinin, kadar elektrolit, tanda vital, kadar hematokrit

harus dipantau dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan,

termasuk memantau kemungkinan timbulnya edema paru dan gagal jantung.

e. DBD dengan Syok dan Perdarahan Spontan

DBD dengan syok dan perdarahan spontan (DSS) merupakan komplikasi

DBD yang sangat penting diwaspadai, karena angka kematiannya sepuluh kali

lipat dibandingkan pada DBD tanpa syok. Keadaan syok dapat diperhatikan dari

keadaan umum, kesadaran, tekanan sistolik <100 mmHg, tekanan nadi <20

mmHg, frekuensi nadi lebih dari 100 x/menit, akral dingin dan kulit pucat serta

diuresis kurang dari 0,5 mL/ kgBB/jam. Pemeriksaan laboratorium yang perlu

adalah darah fosfat lengkap, hemostasis, analisis gas darah, kadar elektrolit

(natrium, kalium, klorida) serta ureum dan kreatinin. Di fase awal DSS, dapat

diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB/jam, dievaluasi dalam 30-120 menit. Syok

diharapkan dapat diatasi dalam 30 menit pertama. Jika syok sudah dapat diatasi,

Ringer Laktat selanjutnya dapat diberikan 10 mL/kgBB/jam dan dievaluasi setelah

60-120 menit sesudahnya. Jika stabil, dapat diberikan 500 mL setiap 4 jam.

Pengawasan dini terhadap risiko syok berulang dalam 48 jam pertama mutlak

karena proses penyakit masih berlangsung. Jika syok belum teratasi, diberikan

cairan koloid 10-20 mL/kgBB/jam, maksimal 1.000- 1.500 mL dalam 24 jam;

jenis cairan yang tidak memengaruhi mekanisme pembekuan darah. Saat ini,

terdapat tiga golongan cairan koloid, yaitu dextran, gelatin, dan hydroxyethyl

starch (HES).

f. Kriteria Memulangkan Pasien

Pasien dapat dipulangkan, apabila:

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perbaikan secara klinis

Hematokrit stabil

Tiga hari setelah syok teratasi

Jumlah trombosit > 50.000/μl

Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau

asidosis)

B. PENCEGAHAN

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan

primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

a. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang

yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Pencegahan primer dilakukan melalui survailans vektor, pengendalian vektor.

Pencegahan sekunder dilakukan dengan penemuan, pertolongan, dan pelaporan

penderita DBD oleh petugas kesehatan. Pencegahan tersier dimaksudkan untuk

mencegah kematian akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi.