BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi II.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi...

31
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (Peter Dunn, 2007) Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012) Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi II.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spinal Anestesi

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal

yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang

intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5

untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang

tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek

fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi

anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan

mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (Peter Dunn, 2007)

Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)

Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di

daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan

intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan

6

kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati

seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta

kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi

kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,

ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang

meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak. (Morgan, 2006)

Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian

sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan

amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan

oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit

menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh

hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak

menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan

tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan

etidocaine. (Morgan, 2006)

Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah

ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain

menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat

isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas

anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien.

Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan

arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah

disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan

7

dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum

fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan

menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,

kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan

kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),

volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah

penyuntikan. (Butterworth, 2004)

Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan

anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis

cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan

menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja

larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu

suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan

sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian

larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke

daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik,

sehingga mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.

(Butterworth, 2004)

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain

hiperbarik pada Anestesi spinal: (Butterworth, 2004)

1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-

1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal

akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan

8

larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti

menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan

tempat injeksi.

2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula

spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin

banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih

banyak dari pada yang pendek.

3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan

bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran

saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural

akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang

subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke

kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.

4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan

mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan

mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis

hiperbarik.

5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia

yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih

memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-

5.

9

6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih

besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara

mengedan.

7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu

percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa

penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih

20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula

kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya

dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi

level blok sensoriknya.

8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain

0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih

tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.

Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan

volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler

akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.

9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan

tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,

sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.

Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada

posisi duduk hanya mencapai T8.

10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring

(lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan

10

bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah

mencapai T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.

2.2 Menggigil

Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk

meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan

temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu tubuh yaitu

dengan cara : (Guyton, 1996)

a. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan

rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.

b. Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak

terlalu penting pada manusia.

c. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme

dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas

dan sekresi tiroksin.

Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti.

Menggigil pascaanestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu : (Sessler dkk,

1991)

1. Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh

karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan dan

suhu ruang operasi yang rendah. Panas yang hilang dapat melalui

permukaan kulit dan melalui ventilasi.

11

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis

pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produk-

produk tersebut.

3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di

hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas. Kompensasi tubuh tidak

terjadi karena penderita tidak sadar dan terkadang lumpuh karena obat

pelumpuh otot.

2.2.1 Mekanisme Menggigil

Ada 3 komponen yang mengatur fisiologi menggigil:

1. Jalur Aferen

2. Regulasi central (termoregulasi)

3. Jalur respon eferen (Bhattacharya, 2003)

Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponen-

komponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti tubuh,

menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon otonom untuk

mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi tubuh yang optimal.

Aferen Neural Pathway

Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat

menjadi pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui

serat delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyal-

sinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,

termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya

mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral. (Brauchi S, 2006)

12

Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan

subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang

menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum tulang

belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari catatan,

hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang belakang, thoraks

dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan 20% dari masukan aferen

termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi terbaru, kulit dan akar dorsal

ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor khusus yaitu: Reseptor Transient

Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol (M) reseptor. (Moqrich, 2005)

Regulasi central (termoregulasi)

Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang

paling penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga

berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus (memicu

suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui jalur aferen.

Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan otonom yang

dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan oleh informasi yang

diterima dari struktur pusat, respon perilaku dan mekanisme efektor yang

dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian besar ditentukan oleh informasi

dari permukaan kulit. (Sessler, 2008)

Konsensus saat ini adalah bahwa input termal diterima dari berbagai

struktur, tanggapan efektor tidak bersamaan dan terjadi pada temperatur yang

berbeda, dan terdapat suhu interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada

respon yang ditimbulkan) potensi hambat diduga mengatur ambang batas di

13

hipotalamus yang dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin,

prostaglandin E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan irama

sirkadian dan mentruation (masing – masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-sama

dengan status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang, alkohol dan

nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di ujung atas dan

vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC. Ambang berkeringat dan

vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria 0,3 - 0.5oC. Respon

menggigil diatur buruk pada orang tua. (Sessler, 2008)

Gambar 2.2 Termoregulasi (Witte J, 2002)

14

Eferen Response Pathway

Respon eferen didasarkan pada gangguan termal yang memicu respon

yang baik meningkatkan kehilangan panas. Setiap respon diatur oleh batas

tertentu. Keseimbangan panas dipertahankan oleh modifikasi perilaku, yang pada

beberapa individu lebih penting daripada kontrol otonom. Kontrol vasomotor

merupakan vasokonstriksi dan piloereksi dalam menanggapi dingin dalam upaya

untuk meningkatkan keuntungan panas sementara vasodilatasi dan peningkatan

berkeringat kehilangan panas dalam menanggapi peningkatan kehangatan. (Buggy

DJ, 2000)

Menggigil non termogenesis dasarnya adalah sebuah bentuk peningkatan

produksi panas metabolik tanpa peningkatan kerja mekanik. Hal ini terjadi di

lemak coklat dan sarana mendapatkan panas pada bayi. (Sessler, 2008)

Menggigil dianggap sebagai cara terakhir untuk meningkatkan produksi

panas metabolik ketika modifikasi perilaku dan vasokonstriksi bersama-sama

dengan perangkat arterio-vena shunting dalam upaya untuk meningkatkan suhu

inti tubuh yang tidak memadai. (Buggy, 2000) Respon menggigil adalah 1oC

kurang dari ambang vasokonstriksi. Menggigil tidak berkembang dengan baik

pada bayi baru lahir. (Sessler, 2008)

Ketika wilayah preoptic dari hipotalamus anterior didinginkan ini

merangsang pusat motor menggigil yang terletak di hipotalamus posterior.

Akibatnya jalur menggigi diaktifkan dan melalui suhu diinduksi aktivasi saraf dari

mesenchephalic, pontine dorsolateral dan pembentukan recticular medula ada

peningkatan tonus otot tulang belakang diwujudkan sebagai menggigil . Stimulasi

15

neuron alpha motor jalur akhir yang umum dan debit sinkron dibawa oleh

penghambatan sel Renshaw ( interneuron penghambatan ) (Bhattacharya, 2003)

Menggigil adalah salah satu penyulit yang sering terjadi pada anestesia,

hal ini terutama terjadi selama dan setelah anestesi regional atau setelah anestesia

umum. Angka kejadian menggigil sebanyak 5–65% setelah anestesi umum dan

30–57% pada anestesi regional. Proses ini adalah suatu response normal

termoregulasi yang terjadi terhadap hipotermia pada bagian inti (core). Akan

tetapi proses menggigil nontermoregulasi juga terjadi setelah operasi walaupun

bersuhu normal karena ini disebabkan oleh karena rangsangan nyeri dan agen

anestesi tertentu. Menggigil menyebabkan komplikasi serius terutama pada pasien

dengan penyakit jantung koroner, hal ini disebabkan karena peningkatan

konsumsi oksigen (hingga 100–600%), peningkatan cardiac output, peningkatan

produksi karbondioksida, katekolamin, penurunan saturasi oksigen mixed venous

(campuran vena). Lebih berat lagi dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial,

tekanan intraokular, mengganggu pemantauan EKG dan tekanan darah,

meningkatkan laju metabolisme, dan terjadi asidosis laktat. Anestesi umum dan

anestesi regional dapat mengganggu otonomi normal kontrol termoregulasi

karena efek vasodilatasi. Sebagian besar narkotik mengurangi mekanisme

vasokonstriksi, hal ini adalah cara menghemat kehilangan panas karena efek

simpatolitiknya. Pelumpuh otot mengurangi tonus otot dan mencegah menggigil.

Anestesi regional menghasilkan blok simpatis, relaksasi otot, dan blok sensoris

terhadap reseptor suhu perifer sehingga menghambat respon kompensasi terhadap

suhu. Anestesi epidural dan spinal menurunkan batas pemicu vasokonstriksi dan

16

menggigil sekitar 0,6° C. Sebagaimana pada anestesi umum, anestesi regional

menurunkan batas menggigil dan vasokonstriksi melalui efek sentral dan efek

blok perifer Berkurangnya sensasi dingin dari perifer. Otak menerjemahkan hal ini

sebagai proses penghangatan merupakan kombinasi vasodilatasi dan blok

terhadap input sensasi dingin yang menghasilkan pengalaman paradoksal pada

pasien sehingga terjadi penundaan kehilangan panas yang bermakna melalui

proses menggigil. (Koeshardiandi M, 2011)

Pusat pengaturan suhu tubuh manusia terletak di hipotalamus, dimana

pusat tersebut mendeteksi suhu tubuh diatas atau dibawah 37oC. Pada cornu

posterior ini terdapat reseptor NMDA dan reseptor opioid dan κ, yang merupakan

reseptor untuk bekerjanya obat yang digunakan mencegah menggigil

pascaanestesi. Hal ini akan memulai respon dari penurunan atau peningkatan suhu

tubuh. Terjadinya hipotermi akan merangsang terjadinya vasokonstriksi dengan

tujuan mengurangi hilangnya panas tubuh serta menggigil. Proses-proses tersebut

bertujuan untuk meningkatkan suhu inti. (Miller dkk, 2010)

Pada kebanyakan pasien yang mendapat tambahan sedatif dan narkotik

untuk mengurangi kecemasan dan demi tujuan kenyamanan selama prosedur

pembedahan lebih cenderung terjadi hipotermia. Sedangkan selama regional

anestesi, pemantauan terhadap suhu inti sangat jarang dilakukan maka hipotermia

akan terjadi dan bisa saja tidak terdeteksi. (Koeshardiandi M, 2011)

Faktor yang berperan dalam proses menggigil pada regional anestesia

adalah jenis obat anestesi yang digunakan, ketinggian blok, lama operasi, usia

pasien, jenis kelamin, dan suhu lingkungan (termasuk suhu ruangan dan suhu

17

cairan infus yang diberikan). Mengatasi meggigil selama dan setelah anesthesia

menjadi bagian penting mengingat berbagai permasalahan yang dapat

ditimbulkannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dengan mengatasi

menggigil setelah anesthesia maka akan menurunkan konsumsi oksigen,

mempertahankan kestabilan hemodinamik, dan memudahkan pemantauan

hemodinamik yang dapat berubah sewaktu-waktu setelah dilakukan regional

anestesia terutama dengan spinal anestesia. Penatalaksanaan menggigil dapat

dilakukan dengan cara pencegahan selama perioperatif dan terapi pada saat terjadi

menggigil dengan dua pendekatan yaitu non farmakologis dan farmakologis.

Langkah awal dalam mencegah terjadinya menggigil adalah pemantauan suhu inti

(core temperature), telah dibuktikan bahwa bila suhu kamar operasi

dipertahankan lebih dari 24° C, maka semua pasien akan berada pada keadaaan

normotermi selama anestesia(dalam hal ini suhu oesofagus 36° C). Pada suhu 21–

24° C sekitar 30% yang mengalami hipotermi. Selain suhu, kelembaban dan aliran

udara juga penting. Tindakan mencegah hipotermi dan menggigil dapat dilakukan

dengan pendekatan non farmakologis disebut metode menghangatkan kembali

(rewarming techniques) yang terdiri dari 3 bagian yaitu pasif eksternal, aktif

eksternal, dan aktif internal. Pendekatan farmakologis diberikan sebagai terapi

menggigil setelah anestesia dengan memberikan salah satu dari berbagai macam

obat yang telah dilaporkan efektif mengurangi menggigil di antaranya adalah

pethidine, fentanyl, buprenorphine, doxapram, clonidine dan ketanserine.

Pethidine menurunkan ambang menggigil dan terbukti efektif mengendalikan

menggigil. Tramadol sebagai analgesia sentral berperan dalam reseptor opiat

18

-HT7 dan telah

terbukti efektif sebagai profilaksis menggigil. Akan tetapi kedua obat tersebut

dihindari pada pasien hamil karena adanya efek pada janin bila diberikan sebelum

bayi lahir atau sebagai profilaksis anti menggigil pada wanita hamil. Ketamin

sebagai salah satu agen yang dapat mengurangi menggigil setelah anestesi, sampai

saat ini masih sedikit penelitian yang menentukan efektivitas dan rentang dosis

ketamin sebagai antagonis kompetitif pada reseptor NMDA. Belum didapatkan

bukti penelitian yang menunjukkan perbandingan efektivitas dosis rendah ketamin

dan mengukur efek sampingnya sebagai terapi menggigil pada wanita hamil yang

menjalani prosedur sectio Caesaria dengan spinal anestesia. Sedangkan ketamin

merupakan pilihan yang paling aman (kategori B) untuk ibu hamil dan janin

dibandingkan obat-obat anti menggigil yang lain. (Koeshardiandi M, 2011)

2.2.2 Pencegahan Menggigil

Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai

berikut: (Miller dkk, 2010)

1. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)

2. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)

3. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau

pasien resiko tinggi

4. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil

5. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :

a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena

b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan

19

c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi

6. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi

7. Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan

kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.

2.3 Ketamin

Ketamin merupakan salah satu antagonis reseptor NMDA. Ketamin

(Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur

mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962. Ketamin

hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non

barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali

diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965.

Ketamin diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, dan telah

ditemukan untuk mengikat opioid reseptor μ dan reseptor sigma. Ketamin dan

metabolit aktif norketamin non-kompetitif adalah antagonis dari N-metil-D-

aspartat (NMDA) reseptor. NMDA antagonis dapat menekan gejala penarikan

opioid. Menekan reseptor NMDA meningkatkan aktivitas reseptor lain, AMPA,

NMDA. AMPA adalah reseptor untuk neurotransmitter glutamat. Dan mempunyai

efek pada serotonin dan norefrinefrin (Gilies et al, 2007).

2.3.1 Mekanisme Kerja

Ketamin mempunyai efek multipel sepanjang sistem saraf pusat, termasuk

mem-blok refleks polisinaptik di jaringan saraf spinal dan menginhibisi efek

neurotransmiter eksitatori pada area tertentu di otak. Berlawanan dengan depresi

RAS yang diinduksi oleh barbiturat, ketamin secara fungsional "mendisosiasi"

20

talamus (yang menyiarkan ulang impuls sensori dari RAS ke korteks serebri) dari

kortek limbic (yang terlibat dalam sensasi kesadaran ). Walaupun beberapa

neuron-neuron otak diinhibisi, yang lain adalah secara tonus tereksitasi. Secara

klinis, status anesthesia disosiatif ini menyebabkan pasien terlihat sadar

(misalnya, membuka mata, menelan, kontraksi otot) tetapi tidak mampu untuk

memproses atau bereaksi terhadap input sensori. Ketamin sudah didemonstrasikan

sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (suatu subtype dari reseptor

glutamat). Keberadaan reseptor spesifik terhadap ketamin ini dan interaksi dengan

reseptor opioid telah dipostulasikan. (Morgan, 2006)

2.3.2 Hubungan Struktur-Aktivitas

Ketamin secara struktur analog dengan fensiklidin. Dengan kekuatan

sepersepuluhnya, namun mempertahankan banyak efek psikotomimetik dari

fensiklidina. Bahkan dosis-dosis yang subterapeutik dari ketamin dapat

menyebabkan efek hallusinogenik. Potensi anestetik yang bertambah dan

penurunan efek samping psikotomimetik dari satu isomer (S[+] versus R[–])

menyiratkan keberadaan reseptor yang stereospesifik. (Morgan, 2006)

Gambar 2.3 Struktur Kimia Ketamin

21

2.3.4 Farmakokinetika

Absorpsi

Ketamin diberikan secara intravena dan intramuskular. Kadar plasma

puncak biasanya dicapai dalam 10–15 menit setelah suntikan intramuskular. Dosis

induksi secara intravena diberikan 1-2 mg/kgBB. Dosis induksi secara

intramuskuler diberikan 3-5 mg/kgBB. (Morgan, 2006)

Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak dan ikatannya dengan protein kurang

dibandingkan thiopental; namun sama-sama terionisasi secara equal pada pH

fisiologis. Karakteristik-karakteristik ini, bersamaan dengan peningkatan aliran

darah otak dan curah jantung yang diinduksi oleh ketamin, mengarah kepada

pengambilan (uptake) otak yang cepat dan redistribusi berikut (waktu-paruh

distribusi adalah 10–15 menit). Sekali lagi, bangunnya kembali adalah karena

redistribusi ke kompartemen-kompartemen perifer. (Morgan, 2006)

Biotransformasi

Ketamin dibiotransformasikan di dalam hepar menjadi beberapa metabolit,

diantaranya (misalnya, norketamin) mempertahankan aktivitas anestetik. Induksi

enzim-enzim hepar mungkin secara parsial menjelaskan terjadinya toleransi pada

pasien yang menerima dosis ketamin berulang. Pengambilan/ uptake hepar yang

luas (rasio ekstraksi hepatik 0.9) menjelaskan waktu-paruh eliminasi ketamin

yang relatif pendek (2 jam). (Morgan, 2006)

22

Ekskresi

Produk akhir biotransformasi dikeluarkan di ginjal. (Morgan, 2006)

2.3.5 Farmakodimanik

Efek pada sistem organ

Kardiovaskular

Perbedaan yang jelas dibandingkan agen-agen anestetik yang lain, ketamin

meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah jantung. Efek

kardiovaskular tak langsung ini adalah karena adanya stimulasi sistem nervus

simpatis sentral dan inhibisi terhadap reuptake dari norepinefrin. Ikut serta dalam

perubahan-perubahan ini adalah peningkatan tekanan arteri pulmoner dan kerja

otot jantung.

Untuk pertimbangan ini, ketamin harus dihindarkan pada pasien-pasien

dengan penyakit arteri koroner, tekanan darah tinggi yang tak terkendali, gagal

jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Efek depresan miokardial direk pada

dosis ketamin yang besar, mungkin karena inhibisi kalsium transien, ’terbuka’

oleh blokade simpatis (misalnya, transeksi korda spinalis) atau cadangan

katekolamin yang makin menipis (misalnya, syok tahap akhir yang berat).

Sebaliknya, efek stimulasi indirek dari ketamin seringkali menguntungkan pasien

dengan syok hipovolemik akut. (Morgan, 2006)

23

Tabel 2.1. Ringkasan Efek Anestetik Nonvolatile pada Sistem Organ

(Morgan, 2006)

Agen kardiovaskular Respirasi Serebral

HR MAP Vent. B’dil CBF CMRO2 ICP

Barbiturate

Tiopental

Tiamilal

Methohexital

↑↑

↑↑

↑↑

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

0

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

Benzodiazepin

Diazepam

Lorazepam

Midazolam

0/↑

0/↑

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

0

0

0

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

Opioid

Pethidin

Morfin

Fentanyl

Sufentanil

Alfentanil

Remifentanil

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

_2

_2

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

↓ ↓ ↓

_2

_2

0

0

0

0

Ketamin ↑↑ ↑↑ ↓ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑ ↑↑↑

Etomidate 0 ↓ ↓ 0 ↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓↓

Propofol 0 ↓↓↓ ↓↓↓ 0 ↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓↓

Droperidol ↑ ↓↓ 0 0 ↓ 0 ↓

1HR, heart rate; MAP, mean arterial pressure; Ven, ventilatory drive; B’dil,

bronchodilation; CBF, cerebral blood flow; CMRO2, cerebral oksigen

consumption; ICP, intracranial pressure; 0, tak ada efek; 0/↑, tak ada perubahan

atau peningkatan ringan; ↓, penurunan (ringan, sedang, signifikan); ↑, peningkatan

(ringan, sedang, signifikan). Efek petidin dan morfin pada MAP dan bronkodilasi

tergantung pada jumlah histamin yang dilepaskan. (Morgan, 2006)

24

Pernafasan

Gerakan ventilasi sedikit dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin yang

biasa, walaupun pemberian bolus intravena secara cepat atau praterapi dengan

opioid adakalanya menyebabkan apneu. Ketamin adalah suatu bronchodilator

yang poten, merupakan suatu agen induksi yang baik untuk pasien-pasien yang

menderita asma. Meskipun refleks jalan nafas atas sebagian besar tetap intak,

pasien-pasien dengan resiko yang meningkat untuk terjadinya pneumonia aspirasi

harus diintubasi. Salivasi yang meningkat yang dihubungkan dengan ketamin

dapat dikurangi dengan premedikasi dengan obat antikholinergik. (Morgan, 2006)

Serebral

Konsisten dengan efek kardiovaskulernya, ketamin dapat meningkatkan

konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial. Efek

ini mengeksklusi penggunaannya pada pasien-pasien dengan SOL intrakranial.

Aktivitas mioklonik dihubungkan dengan peningkatan aktivitas elektrik

subkortikal, yang tidak terlihat nyata di EEG permukaan. Efek samping

psychotomimetik yang tidak diinginkan (misalnya, ilusi, bermimpi buruk, dan

delirium) selama dalam kondisi pemulihan lebih sedikit terjadi pada anak-anak

dan pada pasien yang diberikan premedikasi dengan benzodiazepin. Diantara obat

anestesi non-volatil, ketamin bisa jadi merupakan obat anestesi yang lebih

mendekati ’lengkap’ karena menginduksi analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran.

(Morgan, 2006)

25

Interaksi obat

Obat muskulorelaksan nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin.

Kombinasi teofilin dan ketamin dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya

kejang. Diazepam mengurangi efek kardiostimulasi dari ketamin dan

memperpanjang waktu-paruh eliminasi. Propranolol, phenoxybenzamine, dan

antagonis simpatik yang lain membuka efek depresan miokard yang langsung dari

ketamin. Ketamin menghasilkan depresi myocard ketika diberikan kepada pasien-

pasien yang di-anesthesi dengan halotan atau, kepada sebagian kecil, anestetik

volatil yang lain. Litium dapat memperpanjang durasi kerja ketamin. (Morgan,

2006)

2.4 Petidin

Petidin termasuk dalam analgetik golongan narkotik. Pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1939 oleh Eisleb dan Schaumann. Rumus kimia dari

petidin adalah etil – 1 – metil – 4 – fenilpiperidin – karboksilat

Gambar 2.4 Rumus Kimia Petidin

Petidin bekerja pada reseptor spesifik pada susunan saraf pusat yang

disebut dengan reseptor opioid, dan secara spesifik pada reseptor κ. Sampai saat

ini telah teridentifikasi empat tipe reseptor opioid yaitu reseptor mu (μ, dengan

subtipe μ-1 dan μ-2), reseptor kappa (κ), reseptor delta (δ), dan reseptor sigma (σ)

(Stoelting dkk, 2006).

26

2.4.1 Farmakokinetik

Pemberian petidin secara intramuskular, diabsorbsi secara cepat dan

komplit, dimana kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20 - 60 menit.

Bioavailabilitas secara oral mencapai 45% - 75%.Petidin 64% terikat pada

plasma, dengan lama kerja 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasinya adalah 3 – 4

jam. Rata rata metabolisme petidin 17% per jam (Stoelting dkk, 2006). Petidin

80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan dimetilasi menjadi

norpetidin dan asam petidinat. Setelah mengalami konjugasi akan dikeluarkan

melalui ginjal. Sebanyak 5% - 10% petidin diekskresi melalui ginjal tanpa

mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem

bilier (Stoelting dkk., 2006).

2.4.2 Farmakodinamik

Petidin mempunyai efek analgesia, sedasi, euforia dan depresi pernafasan.

Efek yang menonjol dari petidin yaitu analgesia. Pada pemberian secara

intramuskular dengan dosis 50 - 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai

50%. Analgesia timbul karena terjadinya penghambatan pengeluaran substansi P

di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal (Stoelting dkk., 2006).

Tekanan darah akan mengalami sedikit penurunan pada pemberian petidin

dosis tinggi. Selain itu juga menyebabkan hipotensi orthostatik oleh karena

hilangnya refleks sistem saraf simpatis kompensatorik. Pada penggunaan dosis

besar, kontraktilitas otot jantung akan menurun, menurunkan volume sekuncup

dan tekanan pengisian jantung akan meningkat. Petidin juga menyebabkan

peningkatan laju jantung. Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang

27

dipengaruhi. Depresi pernafasan terjadi terutama karena penurunan volume tidal

dan penurunan kepekaan pusat nafas terhadap CO2. Selain itu juga pemakaian

petidin akan dapat mengurangi spasme bronkus. Pada otak, penggunaan petidin

(dan obat opioid pada umumnya) akan mengurangi konsumsi oksigen otak,

mengurangi aliran darah otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Tetapi ada

beberapa kasus dimana terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakranial pada

pasien dengan tumor otak atau trauma kepala. Angka kejadian mual dan muntah

pada pemberian petidin lebih tinggi dibandingkan dengan morfin, tetapi durasinya

lebih pendek. Kejadian ini oleh karena adanya stimulasi pada daerah medullary

chemoreceptor trigger zone.

Petidin menyebabkan spasme sfingter oddi dan meningkatkan tekanan

intrabilier. Selain itu juga menurunkan tonus dan amplitudo kontraksi ureter.

Petidin sudah sering digunakan untuk terapi menggigil pascaanestesi. Penggunaan

dosis kecil petidin (10 – 25 mg) setiap 5 – 10 menit, efektif untuk mengatasi

menggigil pascaanestesi. Mekanisme petidin dalam mengatasi menggigil

pascaanestesi diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor κ,menghambat

pengambilan 5-HT serta blokade reseptor NMDA. Serotonin (5-HT) dan opioid

merupakan salah satu dari reseptor NMDA inhibitor pada cornu posterior,

sehingga reseptor NMDA akan menurun, kontraksi otot menurun dan sensasi suhu

akan meningkat. Untuk pencegahan menggigil, beberapa peneliti telah melakukan

berbagai percobaan. Dosis petidin yang digunakan sebesar 0,5 mg/kgBB ternyata

efektif mencegah menggigil pascaanestesi (Stoelting dkk.,2006).

28

2.4.3 Efek Samping Obat

Penggunaan petidin dapat menimbulkan efek samping diantaranya pusing,

berkeringat, mulut kering, mual muntah, palpitasi, disfori, perasaan lemah, sedasi

dan sinkop. Pada beberapa kasus atau keadaan dapat terjadi retensi urin dan

obstipasi (Stoelting dkk., 2006).

2.4.4 Interaksi Obat

Kombinasi petidin dengan obat-obat monoamine oxidase inhibitor dapat

mengakibatkan henti nafas, hipotensi atau hipertensi, koma dan hiperpireksia,

dimana sampai sekarang mekanismenya belum jelas diketahui. Pemakaian secara

bersama sama dengan barbiturat, benzodiazepin dan obat-obat depresan system

saraf pusat akan mempunyai efek yang sinergis terhadap sistem kardiovaskular,

respirasi dan efek sedasi. (Stoelting dkk, 2006)

Tabel 2.2. Distribusi Reseptor Opioid (Stoelting dkk, 2006)

29

2.5 Midazolam

Midazolam merupakan salah satu benzodiazepine yang larut dalam air.

(Stoelting dkk, 2006)

2.5.1 Mekanisme atau Cara Kerja

Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di dalam sistem saraf

pusat, terutama dalam korteks serebri. Ikatan Benzodiazepine – receptor

meningkatkan efek inhibisi berbagai jenis neurotransmiter. Sebagai contoh, ikatan

reseptor-benzodiazepin menfasilitasi ikatan GABA–receptor, yang meningkatkan

konduktansi membran ion klorida. Ini menyebabkan suatu perubahan di dalam

polarisasi membran yang menginhibisi fungsi neuron normal. Flumazenil (suatu

imidazobenzodiazepine) adalah suatu antagonis benzodiazepine–receptor yang

spesifik yang secara efektif membalikkan kebanyakan dari efek benzodiazepine

pada sistem saraf pusat. (Morgan, 2006)

2.5.2 Hubungan Struktur – Aktivitas

Struktur kimia dari benzodiazepina-benzodiazepina meliputi suatu cincin

benzena dan tujuh anggota cincin diazepine. Substitusi pada berbagai posisi di

cincin-cincin ini mempengaruhi potensi dan biotransformasi. Cincin imidazol dari

midazolam berperan untuk daya larut air-nya pada pH yang rendah. Ketidak-

larutan diazepam dan lorazepam di dalam air memerlukan sediaan parenteral yang

berisi propilen glikol, yang sudah dihubungkan dengan iritasi vena. (Stoelting

dkk, 2006)

30

Gambar 2.5 Struktur Kimia Midazolam

2.5.3 Farmakokinetika

Absorpsi

Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral, intramuscular, dan

intravena untuk memberikan efek sedasi atau induksi anesthesia umum. Diazepam

dan lorazepam yang diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal, dengan

kadar plasma puncak biasanya dicapai dalam 1 dan 2 jam, berturut-turut.

Meskipun midazolam oral belum disetujui oleh US. FDA, pemberian rute ini telah

populer untuk premedikasi pediatrik. Demikian juga, intranasal (0.2–0.3 mg/kg),

bukal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) midazolam memberikan sedasi

preoperative yang efektif.

31

Tabel 2.3. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin yang Umum Dipakai.

Agen Penggunaan Rute Dosis (mg/kg)

Diazepam Premedikasi

Sedasi

Induksi

Oral

IV

IV

0,2 – 0,5*

0,04 – 0,2

0,3 – 0,6

midazolam Premedikasi

Sedasi

Induksi

Im

IV

IV

0,07 – 0,15

0,01 – 0,1

0,1 – 0,4

Lorazepam Premedikasi

Sedasi

Oral

Im

IV

0,053

0,03 – 0,05**

0,03 – 0,04**

*Maximum dosis 15 mg. **tidak direkomendasikan untuk anak-anak.

Suntikan intramuskular diazepam tak dapat dipercaya dan terasa nyeri.

Sebaliknya, midazolam dan lorazepam diabsorpsi dengan baik setelah suntikan

intramuskular, dengan level puncak dicapai dalam 30 dan 90 menit, berturut-turut.

Induksi anesthesia umum dengan midazolam memerlukan pemberian obat secara

intravena. (Morgan, 2006)

Distribusi

Diazepam merupakan obat yang sangat lipid soluble dan dengan cepat

menembus sawar darah-otak. Meski midazolam dapat larut dalam air pada pH

yang rendah, cincin imidazol-nya menutup pada pH fisiologis, menyebabkan

peningkatan dalam daya larut lipid-nya. Daya larut lipid yang moderat dari

lorazepam memegang peranan dalam uptake otak dan onset-nya yang lebih

lambat. Redistribusi pada benzodiazepin lebih cepat (waktu-paruh distribusi

inisial adalah 3–10 menit) dan, seperti barbiturat, bertanggung jawab atas

kembali-bangunnya pasien. Meski midazolam sering digunakan sebagai agen

32

induksi, tidak satu pun dari benzodiazepina-benzodiazepina itu dapat (match)

bersesuaian dengan kecepatan onset dan durasi kerja pendek thiopental. Ketiga

benzodiazepin tersebut sangat tinggi terikat protein (90–98%). (Morgan, 2006)

Biotransfermasi

Benzodiazepin bersandar pada hati untuk biotransformasi dengan hasil

akhir glucuronida yang larut-air. Tahap I, metabolit-metabolit dari diazepam

bersifat aktif secara pharmakologis. (Morgan, 2006)

Ekstraksi hepatik yang lambat dan Vd yang besar mengakibatkan suatu

waktu-paruh eliminasi yang panjang untuk diazepam (30 jam). Meski lorazepam

juga mempunyai suatu rasio ekstraksi hepatik yang rendah, daya larut lipid-nya

yang lebih rendah membatasi Vd-nya, menghasilkan suatu waktu-paruh eliminasi

yang lebih pendek (15 jam). Meskipun begitu, durasi klinis lorazepam seringkali

menjadi cukup panjang karena afinitas reseptornya yang sangat tinggi.

Sebaliknya, midazolam berbagi Vd-nya diazepam, tetapi waktu-paruh eliminasi-

nya (2 jam) adalah yang paling pendek dari kelompok oleh karena rasio ekstraksi

hepatiknya yang tinggi. (Morgan, 2006)

Ekskresi

Metabolit dari biotransformasi benzodiazepin dikeluarkan terutama di

dalam urin. Sirkulasi enterohepatic menghasilkan suatu puncak sekunder di dalam

konsentrasi plasma diazepam 6–12 jam setelah pemberian. Gagal ginjal dapat

mengarah ke kondisi sedasi yang memanjang pada pasien yang menerima

midazolam karena adanya akumulasi metabolit yang terkonjugasi (α-

hydroxymidazolam). (Morgan, 2006)

33

2.5.4 Farmakodinamika

Efek pada Sistem Organ

Kardiovaskuler

Benzodiazepin memperlihatkan efek depresan cardiovasculer yang

minimal walaupun pada dosis-dosis induksi. Tekanan darah arteri, curah jantung,

dan resistensi vascular perifer biasanya menurun sedikit, sedangkan laju denyut

jantung kadang-kadang naik. Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah

dan resistensi vaskular perifer lebih dari diazepam. Perubahan dalam variabilitas

denyut jantung selama sedasi midazolam menandakan adanya tonus vagal yang

menurun (= drug induced vagolysis). (Morgan, 2006)

Pernafasan

Benzodiazepin menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini

biasanya tidak signifikan kecuali jika obat itu diberikan secara intravena atau

bersama-sama dengan depresan napas yang lain. Meski apnea mungkin kurang

umum setelah induksi benzodiazepina dibanding setelah induksi barbiturat,

walaupun dengan dosis intravena yang kecil, diazepam dan midazolam sudah

dapat menimbulkan henti napas. Kurva dose–response yang curam, onset yang

sedikit memanjang (dibandingkan dengan thiopental atau diazepam), dan potensi

tinggi dari midazolam mengharuskan titrasi yang seksama untuk menghindari

overdosis dan apnea. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang menerima

benzodiazepin intravena, dan peralatan resusitasi harus tersedia dengan segera.

(Morgan, 2006)

34

Serebral

Benzodiazepina mengurangi konsumsi oksigen cerebral, aliran darah

cerebral, dan tekanan intracranial tetapi tidak setingkat barbiturat. Obat ini sangat

efektif dalam mencegah dan mengendalikan grand mal seizures. Dosis sedatif oral

sering kali menghasilkan amnesia antegrade, suatu wahana premedikasi yang

bermanfaat. Efek muskulorelaksan yang ringan dari obat ini dimediasi pada

tingkatan korda spinalis, bukan di neuromuscular junction. Anxiolitik, amnesik,

dan efek sedatif terlihat pada dosis yang rendah dan berlanjut ke stupor dan tidak

sadar pada dosis induksi. Dibandingkan dengan thiopental, induksi dengan

benzodiazepine berhubungan dengan penurunan kesadaran yang lebih lambat dan

recovery yang lebih panjang. Benzodiazepine tidak memiliki efek analgesik yang

langsung. (Morgan, 2006)

Interaksi obat

Simetidin berikatan dengan sitokrom P-450 dan mengurangi metabolisme

diazepam. Eritromisin menginhibisi metabolisme midazolam dan menyebabkan

perpanjangan dan intensifikasi efek 2 – 3x lipat . Heparin memindahkan diazepam

dari lokasi-lokasi ikatannya dengan protein dan meningkatkan konsentrasi obat

bebas (peningkatan 200% setelah pemberian 1000 unit heparin). (Morgan, 2006)

Kombinasi opioid dengan diazepam secara jelas mengurangi tekanan

darah arterial dan resistensi vaskuler perifer. Interaksi sinergistik ini terutama

sekali harus dicamkan pada pasien-pasien dengan penyakit jantung valvuler atau

ischemik. Benzodiazepine mengurangi konsentrasi minimum alveolar gas

35

anestetis sebesar 30%. Etanol, barbiturat, dan depresan sistem saraf pusat lain

mempotensiasi efek sedatif dari benzodiazepine. (Morgan, 2006)