3. Artikel Tesis

26
1 A. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN Sebuah kebiasaan yang lahir dari individu dan masyarakat dapat membentuk tatanan kelakuan. Tatanan kelakukan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi budaya. Meleburnya ketiga hal tersebut (kebiasaan, kelakuan, dan budaya) melahirkan satu tatanan lagi yang disebut dengan kesepakatan. Berbagai bentuk kebiasaan masyarakat, secara mudah, dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Hal ini dilakukan oleh masyarakat terkait dengan perannya sebagai makhluk sosial. Salah satu bentuk kebiasaan masyarakat tersebut adalah kebiasaan berbahasa dan berkomunikasi. Berbahasa dan berkomunikasi merupakan dua aktivitas yang saling berkaitan. Berkaitan dengan aktivitas berbahasa dan berkomunikasi tersebut, linguis menyatakan, jika seorang, dua orang, atau beberapa orang berkomunikasi (melakukan aktivitas pertuturan), mereka secara langsung dan sengaja telah membawa suatu misi atau pesan yang signifikan. Mereka telah mempertukarkan tanda-tanda untuk membagi makna-makna. Masinambow (2002:11) menganggap kebudayaan itu sendiri sebuah sistem tanda (semiotik) sehingga untuk menjelaskan konsep-konsep tanda dalam bahasa akan sangat tepat jika dikaji dengan semiotik. Munculnya semiotik tidak terlepas dari ide dan pengaruh dua tokoh, Saussure dan Peirce, yang mana kajiannya adalah menitikberatkan pada studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Saussure mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem tanda sehingga kajiannya lebih kepada telaah linguistik dari perspektif linguistik, sedangkan Peirce lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk mengkaji tanda di luar tanda-tanda kebahasaan. Tanda-tanda bahasa merupakan salah satu fenomena linguistik. Fairclough (1989:25) menjelaskan bahwa fenomena linguistik itu bersifat sosial yang di mana pun orang berbicara atau mendengar atau menulis atau membaca, mereka melakukannya dengan cara-cara yang tergantung pada kondisi sosial dan juga mempunyai efek sosial. Salah satu cara berbahasa yang seringkali digunakan oleh

Transcript of 3. Artikel Tesis

Page 1: 3. Artikel Tesis

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN

Sebuah kebiasaan yang lahir dari individu dan masyarakat dapat

membentuk tatanan kelakuan. Tatanan kelakukan yang dilakukan secara terus

menerus akan menjadi budaya. Meleburnya ketiga hal tersebut (kebiasaan,

kelakuan, dan budaya) melahirkan satu tatanan lagi yang disebut dengan

kesepakatan.

Berbagai bentuk kebiasaan masyarakat, secara mudah, dapat ditemukan

dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang dilakukan oleh individu maupun

kelompok. Hal ini dilakukan oleh masyarakat terkait dengan perannya sebagai

makhluk sosial. Salah satu bentuk kebiasaan masyarakat tersebut adalah kebiasaan

berbahasa dan berkomunikasi. Berbahasa dan berkomunikasi merupakan dua

aktivitas yang saling berkaitan.

Berkaitan dengan aktivitas berbahasa dan berkomunikasi tersebut, linguis

menyatakan, jika seorang, dua orang, atau beberapa orang berkomunikasi

(melakukan aktivitas pertuturan), mereka secara langsung dan sengaja telah

membawa suatu misi atau pesan yang signifikan. Mereka telah mempertukarkan

tanda-tanda untuk membagi makna-makna. Masinambow (2002:11) menganggap

kebudayaan itu sendiri sebuah sistem tanda (semiotik) sehingga untuk

menjelaskan konsep-konsep tanda dalam bahasa akan sangat tepat jika dikaji

dengan semiotik.

Munculnya semiotik tidak terlepas dari ide dan pengaruh dua tokoh,

Saussure dan Peirce, yang mana kajiannya adalah menitikberatkan pada studi

tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Saussure

mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem tanda sehingga kajiannya lebih

kepada telaah linguistik dari perspektif linguistik, sedangkan Peirce lebih banyak

memfokuskan perhatiannya untuk mengkaji tanda di luar tanda-tanda kebahasaan.

Tanda-tanda bahasa merupakan salah satu fenomena linguistik. Fairclough

(1989:25) menjelaskan bahwa fenomena linguistik itu bersifat sosial yang di mana

pun orang berbicara atau mendengar atau menulis atau membaca, mereka

melakukannya dengan cara-cara yang tergantung pada kondisi sosial dan juga

mempunyai efek sosial. Salah satu cara berbahasa yang seringkali digunakan oleh

Page 2: 3. Artikel Tesis

2

penuturnya dalam mempertukarkan pesan dan tanda-tanda bahasa adalah model

tuturan mitos.

Dari sudut pandang bahasa, Barthes (2003:122) mengartikan mitos

sebagai satu jenis tuturan. Barthes juga menjelaskan bahwa mitos termasuk

sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian merupakan sebuah pesan yang

kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah

ide. Mitos adalah sebuah model penandaan, yakni sebuah bentuk.

Dalam pengkajian tanda (semiotik), secara umum mitos diartikan sebagai

bentuk bahasa yang mengandung peristiwa sosial yang hidup. Mitos mengandung

sebuah pesan yang diyakini oleh masyarakat tertentu dan muncul ke permukaan

melalui proses pengulangan.

Lain ladang, lain pula ilalangnya. Ungkapan ini dirasa pantas untuk

mengetahui mitos-mitos yang ada pada setiap masyarakat di dunia. Bahkan,

bentuk dan tuturan mitos dalam suatu masyarakat tertentu, dimiliki pula oleh

masyarakat di tempat lainnya (lain ladang, terkadang sama pula ilalangnya).

Dalam masyarakat Cina, mitos yang paling dikenal adalah mitos tentang

Lao Tzu1 yang dituturkan oleh Lin (2003:9) bahwa Lao Tzu selalu menunggang

kerbau (sakti), kerbau itu juga digunakan untuk mengembara ke Barat.

Masyarakat Finlandia meyakini bahwa kucing hitam akan membawa jiwa

manusia ke alam baka, seperti yang dituturkan berikut hormati kucing hitam

karena ia akan menjiwamu menuju pelukan Tuhan (Mitos Black Cat, 2008).

Di Indonesia, mitos juga muncul dalam beragam bentuk, seperti, tabu,

pemali, kepercayaan, dan cerita-cerita tertentu. Semua mitos itu dituturkan oleh

masyarakat melalui tuturan mitos. Sebagai contoh, mitos wanita hamil yang

hampir oleh masyarakat Indonesia menuturkannya, seperti yang telah penulis alih

bahasakan ke dalam bahasa Indonesia berikut:

1 Seorang filosofis kontemporer Konghucu yang hidup pada abad keenam S.M. Pemikirannya

tentang Jalan Tao (sebuah bentuk keyakinan) saat itu sangat memengaruhi masyarakat Cina

(Konghucu). Jalan Tao (Taoisme) adalah suatu kearifan yang meliputi totalitas dunia. Kepercayaan

ini melibatkan roh pasif, menyangkut pencarian keabadian harfiah yaitu berupaya mencari pulau

orang-orang yang diberkahi sebelum ajal, atau dengan menemukan dan meminum obat mujarab

yang akan memberi kehidupan tanpa akhir kepada tubuh fisik.

Page 3: 3. Artikel Tesis

3

1. Jika ia makan buah pisang kembar (yang berdempet), ia akan melahirkan

anak yang kembar.

2. Makan makanan yang pedas akan membuat janin kepanasan2.

3. Tidak boleh duduk di depan pintu. Hal itu akan menyulitkan proses

persalinan saat melahirkan.

4. Menahan selera makan saat hamil tua akan membuat bayi yang dilahirkan

mengiler, dan banyak lagi.

Tuturan mitos sangat penting dikaji untuk menjelaskan tanda-tanda bahasa

yang termuat di dalamnya. Tanda-tanda itu pula memuat fungsi dan makna yang

dapat menjelaskan mengapa masyarakat Kenagarian Toboh Gadang bermitos,

mengapa tokoh-tokoh tertentu disebut-sebut sehingga ia menjadi tuturan mitos

tokoh, dan sebagainya.

Selain itu, tuturan mitos dikaji untuk mengetahui tokoh-tokoh yang

diasumsikan berhubungan dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di

Kenagarian Toboh Gadang sehingga nama-nama tokoh tersebut sering disebut-

sebut andilnya, kelebihan-kelebihannya, peran-perannya dalam masyarakat,

sifatnya yang tak dimiliki oleh tokoh lainnya, dan sebagainya.

Tokoh-tokoh yang dimaksudkan tersebut adalah tokoh yang sering

dituturkan oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang memiliki jasa, cerita, dan

dikenal berpengaruh dalam hal agama (dalam hal ini adalah agama Islam), di

antaranya adalah Syekh Burhanuddin, Ungku Saliah, Bagindo Gerai (Tuangku

Bagindo), Buya Kiambang, Syekh Malalo, dan Buya Mato Aia.

Hal penting lainnya dari penelitian ini adalah penulis mengamati bahwa

tuturan mitos tokoh agama tersebut sering diceritakan oleh tetua masyarakat

Kenagarian Toboh Gadang kepada anak dan cucunya dalam kaitannya

mengenalkan sejarah, menasihati anak, menokohkan seseorang, dan sebagainya.

Hal itu menyebabkan kaum muda kenagarian tersebut juga mengenal tokoh-tokoh

yang disebutkan, dan tuturan itu adalah fenomena berbahasa yang dapat

memotivasi diri dan juga orang-orang sekitar untuk bersikap baik dalam

kehidupan bermasyarakat.

2 Pernyataan ini juga disampaikan pada iklan susu untuk ibu hamil (lactamil) tahun 2009.

Page 4: 3. Artikel Tesis

4

B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini yaitu masalah tuturan

kebahasaan (tuturan mitos) yang secara umum melibatkan kajian semiotik dan

didukung oleh kajiaan beserta pendekatan lainnya. Sehubungan dengan itu,

penelitian ini dibatasi pembahasannya pada masalah pokok yang dirumuskan

sebagai berikut,

1. Bagaimanakah bentuk tanda bahasa yang terdapat dalam tuturan mitos

tokoh agama yang terdapat pada masyarakat Kenagarian Toboh Gadang?

2. Apa sajakah makna tanda bahasa yang tercakup dalam tuturan mitos tokoh

agama tersebut?

3. Apa fungsi tuturan mitos tokoh agama yang digunakan oleh masyarakat

Kenagarian Toboh Gadang?

4. Bagaimanakah nilai yang terkandung dari tuturan mitos tokoh agama itu

dalam kaitannya dengan kebudayaan mentalitas masyarakat Kenagarian

Toboh Gadang?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah melihat fenomena tuturan mitos tokoh

gama dalam bahasa Minangkabau di Kenagarian Toboh Gadang. Adapun tujuan

khusus penelitian ini adalah,

1. Menjelaskan bentuk tanda bahasa yang terdapat dalam tuturan mitos tokoh

agama yang terdapat pada masyarakat Kenagarian Toboh Gadang.

2. Menjelaskan makna tanda bahasa yang tercakup dalam tuturan mitos

tokoh agama tersebut.

3. Menjelaskan fungsi bahasa dalam tuturan mitos tokoh agama yang

digunakan oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang.

4. Memaparkan nilai-nilai yang terbentuk dari tuturan mitos tokoh agama itu

dalam kaitannya dengan kebudayaan mentalitas masyarakat Kenagarian

Toboh Gadang.

Page 5: 3. Artikel Tesis

5

D. MANFAAT PENELITIAN

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan

atau acuan bagi penelitian berikutnya. Tidak tertutup kemungkinan pula, bagi

peneliti lain nantinya, untuk melanjutkan penelitan ini dengan cakupan yang lebih

luas.

Manfaat lain dari penelitian ini adalah mengenalkan pada masyarakat,

khususnya masyarakat Minangkabau bahwa secara umum masyarakat

Minangkabau memiliki tuturan-tuturan mitos yang di antaranya adalah tuturan

mitos tokoh agama. Selain itu, penulis berharap penelitan ini dapat memberikan

pemahaman kepada pembaca tentang bagaimana penggunaan tuturan mitos tokoh

agama tersebut dalam kaitannya sebagai bagian dari tuturan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat.

E. KERANGKA TEORI

E.1 Semiotik dan Semiologi

Semiotik atau semiotika dan semiologi berakar dari studi klasik dan

skolastik atau seni logika, retorika, dan poetika. Akar namanya adalah semeion.

Tampaknya diturunkan oleh kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan

perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial (Sinha dalam

Kurniawan, 2001:49).

Antara semiotik dan semiologi sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar.

Kalaupun ada, perbedaan itu lebih mengacu pada orientasinya. Penggunaan

semiotika mengacu kepada Peirce yang bekembang di Amerika, sedangkan

semiologi menunjukkan istilah yang disampaikan oleh Saussure yang berkembang

di Eropa. Dua terminologi tersebut menitikberatkan kajiannya pada studi tentang

tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Kecenderungan Peirce adalah

meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan

Saussure menekankan pada linguistik.

Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama

perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi

sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang

Page 6: 3. Artikel Tesis

6

memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda dan ada sistem. Selanjutnya, kajian

Saussure lebih pada strukturalisme yang dikenal dengan one to one corespondent,

oposisi biner, positivisme. Konsep tentang penanda dan petanda merupakan

rumusan Saussure. Saussure cenderung mempersoalkan struktur dalam tanda-

tanda dengan menunjukkan proses penandaan itu pada sistem diadik, yakni

penanda dan petanda, contohnya, bunga sebagai tulisan, tanda, coretan (signifier),

sedangkan konsep yang ada pada bunga, yang terdiri atas mahkota, tangkai, putik

dan lain-lain merupakan petanda (signified).

Peirce yang ahli filsafat dan logika menyatakan penalaran manusia

senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat

tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat

diterapkan pada segala macam tanda. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah

semiotika lebih populer daripada semiologi. Kajian Peirce lebih kepada

pragmatisme dan memfokuskan perhatiannya pada tanda di luar tanda-tanda

kebahasaan.

Peirce tidak hanya berfokus pada studi bahasa, tetapi juga studi-studi

simbol di luar bahasa, misalnya code visual. Pemikiran Pierce ini menjadi tonggak

studi lebih lanjut menyangkut simbol dan budaya. Elaborasi lebih lanjut tentang

kode dan budaya lalu dilakukan Roland Barthes dan Umberto Eco. Dalam

penandaannya, Pierce terkenal dengan triadik, yakni representamen, objek dan

interpretan.

Namun demikian, sejak kemunculan Saussure dan Peirce maka semiologi

menitikberatkan kajiannya pada studi tentang tanda dan segala sesuatu yang

berkaitannya. Sementara itu, bagi Barthes, semiologi hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-ojek itu

tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes

melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang

terstruktur.

Page 7: 3. Artikel Tesis

7

Signifikasi itu tak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula pada hal yang

bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri

merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, menurut Kurniawan

(2001:53) kehidupan sosial, apa pun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda

tersendiri pula.

Pengkajian yang akan dilakukan terhadap analisis tuturan mitos tokoh ini

adalah dengan menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Roland Barthes.

Teori semiotik Barthes dikembangkan dari teori penanda-petanda yang dicetuskan

Ferdinand de Saussure. Salah satu teori Saussure yang dikembangkan Barthes

adalah signifikansi.

Teori tersebut membicarakan dikotomi signifiant3 (penanda) dan signifie

(petanda). Menurut Saussure, bahasa sebagai sebuah sistem tanda terdiri atas dua

aspek yang tidak terpisahkan. Signifiant adalah aspek formal atau bunyi; sebuah

citra akustis, sedangkan signifie4 adalah aspek makna atau konsep.

Kesatuan di antara keduanya disebut tanda. Relasi tersebut menunjukkan

bahwa jika citra akustis berubah, berubah pula konsepnya, demikian juga

sebaliknya. Berikut ini adalah ilustrasi model tanda oleh Saussure yang dikenal

dengan Saussure’s dyadic sign model „model dualisme tanda Saussure‟.

SIGN

(TANDA)

SIGNIFIANT (PENANDA)

aspek formal/bunyi/citra

SIGNIFIE (PETANDA)

Aspek makna/konsep Model dualisme tanda Saussure

Model tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Barthes dengan menjelaskan

bahwa tanda sebagai suatu sistem yang terdiri atas E (Ekspresi), R

(Relation/berhubungan) dan C (Content/isi): ERC. Agar lebih jelas, penulis akan

menggunakan istilah Penanda (Pn) untuk E dan Petanda (Pt) untuk C. Penggunaan

istilah ini mengacu pada penjelasan Kurniawan (2001:67).

3 Signifiant adalah istilah yang digunakan oleh Saussure untuk menyebut penanda yang oleh

Barthes disebut signifier. 4 Signifie adalah istilah yang digunakan oleh Saussure untuk menyebut petanda yang oleh Barthes

disebut signified.

Page 8: 3. Artikel Tesis

8

Suatu sistem tanda pertama dapat menjadi sebuah unsur sistem tanda yang

lebih komprehensif. Kalau pengembangannya dari salah satu isi, tanda pertama

akan menjadi sistem tanda kedua, seperti yang terlihat dalam model berikut.

Pn Pt Pn Pt

Pn Pt Pn Pt

Model Tanda Barthes

Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem konotasi adalah sebuah sistem yang

bidang penandanya adalah dirinya yang dikonstitusi oleh sebuah sistem

penandaan. Penanda konotasi (konotator) dibangun dari tanda-tanda dari sistem

denotasi. Menurut Kurniawan (2001:68) konotasi dan metabahasa cermin

berlawanan satu sama lain.

Metabahasa operasi-operasi tanda yang membentuk mayoritas bahasa-

bahasa ilmiah sangat berperan untuk menetapkan sistem riil dan dipahami sebagai

petanda, sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utamanya bersifat

sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah

tatanan atau ideologis umum. Model tanda di atas kemudian disederhanakan,

seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini.

1. Penanda 2. Petanda

3. Tanda

I. PENANDA

II. PETANDA

III. TANDA

Penyederhanaan Model Tanda Barthes (2003:129)

Pada bagan tersebut tampak bahwa proses signifikansi terjadi dalam dua

tahap. Pada tahap pertama tanda terdiri atas penanda dan petanda. Contoh, kursi

(penanda); kayu (petanda). Selanjutnya, pada pemaknaan tingkat kedua penanda

dan petanda tersebut menyatu menjadi tanda (tahap1). Selanjutnya, tanda

dipandang sebagai PENANDA. Pada tahap ini terjadi kekosongan petanda.

Denotasi

Konotasi Metabahasa

Objek bahasa

2.Denotasi

1.Konotasi Metabahasa

Objek Bahasa

Page 9: 3. Artikel Tesis

9

Petanda yang kosong ini menjadi potensial dan terbuka untuk

berkembangnya proses pemaknaan. PENANDA yang sudah ada dimaknai lagi

sehingga menghasilkan PETANDA. Penggabungan selanjutnya adalah PENANDA

dan PETANDA yang menjadi TANDA (tahap 2). Dari hal tersebut, terjadilah

pergeseran makna dari denotasi ke konotasi. Bahasa berada pada tingkatan

pertama dan sastra berada pada tingkatan kedua.

Untuk menghasilkan pemaknaan yang mendalam, digunakan juga konsep

pemaknaan hermeneutik. Secara etimologi, Ricoeur (2002:43) menjelaskan kata

hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang berarti

“menafsirkan”. Ia juga mendefinisikan, “hermeneutika adalah ilmu yang mengkaji

interpretasi teks” (Ricoeur, 2002:52). Dalam penelitian ini, penulis bertindak

sebagai interpreter teks lisan untuk menggali dan menafsirkan makna seobjektif

mungkin berdasarkan kondisi dan peristiwa sosial yang muncul dari tuturan mitos

tokoh agama.

Konsep hermeneutika dalam penelitian ini adalah penafsiran makna atau

pesan dari tuturan mitos tokoh agama, khususnya pada makna konotasi. Konsep

hermeneutika beroperasi ketika makna dan pesan dalam tuturan ditafsirkan sesuai

dengan pemahaman peneliti.

E.2. Mitos

Barthes menyebutkan mitos adalah satu jenis tuturan (2003:122). Sebagai

sebuah tuturan, tentulah ia merupakan sebuah rentetat bahasa. Bahasa berperan

penting dalam komunikasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi, Barthes juga

mendeskripsikan bahwa mitos termasuk sebuah sistem komunikasi yang dengan

demikian dia adalah sebuah pesan yang kemudian tak mungkin dapat menjadi

sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode

penandaan, yakni sebuah bentuk.

Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, Gunawan (1981:107)

menyebutkan bahwa mitos sendiri merupakan peristiwa sosial yang hidup yang

hanya dapat dipahami dalam konteks manusia sungguh-sungguh dan di tempat

yang sungguh-sungguh. Hal tersebut seiringan pula dengan apa yang dijelaskan

Page 10: 3. Artikel Tesis

10

oleh Barthes dalam Hasanudin (2001:40) bahwa persoalan mitos adalah persoalan

setiap kelompok masyarakat.

Mitos akan selalu hidup di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu dan

akan memberi pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan masyarakat

tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa bentuk mitos yang ada dalam kelompok

masyarkat berbeda-beda. Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa mitos

memiliki sifat mudah berubah, dan mungkin tak bisa dikekang (Culller, 2003:55).

Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia

menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di

waktu lampau. Namun, pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu

yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan

apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan. Maka, setiap kali mitos

dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya,

Dalam kaitannya dengan keyakinan, Hasanudin (2001:40) menyebutkan

bahwa mitos bukanlah persoalan betul salah, melainkan keberadaan dan

kegunaannya sebagai pembentuk integritas sosial suatu masyarakat. Jika mitos ini

tumbuh dan berkembang hal ini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai suatu

kebenaran. Hal tersebut diperjelas pula oleh Junus (1981:84), bahwa kehidupan

manusia, dengan sendirinya hubungan antarmanusia, dikuasai mitos-mitos, dan

sikap seseorang terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada di dalam dirinya.

Dari berbagai hal yang dijelaskan tersebut, dapat diketahui bahwa selain

berbentuk bahasa dan pemindahan kode-kode, mitos juga berarti suatu yang

diyakini secara umum oleh kelompok masyarakat tertentu yang kemudian

memberi pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup mereka, serta

hidup dan matinya sebuah mitos ditentukan oleh masyarakat.

Namun demikian, untuk menentukan sebuah tuturan apakah termasuk

mitos atau bukan, diperlukan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang

dimaksud berbanding lurus dengan pengertian-pengertian sebagaimana disebutkan

di atas sehingga untuk menentukan sebuah tuturan termasuk mitos atau bukan,

penulis akan mengujinya dengan ketentuan berikut:

Page 11: 3. Artikel Tesis

11

1. Tuturan tersebut termasuk sebuah sistem komunikasi.

2. Tuturan tersebut mengandung sebuah pesan dan mengandung

imajinasi dalam pikiran penutur.

3. Tuturan tersebut efektif sebagai alat komunikasi masa yang mana ia

mendorong perbuatan.

4. Tuturan tersebut mengandung kode-kode sosial, budaya, dan ideologi.

5. Tuturan yang mengandung peristiwa sosial yang hidup atau penggalan

cerita.

6. Tuturan tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks manusia

sungguh-sungguh dan di tempat yang sungguh-sungguh.

7. Tuturan itu merupakan persoalan setiap kelompok masyarakat.

8. Tuturan itu tidak dilihat persoalan betul salah, tetapi persoalan

keberadaan dan kegunaannya sebagai pembentuk integritas sosial

suatu masyarakat.

9. Tuturan itu muncul ke permukaan melalui proses pengulangan.

10. Tuturan itu diyakini oleh masyarakat dan memberi pengaruh terhadap

pola tingkah laku dan pandangan hidup penuturnya.

E.2.1 Bentuk dan Jenis mitos

Secara utuh, penulis belum menemukan referensi tentang pembahasan

bentuk atau jenis mitos. Hal ini di satu sisi membuat penulis bingung. Namun, di

sisi lain membuat penulis berani memformulasikan sendiri atau menawarkan

rumusan tentang bentuk atau jenis mitos berdasarkan referensi yang telah

ditemukan. Seperti halnya Barthes (2003) menyebutkan bahwa tuturan jenis mitos

dapat berupa mode oral, mode penulisan, mode representasi. Turunan ini dapat

berupa wacana tertulis, fotografi, laporan, film, olahraga, pertunjukan, atau apa

pun yang dapat memberikan dukungan kepada tuturan mitos.

Artinya berdasarkan jenis tuturannya, mitos dapat dibedakan menjadi tiga

hal yaitu mitos mode oral, mode tulisan, dan mode representasi. Dan berdasarkan

bentuknya terdiri atas mitos wacana tertulis, mitos fotografi, mitos laporan, mitos

film, mitos olahraga, dan mitos pertunjukan.

Page 12: 3. Artikel Tesis

12

Masih dalam bukunya berjudul mythologies, Barthes juga menyebutkan

terdapatnya mitos masa kini (kontemporer/modern). Hal ini dapat

diinterpretasikan bahwa ada pula mitos masa lalu (kuno/klasik) sehingga dapat

dikatakan pengkategorian itu berdasarkan sifatnya.

Berdasarkan mitos-mitos yang telah ada, penulis dapat melihat

pengategorian selanjutnya yaitu berdasarkan tujuan, kejadian, yang dibicarakan,

dan pelaku mitos. Jika pun ada mitos-mitos lainnya hal ini mungkin menjadi

wewenang yang lain untuk mengategorikannya. Pengategorian tersebut terlihat

dalam tabel berikut,

Mitos (Roland Barthes)

Jenis tuturan Bentuk Sifat

1. model oral

2. model penulisan

3. model representasi

1. wacana tertulis

2. fotografi

3. laporan

4. film

5. olahraga

6. pertunjukan

1. kontemporer/modern

2. kuno/klasik

Pengategorian mitos Roland Barthes

Berdasarkan kajian sementara yang telah dilakukan, tampaknya bentuk tuturan

mitos berkaitan atau berhubungan dengan manusia, pekerjaan, tokoh, dan kejadian

sehingga dapat diklasifikasikan sebagaimana tabel berikut,

Tujuan

(manusia)

Tujuan

(pekerjaan)

Pelaku dalam

Mitos (Tokoh) Kejadian

1. laki-laki

2. perempuan

3. anak-anak

4. remaja

5. dewasa

6. tua

7. umum

(semua)

1. pedagang

2. petani

3. siswa

4. mahasiswa

1. manusia

2. hewan

3. tumbuhan

4. makhluk

halus

1. kehamilan

2. kelahiran

3. perkawinan

4. kematian

Pangategorian mitos berdasarkan kajian sementara

Berdasarkan tabel tawaran di atas, penulis akan mengkaji tuturan mitos

tokoh. Dalam KBBI (2007) dinyatakan bahwa tokoh berarti rupa (wujud dan

Page 13: 3. Artikel Tesis

13

keadaan), macam atau jenis. Jika seseorang, ia seorang yang dapat dijadikan

contoh dan dapat diteladani sifat baiknya. Jika tidak, ia adalah sesuatu yang

diungkapkan satu segi wataknya. Apa yang dilakukannya menimbulkan kejutan.

Tokoh manusia seperti terlihat dalam tabel di atas diasumsikan memiliki varian-

varian lagi yang akan diketahui setelah memperoleh data di lapangan.

Selanjutnya, berhubung teori semiotik Roland Barthes tidak mengkaji

bentuk tuturan mitos secara komprehensif (hanya sampai pada tahap penada dan

petanda), penulis menggunakan pendekatan tindak tutur yang telah dimodifikasi

oleh Austin (1962) dan Wijana (1996).

Kajian ini digunakan terutama dalam konteks tuturan mitos yang ada. Hal

ini dilakukan agar bentuk tuturan mitos dapat terungkap sebagaimana kajian

kebahasaan. Adapun bentuk-bentuk tuturan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Tuturan Langsung dan Tidak Langsung

Wijana (1996:30) menyatakan secara formal, berdasarkan modusnya,

kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya

(interogratif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat

berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya

untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah,

ajakan, permintaan, atau permohonan.

Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan

sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh,

mengajak, memohon, dan sebagainya tindak tutur yang terbentuk adalah

tindak tutur langsung (direct speech act).

Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur

untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung.

Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat

tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.

2. Tuturan Literal dan Tidak Literal

Wijana (1996:32) menyatakan bahwa tindak tutur literal (literal speech

act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang

menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act)

Page 14: 3. Artikel Tesis

14

adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan

makna kata-kata yang menyusunnya untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari

contoh berikut:

3. Tuturan Konstatif dan Performatif

Menurut Austin dalam Wijana (1996:23) dalam mengutarakan tuturan,

seseorang dapat melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Berbahasa

tidak hanya mengatakan aktivitas sesuatu, tetapi juga dapat mengatakan

sekaligus melakukan sesuatu.

Tuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative

utterance). Tuturan ini digunakan untuk menggambarkan atau menyampaikan

peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya. Sifat dari tuturan konstatif adalah

memperhatikan betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984:201). Austin (dalam

Wijana,1996:27) menyatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari

segi benar dan salah.

Tuturan performatif adalah tuturan tersebut memperlihatkan sesuatu

perbuatan telah diselesaikan oleh penutur. Dengan mengungkap sebuah

tuturan performatif, berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga

misalnya, dalam tuturan saya mohon maaf atas keterlambatan saya, pembicara

menuturkannya sekaligus menyelesaikan perbuatan memofon maaf .

Tuturan performatif tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi

sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya

berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan

primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) Geoffrey Leech (dalam

Chaer, 1995: 280).

Berkaitan dengan analisis bentuk tuturan mitos dalam penelitian ini,

penulis menggunakan bentuk-bentuk tuturan di atas, di antaranya tuturan

langsung, tidak langsung, tuturan literal, tuturan tidak literal, tuturan konstatif,

serta tuturan performtif. Dengan mengacu pada bentuk-bentuk tuturan tersebu,

diharapkan tujuan penelitian dalam mengungkap bentuk tuturan dapat dicapai.

Page 15: 3. Artikel Tesis

15

E.2.2 Fungsi Tuturan Mitos

Berkaitan dengan fungsi mitos, kajian fungsi yang digunakan adalah

kajian fungsi bahasa dalam tindak tutur. Hal ini dikarenakan tuturan mitos tokoh

agama merupakan bagian dari tuturan bahasa. Pengkajian fungsi bahasa dalam

tindak tutur telah banyak dipaparkan oleh beberapa tokoh.

Halliday (1985:15) memberikan konsep fungsi bahasa yaitu sebagai cara

orang melakukan sesuatu dengan bahasa, yaitu dengan cara bertutur atau menulis,

mendengarkan dan membaca, dan mereka berharap dapat mencapai banyak

sasaran dan tujuan. Hal tersebut dapat dimaknai sebagaimana aliran filsafat bahasa

dan psikolinguistik yang melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk

menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi, sedangkan aliran sosiolinguistik

melihat fungsi bahasa sebagai sarana perubahan masyarakat.

Aliran-aliran yang dijelaskan tersebut adalah hal yang berbeda. Namun,

perbedaan yang ada tidaklah untuk diperdebatkan. Hal itu dapat dianggap sebagai

kebervariasian konsep untuk memperkaya khazanah konsep fungsi bahasa.

Dalam pembahasan fungsi tuturan, digunakan rumusan tuturan Halliday

yang terdiri atas tujuh fungsi. Di antaranya. 1) fungsi instrumental, 2) fungsi

representasi, 3) fungsi interaksi, 4) fungsi personal, 5) fungsi heuristik, 6) fungsi

regulasi, dan 7) fungsi imajinatif.

Fungsi instrumental adalah bahasa digunakan untuk memanipulasi

lingkungan atau untuk melakukan sesuatu. Melalui fungsi representasi, bahasa

digunakan untuk membuat pernyataan, menyampaikan fakta dan pengetahuan,

serta membuat mendeskripsikan suatu realitas. Fungsi interaksi adalah bahasa

digunakan untuk memelihara hubungan sosial.

Dalam fungsi personal, diwujudkan ekspresi perasaan, emosi, dan

kepribadian. Melalui fungsi heuristik bahasa digunakan untuk memperoleh

pengetahuan dan mempelajari lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan adalah

keadaan sekitar yang berkaitan dengan pertuturan di masyarakat Toboh Gadang.

Adapun fungsi tuturan yang dapat memengaruhi lawan bicara atau

kelompok lainnya adalah fungsi regulasi. Terkait dengan fungsi imajinatif bahasa,

Page 16: 3. Artikel Tesis

16

bahasa digunakan untuk menciptakan sistem imajinasi suatu gagasan melalui

bahasa.

E.3 Nilai

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan

berguna bagi manusia. Jika sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau

berguna bagi kehidupan manusia. Untuk memahami bahwa nilai itu ada, berikut

ini penulis kemukakan beberapa pengertian tentang nilai.

1. Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan

beberapa pengertian nilai. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Nilai dalam bahasa Inggris value, dalam bahasa Latin valere yang

berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat.

b. Nilai ditinjau dari segi harkat adalah kualitas suatu hal yang

menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat

menjadi objek kepentingan.

c. Nilai ditinjau dari segi keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai

tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan.

2. Nilai adalah the adreess of yes sesuatu atau alamat yang ditujukan dengan

kata “ya” (Bertens, 2004). Dengan kata lain nilai adalah sesuatu yang kita

iyakan atau sesuatu yang kita setujui, sedangkan sesuatu yang tidak kita

setujui seperti sakit, penderitaan atau kecelakaan adalah non nilai atau

disvalue. Sesuatu yang kita iyakan selalu bersifat positif atau kita sebut

nilai positif dan yang tidak kita setujui dikenal dengan istilah nilai negatif.

3. Beberapa pengertian yang lainnya tentang nilai dari para ahli dikemukakan

oleh Mulyana (2004: 9) sebagai berikut,

a. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar

pilihannya. Definisi ini dilandasi oleh pendekatan psikologis karena itu

tindakan dan perbuatannya seperti keputusan benar-salah, baik-buruk,

indah-tidak indah, adalah hasil proses psikologis. Termasuk kedalam

wilayah ini seperti hasrat, sikap, keinginan, kebutuhan dan motif.

Page 17: 3. Artikel Tesis

17

b. Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif

(Kuperman, 1983). Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal

yang memengaruhi perilaku manusia. Pendekatan yang melandasi

definisi ini adalah pendekatan sosiolgis. Penegakan norma sebagai

tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat

seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang

tidak baik.

c. Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya

membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang

diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan

antara dan tujuan akhir.

Dari pengertian yang telah dijelaskan di atas, didapatkan pengertian nilai

yang penulis kaitkan dengan nilai tuturan mitos. Nilai tuturan mitos yang penulis

maksudkan adalah tuturan tentang sesuatu yang disetujui oleh penuturnya yang

mana tuturan tersebut berarti, berguna, disukai, dan diinginkan untuk menjadi

objek kepentingan sesuatu kebaikan. Tuturan tersebut juga memuat keyakinan,

membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya, memengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya, dan dapat membedakan individu atau ciri-ciri kelompok,

serta yang memengaruhi tindakan.

Ciri-ciri nilai menurut Bertens (2004) adalah, pertama, berkaitan dengan

subjek, dan kedua, nilai tampil dalam suatu konteks praktis ketika subjek ingin

membuat sesuatu. Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan subjek

pada sifat-sifat yang dimilki objek.

Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (dalam Bertens, 2004) adalah

Sebagai berikut.

1. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang

bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek

yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah

nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra

adalah kejujuran itu.

Page 18: 3. Artikel Tesis

18

2. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita,

dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan

dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya,

nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang

mencerminkan nilai keadilan.

3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong atau motivator dan manusia adalah

pendukung nilai. Manusia bertindak karena didorong oleh nilai yang

diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua

orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.

Dengan mengacu kepada pengertian dan ciri-ciri yang ada, tuturan mitos

merupakan salah satu bentuk tuturan yang dapat dilacak nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Penentuan nilai ini dilihat berdasarkan kemunculan data

dalam tuturan mitos.

Sebagaiaman pengertian yang telah penulis rangkum dari beberapa

pengertian di atas, dapat ditentukan nilai tuturan mitos. Nilai tuturan mitos adalah

tuturan tentang mitos yang disetujui oleh penuturnya yang mana tuturan mitos

tersebut berarti, berguna, disukai, dan diinginkan untuk menjadi objek

kepentingan sesuatu kebaikan.

F. METODE PENELITIAN

F.1 Jenis dan Tahapan Penelitian

Berdasarkan fokus data yang dikumpulkan, analisis yang dilakukan, dan

model laporan yang dituliskan, dipilihlah jenis penelitian yang sesuai dengan

ketentuan tersebut. Jenis penelitian yang dimaksud adalah penelitian kualitatif

(Danim, 2002).

F.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode yang menurut Sudaryanto (1992 )5 cukup operasional dan fungsional bagi

5 Sudaryanto, Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik. Cetakan ke-3,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992).

Page 19: 3. Artikel Tesis

19

praktik penanganan bahasa. Metode tersebut terdiri atas metode pengumpulan,

analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Dengan mengacu pada penjelasan

Sudaryanto lebih lanjut (1993)6, penelitian ini menggunakan metode simak atau

penyimakan yaitu menyimak pemakaian bahasa guna mendapatkan data-data

lingual (tuturan) yang terdiri atas dua bentuk penyimakan yaitu Simak Libat

Cakap (SLC) dan Simak Bebas Libat Cakap (SLBC).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode SLC. Penentuan

metode ini dikarenakan peneliti melibatkan diri dalam aktivitas pengambilan data

tuturan mitos tokoh. Perlibatan tersebut menggunakan teknik pancing yaitu teknik

berbicara yang digunakan saat berhadapan dengan informan agar data-data yang

dibutuhkan disampaikan (muncul) dari informan secara alami.

Selanjutnya, digunakan pula teknik rekam dan teknik catat agar data yang

diperoleh tidak rusak atau hilang. Teknik rekam dan catat dilakukan juga agar

data-data yang diperoleh dapat tersimpan dengan baik sehingga dapat

dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya.

F.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode padan.

Menurut Sudaryanto (1993:13) metode padan adalah metode yang alat

penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang

bersangkutan Alat penentu tersebut kemudian dijelaskan terdiri atas referen

(metode padan referensial), organ wicara (metode padan fonetis artikulatoris),

language lain (metode padan translasional), tulisan (metode padan ortografis), dan

mitra wicara (metode padan pragmatis).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode padan translasional,

padan refererensial, dan padan pragmatis. Metode padan translasioanl penulis

gunakan karena alat penentu yang penulis kaji adalah bahasa Minangkabau

subdialek Sintuak Toboh Gadang -Padang Pariaman. Sementara penganalisisan

mendalam akan digunakan bahasa Indonesia. Metode padan referensial digunakan

6 Sudaryanto, Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, (Yogyakarta: Duta Wacana University

Press, 1993).

Page 20: 3. Artikel Tesis

20

untuk melihat tanda-tanda yang ada dan mengacu kepada referen tertentu pada

tuturan mitos tokoh.

Metode padan pragmatis digunakan untuk melihat akibat tertentu yang

dimunculkan dari tuturan mitos tokoh. Teknik yang penulis gunakan dalam

penerapan metode-metode tersebut terdiri atas teknik dasar pilah unsur penentu

(PUP) yang mana daya pilahnya bersifat mental dan teknik lanjutan hubung

banding (HB) yang terdiri atas menyamakan dan membedakan unsur-unsur dari

kebahasaan tuturan mitos tokoh yang didapatkan.

F.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam penyajian data, metode yang digunakan adalah metode formal dan

informal. Metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan

menggunakan perumusan tanda dan lambang (menurut penulis, termasuk di

dalamnya tabel, gambar, dan diagram), sedangkan metode informal adalah

perumusan hasi analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa. Metode

informal juga mengupayakan intepretasi yang mendalam berupa pendiskripsian

secara sistematis, faktual, dan akurat.

Kedua metode tersebut penulis pilih karena memuat pembahasan atas

sifat-sifat dan hubungan fenomena-fenomena yang diteliti, yaitu dengan

mengaplikasikan teori yang digunakan.

F.5 Subjek Penelitian

Untuk mendapatkan data yang sahih, peneliti menenukan subjek

penelitian. Subjek penelitian dalam hal ini adalah penutur asli Kenagarian Toboh

Gadang. Sudaryanto juga menjelaskan bahwa pengertian penutur asli dapat

dirumuskan sebagai penutur yang menguasai benar-benar penggunaan bahasa

yang bersangkutan. Jadi, penutur asli tidak hanya dikaitkan dengan suku atau

bangsa asli, tetapi juga dikaitkan dengan penguasaan terhadap bahasa

bersangkutan (1990 a:35).

Spesifikasi informan terdiri atas laki-laki dan perempuan. Adapun batasan

usia, akan dikaitkan dengan siapa yang paling mengetahui atau mengerti tentang

Page 21: 3. Artikel Tesis

21

tokoh agama yang dimaksudkan. Contoh, jika tokoh yang dituturkan adalah Syekh

Burhanuddin, peneliti akan menentukan informan yang sering berkunjung ke

makam Syekh Burhanuddin. Tidak hanya itu, penutur tersebut juga mengetahui

cerita-cerita yang berkaitan dengan Syekh Burhanuddin.

F.7 Data dan Sumber Data Penelitian

Data adalah objek penelitian (gegendstand) plus segmen atau plus

potongan atau unsur sisanya. Unsur sisa atau potongan sisa yang segmental itu

disebut konteks. Dengan demikian, Sudaryanto (1990 a) mengonsepkan data (D)

adalah Objek penelitian (Op) plus Konteks (K) atau D = Op + K. Berdasarkan

rumusan tersebut, yang menjadi data (D) dalam penelitian ini adalah tuturan mitos

tokoh agama (Op) yang bersumber dari tuturan lisan (K. linguistik), yang

digunakan oleh masyarakat (K. penutur) Kenagarian Toboh Gandang-Kecamatan

Sintuak Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman (K. wilayah, sosial,

ideologi, dan budaya).

F.7 Tempat dan Jadwal Penelitian

Tempat penelitian adalah Kenagarian Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak

Toboh Gadang , Kabupaten Padang Pariaman. Secara umum, terdapat dua puluh

korong7 di Kenagarian Toboh Gadang. Namun demikian, titik pengamatan dalam

penelitian tidak dipusatkan kepada satu korong saja. Hal ini dikarenakan, kadang-

kadang, masing-masing korong tersebut memiliki tuturan mitos tokoh agama yang

serupa. Hal tersebut membuat kemunculan data yang dibutuhkan akan sama. Oleh

karena itu, peneliti akan mengambil data-data yang mewakili saja.

Penentuan tempat penelitian tersebut tidak menutup kemungkinan peneliti

mengadakan survei di nagari atau korong lain pula. Terlebih jika tuturan mitos

7 Dalam pembahasan Undang-Undang Nagari, Navis (1984) dalam bukunya Alam Terkembang

Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau menjelaskan delapan syarat pembentukan nagari

salah satunya adalah bakorong-bakampuang. Bakorong-bakampuang maksudnya setiap nagari

mempunyai batas tertentu yang dibentuk alam atau dibangun berbentuk parit atau pohon aur

berduri, maupun di luar lingkaran sebagai perkampungan, sebagai satelit atau hinterland. Setiap

wilayah perkampungan di lingkaran pusat disebut sebagai korong, sedangakan wilayah wilayah

perkampungan di luar dinamakan dengan sesuai dengan kondisinya, yakni koto, dusun, dan

taratak yang disebut kampuang.

Page 22: 3. Artikel Tesis

22

tokoh tersebut memiliki situs-situs seperti asal mula tokoh agama tersebut berada,

tempat dikuburkannya tokoh tersebut, tempat yang lebih dikenalnya tokoh

tersebut, dan sebagainya. Sebagai contoh, pada tuturan mitos Syekh Burhanuddin,

peneliti juga akan membandingkan data yang didapat oleh informan yang

berdomisi dekat pemakaman Syekh Burhanuddin yang terletak di Kenagarian

Ulakan Tapakis. Jadwal penelitian ini berlangsung sejak bulan Maret 2010 sampai

dengan Februari 2011.

G. SIMPULAN

Berdasarkan analisis terhadap 28 data yang telah dikelompokkan,

diperolehlah simpulan bahwa bentuk tuturan mitos tokoh agama yang digunakan

oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang merupakan tuturan oral atau lisan,

tuturan mitos tokoh ini bersifat klasik dengan pelaku atau tokoh dalam mitos

adalah manusia, yaitu laki-laki. Pertuturan tokoh tersebut sering dikaitkan dalam

hal keagamaan.

Bentuk tuturan mitos Tokoh Agama di Kenagarian Sintuak Toboh Gadang

terdiri atas tuturan langsung, tuturan literal, tuturan tidak literal, tuturan konstatif,

dan tuturan performatif.

Adapun makna yang terbentuk dari tuturan mitos, tuturan mitos tokoh

agama tersebut terdiri atas makna denotatif, konotatif, makna tingkat 1 (penanda,

petanda, tanda), dan makna tingkat 2 (PENANDA, PETANDA, TANDA). Denotasi

diwujudkan pada makna yang objektif, tetap, serta berkaitan dengan sosok acuan.

Pemaknaan konotasi diwujudkan sebagai makna yang subjektif dan bervariasi.

Makna tingkat 1 dan makna tingkat 2 berkaitan dengan makna konotasi yang

membuka kemungkinan interpretasi yang luas dan berkaitan dengan apa yang

diceritakan oleh penuturnya. Hal tersebut juga membongkar makna yang

terselubung.

Kemunculan tuturan mitos tokoh di Kenagarian Toboh Gadang tidak

terlepas dari berbagai fungsi yang termuat di dalamnya. Fungsi tersebut adalah

fungsi intrumental, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi

heuristik, fungsi regulasi, dan fungsi imajinatif. Hal ini dapat dinyatakan bahwa

Page 23: 3. Artikel Tesis

23

semua fungsi tuturan berdasarkan pemikiran Halliday ditemukan dalam tuturan

mitos.

Nilai yang tercakup dalam tuturan mitos meliputi nilai ketaatan, nilai

kepatuhan, nilai berusaha, nilai keberanian, nilia kehematan, nilai keadilan, niai

perhatian, nilai kejujuran, dan nilai sosial.

H. SARAN

Mengingat lebih bervariasinya tuturan mitos di Kenagarian Toboh

Gadang, kebervariasian itu dapat menjadikan kajian yang menarik untuk ditelaah

lebih lanjut. Seperti halnya tuturan mitos tentang hantu atau makhluk halus,

tuturan mitos kejadian (kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian), tuturan

mitos yang dikhususkan untuk laki-laki, perempuan, atau kedua-duanya, tuturan

mitos yang dilihat dari pekerjaannya (tuturan mitos petani dan pedagang), dan

banyak tuturan mitos lainnya.

Penulis menyarankan kepada akademis linguistik untuk dapat

melanjutkan kajian tuturan mitos ini kepada kajian yang lebih bervariasi dan

mendalam. Kepada masyarakat dan para akademis nonlinguistik, penulis

menyarankan untuk tidak menganggap rendah, udik, atau kampungan atas sebuah

tuturan mitos. Karena tanpa disadari, setiap manusia dipengaruhi oleh mitos-mitos

yang berada di sekitarnya. Tanpa disadari pula semakin kuno atau modern

seseorang, semakin kuno dan modern pula mitos yang mengikuti mereka.

Meski terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, penulis

berharap agar penelitian dan penulisan ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti

selanjutnya. Demikian pula untuk calon peneliti selanjutnya, semoga dapat

berinovasi terhadap tuturan mitos sehingga menemukan kajian yang lebih

bervariasi dan lebih komprehensif. Akhirnya, penulis pun berharap semoga tulisan

ini memberikan banyak manfaat.

Page 24: 3. Artikel Tesis

24

DAFTAR PUSTAKA

Alattas, Syed Hussien. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu,

dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Jakarta: LP3ES.

Amir MS. 2001. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang.

Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.

Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar

Harapan.

Ayub, Asni dkk. 1993. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.

Bagus, Lorens. 2002, Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bartens, K. 2004. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bawa, I Wayan dkk. 2004. Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Bali: Penerbit

Universitas Udayana.

Barthes, Roland. 2003. Mythologies, atau Mitologi Roland Barthes, terj. Chistian

Ly. Jakarta: Dian Aksara Press.

Bonvillain, Nancy. 1997. Language, Culture, and Communication: The Meaning

of Messages. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall.

Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta:

Panerbit ANDI.

Culler, Jonathan. 2002. Barthes: A Very Short Introduction, atau Seri Pengantar

Singkat Barthes, terj. Ruslani. Yogyakarta: Jendela.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.

Dananjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Eco, Umberto. 1984. Semiotics and the Philosophy of Language. London:

Macmillan.

Editor Tim, 2008. Kumpulan Makalah Semiotika Budaya Etnik. kerja Sama

Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra USU LPMM USU dan Balai

Bahasa Medan.

Endah, Syamsudin St. Datuk. 1985. Kaba Cindua Mato. Cetakan ke-10.

Bukitinggi: CV Balai Buku Indonesia.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power, atau Language and Power:

Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi, terj. Indah Rohmani. Malang:

Boyan Publishing.

Fathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta:

Prenada Media Group.

Freud, Sigmund. 1918. Totem and Taboo (Resemblances between Psychic Live of

Savages and Neurotorics), atau Totem dan Tabu, terj. Kurniawan Adi

Saputro. Yogyakarta: Jendela Grafika.

Gunawan, Samuel. 1981. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.

Cetakan ke-2. Jakarta: Erlangga.

Gusdar. 2009. ”Mitos Bangsa Terpilih”. [diakses tanggal 24 Februari 2010 pukul

10.38] terdapat di: http://dpm.web.id/akademis/tugas/mitos-dan-realitas-

terhadap-sistem-kelas-di-amerika-serikat-119.

Hamas, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta:

Granit.

Page 25: 3. Artikel Tesis

25

Halliday, M.A.K. and Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Context, and Text:

Aspects of Language in A Social-Semiotic Perspective. Australia: Deakin

University.

Hasanudin WS. 2001. “Mitos Legitimasi Kekuasaan dalam Kesusatraan Klasik

Minangkbau Kaba Cindua Mato: Tinjauan Semiotika Budaya dan

Ideologi,” Jurnal Humanlis Vol. IV No.1 Th. 2001, hal. 39—60.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Cetakan ke-4. Ende: Nusa Indah.

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunanan. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimukti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Cetakan ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama.

Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. New York: Oxford University

Press.

Kuntowijoyo. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung:

Mizan.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera. M.S.

Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik, terj. Jakarta: UI-Press.

Levinson, SC. 1994. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lin, Te. 2003. Mitologi Cina. Jakarta: Intimedia dan Ladang Pustaka.

Maheswara, Aria. 2009. Rahasia Kecerdasan Yahudi. Cetakan Ke-17.

Yogyakarta: Pinus

Masinambow. 2002. Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Depok: Pusat

Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitiaan Universitas

Indonesia.

Moleong, Lexy J. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-7. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Mudhofi, Ali. 2001. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:

Alfabeta.

Navis. A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru Adat Kebudayaan Minangkabau.

Jakarta: Grafiti Press.

Oktavianus. 2004. “Analisis Wacana Teori dan Aplikasi”. Padang: Fakultas

Sastra Universitas Andalas.

Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University

Press.

Palmer. Richard E. 1969. Hermeunetics: Interpretation Theory in Schleiemarcher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer, atau Hermeneutika: Teori Baru

Mengenal Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damhuri Muhammed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya

Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Page 26: 3. Artikel Tesis

26

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era

Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Rosmali, Marah dkk. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayan.

Ricoer, Paul. 2002. The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of

Meaning, atau Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi

Bahasa, terj. Musnur Hery. Yogyakarta: IRCiSoD.

Samad, Duski. 2002. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta:

The Minangkabau Foundation.

Samarin. J William. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Samsuri. 1986. Analisis Bahasa. Cetakan ke-6. Jakarta: Erlangga.

Sari, Wira Yuniva. 2005. “Mitos dan Kontramitos dalam Novel Atheis Karya

Achdiat Karta Mihardja: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi.

Padang: Universitas Andalas.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik; Antropologi Linguistik, Linguistik

Antropologi. Medan: Penerbit Poda.

Sudaryanto. 1990a. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1990 b. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik.

Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT

PT Gramedia Pustaka Utama.

Sulastri. 2009. “Antara Mitos „Ungku Saliah‟ dengan „Haji Saleh‟ Masuk Neraka:

Makna, Konsep Kata „Saleh: Pendekatan Semiotik Budaya”. Jurnal

Sosioteknologi Edisi 16 Tahun 7, April 2009, hal. 559—567.

Sumaryono. 2009. “Teori Mitololgi”. [diakses tanggal 24 Februari pukul 11.02]

erdapat di http://gampingnews-support.socialgo.com/magazine/read/teori-

mitos_14.html

Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Kanal: Yogyakarta.

Suryadi. 2004. Syair Sunur:Teks dan Konteks ‘Otobiografi’ Seorang Ulama

Minangkabau Abad Ke-19. Cetakan ke-2. Padang: Pusat Pengkajian Islam

dan Minangkabau.

Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Thaib, Darwis. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau Bahagian 1 Tjupak Usali.

Bukittinggi: N.V Nusantara.

Tim Penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan Ke-

4. Jakarta: Balai Pustaka

Toeah, Datuk. 1985. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: CV. Pustaka

Indonesia.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.