2B MAKALAH BIROKRASI

25
 1 KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI DAN DILEMA YURISDIKSI PERADILAN Oleh: Eman Suparman 1  I. PENDAHULUAN Dalam masyarakat awam terminologi birokrasi memiliki konotasi yang kurang baik. Istilah birokrasi acapkali dipahami sebagai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efektif dan efisien, serta sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang. Moerdiono dalam tulisannya pernah mengemukakan bahwa (1993: 38), ”istilah birokrasi pada dasarnya mempunyai konotasi netral untuk menunjukkan ciri-ciri suatu organisasi besar, [namun] telah salah kaprah dipahami sebagai sesuatu ukuran yang buruk, walaupun Max Weber, yang dipahami sebagai ayatullah-nya segala ulasan mengenai birokrasi, juga menunjukkan sisi positip birokrasi, namun sisi negatifnya lebih menonjol diingat orang bila mendengar istilah ini”. Berkembangnya kecenderungan anggapan masyarakat awam di Indonesia bahwa birokrasi itu berkonotasi buruk, boleh jadi turut ditumbuh-suburkan oleh tradisi penerapan birokrasi itu sendiri selama masa pemerintahan Orde Baru 1966-1998. “Ketika itu birokrasi telah mengalami pemekaran fungsi dan peranan, dari sekedar instrumen teknis yang bersifat administrasi, ia berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam upaya rekayasa masyarakat” (Manuel Kasiepo, 1987: 23). Akibat yang tampak kemudian adalah semakin dominannya peran birokrasi dalam sistem politik orde baru. Agaknya warisan 1  Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, sedang mengikuti program S3 (Angkatan V) pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang.

Transcript of 2B MAKALAH BIROKRASI

Page 1: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 1/25

 

1

KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI

DAN DILEMA YURISDIKSI PERADILAN

Oleh: Eman Suparman1 

I. PENDAHULUAN

Dalam masyarakat awam terminologi birokrasi memiliki konotasi yang

kurang baik. Istilah birokrasi acapkali dipahami sebagai prosedur kerja yang

berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak 

efektif dan efisien, serta sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.

Moerdiono dalam tulisannya pernah mengemukakan bahwa (1993: 38),

”istilah birokrasi pada dasarnya mempunyai konotasi netral untuk 

menunjukkan ciri-ciri suatu organisasi besar, [namun] telah salah kaprah

dipahami sebagai sesuatu ukuran yang buruk, walaupun Max Weber, yang

dipahami sebagai ayatullah-nya segala ulasan mengenai birokrasi, juga

menunjukkan sisi positip birokrasi, namun sisi negatifnya lebih menonjol

diingat orang bila mendengar istilah ini”.Berkembangnya kecenderungan anggapan masyarakat awam di Indonesia

bahwa birokrasi itu berkonotasi buruk, boleh jadi turut ditumbuh-suburkan

oleh tradisi penerapan birokrasi itu sendiri selama masa pemerintahan Orde

Baru 1966-1998. “Ketika itu birokrasi telah mengalami pemekaran fungsi

dan peranan, dari sekedar instrumen teknis yang bersifat administrasi, ia

berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam upaya rekayasa masyarakat”

(Manuel Kasiepo, 1987: 23). Akibat yang tampak kemudian adalah semakin

dominannya peran birokrasi dalam sistem politik orde baru. Agaknya warisan

1Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, sedang mengikuti

program S3 (Angkatan V) pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 2: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 2/25

 

2

dari praktik itulah yang terus mewarnai kesan masyarakat hingga kini, meski

rejim otoriter Orde Baru secara de facto telah berakhir.

Sebagai salah satu instrumen di dalam praktik penyelenggaraan negara

dan berbagai upaya pembangunan di dalamnya, birokrasi mempunyai peranan

yang semakin penting di dalam masyarakat. Apalagi di Indonesia yang

masyarakatnya sedang terus menerus melakukan perubahan melalui berbagai

aktivitas positif yang konstruktif. Dalam kerangka masyarakat semacam itu

telah semestinya birokrasi pemerintah ditata mendekati apa yang disebut

dengan “tipe ideal birokrasi modern” sebagaimana diintroduksikan oleh Max

Weber, yaitu legal dan rasional (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews,1989:98-99). Menurut Max Weber, birokrasi yang bersifat legal-rasional

haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) pembagian kerja lebih

 jelas, (2) adanya hirarki wewenang, (3) pengaturan perilaku pemegang jabatan

birokrasi, (4) impersonalitas hubungan, (5) kemampuan teknis, dan (6) karier.

Jika dalam perkembangan masyarakat yang berangsur semakin maju

birokrasi tidak diupayakan untuk mendekati typenya yang ideal, maka

dikhawatirkan birokrasi akan semakin dirasakan sebagai instrumen

penghambat pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat. Hal itu disebabkan

karena mekanisme proses yang terus menerus diupayakan oleh masyarakat itu

sendiri telah menghasilkan perubahan taraf hidup dan kesejahteraan dalam

bidang materiil yang tidak jarang diikuti pula oleh perubahan sikap dan

perilakunya.

II. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH

Birokrasi adalah: “Keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer

yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari

pemerintah karena statusnya itu” (Yahya Muhaimin, 1980:21). Moerdiono

menggunakan istilah birokrasi pemerintahan, yang didefinisikannya sebagai

Page 3: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 3/25

 

3

berikut: “Seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh

pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokoknya adalah secara

profesional menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah”

(1993:38). Mencermati dua definisi birokrasi yang dikutip dari dua tokoh di

atas, tampak sekali perbedaannya. Yang pertama memasukkan unsur militer

sebagai bagian dari birokrasi. Sedangkan definisi kedua secara tegas hanya

menyebut jajaran eksekutif sipil, sehingga unsur militer tidak dimasukan

sebagai bagian dari birokrasi. Hal itu sejalan dengan konsep pemikiran

Moerdiono dalam paparannya tersebut, yang antara lain menguraikan: “Istilah

birokrasi lazimnya kita pahami terbatas pada badan-badan eksekutif sipil.Tidaklah lazim, baik di negeri kita maupun di negeri-negeri lainnya, bahwa

satuan tempur atau satuan teritorial disebut sebagai birokrasi, walaupun

ukuran serta cakupannya juga bisa amat besar” (Moerdiono, 1993:39).

Pendapat tersebut dikemukakannya bukan tanpa alasan. Sebagai

seorang yang berlatar belakang militer, agaknya cara pandang Moerdiono

tidak lepas dari atribut yang melekat dan dilekatkan pada dirinya. Dalam

pemahamannya, instansi militer bukan sebagai instansi birokrasi karena

instansi militer biasa bekerja secara operasional, sehingga terbebas dari kesan

“birokratis”. Dia membandingkan instansi militer dengan organisasi

perusahaan swasta yang besar-besar. Menurut pendapatnya, tidak lazim

bahwa organisasi perusahaan swasta yang besar-besar itu disebut sebagai

“birokrasi”. Hal itu disebabkan karena usaha-usaha swasta itu bekerja secara

operasional, tidak kalah kenyalnya dibandingkan dengan organisasi militer

(Moerdiono, 1993:39).

Untuk membuktikan seberapa jauh kebenaran pendapat Moerdiono

tentang organisasi militer itu bukan birokrasi disebabkan mereka bekerja

secara operasional, tentu saja harus diuji oleh sebuah konsepsi yang ada. Bila

dikembalikan kepada konsepsi dasar tentang birokrasi dari Max Weber, meski

Page 4: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 4/25

 

4

dalam mengemukakan konsepsinya Weber tidak memakai istilah birokrasi,

melainkan menamakannya dengan model “ideal type” dari tata hubungan

organisasi yang rasional (Miftah Thoha, 1987:72). Konsepsi Weber tentang

“ideal type” itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas

impersonal mereka;

2. Ada hirarki jabatan yang jelas;

3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;

4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;

5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkansuatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui suatu ujian;

6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji

berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu

menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat

diberhentikan;

7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja

pokoknya;

8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan

senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan

keunggulan (superioritas); 

9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan

sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut;

10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam (Martin

Albrow, 1989: 42-43).

Terhadap ciri-ciri birokrasi Max Weber di atas, ada pula kalangan

yang memberi interpretasi lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel

Kasiepo yang memberi penafsiran atas birokrasi Weber tersebut dengan ciri-

Page 5: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 5/25

 

5

ciri yang lebih sederhana yaitu: (1) terikat konstitusi dan aturan hukum, (2)

netral, dan (3) a-politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).

Berdasarkan dua kelompok ciri-ciri birokrasi atau “ideal type” dari tata

hubungan organisasi yang rasional di atas, penulis sama sekali tidak 

sependapat dengan pandangan Moerdiono. Persoalannya organisasi militer

memenuhi hampir sebagian besar dari sepuluh ciri “ideal type” Weber di atas.

Oleh karena itu agaknya tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan bahwa

instansi militer bukan birokrasi. Persoalannya berdasarkan interpretasi Manuel

Kasiepo atas “ideal type” Weber, militer jelas terikat konstitusi dan aturan

hukum, militer juga harus netral keberadaannya karena posisinya dituntutharus berdiri di atas semua kepentingan dan golongan. Konsekuensinya militer

 juga tidak berpolitik praktis dalam arti menjadi anggota suatu partai politik 

tertentu.

Memang banyak kritik yang dikemukakan terhadap organisasi

birokrasi, yang pada prinsipnya mereka menyatakan bahwa “tipe ideal”

organisasi yang dikemukakan oleh Max Weber itu sukar dijumpai di dalam

kenyataannya (Akhmad Setiawan, 1998 :143). Pendapat demikian boleh jadi

ada benarnya, akan tetapi ada beberapa prinsip pokok yang baik dan dapat

meningkatkan kerja birokrasi tersebut. Beberapa prinsip tersebut yaitu:

efisiensi, efektivitas, kecepatan dalam pelayanan, dalam arti pemberian

pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan dan tanpa memperlihatkan

pertimbangan pribadi. Tidak kalah strategisnya juga adalah masalah rekruitmen

kepegawaian yang harus didasarkan pada prinsip rasionalitas dengan

mempertimbangkan keahlian dan kemampuan yang ditempuh melalui ujian

atau pengalaman. Kesemuanya itu terletak pada suatu sistem administrasi

negara modern sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.

Page 6: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 6/25

 

6

Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu

organisasi birokrasi, Syukur Abdullah (Akhmad Setiawan, 1998: 145),

menguraikan tiga kategori Birokrasi, sebagai berikut:

Kesatu, Birokrasi Pemerintahan Umum, yaitu rangkaian organisasi

pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk 

memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai di daerah

(propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas tersebut lebih bersifat

mengatur.

Kedua, Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang

menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuanpembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi

pokoknya adalah “development function” atau “adaptive function.”

Ketiga, Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada

hakikatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain: Rumah Sakit, Sekolah (SD-

SLTA), Koperasi, Bank Rakyat Desa, Transmigrasi, dan berbagai unit

organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat

atas nama pemerintah. fungsi utamanya adalah “service”. 

Untuk memahami pengertian Pejabat Birokrasi barang tentu tidak 

dapat dilepaskan dari konteks pemaparan mengenai pengertian Hukum

Administrasi Negara. Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum

Administrasi Negara adalah: “Hukum mengenai Administrasi Negara, dan

Hukum hasil ciptaan Administrasi Negara” (1995:43).

Administrasi Negara itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu: (1) Sebagai

aparatur negara, aparatur pemerintah, atau sebagai institusi politik 

(kenegaraan); (2) sebagai fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan

pemerintah operasional; dan (3) sebagai proses teknis penyelenggaraan

Undang-undang. Dalam pengertiannya yang luas, Hukum Administrasi Negara

Page 7: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 7/25

 

7

meliputi beberapa unsur, satu diantaranya adalah Hukum Tata Usaha Negara

(HTUN). Yaitu hukum mengenai surat menyurat, rahasia dinas dan jabatan,

registrasi, kearsipan dan dokumentasi, legalisasi, pelaporan, dan statistik, tata

cara penyusunan dan penyimpanan berita acara, pencatatan sipil, publikasi,

penerangan, dan penerbitan-penerbitan negara. Oleh karena itu secara singkat

dapat pula disebut Hukum Birokrasi, (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995:44).

“Tata Usaha Negara (Bureaucracy) adalah keseluruhan usaha-usaha

dan kegiatan-kegiatan ketatausahaan dalam dinas Administrasi Negara atau

penyelenggaraan pemerintahan negara dengan jalan dan cara-cara rutin serta

prosedur tertentu” (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995: 76).Dalam kerangka pembahasan mengenai Hukum Administrasi Negara

ini, dapatlah kiranya dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat 

 Birokrasi adalah “aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui

pengambilan keputusan-keputusan administratif  (administratieve beschikking) 

yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan

administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional atau

operasional. Oleh karena itu keputusan maupun tindakannya dapat dilawan

melalui berbagai bentuk peradilan administrasi negara"(S. Prajudi

Atmosudirdjo, 1995: 49).

Adapun istilah “yurisdiksi” berasal dari kata Bahasa Inggris

 jurisdiction. Kata tersebut merupakan kata yang diadopsi dari Bahasa Latin

 yurisdictio.

Di dalam “The Encyclopedia Americana”, jurisdiction diartikan

sebagai berikut: “…Jurisdiction. In law, a term for power or authority. It is

usually applied to courts and quasi-judicial bodies, describing the scope of 

their right to act. …As applied in generally to a state or nation, the term“jurisdiction” means its authority to declare and enforce the law…” (1997:

257-258).

Page 8: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 8/25

 

8

Dapatlah dipahami bahwa yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi

hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi dapat

dibedakan antara yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. “Yurisdiksi perdata

adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara

yang menyangkut keperdataan, baik yang sifatnya nasional yaitu bila para

pihak atau objek perkaranya melulu menyangkut nasional, maupun yang

bersifat internasional (perdata internasional) yaitu bila para pihak atau objek 

perkaranya menyangkut unsur asing. Sedangkan yurisdiksi pidana adalah

kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang

menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asingmaupun nasional” (H.A. Tobing, 1991: 143-145).

Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui bahwa membicarakan

mengenai yurisdiksi bersangkut paut dengan masalah hukum, khususnya

masalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu badan peradilan

atau badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum.

III. KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI YANG BERISI

PERBUATAN HUKUM PERDATA

Keputusan Pejabat Birokrasi atau Keputusan Tata Usaha Negara adalah

suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final,

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

(Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara).Adakalanya keputusan pejabat birokrasi atau keputusan Tata Usaha

Negara (TUN) dalam beberapa hal memunculkan problema yurisdiksi

peradilan. Problema yurisdiksi peradilan dalam arti dua lembaga pengadilan

Page 9: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 9/25

 

9

dari lingkungan badan peradilan yang berbeda memiliki peluang dan

kesempatan yang sama untuk memeriksa dan memutus satu sengketa tertentu.

Hal itu sangat mungkin terjadi manakala ada keputusan pejabat birokrasi yang

mengandung perbuatan hukum perdata, kemudian muncul sengketa dari

padanya. Sengketa tersebut menimbulkan pertanyaan. Badan peradilan

manakah yang memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk mengadili sengketa

itu? Apakah kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau

 justeru menjadi kewenangan Peradilan Umum (Perdata)?

Di atas telah dikemukakan bahwa Keputusan Pejabat Birokrasi adalah

penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Sementaraitu tindakan pejabat birokrasi itu dapat berupa:

1) Tindakan Material;

2) Tindakan Hukum;

Tindakan Hukum dapat dibagi menjadi:

(a) Tindakan Hukum Ekstern;

(b) Tindakan Hukum Intern.

Tindakan Hukum Ekstern dapat dibagi lagi menjadi:

1) Tindakan Hukum Privat;

2) Tindakan Hukum Publik.

Tindakan Hukum Publik dapat dibagi lagi menjadi:

(a) Tindakan Hukum sepihak; dan

(b) Tindakan Hukum banyak pihak.

Tindakan Hukum Sepihak dapat dibedakan lagi menjadi:

1) Tindakan Hukum bersifat Umum;

2) Tindakan Hukum bersifat Individual.

Tindakan Hukum yang bersifat Individual dapat dibedakan lagi

menjadi:

(a) Tindakan Hukum yang Abstrak;

Page 10: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 10/25

 

10

(b) Tindakan Hukum yang Konkrit,(Irfan Fachruddin, 1994:144-145).

Dari bermacam-macam tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh

pejabat Birokrasi atau Badan Tata Usaha Negara di atas, hanya tindakan

hukum Tata Usaha Negara yang bersifat ekstern, publik, sepihak, individual,

dan konkrit saja yang dapat menjadi objek sengketa. Tindakan yang

demikianlah yang dimaksud sebagai Keputusan yang dapat disengketakan

menurut Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun)

[Indroharto, 1991:94]. Sedangkan tindakan-tindakan material dan tindakan

hukum lainnya, apabila disengketakan akan termasuk dalam kewenangan

badan Peradilan Umum.Rumusan pasal 1 angka 2 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara Nomor 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa yang dapat dikategorikan

sebagai Pejabat Birokrasi/Pejabat Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa

saja berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang

urusan pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah

kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran

pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan

pemerintahan. Apabila fungsi yang dijalankan adalah urusan pemerintahan,

maka oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Birokrasi. Oleh karena itu

suatu Badan Hukum Perdata, misalnya Perseroan Terbatas atau Yayasan dapat

dianggap sebagai Badan atau Pejabat Birokrasi, jika kepada Badan Hukum

tersebut diserahi tugas menjalankan urusan pemerintahan (Indroharto,

1991:64).

Salah satu yang menjadi perhatian dalam penulisan makalah ini adalah

sebagaimana tercantum pada judul tulisan ini, yaitu “Keputusan Pejabat

Birokrasi dan Dilema Yurisdiksi Peradilan”. Sesuatu yang hendak dikaji

lebih lanjut dari masalah tersebut adalah Keputusan-keputusan Pejabat

Page 11: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 11/25

 

11

Birokrasi manakah yang apabila disengketakan keabsahannya termasuk 

kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Keputusan-keputusan macam

apakah yang jika disengketakan keabsahannya akan termasuk dalam

kewenangan badan Peradilan Umum? Atau bahkan mungkin menjadi “dualitas

yurisdiksi” disebabkan kedua badan peradilan yang berlainan itu sama-sama

memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa

bersangkutan. Persoalan itulah yang dengan segala keterbatasan kemampuan

penulis akan dicoba untuk ditelaah melalui makalah ini. 

IV. BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI LEMBAGA BIROKRASICakupan hukum Administrasi dalam arti sempit, yakni Hukum Tata

Pengurusan Rumah Tangga Negara, baik yang intern maupun ekstern,

meliputi keseluruhan urusan yang menjadi tugas, kewajiban, dan fungsi negara

sebagai badan organisasi juga sebagai suatu badan usaha (S. Prajudi

Atmosudirdjo, 1995: 44). Oleh karena itu, PT PLN sebagai salah satu Badan

Usaha Milik Negara dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara/Birokrasi. Hal itu disebabkan langsung maupun tidak langsung,

PT PLN sebagai Badan Hukum Perdata Milik Negara dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya melekat pula tugas-tugas dalam menjalankan urusan

pemerintahan bidang energi kelistrikan.

Apabila PT PLN keberadaannya tergolong sebagai Badan/Pejabat Birokrasi,

maka ketika PT PLN sebagai Badan Birokrasi menerbitkan suatu Keputusan

atau Penetapan tertulis, perlu dikaji secara saksama. Apakah Keputusan

tersebut suatu Penetapan (Beschikking) ataukah merupakan suatu tindakan

hukum yang bersifat keperdataan.

Sebagai satu contoh, Umpamanya, “PT Listrik Negara (PT PLN)

mengadakan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan konsumennya, baik 

konsumen perorangan maupun badan hukum. Di dalam perjanjian tersebut

Page 12: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 12/25

 

12

dicantumkan berbagai ketentuan dan sanksi terhadap pelanggaran isi

perjanjian. Salah satu sanksi jika terjadi pelanggaran oleh konsumen adalah

pemutusan aliran listrik disertai keputusan dari PT PLN bahwa konsumen

harus membayar tagihan susulan”.

Dari perumpamaan di atas, tampak bahwa PT PLN sebagai salah satu

Badan Usaha Milik Negara yang modal seluruhnya atau sebagian dikuasai

oleh Pemerintah, sedikit banyak usahanya bersifat pelayanan umum. Walaupun

demikian, oleh karena bentuknya adalah badan usaha apalagi sekarang

merupakan PT Persero, maka tentu saja tujuan mencari untung juga merupakan

target utama dari Perusahaan Milik Negara itu. Sebagai Perusahaan Milik Negara yang bermisi pelayanan umum, PT

PLN mengemban tugas juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan berupa

pelayanan bidang ketenaga-listrikan. Oleh karenanya pada saat PT PLN

menerbitkan Keputusan, maka Keputusan tersebut akan tergolong sebagai

Keputusan dari Badan/Pejabat Birokrasi. Akan tetapi satu hal yang tidak 

dapat dikesampingkan bahwa PT PLN Persero sebagai Badan Hukum Perdata

Milik Negara dalam melakukan hubungan hukum dengan konsumen (para

pemakai jasanya) lebih banyak didasarkan pada perjanjian-perjanjian yang

tunduk pada aturan-aturan hukum perdata.

Paparan contoh PT PLN yang adalah BUMN sebagai Badan/Pejabat

Birokrasi di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan betapa tidak mudahnya di

dalam praktik untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan dari Pejabat

Birokrasi apakah tergolong tindakannya dalam menjalankan fungsi

pemerintahan atau justeru dalam rangka tindakan hukum keperdataan.

Umpamanya saja, ketika PT PLN mengeluarkan Surat Keputusan yang

ditujukan terhadap konsumen untuk membayar tagihan susulan, dalam kasus

pemutusan aliran listrik sebagai sanksi pelanggaran perjanjian. Apakah

tindakan PT PLN di atas merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan

Page 13: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 13/25

 

13

(privaatrechtelijk) ataukah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan

(publiekrechtelijk)? “Oleh karena itu meskipun dari sisi luar mungkin

perbedaan itu tampak jelas, namun jika ditelaah substansinya tidak sedikit

 justeru menimbulkan persoalan-persoalan yuridis yang tidak mudah

menyelesaikannya. Pada sisi itulah kemudian muncul permasalahan yurisdiksi

antara Peradilan Umum (yurisdiksi perdata) dengan Peradilan Tata Usaha

Negara (yurisdiksi PTUN)” [Indriyanto Seno Adji, 1995: 135].

Kesulitan untuk membedakan antara perbuatan hukum perdata dengan

perbuatan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan dirasakan lebih

sulit lagi jika Keputusan Pejabat Birokrasi tersebut berasal dari Badan UsahaMilik Negara (BUMN). Persoalannya karena Pejabat Birokrasi pada BUMN

semacam PT Listrik Negara (PLN), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT

Telekomunikasi Indonesia (Telkom), dan lain-lain itu dalam menjalankan

fungsi pemerintahannya lebih banyak melakukan perbuatan-perbuatan hukum

yang bersifat keperdataan (privaatrechtelijk). Terlebih lagi jika penerbitan

Keputusan Pejabat Birokrasi itu memenuhi syarat substansial dari pasal 1

angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, yaitu “…bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan

akibat hukum…”. Bila ada sengketa yang muncul dari Keputusan semacam itu

secara substansial memenuhi syarat untuk diajukan kepada Peradilan Tata

Usaha Negara, walaupun penerbitan Keputusan Pejabat Birokrasi tersebut

dilakukan dalam rangka perbuatan hukum keperdataan.

Untuk menggolongkan Keputusan Pejabat Birokrasi sebagaimana

dikemukakan di atas, terdapat dua pandangan dengan pendekatan yang

berlainan. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: (Indriyanto

Seno Adji, 1995: 148-149).

Pertama, Pendekatan Partial dan Tidak Integral; Pandangan ini bertitik 

tolak dari penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Page 14: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 14/25

 

14

yang memberikan pengertian Penetapan Tertulis (dari Badan/Pejabat

Birokrasi/Tata Usaha Negara) dengan tolok ukurnya pada Keputusan yang

mensyaratkan adanya sifat Individual, Konkret, dan Final. Individual

(maksudnya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun

hal yang dituju), Konkret (maknanya, objek yang diputuskan berwujud dan

dapat ditentukan), dan Final (berarti, sudah definitif dan dapat menimbulkan

akibat hukum). Secara Partial, Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi itu hanya

dititikberatkan pada substansi Keputusan dengan sifat-sifat di atas. Tidak 

Integral, maksudnya Keputusan itu telah melepaskan atau mengesampingkan

ada atau tidaknya perbuatan hukum perdata maupun hukum publik (dariBadan/Pejabat Birokrasi yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan

berkenaan dengan perbuatan hukum). Jadi menurut pandangan yang pertama

ini, tidak menjadi persoalan apakah Badan/Pejabat Birokrasi yang

menyelenggarakan fungsi pemerintahan pada saat diterbitkan Keputusan itu

berada dalam perbuatan Hukum Perdata maupun Hukum Publik.

Berkaitan dengan pandangan yang pertama di atas, berikut ini akan

dikemukakan sebuah Arrest Hoge Raad 1924 yang di Negeri Belanda dikenal

dengan “Revolusi November” melalui “Ostermann Arrest”, tanggal 20

November 1924. Dari arrest tersebut akan diketahui adanya langkah atau

perubahan yang besar yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Negeri Belanda

ketika itu.  Hoge Raad  telah menetapkan bahwa suatu badan hukum publik 

yang tidak menepati kewajiban hukum publiknya, telah dianggap bertindak 

melawan hukum dalam arti pasal 1401 Nederland Burgerlijk Wetboek (NBW)

atau sama dengan pasal 1365 BW Indonesia. Atas ketentuan pasal tersebut,

badan hukum publik tersebut dapat dipertanggungjawabkan untuk ganti rugi

(N.E. Algra et al., 1977: 178).

Ostermann Arrest dari HR 1924 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Page 15: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 15/25

 

15

“Pedagang Ostermann ketika Perang Dunia kesatu ingin mengekspor

sejumlah margarine (mentega), tetapi pihak duane menolak memberikan ijin

yang diperlukan untuk itu. Penolakan itu terjadi berdasarkan Beslit Raja

(Koninklijk Besluit) yang diambil beberapa hari sebelumnya, yang

keabsahannya dibantah oleh Ostermann. Oleh karena itu Ostermann tidak 

dapat menjual menteganya ke luar negeri sehingga ia menderita rugi.

Kemudian ia menuntut ganti rugi dari pemerintah melalui pengadilan.

Pendapat Pengadilan: Kewajiban (kalau pun ada) dari pegawai untuk 

memberikan ijin ekspor adalah merupakan suatu kewajiban hukum publik 

murni, dimana tidak dikenal segala kewajiban hukum privat, sehinggaOstermann tidak dapat menarik perlindungan hukum dari kewajiban hukum

publik itu berdasarkan pasal 1401 NBW (sama dengan pasal 1365 BW

Indonesia). Tuntutan Ostermann dinyatakan tidak dapat diterima. Ostermann

kemudian naik banding dan kemudian kasasi ke Hoge Raad .

Pendapat  Hoge Raad : Dengan perbuatan melawan hukum diartikan

bukan hanya suatu perbuatan atau hal tidak berbuat yang melanggar hak 

seseorang, melainkan juga suatu perbuatan atau tidak berbuat, yang

bertentangan dengan kewajiban hukum orang itu. Dengan demikian, maka

seseorang itu telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum, yang

melanggar suatu peraturan undang-undang, tanpa mempedulikan apakah

peraturan itu mempunyai sifat hukum privat atau hukum publik, sama seperti

seorang warga negara yang melanggar undang-undang pidana, ia juga telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Juga badan hukum publik yang

bertindak melalui bagian-bagiannya, dalam memenuhi tugas pemerintahannya

itu harus menepati peraturan undang-undang dan apabila hal itu tidak 

dilakukannya, maka dengan pemerintahan itu tanpa apa-apa telah melakukan

suatu perbuatan melawan hukum dan bertanggung jawab atas kerugian yang

diakibatkannya” (N.E. Algra et al., 1977:178).

Page 16: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 16/25

 

16

Mencermati Ostermann Arrest  di atas, tampak suatu indikasi adanya

perluasan yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata) dengan dimasukannya

perbuatan yang bersifat  publiekrechtelijk  ke dalam lingkup yurisdiksi

peradilan umum. Di lain pihak bahkan dimungkinkan sebaliknya, yaitu

perbuatan dari Badan/Pejabat Birokrasi dalam lingkup dan suasana yang

 privaatrechtelijk masuk ke dalam yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara.

Kedua, Pendekatan Tidak Partial dan Integral; Kesulitan dalam

menentukan apakah suatu keputusan Pejabat Birokrasi itu diterbitkan dalam

rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan atau dalam rangka melakukan

perbuatan hukum perdata, sebenarnya telah dijawab oleh Undang-UndangNomor 5 Tahun 1986 itu sendiri. Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menyatakan: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata

Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: (a) Keputusan Tata Usaha

 Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.”

Pasal di atas sesungguhnya telah merupakan rambu atau petunjuk yang

amat jelas untuk membedakan antara Keputusan Pejabat Birokrasi yang

diterbitkan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (publik) dengan

yang diterbitkan dalam rangka melakukan perbuatan hukum perdata. Maksud

dari pasal 2 huruf a di atas sebenarnya dalam rangka menghindarkan adanya

suatu benturan yurisdiksi peradilan. Artinya apabila Badan/Pejabat Birokrasi

menerbitkan suatu Keputusan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan

yang bersifat keperdataan, maka pemeriksaan sah atau tidaknya Keputusan

Badan/Pejabat Birokrasi itu menjadi kewenangan dari Badan Peradilan Umum

(Peradilan Perdata). Atau dengan kalimat lain, menurut pandangan yang kedua,

yaitu pendekatan tidak partial dan integral, adalah bahwa “Tidak selalu suatu

Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi, meskipun bersifat Konkret, Individual,

dan Final (sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986), merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Page 17: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 17/25

 

17

untuk memeriksa dan memutus keabsahannya. Oleh karena apabila Keputusan

itu diterbitkan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dalam rangka menyelenggarakan

fungsi pemerintahan yang bercorak keperdataan, maka pemeriksaan terhadap

keabsahan Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi tersebut akan menjadi

kewenangan badan Peradilan Umum (Perdata)” [Indriyanto Seno Adji, 1995:

136].

Sehubungan dengan yurisdiksi Peradilan Umum dan Peradilan Tata

Usaha Negara ini, Oemar Seno Adji dalam bukunya (1980: 314),

mengemukakan bahwa “Setiap Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang

berkenaan dengan perbuatan keperdataan menjadikan persoalan tersebutsebagai  Dual Jurisdiction atau Dualitas dalam Yurisdiksi”. Selanjutnya

dikemukakan, di wilayah Indonesia ini [diakui] adanya Dual Jurisdiction, yaitu

adanya Peradilan Umum (Perdata) dan Peradilan Administratif (sekarang,

Peradilan Tata Usaha Negara). Kemudian menjadi Unity of   Jurisdiction yang

dipusatkan di Mahkamah Agung, yang mengadili perkara-perkara dalam

tingkat kasasi terhadap putusan terakhir, baik dari Peradilan Umum (Perdata)

maupun Peradilan Tata Usaha Negara.

Serupa dengan pandangan kedua di atas, berikut ini dikemukakan kasus

yang berasal dari Amsterdam, yakni kasus Café Uitkijk , Maret 1913. Kasus

posisinya sebagai berikut:

“Pada bulan Maret 1913, Kotapraja mengadakan perjanjian bersyarat

dengan  NV Holandsche Ijzer en Spoorweg Maatschappij (HIjSM) untuk 

melakukan pekerjaan pembuatan Café Uitkijk . Kotapraja menentukan syarat,

bahwa kerugian sebagai akibat pelaksanaan pekerjaan itu, harus memperoleh

ganti rugi. Syarat tersebut diterima dengan tegas oleh NV HijSM. Pemilik 

Café Uitkijk , ternyata kemudian mengajukan gugatan terhadap NV HijSM

karena ditemukan beberapa kekurangan dalam pekerjaan pembuatan Café

tersebut. Tuntutan itu ditolak oleh tergugat (NV HijSM) dengan

Page 18: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 18/25

 

18

mengemukakan alasan bahwa tidak ada hubungan perjanjian berdasarkan

hukum perdata antara ia (NV HijSM) dengan Kotapraja, sehingga tidak ada

suatu janji untuk pihak ketiga yang berlaku. Pembelaan tergugat telah ditolak 

oleh Pengadilan. Pengadilan berpendapat bahwa janji yang dibuat ketika

memberikan ijin itu adalah persetujuan menurut hukum privat, sehingga

konkretnya ketentuan pasal 1353 NBW (pasal 1317 BW Indonesia) berlaku”

(N.E. Algra et al., 1977: 174-175).

V. BEBERAPA KASUS YANG MENGINDIKASIKAN SIKAP

MAHKAMAH AGUNG MEMBIARKAN DUALITAS YURISDIKSI

Sebagaimana diketahui, Peradilan di Indonesia menganut suatu sistem

kasasi, yang juga lazim dinamakan “sistem kontinental” dan berasal dari

Perancis. “Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung sebagai Badan

Pengadilan Tertinggi merupakan Pengadilan Kasasi. Tugas Mahkamah Agung

adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar

semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara

tepat dan adil”(R. Subekti, 1980: 1-2).Di samping tugasnya di atas, Mahkamah Agung Indonesia juga

merupakan Unity of Jurisdiction, atau lembaga yang menyatukan kembali

yurisdiksi sebab Indonesia mengakui adanya  Dual Jurisdiction atau Dualitas

Dalam Yurisdiksi. Keadaan semacam itu terjadi antara lain karena Peradilan

Umum (Perdata) dan Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki perbedaan

kompetensi, namun sejajar dalam kesempatan untuk menilai keabsahan setiap

Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang berkenaan dengan perbuatan

keperdataan. Persoalan itulah yang dinamakan sebagai Dualitas Dalam

Yurisdiksi.

Page 19: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 19/25

 

19

Untuk mengetahui bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam

praktiknya berupaya mempertautkan perbedaan kewenangan mengadili

diantara dua badan peradilan yang berbeda tadi, berikut ini dipaparkan sebuah

kasus menarik sebagai berikut:

“Ketika PT PLN Persero melakukan Operasi Penertiban Aliran Listrik 

(OPAL), PLN menemukan sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh

konsumen berupa segel rusak dan pemalsuan segel pada instalasi listrik di

tempat konsumen. Terhadap temuannya itu, pihak PLN berkesimpulan bahwa

selama pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Kontrak 

Penyambungan Listrik) konsumen telah melanggar isi perjanjian. Sesuaikesepakatan antara konsumen dengan PT PLN di dalam Kontrak 

Penyambungan Listrik tersebut, akibat adanya pelanggaran itu PT PLN

menghentikan aliran listrik konsumen dengan disertai penerbitan Surat

Tagihan Susulan OPAL yang wajib dibayar lunas oleh konsumen. Surat

Tagihan Susulan OPAL itulah yang kemudian digugat oleh konsumen di

hadapan Peradilan Tata Usaha Negara. Kasus gugatan tersebut akhirnya sampai

 juga pada tingkat Mahkamah Agung dengan pandangan dualitas tentang

yurisdiksi peradilan”.

Kasus yang dipaparkan di atas terjadi antara PT Cahaya Kencana Sakti

(konsumen-Penggugat) menggugat Perum Listrik Negara (Tergugat) karena

PLN menerbitkan Surat Keputusan tentang Tagihan Susulan OPAL. Pada

tingkat Kasasi, terhadap kasus tersebut Mahkamah Agung dengan Ketua

Majelis Ny. Karlinah Palmini Achmad Soebroto,S.H., melalui putusannya

Nomor 15K/TUN/1993 tanggal 28 Februari 1993 berpendapat bahwa “gugatan

terhadap Surat Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL itu menjadi

kewenangan dari Peradilan Umum”. Hal itu dapat disimak dari bunyi

pertimbangannya, sebagai berikut:

Page 20: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 20/25

 

20

“Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena objek sengketa adalah

surat-surat No. 4068/832/BIKEU/1991/M, No.4894/832/BIKEU/1991/M, dan

No.6115/832/BIKEU/1991/M., perihal Tagihan Susulan OPAL yang

ditentukan kepada Penggugat sebagai pelanggan dari Pemohon Kasasi atas

dasar jual beli menurut Perjanjian Tenaga Listrik bukti T-1 No.PJN/186/DIS-

JAYA/845; Bahwa masalah yang timbul dari perjanjian penyambungan listrik 

merupakan masalah Perdata, yang adalah wewenang Peradilan Umum”

(Indriyanto Seno Adji, 1995: 138-139).

Berbeda dengan penanganan kasus sebelumnya, pada kasus yang

berikutnya antara PT Pluit Plastik Industries (Penggugat) yang menggugatPerum Listrik Negara (Tergugat) juga berkenaan dengan penerbitan Surat

Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL, Mahkamah Agung

berpendapat lain. Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 14K/TUN/1993

tanggal 30 Juli 1994 dengan Ketua Majelis Soerjono,S.H., Mahkamah Agung

telah menolak permohonan kasasi dari Perum Listrik Negara tentang

kewenangan Peradilan Umum (Perdata) untuk memeriksa sengketa keabsahan

Surat Tagihan Susulan OPAL. Sebaliknya Mahkamah Agung berpendapat

bahwa gugatan PT Pluit Plastik Industries terhadap PLN atas penerbitan Surat

Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL menjadi kewenangan dari

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sikap Mahkamah Agung yang tertuang pada putusan MA No.

14K/TUN/1993 tanggal 30 Juli 1994 di atas, ternyata terus berlanjut pada

penanganan kasus-kasus berikutnya. Sebagai contoh pada kasus-kasus berikut

ini: Combo Fast Food (Putusan No. 15K/TUN/1992); PT Inti Sarana Aksara

(Putusan No. 63K/TUN/1992); PT Dharma Bumi Agricultural Enterprise

(Putusan No. 65K/TUN/1992); PT Elsar Utama (Putusan No. 01K/TUN/1993);

PT Star Impactama Indah (Putusan No. 03K/TUN/1993); PT Bina Cipta Sakti

Permai (Putusan No. 30K/TUN/1993) [Indriyanto Seno Adji, 1995: 139].

Page 21: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 21/25

 

21

Untuk kasus-kasus tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung dalam

putusan-putusannya, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara-lah yang memiliki

yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa keabsahan Surat Keputusan

Tagihan Susulan OPAL.

Dari dua kelompok putusan Mahkamah Agung yang berlainan di atas,

tampaklah bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam memberikan pertim

bangan putusan atas kasus yang objek sengketanya sama, tetapi putusannya

akhirnya ternyata berbeda. Pada kasus antara PT Cahaya Kencana Sakti lawan

PLN (Putusan No.15K/TUN/1993), Mahkamah Agung memutuskan bahwa

Peradilan Umum (Perdata) yang memiliki kewenangan untuk memeriksa danmemutus sengketa keabsahan Surat Keputusan Tagihan Susulan OPAL. Untuk 

kasus itu tampak sikap Mahkamah Agung condong ke arah pandangan kedua

yakni tidak partial dan integral. Corak dari pandangan kedua itu adalah fungsi

pemerintahan yang diselengarakan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dengan

merelevansikan adanya perbuatan hukum perdata (ataupun Hukum Publik).

“Maksud pandangan kedua adalah apabila Keputusan yang diterbitkan itu

berada pada saat Badan/Pejabat Birokrasi menyelenggarakan fungsi

pemerintahan berkenaan dengan perbuatan yang bersifat keperdataan, maka

karenanya tunduk dan terikat dalam suasana Hukum Perdata, yaitu adanya

hubungan kontraktual dengan asas kebebasan berkontraknya” (Indriyanto

Seno Adji, 1995: 150).

Sedangkan pada penanganan kasus-kasus berikutnya, antara lain kasus

PT Pluit Plastik Industries (Putusan No.14K/TUN/1993), Mahkamah Agung

 justeru berpendapat lain, yakni menunjuk Peradilan Tata Usaha Negara sebagai

peradilan yang memiliki kewenangan. Dalam menangani kasus-kasus yang

disebut terakhir Mahkamah Agung rupanya lebih condong ke arah pandangan

pertama yakni partial dan tidak integral. Agaknya dalam kasus-kasus

Page 22: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 22/25

 

22

berikutnya Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan putusannya

lebih bertitik tolak pada segi substansi Keputusan.

Dari sikap semacam itu tampak suatu indikasi adanya extensi

(perluasan) yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata) masuk dalam lingkupnya

perbuatan yang bersifat publik. Bahkan dimungkinkan sebaliknya, dengan

adanya Peradilan Tata Usaha Negara, maka perbuatan dari Badan/Pejabat

Birokrasi dalam lingkup dan suasana yang bersifat keperdataan masuk dalam

yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara.

VI. PENUTUP

Sebagai penutup dari paparan di atas, berikut ini dapat dikemukakan

bebarapa butir kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, Di dalam masyarakat kebanyakan di Indonesia, istilah

birokrasi sampai saat makalah ini disusun masih saja memiliki konotasi yang

kurang baik. Istilah Birokrasi selalu dihubung-hubungkan dengan berbagai

prosedur dan liku-liku proses yang menyulitkan masyarakat. Hal ini boleh jadi

karena masyarakat diberi pengalaman yang kurang baik berkaitan dengan

istilah tersebut pada masa yang lalu.

Kedua, Dalam makalah ini yang dimaksud dengan Keputusan

Badan/Pejabat Birokrasi dibatasi semata-mata pada Keputusan yang dikaji saja,

yaitu Keputusan Pejabat PT Perusahaan Listrik Negara sebagai Badan Hukum

Perdata Milik Negara. Keputusan tersebut dikategorikan sebagai Keputusan

Badan/Pejabat Birokrasi, karena PT PLN sebagai Badan Usaha juga

mengemban fungsi pemerintahan. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai

pengemban fungsi pemerintahan, PT PLN juga melakukan misi pelayanan

kepada masyarakat dalam bidang tenaga listrik dengan melakukan perjanjian-

perjanjian dengan para konsumennya yang tunduk pada aturan-aturan hukum

perdata.

Page 23: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 23/25

 

23

Ketiga, Surat Tagihan Susulan OPAL yang dikeluarkan PT PLN tentu

tergolong Surat Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi. Walaupun substansi

Surat Tagihan itu memiliki sifat keperdataan, karena berkaitan dengan

pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh konsumennya, namun untuk 

memeriksa keabsahan Surat tersebut timbul permasalahan yurisdiksi antara

Peradilan Umum (Perdata) dengan Peradilan Tata Usaha Negara.

Keempat, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang

mengemban tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum di

Indonesia, ternyata menganut dualisme pandangan dalam masalah tersebut di

atas. Hal itu tampak jelas sekali dari yurisprudensi-yurisprudensinya dalammemeriksa sengketa keabsahan Surat Keputusan tentang Tagihan Susulan

OPAL. Rupanya harus diakui bahwa di dalam praktik tidak selalu mudah

untuk menyelesaikan permasalahan yurisdiksi, karenanya dituntut kemampuan

yang memadai dari para Hakim Agung untuk dapat memisahkan secara tegas

antara perbuatan yang bernuansa keperdataan dengan yang bernuansa

publik.***

Page 24: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 24/25

 

24

DAFTAR BACAAN

ALBROW, Martin, Birokrasi (alih bahasa: M. Rusli Karim & Totok Daryanti), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

ALGRA, N.E. et all., Mula Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983.

ATMOSUDIRDJO, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: GhaliaIndonesia, 1995.

FACHRUDDIN, Irfan, “Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya dalam

Sengketa Tata Usaha Negara”; dalam Varia Peradilan Tahun X

No.111, Desember 1994.

INDROHARTO, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan

Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

KASIEPO, Manuel, “Dari Kepolitikan ke Korporatisme Negara: Birokrasi

dan Politik di Indonesia Era Orde Baru”; dalam Jurnal Ilmu

Politik Nomor 2, Jakarta: Gramedia, 1987.

MAS’OED, Mochtar & Colin Mac Andrew, Perbandingan Sistem Politik.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

MOERDIONO, “ Mencari Model Birokrasi Indonesia”; dalam Birokrasi danAdministrasi Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

1993.

MUHAIMIN, Yahya , “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”; dalam Prisma 

Nomor 10, Oktober 1980.

SENO ADJI, Oemar, Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Penerbit

Erlangga, 1980.

SENO ADJI, Indriyanto, “Problema Yurisdiksi Peradilan terhadap Keputusan

Tata Usaha Negara yang berisi Perbuatan Hukum Perdata”; dalamVaria Peradilan Tahun VII Nomor 81, Juni 1992.

Page 25: 2B MAKALAH BIROKRASI

5/17/2018 2B MAKALAH BIROKRASI - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/2b-makalah-birokrasi 25/25

 

25

SENO ADJI, Indriyanto,“Mahkamah Agung dan Problema Dualitas

Yurisdiksi”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 114, Maret1995.

SETIAWAN, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham

Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

SUBEKTI, R., Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni, 1980.

THOHA, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi, Dimensi-dimensi Prima

Ilmu Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: Rajawali Pers,

1987.TOBING, H.A., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. 

Jakarta: Rajawali Pers, 1991.