25354792-gangguan-perilaku
-
Upload
anditha-namira-rs -
Category
Documents
-
view
9 -
download
2
Transcript of 25354792-gangguan-perilaku
MAKALAH GANGUAN TINGKAH LAKU PADA ANAK DAN
REMAJA
BAB IPENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan,
bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola
perilaku menyimpang, Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan
dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah
tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. (Sulis
Styawan, 2007)
Tak dimungkiri pula, kehadiran teknologi yang serba digital dewasa ini banyak
menjebak remaja kita untuk mengikuti perubahan ini. Hal ini perlu didukung dan disikapi
positif mengingat kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan
masa kini yang tidak bisa terelakkan. Namun, filterisasi atas merebaknya informasi dan
teknologi super canggih melalui berbagai media komunikasi seringkali terlepas dari
kontrol. Pola perilaku budaya luar (baca: pengaruh era global), sering kali dianggap
sebagai simbol kemajuan dan mendapat dukungan berarti di kalangan remaja. Kemajuan
informasi dan teknologi telah membawa ke arah perubahan konsep hidup dan perilaku
sosial. Pengenalan dan penerimaan informasi dan teknologi tumbuh pesat bahkan menjadi
kebutuhan hidup. Perlu kiranya menjadi keprihatinan bersama, sekaligus menaruh
perhatian lebih bila mengamati dan menjumpai sebagian dari remaja yang makin
menikmati dan menghabiskan masa remajanya dengan kegiatan yang kurang berfaedah
bahkan sama sekali tak berguna demi masa depannya. Masalahnya sejauh mana nilai
positif dari kemajuan tersebut mampu dipilih dan dipilah secara cermat dan
bertanggungjawab oleh remaja. Ini sangat urgen, karena persoalannya menyangkut masa
depan remaja itu sendiri dan bisa jadi negara tercinta ini, akan kehilangan satu mata rantai
generasi penerus (the loss generation).
Memang, sebagai bagian dari masalah sosial, kenakalan remaja merupakan masalah
yang serius karena akan mengancam kehidupan suatu bangsa. Penyakit remaja muncul
sebagai akibat melemahnya pengertian dan kewaspadaan terhadap kebutuhan dan
permasalahan usia remaja itu sendiri. Sifat-sifat sulit diatur, berontak, merajuk, kumpul-
kumpul, suka meniru, mulai jatuh cinta, hura-hura dan sebagainya, adalah rangkaian pola
perilaku yang selalu muncul membayangi sisi kehidupan remaja.
Jika tidak dikontrol dan diawasi, hal ini tentu dapat memicu timbulnya masalah sosial, di
mana tercipta situasi yang kurang atau tidak mengenakkan dalam masyarakat. Contoh
perilaku remaja yang mengindikasikan timbulnya permasalahan sosial bagi lingkungan
sekitarnya seperti: kebiasaan merusak fasilitas umum dan sosial, coret-coret dinding,
minum minuman beralkohol, tawuran antar remaja, kebut-kebutan di jalan raya dan bahkan
sampai pada perilaku seks bebas (free sex) dan pemakaian obat-obatan terlarang. Kondisi
ini ada bukan untuk dimusuhi atau dijauhi, tetapi mesti dipahami dan didekati karena
merupakan integritas remaja di dalam menemukan identitas diri dan pengakuan pribadinya.
Mengamati dan memahami pola-pola perilaku remaja yang memang sangat rumit dan
tinggi kompleksitasnya, maka sebelum terlambat, segenap potensi sosial yang tersedia
harus diarahkan dan diupayakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk melibatkan
perannya. Penanganan permasalahan kenakalan remaja pun tidak hanya ditekankan pada
remaja itu sendiri, melainkan multi dimensi..
Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya
tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada
15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Keys, 1998). Karena gangguan ini sering tidak dianggap serius seperti
gangguanm yang bersidat fisik atau jasmaniah, karena kondisi sosial masyarakat sekarang
ini masih kurang memperhatikan maslah kejiwaan
II. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengindentifiksi gangguan perilaku pada anak
dan remaja serta memahami perawatan pada permasalahan tersebut
.
BAB IITINJAUAN TEORI
DEFENISI
Juvenile delinquency ( kenakalan remaja ) ialah perilaku jahat/dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit ( patologis ) secara sosial
pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Pengertian kenakalan remaja menurut Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice ( Beijing Rules ) khusus dalam rules 2.2
adalah salah seorang anak atau orang muda ( remaja ) yang melakukan perbuatan yang
‘dapat dipidana’ menurut sistem hukum yang berlaku dan diperlakukan secara berbeda
dengan orang dewasa(4)
BATASAN TENTANG REMAJA
Perkembangan usia anak hingga dewasa dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu :
a. Anak, seorang yang berusia di bawah 12 tahun
b. Remaja dini, seorang yang berusia 12 – 15 tahun
c. Remaja penuh, seorang yang berusia 15 – 17 tahun
d. Dewasa muda, seorang yang berusia 17-21 tahun
e. Dewasa, seorang berusia di atas 21 tahun.
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli sependapat bahwa
remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun.
TEORI PERILAKU KENAKALAN REMAJA
Berikut ini adalah beberapa teori tentang penyebab kelakuan kenakalan remaja :
1. Teori Differential Asociation
Teori yang dikemukakan oleh E. Sutherland ini pada dasarnya melandaskan diri pada
proses belajar. Kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya merupakan suatu yang
dipelajari.
2. Teori Anomie
Teori anomie yang diajukan Robert Merton merupakan teori yang berorientasi pada kelas.
Itilah anomie sendiri sebetulnya berasal dari seorang pakar sosiologi perancis, Emile
durkeim, yang berarti suatu keadaan tanpa norma. Konsep anomie ini kemudian oleh
Merton diformulasikan dalam rangka menjelaskan keterkaitan antara kelas-kelas sosial
dengan kecenderungan pengadaptasiannya dalam sikap dan perilaku kelompok. Merton
berusaha menunjukkan bahwa berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di
masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang dengan kualitas tertentu
cenderung berperilaku menyimpang ketimbang mematuhi norma-norma kemasyarakatan.
3.Teori Sub-budaya Delinkuen
Teori ini dilontarkan oleh Albert K Cohen, yang menjelaskan terjadinya peningkatan
perilaku delinkuen di daerah kumuh. Fokus perhatiannya terarah pada satu pemahaman
bahwa perilaku delinkuen di kalangan usia muda, kelas bawah merupakan cerminan
ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai kelompok kelas menengah yang
mendominasi.
4. Teori Netralisasi
Pada dasarnya teori netralisasi ini beranggapan bahwa aktivitas manusia selalu
dikendalikan oleh pikirannya. Menurut teori ini orang-orang berperilaku jahat atau
menyimpang disebabkan adanya kecenderungan di kalangan mereka untuk merasionalkan
norma-norma dan nilai-nilai ( yang seharusnya berfungsi sebagai pencegah perilaku jahat )
menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri.
5. Teori Kontrol
Teori kontrol atau sering juga disebut teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau
anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya, menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya
tergantung pada masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila
masyarakatnya membuatnya demikian.
ETIOLOGI
Beberapa penyebab dari kenakalan remaja meliputi gangguan-gangguan perilaku.
Penyebab gangguan perilaku mungkin berasal dari anak sendiri atau mungkin dari
lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling mempengaruhi Anak sendiri
1. Penyebab yang diturunkan. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh dapat
diturunkan. Demikian juga beberapa sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari
orangtua kepada anaknya.
2. Penyebab yang diperoleh pada waktu anak berkembang. Telah lama diketahui bahwa
gangguan otak seperti trauma kepala, ensefalitis, neoplasma dan lain-lain dapat
mengakibatkan perubahan kepribadian. Anak dengan sindroma otak organik ini
mungkin menunjukkan hiperkinesia, kegelisahan, kecenderungan untuk merusak dan
kekejaman.
3. Lingkungan, Meskipun faktor-faktor yang diturunkan itu mempengaruhi perilaku anak,
akan tetapi faktor lingkungan sering lebih menentukan. Dan karena lingkungan itu dapat
diubah maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dapat
dicegah. Beberapa penyebab gangguan perilaku yang berasal dari lingkungan
ialah:Orangtua, Saudara-saudara, Orang lain di rumah, Hubungan di sekolahnya,
Keadaan ekonomi
Masalah yang Selalu dihadapi Remaja
Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah :
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori
wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah
yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan
remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti
berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku
bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi
problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah
akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan
seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol).
Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja
mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya
konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak
terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih
banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan
mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat
akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh
penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku
benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku
yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya,
karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada
anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat
ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat
anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah
dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik
secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru,
dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada
remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang
ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.
5. Attention Deficit Hyperactivity disorder,
Attention Deficit Hyperactivity disorder yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam
perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak
dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya
mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan
tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan
lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang
datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS
Menurut PPDGJ III pedoman diagnostik untuk gangguan tingkah laku ( F-91 ):
1. Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya pola tingkah laku dissosial, agresif
atau menentang yang berulang dan menetap.
2. Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan tingkat
perkembangan anak. Tempertantrum merupkan gejala normal pada perkembangan anak
berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar bagi diagnosis ini. Begitu
pula pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti tindak pidana dengan kekerasan) tidak
termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan
kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut.
3. Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali tingkah laku seperti yang diuraikan di atas
berlanjut selama 6 bulan atau lebih.
Gejala Klinis:
1. Perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan
2. Kejam terhadap hewan atau sesama manusia
3. Pengerusakan yang hebat atas barang milik orang lain
4. Membakar
5. Pencurian
6. Pendustaan berulang-ulang
7. Membolos dari sekolah dan lari dari rumah
8. Sering meluapkan tempertantrum yang hebat dan tidak biasa
9. Perilaku provokatif yang menyimpang
10. Sikap menentang yang berat dan menetap
DIAGNOSA BANDING
1. Gangguan emosional pada kanak-kanak
2. Gangguan kebiasaan
Penatalaksanaan Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
Perawatan berbasis komunitas saat ini lebih banyak terdapat pada managed care.
Yaitu dengan cara-cara yaitu :
Pencegahan primer
Melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang
meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah perawatan pranatal awal, program
intervensi dini bagi orang tua dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam
membesarkan anak, dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan
dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
Pencegahan sekunder
Dengan menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan di
sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. Metodenya meliputi
konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan rujukan kesehatan jiwa
komunitas, layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi traumatik,
konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman sebaya.
Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu, terapi
bermain, dan program pendidikan khusus untuk anak-anak yang tidak mampu
berpartisipasi dalam sistem sekolah yang normal. Metode pengobatan perilaku pada
umumnya digunakan untuk membantu anak dalam mengembangkan metode koping yang
lebih adaptif.
Terapi keluarga
penyuluhan keluarga penting untuk membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan
bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan yang dapat meningkatkan fungsi semua
anggota keluarga.
Pengobatan berbasis rumah sakit dan Rehabilitasi.
Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa.
Pengobatan di unit-unit ini biasana diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan
metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi melakukan
kekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
Program hospitalisasi parsial juga tersedia, memberikan program sekolah di tempat (on-
site) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak yang menderita penyakit
jiwa. Seklusi dan restrein untuk mengendalikan perilaku disruptif masi menjadi
kontroversi. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat bersifat traumatik pada anak-
anak dan tidak efektif untuk pembelajaran respon adaptif. Tindakan yang kurang restriktif
meliputi istirahat (time-out), penahanan terapeutik, menghindari adu kekuatan, dan
intervensi dini untuk mencegah memburuknya perilaku.
Farmakoterapi.
Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan. Medikasi psikotropik digunakan
dengan hati-hati pada klien anak-anak dan remaja karena memiliki efek samping yang
beragam.
a. Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja memengaruhi jumlah dosis, respon klinis, dan
efek samping dari medikasi psikotropik.
b. Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat memengaruhi hasil
pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang tidak konsisten, terutama dengan
antidepresan trisiklik.
BAB VI.
KESIMPULAN.
Berdasarkan analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak
seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar kemungkinannya
lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari
keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar anaknya
akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang
tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan
kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif)
maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum bahwa ada hubungan negatif antara
keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi
keberfungsian social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja.
Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat
kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua
hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui
program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan
social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara
keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan
memberikan program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program
di tiap karang taruna. Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya
manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai
dengan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono,K.Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja. Rajawali, Jakarta,1986:6
2. Maramis, WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan Ketujuh. Airlangga Universsity
Press, Surabaya, 1998:516-528
3. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta, 2004:137
4. Paulus, H. Juvenile Delinquency ( Pemahaman dan Penanggulangannya ). PT Citra
Aditya Bakti. Bandung, 1997: 9-34.