237350976-Referat-Demam.docx

download 237350976-Referat-Demam.docx

of 24

Transcript of 237350976-Referat-Demam.docx

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    1/24

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate(BMR). Faktor-

    faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rateantara lain: (1) laju metabolisme dari

    semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot; (3)

    metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan

    perangsangan simpatis terhadap sel; (5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh

    meningkatnya aktivitas kimiawi didalam sel sendiri.

    Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid, pankreas dan

    kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang melibatkan

    adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan panas pada jaringan lemak coklat,

    yang terletak terutama dileher dan skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan

    mempunyai banyak mitokondria. Pada keadaan oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat

    meningkatkan produksi panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan

    panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon

    terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegangperanan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila

    suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut

    eferen dari sistem saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi).

    Peningkatan aliran darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui

    permukaan kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin

    akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu tubuh.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    2/24

    2

    BAB II

    DEMAM

    2.1 DEFINISI

    Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan

    dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara

    36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature 38,0C

    atau oral temperature 37,5C atau axillary temperature 37,2C.

    Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah

    suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi

    yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.

    Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme

    pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang

    dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek.

    Tempat

    pengukuran

    Jenis

    thermometer

    Rentang; rerata

    suhu normal (oC)

    Demam (oC)

    Aksila Air raksa,

    elektronik

    34,737,3; 36,4 37,4

    Sublingual Air raksa,

    elektronik

    35,537,5; 36,6 37,6

    Rektal Air raksa,

    elektronik

    36,637,9; 37,0 38

    Telinga Emisi infra

    merah

    35,737,5; 36,6 37,6

    2.2 DEMAM PADA ANAK

    Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang singkat dengan tanda-tanda

    yang khas terhadap suatu penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat

    klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    3/24

    3

    tanda yang khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak

    memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam

    yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO).

    2.3 ETIOLOGI

    Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat

    infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri

    yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,

    osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,

    meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi

    virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza,

    demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi

    jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,

    criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam

    antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.

    Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor

    lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan

    (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan

    (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami

    demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari. Hal lain

    yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf

    pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan

    lainnya.

    2.4 PATOGENESIS

    Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian

    secara langsung mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan

    konversi panas.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    4/24

    4

    Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen

    eksogen dan pirogen endogen.

    Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu

    sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut

    dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF),

    interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini

    dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana

    sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang

    kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

    2.4.1 Pirogen eksogen

    Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya,

    pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis

    interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen,

    misalnya endotoksin, bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.

    Radiasi, racun DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek

    langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan

    merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini

    dijumpai pada scarlet feverdan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari

    mikroba dan non-mikroba.

    a. Pirogen Mikrobial

    Bakteri Gram Negatif

    Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela) disebabkan adanya

    heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen yang pertama kali

    ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida

    (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis

    (dose-related). Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau

    dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer

    cell (NK cell). Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan

    interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera

    menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem komplemen dan aktifasi

    faktor hageman, seperti yang terdapat pada gambar 1.4 dan gambar 1.5

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    5/24

    5

    Bakteri Gram Positif

    Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel.

    Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan

    pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi

    demam. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan

    perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif.

    Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi

    pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh

    basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang

    ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik atau bakteri

    gram-negatif lainnya.

    Virus

    Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun 1958,

    dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam setelah

    disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara

    melakukan invasi secara langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap

    komponen virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh

    interferon dan nekrosis sel akibat virus.

    Jamur

    Produk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen eksogen yang akan

    merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika produk jamur berada

    dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia)

    disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi

    untuk terserang infeksi jamur invasif.

    b. Pirogen Non-Mikrobial

    Fagositosis

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    6/24

    6

    Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk terjadinya

    demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun (immune hemolytic

    anemia).

    Kompleks Antigen-antibodi

    Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat reaksi

    antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen

    yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit

    dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh

    immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat

    yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin

    disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan

    dengan pelepasan IL-1.

    Steroid

    Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik androgen

    diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1). Ethiocholanolon dapat

    menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara intramuskular (IM), maka diduga demam

    tersebut disebabkan oleh pelepasan interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat

    suntikan. Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien

    dengan sindrom adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown

    origin = FUO).

    Sistem Monosit-Makrofag

    Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1) dan terjadinya

    demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam

    memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan

    agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer

    juga tersebar di dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta,

    rongga peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-

    monocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki

    peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar ataubermigrasi ke jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    7/24

    7

    berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk

    diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan

    mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan destruksi sel

    tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem monosit-

    makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresif lain, lupus

    eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik.

    Dua produk utama monosit-makrofag adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor

    (TNF).

    2.4.2 Pirogen Endogen

    a Interleukin-1 (IL-1)

    Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori, dengan

    bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui membran sel kedalam

    sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai hormon oleh karena mempengaruhi organ-

    organ yang jauh. Penghancuran interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal.

    Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2

    agonis (IL-1 dan IL-1) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis

    IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1 dan IL-1 untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah

    relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi

    inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1,

    sel kupfer di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1.

    Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam

    susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP.

    Fagositosis Antigen Mikrobial dan Non-mikrobial

    Memproses dan mempresentasikan Peran utama mekanisme pertahanan sebelum antigen

    antigen dipresentasikan pada sel-T

    Aktivasi sel-T Sel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen pada

    permukaan monosit-makrofag

    Tumorisidal Umumnya disebabkan oleh TNF

    Sekresi dari :

    Interferon dan Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti proliferatif

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    8/24

    8

    IL-1 Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi demam,

    aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B

    IL-6 Induksi demam dan hepatic acute phase proteins, aktivasi

    sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada infeksi

    IL-8 Aktivasi neutrofil dan sintesis IgEIL-11 Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritroid, perangsangan

    sekresi T-cell dependent B-cell

    Tumor necrosis factor Aktivasi selular, aktivasi anti tumor

    Prostaglandin Beraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1

    Lisozim Zat penting bagi proses peradangan

    Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi demam pada

    hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk proliferasi sel-T serta

    aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai lymphocyte activating factor (LAF)

    dan B-cell activating factor(BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati,

    seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP,

    sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat

    penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga

    (Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan

    peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh

    hospes oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi

    esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan

    laju endap darah.

    b. Tumor Necrosis Factor (TNF)

    Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit

    dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel kupffer juga oleh astrosit otak,

    sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang

    sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang

    mempunyai aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel

    tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan

    menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek

    untuk merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil

    serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    9/24

    9

    Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai

    efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai

    pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor

    necrosis factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan

    menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya hubungan dengan infeksi

    kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau

    prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi virus

    HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan

    dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versus-

    host disease.

    c. Limfosit yang Teraktivasi

    Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2 jenis yaitu sel-

    B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang mengatur sintesis

    antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai sitotoksik, serta memproduksi respon

    inflamasi hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit

    (dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah

    antigen diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada

    hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T (sebagai

    LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai jawaban stimulasi IL-1, limfosit-T

    menghasilkan berbagai zat seperti yang terdapat dalam tabel 1.2

    d. Interferon

    Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di dalam sel yang

    terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi oleh limfosit-T yang

    teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam

    aminonya, yaitu interferon- (INF alfa), interferon- (INF beta) dan interferon-gama (ITNF

    gama). Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas

    dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama

    dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya

    dengan dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai,

    sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir.

    Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel-Buntuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai pirogen endogen

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    10/24

    10

    dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk melepaskan interleukin-1

    (macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di

    hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta

    meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari

    sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi

    pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor

    baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur

    siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas

    antivirus dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4),

    yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil atau

    sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh interferon gama dan interferon

    alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4.

    Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat pada berbagai

    penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai infeksi virus,

    seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa

    dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam dapat

    muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat mencapai 40C. Efek

    samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat

    diantaranya gagal hati, gagal jantung, neuropati dan pansitopenia.

    e. Interleukin-2 (IL-2)

    Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang dilepas oleh

    limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2 mempunyai efek

    penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T,Natural killer cell (sel NK) dan sel-B. Telah

    dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari

    produksi IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap melanoma

    ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik darinatural killer cell (lymphokine-

    activated killer cell atau LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel

    tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak.

    Respon neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya,

    terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel,

    diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya. Efek

    samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    11/24

    11

    dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1,

    TNF dan INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya

    pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi cairan yang hebat.

    Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 diantaranya SLE (Systemic Lupus

    Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.

    f. Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

    Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi menguntungkan

    adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor(G-CSF), dan macrophage colony-

    stimulating factor (M-CSF).Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

    adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast

    juga mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah

    menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi

    granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam

    pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia aplastik dan

    efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat

    disertai dengan terjadinya demam, yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti

    inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen.

    Infeksi, toksin, dan

    pengimbas lain

    sitokin-sitokin

    pirogenik endogen

    Demam

    Konservasi panas

    Produksi panas

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    12/24

    12

    Bagan 1. Patogenesis demam

    2.5 PATOFISIOLOGI

    Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu

    demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2

    (PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan

    perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk

    menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.

    PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh

    enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase.

    Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan

    mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2

    hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA)

    melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA akan

    menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di medula

    oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal demam

    dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang kemudian akan

    Titik ambang naik ke

    tingkat demam

    Prostaglandin E2

    Pusat

    termoregulator

    hipotalamus

    Monosit, makrofag

    Sel endotel

    Limfosit B

    Sel Mesangium

    Keratinosit

    Sitokin Pirogenik

    Endogen:

    IL-1 TNF IL-6 IFN

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    13/24

    13

    mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan

    panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9 akan memediasi efek neuroendokrin

    dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar hipofisis dan organ endokrin lainnya.

    Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada

    lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan

    mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan

    panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan

    menurunkan proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan

    dingin bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk

    menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses

    menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak

    panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka

    akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu

    tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh

    darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya

    pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru.

    2.5 POLA DEMAM

    1. Demam kontinyu

    Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang

    tidak lebih dari 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid,

    pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis,

    gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    14/24

    14

    2. Demam intermiten

    Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali

    ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga

    akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1 C. Contoh penyakitnya

    antara lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa

    subtipe dari demam intermiten, yaitu :

    a) Demam quotidian

    Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan

    demam tifoid

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    15/24

    15

    b) Demam tertian

    Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana

    (Plasmodium vivax)

    c) Demam quartan

    Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana

    (Plasmodium malariae)

    3. Demam remiten

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    16/24

    16

    Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal,

    fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi

    virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.

    4. Demam berjenjang (step ladder fever)

    Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama

    beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada

    demam tifoid

    5. Demam bifasik (pelana kuda/saddleback)

    Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu,

    kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini

    didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue,yellow fever, Colorado

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    17/24

    17

    tick fever,Rit valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan

    koriomeningitis limfositik.

    6. DemamPel-Ebstein atau undulasi

    Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana terjadi

    peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti

    itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis

    bruselosis, dan pielonefritis kronik.

    7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)

    Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau

    di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis,

    abses hepatik, dan endokarditis bakterial.

    2.6 PENATALAKSANAAN DEMAM

    Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik

    patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh

    yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat

    dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi,

    diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur

    38C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39C,

    penderita dengan suhu >40,5C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam

    2.6.1 Terapi non-farmakologi

    Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:

    1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang

    cukup.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    18/24

    18

    2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita

    lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu

    lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.

    3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama

    setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan

    menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti.

    2.6.2 Terapi farmakologi

    Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol

    (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas

    sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama. Pada anak-anak, dianjurkan untuk

    pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan

    oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Dosis parasetamol juga

    dapat disederhanakan menjadi:

    Tabel 2.2. Dosis parasetamol menurut kelompok

    umur Umur (tahun)

    Dosis Parasetamol tiap pemberian (mg)

    < 1 60

    1-3 60-125

    4-6 125-250

    6-12 250-500

    Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38 C. Orang tua

    dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya

    antipiretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian

    antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angka

    termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan, antipiretik diberikan

    untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada

    perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang

    merugikan.

    Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :

    1. Demam lebih dari 39 C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,

    biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.

    2. Demam lebih dari 40,5 C

    3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    19/24

    19

    kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi, memerlukan antipiretik.

    4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

    Klasifikasi Antipiretik

    Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol

    (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin,

    salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah

    antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol,

    ibuprofen, dan aspirin.

    1. Parasetamol (Asetaminofen)

    Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol

    merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan

    demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan

    supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral;

    misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa

    penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria.

    Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya

    parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada

    penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu

    dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan

    pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan

    untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi efek

    antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB

    tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-

    8 jam.

    Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit,

    puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar

    puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi

    akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam.

    Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak

    akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    20/24

    20

    mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta

    bloker, dan klopromazin.

    2. Ibuprofen

    Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan

    antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti

    Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui

    penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang

    direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di

    Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai puncak

    konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L)

    dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2 C selama 3-4

    jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam

    lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih

    dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat

    antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah parasetamol.

    Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan

    dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan dengan

    demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40

    mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping

    yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam

    dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut.

    Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam

    penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    21/24

    21

    yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya. Di

    pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih sering

    dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih

    rendah daripada aspirin. Anak yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala,

    bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan

    ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan

    perawatan suportif secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

    3. Salisilat

    Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai

    dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70%

    sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam

    penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis setara terbukti kedua

    kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif sebagai

    analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee

    on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada

    laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar air atau

    dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih digunakan secara luas di

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    22/24

    22

    berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang. Kekurangan utama aspirin adalah

    tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan

    efek samping lebih tinggi daripada parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan

    insidensi interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan

    resiko perdarahan), metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan

    terhambatnya metabolisme natrium valproat).

    Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai berikut :

    1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15

    mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari,

    oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.

    2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis

    awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk

    mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-

    akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artrtis reumatoid yang mendapat

    aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.

    3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet

    aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus

    siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas

    antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit

    kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.

    Kontraindikasi pemberian aspirin antara lain sebagai berikut :

    1. Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin

    dapat menyebabkan sindrom Reye.

    2. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan ini aspirin dapat

    menyebabkan anemia hemolitik.

    3. Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan

    aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan

    hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi

    efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    23/24

    23

    leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan

    vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos saluran napas.

    4. Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki

    kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi

    trombosit yang bersifat reversibel.

    Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah < 20 mg/100 mL, umumnya

    dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi

    disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok

    tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat

    sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinismenunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis

    respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis

    metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik.

    Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu

    ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan

    adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang

    harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati,

    waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.

  • 8/10/2019 237350976-Referat-Demam.docx

    24/24

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson Textbook of

    Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.

    2. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21stedition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-259.

    3. Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W., Merle

    S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7thedition. San Francisco.

    Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.

    4. Bellig L.L. 2005. Fever. http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm

    5. Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis Ausiello.Cecil

    Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia. Saunders. 1729-1733.

    6. Dinarello A.C., Gelfan A.J. 2001. Fever and

    Hypertermia.http://www.harrisononline.com.

    7. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

    Jakarta. EGC. 1141-1155.

    8. Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.

    9. Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology &

    Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 35-44.

    10.Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us.

    11.Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J

    Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers.

    28-29.

    12.Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.

    13.Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan

    Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1.

    Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 27-38.