2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan...

43
11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Surimi Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi. Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi seafood analog (Suzuki 1981). 2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan komponen- komponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering. Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena sifat- sifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan protein tanaman yang saat ini digunakan dalam analog daging. Surimi terutama

Transcript of 2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan...

11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Surimi

Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari

daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat

melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat

protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi.

Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam

formulasi seafood analog (Suzuki 1981).

2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya

Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang

menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses

pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat

daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran

daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran

daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan komponen-

komponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari

protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel,

pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran

daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog

seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering.

Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan

air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya

dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah

baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang

spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez

et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi

yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena sifat-

sifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan

protein tanaman yang saat ini digunakan dalam analog daging. Surimi terutama

12

digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi produk analog,

sedangkan surimi yang dikeringbekukan berfungsi sebagai bahan pengemulsi

pada produk sosis.

Menurut Suzuki (1981), terdapat 3 (tiga) tipe surimi yaitu : (1) Mu-en

Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan

yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam

dan telah mengalami pembekuan; (2) Ka-en Surimi yaitu surimi yang dibuat

dengan cara menggiling hancuran daging ikan, yang telah dicuci dan dicampur

dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan telah mengalami proses

pembekuan; (3) Na-ma Surimi yaitu surimi yang tidak mengalami pembekuan.

Surimi komersial mempunyai kadar air 75 persen, protein 18 persen, lemak

kurang dari 0,5 persen dan bahan-bahan lain 6,5 persen (Park et al. 1996).

Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan

Surimi Beku Air (%) Abu (%) Protein (%)

Lemak (%)

Bahan dari ikan nila merah (Oreochromis nilotica)* 78 0,42 15,1 0,48

Bahan dari ikan fat sleeper (Dormitator maculatus)* 75 0,35 18,1 0,57

Bahan dari ikan Layang (Decopterus sp)** 82,36 0,58 12,18 3,82

Bahan dari ikan Marlin (Makaira sp)** 81,66 0,53 11,82 3,53

Keterangan: * : Ramirez et al., 1999 ** : BPPMHP 2004

2.1.2 Sifat-sifat surimi

Ramirez et al. (2002), mengatakan bahwa salah satu sifat surimi adalah

membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel

dan elastis tersebut terbentuk jika Surimi dicampur dengan garam, yang melalui

proses pelumatan akan terbentuk sol, dan dengan pembentukan dan pemanasan

akan terbentuk gel (Roussel dan Cheftel 1988). Gelasi dari protein larut garam

13

selama proses dengan panas terutama berperan pada stablisasi lemak dan air,

pengikatan hancuran daging ikan, kemudian membentuk kembali produk

(McCord et al. 1998). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel

adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan

(Lan et al. 1995).

Penggunaan garam pada proses pembentukan gel yaitu sebagai bahan

pelarut myofibril. Untuk kosentrasi kurang dari 2 persen miofobril tidak dapat

terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang

disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2 - 3 persen merupakan

penggunaan yang umum pada beberapa spesies ikan dan jenis produk, karena

pada kisaran yang lebih tinggi akan memberikan rasa asin (Tan et al. 1988;

Shimizu dan Toyohara 1994).

Gelasi termal dari otot ikan terjadi dalam tiga tahapan proses yaitu:

(1) disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam;

(2) terbukanya sabagian struktur protein yang disebabkan perlakuan panas;

(3) agregasi dari protein yang terbuka melalui ikatan kovalen dan non kovalen

untuk membentuk jaringan tiga dimensi (Stone and Stanley 1992 yang diacu

dalam Benjakul et al. 2001).

Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses, yaitu

suwari, modori, dan ashi. Suwari (setting) terjadi pada suhu kurang dari 50°C,

merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan-lahan berubah

menjadi gel yang elastis (Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988). Fenomena

ini menurut Ramirez et al. (2002), berkaitan dengan endogenous calcium-

dependent transglutaminase. Mexican flounder tidak menunjukan fenomena

setting ini; yang kemungkinan disebabkan rendahnya level kalsium akibat tahap

pencucian pada saat proses pembuatan surimi (Ramirez et al. 2002).

Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana gel menjadi tidak elastis

dan fragile. Modori berarti ”kembali” yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan.

Gejala modori biasanya terjadi pada suhu 60-65°C (Roussel dan Cheftel 1990;

Ramirez et al. 2002). Gejala modori bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu

kesegaran, umur, lokasi penangkapan dan musim. Ou et al. (2000), menemukan

bahwa pada suhu 40°C terjadi gejala modori pada surimi dari paddle fish

14

(Polydon spathula), dimana degradasi miosin tersebut dapat dikurangi dengan

menambahkan plasma sapi. Pada pembentukan gel surimi dari sardin, gejala

modori terjadi pada pemanasan pada suhu 50- 60°C (Alvarez et al. 1999). Gejala

modori tersebut berkaitan dengan adanya aktivasi dengan panas terhadap protein

otot, terutama cathepsin (Ramirez et al. 2002), cathepsin-cysteine proteinase (An

et al. 1996); dan serine-proteinase (Cao et al. 2000). Ramirez et al. (2002),

menemukan bahwa ekstrak biji legume mengandung protease inhibitir yang

spesifik terhadap serine-proteinase, yang dapat menghambat aktivitas proteolitik

pada gel surimi dari Mexican flounder dan Atlantic croacker, sehingga

mengurangi hidrolisis miosin dan aktin. Oleh karena itu, kisaran suhu tersebut

harus dilewati agar gel yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami

kerusakan atau degradasi.

Gel ashi terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena

itu jika sol dipertahankan dalam waktu yang cukup lama pada zona suhu

terjadinya gel suwari atau dengan cepat melewati zona suhu terjadinya gel

modori, akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Tan et al. (1988), melakukan

prinsip pemanasan dua tahap yaitu setting pada suhu 40°C selama 20 menit

dilanjutkan dengan pemanasan pada 90°C selama 20 menit; dimana pada

pemanasan 90°C bertujuan untuk pemasakan dan sterilisasi. Ou et al. (2000),

menemukan bahwa maksimum kekuatan gel dapat dicapai dengan pre-inkubasi

pada 70°C diikuti dengan pemasakan pada 90°C.

Gel surimi yang terbentuk dapat diuji kekuatan gelnya dengan tekstur

analyzer, atau diuji dengan Texture Profile Analysis atau secara subyektif dapat

dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit. Selain itu juga ditentukan dari

warna yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan

Whitenessmeter atau Chromameter. Menurut Tan et al. (1988), surimi komersial

yang bermutu baik mempunyai nilai uji lipat AA dan masih dapat diterima jika

mempunyai nilai uji gigit 5-6.

15

2.1.3 Bahan utama surimi

Bahan utama yang digunakan pada pembuatan surimi adalah daging ikan,

sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan ikan segar

sebagai bahan baku surimi. Awalnya surimi diolah dari ikan Alaska Pollack yang

merupakan sumber bahan baku terbesar di Jepang dan mempunyai sifat fungsional

yang baik (Suzuki 1981; Tan et al. 1988; Okada 1992).

Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meskipun begitu,

ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan mempunyai kemampuan

pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil surimi yang lebih baik.

Miyake et al. (1985), menyatakan bahwa surimi dapat dibuat dari berbagai jenis

ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel, rasa dan

penampakan yang baik. Umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan

membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Ikan

marlin dan mackerel mempunyai kemampuan pembentukan gel baik. Ikan air

tawar biasanya mempunyai kemampuan pembentukan gel yang kurang baik,

demikian juga udang dan keong (Shimizu dan Toyohara 1994). Ikan berdaging

merah seperti sardin dan bonito biasanya mempunyai gel yang kurang baik (Yu

1993). Untuk mendapatkan tekstur gel yang baik, ikan sardin yang pada saat mati

mempunyai pH 5,6 – 5,8 perlu ditingkatkan menjadi pH 6,4 – 8,4 (Roussel dan

Cheftel 1990).

Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi harus mempunyai nilai

kesegaran yang tinggi, sebab tidak mungkin akan diperoleh mutu yang baik dari

ikan yang tidak segar (Tan et al. 1988). Dengan berbagai alternatif jenis yang

digunakan tersebut maka dimungkinkan untuk mencampur berbagai spesies ikan

yang berbeda untuk mendapatkan sifat-sifat yang baik (Suzuki 1981; Shimizu dan

Toyohara 1994).

2.2 Industri Pengolahan Surimi

Sejak dimulainya industri surimi beku di Jepang tahun 1960, penelitian,

teknologi pengolahan dan peralatan mulai dikembangkan (Noguchi 1984).

Teknologi pengolahan surimi yang saat ini paling banyak digunakan oleh industri

16

adalah teknologi dengan metode rotary rinser/screw press. Secara umum alir

proses pengolahan surimi terdiri dari persiapan bahan baku, penghilangan tulang,

pencucian daging lumat, pengurangan kadar air (pengepresan), penapisan

(straining), penambahan bahan tambahan dan pembekuan (Gambar 2). Skema

proses pengolahan dan peralatan yang digunakan pada industri surimi beku

dijelaskan pada Gambar 3.

2.2.1 Penanganan bahan baku

Selain jenis, kesegaran bahan baku merupakan hal penting dalam proses

pengolahan surimi. Surimi dengan mutu tinggi tidak akan dihasilkan bila

digunakan bahan baku yang kurang segar, meskipun diolah dengan teknologi

tinggi (Uno dan Nakamura 1958). Selain itu, protein ikan (aktin dan miosin)

masih tinggi sehingga kemampuan mengikat air pun tinggi.

Pada umumnya, ikan di kapal trawl memiliki kesegaran yang sangat tinggi

(ditangani < 24 jam setelah ditangkap), yang dapat diolah menjadi surimi dengan

kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku yang digunakan di

kapal pengumpul atau di industri surimi di darat karena telah mengalami

penyimpanan beberapa hari setelah penangkapan. Untuk kapal pengolah dapat

dengan mudah berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground

lainnya, maka kebutuhan bahan baku dapat diatur sesuai dengan kapasitas

produksi sehingga ikan yang digunakan selalu dalam kondisi sangat segar, karena

ikan langsung diolah tidak lebih dari 12 jam setelah ditangkap (Lee 1986).

Jika ikan tidak langsung diolah maka harus disimpan pada suhu di bawah

5oC. Untuk penanganan ikan di atas kapal, refrigerated sea water (RSW)

merupakan metode penyimpanan ikan yang sangat baik untuk mempertahankan

mutu bahan baku surimi karena metode ini mampu mendinginkan ikan secara

cepat dengan distribusi suhu yang merata dan tidak merusak ikan. Namun metode

ini disarankan tidak lebih dari 2 hari karena garam yang terkandung dalam larutan

akan masuk ke dalam daging ikan dan menyebabkan denaturasi protein (Lee

1986), sehingga perlu adanya pengawasan terhadap suhu dan waktu penyimpanan.

17

PROSES TUJUAN METODE

SEMI MODERN

MODERN

IKAN SEGAR

Pencucian Cuci dalam air es

Mendinginkan ikan Rotary fish washer

Rotary fish washer

Penyiangan Membuang kepala dan

isi perut Pisau Mesin

Cuci dalam air

es Menghilangkan sisik dan darah

Rotary fish washer

Rotary fish washer

Pemisahan daging Memisahkan daging

dari tulang, duri dan kulit

Meat-bone separator

Meat-bone separator

HANCURAN / LUMATAN DAGING (MINCED MEAT) Leaching Air es (1 : 4) +

0,3% garam (2 kali)

Menghilangkan protein larut air, darah, lemak dan bau

Tanki leaching Tanki leaching

Pengepresan Membuang air

Mengepres Membuang air cucian Mengatur kadar air

Rotary sieve Rotary sieve

kelebihan air Sampai 80-82% Hidraulic press Screw press

LUMATAN DAGING YANG TELAH DICUCI (LEACHED MEAT) Straining Menghilangkan sisa

kulit, duri dan sisik Strainer

Pencampuran 3-5% gula halus

0,2% poliposfat Mengurangi freeze-denaturation dan meningkatkan WHC

Mixer silent cutter

Pengepakan Dalam plastik

PE Pengemasan Manual Filling machine

Pembekuan - 30oC Suhu pusat –20oC

dalam waktu 4-6 jam Contact/air blast

freezer

SURIMI BEKU

Kotak karton –(18oC –20oC)

Mengurangi dehidrasi selama penyimpanan beku

Cold storage

Gambar 2 Alir proses pengolahan surimi beku (Tan et al. 1988).

18

Gambar 3 Skema proses pengolahan pada industri surimi (Lee 1986).

19

Untuk penyimpanan jangka pendek, penyimpanan cukup di dalam peti

berinsulasi. Dengan menyusun ikan secara berlapis dengan hancuran es sampai

penuh dengan perbandingan antara ikan dan es adalah 1 : 3. Dengan cara seperti

ini suhu ikan dapat dipertahankan rendah (sekitar 0oC) dan kesegaran ikan dapat

dipertahankan hingga beberapa hari.

Dalam mengolah surimi, diperlukan daging ikan yang bermutu tinggi,

karena itu segala cara yang ditempuh harus selalu disertai upaya mempertahankan

mutu daging ikan. Dalam hal ini penggunaan suhu rendah merupakan suatu yang

mutlak diperlukan, baik selama penyiangan, pembilasan, pelumatan hingga

pengemasan.

2.2.2 Sortasi

Penanganan awal untuk ikan hasil tangkapan di kapal adalah memisahkan

tangkapan utama dari jenis ikan lainnya. Bila bahan baku digunakan untuk surimi,

sebaiknya pemisahan ikan dilakukan juga berdasarkan ukuran, sehingga bila

diolah secara mekanis kecepatan mesin dan rendemen fillet dapat ditingkatkan.

Sortasi juga dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan mesin sortir.

Jika kulit ikan tidak dibuang, harus dilakukan pembuangan sisik untuk

mencegah terjadinya akumulasi dan penyumbatan pada mesin pemisah daging

(meatbone separator) pada proses selanjutnya. Pencucian dan pembuangan sisik

dilakukan secara simultan, menggunakan alat dengan sistem rotary (berputar)

(Toyoda et al. 1992).

2.2.3 Pemfilletan

Pada tahap pemfilletan, dilakukan juga proses pemotongan kepala,

pembuangan insang dan tulang. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar isi

perut tidak mencemari daging.

Pemotongan kepala berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas

(rendemen) surimi, jika pemotongan terlalu ke depan maka isi perut masih tersisa

dan menyebabkan mudah terjadi kemunduran mutu, tetapi jika pemotongan terlalu

ke belakang maka rendemen yang dihasilkan akan kecil. Isi perut ikan harus

20

dibuang seluruhnya, karena banyak mengandung lemak dan enzim protease serta

menjadi sumber bakteri yang dapat dengan cepat menurunkan mutu ikan yang

mengakibatkan turunnya kemampuan pembentukan gel surimi (Suzuki 1981).

Selain itu,isi perut ikan akan berpengaruh terhadap penampakan produk karena

mengakibatkan warna surimi dan produk olahannya menjadi gelap.

Pemfilletan dapat dilakukan secara manual atau mekanis. Apabila ikan

yang diolah dalam jumlah besar, jenis dan ukuran sama, penggunaan mesin

penyiangan (gutting machine) akan lebih efisien. Namun apabila jumlah ikan

sedikit, ukuran ikan tidak seragam atau dikerjakan dalam skala kecil, penyiangan

secara manual lebih sesuai.

Ukuran, musim dan kondisi biologis ikan (bertelur atau tidak) sangat

menentukan rendemen yang dihasilkan, namun yang paling penting adalah cara

atau proses pengolahannya (Toyoda et al. 1992).

2.2.4 Pemisahan daging ikan

Pemisahan daging adalah kegiatan memisahkan daging ikan dari tulang,

sirip dan kulit. Pemisahan daging dilakukan dengan menggunakan meat-bone

separator (Gambar 4). Dengan alat ini, ikan akan terpisah dari kulitnya.

Prinsipnya, ikan dipres di antara silinder logam yang berlubang dan berputar.

Ikan yang telah disiangi dan dicuci bersih, diletakkan di antara sabuk

(conveyor belt) dan silinder berlubang yang berputar dengan kedua sisi yang

bergerak berlawanan arah sehingga ikan akan terjepit diantara keduanya. Daging

ikan akan masuk ke dalam silinder melalui lubang sedangkan bagian tulang dan

kulit mengikuti arah perputaran conveyor belt dan jatuh ke tempat pembuangan.

Daging yang masuk ke dalam silinder dan telah terpisah dari kulit, tulang dan duri

disebut daging lumat (minced fish). Selama proses pemisahan suhu ikan harus

dipertahankan tetap rendah, demikian juga alat yang digunakan.

Diameter lubang silinder berpengaruh terhadap proses leaching

dewatering, rendemen dan mutu surimi. Besarnya diameter lubang berkisar

antara 4 – 7 mm disesuaikan dengan ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Untuk

meningkatkan kapasitas produksi dan rendemen, digunakan lubang silinder yang

lebih besar namun tetap disesuaikan dengan kekuatan alat.

21

Bila digunakan ikan berkulit, penempatan ikan di alat sangat penting.

Bagian daging diletakkan menghadap silinder sehingga kulit tidak menghalangi

masuknya daging ke silinder.

Gambar 4 Meat-bone separator.

2.2.5 Pembilasan (leaching)

Daging ikan lumat yang keluar dari alat pemisah daging biasanya

berwarna gelap karena mengandung sisa darah, lemak dan kotoran lainnya.

Pembilasan dengan air dingin merupakan tahap yang paling penting dalam

pembuatan surimi.

Pembilasan daging ikan lumat dilakukan untuk mengeluarkan garam

organik, protein larut air (water soluble protein), pigmen, bakteri, produk yang

tidak dapat dihancurkan/terurai, dan mereduksi kadar lemak. Pembilasan daging

ikan lumat juga melarutkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat

pembentukan gel. Secara umum dilakukan dengan air dingin, diikuti dengan

22

pengepresan (Grantham 1981). Larutnya protein sarkoplasma akan meningkatkan

konsentrasi protein miofibril, yang berperan sangat penting dalam pembentukan

gel. (Noguchi 1982).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas leaching dan mutu

surimi, adalah :

1) Frekuensi dan waktu leaching

Frekuensi dan waktu leaching dipengaruhi oleh jenis, komposisi dan

kesegaran ikan. Pada umumnya, komponen-komponen yang mudah larut dapat

dengan mudah terbuang pada pembilasan pertama, tetapi diperlukan waktu

tertentu untuk melarutkan water soluble component dari daging ikan. Ekstraksi

water soluble component daging ikan terjadi pada saat pembilasan yang disertai

dengan pengadukan dan dipengaruhi oleh waktu serta perbandingan antara air dan

minced fish. Waktu optimal pencucian antara 9 – 12 menit, jumlah protein yang

terlarut meningkat nyata seiring dengan bertambahnya waktu pembilasan, namun

berhenti setelah waktu tersebut (Lee 1986). Jika waktu pembilasan terlalu

panjang, minced akan menyerap banyak air sehingga akan mempersulit proses

pengepresan. Meskipun waktu leaching bervariasi tergantung dengan kesegaran

bahan baku, suhu air dan ukuran partikel daging ikan, tetapi 15 – 20 menit

merupakan waktu yang disarankan untuk industri surimi (Toyoda et al. 1992).

Pada umumnya, gelstrength akan meningkat dengan peningkatan

frekwensi pembilasan, terutama pada pencucian ke dua, namun dengan 2 kali

pembilasan belum mampu menghilangkan bau dan memudarkan warna daging

ikan dengan sempurna (Lee 1986).

2) Kualitas air

Air adalah faktor yang paling penting pada proses leaching. Faktor penting

dalam efektivitas proses leaching adalah konsentrasi larutan garam, pH dan suhu.

3) Kekuatan ion/konsentrasi garam anorganik

Kekuatan ion pada larutan leaching menyebabkan daging ikan cenderung

mengembang. Kekuatan ion larutan leaching yang lebih besar memudahkan

pengeluaran air dari daging ikan. Oleh karena itu, sangat sulit mengeluarkan air

23

dari daging yang telah mengembang, akibatnya kandungan air pada surimi

menjadi tinggi. Faktor penting yang terkait dengan kualitas air pada industri

surimi adalah level garam anorganik. Level garam anorganik yang tinggi,

khususnya Ca2+ dan Mg2+ akan mengganggu kemampuan pembentukan gel

surimi, yang menyebabkan terjadinya denaturasi actomiosin selama penyimpanan.

4) pH

pH larutan leaching berdampak terhadap water retention selama proses

leaching (Tokunaga dan Nishioka 1988; Lee 1986) dan water binding properties

serta kemampuan pembentukan gel (Shimizu et al. 1994). pH produk akhir sangat

tergantung dari pH bahan baku. Pembentukan gel optimal pada daging ikan

berkisar antara 6,5 – 7,0 sedangkan pada kondisi asam, protein miofibril

cenderung tidak stabil (Shimizu dan Toyohara 1994). Pada ikan berdaging merah,

segera setelah ikan mati pH daging akan turun hingga 5,7 – 6,0 sehingga

diperlukan perlakuan alkali (natrium bicarbonat) pada saat leaching untuk

mengatur pH daging ikan.

5) Suhu

Suhu pencucian harus tetap dijaga antara 3 – 10oC untuk mencegah

terjadinya denaturasi protein dan perkembangbiakan mikroorganisme. Selain itu,

fungsi protein akan menurun dengan cepat bila terjadi peningkatan suhu dan

protein miofibril akan kehilangan kemampuan pembentukan gel.

Pada awal dikembangkannya surimi, proses leaching dilakukan dengan

sistem batch dengan penambahan sejumlah air, kemudian minced fish diaduk dan

dibiarkan beberapa saat. Selanjutnya, endapan yang dihasilkan disaring. Proses

leaching dengan teknologi modern menggunakan sistem berkelanjutan, yang

terdiri dari leaching tank dan rotary screen (Gambar 5). Leaching tank dilengkapi

dengan pengaduk yang secara terus menerus dan secara otomatis berputar selama

proses leaching. Minced fish yang telah dicuci selanjutnya disaring menggunakan

rotary screen sebelum menuju proses leaching selanjutnya. Proses leaching

dilakukan beberapa kali sesuai yang diperlukan.

24

Gambar 5 Rotary screen/sieve.

Keuntungan perlakuan leaching adalah (1) melarutkan protein larut air

yang menganggu pembentukan gel sehingga kemampuan pembentukan gel

menjadi meningkat (2) memperbaiki warna dan penampakan (3) menghilangkan

bau yang tidak diinginkan (4) produk akhir mempunyai rasa tawar sehingga

memungkinkan untuk memberikan rasa sesuai yang diinginkan (Tan et al. 1988).

2.2.6 Pengepresan

Proses pengurangan kadar air terakhir merupakan kegiatan pengepresan

yang menggunakan alat screw press (Gambar 6). Pengepresan bertujuan untuk

mengurangi kadar air setelah pembilasan karena pada pengolahan surimi

diperlukan air yang cukup banyak selama proses pembilasan untuk melarutkan

kotoran, pigmen dan protein larut air. Setelah proses refining, kadar air produk

rata-rata sebesar 90% dan akan berkurang hingga 80 – 84% setelah pengepresan.

Screw press yang terdiri dari screw yang berputar dan screen yang berbentuk

silinder.

25

Kemampuan pengepresan screw press ditentukan dari ukuran lubang pada

screen. Semakin besar lubang maka semakin besar kemampuan pengepresan

tetapi kemungkinan daging keluar bersamaan dengan air juga besar. Ukuran

lubang yang biasa digunakan adalah 0,5 – 1,0 mm pada bagian inlet dan 1,0 – 2,0

mm pada outlet.

Gambar 6 Screw press.

2.2.7 Penyaringan

Tahap penyaringan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan

ikat, membran dan duri-duri halus yang masih tertinggal. Proses ini biasanya

dilakukan setelah pencucian dengan menggunakan alat strainer, dimana lumatan

daging ikan ditekan melalui alat yang mempunyai filter dengan ukuran mesh 1– 3

mm. Lumatan daging yang telah dicuci dimasukkan ke dalam mesin, daging akan

keluar melalui lubang dengan tekanan dari rotor. Daging yang putih dan lembut

akan keluar dari bagian depan refiner, sedangkan bagian-bagian ikan seperti

jaringan ikat, kulit, duri dan sisik yang tidak dapat keluar dari lubang tetapi

melalui bagian ujung strainer (Gambar 7).

26

Gambar 7 Strainer (Toyoda et al., 1992).

2.2.8 Pencampuran bahan tambahan

Pencampuran adalah proses penambahan dan mencampur bahan-bahan

krioprotektan, yaitu polifosfat, sorbitol dan gula untuk menstabilkan protein dan

mencegah denaturasi selama penyimpanan beku. Penambahan gula berkisar 3 –

5%, sorbitol sebesar 4 – 5 % dan polifosfat sebesar 0,2 – 0,3 %. Penambahan

cryoprotectant mampu meningkatkan tingkat N-aktomiosis dari 350 mg% menjadi

520 mg% (Lanier 1992). Dengan penambahan cryoprotectant, surimi belum

mengalami kehilangan mutu yang berarti selama penyimpanan 3 – 6 bulan.

Polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain

dinatrium phosfat (disodium monophosphate), natrium hexametaphosphat dan

natrium tripolifosfat (sodium tripoliphosphate). Fungsi polifosfat pada surimi

adalah untuk memperbaiki daya ikat air (water binding ability) dan memberikan

pasta yang lembut pada produk olahan surimi.

Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter hingga

didapatkan adonan yang benar-benar homogen (Gambar 8).

2.2.9 Pengepakan dan pembekuan

Setelah dicampur dengan bahan tambahan, surimi dikemas dalam plastik

hingga berbentuk blok kemudian dibekukan dengan sistem pembekuan cepat

27

hingga suhu produk mencapai – 30oC. Untuk kebutuhan industri, biasanya blok

surimi berukuran 10 kg/blok.

Gambar 8 Silent cutter.

Setelah beku, surimi dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam

gudang beku. Surimi dapat bertahan hingga satu tahun bila disimpan pada suhu

yang cukup baik (maksimal – 20oC), tanpa banyak mengalami perubahan sifat

fungsional. Fluktuasi suhu yang terjadi selama penyimpanan dapat menurunkan

kemampuan pembentukan gel pada surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Pembekuan dapat mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi

produk dari kerusakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama (Sikorsi

dan Pan 1994). Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai

protein produk (Desrosier 1988).

2.2.10 Rendemen surimi

Rendemen surimi sangat bervariasi tergantung dari jenis ikan, ukuran,

musim dan jenis teknologi yang digunakan, namun untuk memperoleh rendemen

yang tinggi diperlukan pengawasan pada tahap pemfilletan dan pemisahan daging

dari tulang dan duri. Proses pemfilletan hanya direkomendasikan untuk ikan-ikan

yang berukuran besar, sedangkan untuk yang berukuran kecil hanya diperlukan

pemotongan kepala dan pembuangan insang.

28

2.3 Sumber Bahan Baku

Menurut Okada (1992), bahan baku mince dan surimi dapat digunakan dari

berbagai jenis ikan, namun secara umum surimi di peroleh dari jenis ikan

demersal. Menurut Eong et al. (2003), saat ini penggunaan ikan pelagis sebagai

bahan baku surimi sudah mulai dikembangkan mengingat potensi ikan tersebut

yang melimpah dan rendah pemanfaatannya.

Tan et al. (1988) mengemukakan bahwa surimi dapat dibuat dari spesies

ikan tropis yang merupakan hasil sampingan trawl yaitu ikan kurisi (Nemipterus

sp), ikan mata besar (Priacanthus sp), ikan alu-alu (Sphypaena sp), ikan gulamah

(Argyrosomus amoyensis), ikan pisang-pisang (Caesio sp), ikan dorab (Chirocentrus

dorab), ikan beloso (Saurida sp), ikan kaca piring (Pentaprion longimanus), ikan

merah (Lutjanus sp). Surimi itoyori yang diproduksi di Thailand terutama terbuat

dari jenis ikan kurisi, cod, beloso, alu-alu, conger eel, wolf herring, gulamah,

jewfish, dan hiu. Beberapa jenis ikan di Indonesia yang menunjukkan kemampuan

gel yang baik adalah ikan cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung

(Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning

(Caesio sp), ikan kurisi (Nemipterus sp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis),

ikan nila merah (Oreochromis sp), dan ikan gabus (Ophiocephalus sp) (Istihastuti

et al. 1997). Demikian juga dengan ikan mujair dan ikan cucut sudah dicoba

sebagai bahan baku pengolahan surimi.

Perairan Arafura dan sebagian Maluku merupakan salah satu daerah

penangkapan udang dan ikan yang potensial dengan basis operasional kapal

penangkapan terdapat di Sorong, Ambon, Tual dan Benjina. Beberapa tahun

terakhir ini, basis penangkapan ikan berkembang ke daerah Merauke, Kendari dan

Bitung. Armada kapal yang beroperasional di wilayah laut Arafura sebanyak +

503 buah pukat udang dengan operasional penangkapan 50 – 70 hari untuk sekali

trip. Untuk pukat ikan (fish net) beroperasional di ZEEI laut Arafura sebanyak

766 buah dengan operasional penangkapan 15 hari dan 30 – 60 hari untuk sekali

trip (Sumiono 2000).

Komposisi rata-rata tangkapan ikan dari pukat ikan terdiri dari ikan

demersal sebanyak 38,45 persen, ikan rucah (trash fishes) 31,53 persen, ikan

29

pelagis 8,63 persen, udang 8,11 persen, cumi-cumi 2,06 persen, rajungan 4,59

persen dan lainnya 6,63 persen (Sumiono 2000). Di ZEE selatan Papua

didominasi oleh famili kakap 20,53 persen, gulamah 15,86 persen dan beloso

10,26 persen (Budiharjo et al. 1993). Untuk penangkapan udang di laut Arafura

didominasi udang jerbung (white shrimp) 45,4 persen, udang dogol (endeavour

shrimp) 27,9 persen, udang windu (tiger shrimp) 22,8 persen dan udang krosok

(mix shrimp) 17,1 persen (Sugianto 1998). Berdasarkan data produksi perikanan

tahun 2000, ikan-ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua sebesar 525.728 ton

yang didominasi oleh ikan pelagis yang dikarenakan penangkapan ikan disekitar

pantai didominasi oleh alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, jaring, bagan

apung, pancing tonda dan sero. Namun bila dilihat dari penangkapan di Laut

Arafura dan ZEEI Laut Arafura ikan-ikan yang tertangkap didominasi ikan

demersal (Tabel 2 dan Tabel 3).

Usaha penangkapan udang selalu memberikan hasil tangkap sampingan

(HTS) yang volumenya jauh lebih besar dari hasil udangnya. Persentase HTS

bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Menurus Allops (1981) di

daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Sumiono (2002)

menyatakan rasio udang dan ikan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah

1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal.

Naamin dan Sumiono (1983) menyebutkan banyaknya HTS di Laut

Arafura diperkirakan mencapai 80 persen dari hasil tangkapan atau rata-rata 19

kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Menurut Widodo (1998) menyatakan

ikan HTS bervariasi antara 8 – 13 kali hasil tangkapan udang dengan estimasi

produksi udang laut sebesar 40.000 – 170.000 ton per tahun. Rasio HTS terhadap

udang di Laut Arafura dapat dilihat pada Tabel 4.

30

Tabel 2 Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua

Jenis ikan Jumlah (ton) Persentase (%) Pelagis Nomei Paperek Ekor kuning Layang Selar Tatengek Daun bambu/talang-talang Sunglir Ikan terbang Julung-julung Teri Tembang Japuh Lemuru Kembung Tuna Cakalang Tongkol Tenggiri

643

1.121 5.056 14.641 17.183 1.301 2.215 2.003 3.955 9.464 12.385 11.220 3.450 3.942 17.055 41.825 84.133 17.643 11.587

0,12 0,21 0,96 2,78 3,27 0,25 0,42 0,38 0,75 1,8 2,36 2,13 0,66 0,75 3,24 7,96 16,00 3,36 2,20

Jumlah 263.638 50,15 Demersal Ikan sebelah Ikan lidah Manyung Beloso Biji Nangka/Kuniran Bambangan Karapu Lencam Kakap Kurisi Swangi Gulamah/Tiga Waja Cucut Pari Bawal Alu-alu Kuwe Kuro/Senangin Layur

186 209

10.466 5.694 2.362 8.195 6.625 5.555 21.363 5.714 1.334 7.636 8.707 1.764 6.924 2.066 6.250 9.868 3.772

0,03 0,04 1,99 1,08 0,45 1,56 1,26 1,06 4,06 1,09 0,25 1,45 1,66 0,33 1,32 0,39 1,19 1,88 0,72

Jumlah 119.464 22,72 Ikan lain 142.626 27,13

Jumlah total 525.728 100 Keterangan : Data diolah dari produksi perikanan laut 2000.

31

Tabel 3 Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling

Jenis ikan Jumlah (kg) Persentase (%)

1.Kakap (Lutjanus sp) 2.Sebelah (Psettodes sp) 3.Biji Nangka (Openeus sp) 4.Selar Kuning (Selaroides sp) 5.Terubuk (Hilsa sp) 6.Alu-alu (Sphyraena sp) 7.Bawal (Formio dan Pampus) 8.Mata besar (Scolopsis sp) 9.Kakap (Lates calcarifer) 10. Kembung (Rastrelliger sp) 11. Bambangan (Lutjanus sp) 12. Ikan buntal (Lagocephalus sp) 13. Beloso (Saurida sp) 14. Lemuru (Sardinella sp) 15. Nomei (Harpodon sp) 16. Peperek (Leiognathus sp) 17. Kurisi (Nemiptherus sp) 18. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 19. Ketang-ketang (Drepane sp) 20. Bulu Ayam (Thryssa sp) 21. Cendro (Triacanthus sp) 22. Layur (Trichiurus sp) 23. Swangi (Priacanthustayenus) 24. Japuh (Dusumieria sp) 25. Trompet (Fistularia sp) 26. Tenggiri (Scomberomorus sp) 27. Ekor kuning (Anthias sp) 28. Lencam (Lethrinus sp) 29. Pinjalo (Pristipomoides sp) 30. Gulamah (Argyrosomus amoyensis sp) 31. Tiga waja (Johnius dussumieri) 32. Baronang (Siganus sp) 33. Kerong-kerong (Therapon sp) 34. Gerot-gerot (Pomadasys sp)

17,5 28 9,8 18,2 14

87,5 24,5 14

22,4 25,2 21

15,4 315 11,9 14 980 21 14

19,6 14,7 5,6 27,3 5,6 14 7 28

18,2 21

17,5 14 35

16,1 17,5 26,6

0,89 1,43 0,50 0,93 0,72 4,47 1,25 0,72 1,14 1,28 1,07 0,79 16,09 0,61 0,72 50,05 1,07 0,72 1,00 0,75 0,29 1,39 0,28 0,72 0,35 1,43 0,93 1,073 0,88 0,72 1,79 0,82 0,89 1,36

Jumlah 1957,9 100

Sumber : Sumiono (2002)

32

Tabel 4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura

Tahun Rasio HTS : Udang Wilayah Sumber 1991 1992 1993

1996

1997

1998 2000

8:1 – 13:1 9:1 12:1

7:1 – 8:1 24:1 29:1 13:1 11:1 8:1 13:1 12:1

Laut arafura Sele, Bintuni

Dolak Bintuni

Kaimana Aru Aru Sele

Kaimana Laut Arafura

Aru Kaimana

Aru Aru

Widodo (1991) Iskandar et al. (1993) Badrudin dan Karyana (1993) Widodo (1997) Suharyanto (1997) Sumiono et al. (2000)

Latelay dan Malawat (1995), ikan HTS yang dibuang kembali ke laut

dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun,

sedangkan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen, dengan pemanfaatannya

dalam bentuk produk beku (untuk ikan ekonomis) dan tepung ikan (fish meal)

untuk ikan non ekonomis (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal trawl yang berbasis di Sorong

Tahun Produksi Produksi HTS Produksi Lain-lain Udang Di Manfaatkan Di Buang Jumlah

1997 950.436 34.039 31.008 65.047 32.505 1998 634.815 15.900 16.092 31.092 13.202

2.4 Hasil Tangkap Sampingan (“By-catch”)

Dalam bahasa Indonesia, by-catch diartikan sebagai hasil tangkap

sampingan (HTS). Dalam FAO Technical Paper 470 (2005) dan Eayrs (2005),

selain by-catch digunakan juga istilah target catch, incidental catch, discards dan

trash fish. Eayrs (2005) mendefinisikan sebagai berikut :

1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut

yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya

33

organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak

terangkat dari dalam laut. Hasil tangkap sampingan yang terangkat ke atas

kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku

dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded) .

2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkap sampingan yang tidak diinginkan

karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali

ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati. Buangan ini tidak termasuk

bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke

laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum disimpan di dalam ruang

pendingin.

3) Trash fish, adalah jenis ikan yang berukuran kecil dan binatang lainnya yang

dibuang kembali ke laut karena tidak memiliki nilai ekonomis.

FAO Fisheries technical Paper 470 (2005), mendefinisikan :

1) Target catch, adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau atau

berbagai spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan.

2) Incidental catch, adalah hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan

3) Trash fish, adalah hasil tangkap sampingan yang tidak dimanfaatkan dan

dibuang kembali ke laut. Trash fish merupakan jenis ikan yang memiliki

nilai ekonomis yang sangat rendah.

5) By-catch, adalah semua hasil tangkapan yang bukan menjadi target operasi

(discarded catch ditambah incidental catch).

2.5 Alat Tangkap Pukat Udang

Trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti

kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri dari atas dua lembar sayap (wing)

yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-

end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan

terbuka selama operasi penangkapan, hal ini dilakukan agar ikan maupun udang

yang menjadi tujuan operasi masuk dan terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa

1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertical maupun secara horisontal

digunakan otter board dan pelampung di bagian atas mulut jaring.

34

Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan

Barus (1988) diidefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya

yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada

kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya,

meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di

antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device

(BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong.

Pada prinsipnya, pukat udang terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope)

dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali

panarik (warp), bridle line dan BED (Gambar 9). Penjelasan masing-masing alat

adalah sebagai berikut :

(1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan

belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-

masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada

kantong, sedangkan yang terbesar pada bagian sayap. Badan jaring adalah

bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baitting dan

belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang

membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baitting

adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bagian bawah dan

baitting di bagian atas.

1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masing –masing

bagian tersebut terdari dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian

kedua bagian tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris

atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat

jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan

otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan

square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan

belly.

2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat

terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring

kecil yang bertujuan agar ikan yang telah tertangkap tidak lepas dan agar

lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak.

35

(2) Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope). Tali ris atas adalah tali

yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan

melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayan tersebut.

Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari

pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung

sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Pada tali ris bagian bawah ditempatkan

pemberat (sinker).

(3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat adalah untuk

membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau

mengangkat tali ris atas, sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke

dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari

logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus.

(4) Otter board, fungsi dari otter board adalah untuk membuka mulut jaring

secara horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan yang banyak

digunakan adalah tipe rectanguler.

(5) Tali penarik (wrap), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik

jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali

penarik ini biasanya terbuat dari serta-serta baja yang berbentuk cabled yarn.

Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan

yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus.

(6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring.

Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu,

juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.

(7) Alat pereduksi ikan (API), API merupakan alat yang wajib dipasang pada

pukat udang yang biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk

meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehingga disebut turtle excluder

devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-

USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukan, alat ini telah mengalami

perubahan konstruksi secara terus menerus. Sekarang ini, TED yang

direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai

performansi lebih baik di dalam mereduksi hasil tangkap sampingan

dibanding yang diperkenalkan sebelumnya. Hasil penelitian penggunaan TED

36

di Laut Arafura yang dilakukan oleh Monintja dan Sudjastani (1985)

membuktikan bahwa penggunaan pukat udang dapat meloloskan 42,5% hasil

tangkapan samping yang biasanya tertangkap dengan trawl dan pukat udang

memiliki kemampuan yang sama dengan trawl biasa dalam penangkapan

udang. Gambar 10 (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini

banyak dipasang pada pukat udang.

Sumber : NOAA Library Centre (2004) Gambar 9 (a) Turtle Excluder Device. (b) By-catch Excluder Ddevice.

(b)

(a) (c)

Sumber : Eayrs (2005)

Gambar 10 (a) Pukat udang sedang hauling. (b) Hasil tangkap sampingan.

(c) Proses pemisahan

37

2.6 Pengelolaan By-catch

Hasil tangkap sampingan telah menjadi permasalahan dan isu perikanan

penting dunia sejak tahun 1990-an, hal ini karena peningkatan jumlah hasil

tangkap sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat

mengancam keberlanjutan perikanan dunia. Secara umum diketahui hampir semua

kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkap sampingan. Industri

penangkapan dengan alat tangkap pukat udang memberikan kontribusi hasil

tangkap sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya.

Menurut Allops (1981), hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS

agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak

menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan. Untuk dapat

mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkap sampingan secara ekonomis, maka

pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerjasama dalam

mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkap sampingan menjadi produk yang

laku di pasar dengan harga kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kepedulian dan

intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkap sampingan melalui

peraturan atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan.

Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan

ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral

kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi

dan sosial.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7,

merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan

diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan,

2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam

memanfaatkan sumberdya,

3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan

turunnya keanekaragaman hayati, serta

38

4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi,

sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai

biologinya.

CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan

pelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara

didukung hukum dan undang-undang yang secara baik dideseminasikan kepada

masyarakat.

2.7 Pemasaran Surimi

Perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, yakni surimi

digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di

negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya.

Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang

tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia.

Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish

jelly products) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain

sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi

komoditas internasional (Gapindo 2000).

Total produksi surimi dunia diperkirakan antara 850.000 – 1,2 juta ton per

tahun. Negara produsen surimi terbesar di dunia adalah Jepang, tetapi Amerika

Serikat dan Thailand juga mempunyai sejarah sebagai produsen surimi. Pada

tahun 2005, produksi surimi Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang,

yakni mencapai 140.000 ton, sedangkan produksi surimi Jepang sebesar 100.000

ton (FAO 2007).

Amerika Serikat adalah negara pengekspor surimi yang terbesar di dunia,

yang menguasai hampir 35% pasar surimi dunia (FAO 2007). Produsen surimi

terbesar di Asia Tenggara adalah Thailand, dengan jumlah produksi sebesar

65.000 ton per tahun, yang hasilnya 90 persen diekspor ke Jepang, Eropa,

Amerika dan 10 persen dikirim ke Malaysia dan Singapura (Gapindo 1999). Pada

beberata tahun terakhir ini muncul negara-negara lain yang menjadi produsen

surimi seperti China, Vietnam, India, Malaysia dan Indonesia.

39

Uni Eropa (UE) merupakan pasar dunia surimi dan produk olahan

berbahan dasar surimi terbesar kedua setelah Jepang. Perancis dan Spanyol

merupakan konsumen utama surimi terbesar di Eropa, dengan konsumsi masing-

masing 20.000 dan 18.000 ton per tahun (FAO 2007). Maraknya permintaan, telah

memaksa Uni Eropa untuk mengimpor surimi dari negara Asia seperti China,

Jepang, Korea Selatan dan lainnya. Volume impor dunia surimi pada tahun 2005

mencapai 809.314 ton, dengan negara importir terbesar adalah Jepang kemudian

diikuti Uni Eropa, Rusia, China dan USA, seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Volume impor surimi beberapa negara tahun 2001-2005 (Ton)

NEGARA 2001 2002 2003 2004 2005 Uni Eropa 149 204 160 343 145 942 148 808 151 831 Jepang 269 586 311 454 315 994 269 983 314 674 Korea Selatan 74 414 99 44 93 20 99 47 104 4 Rusia 5 909 10 559 20 323 32 049 40 020 China 16 202 16 892 16 027 25 760 29 810 USA 11 974 13 269 15 599 13 984 12 582 Kanada 14 477 17 100 16 976 16 147 15 108 Lain-lain 77 998 91 021 130 506 121 590 103 897 Total 619 764 630 582 670 687 638 266 668 966 Sumber : Giraud dan Chateau (2007)

Dalam perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, dimana

surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular

di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya.

Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang

tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia.

Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish

jelly product) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya.

Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas

internasional.

Di Indonesia baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan

kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu)

buah. Produksi rata-rata perhari 3 – 5 ton atau 3.600 – 4.000 ton per tahun, dimana

produksinya 90 persen untuk ekspor dan 10 persen domestik. Industri pengolahan

produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri

sampingan pengolahan ikan dengan produksi 5 ton per bulan dan

40

beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1 – 2 ton per bulan

yang seluruh produksinya dipasarkan untuk domestik (Budiyanto dan Djazuli

2003). Surimi belum banyak dikembangkan di Indonesia meskipun sumber

bahan baku yang dimiliki sangat melimpah, namun produk olahan lanjutan surimi

(surimi based-products) sangat memasyarakat, antara lain mpek-mpek, bakso,

otak-otak dan produk lainnya. Sementara itu, unit pengolahan ikan yang

memproduksi surimi masih terbatas, antara lain di Jawa Timur, Pulau Moro –

Riau, Jakarta, Pekalongan – Jawa Tengah dan Jambi.

2.8 Teori Sistem

Sistem didefinisikan ke dalam dua bagian kelompok pendekatan yaitu

pendekatan yang menekankan pada prosedurnya dan menekankan pada komponen

atau elemen. Melalui pendekatan pada prosedur, maka sistem merupakan jaringan

kerja dari prosedur yang terkait untuk melakukan kegiatan dalam mencapai

sasaran dan yang telah ditentukan. Pendekatan secara komponen mendefinisikan

sistem sebagai suatu kumpulan elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai

tujuan. Menurut Wetherbe (1988) sistem didefinisikan sebagai sekumpulan

entinitas atau komponen yang saling berhubungan dengan terorganisasi

membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan.

Menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang

mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama

dimensi ruang dan waktu.

Falsafah kesisteman diperlukan untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan yang semakin kompleks sehingga diperoleh solusi yang

komprehensif. Tahun 1968, Bertalanffy mempekenalkan pemikirannya tentang

General System Theory (GST) yang mendefinisikan sistem sebagai totalitas dari

bagian-bagian yang saling berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya

keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata

secara efisien. Sudut pandang inilah berkembang metode sintesis dan teknik

sistem yang bersifat holistik (Pressman 1992). Dalam pemikiran sistem selalu

mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka

diperlukan suau kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem

41

(system approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal,

yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang

baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk

membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999).

Dalam logika sistem (sistemologi) terdapat rangkaian proses transformasi

yang mengolah masukan menjadi luaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Subsistem adalah suatu elemen atau komponen fungsional suatu sistem yang

berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tinggi, sedangkan elemen adalah

pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah. Masing-masing subsistem

saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar subsistem

(disebut juga interface) terjadi karena luaran dari subsistem dapat menjadi salah

satu masukan bagi subsistem yang lain. Apabila interface antar subsistem

terganggu akan menyebabkan proses transformasi pada sistem secara keseluruhan

akan terganggu pula, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bias dari tujuan

yang ingin dicapai (Wetherbe 1988).

Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem,

maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik: (1)

kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis dalam arti

faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaaan ke masa depan,

dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan

maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang

menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi

permasalahan, yaitu (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan,

(2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan

(3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang

operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai

efisiensi keputusan.

2.9 Sistem Penunjang Keputusan

Akhir abad ke-20, telah dikembangkan usaha manajerial untuk

memisahkan informasi dari keinginan dan harapan institusional dan personal.

Usaha ini didukung oleh falsafah bahwa dasar pengambilan keputusan adalah

42

transformasi informasi menjadi usulan alternatif. Apabila informasi

dikembangkan secara teratur dan sistematik maka akan meningkatkan efektivitas

proses pengambilan keputusan. Prosse pengambilan keputusan semakin efektif,

digunakan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer

untuk pengolahan data elektronik. Pendekatan proses tersebut telah melahirkan

sistem berbasis komputer, antara lain: Electronic Data Processing (EDP) dan

Management Information System (MIS). Perkembangan tersebut kemudian

mendorong lahirnya Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support

System (DSS) dan Expert System (ES).

EDP adalah sistem yang digunakan untuk tingkat operasional yang

memfokuskan pada penanganan data. MIS adalah sistem yang dapat

menghasilkan informasi untuk digunakan oleh manajemen tingkat menengah

untuk melaksanakan fungsi pengendalian. DSS merupakan sistem yang

menghasilkan alternatif keputusan bagi manajemen tingkat atas untuk

melaksanakan fungsi perencanaan dan ES adalah sistem yang memberikan satu

keputusan untuk masalah yang sangat spesifik bagi manajemen tingkat atas (Leigh

dan Doherty 1986).

Menurut Turban (1993), DSS merupakan suatu sistem informasi berbasis

komputer (Computer Based infromation System) yang interaktif, fleksibel, dan

mudah diadaptasikan dengan menggunakan basis data dan basisi model, serta

persepsi pengguna dan pengambilan keputusan. Minch dan Burns yang dikutip

oleh Eriyatno (1999) menyatakan bahwa terminologi DSS adalah konsep spesifik

yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil

keputusan sebagi pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik DSS

adalah:

1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambilan keputusan.

2) Adanya dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda.

3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu

komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen dan kecerdasan buatan.

4) Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan

berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.

43

DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci dari elemen-elemen

sistem, sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. DSS

dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada peningkatan efektivitas

(akurasi, kualitas dan kecepatan) pengambilan keputusan dari pada efisiensinya

(Eriyatno 1999). Landasan utama dalam pengembangan DSS untuk model

manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk

menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu

(1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model dan (3) data (Gambar 11).

Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem

Manajemen Dialog merupakan program yang mengelola tampilan layar yang

menerima masukan dari pengguna dan mengirim iuran ke pengguna atau

semacam user interface. Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai

penyimpanan dan pengolahan informasi dan data. Sistem Manajemen Basis

Model merupakan paket program yang berisi perhitungan finansial statistik,

model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang memiliki kemampuan

analitik (Turban 1993; Eriyatno 1999).

Gambar 11 Struktur dasar sistem penunjang keputusan.

Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dan pengendali dari

operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga

subsistem lain dalam bentuk baku. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga

untuk menjamin masih adanya jaminan keterkaitan antar subsistem (Eriyatno

Data Model

Sistem Manajemen basis Data Sistem Manajemen Basis Model

Sistem Pengolahan Problematik

Sistem Pengolahan Dialog

Pengguna

44

1999). Menurut Keen and Morton (1978), kelayakan penerapan DSS dalam suatu

manajemen harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu adanya basis data,

adanya keterbatasan waktu, adanya manipulasi dan komputasi, serta pentingnya

pengembangan alternatif dan memilih solusi berdasarkan akal sehat.

ES memiliki komponen inferencia yang berbeda dengan DSS, karena

adanya perbedaan luaran yang dihasilkan. DSS mengahsilkan keputusan yang

masih perlu mendapatkan pertimbangan keahlian dari pengguna, sedangkan ES

bertujuan membuat keputusan tanpa adanya pertimbangan keahlian dari pengguna

(Wetherbe 1988). Kemampuan lebih dari ES disebabkan adanya komponen

knowledge base yang dimasukan ke dalam sistem berupa fakta dan aturan-aturan

yang diperoleh dari ahli, dan program inference engine yang berfungsi untuk

memformulasikan kesimpulan.

2.10 Proses Hirarki Analitik

Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk

memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam

pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu

melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini digunakan dalam

memodelkan masalah dan pendapat, dimana permasalahannya telah benar-benar

dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk

dikaji (Saaty 1980). AHP yang disampaikan oleh Saaty (1980) sebagai

pengkajian terhadap kondisi nyata tanpa melalui proses penyederhanaan, tetapi

mempertahankan model yang kompleks seperti semula. Untuk itu masalah nyata

yang kompleks dan tidak terstruktur perlu dilakukan penyusunan beberapa bagian

komponen atau perubahan pada struktur bangunan secara hirarki.

Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar

komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari.

Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke

bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), kemudian ke suatu sub tujuan (sub

objective), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi sub

tujuan tersebut, serta pelaku (actors) yang memberikan dorongan, selanjutnya ke

45

tujuan-tujuan pelaku aktor, kebijakan, strategi. Hasil dari strategi tersebut

selanjutnya timbul pertanyaan yang berkaitan dengan hirarki ini, bagaimana dan

berapa besar suatu faktor individu dari tingkat yang lebih rendah pada hirarki itu

mempengaruhi faktor puncak, yaitu tujuan utama, karena pengaruh ini tidak akan

seragam bagi semua faktor dan untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap

intensitasnya, atau sering disebut dengan menyusun prioritas (Fewidarto 1996).

Teknik analisis AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah

yang bersifat strategis dengan prinsip kerja yaitu decomposition, comparative

judgment, síntesis of priority dan logical consistency.

(1) Decomposition (Dekomposisi), merupakan pemecahan permasalahan yang

utuh menjadi beberapa bagian komponennya. Untuk mendapatkan hasil kajian

yang teliti diperlukan proses penyusunan komponen pada beberapa

tingkatan/hirarki. Tahapan ini mendefinisikan persoalan dengan membagi

persoalan tersebut menjadi beberapa unsur. Pembagian dilakukan sampai ke

tingkat yang tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi, sehingga akan didapat

beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara terstruktur. Proses tersebut

dinamakan hirarki karena memiliki lima tingkatan yaitu fokus, faktor, aktor,

tujuan dan alternatif.

(2) Comparative Judgment (Perbandingan Komparasi), merupakan penilaian

terhadap masalah berdasarkan kepentingan relatif 2 (dua) komponen pada

tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian

tersebut, merupakan faktor penting dari PHA karena akan berpengaruh

terhadap prioritas komponen. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matrix

pairwise comparasion. Elemen-elemen pada suatu tingkatan tertentu dinilai

kepentingan relatif terhadap elemen lainnya, yang mengacu pada elemen yang

dibandingkan dengan jalan meminta pendapat dari pakar. Penilaian dilakukan

dengan komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan

elemen lain pada setiap tingkatan hirarki secara berpasangan, akhirnya dapat

dinilai antar dua elemen secara kuantitaif, yang disajikan dalam matriks

komparasi berpasangan.

46

(3) Síntesis of Priority, merupakan penentuan peringkat beberapa komponen

berdasarkan penilaian kepentingan relatif. Penentuan peringkat dilakukan

berdasarkan nilai eigen vector pada setiap matrix pairwise comparasion untuk

mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority harus

dilakukan síntesis terhadap local priority. Proses pengurutan berdasarkan

kepentingan relatif melalui prosedur síntesis dinamakan priority setting.

(4) Logical Consistency, merupakan proses untuk menjamin semua komponen

dikelompokkan secara logis dan dilakukan prioritas secara konsisten sesuai

kriteria yang logis. Konsistensi memiliki dua makna, pertama bermakna

bahwa obyek serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan

relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek yang

didasarkan kriteria tertentu. Apabila penilaian tidak konsisten, maka proses

diulang untuk memperoleh penilaian yang tepat.

AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik

sebagaimana yang terjadi dalam kondisi nyata dalam usaha mencapai konsensus.

Semua problema sistem ini tidak dapat dipecahkan melalui komponen yang

terukur seperti keadaan ya dan tidak (1 dan 0). Karena ada kondisi perbedaan

kepentingan. AHP mencoba memecahkan masalah dengan cara membandingkan

masukan secara berpasangan berdasarkan skala yang dapat membedakan setiap

pendapat serta mempunyai keteraturan dalam nilai skala komparasi Saaty : 1

sampai dengan 9 yang ditunjukkan pada Tabel 7.

Saaty (1993) telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai

dengan 9 merupakan pengambilan keputusan individual yang baik dalam

pendekatan suistem dengan pertimbangan ketelitian yang ditunjukkan pada nilai

RMS (Root Means Square) dan MAD (Mean Absolute Deviation).

Tabel 7 Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty

Nilai Keterangan 1 Sama pentingnya 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Mutlak lebih penting

2,4,6,8 Jika terjadi keraguan jawaban antara 2 nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9

47

Dalam analisis menggunakan AHP dilakukan melalui beberapa proses

yakni sebagai berikut:

(1) Matriks pendapat individu

Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas

masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan

menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan,

sehingga membentuk matriks segi. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk

mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk

mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value.

(2) Matriks pendapat gabungan

Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang

eleven matriknya gij berasal dari rataan geometrik atau “geometric means”

elemen matriks pendapat individu aij yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi

persyaratan.

(3) Pengolahan horizontal

Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven

keputusan pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada

pengolahan horizontal adalah 1) perkalian baris 2) perhitungan vektor prioritas

atau vektor eigen 3) perhitungan nilai eigen maksimum 4) perhitungan indeks

konsistensi dan 5) perhitungan rasio konsistensi.

(4) Pengolahan vertikal

Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap

eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate

goal).

48

(5) Revisi pendapat

Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi pendapat cukup

tinggi, dan dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1,

sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris dan

perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom.

2.11 Analisis Kelayakan Finansial

Kelayakan adalah penelitian yang dilakukan secara mendalam untuk

menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang

lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain

kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan

keuntungan finansial dan non finansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi

perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor,

pemerintah dan masyarakat luas. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan

bisnis meliputi aspek hukum, aspek pasar dan pemasaran, aspek finansial, aspek

teknis/operasional, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial serta aspek

dampak lingkungan. Dalam penelitian ini kriteria kelayakan secara khusus

ditekankan pada aspek finansial.

Analisis kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang

dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Dalam tahap ini

akan dianalisis biaya dan manfaat kegiatan agroindustri perikanan laut. Analisis

keuangan merupakan suatu penilaian terhadap kinerja perusahaan pada waktu

yang lalu dan prospeknya pada masa yang akan datang. Melalui analisis keuangan

diharapkan dapat ditemukan kekuatan dan kelemahan perusahaan dengan

menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan (financial

statement). Analisis keuangan ini diperlukan berbagai pihak seperti para

pemegang saham atau investor, kreditur dan para manajer karena melalui hasil

analisis keuangan ini mereka akan mengetahui posisi perusahaan yang

bersangkutan dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam satu kelompok

49

industri. Evaluasi aspek keuangan rencana investasi mencakup hal – hal sebagai

berikut:

1) Penyusunan anggaran investasi yaitu jumlah dana yang dibutuhkan untuk

membangun dan mengoperasikan kegiatan (proyek)

2) Struktur dan sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun

3) Kemampuan proyek menghasilkan keuntungan

4) Analisis break even point

Menurut Awat (1999) dari aspek keuangan, suatu usul investasi akan

dinilai menguntungkan atau tidak tergantung pada berbagai metode kriteria

investasi seperti Payback Period (PP), Accounting Rate of Return (ARR), Net

Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Profitability Index (PI).

Menurut Sutojo (2000) jika metode evaluasi profitabilitas proyek dikaitkan

dengan nilai uang (the time value of money) maka diperoleh dua macam metode

yakni metode konvensional dan metode discount cashflow. Metode konvensional

mempergunakan dua macam tolak ukur yaitu Payback Period (PP) dan

Accounting Rate of Return (ARR). Sedangkan metode discount cashflow

dipergunakan tiga macam tolok ukur yaitu Net Present Value (NPV), Internal

Rate of Return (IRR), dan Profitability Index (PI). Penjelasan secara rinci

mengenai beberapa metode investasi dapat dilihat sebagai berikut:

(1) Net present value (NPV)

Menurut Sutojo (2000), NPV adalah selisih antara nilai saat ini (present

value) dari seluruh cash flow tahunan yang diterima investor selama umur

ekonomis proyek dengan nilai (anggaran) investasi proyek. Nilai bersih sekarang

(NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan

nilai sekarang biaya. Apabila NPV bertanda positif menunjukkan bahwa investasi

menguntungkan sehingga layak, karena (1) investasi awal telah kembali (2) biaya

modal telah diperoleh dan (3) menerima penghasilan dari kelebihan (1) dan (2).

Sebaliknya apabila NPV negatif maka investasi harus ditolak. Sementara apabila

NPV sama dengan nol, maka keputusan dapat menerima atau menolak investasi

dengan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.

50

(2) Internal Rate of Return (IRR)

IRR dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukan

bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi

proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang

membuat NPV proyek sama dengan nol (Djamin, 1993). Menurut Husnan (1998),

analisis investasi dengan NPV lebih baik karena pada metode IRR terdapat

beberapa kelemahan, yaitu:

1) Tidak memungkinkan untuk menghitung IRR yang tingkat bunganya

berbeda setiap tahun

2) Terdapat kemungkinan diperoleh hasil lebih dari satu, apabila arus kas

berubah-ubah tandanya

3) Metode IRR akan mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan

apabila proyek bersifat mutually exclusive.

(3) Payback Period (PP)

Menurut Awat (1999) metode PP ini menunjukkan jangka waktu yang

diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal yang digunakan pada investasi

awal (initial invesment). Banyak orang menggunakan PP sebagai tolok ukur dalam

penentuan risiko suatu proyek. Hal ini disebabkan karena selama masih berada

dalam PP berarti perusahaan belum mampu mengembalikan investasi yang

ditanamkan dalam proyek. Semakin lama PP maka semakin tinggi risiko usaha

yang ditanggung.

(4) Profitability Index (PI)

Profitability index (PI) merupakan perbandingan antara nilai akumulasi

Present Value (PV) dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan

suatu usaha. PI juga merupakan perbandingan antara nilai sekarang penerimaan-

penerimaan bersih di masa akan datang dengan nilai investasi. Hal ini ditujukan

untuk menilai risiko yang dihadapi dalam menjalankan suatu usaha.

51

(5) Nisbah Bersih Manfaat dan Biaya (Net B/C)

Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari

hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih.

Selain analisis investasi, perlu dilakukan analisis perhitungan Break Even

Point (BEP) yakni keadaan suatu usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak

menderita rugi. Dengan kata lain, suatu usaha dikatakan impas jika jumlah

pendapatan sama dengan jumlah biaya atau apabila laba kontribusi hanya dapat

digunakan untuk menutup biaya tetap saja. Analisis impas adalah suatu cara untuk

mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita rugi

tetapi juga belum memperoleh laba (Mulyadi 1993). Di samping itu, terdapat dua

cara untuk menentukan titik impas yaitu dengan pendekatan teknik persamaan dan

pendekatan grafis.

2.12 Konsep Strategi

Menurut Allison dan Kaye (2005), strategi didefinisikan sebagai prioritas

atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi. Strategi merupakan

pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi

atau mencapai kondisi masa depan yang dinginkan (Tripomo dan Udan 2005).

Rumusan strategi yang baik akan memberikan gambaran pola tindakan utama dan

pola keputusan yang dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Apabila strategi

telah ditetapkan, selanjutnya disusun rencana (plan), seperangkat kebijakan

(policies), tahapan-tahapan pencapaian, organisasi dan personalia yang

mengisinya, anggaran dan program aksi. Wheelen dan Hunger (2006) menyatakan

bahwa manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan dan tindakan manajerial

yang akan menentukan kinerja jangka panjang dalam suatu organisasi.

Manajemen strategi yang berkembang saat ini merupakan jalan keluar dari

persoalan yang dihadapi dalam bentuk keterbatasan sumberdaya yang dimiliki

oleh suatu organisasi.

Selain definisi strategi yang bersifat umum, terdapat definisi secara khusus

seperti yang dikemukakan oleh Hamel dan Prahaland (1995) yang mendefinisikan

strategi yang terjemahannya adalah bahwa strategi merupakan tindakan yang

52

bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan

berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di

masa depan. Oleh karena itu, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat

terjadi dan bukan dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang

baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti.

Tahapan perumusan strategi tidak lepas dari pengertian tentang

manajemen strategik. David (2001) menyatakan bahwa manajemen strategik

adalah seni dan ilmu untuk “formulasi-implementasi dan evaluasi” keputusan-

keputusan yang bersifat lintas fungsional agar organisasi dapat mencapai

tujuannya. Kerangka manajemen strategik menyeluruh digambarkan dalam tiga

tahapan seperti pada Gambar 12, yang meliputi identifikasi lingkungan (internal-

eksternal), perumusan/formulasi strategi (visi, misi dan tujuan), implementasi

strategi (program, budget dan proyek), serta monitoring dan evaluasi.

Gambar 12 Kerangka manajemen strategik.

Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi,

mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan

dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, mengembangkan

strategi-strategi alternatif dan memilih strategi untuk pelaksanaan. Implementasi

Melaksanakan Audit eksternal

Mengembangkan visi & misi

Audit eksternal

Menetapkan tujuan jangka

panjang

Membuat kebijakan dan tujuan tahunan

Pengalokasian sumber daya

Mengukur dan

mengevaluasi kinerja

Melaksanakan Audit internal

Umpan Balik

Membuat, mengevaluasi dan memilih

strategi

Formulasi Strategi

Implementasi Strategi

Evaluasi strategi

53

strategi memerlukan suatu perangkat untuk menetapkan tujuan tahunan,

merencanakan kebijakan memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya

sehingga strategi strategi yang diformulasikan dapat dilaksanakan; implementasi

strategi termasuk mengembangkan budaya pendukung strategi, menciptakan

struktur organisasi yang efektif, mengarahkan kembali usaha-usaha pemasaran,

menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan

menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja organisasi. Evaluasi

strategi adalah tahap akhir pada manajemen strategi. Tiga aktivitas penting untuk

mengevaluasi strategi adalah me-review faktor eksternal dan internal yang

menjadi dasar penerapan strategi, mengukur kinerja dan mengambil tindakan

perbaikan. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan

jaminan untuk kesuksesan hari esok.

Allison dan Kaye (2005) menyatakan perencanaan strategik setiap

organisasi berbeda tergantung pada besar dan kompleksitas organisasi lingkup

maupun peubah-peubah yang digunakan. Namun demikian perencanaan strategik

memiliki kesamaan sebagai upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien

dengan menyadari terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Proses perencanaan

strategik yang berhasil selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut :

(1) Dimana kita sekarang ? (2) Dimana kita ingin berada di masa mendatang ? (3)

Bagaimana kita mengukur kemajuan? (4) Bagaimana kita mencapai sasaran dan

tujuan ? dan (5) Bagaimana kita menelusuri kemajuan (Gazpers 2004).