20955554-cdk-148-Imunisasi

65
2005 http://www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125-913X Computer artwork of DNA microarray 148. Imunisasi

description

imunisasi

Transcript of 20955554-cdk-148-Imunisasi

Page 1: 20955554-cdk-148-Imunisasi

2005

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

Computer artwork of DNA microarray

148. Imunisasi

Page 2: 20955554-cdk-148-Imunisasi

http. www.kalbefarma.com/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

2005

148.Imunisasi

Daftar isi :

Keterangan gambar: Gambaran DNA microarray.

Lancet 2004;364:2003

http. ww.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 –913X

148. Imunisasi

2005

2. Editorial 4. English Summary

Artikel

5. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia – Enny Muchlastriningsih

12. Masa Depan Pengembangan Vaksin Baru – Dyah Widyaningroem Isbagio 17. Serosurvei Influenza pada Pekerja, Penjual dan Penjamah Produk Ayam di

8 Propinsi Kejadian Luar Biasa Flu Burung yang Menyerang Ayam – Ainur Rofiq, Agus Suwandono, Eko Rahardjo, Rudi Hendro P.

21. Avian Influenza (Flu Burung) – Mardi Santoso, Herman Salim, Hasanudin Alim Apakah SARS akan Berjangkit Kembali ? – Sarjaini Jamal 25.

30. Infeksi Campak - Karakteristik dan Respon Imunitas yang Ditimbulkan – Sarwo Handayani

35. Kecenderungan Kasus Campak Selama Empat Tahun (1997 – 2000) di Indonesia – Enny Muchlastriningsih

37. Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia – Tahun 2001-2003 – Bambang Heriyanto, Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Siti Hutauruk

40. Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2003 – Rudi Hendro P, Eko Rahardjo, Masri Sembiring Maha, John Master Saragih

43. Status Antibodi Anak Balita Pasca Pekan Imunisasi Nasional (PIN) IV di Makassar – Gendrowahyuhono

46. Status Antibodi Anak Sekolah Dasar Sebelum dan Sesudah Program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di Yogyakarta - Gendrowahyuhono

49. Pemeriksaan Spesimen Serum Darah terhadap Zat Anti Legionella – Eko Rahardjo

51. Deteksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Human Metapneumovirus (HMPV) dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT- PCR) – Sarwo Handayani

55. Introduction to Anti-Aging Medicine – Eulis A. Datau, Candra Wibowo

60. Produk Baru 61. Informatika Kedokteran 62. Kegiatan Ilmiah 63. Kapsul 64 RPPIK

Page 3: 20955554-cdk-148-Imunisasi

EEDDIITTOORRIIAALL

Ditemukan kembalinya kasus polio di Sukabumi, Jawa Barat tentu menyadarkan kita bahwa masalah imunisasi merupakan hal yang perlu ditangani secara lebih serius.

Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini mungkin kurang menarik bagi sejawat klinisi; tetapi kami terbitkan untuk mengingatkan kita semua bahwa aspek kesehatan tidak hanya masalah kuratif saja, tetapi juga mempunyai aspek promotif dan preventif.

Salah satu aspek preventif ialah dengan melalui imunisasi, yang sudah sejak lama dipromosikan oleh WHO sebagai salah satu usaha kesehatan yang dianjurkan, terutama di negara-negara berkembang yang sumberdaya kesehatannya masih relatif terbatas.

Beberapa artikel yang juga perlu dibaca adalah ulasan mengenai SARS – wabah yang sempat menghebohkan dunia, tetapi berangsur surut (dengan sendirinya ?); juga mengenai flu burung yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan, dikaitkan dengan kemungkinan mewabah seperti pengalaman dengan SARS beberapa waktu yang lalu

Selamat membaca,

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 2

Page 4: 20955554-cdk-148-Imunisasi

2005 International Standard Serial Number: 0125 - 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta

- Prof. Dr. R Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

PELAKSANA Sriwidodo WS.

-

-

TATA USAHA - Dodi Sumarna - E. Nurtirtayasa

Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk

- DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

-

-

PENCETAK PT. Temprint

Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

http://www.kalbefarma.com/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: 20955554-cdk-148-Imunisasi

English Summary

AVIAN INFLUENZA SERO-SURVEIL-LANCE ON POULTRY-RELATED PEO-PLE IN 8 PROVINCES WITH BIRD FLU OUTBREAK IN INDONESIA Ainur Ropiq, Agus Suwandono, Eko Raharjo, Rudi Hendro P. Health Ecology Research and Development Center, Depart-ment of Health, Jakarta, Indonesia

In Indonesia, Avian Influenza (bird flu) was presumed to appear in the end of August 2003. In January 25, 2004, Department of Agriculture stated that Avian Influenza A(H5N1) had infected chicken in Indonesia. Some countries reported that Avian Influenza could potentially infect human and may cause death. This sero-surveillance is to identify Avian Influenza human infection in Indonesia, by finding the prevalence of Avian Influenza A(H5N1) antibody among poultry workers, sellers and customers, also among people in direct contact with infected chicken in farms in Lampung, Banten, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, Bali and South Kalimantan.

This survey investigated 1046 respondents - 829 as contact group and 217 as control group. The result of Haemagglutination Inhibition test of A(H5N1) are all negative. The result of RT-PCR from 43 random specimens are also negative. Poultry workers, sellers and customers surveyed are not infected by Avian Influenza viruses.

Cermin Dunia Kedokt.2005;148: 17-20

arq, aso, ero, rhp

WILL SARS COME BACK ? Sarjaini Jamal Health Research and Develop-ment Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) have been reported from more than 25 countries. The signs and symptoms are similar to flu: fever (>38ºC), cough, sore throat, shortness and difficulty of breath, body aches within 7- 10 days after arrival from SARS countries. SARS is caused by corona virus infection; transmission occurred after close contact with symptomatic individuals. Infection may also occur if residual infec-tious particles in environment are brought into direct contact with eyes, nose or mouth eg. by unwashed hands. Until May 26 , 2003 SARS has in- fected more than 7.500 people, and killed more than 600 people; 15.000 people had been quaran- tined; 12 medical workers inclu-ding Dr.Carlo Urbani has died. Recently avian flu appeared in Thailand, Vietnam, Korea, Japan and also Indonesia. Is it possible to develop into SARS ? Indonesian workers and travel- lers from SARS countries need to be screened from SARS. Personal protective equipment (eg. hand hygiene, gown, gloves, and N95 masker) in addition to eye protection, are recommend-ed for healthcare workers to prevent transmission of SARS in health care setting.

Cermin Dunia Kedokt.2005;148: 25-9

sjl

MEASLES INFECTION: CHARACTER-ISTICS AND IMMUNE RESPONSE Sarwo Handayani Center for Diseases Control, Health Research and Develop-ment Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia

Measles is still a health problem in Indonesia. Immunization (and also) natural infection can overcome the problem by improving humoral and cellular immune response. Free and circulating virus will be neutralized by antibody through inhibition of virus attachment on the surface cells so penetration into cells and replication will be prevented. Cellular immune response will induce B lymphocyte to produce antibody by ADCC (Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity) mecha-nism dan lysis complement. Measles immune response is influenced by many factors, such as age, maternal antibody, nutritional status, intercurrent illness and quality of vaccine including: virus strain, dose, cold chain and route of administration.

Cermin Dunia Kedokt.2005;148: 30-4

shi

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

Page 6: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 5

Artikel

ANALISIS

Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah

dengan Imunisasi di Indonesia

Enny Muchlastriningsih

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Seperti diketahui penyakit menular disebabkan oleh infeksi berbagai organisme maupun mikroorganisme di antara-nya bakteri dan virus. Contoh penyakit menular yang disebab-kan infeksi bakteri misalnya: difteri, pertusis, tuberkulosis dan tetanus sedangkan yang disebabkan oleh virus misalnya hepa-titis, polio, dan campak. Penyakit – penyakit di atas sebetulnya sudah dapat dicegah melalui imunisasi baik imunisasi dasar saat bayi 0-11 bulan maupun imunisasi lanjutan saat anak usia sekolah, ada pula imunisasi yang diberikan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita yaitu imunisasi Tetanus toxoid .

Imunisasi sendiri sebetulnya sudah berlangsung lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik, sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis pendekatan pembuatan vaksin rabies. Pembuatan vaksin dapat dikatakan dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin rabies (1) .

Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974; imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan (2) . Adapun kegiatan imunisasi yang rutin diadakan ialah: 1) Imunisasi dasar pada bayi umur 0-11 bulan meliputi : BCG (1 kali pemberian), DPT (3 kali), Polio (4 kali), Hepatitis B (3 kali), dan Campak (1 kali).

2) Imunisasi lanjutan pada anak sekolah yaitu imunisasi DT (1 kali) dan TT (2 kali). 3) Imunisasi lanjutan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita ialah TT 5 kali pemberian.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan program imunisasi di Indo-nesia. Adapun tujuan khususnya ialah mengetahui gambaran epidemiologi : tuberkulosis paru (Tb paru), difteri, tetanus, pertusis, polio, hepatitis B, dan campak. METODOLOGI Data dasar didapatkan dari Buku Data Tahun 2003 dari DitJen PPM & PL(3) berasal dari laporan daerah yang meliputi : Laporan bulanan puskesmas (LBI), Laporan rawat jalan (RL 2b), Laporan rawat inap (RL2a), Laporan RS melalui Sistem Surveilans Terpadu, dan Laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) 24 jam (W1). Data dasar diolah dan dianalisis menggunakan metoda statistik per penyakit sesuai dengan penyakit yang menjadi prioritas program imunisasi yang sedang dijalankan di Indonesia. HASIL PENELITIAN 1. Tuberkulosis paru

Penyakit ini sebetulnya dapat dicegah dengan pemberian 1 kali imunisasi BCG pada usia 0- 11 bulan sehingga dengan peningkatan imunisasi yang efektif diharapkan kejadian pe-nyakit ini dapat diturunkan.

Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan M. africanum, yang dapat mengenai paru-paru, tulang, selaput otak, kelenjar limfa, dan sebagainya; yang dibicarakan di sini hanya tuberkulosis paru.

Penularan penyakit ini lewat percikan ludah penderita (droplet infection), masa inkubasinya antara 4-12 minggu. Kejadiannya meningkat sejalan dengan umur; penderita ber-umur lebih tua lebih banyak daripada usia muda, lebih banyak

Page 7: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

penderita laki-laki, serta lebih banyak menyerang kaum miskin, dan lebih banyak di perkotaan dibandingkan di pedesaan (4) .

Data surveilans penderita tuberkulosis paru membedakan tuberkulosis paru dengan hasil laboratorium BTA(+) yaitu ditemukannya bakteri tahan asam di spesimen penderita dengan tuberkulosis paru klinis, dengan ditemukannya tanda-tanda klinis yang mengarah ke tuberkulosis meskipun tidak ditemukan kumannya (BTA negatif). Tuberkulosis Paru BTA(+) Tabel 1. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) pada RS rawat

jalan berdasarkan golongan umur, 2000- 2002.

Golongan umur Tahun

<1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th >45 th Jumlah

2000 0 0 4.902 15.146 15.317 35.365 2001 520 1.699 2.162 7.442 6.243 18.066 2002 117 2.953 1.769 9.979 4.314 19.132 Jumlah 637 4.652 8.833 32.567 25.874 72.563

Tabel 1 memperlihatkan jumlah penderita tuberkulosis paru BTA (+) rawat jalan selama tahun 2000 - 2002, anak di bawah 5 tahun dengan tuberkulosis BTA(+) ditemukan pada tahun 2001 (520) dan tahun 2002 agak menurun yaitu 117 kasus. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan karena penderita balita akan mengalami hambatan pertumbuhan yang tentu akan merugikan perkembangannya. Balita biasanya tertular dari lingkungan keluarga atau tetangga mengingat mobilitas balita belum jauh sehingga dapat diprediksi ada kasus tuberkulosis di sekitarnya. Tabel 2. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) pada RS rawat

inap berdasarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur Tahun

<1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th >45 th Jumlah

2000 0 0 646 4.150 4.660 9.456 2001 34 134 252 1.980 2.216 4.616 2002 13 35 170 993 1.122 2.333 Jumlah 47 169 1.068 7.123 7.998 16.405

Tabel 2 memperlihatkan jumlah penderita tuberkulosis

BTA (+) rawat inap di RS secara golongan umur maupun keseluruhan lebih kecil dari rawat jalan, mungkin karena tidak semua harus dirawat inap dengan berbagai pertimbangan misalnya dana, kapasitas RS, kegiatan produktif yang tidak dapat ditinggalkan, dan lain sebagainya.

Grafik 1 memperlihatkan jumlah penderita rawat jalan dan jumlah kematian; pada tahun 2000 jumlah kasus rawat inap sebanyak 9.456 dengan kematian 248 (2,6%), pada tahun 2001 jumlah kasus 4.616 dengan 53 kematian (1,1%), dan tahun 2002 2.333 kasus dengan 54 kematian (2,3%). Diperlu-kan usaha yang lebih besar agar jumlah kematian seminimal mungkin dengan meningkatkan upaya kesehatan baik secara individu maupun secara nasional.

Tabel 3 memperlihatkan jumlah kasus yang ditemukan di puskesmas sangat besar dibanding dua data sebelumnya, mung-kin karena puskesmas merupakan institusi kesehatan terdepan sehingga dapat menjaring kasus lebih luas; meskipun demikian kasus di bawah umur 5 tahun belum ada; mungkin memang belum ada tetapi mungkin belum terjaring meskipun kasusnya sebetulnya sudah ada.

Grafik 1. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) pada RS rawat inap dan jumlah kematian, 2000-2002

Tabel 3. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) berasal dari

puskesmas berdasarkan golongan umur, 2000 – 2002

Golongan umur Tahun

<1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th >45 th Jumlah

2000 0 0 9.958 63.179 56.656 129.793 2001 295 1.733 5.746 40.864 32.712 81.350 2002 216 1.074 2.820 26.018 21.236 51.364 Jumlah 511 2.807 18.524 130.061 140.732 292.635

Dari data rawat jalan selama 3 tahun maka penderita terbanyak pada golongan umur produktif 15 - 44 tahun (44,88 %), sedangkan dari data rawat inap selama 3 tahun yang terbanyak golongan umur di atas 45 tahun (48,75%); dari kasus yang berasal dari puskesmas, golongan umur terbanyak juga di atas 45 tahun (48,09%). Dengan data tersebut dampaknya dapat dikatakan akan mengganggu produktifitas nasional yang lebih lanjut akan menurunkan kualitas hidup masyarakat; untuk itu diperlukan usaha penanggulangan yang lebih keras.

Tuberkulosis paru klinis Jumlah penderita tuberkulosis paru dengan gejala klinis jumlahnya lebih besar daripada yang dengan BTA (+) karena memang tidak pada semua penderita dengan gejala klinis akan ditemukan kumannya, kuman tidak terdeteksi karena misalnya pengelolaan sampel kurang baik, reagennya kurang baik, kua-litas teknisi laboratorium yang kurang, atau memang tidak ditemukan. Tabel 4. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru Klinis Rawat Jalan

berdasarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur Tahun

<1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th >45 th Jumlah

2000 1.715 6.073 7.094 21.245 19.139 55.266 2001 2.312 5.894 6.240 15.008 12.613 42.067 2002 256 1.018 1.617 6.324 5.251 14.466 Jumlah 4.283 12.985 14.951 42.577 37.003 111.799

Tabel 4 memperlihatkan kasus bayi (< 1 tahun) cukup banyak jumlahnya (3,83 % dari kasus rawat jalan), ini mem-buat efektifitas imunisasi yang dikatakan cakupannya > 80% perlu dipertanyakan. Tabel 5. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru Klinis Rawat Inap

berdasarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 227 719 1.171 7.868 8.869 18.854 2001 380 665 835 4.857 5.772 12.509 2002 29 136 228 1.733 1.915 4.041 Jumlah 636 1.520 2.234 14.458 16.556 35.404

6

2000 2001 2002

10000 8000

6000

4000

2000

0

: Kasus : Mati

Page 8: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 7

Tabel 5 menunjukkan jumlah penderita bayi yang dirawat inap mencapai 1,79 % dari seluruh penderita rawat inap. Usia tua lebih banyak dan jumlah penderita rawat inap lebih sedikit daripada penderita rawat jalan dan penderita yang dijaring puskesmas.

Tabel 6. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru Klinis dari puskesmas

berdasarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 1.295 7.972 25.877 242.234 140.196 417.574

2001 803 5.822 13.096 88.386 1.885736 1.993.843

2002 1.202 5.729 9.119 54.798 54.529 125.377

Jumlah 3.300 19.523 48.092 385.418 2.080.461 2.536.794

Jumlah penderita tuberkulosis klinis yang dijaring lewat

puskesmas mencapai 2.536.794 kasus (Tabel 6) dengan golongan umur di atas 45 tahun paling banyak (82,01% - 2.080.461 kasus); meskipun baru gejala klinis bila kondisi tubuhnya lemah dan jumlahnya sangat banyak secara tidak langsung mengganggu produktifitas nasional.

Bila dilihat bahwa penderita BTA (+) pada penderita rawat jalan sebesar 64,90% dari penderita klinis, untuk penderita rawat inap sebesar 46,34 %, sedangkan untuk penderita dari puskesmas 11,53 %; mungkin ada kendala diagnosis atau tenaga laboratorium dalam menangani spesimen maupun teknik pemeriksaannya.

2. Difteri, Pertusis dan Tetanus

Penyakit-penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT sebanyak 3 kali pada masa bayi 0-11 bulan. Difteri Merupakan penyakit bakteri akut yang mengenai tonsil, pharynx, larynx, hidung, kadang-kadang membran mukosa atau kulit, konjungtiva atau genitalia, disebabkan oleh infeksi Corynebacterium diphteriae, dengan masa inkubasi 2-5 hari; kadang- kadang lebih lama. Penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia sebelum 6 bulan(4). Di Indonesia penderita difteri 50% meninggal dengan gagal jantung(2). Kejadian luar biasa penyakit ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak bila keadaan lingkungan menjadi lebih buruk. Tabel 7. Jumlah penderita Difteri Rawat Jalan berdasar kan golongan

umur, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 29 85 74 70 13 271 2001 52 174 269 510 321 1.326 2002 0 1 24 45 3 73 Jumlah 81 260 367 625 337 1.670

Tabel 7 memperlihatkan jumlah kasus difteri rawat jalan

di Indonesia selama 3 tahun; terbanyak pada golongan umur. 15-44 tahun (37,42%).

Tabel 8. Jumlah penderita Difteri Rawat Inap berdasarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun <1 1-4 5-14 15-44 >45

Jumlah kasus

Kema tian

2000 34 132 96 20 17 299 0 2001 3 21 30 16 7 77 1 2002 3 7 11 10 3 34 2

Jumlah 40 160 137 46 27 410 3

Tabel 8 memperlihatkan jumlah penderita difteri rawat inap yang seperti kasus lain lebih kecil dibanding kasus rawat jalan karena memang tidak semua penyakit akan dirawat inap dengan berbagai pertimbangan. Penderita rawat inap terbanyak dari golongan umur 5-14 tahun (33,41%). Tidak ada penderita bayi rawat jalan pada tahun 2002 tetapi ditemukan kasus bayi rawat inap sepanjang 3 tahun tersebut. Kematian penderita difteri yang dirawat sangat kecil: hanya 3 dari 410 kasus (0,73%) (Tabel 9). Kematian diharapkan tetap dapat dicegah dengan cara antara lain secepat mungkin membawa penderita ke RS agar mendapat penanganan yang tepat.

Penderita difteri yang berobat ke puskesmas (Tabel 9) ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan penderita rawat jalan; mungkin karena penyakit ini tergolong berat maka pen-derita kebanyakan langsung berobat ke rumah sakit. Terutama pada golongan umur > 45 tahun yaitu 36,8 %. Dari tiga fasilitas kesehatan di atas golongan umur yang dominan ber-beda-beda; mungkin yang lebih mendekati keadaan sebenarnya ialah penderita yang dirawat di RS yaitu golongan umur 5-14 tahun. Tabel 9. Jumlah penderita Difteri dari Puskesmas berda - sarkan golongan umur, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun <1 th 1-4 5-14 15-44 >45

Jumlah

2000 24 107 60 68 207 466 2001 11 24 38 73 53 199 2002 7 4 28 42 23 104 Jumlah 42 135 126 183 283 769

Pertusis Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis dan menyerang saluran pernafasan. Penularan terjadi karena adanya kontak dengan buangan mukosa saluran pernafasan baik melalui udara maupun percikannya (airborne/droplet), Morbiditas dan mortalitasnya lebih tinggi pada wanita(4). Di In-donesia 54% kematian terjadi akibat komplikasi pneumonia (2). Grafik 2. Jumlah Kematian Kasus Pertusis di Indonesia pada penderita

rawat inap, 2000-2002.

Tahun

2000 2001 2002

500

400

300

200

100

0

: Kasus : Mati

Jum

lah

Page 9: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

Grafik 2 memperlihatkan penurunan kasus pertusis rawat inap – 399 pada tahun 2000 menjadi 140 pada tahun 2001 dan pada tahun 2002 turun lagi menjadi 98; jumlah kematian juga menurun dari 11 kematian dari 399 kasus (2,75%) pada tahun 2000, pada tahun berikutnya tidak ada kematian. Keadaan ini menggembirakan karena mungkin dengan tatalaksana kasus yang lebih baik kematian dapat dihindarkan. Tabel 10. Jumlah penderita Pertusis Rawat Inap, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 158 158 47 27 9 399 2001 18 22 34 37 29 140 2002 13 15 21 29 20 98 Jumlah 189 195 102 93 58 637

Tabel 10 memperlihatkan jumlah penderita pertusis rawat

inap paling banyak bayi dan anak-anak (60,28 % dari seluruh penderita rawat inap); ini mendukung pendapat bahwa bayi dan anak-anak merupakan golongan umur yang rentan terhadap penyakit pertusis. Tabel 11. Jumlah penderita Pertusis Rawat Jalan, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 293 507 276 487 431 1.994 2001 121 208 1.211 145 133 1.818 2002 55 114 153 57 33 412 Jumlah 469 829 1.640 689 597 4.224 Jumlah penderita pertusis rawat jalan mencapai 6 kali

lebih banyak daripada penderita rawat inap (Tabel 11) karena memang tidak semua perlu dirawat inap dengan berbagai alasan.

Tabel 12. Jumlah penderita Pertusis dari Puskesmas, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun

<1 1-4 5-14 15-44 >45 Jumlah

2000 1.518 2.450 1.469 1.481 1.508 8.426 2001 431 1.008 1.014 513 437 3.403 2002 440 608 374 349 333 2.104 Jumlah 2.389 4.066 2.857 2.343 2.278 13.933

Penderita pertusis yang berasal dari puskesmas, jumlahnya

mencapai 21 kali dari jumlah yang dirawat (Tabel 12). Dengan kecilnya angka kematian maka keadaan ini tidak perlu dikhawatirkan. Tetanus Penyakit ini akibat infeksi bakteri anaerob Clostridium tetani di tempat luka dan menghasilkan eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot. Kuman ini terdapat di usus hewan sehingga penularan terjadi karena kontak daerah luka dengan faeses hewan yang mengandung kuman tersebut. Masa inkubasi antara 3-21 hari kadang-kadang antara 1 hari sampai beberapa bulan(4). Penyakit ini dapat menyerang bayi baru lahir (tetanus neonatorum) yang biasanya akibat pertolongan persalinan yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan. Penyakit ini

merupakan masalah kesehatan serius di negara berkembang ; pemberian imunisasi toxoid tetanus pada calon pengantin wanita dan pada ibu hamil diharapkan dapat menurunkan kasus ini. Di Indonesia ada kebijakan MNTE (Maternal Neonatal Tetanus Elimination) untuk akselerasi pencapaian imunisasi WUS (wanita usia subur) dalam mengatasi penyakit ini melalui pendekatan golongan risiko tinggi yang diharapkan akan meluas dan memberi efek positif melalui kerja sama terpadu lintas program dan kerjasama antara para profesional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.

Secara keseluruhan terjadi penurunan kasus tetanus dari tahun 2000-2002 baik yang rawat jalan, rawat inap maupun yang dari puskesmas, hal ini dapat karena memang ada penurunan kasus tetapi dapat juga karena kasusnya tidak dilaporkan. Kasusnya paling banyak pada golongan 15-44 tahun (43,34%), apakah karena luka kecelakaan kerja, tentu perlu penelitian lebih lanjut. (Tabel 13)

Tabel 13. Jumlah penderita Tetanus Rawat Jalan, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun <1 1-4 5-14 15-44 >45

Jumlah

2000 59 78 158 698 557 1550 2001 20 36 76 387 380 899 2002 1 15 15 36 70 137 Jumlah 80 129 249 1.121 1.007 2.586

Tabel 14. Jumlah penderita Tetanus Rawat Inap, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun <1 1-4 5-14 15-44 >45

Jumlah

2000 42 125 235 802 999 2203 2001 34 78 136 520 575 1.343 2002 0 19 21 102 98 240 Jumlah 76 222 392 1.424 1.672 3.786 Tabel 14 menunjukkan jumlah kasus tetanus rawat inap

terbanyak pada golongan umur di atas 45 tahun (44,16 %) mungkin karena kecelakaan kerja atau karena usia lanjut dengan kesehatan yang kurang baik.

Tabel 15. Jumlah penderita Tetanus dari Puskesmas, 2000-2002.

Golongan umur (tahun) Tahun <1 1-4 5-14 15-44 >45

Jumlah

2000 147 99 160 158 197 761 2001 9 9 20 50 52 140 2002 5 12 20 21 26 84 Jumlah 161 120 200 229 275 985

Tabel 15 menunjukkan jumlah kasus dari puskesmas

paling sedikit dibandingkan dengan yang rawat jalan maupun rawat inap; mungkin karena gejalanya yang jelas dan terlihat berat maka lebih banyak yang dibawa langsung ke rumah sakit. Golongan umur di bawah 1 tahun lebih banyak dari golongan 1-4 tahun, apakah berasal dari kasus tetanus neonatorum, perlu penelitian lebih lanjut.

Grafik 3 memperlihatkan jumlah kasus tetanus rawat inap cenderung turun terus dari tahun 2000 hingga tahun 2002 apakah karena jumlah kasusnya memang turun atau karena tiadanya laporan.

8

Page 10: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 9

Grafik 3. Jumlah Kematian Kasus Tetanus pada Penderita Rawat Inap di Indonesia, 2000-2002.

Bila dilihat jumlah kematian secara nominal memang

turun yaitu dari 219 di tahun 2000, tahun 2001 terjadi 90 kematian, dan tahun 2002 hanya 30 kematian, tetapi secara persentase turun naik yaitu dari 9,94%, pada tahun 2001 menjadi 6,70% tetapi pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi 12,5% yang bahkan lebih tinggi dari tahun 2000, mungkin karena tatalaksana kasus yang memburuk lagi, keadaan gizi masyarakat yang kurang baik atau hal lain yang perlu dicari. 3. Polio Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi polio sebanyak 4 kali pada bayi (<1 tahun) secara rutin, tetapi di Indonesia dalam rangka eradikasi polio yang sejalan dengan Komitmen Global ada kegiatan imunisasi tambahan yaitu melalui Pekan Imunisasi Nasional (PIN), sub PIN dengan sasaran anak < 5 tahun maupun BLF (Back log fighting) dengan sasaran anak usia < 3 tahun(2). Penyakit ini disebabkan oleh Poliovirus tipe 1,2, dan 3; semua tipe dapat menyebabkan paralisis (lumpuh) atau yang lebih dikenal sebagai kasus AFP (acute flaccid paralysis); tetapi yang paling paralytogenic ialah tipe 1. Penularannya melalui makanan atau alat-alat terkontaminasi feses penderita polio (fecal oral transmission). Masa inkubasi penyakit ini biasanya 7- 14 hari, rentang waktunya antara 3-35 hari (4) .

Di Indonesia program eradikasi polio dilaksanakan sesuai kesepakatan pada WHA ke 41 (1988) yang sebetulnya mengharapkan eradikasi polio di dunia sebelum tahun 2000. Ada 4 strategi untuk pencapaian tujuan tersebut yaitu: imunisasi rutin OPV (oral polio virus) dengan cakupan tinggi, imunisasi tambahan, surveilans AFP dan investigasi labora-torium, serta mop-up untuk memutus rantai penularan terakhir.

Tabel 16. Jumlah kasus AFP umur < 15 tahun di Indonesia, 2000- 2002.

Yang dilaporkan

Tahun Jumlah

minimal 1 tahun Jumlah

Total AFP rate (1/100.000)

Nonpolio AFP rate

(1/100.000) 2000 644 602 0,93 0,9 2001 643 883 1,32 1,31 2002 643 883 1,32 1,31

Tabel 16 memperlihatkan jumlah minimal yang harus

ditemukan per 1/100.000 penduduk berusia < 15 tahun antara 643-644 kasus. Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2000 kurang dari target minimalnya yaitu 602 dari 644, mungkin targetnya terlalu tinggi, kasusnya hanya sejumlah itu, atau petugasnya yang kurang aktif; sedangkan pada tahun 2001 dan 2002 jumlahnya di atas target minimalnya, mungkin memang terjadi peningkatan kasus, target terlalu rendah, atau petugas-

nya sudah bekerja optimal. Di sini juga terlihat total AFP rate dan nonpolio AFP rate besarnya hampir sama yang berarti kasus AFP disebabkan poliovirus dan bukan poliovirus jumlah-nya hampir sama. Tabel 17 memperlihatkan 2 spesimen penderita dikirim ke laboratorium sebagian besar dalam 14 hari setelah penderita lumpuh (83,5 % - 84,1%); ini sudah sesuai dengan strategi surveilans AFP di Indonesia. Jumlah spesimen yang adekuat untuk diperiksa di laboratorium nasional juga cukup tinggi yaitu antara 79,5 % - 82,4 %; jika mungkin lebih ditingkatkan Tabel 17. Keadaan spesimen Polio kasus AFP di bawah usia 15 tahun di

Indonesia, 2000-2002

Tahun 2 spes.< 14 hr (%)

Memenuhi syarat (%)

Spesimen adekuat (%)

KU < 60 hari

2000 83,5 93,0 79,5 71,0 2001 84,1 95,7 82,4 86,2 2002 84,1 95,7 82,4 86,2

lagi agar hasilnya lebih adekuat. Kunjungan ulang untuk pemeriksaan residual paralysis setelah 60 hari kelumpuhan yang seharusnya dilakukan pada semua kasus AFP yang ditemukan baru dapat dilaksanakan sekitar 71,0 % - 86,2 %, mungkin karena berbagai kendala antara lain tenaga, biaya, lokasi, dan sebagainya.

. Tabel 18. Klasifikasi Virologi Kriteria Klinis Kasus AFP di bawah usia 15

tahun di Indonesia, Tahun 2000-2002.

Tahun Polio Nonpolio Pending Virus polio liar 2000 22 580 0 0 2001 7 841 0 0 2002 7 841 0 0

Jumlah 36 2.262 0 0

Tabel 18 memperlihatkan klasifikasi virologi berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium : yang terinfeksi virus polio ada 36 penderita sedangkan yang terinfeksi nonpolio sejumlah 2.262. Tidak ditemukan virus polio liar yang berarti semua virus yang ditemukan adalah virus polio vaksin, juga tidak ada spesimen yang harus dipending (batal diperiksa secara laboratorium). Grafik 4. Jumlah Penderita AFP dibandingkan dengan Jumlah Penderita

yang terinfeksi Virus Polio.

Grafik 4 memperlihatkan banyaknya jumlah kasus AFP sedangkan yang diklasifikasi terserang infeksi virus polio sangat sedikit; jika dilihat spesimen yang adekuat antara 79,5

TAHUN 2002 2001 2000

Mea

n

1000

800

600

400

200 0

KASUS POLIO

Tahun

2000 2001 2002

3000

2000

1000

0

: Mati : Kasus

Jum

lah

Page 11: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

82,4 % mungkin karena penanganan sampel kurang baik atau memang karena infeksi non polio (bukan karena virus polio). 4. Campak

Penyakit ini dapat dicegah dengan satu kali imunisasi campak saat bayi (0-11 bulan); ini merupakan imunisasi dasar yang seharusnya diberikan pada semua bayi. Di Indonesia kebijakan reduksi campak sesuai dengan komitmen global yang juga meliputi eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, dan reduksi hepatitis B yaitu mencegah KLB campak pada anak sekolah dan memutuskan rantai penularan dari anak sekolah ke balita, dan mencegah KLB pada balita(2).

Penyakit ini disebabkan oleh Measles virus yang termasuk genus Morbilivirus dan famili Paramyxoviridae. Penyebaran nya lewat percikan ludah penderita atau adanya kontak dengan sekret hidung dan tenggorokan. Masa inkubasi biasanya 10 hari (8-13 hari). Gejala awalnya berupa demam, diikuti dengan konjungtivitis, batuk pilek, dan adanya Koplik spot (bercak putih di dinding mukosa mulut), gejala rash (bercak merah) tampak pada hari 3-7 dimulai dari wajah dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh (4). Tabel 19. Jumlah Kasus Campak Rawat Jalan di Indonesia 2000- 2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 897 1.456 1.854 1.589 201 5.997 2001 517 804 796 750 162 3.029 2002 422 1.327 1.627 1.399 176 4.951 Jumlah 1.836 3.587 4.277 3.738 539 13.977

Tabel 19 terlihat jumlah terbesar pada golongan umur 5 -14 tahun (30,6 %) karena penyakit ini biasa menyerang anak-anak; sebagian masyarakat masih dapat terinfeksi penyakit ini hingga umur 20 tahun. Dari data di atas terlihat masih banyak penderita di atas 20 tahun, meskipun ada juga sebagian kecil masyarakat yang hidup tanpa pernah terkena penyakit ini. Tabel 20. Jumlah Kasus Campak Rawat Inap di Indonesia, 2000- 2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 319 707 997 577 132 2.732 2001 98 489 491 261 80 1.419 2002 45 151 220 126 39 581 Jumlah 462 1.347 1.708 964 251 4.312

Tabel 20 memperlihatkan penderita campak dengan rawat inap jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dengan yang rawat jalan karena memang penyakit ini tidak begitu berat gejala klinisnya; tetapi pada balita kematian dapat terjadi akibat komplikasi penyakit lain yang terjadi karena replikasi virus atau superinfeksi bakteri, misalnya otitis media, pnemonia, dan ensefalitis.

Tabel 21 menunjukkan jumlah penderita dari puskesmas banyak sekali, ini bisa diterima karena gejala pertamanya tidak berat sehingga sebagai institusi kesehatan terdepan puskesmas lebih banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mencari peng-obatan penyakit ini. Pada penderita di atas 15 tahun dapat terjadi SSPE (subacute sclerosing panencephalitis) beberapa tahun setelah infeksi virus ini ; kejadiannya 1 dari 25.000 orang

yang terinfeksi virus ini. Grafik 5 memperlihatkan pada tahun 2001 tidak ada kematian, sedangkan pada tahun 2000 terdapat 20 kematian di antara 2732 (0,73%) penderita campak dengan rawat inap; pada tahun 2002 terdapat 5 kematian dari 581 kasus (0,86 %), tampaknya penyakit ini tidak berdampak berat terhadap penderita. Tabel 21. Jumlah Kasus Campak di Indonesia dari Puskesmas, 2000-

2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 3.773 12.128 16.015 6.170 973 39.059 2001 1.666 5.293 6.890 2.552 746 17.147 2002 1.568 4.658 5.436 1.754 586 14.002

Jumlah 7.007 22.079 28.341 10.476 2.305 70.208

5. Hepatitis B Penyakit ini dapat dicegah dengan 3 kali imunisasi Hepa-titis B saat bayi. Indonesia merupakan negara pertama yang dipilih oleh The International Task Force on Hepatitis B Immunization untuk mengembangkan model program imuni-sasi hepatitis B yang dimulai dari Pulau Lombok (NTB). Grafik 5. Jumlah kematian penderita campak dengan rawat inap di

Indonesia, 2000- 2002.

Penyakit ini disebabkan infeksi virus Hepatitis B yang

merupakan virus DNA double stranded berukuran 42 nm terdiri dari inti nukleokapsid (HbcAg) dan diliputi oleh lapisan luar berupa lipoprotein yang mengandung antigen permukaan (HbsAg). Penularan dapat terjadi karena kontak dengan cairan sekresi dan ekskresi tubuh misalnya darah, serum, ludah, cairan vagina, dan cairan mani baik secara langsung (transdermal) maupun intravena, intramuskular, dan subkutan. Periode inku-basi biasanya antara 45- 180 hari, rata-rata 60-90 hari.

Tabel 22. Jumlah Kasus Rawat Jalan Hepatitis di Indonesia, 2000- 2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 151 302 908 3.691 2.005 7.057 2001 226 257 885 2.827 1.723 5.918 2002 92 125 449 1.404 629 2.699

Jumlah 469 684 2.242 7.922 4.357 15.674 Tabel 22 terlihat jumlah penderita terutama pada kelom-pok usia 15-44 tahun (50,54 %), keadaan ini cukup mem-prihatinkan karena seharusnya anak-anak tumbuh kembang dengan optimal tetapi sudah mengidap penyakit hepatitis yang sangat mengganggu aktifitasnya.

Tahun

2000 2001 2002

3000

2000

1000

0

: Mati : Kasus

Jum

lah

10

Page 12: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 11

Tabel 23. Jumlah Kasus Hepatitis Rawat Inap di Indonesia, 2000- 2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 48 116 569 3.338 1.527 5.598 2001 25 145 861 2.590 2.188 5.809 2002 8 59 301 901 488 1.757

Jumlah 81 320 1.731 6.829 4.203 13.164 Tabel 23 menunjukkan bahwa penderita terutama pada kelompok 15-44 tahun (51,88 %); kelompok ini merupakan kelompok usia produktif sehingga akan mempengaruhi produk-tifitas nasional bila di kelompok ini banyak terserang penyakit hepatitis. Tabel 24. Jumlah Kasus Hepatitis dari Puskesmas di Indonesia, 2000-

2002.

Umur Tahun < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th

Jumlah

2000 217 1.267 3.096 5.009 3.021 12.610 2001 274 1.172 3.399 4.456 5.726 15.027 2002 217 999 2.438 3.338 1.542 8.534

Jumlah 708 3.438 8933 12.803 10.289 36.171 Grafik 6. Jumlah Kematian Penderita Hepatitis Rawat Inap di Indonesia,

2000-2002

Tabel 24 memperlihatkan jumlah penderita berasal dari puskesmas yang sangat besar dengan kelompok umur ter-banyak juga 15-44 tahun (35,40 %), tampaknya serupa dengan

penderita yang rawat inap, mungkin kelompok inilah yang mendekati kenyataan di masyarakat.

Grafik 6 memperlihatkan jumlah kasus dan kematian penderita hepatitis rawat inap; tahun 2000 5809 kasus dengan 21 kematian (0,36%); tahun 2001 5598 kasus dengan 88 kematian (1,57 %) kemudian terjadi penurunan tajam pada tahun 2002 yaitu 1757 kasus dengan 32 kematian (1,82%). Jika keadaan ini menggambarkan keadaan yang sebenarnya tentu cukup menggembirakan tetapi jika karena tidak adanya laporan padahal sebenarnya ada di masyarakat tentu sistem surveilans yang ada perlu ditingkatkan lagi KESIMPULAN 1) Beberapa penyakit menular di Indonesia yang dapat

dicegah dengan cara pemberian imunisasi yaitu: tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak, dan hepatitis B.

2) Sebagian besar imunisasi tersebut diberikan pada bayi (umur 0-11 bulan) yaitu imunisasi BCG diberikan 1 kali, DPT (3 kali), Polio (4 kali), Campak (1 kali), dan hepatitis B (3 kali).

3) Kasus- kasus penyakit tersebut di atas masih cukup banyak di Indonesia dengan jumlah kematian penderita rawat inap antara 0,36 % hingga 12,5 %.

KEPUSTAKAAN

1. Parish HJ. A History of Immunization. Edinburg, London: E&S

Livingstone Ltd,1965. 2. Subdit Imunisasi, Dit. Epim -Kesma. Dit Jen PPM-PL. Program Imunisasi

di Indonesia. Jakarta 2004. 3. DitJen PPM & PL Departemen Kesehatan RI. Buku Data tahun 2000-

2002. Jakarta 2003. 4. Benenson Abram S. Control of Communicable Disease in Man, 14th ed.

Washington DC: The American Public Health Association. 1985.

Kerusakan dan kehancuran akibat tsunami 26 Desember 2004 di N Aceh D. setara dengan 30 kali lipat kehancuran akibat bom atom PD II yang

dijatuhkan di Hiroshima 6 Agustus 1945 dan Nagasaki 9 Agustus 1945

Tahun

2000 2001 2002

7000

6000

5000

3000

1000

0

: Mati : Kasus

Jum

lah

Page 13: 20955554-cdk-148-Imunisasi

IKHTISAR

Masa Depan

Pengembangan Vaksin Baru

Dyah Widyaningroem Isbagio

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

ABSTRAK

Pada abad 21 vaksin menjadi salah satu faktor penting kesehatan masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Pada 5 sampai 15 tahun mendatang, vaksin baru dan teknologi pemberian vaksin baru akan menjadi dasar pencegahan dan pengobatan penyakit, yang akan mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Prospek pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit serius dengan mengguna-kan vaksin diramalkan merupakan perkembangan yang menggairahkan dalam bidang kesehatan masyarakat.

Tinjauan ini menjelaskan perkembangan terbaru ilmu dasar sebagai penyokong pengembangan vaksin baru dan potensi vaksin untuk pengobatan dan pencegahan sejumlah penyakit infeksi dan non infeksi.

PENDAHULUAN

Vaksin secara potensial dapat mencegah dan mengobati penyakit manusia. Kemajuan baru di bidang vaksin seperti conjugated pneumococcal vaccines untuk orang dewasa, nasal spray vaccines influenza, dan acellular pertussis vaccines untuk orang dewasa, merupakan cara yang efisien untuk meng-hasilkan proteksi imun yang bertahan lama.

Penelitian sedang dilakukan pada vaksin yang banyak digunakan untuk penyakit-penyakit di negara berkembang seperti malaria, hookworm, dengue, enterotoxigenic E. coli, shigella, tuberkulosis.

Vaksin terhadap penyakit non infeksi (seperti kanker, diabetes, dan penyakit Alzheimer) dan ketergantungan nikotin dan kokain masih merupakan pengobatan alternatif.

Vaksin terhadap senjata biologi akan dimungkinkan dengan kemajuan pada vaksin DNA.

Teknologi pemberian vaksin baru akan mempermudah cara pemberian (seperti transkutan, depot, nasal dan pemberian oral) tanpa mengurangi efikasi.

Sejumlah vaksin yang mempunyai potensi untuk di-kembangkan pada abad ke 21dapat dilihat di Tabel 1.(1) PENGEMBANGAN VAKSIN BARU

A. Vaksin baru terhadap penyakit-penyakit infeksi

1. Pengembangan vaksin DNA Satu pendekatan yang sangat diminati ialah merangsang

respon imun protektif yang dikehendaki dengan cara me-nyuntikkan DNA yang direkayasa dari organisme infeksius (enginereed DNA sequences). Jika antigen dapat diidentifikasi, rangkaian DNA yang disandi untuk antigen protein sangat mungkin untuk disisipkan ke dalam pembawa/carrier genom (seperti beberapa poxvirus atau alphavirus). Bila diberikan ke dalam host, organisme ini (karena disisipi DNA) mengalami replikasi terbatas, protein yang dikehendaki diproduksi, dan di dalam host berkembang respon imun terhadap protein tersebut.

Dengan strategi yang sama, naked DNA disuntik langsung ke dalam host untuk memproduksi respon imun (Gambar 1). Naked DNA adalah rangkaian sederhana (simple sequences) dari DNA yang disisipkan ke dalam plasmid bakteri (extra-chromosomal rings of DNA) dan disuntikkan ke dalam host. Hal ini telah terbukti efektif pada animal models, tetapi penyuntikan DNA secara intramuskuler pada manusia gagal menghasilkan respon imun yang kuat, walaupun pemberian DNA secara transdermal atau intradermal lebih dianjurkan.

Uji klinik pemberian secara intradermal microscopic gold beads coated with DNA coding untuk antigen permukaan hepa-titis B menghasilkan tingkat antibodi protektif kepada antigen. Vaksin ini juga dihasilkan dari CD8 cytotoxic lymphocytes.

Walaupun telah sukses pada animal models, per-kembangan di manusia sangat lambat. Sampai sekarang, hanya vaksin DNA terhadap hepatitis B dan malaria yang dapat menimbulkan respon imun yang diperkirakan protektif pada manusia. (Gambar 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 2

1
Page 14: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Tabel 1. Vaksin potensial pada abad 21

Vaksin baru untuk Vaksin terhadap Maternal Neonatus Bayi 2-6 bulan Anak 1-2 tahun Anak 4- 6 tahun Anak 11- 13 tahun Dewasa muda Usia > 50 tahun Wisatawan Negara berkembang

Streptococcus grup B, respiratory syncytial virus Respiratory syncytial virus, hepatitis B Pediatrik kombinasi (Acellular pertussis (DtacP), Haemophilus influenzae type b, hepatitis B, pneumococcal, meningococcal, hepatitis A), otitis (non-typable Haemophilus influenzae, Branhamella catarrhalis), rotavirus (new), meningococcal conjugate . Measles-mumps-rubella-varicella (MMRV), influenza (intranasal) MMRV booster, pediatrik kombinasi booster, Streptococcos mutans (anti-carries, oral), Lyme diseases dan tick-borne encephalitis (endemic area) HIV, human papillomavirus, herpes simplex virus 2, Neisseria gonorrhoeae, cytomegalovirus, parvovirus, Epstein-Barr virus Toksoid difteri-tetanus, acellular pertussis, Helicobacter pylori (anti-ulcer), Chlamydia pneumoniae (anti atherosclerosis) Influenza (subcutaneous dan intranasal), pneumococcus (protein dan polisakarida), herpes zoster, kanker (vaksin profilaktik dan terapetik) Vaksin terapi terhadap diabetes, multiple sclerosis, meningococcal conjugate Enterotoxigenic Escherechia coli, shigella, malaria, dengue, tuberkulosis

Gambar 1. Prinsip vaksinasi DNA. Suatu gen imunogenik diinsersikan ke

dalam plasmid (A), yang kemudian diinsersikan ke dalam biakan jaringan (B). Sel dipilih untuk ekspresi protein gen dan kemudian dibiakkan. DNA plasmid kemudian diekstraksi dari sel dan dipurifikasi sebelum digunakan pada hospes yang akan diimunisasi (C).

2. Pengembangan vaksin terapi Secara tradisional vaksinasi adalah tindakan pencegahan

penyakit infeksi dengan pemberian antigen imunogenik yang berasal dari permukaan agen yang infeksius, agar menghasilkan imunitas terhadap replikasi dan terjadinya infeksi oleh organisme asing.

Vaksin terapi dapat membatasi atau memusnahkan infeksi

atau kondisi infeksi yang telah ada. Perkembangan vaksin terapi tergantung pada kemampuan

vaksin DNA dalam merangsang respon imun humoral dan seluler (cell mediated) melalui inokulasi plasmid DNA yang mengandung sekuen untuk transcription dan translation, menghasilkan peptida atau protein imunogenik secara in vivo.

Usaha sedang dilakukan untuk pengembangan vaksin terapetik terhadap HIV yang akan merangsang limfosit T spesifik terhadap virus HIV, dengan tujuan mengaktifkan sel T untuk merusak sel yang terinfeksi secara laten.

Upaya lainnya termasuk pengembangan vaksin terapetik terhadap Helicobacter pylori, kandidiasis mukosal, virus herpes, dan human papillomavirus. Vaksinasi DNA untuk virus hepatitis B telah menunjukkan harapan yang besar. Pem-berian sekuen viral DNA (viral DNA sequences) dapat merang-sang kekebalan humoral yang bertahan lama dan cell mediated immunity pada mencit yang diinfeksi dengan virus hepatitis B. Pada mencit transgenik, setidaknya terjadi penurunan atau clearance antigen permukaan hepatitis B, dengan bukti induksi antibodi dan proliferasi sel-sel T CD4. Kemampuan sistem imun untuk mengeliminasi agen infeksi setelah infeksi atau timbul sakit secara nyata memperbaiki kesehatan manusia.

Contoh penting lain pengembangan vaksin terapetik termasuk pengembangan vaksin kanker tertentu, yang akan didiskusikan kemudian.

3. Kemajuan vaksin mutakhir

Angka kesakitan dan kematian akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae dan virus influenza di seluruh dunia perlu diperhatikan. Di beberapa negara barat, vaksin konjugasi S. pneumoniae diakui dapat mengurangi jumlah kasus penyakit S. pneumoniae yang invasif (bakteremia, meningitis, dan sepsis) pada bayi dan anak kecil.

Vaksin influensa hidup yang dilemahkan (live attenuated influenza virus vaccine) telah dilisensi di Amerika Serikat. Vaksin ini diberikan secara semprot (intranasal spray), dapat merangsang imunitas sistemik dan mukosal, sehingga me-ngurangi penggunaan suntikan parenteral.

3a. Streptococcus pneumoniae

Vaksin polisakarida multivalen S. pneumoniae telah ada di AS sejak 1977, tetapi produksinya kurang bagus atau respon imun pada anak-anak tidak konsisten, terutama pada anak <2 tahun. Vaksin polisakarida ini merangsang antibodi terutama melalui mekanisme sel T independen, tidak bertahan lama dan tidak dapat merangsang memori respon imun. Untuk alasan tersebut, saat ini telah dikembangkan suatu protein konjugasi pembawa antigen polisakarida dari S. pneumoniae, yang menimbulkan respon imun sel T dependen, sehingga bayi dan anak kecil lebih responsif terhadap vaksin.

AS telah melisensi vaksin konjugasi polisakarida heptavalent S. pneumoniae mengandung tujuh macam serotipe (4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F) yang umumnya paling berhubungan dengan invasi penyakit pada bayi dan anak kecil. Vaksin baru ini juga diperkirakan berguna untuk mengurangi risiko karier nasofaring tujuh macam serotype S. pneumoniae tadi(1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

13
Page 15: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Tetapi vaksin konjugasi ini agaknya terlalu mahal untuk diproduksi; untuk mengatasinya sedang diusahakan meng identifikasi antigen utama. Antigen utama ini jika telah diisolasi dapat diproduksi dalam jumlah besar dengan teknologi rekombinan dan tidak membutuhkan konjugasi. Keuntungan vaksin ini ialah biaya produksi rendah, dapat diproduksi dalam jumlah besar dan tidak ada spesifisitas serotipe.(2,3) 3b. Virus influenza

Saat ini hanya vaksin virus influenza inaktif parenteral yang dibuat di embrio ayam yang dilisensi di AS. Karena perubahan virus influenza yang beredar setiap tahun (antigenic drift), maka proteksi pada kelompok risiko tinggi memerlukan vaksinasi setiap tahun (1,4).

Virus memiliki dua tipe varian antigenik yaitu drift dan shift. Antigenic drift dapat ditemukan pada kedua virus A dan B, walaupun pada virus B kejadiannya berlangsung kurang cepat. Drift menyebabkan variasi genetik minor yang disebab-kan oleh mutasi titik gene haemaglutinin dan neuraminidase. Berbagai strain drifted mempunyai subtipe H dan N yang sama, tetapi berbeda pada permukaan glikoproteinnya, hal ini menyebabkan manusia dapat terinfeksi lebih dari sekali. Epidemi flu tahunan terjadi karena lemahnya proteksi terhadap berbagai strain drifted. Akibat adanya antigenic drift ini maka komponen vaksin influensa perlu diperbaiki secara berkala(4).

Live attenuated influenza vaccine sedang diusulkan untuk disetujui oleh FDA AS, mengandung recombinant cold-adapted strain of influenza A and B intranasal spray. Vaksin ini telah diuji coba pada anak kecil dan orangtua. Pada anak seronegatif usia lebih dari 15 bulan, respon antibodi terhadap komponen influenza A dan B setelah pemberian vaksin dosis tunggal efikasinya mencapai 93%. Penggunaan live attenuated trivalent vaccine pada dewasa secara signifikan mengurangi kejadian sakit, kunjungan ke tenaga kesehatan, dan kehilangan hari kerja(5,6). B. Vaksin baru terhadap penyakit non infeksi

Bila targetnya tepat, maka respon imun dapat digunakan untuk mengeliminasi sel dengan tingkah laku menyimpang (displasia) atau fungsi genom yang menyimpang (malignancy) atau untuk mengurangi jumlah sel inflamasi pada organ spesifik (seperti pada diabetes). Hal ini meningkatkan kemung-kinan pengembangan vaksin terhadap penyakit yang tidak ber-hubungan dengan agen infeksi. Dua dari sekian banyak area yang menjanjikan adalah vaksin terhadap kanker dan penyakit autoimun. 1. Kanker

Identifikasi antigen tumor spesifik (tumour associated antigen) yang hanya ada pada sel kanker, seperti yang ditemukan pada leukemia, kanker mammae, melanoma, kanker prostat, dan kanker kolon, merupakan target imun untuk me-rancang vaksin imunogenik. Misalnya, ekspresi protein GP1-B7-1 yang dipindahkan ke dalam membran sel tumor timoma murine dapat mencegah perkembangan tumor ini pada mencit. Pada manusia, merangsang respon sel T menggunakan isolat membran yang diambil dari jaringan tumor manusia yang mengekspresi MHC (major histocompatibility complex) class II

molecule menunjukkan kemungkinan dapat dibentuknya respon imun spesifik target yang dapat mengeleminasi sel tumor.

Upaya lain adalah vaksin terapetik terhadap melanoma, kanker kolorektal, leukemia, dan kanker lainnya. Telah diteliti kemampuan vaksin DNA untuk membawa sekuen nukleotida yang tepat dan spesifik menyerupai gene target, seperti gene ALVAC gp100 untuk melanoma dan gene ALVAC CEA-B7.1 untuk kanker kolorektal dan fragmen protein spesifik seperti peptide HER2/Neu pada sel-sel kanker mammae, merupakan alat yang potensial untuk merangsang respon imun. 2. Penyakit autoimun

Penyakit yang berhubungan dengan aktivasi imun pato-logik, seperti penyakit autoimun dan alergi, mungkin dapat diobati atau dicegah dengan vaksin. Upaya pengembangan vaksin dilakukan terhadap rematoid arthritis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, alergi makanan, dan terutama diabetes tipe I karena tingginya angka kesakitan dan kematian.

Pada diabetes tipe I, terjadi infiltrasi limfosit secara selektif ke sel beta pankreas yang mengekskresi insulin. Salah satu strategi pengembangan vaksin adalah mereduksi infiltrasi limfosit yang patologik dengan cara toleransi; yaitu pemberian sejumlah kecil antigen yang sama dengan target respon imun yang menyimpang dari kebiasaan, sehingga jika tidak ada stimulus sitokin, aktifitas sel T tertahan dan inflamasi ber-kurang.

Pada penyakit Alzheimer, protein amilod beta diduga ber-tanggung jawab untuk terjadinya neurodegenerative plaque yang ditemui pada gangguan ini. Pada murine pemberian vaksin dapat mengurangi dan mencegah pembentukan plaque, disertai perbaikan fungsi kognitif.

Contoh lain pengembangan vaksin yang potensial adalah untuk mencegah ketergantungan kokain dan nikotin. Dengan penggunaan imunofarmakoterapi, antibodi dapat dirancang untuk menetralisasi obat pada target reseptor otak. Upaya juga sedang dibuat untuk mengembangkan vaksin terhadap arterios-klerosis dan mencegah konsepsi.

C. Vaksin terhadap senjata biologis pembunuh massal

Senjata biologis pembunuh massal digunakan teroris untuk menimbulkan kerugian pada sejumlah besar orang, dengan biaya dan teknologi semurah mungkin, tetapi menimbulkan kepanikan massa.

Karena kemampuan senjata biologis untuk menginfeksi dan membunuh sejumlah besar orang dengan risiko transmisi dari orang ke orang, maka praktis hanya vaksin yang dapat mencegah hal ini.

Terdapat sejumlah vaksin yang telah dilisensi terhadap smallpox, plague, anthrax dan lain-lainnya, tetapi hanya se-jumlah kecil vaksin anthrax diproduksi di AS untuk kelompok risiko spesifik. Telah dikembangkan vaksin generasi kedua terhadap anthrax, smallpox dan plague, sedangkan vaksin ter-hadap agen lain bioterorisme seperti virus haemorhagic fever dan lainnya masih dalam pengembangan.

Walaupun demikian, terdapat kendala dalam memproduksi vaksin seperti ini untuk digunakan di masyarakat, antara lain finansial, kesulitan uji klinik efikasi, tidak adanya rasio risiko

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 4

1
Page 16: 20955554-cdk-148-Imunisasi

dan manfaat di tingkat kesehatan masyarakat, dan keengganan pemerintah menghadapi realitas bioterorisme. D. Teknologi baru pemberian vaksin

Hampir semua imunisasi yang direkomendasikan, me-merlukan pemberian secara parenteral, dan banyak yang memerlukan rangkaian suntikan. Agar efektif, vaksin untuk beberapa penyakit dibutuhkan untuk mempertinggi imunitas mukosal seperti halnya imunitas sistemik. Untuk alasan ter-sebut, dipikirkan metode baru pemberian vaksin, sebagai alternatif suntikan.

Penggunaan vaksin secara topikal (mis transcutaneous), makanan tanaman transgenik (transgenic edible plants) yang mengandung gen untuk antigen vaksin manusia, dan sistem pemberian depo yang terkontrol (controlled delivery depot system) dengan vaccine antigens encapsulated in biodegradable polymers sedang dalam penelitian. Cara pemberian baru ini, dapat mengurangi suntikan berulang, keperluan melatih pekerja kesehatan, dan mungkin mengurangi keperluan rantai dingin yang ketat dalam penyimpanan vaksin.

1. Imunisasi transcutaneous

Penelitian pada hewan menunjukkan adanya produksi antibodi sistemik maupun mukosal setelah pemberian vaksin topikal. Agen seperti toksin kolera dan enterotoksin Escherichia coli tak tahan panas (heat labile enterotoxin of E. coli), untuk kombinasi dengan antigen vaksin seperti tetanus toksoid yang bertindak sebagai ajuvan akan memproduksi antibodi protektif setelah pemberian pada kulit hewan.

Mutan non toksik (non-toxic mutants) atau subunit toksin kolera dan enterotoksin E. coli diperlukan pada setiap peng-gunaan di permukaan mukosa manusia. Berbagai ajuvan lain selain toksin kolera dan enterotoksin E. coli (termasuk bacterial ADP-ribosylating exotoxins, interleukin 1 beta fragment, interleukin 2, dan tumour necrosis factor alpha) juga telah diperlihatkan memproduksi respon imun setelah aplikasi topikal (1).

2. Pemberian vaksin melalui makanan tanaman

transgenik (transgenic edible plants). Judul di atas sepertinya khayalan ilmiah (science fiction),

akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Sebagai ganti nyeri suntikan maka beberapa vaksin mungkin pada suatu saat dapat diberikan bersama dengan makanan yang kita telan. Riset di Amerika Serikat sedang berlangsung menggunakan kentang yang mendapat rekayasa genetika sehingga mengandung vaksin makanan.

Sebagai pengganti menanam materi genetik dari virus dan bakteri pada ragi atau sel lainnya, maka gen kunci dimasukkan ke dalam tanaman makanan yang kemudian akan berkembang-biak, membuat vaksin dengan biaya murah. Agaknya hal ini dimungkinkan minimal pada hewan. Tikus telah berhasil diimunisasi terhadap kolera/enterotoxic E. coli setelah hewan ini makan kentang mengandung calon vaksin. Selain itu kentang yang mengandung vaksin hepatitis B memberikan efek yang disebut para ilmuwan “priming”, yaitu meningkatkan respons imun pada tikus yang respons imunnya rendah pada imunisasi dengan vaksin hepatitis B komersial.

Saat ini peneliti di Boyce Thompson Institute for Plan Research di New York sedang mencoba pengembangan kentang yang mengandung kandidat vaksin kolera dan vaksin hepatitis B. Selanjutnya para peneliti merencanakan rekayasa genetika atau vaksin lainnya dalam jumlah tak terbatas dengan biaya murah. Tanaman lain yang dijadikan target pembawa vaksin ialah kedelai, yang dapat diproses menjadi susu kedelai yang dapat diminum oleh anak.

Selanjutnya dalam beberapa tahun ke depan para peneliti berharap dapat mengembangkan prototipe vaksin makanan terhadap hepatitis B yang dapat diproduksi dan disebarluaskan di negara berkembang dengan biaya hanya 10 sen dollar per dosis (jauh lebih murah dari harga vaksin hepatitis B yang berasal dari plasma)(2).

Baru-baru ini antigen vaksin lain seperti tetanus dan difteria toksoid pada pisang merupakan penelitian masa depan.(1) Walaupun demikian kelompok ilmuwan lainnya tetap skeptis terhadap pengembangan vaksin hepatitis B oral, oleh karena antigen permukaan virus hepatitis B (HbsAg) dengan cepat dirusak oleh saluran cerna.

Pengembangan tanaman yang mampu mengekspresikan antigen vaksin adalah suatu strategi baru (Gambar 2)(1).

Gambar 2. Prinsip pembuatan vaksin dari tanaman edible. Gen patogen

dari manusia diinsersikan ke bakteri yang akan menginfeksi tanaman (A). Bakteri kemudian menginfeksi biakan segmen tanaman makanan (B), yang akan tumbuh menjadi tanaman utuh yang mengandung gen patogen manusia(C). Bila dimakan akan merangsang respons imunologis.

Kelompok lain mempermasalahkan peraturan produksi

tanaman mengandung vaksin. Apakah dianggap tanaman atau produk biologik? Kelompok lain mempertanyakan apakah seseorang dapat overdosis vaksin. Apakah cara ini memung-kinkan adanya sistem vaksinasi yang berbeda untuk negara maju dan untuk negara berkembang? Akhirnya pertanyaan pokok yang harus dikaji ialah : Apakah masyarakat dapat menerima hal ini?(2)

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

15
Page 17: 20955554-cdk-148-Imunisasi

3. Sistem pemberian depo terkontrol Penggunaan pemberian terkontrol antigen vaksin, atau

teknologi depo vaksin akan mengurangi jumlah penyuntikan parenteral, tetapi secara potensial menyerupai infeksi alam. Sejumlah antigen encapsulated in microspheres composed of biodegradable polymers such as poly (lactic/glycolic) acid (PLGA), yang dapat ditujukan ke berbagai macam sel pada sistem imun atau dapat dibentuk depo pada tempat suntikan, memungkinkan pelepasan lambat antigen sepanjang waktu. Profil pelepasan antigen vaksin tergantung dari ukuran partikel, dan kombinasi besar kecil mikrosfer yang dibuat mirip profil konsentrasi antigen pada imunisasi konvensional, yang dapat bertindak sebagai kombinasi injeksi primer dan booster. Studi terbaru pada hewan ditemukan bahwa toxoid tetanus encapsulated atau Haemophilus influenza type b polisakarida menghasilkan kadar antibodi tinggi yang menetap untuk beberapa bulan(1). KESIMPULAN

Masa depan vaksinologi memberikan harapan besar dalam pengendalian penyakit. Vaksin dapat diberikan secara oral, semprot hidung, atau transkutan oleh awam dengan pelatihan minimal dan dengan cara yang tidak memerlukan peralatan mahal. Walaupun terdapat perkembangan cepat dalam pe-ngembangan vaksin baru; ada keprihatinan tentang keamanan vaksin dan meningkatnya sentimen anti vaksin akan mem-pengaruhi cakupan imunisasi, kemauan pabrik untuk mengem-bangkan vaksin baru, dan kemauan individu dan tenaga kesehatan untuk menggunakannya.

Kemajuan vaksin dan teknologi vaksin membutuhkan usaha edukasi masyarakat yang lebih kuat. Hal ini terutama diperlukan untuk vaksin DNA, vaksin kombinasi, vaksin vektor, dan vaksin yang diberikan dengan cara depo parenteral. Selanjutnya potensi vaksin spesifik berdasarkan genotip individu (vaksin terhadap keganasan spesifik pada orang tertentu) juga akan meningkat perhatian kita.

Akhirnya, prospek pencegahan dan pengobatan pada ber-bagai penyakit serius dengan menggunakan vaksin diramalkan merupakan era yang menggairahkan dalam bidang kesehatan masyarakat dan vaksinologi.

KEPUSTAKAAN

1. Poland GA, Murray D, Guerrero RB. New Vaccine Development. BMJ 2002; 324:1315-9

2. State of the World’s Vaccines and Immunization. Ch. 4 : Key vaccine under development. Geneva:WHO,1996; pp.101-112

3. Mulholland K. Pneumococcal vaccines for developing countries. In : Trend of Vaccines in Developing Country and Its Implication on Regulation. One day Seminar on the Occasion of 112th Bio Farma Anniversary, Jakarta 2002 : 1-6

4. Cheung M, Liberman. Influenza – Update on Strategies for Prevention. J.Paediatr. Obstetr. Gynaecol. 2003; 29:15-23.

5. Belshe RB, Mendelman PM, Reanor J, King J, Gruber WC, Piedra P et al. The efficacy of live attenuated, cold-adapted, trivalent, intanasal influenza virus vaccine in children. N Engl J Med 1998; 338:1405-12.

6. Nichol KL, Mendelman PM, Mallon KP, Jackson LA, Gorse GJ, Belshe RB et al. Effectiveness of live, attenuated intranasal virus vaccine in healthy, working adults : a randomized controlled trial. JAMA 1999; 282: 137-144.

Thank you, Pak!

Thank back many - many, Menir......

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

16
Page 18: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Serosurvei Influenza pada Pekerja, Penjual dan Penjamah Produk Ayam

di 8 Propinsi KLB Flu Burung yang Menyerang Ayam

Ainur Rofiq, Agus Suwandono, Eko Rahardjo, Rudi Hendro P

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kese an, Departemen Kesehatan RI, Jakarta hat

ABSTRAK

Flu burung di Indonesia diperkirakan mulai muncul akhir Agustus 2003. Pada 25 Januari 2004, Departemen Pertanian secara resmi menyatakan bahwa flu burung telah menyerang ayam di Indonesia. Beberapa negara melaporkan, virus flu burung dapat mengalami loncat inang dan menginfeksi manusia, dan dapat berakibat fatal. Telah dilakukan suatu kajian tentang ada tidaknya penularan virus A(H5N1) kepada manusia di Indonesia dengan melakukan serosurvei infeksi A(H5N1) pada pekerja, penjual dan penjamah produk ayam di daerah KLB flu burung.

Tujuan serosurvei adalah untuk memastikan apakah virus influenza A(H5N1) telah menginfeksi manusia di Indonesia, dengan menentukan prevalensi antibodi influenza A(H5N1) pada pekerja, penjual, penjamah produk ayam dan orang-orang lain yang kontak langsung dengan ayam di peternakan di daerah KLB flu burung pada ayam di 8 propinsi di Indonesia yang mendapat serangan influenza pada burung. Propinsi-propinsi tersebut adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan.

Telah dilakukan serosurvei A(H5N1) terhadap 1046 orang yang terdiri dari 829 responden dengan kontak (+) dan 217 responden kontrol di 8 provinsi tersebut di atas. Dengan uji HI (haemaglutinase inhibition) semua (baik kontak + maupun kontrol) menunjukkan hasil negatif untuk H5N1. Dilakukan pengujian dengan RT-PCR pada 43 spesimen yang dipilih secara acak, semuanya menunjukkan hasil negatif untuk H5N1.

Hasil ini menunjukkan bahwa di Indonesia pekerja, penjual dan penjamah produk ayam sampai saat ini masih belum terbukti terinfeksi virus A(H5N1). Direkomendasikan perlunya tindak lanjut survei epidemiologi dan serosurvei secara berkala terhadap responden tersebut. Kata kunci : Influenza; KLB Flu Burung; Pekerja Penjual dan Penjamah produk ayam

LATAR BELAKANG

Pada semester pertama tahun 2003 sampai pada awal tahun 2004, Influenza A(H5N1) pada burung yang kemudian dikenal sebagai flu burung (Avian Influenza) telah menyebab-kan wabah pada unggas bahkan menyerang manusia di berbagai negara di dunia. Diduga penyebaran ke wilayah-wilayah yang luas ini disebabkan oleh migrasi burung-burung terinfeksi influenza A(H5N1). Penularan terjadi karena burung-burung terinfeksi singgah di daerah peternakan ayam: Hongkong, Italia, Belanda, Vietnam, Kamboja, Thailand, Indonesia, dan beberapa negara lainnya. Flu burung di Indonesia diperkirakan mulai muncul akhir Agustus 2003, dan

pada 25 Januari 2004 Departemen Pertanian secara resmi menyatakan bahwa flu burung telah menyerang ayam di Indonesia, dengan kematian sebanyak kurang lebih 4,5 juta ekor. Akibat flu burung ini industri ayam terancam rug triliunan rupiah. Beberapa negara (Vietnam, Thailand, Hong Kong) melaporkan virus flu burung dapat mengalami loncat inang dan menginfeksi manusia, dan dapat berakibat fatal.

Dampak virus influenza A(H5N1) bagi kesehatan masya-rakat Indonesia belum diketahui. Sampai awal 2004 di Indonesia belum ada laporan penularan flu burung ke manusia. Untuk itu diperlukan suatu kajian sesegera mungkin mengenai kemungkinan penularan virus A(H5N1) kepada manusia di

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 17

Page 19: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Indonesia dengan melakukan serosurvei infeksi A(H5N1) pada pekerja, penjual dan penjamah produk ayam di daerah KLB flu burung. Hal ini penting agar pemerintah (Depkes dan Pemda) segera dapat mengambil kebijakan penanggulangannya. Dengan demikian kerugian yang lebih besar terhadap kesehatan masyarakat dapat segera dicegah.

TUJUAN • Tujuan umum

Memastikan apakah virus influenza A(H5N1) telah meng-infeksi manusia di Indonesia. • Tujuan khusus 1. Memastikan ada tidaknya penularan influenza A(H5N1)

pada manusia di Indonesia. 2. Menentukan prevalensi antibodi influenza A(H5N1) pada

pekerja, penjual, penjamah produk ayam dan orang-orang lain yang kontak langsung dengan ayam di peternakan di daerah KLB flu burung pada ayam di Propinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan.

3. Menentukan prevalensi antibodi influenza A (H5N1) pada kelompok kontrol di daerah yang sama.

METODE • Desain Serosurvei ini dilaksanakan secara cross-sectional. • Tempat dan waktu Serosurvei dilakukan di daerah KLB flu burung pada ayam di 8 propinsi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan yang dilakukan dalam 2 bulan efektif yaitu Februari dan Maret 2004. • Populasi dan Sampel

Populasi adalah masyarakat yang terkena kontak dengan ayam yang terserang flu burung di propinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan.

Sampel berasal dari pekerja, penjual, dan penjamah produk ayam dan orang-orang lain yang kontak langsung dengan ayam di peternakan di daerah KLB flu burung pada ayam di propinsi Lampung, Banten Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali dan Kalimantan Selatan. Kriteria KLB flu burung pada ayam diambil berdasarkan konsultasi dengan Dinas Peternakan setempat. Diambil lokasi peternakan yang dalam 1 bulan pada saat pengambilan sampel terjadi KLB flu burung pada ayam ternaknya dan sekitarnya.

Unit sampel adalah individu yaitu para pekerja, penjual, dan penjamah produk ayam dan orang-orang lain (sopir, kernet dan tukang angkut yang mengambil langsung dagangan) yang kontak langsung dengan ayam di peternakan di daerah KLB flu burung pada ayam di Prop. Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Bali.

Diambil 100 sampel untuk tiap-tiap kelompok terpajan di suatu propinsi. Di samping itu, dari tiap propinsi diambil 25% dari jumlah sampel sebagai kelompok kontrol (non kontak). Kelompok non kontak adalah mereka yang tidak termasuk dalam kriteria sampel, tetapi mempunyai gejala influenza.

Total sampel untuk 8 propinsi tersebut adalah minimal seba yak 800 sampel dan 200 kontrol (non kontak). n

• Variabel dan cara pengumpulan data Variabel data responden diambil dengan cara wawancara

langsung terhadap responden dengan bantuan kuesioner, meliputi: nama, umur, alamat, jenis kelamin, pekerjaan spesifik, lama bekerja, pendidikan, riwayat sakit (demam, batuk dan sesak), mulai sakit, lama sakit, tempat berobat bila sakit, hasil pengobatan, riwayat pajanan, riwayat KLB flu burung pada ayam, riwayat kontak dengan keluarga dan lingkungan dan riwayat kematian orang yang diduga terinfeksi flu burung. Data laboratorium dikumpulkan dari spesimen swab hidung dan darah di lapangan yang pemeriksaannya dilakukan di laboratorium Puslitbang Pemberantasan Penyakit berkoordinasi dengan FKH IPB Bogor dan Namru-2 Jakarta.

HASIL DAN DISKUSI Tim serosurvei beranggotakan petugas Puslitbang

Pemberantasan Penyakit Badan Litbangkes dan Subdit Zoonosis Ditjen PPMPL melakukan investigasi di 8 propinsi. Jumlah kabupaten/kota yang diinvestigasi adalah 27, antara 2-4 kabupaten/kota dalam satu propinsi.

Jumlah seluruh responden sebanyak 1046 orang terdiri dari 829 responden dengan kontak (+) dan 217 responden non kontak ; 63.5 % laki-laki (Tabel 1).

Responden yang berpartisipasi mempunyai rentang umur antara 3 tahun 2 bulan sampai 75 tahun. Responden 3 tahun 2 bulan diambil berdasar kecurigaan dan berita yang tersebar luas di media massa bahwa responden tersebut dicurigai terinfeksi flu burung. Responden kelompok umur 21-25 tahun merupakan responden terbanyak (426 orang). Tabel 1. Karakteristik responden di 8 propinsi.

Variabel Jumlah Prosentase (%)

Provinsi (N = 1046) Bali 130 12.4 Banten 125 12.0 DI Yogyakarta 125 12.0 Jawa Barat 125 12.0 Jawa Tengah 125 12.0 Jawa Timur 128 12.2 Kalimantan Selatan 152 14.5 Lampung 136 13.0

Kriteria responden (N = 1046) Kontak (+) 829 79.3 Non kontak 217 20.7

Jenis Kelamin (N = 1046)

Laki-laki 664 63.5 Perempuan 382 36.5

Terdapat 829 responden yang pekerjaannya berhubungan dengan peternakan ayam; 6 orang penyembelih ayam, 662 orang pekerja peternakan, 80 orang penjamah produk ayam, 81 orang selain menyembelih juga sebagai pekerja peternakan, dan 4 orang sisanya adalah anak-anak yang tinggal di peternakan ( Tabel 2 ).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 18

Page 20: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Gambar 1. Karakteristik umur responden Tabel 2. Pekerjaan utama responden.

Jumlah Prosentase (%)

Responden (N = 1046) Kontak (+): 829 79.3 Penyembelih 6 0.7 Pekerja peternakan 662 79.9 Penjamah produk 80 9.6 Penyembelih+pekerja 77 9.3 Lain-lain 4 0.5 Non kontak 217 20.7

Sejumlah 217 responden yang pekerjaannya tidak

berhubungan dengan peternakan ayam (bengkel, pedagang rokok, pedagang kelontong dll) merupakan non kontak. Dari 1046 responden, tidak seorangpun yang pekerjaannya berhubungan (kontak) dengan babi atau peternakan babi. Tabel 3. Riwayat penyakit responden sesuai gejala influenza/ ISPA

Variabel

Riwayat sakit seperti

Influenza

Masih sakit seperti

Influenza

Propinsi (N = 1046) Bali 25 8 Banten 33 6 DI Yogyakarta 16 0 Jawa Barat 9 8 Jawa Tengah 20 8 Jawa Timur 2 2 Kalimantan Selatan 29 0 Lampung 21 11 Jumlah 155 29

Sejumlah 155 dari 1046 responden pernah mengalami sakit seperti gejala influenza pada 1 bulan terakhir; 43 di antaranya masih sakit saat dikunjungi (Tabel 3), 1 (satu) responden pernah dirawat di RS dengan dugaan flu burung (MED). Tidak ada responden non kontak yang pernah mengalami sakit seperti gejala influenza pada 1 bulan terakhir. Dari 155 responden yang pernah sakit, hanya 52 orang (33.5%) yang berobat ke fasilitas kesehatan.

Berdasarkan keluhan 29 responden yang masih sakit, 27.6% responden mengeluh masih demam, 65.5 % mengeluh masih batuk, 10.3 % mengeluh nyeri otot, 41.4 % merasa masih pilek, dan 10.3 % mengeluh sesak napas.

Tabel 4. Proporsi keluhan responden masih sakit sesuai gejala influenza/ ISPA .

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

1-10 11-15

16-20

21-25

26-30

31-35

36-40

41-45

46-50

51-55

56-60

61-65

66-75

Kontak

Non Kontak

Keluhan Jumlah % Demam 8 27.6 Batuk 19 65.5 Nyeri Otot 3 10.3 Sesak napas 3 10.3 Pilek 12 41.4

Sejumlah 37 dari 1046 responden menyatakan ada riwayat gejala ISPA (gejala demam dan batuk dengan salah satu gejala nyeri otot, sesak napas dan pilek) di keluarga atau lingkungan mereka. Dari 37 yang sakit, 40.5%-nya adalah anak-anak. Semua responden (1046) menyatakan bahwa di sekitar mereka tidak ada yang meninggal karena gejala ispa (demam dan batuk dengan salah satu gejala nyeri otot, sesak napas dan pilek). Dari 1046 responden, semua diambil darah venanya sebanyak 3 ml, sedangkan yang menyatakan masih atau sedang sakit seperti gejala influenza (43 responden) juga diambil usap hidungnya. Pemeriksaan HI untuk A H5N1 dilakukan pada seluruh spesimen. Uji RT-PCR untuk A

Tabel 5. Riwayat kesakitan dan kematian akibat ISPA.

Jumlah % Riwayat

Anak Dws Anak Dws

Riwayat ISPA di keluarga dan lingkungan

22

15

40.5

59.5

Riwaya kematian karena ISPA di keluarga dan lingkungan

0 0 0 0

H5N1 hanya dilakukan pada 43 spesimen dari responden yang menyatakan masih atau sedang sakit seperti gejala influenza. Spesimen dikirim dan diproses di laboratorium Puslitbang Pemberantasan Penyakit, Uji hasil laboratorium dilakukan bekerjasama dengan FKH IPB, NAMRU-2 dan CDC Atlanta. Tabel 6. Hasil pemeriksaan laboratorium untuk A H5N1 .

Uji HI

Uji RT- PCR (diambil dari kasus

dg gejala flu)

Propinsi

Kontak Non kntk Hasil Kasus Hasil

Bali 102 28 130 (-) 8 8 (-) Banten 100 25 125 (-) 6 6 (-) Yogyakarta 100 25 125 (-) 0 Jawa Barat 100 25 125 (-) 8 8 (-) Jawa Tengah 100 25 125 (-) 8 8 (-) Jawa Timur 104 24 128 (-) 2 2 (-) Kalimantan Selatan

123 29 152 (-) 0

Lampung 100 36 136 (-) 11 11 (-) Jumlah 829 217 1046 (-) 43 43 (-)

Uji HI (haemaglutinase inhibition) semuanya (1046) menunjukkan hasil negatif untuk H5N1. Dari 43 spesimen yang diuji dengan RT-PCR, semuanya menunjukkan hasil negatif untuk H5N1.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 19

Page 21: 20955554-cdk-148-Imunisasi

WHO (2004) menginformasikan, A (H5N1) yang ada di Indonesia tidak sama dengan virus yang ada di Vietnam dan Thailand. Virus A (H5N1) di Indonesia seluruhnya mempunyai genotipe Z. Perbedaan genotipe ini yang memberikan alasan mengapa virulensi virus di Indonesia sangat rendah (kasus infeksi 0); tetapi pernyataan ini segera dikoreksi. WHO menyatakan bahwa virus A (H5N1) yang telah banyak membinasakan jutaan unggas di Indonesia berpotensi wabah mematikan.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan dengan RT-PCR tidak hanya dilakukan untuk A (H1N1), tetapi juga untuk pemeriksaan human influenza yang lain, yaitu A (H5N1) A (H3N2) dan B. Dari pemeriksaan lanjutan terhadap human influenza terdapat 2 responden positif terinfeksi A (H3N2). KESIMPULAN

Telah dilakukan serosurvei terhadap H5N1 di 8 propinsi - yang baru mengalami KLB flu burung, yaitu Prop Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan.

Sebanyak 1046 responden diwawancarai berkaitan dengan gejala dan tanda flu burung dan diambil spesimen darah venanya untuk dilakukan pemeriksaan HI terhadap A H5N1. 43 responden yang menyatakan masih atau sedang sakit seperti gejala influenza diambil usap hidungnya dan dilakukan uji RT-PCR untuk A H5N1. Hasil uji 1046 spesimen dengan HI, semuanya menunjukkan hasil negatif untuk H5N1. Hasil uji 43 spesimen dengan RT-PCR, semuanya menunjukkan hasil negatif untuk H5N1. REKOMENDASI

Wabah flu burung di Indonesia belum selesai secara tuntas. Banyak masalah sosial yang menyebabkan kejadian ini bisa menjadi bom waktu. Untuk itu perlu kewaspadaan terus-menerus agar kejadian flu burung sekecil apapun dapat segera terpantau untuk segera diambil tindakan pencegahan. New emerging diseases lain bisa menyusul; untuk itu diperlukan tim yang tetap, terpadu dan solid guna mengantisipasi KLB selanjutnya.

Dukungan politis sangat penting di samping kesiapan sumber dana dan logistik yang memadai untuk penanggulangan KLB selanjutnya.

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih pertama kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang

Maha Esa karena akhirnya tim investigasi KLB avian flu di Indonesia telah melaksanakan tugas dengan sukses dan kendala-kendala yang ada dapat diatasi dengan baik.

Sukses ini tidak lepas dari peranan dan koordinasi yang baik dan solid dengan beberapa instansi baik secara vertikal maupun horizontal. Untuk itu terima kasih kami ucapkan kepada : 1. Kepala Badan Litbangkes di Jakarta 2. Direktur Ditjen P2M-PL di Jakarta 3. Direktur WHO perwakilan Indonesia di Jakarta 4. Direktur CDC Atlanta 5. Rektor IPB di Bogor 6. Kepala Puslitbang Pemberantasan Penyakit di Jakarta 7. Direktur Direktorat P2B2 Ditjen P2M-PL di Jakarta 8. Direktur Direktorat EPIM Ditjen P2M-PL di Jakarta 9. Direktur US NAMRU-2 di Jakarta 10. Kepala Subdirektorat Zoonosis, Ditjen P2M-PL di jakarta 11. Kepala Subdirektorat Surveilans, Ditjen P2M-PL di Jakarta 12. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Bali, DI Yogyakarta, Lampung, dan Kalimantan Selatan 13. Kepala Sub Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali, DI Yogyakarta, Lampung, dan Kalimantan Selatan.

14. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, IPB di Bogor. 15. Kepala Bagian Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan,

IPB di Bogor 16. Rekan-rekan peneliti dan teknisi.

KEPUSTAKAAN 1. Centers for Disease Control and Prevention. Basic Information About

Avian Infuenzae (Bird Flu), January 29, 2004. http://www.cdc.gov/ flu/avian/facts.htm

2. Nicholson KG et al. Influenza. Lancet 2003;362: 1733. 3. WHO.Avian influenza frequently asked questions. http://www.who.

int/csr/disease/avian_influenza/avian_faqs/en/] 4. WHO.Avian influenza – fact sheet. http://www.who.int/csr/don/2004_

01_15/en/ 5. Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/flu/

avian/index.htm 6. Mandell GL, Bennett JE, Dolin RD. Principles and Practices of

Infectious Diseases. 4th ed. New York: Churchill Livingstone, 1995. p. 1547

7. Mandell GL, Bennett JE, Dolin RD. Principles and Practices of Infectious Diseases 4th ed. New York: Churchill Livingstone, 1995. p. 1553.

8. WHO.Avian influenza frequently asked questions. http://www.who. int/csr/disease/avian_influenza/avian_faqs/en/

Tiap satu tahun benua Australia bergeser ke Utara …….5 cm

Page 22: 20955554-cdk-148-Imunisasi

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Avian Influenza (Flu Burung)

Mardi Santoso, Herman Salim, Hasanudin Alim

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana/ SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja , Jakarta

PENDAHULUAN A. Definisi

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek, ayam, serta beberapa binatang yang lain seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat burung puyuh dan burung onta.(1) Penyakit ini menular dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke manusia. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita influenza. Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia. Penyakit ini terutama menyerang peternak unggas ( penyakit akibat kerja ).(2)

B. Epidemiologi

Penyebaran penyakit flu burung jelas melintasi batas negara; tetapi walau mewabah di benua Asia, penyakit ini merupakan penyakit eksotis (belum pernah ada ) di Indonesia. Penyakit yang menjangkiti pekerja atau orang yang hidup di lingkungan peternakan unggas ini merupakan penyakit mematikan.

Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Hongkong, Belanda, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Pakistan dan Indonesia. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi.

Jalur Pantura-Indonesia, khususnya Kabupaten Indramayu bisa saja termasuk daerah terjangkit virus penyebab penyakit flu burung karena wilayah udaranya selama ini menjadi jalur lalu lintas jutaan burung setiap pergantian musim. Burung dari Australia atau Eropa, dalam perjalanan migrasinya yang menempuh ribuan kilometer, mengambil kepulauan Rakit sebagai tempat peristirahatan atau transit. Pulau Rakit Utara, Gosong dan Rakit Selatan atau Pulau Biawak menjadi tempat persinggahan jutaan ekor burung yang tinggal cukup lama, 2 - 2,5 bulan, bereproduksi, kawin dan banyak yang sampai

menetaskan telurnya.(2)

Pada Januari 2004, di beberapa propinsi di Indonesia terutama Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat dilaporkan kejadian kematian ayam ternak yang luar biasa. Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh virus NewCastle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung / Avian influenza (AI). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%); paling tinggi di propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor).(3) Kehebohan bertambah ketika wabah tersebut menyebabkan sejumlah manusia juga meninggal.

Pada 19 Januari 2004, pejabat WHO mengkonfirmasikan lima warga Vietnam tewas akibat flu burung.(4) Sementara itu di negara Thailand sudah enam orang tewas akibat terserang flu burung, seorang anak berusia 6 tahun dipastikan menjadi orang Thailand pertama yang dikonfirmasi tewas akibat wabah tersebut.

Epidemiologist dari Pusat Pengawasan Penyakit - Dr. Danuta Skowronski, mengatakan bahwa 80% kasus flu burung menyerang anak-anak dan remaja.(5) Tingkat kematian akibat flu burung sangat tinggi. Di Vietnam, WHO menemukan bahwa 8 dari 10 orang yang terinfeksi meninggal, seorang sembuh dan seorang lagi dalam kondisi kritis.(6)

Jika dibandingkan dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) flu burung ini lebih sedikit kasusnya ; hanya dilaporkan 25 kasus di seluruh dunia dan yang meninggal 19 orang (Case Fatality Rate / CFR=76%).(7) Sedangkan pada penyakit SARS dari 8098 kasus yang meninggal hanya 774 orang (CFR = 9,6%).(8)

Penelitian sementara (serosurvei) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Dirjen P2MPLP, Depkes RI pada tanggal 1-3 Februari 2004 di sejumlah wilayah Indonesia (Kabupaten Tangerang - Banten dan Kabupaten Tabanan & Karang Asem - Bali) belum menemukan kasus flu burung pada manusia.

Melihat kenyataan ini seyogyanya masyarakat tidak perlu panik dengan adanya kasus flu burung di Indonesia, tetapi tetap waspada, terutama bagi kelompok yang berisiko karena di negara lain virus ini telah menginfeksi manusia.(2)

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 21

Page 23: 20955554-cdk-148-Imunisasi

PATOFISIOLOGI A. Etiologi

Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe A subtipe H5, H7 dan H9. Virus H9N2 tidak menyebabkan penyakit berbahaya pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus flu burung atau avian influenza ini awalnya hanya ditemukan pada binatang seperti burung, bebek dan ayam. Namun sejak 1997, virus ini mulai “terbang” ke manusia ( pe-nyakit zoonosis ).(1,2) Subtipe virus yang ditemukan pada akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004, baik pada unggas maupun pada pasien di Vietnam dan Thailand, adalah jenis H5N1.(1)

Perlu diketahui bahwa virus influenza pada umumnya, baik pada manusia atau pada unggas, adalah dari kelompok famili Orthomyxoviridae. Ada beberapa tipe virus influenza pada manusia dan binatang yaitu virus influenza tipe A, B dan C. Virus influenza tipe A memiliki dua sifat mudah berubah : antigenic shift dan antigenic drift, dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Pada manusia, virus A dan B dapat menyebabkan wabah flu yang cukup luas. Sementara virus C menyebar secara periodik, ringan, dan tidak menyebabkan wabah. Pada permukaan virus A, ada dua glikoprotein, yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Untuk meng-klasifikasikannya secara rinci, masing-masing tipe tersebut dibagi menjadi subtipe berdasar kelompok hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Klasifikasinya adalah H1 sampai H15 dan N1 sampai N9. Perbedaan H merupakan dasar subtipe. Influenza pada manusia sejauh ini disebabkan pada virus H1N1, H2N2 dan H3N2, serta virus avian H5N1, H9N2, H7N7.(1,2,9,10)

Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Hasil studi menunjukkan bahwa unggas sakit (oleh influenza A H5N1) dapat mengeluar-kan virus dalam jumlah besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C. Di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama. Virus akan mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit atau 56°C selama 3 jam dan dengan detergen, desinfektan misalnya formalin, serta cairan mengandung iodin.(2,9)

Masa Inkubasi : • Pada unggas : 1 minggu • Pada manusia : 1-3 hari , masa infeksi - 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala; pada anak sampai 21 hari. B. Patogenesis

Flu burung bisa menulari manusia bila manusia bersing-gungan langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung. Virus flu burung hidup di saluran pencernaan unggas. Unggas yang terinfeksi dapat pula mengeluarkan virus ini melalui tinja, yang kemudian mengering dan hancur menjadi semacam bubuk. Bubuk inilah yang dihirup oleh manusia atau binatang lainnya.

Menurut WHO, flu burung lebih mudah menular dari unggas ke manusia dibanding dari manusia ke manusia. Belum ada bukti penyebaran dari manusia ke manusia, dan juga belum terbukti penularan pada manusia lewat daging yang di-konsumsi. Satu-satunya cara virus flu burung dapat menyebar

dengan mudah dari manusia ke manusia adalah jika virus flu burung tersebut bermutasi dan bercampur dengan virus flu manusia.(2)

Virus ditularkan melalui saliva dan feses unggas. Penularan pada manusia karena kontak langsung, misalnya karena menyentuh unggas secara langsung, juga dapat terjadi melalui kendaraan yang mengangkut binatang itu, di kandangnya dan alat-alat peternakan ( termasuk melalui pakan ternak ).

Penularan dapat juga terjadi melalui pakaian, termasuk sepatu para peternak yang langsung menangani kasus unggas yang sakit dan pada saat jual beli ayam hidup di pasar serta berbagai mekanisme lain.(1)

Secara umum, ada 3 kemungkinan mekanisme penularan dari unggas ke manusia ( bagan 1 dan 2) :

Bagan 1Unggas liar

Unggas domestik

Babi terinfeksi virus influenza-burung dan virus influenza manusia

Manusia

Menular ke manusia lainnya

Bagan 2Unggas liar

Unggas domestik

Babi terinfeksi virus influenza-burung dan virus influenza manusia

Menular ke manusia lainnya

Bagan 3Unggas liar

Unggas domestik

Manusia terinfeksi virus influenza-burung

Menular ke manusia lainnya Dalam hal penularan dari unggas ke manusia, perlu

ditegaskan bahwa penularan pada dasarnya berasal dari unggas sakit yang masih hidup dan menular. Unggas yang telah dimasak, digoreng dan lain-lain, tidak menularkan flu burung ke orang yang memakannya. Virus flu burung akan mati dengan pemanasan 80°C selama 1 menit.(1)

Kemampuan virus flu burung adalah membangkitkan hampir keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia. Makin banyak virus itu tereplikasi, makin banyak pula produksi sitokin-protein dalam tubuh yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 22

Page 24: 20955554-cdk-148-Imunisasi

memicu peningkatan respons imunitas dan berperan penting dalam peradangan. Sitokin yang membanjiri aliran darah karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan tubuh (efek bunuh diri).(2) Flu Burung banyak menyerang anak-anak di bawah usia 12 tahun. Hampir separuh kasus flu burung pada manusia menimpa anak-anak, karena sistem kekebalan tubuh yang belum begitu kuat.(2)

GAMBARAN KLINIS A. Tanda dan Gejala pada unggas

Gejala pada unggas yang sakit cukup bervariasi, mulai dari gejala ringan (nyaris tanpa gejala), sampai sangat berat. Hal ini tergantung dari keganasan virus, lingkungan, dan keadaan unggas sendiri. Gejala yang timbul seperti jengger berwarna biru, kepala bengkak, sekitar mata bengkak, demam, diare, dan tidak mau makan. Dapat terjadi gangguan pernafasan berupa batuk dan bersin. Gejala awal dapat berupa gangguan reproduksi berupa penurunan produksi telur. Gangguan sistem saraf dalam bentuk depresi. Pada beberapa kasus, unggas mati tanpa gejala. Kematian dapat terjadi 24 jam setelah timbul gejala. Pada kalkun, kematian dapat terjadi dalam 2 sampai 3 hari.(1,2)

B. Tanda dan Gejala pada manusia

Gejala flu burung pada dasarnya adalah sama dengan flu biasa lainnya, hanya cenderung lebih sering dan cepat menjadi parah. Masa inkubasi antara mulai tertular dan timbul gejala adalah sekitar 3 hari; sementara itu masa infeksius pada manusia adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari sesudah gejala timbul; pada anak dapat sampai 21 hari.(1)

Gejalanya demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, sampai infeksi selaput mata ( conjunctivitis ). Bila keadaan memburuk, dapat terjadi severe respiratory distress yang ditandai dengan sesak nafas hebat, rendahnya kadar oksigen darah serta meningkatnya kadar CO2. Keadaan ini umumnya terjadi karena infeksi flu yang menyebar ke paru dan menimbulkan pneumonia. Radang paru (pneumonia) ini dapat disebabkan oleh virus itu sendiri atau juga oleh bakteri yang masuk dan menginfeksi paru yang memang sedang sakit akibat flu burung ini.(1,2,11)

KLASIFIKASI DIAGNOSIS

Departemen Kesehatan RI membagi diagnosis flu burung pada manusia menjadi kasus suspek, probable dan kasus konfirmasi.(1)

Kasus suspek flu burung adalah seseorang dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dengan gejala demam (suhu > 38°C), batuk dan atau sakit tenggorokan dengan salah satu keadaan : a. Seminggu terakhir mengunjungi peternakan yang terjangkit KLB flu burung b. Kontak dengan kasus konfirmasi flu burung dalam masa penularan c. Bekerja di laboratorium yang memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigai menderita flu burung.

Sementara itu kasus probable adalah kasus suspek disertai salah satu keadaan : a. Bukti laboratorium terbatas mengarah ke virus influenza A

H5N1, misalnya tes menggunakan antigen H5N1. b. Dalam waktu singkat, berlanjut menjadi pneumonia / gagal pernafasan / meninggal. c. Terbukti tidak ada penyebab lain.

Klasifikasi diagnosis ketiga adalah kasus yang sudah pasti atau kasus konfirmasi, yang definisinya adalah kasus yang : a. Hasil kultur virus influenza H5N1 (+) b. Hasil PCR influenza H5 (+) c. Terjadi peningkatan titer antibodi H5 sebesar 4 kali. PENATALAKSANAAN Pengobatan

Dapat bersifat simtomatik sesuai gejala yang ada; jika batuk dapat diberi obat batuk dan jika sesak dapat diberi bronkodilator. Pasien juga harus mendapat terapi suportif, makanan yang baik dan bergizi, jika perlu diinfus dan istirahat cukup. Secara umum daya tahan tubuh pasien haruslah ditingkatkan.

Selain itu dapat pula diberikan obat anti virus. Ada 2 jenis yang tersedia : kelompok M2 inhibitors yaitu amantadine dan rimantadine serta kelompok dari neuraminidase inhibitors yaitu oseltamivir dan zanimivir.

Amantadine dan rimantadine diberikan pada awal penyakit, 48 jam pertama selama 3 – 5 hari, dengan dosis 5 mg/kg bb./ hari, dibagi 2 dosis. Jika berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari. Sedangkan oseltamivir diberikan 75 mg, 1 kali sehari selama 1 minggu. Pengalaman tahun 1997 di Hongkong menunjukkan bahwa amantadine dan rimantadine masih sensitif terhadap H5N1 secara in vitro, sementara di Vietnam (2004) pernah dilaporkan kedua obat itu sudah tidak mempan lagi terhadap jenis virus yang ada di sana. Tetapi laporan WHO Global Influenza Surveillance Network yang melakukan penelitian pada 4 isolat H5N1 dari manusia dan 33 isolat dari unggas pada bulan Februari 2004 menunjukkan oseltamivir masih sensitif terhadap virus yang ada.(1,2,13)

Pencegahan Kebiasaan pola hidup sehat tetap berperanan penting.

Secara umum pencegahan flu tentunya tetap menjaga daya tahan tubuh, makan yang seimbang dan bergizi, istirahat teratur dan olahraga teratur.

Penanggulangan terbaik saat ini memang berupa penanganan langsung pada unggas yaitu pemusnahan unggas atau burung yang terinfeksi flu burung, dan vaksinasi unggas yang sehat.

Pencegahan pada manusia 1. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan peda - gang ) a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja. b. Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung. c. Menggunakan alat pelindung diri ( contoh : masker dan pakaian kerja ). d. Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 23

Page 25: 20955554-cdk-148-Imunisasi

e. Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas, seperti tinja harus ditatalaksana dengan baik ( ditanam atau dibakar ) agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang di sekitarnya. f. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan. g. Alat-alat yang digunakan dalam peternakan harus dicuci dengan desinfektan. h. Bersihkan kandang dan alat transportasi yang membawa unggas. i. Lalu lintas orang keluar masuk kandang dibatasi. j. Imunisasi unggas yang sehat 2. Masyarakat Umum a. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan istirahat cukup. b. Tidak mengimpor daging ayam dari tempat yang diduga terkena wabah avian flu c. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu : - Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit di tubuhnya). - Memasak daging ayam sampai dengan suhu ± 80°C selama 1 menit dan telur sampai dengan suhu ± 64°C selama 5 menit.(1,2,12)

KESIMPULAN 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita influenza. Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia. Penyakit ini terutama menyerang peternak unggas (penyakit akibat kerja). Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Hongkok, Belanda, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Pakistan dan Indonesia. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Dibandingkan dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) flu burung lebih sedikit kasusnya - hanya 25 kasus di seluruh dunia dan tetapi yang meninggal mencapai 19 orang (Case Fatality Rate / CFR=76%). Sedangkan pada penyakit SARS dari 8098 kasus yang meninggal hanya 774 orang (CFR = 9,6%). Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe A subtipe H5,H7 dan H9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Flu burung bisa menular pada manusia jika manusia bersinggungan langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung. Virus ditularkan melalui saliva dan -

feses unggas. Penularan pada manusia karena kontak dengan berbagai jenis unggas terinfeksi, atau tidak langsung. Tanda dan gejala pada unggas berupa jengger berwarna biru, kepala bengkak, sekitar mata bengkak, demam, diare, dan tidak mau makan. Gejala awal dapat berupa gangguan reproduksi berupa penurunan produksi telur. Tanda dan gejala pada manusia berupa demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi sampai infeksi selaput mata ( conjunctivitis ). Jika keadaan memburuk, dapat terjadi severe respiratory distress yang ditandai dengan sesak nafas hebat, rendahnya kadar oksigen darah serta meningkatnya kadar CO2. Departemen Kesehatan RI membagi diagnosis flu burung pada manusia menjadi kasus suspek, probable dan kasus konfirmasi. Pengobatan bersifat simtomatik sesuai gejala yang ada. Selain itu dapat pula diberi obat anti virus. Ada 2 jenis yang tersedia, yaitu kelompok M2 inhibitors (amantadine dan rimantadine) serta kelompok neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan zanimivir). Amantadine dan rimantadine diberikan pada awal penyakit, 48 jam pertama selama 3 – 5 hari, dengan dosis 5 mg/kg bb. pasien / hari, dibagi dalam 2 dosis. Sementara oseltamivir diberikan 75 mg, 1 kali sehari selama 1 minggu. Secara umum cara pencegahan terkena flu tentunya tetap menjaga daya tahan tubuh, makan yang seimbang dan bergizi, istirahat teratur dan olahraga teratur. Penanggulangan terbaik saat ini berupa penanganan langsung pada unggas dan pencegahan pada manusia yaitu pada kelompok berisiko tinggi dan masyarakat umum.

KEPUSTAKAAN 1. Aditama TY. Flu Burung di Manusia, Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PDPI), Penerbitan Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. 2. Depkes. www.ppmplp.depkes.go.id, Flu burung. 3. Deptan RI. Ditjen Bina Produksi Peternakan, Direktorat Kesehatan

Hewan. Aspek Veteriner dan Epidemiologi Avian Influenza, 2004. 4. Dari Italia, Hongkong, lalu Indonesia. Kompas 21 Jan. 2004. hal 10 . 5. CBC news/www.tempo.co.id/hg/nasional. Majority of Bird Flu Death in

Young People, 2004. 6. Tingkat Kematian Akibat Flu Burung sangat tinggi. Media Indonesia 14

Feb 2004. 7. WHO. Confirmed Human Cases of Avian Influenza A (H5N1).

www.who.int/csr/avianinfluenza/country/cases_table_2004_02_12/en/ 8. WHO. Summary of Probable SARS Cases with Onset of Illness from 1

November 2002 to 31 July 2003. www.who.int/csr/sars/coun-try/table2003_09_23/en/,

9. Priyanti Z Soepandi. Influensa Burung pada Manusia. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedolteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan,2004.

10. Suharyono Wuryadi. Surveilance Virus Flu di Indonesia. Badan Litbangkes dan Namru-2 Jakarta , 2004.

11. AJC. Symptoms of Bird Flu ( Avian Influenza ) in Human. www.ajc.com/news/news/content/news/0204/08avian.html. 2004.

12. Indonesia Resmi Terkena Wabah Flu Burung. Berita Buana 26 Januari 2004, hal 5.

13. Thomas Suroso. Antisipasi Depkes dalam Menghadapi Wabah Flu Burung, 2004.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 24

Page 26: 20955554-cdk-148-Imunisasi

ANALISIS

Apakah SARS

akan Berjangkit Kembali ?

Sarjaini Jamal

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN United Press International (UPI) melaporkan tanggal 11 Januari 2004 seorang pria berumur 35 tahun bekerja sebagai freelance TV producer di Guangdong dan seorang waitress berumur 20 tahun masuk rumah sakit sebagai suspect SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Informasi selanjutnya mengatakan yang bersangkutan dinyatakan menderita SARS dan puluhan orang yang pernah kontak dengannya telah dikarantina.(1) Kemudian WHO tanggal 31 Januari 2004 melaporkan bahwa selama bulan Januari 2004 di China telah diidentifikasi 4 kasus baru SARS , di antaranya seorang dokter direktur sebuah Rumah Sakit di Guangdong .(2) Juga dilaporkan oleh WHO tanggal 21 November 2003 tentang terjadinya peningkatan penderita influenza yang disebabkan oleh virus A(H3N2) di beberapa negara Amerika Utara yang kemudian menyebar ke Eropa.(3) Di samping itu China,Vietnam, Thailand dan Kamboja serta beberapa daerah di Indonesia sekarang ini sedang dilanda flu burung (Avian influenza) yang disebabkan virus influenza strain type A (H5N1). (4) Berdasarkan kejadian tersebut timbul pertanyaan: Akankah SARS kembali merebak seperti awal tahun 2003 yang lalu ? Apakah virus corona penyebab SARS yang juga menyerang sistim pernafasan akan berjangkit lagi ?. Jawabnya mungkin saja mengingat penyakit ini muncul bersamaan dengan musim dingin di belahan utara khatulistiwa. Walaupun belum bisa dipastikan namun kewapadaan dini terhadap SARS harus tetap terpelihara. Berkaitan dengan ini pemerintah Canada misalnya, telah mengingatkan penduduknya akan kemungkinan munculnya wabah baru SARS sejalan dengan datangnya musim dingin awal tahun 2004. (5) Berlainan dengan HIV/AIDS yang ditularkan melalui kontak beresiko yang disadari , SARS ditularkan melalui keberadaan seseorang dalam ruangan tertutup bersama penderita yang mungkin tidak disengaja. Pada awalnya SARS menjadi penyakit yang sangat menakutkan dan membuat para pejabat pengelola kesehatan di berbagai negara kalang kabut. Tingginya mobilitas penduduk dan globalisasi menyebabkan SARS dan penyakit-penyakit lintas batas lainnya dapat menyebar ke negara-negara lain dalam waktu singkat. Menurut catatan WHO sampai dengan 23 Juni 2003 terdapat 8.459 orang terinfeksi SARS; 805 di antaranya meninggal dan

puluhan ribu orang pernah dikarantina(6). Di China daratan saja tercatat 5.326 kasus infeksi SARS dengan 347 meninggal dan lebih dari 26.713 orang pernah dikarantina, di Hongkong tercatat 1.755 orang terinfeksi dan 298 meninggal. Di Taiwan lebih dari 6.000 orang pernah dikarantina, 692 orang terinfeksi dan 84 meninggal. Di Beijing sebanyak 8.000 orang yang diduga terinfeksi SARS telah dikarantina, lebih dari 70 orang telah meninggal dan korban setiap hari dilaporkan bertambah. Di Singapura 206 orang terinfeksi dan 31 meninggal. Di Canada 246 orang terinfeksi dan 35 meninggal. Di USA 74 orang terinfeksi dan seorang meninggal karena SARS. WHO memperkirakan tingkat kematian (case fatality rate) karena SARS telah meningkat dari semula 6-10 % menjadi 14-15 %.(6) Pemerintah China kemudian memprotes angka tersebut.

Semua penduduk dari berbagai strata, termasuk dokter dan perawat dapat tertular SARS. Setidaknya sudah 19 orang dokter meninggal. Di Taiwan 30 % dari korban meninggal karena SARS adalah petugas medis RS. Di Hongkong lebih dari 27 orang tenaga medis meninggal karena penyakit ini.(6).

Pada 23 Juni 2003 oleh WHO Hongkong dinyatakan tidak lagi termasuk negara dengan transmisi lokal.(7) Beberapa waktu setelah itu penyebaran SARS dapat dibendung dan mulai hilang dari pemberitaan. Sejak 13 Juli 2003 WHO tidak lagi mengeluarkan laporan harian penemuan suspek atau probable SARS dan tak ada lagi negara baru terjangkit.(8) Walaupun demikian UPI melaporkan masih adanya kasus baru di Guangdong pada 11 Januari 2004. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang SARS dan dampak yang ditimbulkannya sebagai penyakit berbahaya baru (new emerging disease) yang mengancam kehidupan manusia dan tidak mengenal batas wilayah negara. Kewaspadaan dini tetap perlu ditingkatkan tidak saja terhadap kembalinya SARS tetapi juga terhadap penyakit-penyakit baru lain seperti ebola yang mungkin muncul di masa datang. EPIDEMIOLOGI SARS Penyebaran SARS diketahui melalui kontak langsung dengan penderita. Ludah, dahak dan cairan yang dikeluarkan saat bersin, batuk dan aliran nafas merupakan media penularan. Para peneliti menemukan bahwa penyebabnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 25

Page 27: 20955554-cdk-148-Imunisasi

adalah sejenis virus yang termasuk dalam kelompok virus corona penyebab influensa biasa. Pertanyaannya adalah mengapa virus tersebut menjadi ganas dan sulit dikendalikan ?

Para peneliti di Canada dan Amerika Serikat menyatakan bahwa SARS disebabkan oleh virus yang belum diketahui jelas, namun termasuk dalam keluarga virus corona. Juga sedang diteliti kemungkinan adanya virus lain penyebab SARS. Para peneliti di Universitas Hongkong memperkuat dugaan tersebut dan menambahkan kemungkinan terjadinya kombinasi dengan virus kelompok keluarga paramyxovirus penyebab campak (measles) dan gondongan (mumps) sehingga membuat efeknya makin buruk. Virus dapat masuk ke dalam tubuh melalui dinding saluran pernafasan,mukosa mulut dan selaput retina mata.Virus ini menyerang saluran pernafasan manusia dan binatang berdarah panas. Kontak dapat terjadi melalui

dahak dan ingus yang dikeluarkan saat bersin dan batuk. Kondisi berada bersama penderita tanpa pelindung dalam ruang tertutup pada jarak satu meter (3 feet) memungkinkan penularan. Sistim sirkulasi udara (kipas angin), penyejuk udara terpusat (central air condition) dapat mempercepat transmisi virus SARS dari satu ruangan ke ruangan lain(15). Prof.Malik Peiris seorang peneliti mikro biologi menyatakan bahwa virus SARS dapat hidup di udara selama beberapa jam dan selama itu pula dapat menyebar melalui kontak jabat tangan, atau menyentuh pegangan tangga putar (elevator) yang sebelumnya dipegang oleh penderita SARS (16). Virus SARS juga dapat hidup beberapa hari dalam urin dan faeses penderita. Anggota keluarga dan petugas Rumah Sakit (RS) yang merawat pasien SARS dapat tertular jika tak menggunakan alat pelindung yang memadai.

Sejak diketahui pertama kali di Guangdong akhir November 2002, dalam dua bulan SARS menyebar ke berbagai kota di China bahkan sampai ke negara-negara yang jauh dari daratan China, seperti Canada dan Singapura. Dilaporkan seorang pedagang China dari Hongkong masuk Rumah Sakit Vietnam-France Hospital yang kemudian ternyata menderita SARS dan menjadi pemicu berjangkitnya penyakit ini di Vietnam. Dia terinfeksi oleh seorang dokter dari Guangdong yang menginap bersama satu lantai di Metropole Hotel Hanoi. Dia dan petugas RS tersebut kemudian diteliti oleh DR.Carlo Urbani yang juga terinfeksi dan meninggal karena SARS; selanjutnya Vietnam-France Hospital ditutup sementara untuk investigasi (9). Mulanya SARS dilaporkan diderita oleh seorang lelaki yang suka makan dan berburu binatang liar di Guangdong . Penelitian selanjutnya melakukan uji darah terhadap 25 binatang sampel yang ternyata tidak menemukan virus corona. Selanjutnya Kwak Yung Yuen dkk. dari University of Hongkong dapat mengisolasi virus corona dari kotoran hewan dan cairan hidung binatang Paguma larvata sejenis musang Himalaya yang banyak dijual dan dimakan di restoran-restoran di Guangdong. Diperkirakan binatang ini tertular virus influenza dari manusia, mengalami mutasi, kemudian menjadi virulen dan menginfeksi manusia yang memakannya.(10) Penyebarannya secara global terjadi melalui seorang Profesor medik China dari Guangdong yang terinfeksi, menempati Kamar no.911 di Hongkong Hotel, kemudian menularkannya secara tidak sengaja pada 7 orang tamu yang menginap di lantai yang sama.(11) Tingkat penyebarannya sangat cepat melalui orang perorang, diperkirakan virus ini mempunyai ke-mampuan luarbiasa yang dapat menulari sekaligus 300 orang lainnya.(12) Gejalanya dapat terlihat dalam waktu relatif pendek dengan masa inkubasi 2-7 hari. SARS pada awalnya mungkin disangka Flu biasa, namun sesudah beberapa hari akan memberat dengan tanda-tanda demam (di atas 38º C) , batuk tanpa dahak, suara parau, napas pendek, kesulitan bernafas, nyeri dada, nyeri kepala dan memiliki riwayat dalam 7-10 hari bepergian ke daerah endemik (China, Hongkong, Singapura, Vietnam dan Canada) atau kontak dengan penderita SARS(13). Pada peme-riksaan darah ditemukan trombositopenia dan leukopenia di samping pemeriksaan Rontgen positip pneumonia(14).

WHO menyatakan bahwa SARS telah menjadi global epidemic sehingga undang-undang karantina diberlakukan di beberapa negara dan menyarankan beberapa kota untuk sementara tidak dikunjungi pada saat itu(17). Pada Gambar 1 dapat dilihat penyebaran SARS di beberapa negara di dunia. DAMPAK SARS PADA BERBAGAI SEKTOR SARS berdampak pada dunia pariwisata, transportasi, pendidikan, pengiriman tenaga kerja, pertandingan sepakbola dan perdagangan antar negara. Belum ada sebelumnya suatu penyakit yang berimbas begitu besar pada sektor ekonomi, kecuali epidemi pes yang berkecamuk lebih dari 50 tahun di Asia dan Eropa pada awal abad 18 yang diperkirakan membunuh lebih dari 100 juta orang(18). Pada waktu itu beberapa maskapai penerbangan inter-nasional membatalkan penerbangannya ke dan dari kota-kota Beijing, Hongkong, Singapura dan Ontario di Canada. Undang-undang karantina diberlakukan di banyak bandara.

Pemerintah Saudi Arabia memblokir izin datang bagi pengunjung dari China, Hongkong, Taiwan, Singapura dan Vietnam. Beberapa sekolah di Beijing, Hongkong dan Singapura diliburkan. Sekitar 150 Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan pemerintah lainnya di Beijing ditutup sementara (11). Menyusul kemudian pemecatan Menteri Kesehatan China dan walikota Beijing serta 120 orang pejabat pemerintah lainnya. Terakhir menteri kesehatan Taiwan mundur karena merasa gagal mengatasi SARS.

Indonesia sempat melarang impor pakaian bekas dan akan mencabut izin perusahaan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Singapura dan Hongkong. WHO memperkirakan lebih dari 49.7 billion dollars hilang karena SARS. The Standard &Poor’s menyatakan bahwa SARS menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi turun 1-3 % di beberapa negara Asia(19). Abacus suatu perusahaan agen perjalanan terbesar di Asia menyatakan bahwa pesanan tiket ke Asia turun 20 % selama 4 bulan terakhir sampai April 2003. Cathay Pacific melarang penumpang yang menunjukkan gejala SARS masuk pesawat dan harus diperiksa di klinik bandara (11).

David Heymann direktur eksekutif CDC-Atlanta mengata-kan bahwa SARS telah menyebabkan rasa takut petugas RS dan menyebabkan sistim kesehatan di beberapa negara menjadi tak berdaya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 26

Page 28: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Gambar 1. Peta penyebaran SARS di dunia.

SIAGA SARS Kesiagaan pemerintah Indonesia menghadapi SARS pada waktu yang lalu patut dipuji. Pemerintah mengatakan belum ada penularan SARS secara lokal. Kasus yang ada saat itu merupakan orang-orang yang pulang dari negara terjangkit SARS (Hongkong, Singapura, Taiwan ).Seorang warganegara Inggris diduga sangat kuat (probable), dua warganegara Indonesia (WNI) yang baru pulang dari Singapura diduga kuat (suspect) serta 3 orang WNI diduga SARS dirawat di RS Penyakit Infeksi Prof Sulianti Saroso(19). Juga dilaporkan 6 TKW yang baru pulang dari Hongkong dirawat di RSUD Kendal dengan katagori observasi dan seorang dirawat di RSUD Banyumas karena diduga kuat (suspect) SARS. Seorang TKW yang baru pulang dari Singapura asal Lampung juga diobservasi kemungkinan SARS dan dirawat di RS Abdul Muluk, Bandar Lampung(20). Sampai dengan 23 Juni 2003 belum ada yang meninggal karena SARS . Sejak redanya berita tentang SARS pertengahan tahun lalu, sampai sekarang belum pernah dilaporkan lagi adanya kasus baru. Walaupun demikian perlu diantisipasi pulangnya para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara besar-besaran dari Malaysia atau negara tetangga lainnya. Kewaspadaan juga perlu ditingkatkan saat pulangnya jemaah haji pada musim haji. Kondisi cuaca musim dingin di Saudi Arabia dengan suasana jemaah yang berjubel menyebabkan penyakit-penyakit saluran nafas termasuk SARS dan new emerging diseases (NED) lainnya seperti Ebola mudah berjangkit. Selama ini yang paling ditakuti adalah penyakit radang selaput otak (meningitis) dan KLB diare, maka sekarang seharusnya bertambah dengan SARS dan NED lainnya. Diingatkan agar para jemaah waspada terhadap penyakit-penyakit tersebut sela ma di Arab Saudi. Penggunaan masker selama di tanah suci sangat dianjurkan baik di ruangan maupun sewaktu di lapangan. Makan teratur, vitamin dan banyak minum walaupun

tidak terasa haus akan meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah dehidrasi. Selama ini belum ada jemah haji yang meninggal karena SARS(21). Walaupun demikian pemantauan dengan kamera pengindera panas (thermal scanner) terhadap jemaah dan TKI yang pulang ke tanah air tetap akan bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan masuknya kasus SARS. Petugas Rumah Sakit (RS) yang merawat pasien SARS dapat tertular jika tak menggunakan alat pelindung yang memadai. Kontaminasi dapat terjadi melalui pori kulit tangan, saluran pernafasan, selaput lendir mulut dan retina. Tanpa disadari para dokter atau perawat yang tertular akan menularkan lagi ke pasien lain atau keluarganya. Alat-alat kesehatan yang digunakan pada pasien SARS, seperti jarum suntik, stetoskop, tensimeter, spatula, spirometer, nebulizer outlets, sarung tangan dan pakaian luar dapat terinfeksi dan menjadi media penularan. Sistim penyejuk udara yang terpusat (central air conditioning system) di RS dapat mempermudah tranmisi virus antar ruangan. SARS bisa menjadi infeksi nosokomial mengancam pasien lain yang dirawat atau pengunjung; oleh karena itu pihak manajemen RS sudah seharusnya memperhatikan masalah ini. Keselamatan dan kesehatan kerja harus berfungsi agar para pekerja RS dapat terlindung dari infeksi virus SARS. Para pengelola dan petugas RS harus diberi informasi tentang bahaya SARS termasuk sosialisasi pedoman yang telah disusun oleh Departemen Kesehatan(22). Jangan memperkerja-kan petugas RS jika demam atau menderita gejala saluran pernafasan. Petugas RS harus melaporkan jika ada yang tidak menggunakan pelindung waktu kontak dengan pasien SARS kepada pengelola keselamatan dan kesehatan kerja. Para dokter, perawat, petugas kebersihan ruangan isolasi dan kamar mayat haruslah selalu menjaga kebersihan ruangan dan tangan menggunakan antiseptik /sabun/lysol atau alkohol 70%. Pakailah baju khusus dengan lengan panjang dan sarung

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 27

Page 29: 20955554-cdk-148-Imunisasi

tangan, masker dan kacamata pelindung bila akan mengambil dan memeriksa spesimen darah, urin dan dahak, serta ludah dari kasus SARS (suspect, probable maupun observasi). Pakailah alat pelindung untuk melindungi mulut, hidung dan mata. Ruang isolasi RS untuk merawat/karantina penderita SARS harus khusus dengan sistim sirkulasi udara terpisah dari ruangan lain. Alat-alat kesehatan harus disterilkan kembali. Penatalaksanaan pasien, pengambilan, penyimpanan dan pengiriman spesimen biologik serta penyelenggaraan mayat penderita SARS diperlakukan secara khusus sesuai dengan Pedoman Penatalaksanaan Kasus SARS yang sudah diterbitkan Departemen Kesehatan RI. WHO merekomendasikan agar jangan melakukan perjalan-an ke daerah-daerah di mana SARS sedang berjangkit. Pada awal berkecamuknya SARS, Beijing, Hongkong, propinsi Guangdong dilarang dikunjungi. Selain itu negara-negara yang pernah diperlakukan restriction sementara adalah: Taiwan, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Canada, Australia, Brazil, Belgia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Romania, Spanyol, Swis, Inggris dan Amerika Serikat. Dalam upaya menemukan kasus baru, di terminal penumpang udara di Batam, Denpasar, Medan dan Cengkareng telah dipasang alat pendeteksi panas tubuh (body thermal scanner); yang demam di atas 38º C akan terlihat merah, sedangkan normal akan bewarna biru sampai ungu. Juga dilakukan pengisian dokumen sick travelers bagi yang baru datang dari daerah endemis SARS. Penderita yang ketahuan demam harus dikarantina untuk memastikan gejala SARS. Bagi para TKI yang baru pulang dari daerah terjangkit SARS dilakukan observasi untuk mengetahui kemungkinan tertular. Demikian juga pada anggota keluarga dan orang dekatnya. Hubungi RS jika di antara keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala SARS

Sampai bulan Juni 2003 dilaporkan bahwa kematian karena SARS masih berlanjut di beberapa daerah endemik. Di Taiwan terdapat 12 kasus baru (9 orang meninggal) di China 34 kasus baru (29 di antaranya dari Beijing) yang meninggal karena SARS. Dari Hongkong dilaporkan pada minggu pertama bulan Juni 2003 masih terjadi penambahan infeksi SARS satu orang dan meninggal satu orang(6).CDC Atlanta telah memperingatkan para pejabat kesehatan di seluruh negara bagian Amerika Serikat untuk mengawasi SARS di daerah masing-masing. Ini menunjukkan bahwa kewaspadaan terhadap SARS masih diperlukan. Di Vietnam dari 63 orang yang diduga SARS, 58 orang menunjukkan perbaikan; 10 di antaranya dibolehkan pulang walaupun 5 orang meninggal. Negara ini sudah memblokir sumber virusnya yaitu di RS Bach Mai dan RS French Hospital. Ternyata dengan menurunnya kasus baru tampaknya SARS telah dapat dibendung. Singapura dinyatakan bebas SARS oleh WHO sejak tanggal 1 Juni 2003 yang lalu dan Hongkong sejak 23 Juni 2003. Pengalaman kedua negara ini dapat dijadikan model dalam mengatasi SARS dan penyakit menular sejenis lainnya di masa datang. Kemudian pemberitaan tentang SARS hilang dari media massa. Walaupun demikian Menteri Kesehatan menyatakan masih perlu waspada(23).

KESEHATAN PERORANGAN DAN PENGOBATAN

Karena mikroorganisme penyebab SARS belum diketahui pasti, WHO belum memiliki vaksin untuk melawannya. Depar-temen Kesehatan Amerika menyatakan jangan menggunakan vaksin influensa atau vaksin pneumonia. Walaupun demikian China diberitakan telah melakukan vaksinasi SARS dengan vaksin buatan sendiri yang kontroversial (10).

Para peneliti telah mencoba berbagai obat anti virus seperti Ribavirin, 6-azauridine, pyrazofurin tetapi yang mem-berikan harapan hanya Glycyrrhizine (ada dalam Succus licorice - bahan pembuat obat batuk hitam) yang 5 kali lebih efektif menahan perkembangan virus SARS dibandingkan Pyrazofurin pada percobaan tissue culture ginjal kera (24).

Mencegah lebih mudah dibanding mengobati. Pencegahan SARS perorangan dapat dilakukan melalui peningkatan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi, konsumsi cukup Vit A dan Vit C, berolah raga dan hentikan merokok, jangan kontak dengan penderita SARS dan jangan mengunjungi RS bila tidak terpaksa. Meningkatkan kesehatan lingkungan di samping kesehatan pribadi sangat dianjurkan, seperti menjaga kebersih-an dan ventilasi rumah, alat rumah tangga, kebersihan tangan dengan antiseptik / sabun. Virus SARS dapat dibunuh dengan mudah menggunakan alkohol 70%.

Hubungi RS segera jika batuk atau flu sesudah bepergian dari daerah terjangkit dalam waktu 7-10 hari. Lakukan penatalaksanaan secara khusus baik terhadap pasien maupun jenazah SARS sesuai pedoman Dep.Kes. Makanan bergizi, istirahat cukup akan membantu peningkatan daya tahan tubuh. Ternyata 80 –90 % kasus membaik sesudah seminggu. KESIMPULAN DAN SARAN

SARS merebak pada akhir 2002, menular ke berbagai negara secara cepat, mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 2003 dan masih berlanjut sampai awal tahun 2004 secara sporadik. SARS membuat kalang kabut para petugas kesehatan di berbagai negara dan memberikan dampak buruk pada berbagai sektor. Penyakit ini hilang bersamaan dengan berlalunya musim dingin di belahan Utara khatulistiwa. Walau-pun demikian perlu tetap diwaspadai. Di Indonesia dua sumber yang perlu dicermati adalah pulangnya para TKI dari Malaysia secara massal dan jemaah haji karena dapat menjadi pintu masuk penyakit-penyakit baru dari negara lain.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 28

Penggantian musim adalah masa dimana penyakit-penyakit yang berkaitan dengan saluran nafas mudah menghinggapi kelompok yang rentan. Dianjurkan agar masyarakat meningkat-kan kebersihan diri (sering cuci tangan, muka dan hidung dengan sabun), tingkatkan daya tahan tubuh, mengkonsumsi vitamin dan tidak merokok. Pada jamuan makan gunakanlah sendok untuk mengambil makanan dari tempatnya. Buka pintu dan jendela rumah lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk. Penderita SARS harus dirawat di RS sesuai pedoman yang telah disusun Depkes RI.Sarana dan prasarana yang dimiliki RS perlu dievaluasi kembali agar SARS dan penyakit lainnya tidak menjadi sumber infeksi nosokomial.

Page 30: 20955554-cdk-148-Imunisasi

KEPUSTAKAAN 1. UPI 17 Desember 2003. Internet media January 11, 2004. 2. WHO. Communicable Disease Surveilance and Response (CSR),New

Case of Laboratory-Confirmed SARS in Guangdong,China Update, January 31, 2004.

3. WHO..Peningkatan kasus Influensa di beberapa Negara Amerika Utara dan Eropa. Website WHO, November21, 2003.

4. Dep.Kesehatan RI. Informasi Penyakit, Januari 27, 2004. 5. WHO. CSR, Outbreak in British Columbia,Canada is not SARS, August

25, 2004. 6. WHO. Cummulative Number of Reported Probable Cases of SARS. June

23, 2003. 7. WHO. Update 86, Hongkong removed from list of areas with local

transmission. June 23, 2003. 8. P2MPLP. Info penyakit, Agustus 4, 2003. 9. ZRP/The Atlanta Journal Constitution, April 2004. 10. Bhattcharya S. The year in biology and medical. The New Scientist

January 5, 2004. 11. Harvard Medical School’s Consumer Health Information. China SARS

Cases Raise Outbreak Fears. March , 27 2003. 12. Bhattcharya S, Mac Kenzie D. Exotic market animal likely source of

SARS. The New Scientist May, 23 2003. 13. Kepmenkes No. 424/MENKES/SK/IV/2003 tentang Penetapan SARS

sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya, 2003.

14. CDC. Bacterial Pneumonia. Issues on Prevention of Nosocomial

Pneumonia, 1994. 15. CDC. Infection Control Precautions for Aerosol-Generating Procedures

on Patiens Who have Suspected Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), March , 20 2003.

16. CDC. Interim Domestic Guidance for Management of Exposures to Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) for Healthcare and Other Institutional Settings, Maret, 27 2003.

17. WHO Western Pacific Regional Office. Interim guidelines for national SARS preparedness, 2003.

18. Stuttman Medical and Health Encyclopedia. 19. Tim Verifikasi SARS, Ditjen P2MPL, Suara Karya April , 17 2003. 20. Bidang P2M, Dinkes Lampung Tengah, Laporan Penyelidikan

Epidemiologi kasus tersangka SARS di Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, Mei , 2003.

21. Info Haji, Januari , 26 2004. 22. Dep.Kes.RI. Pedoman Surveilans Epidermiologi Penyakit SARS, Dep.

Kesehatan, Jakarta, 2003: 8 23. Men. Kesehatan RI. Waspadai kembalinya wabah SARS, Pidato pada

pembukaan Forum Komunikasi Anggota Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah Pusat dan LSM bidang Kesehatan, Jakarta, September, 8 2003.

24. Discovery Health Channel. Licorice may help against SARS, June 24 2003.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN JULI – SEPTEMBER 2005

BULAN TANGGAL KEGIATAN TEMPAT DAN INFORMASI ACARA 01 – 03 2nd Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance

Watch (IARW) in conjunction with PIT PAMKI Hotel Borobudur, Jakarta - Tlp. / fax.: 021-391 6826 E-mail: [email protected]; [email protected]

06 – 09 Kongres Nasional (KONAS) X PDPI Hotel Quality, Solo - Tlp.: 0271-634634 Fax.: 0271-639248, e-mail: [email protected]

10 – 13 PIT XV POGI : Peningkatan Peranan Profesi Obstetri Ginekologi dalam Pelayanan Kesehatan Perempuan

Hotel Planet Holiday, Riau Tlp. / fax.: 0761-856851

20 – 22 The 6th Meeting of the Asian Society of Cardiothoracic Anesthesia

Grand Hyatt Bali Tlp.: 021 570 5800, fax.: 021 570 5798 E-mail: [email protected]

Juli

30 KONAS IDKI 3 2005 Seminar Kesehatan Kerja Gangguan Reproduksi

Hotel GoodWay, Batam Tlp. / fax.: 021-7918 4052, e-mail: [email protected] Website: http://www.idki.or.id

12 – 14 2nd International Symposium on Hand Surgery and the Advances in Hand Therapy

Hotel Sahid, Jakarta Tlp.: 021-3918337, fax.: 021-3905556 E-mail: [email protected]

13 Revolution on Anti Aging Medicine Hotel Menara Peninsula, Jakarta Tlp.: 021-391 6241, fax.: 021-314 1850

18 – 21

15th APASL Conference “New Challenges and Recent Advances in Hepatology”

Bali International Convention Center (BICC) Tlp. : 021-4532202, 3159610, fax.: 021-4535833 E-mail: [email protected] http://www.apaslbali2005.com

19 – 20 1st International Meeting on Hospital Role in Occupational Medicine

Hotel Borobudur, Jakarta Tlp. : 021-7219586, fax. : 021-7261126 E-mail: [email protected]

Agustus

23 Seminar Nasional VIII dan Hospital Expo XVIII Jakarta Convention Center

Tlp. : 021-4584 5303, 4584 5304, fax.: 021-4585 7833 E-mail: [email protected]

03 – 04 6th Indonesian Symposium on Neuroanesthesia & Neuro Critical Care

Hotel Sheraton Surabaya Tlp.: 031-5501500, 5501505, Fax.031-5028952

05 – 08

Pertemuan Tahunan dan Konferensi Asia Pacific Occupational Safety & Health Organization (APOSHO) ke 21

Grand Bali Beach Tlp.: 021-527 8445, 527 8446, fax.: 021-522 2959 E-mail: [email protected] http://aposho21.tripod.com/index.htm

September

22 – 27 The 4th Asia Pacific Conference on Anti Aging Medicine

Tlp. 62-21-570 5800, fax. 62-21-570 5798 E-mail: [email protected] http://www.pacto-convex.com

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 29

Page 31: 20955554-cdk-148-Imunisasi

ULASAN

Infeksi Campak, Karakteristik dan Respon Imunitas

yang Ditimbulkan

Sarwo Handayani

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penyakit campak masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, mengingat masih adanya kasus dan wabah campak di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu upaya untuk mengatasi infeksi campak adalah dengan meningkatkan respon imunitas tubuh, yang diperoleh dengan cara imunisasi atau dari infeksi alam.

Penyakit campak disebabkan oleh virus morbilli. Tanda khasnya berupa Koplik spot di selaput lendir pipi, dan rash kulit yang muncul pada hari ke 14 setelah terpapar virus campak. Kemampuan fusi sel yang terinfeksi virus campak akan membentuk sel raksasa multi nuklear.

Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit campak adalah diare, pneumonia, otitis media dan limfadenopati.

Respon imunitas yang berperan terhadap campak adalah respon humoral dan seluler. Respon imunitas humoral (antibodi) efektif menetralisir virus yang bebas atau dalam sirkulasi darah, dengan cara menghambat perlekatan virus pada reseptor sehingga virus tidak dapat menembus permukaan sel dan replikasi virus dapat dicegah. Respon imunitas seluler berperan membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi melalui mekanisme ADCC (Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity) dan lisis komplemen.

Respon imunitas setelah imunisasi campak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; usia saat imunisasi yang berkaitan dengan adanya antibodi maternal, status gizi, penyakit yang diderita dan faktor vaksin yang meliputi: strain virus campak yang digunakan, dosis vaksin, penyimpanan dan cara pemberian vaksin.

PENDAHULUAN

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, karena sering dilaporkan di beberapa daerah. Menurut data SKRT (1996) insiden campak pada balita sebesar 528/10.000. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1982 sebelum program imunisasi campak dimulai, yaitu sebesar 8000/10.000 pada anak umur 1-15 tahun.

Imunisasi merupakan salah satu upaya terbaik untuk menurunkan insiden campak. Sebagai dampak program imunisasi tersebut insiden campak cenderung turun pada semua golongan umur. Pada bayi (< 1 tahun) dan anak umur 1-4 tahun

terjadi penurunan cukup tajam, sedangkan pada golongan umur 5-14 tahun relatif landai. Saat ini program pemberantasan penyakit campak dalam tahap reduksi yaitu penurunan jumlah kasus dan kematian akibat campak, menyusul tahap eliminasi dan akhirnya tahap eradikasi. Diharapkan 10-15 tahun setelah tahap eliminasi, penyakit campak dapat dieradikasi, karena satu-satunya pejamunya adalah manusia(1).

Respon imun memegang peranan penting dalam upaya mengatasi infeksi virus campak, baik respon yang timbul oleh infeksi campak alam maupun respon setelah imunisasi. Makalah ini akan membahas lebih jauh penyakit campak, karakteristik virus campak, respon imun dan faktor-faktor yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 30

Page 32: 20955554-cdk-148-Imunisasi

mempengaruhinya, serta hasil penelitian yang berhubungan. PENYAKIT CAMPAK

Penyakit ini disebabkan oleh virus morbilli; ditularkan melalui sekret pernafasan atau melalui udara. Virus dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan infeksi pada individu yang rentan. Penyakit campak sangat infeksius selama masa prodromal yang ditandai dengan demam, malaise, mata merah, pilek, dan trakeobronkitis dengan manifestasi batuk.(2-5)

Infeksi campak pertama kali terjadi pada epitelium saluran pernafasan dari nasofaring, konjungtiva, dengan penyebaran ke daerah limfa. Viremia primer terjadi 2-3 hari setelah individu terpapar virus campak, diikuti dengan viremia sekunder 3-4 hari kemudian. Viremia sekunder menyebabkan infeksi dan replikasi virus lebih lanjut pada kulit, konjungtiva, saluran pernafasan dan organ lainnya. Replikasi virus memerlukan waktu 24 jam. Jumlah virus dalam darah mencapai puncaknya pada hari ke 11-14 setelah terpapar dan kemudian menurun cepat 2-3 hari kemudian(2,3,6).

Tanda khas penyakit campak adalah adanya Koplik spots (kemerahan dengan putih di tengah) di selaput lendir pipi yang tampak 1-2 hari sebelum timbulnya rash. Rash adalah kemerahan kulit yang biasanya muncul pada hari ke 14 setelah terpapar, kemudian menyebar dari kepala ke anggota badan selama 3-4 hari. Setelah 3-4 hari rash akan menghilang meninggalkan noda kehitaman(3,7). Rash merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas yang tidak akan terlihat pada orang yang mengalami penekanan sistem imunitas seluler(5,6). Sel yang terinfeksi virus campak mampu berfusi membentuk sel raksasa multinuklear (multinuclear giant cells), yang merupa-kan tanda patologis infeksi virus campak(2,4).

Komplikasi yang sering terjadi pada infeksi virus campak adalah anoreksia, diare, pneumonia dan limfadenopati; sering menyebabkan kematian karena faktor kurang gizi dan penanganan yang terlambat(3,5,6). Di negara industri komplikasi yang sering terjadi adalah otitis media, pneumonia, dan ensefalitis pasca infeksi(3).

KARAKTERISTIK VIRUS CAMPAK Morfologi

Virus campak atau morbilli adalah virus RNA anggota famili paramyxoviridae. Secara morfologi tidak dapat dibedakan dengan virus lain anggota famili paramyxoviridae. Virion campak terdiri atas nukleokapsid berbentuk heliks yang dikelilingi oleh selubung virus(2,5,6,8). Virus campak mempunyai 6 protein struktural, 3 di antaranya tergabung dengan RNA dan membentuk nukleokapsid yaitu; Pospoprotein (P), protein ukuran besar (L) dan nukleoprotein (N). Tiga protein lainnya tergabung dengan selubung virus yaitu; protein fusi (F), protein hemaglutinin (H) dan protein matrix (M). Protein F dan H mengalami glikosilasi sedangkan protein M tidak. Protein F bertanggung jawab terhadap fusi virus dengan membran sel hospes, yang kemudian diikuti dengan penetrasi dan hemolisis. Protein H bertanggung jawab pada hemaglutinasi, perlekatan virus, adsorpsi dan interaksi dengan reseptor di permukaan sel hospes. Protein F dan H bersama-sama bertanggungjawab pada fusi virus dengan membran sel dan membantu masuknya

virus(2,5,6,9). Sedangkan protein M berinteraksi dengan nukleo-kapsid berperan pada proses maturasi virus(2).

Virus campak mempunyai satu tipe antigen (monotype), yang bersifat stabil. Virus campak mempunyai sedikit variasi genetik pada protein F dan H, sehingga dapat menghindari antibodi monoklonal yang spesifik terhadap protein tersebut. Namun sisa virus yang masih ada, dapat dinetralisasi oleh sera poliklonal. Pada strain virus campak yang berbeda, variasi genetik juga terjadi pada protein P dan N yang belakangan diketahui mengandung region yang mengkode residu asam amino C terminal(5,10). Sifat infeksius virus campak ditunjukkan dengan tingginya sensitivitas dan aktivitas hemolitiknya(2). Isolasi Virus Campak Virus campak yang berasal dari spesimen klinik sulit dikembangbiakkan, terutama isolasi virus pada 24-36 jam setelah timbulnya rash. Cara yang paling baik adalah dengan mengisolasi virus pada sel limfosit marmoset B95-a, sel fetus manusia, sel ginjal fetus atau sel ginjal kera. Setelah pasase awal di laboratorium, dapat digunakan galur sel lain yang berasal dari manusia atau bukan; misalnya: human amnion, human embryonic lung, human carcinoma yaitu HeLa, Hep-2, KB dan embrio ayam(2,6).

Virus campak dapat diinaktivasi dengan cepat apabila terkena cahaya, panas dan pH yang ekstrem; virus campak dapat disimpan dalam jangka waktu lama pada suhu –70o C(6). Efek Sitopatik Virus Campak (CPE)

Pada kultur sel, virus campak menyebabkan 2 efek sitopatik yang berbeda, yaitu pertama terbentuknya sel raksasa (multi nuclei syncytia) yang mengandung beberapa nukleus yang bergabung menjadi satu(6,8). Kedua, terjadinya perubahan bentuk sel terinfeksi dari poligonal menjadi stellate atau seperti sel dendritik. Sel ini tidak mengalami fusi tetapi dapat dibeda-kan berdasarkan kepekaan (refractility) terhadap cahaya.(8)

Hal tersebut berhubungan dengan proses patologis yang predominan yang dapat diamati pada jaringan yang terinfeksi termasuk kulit dan Koplik spot. Pada virus campak liar, karakteristik efek sitopatik meliputi inklusi sitoplasma dan intranukleus termasuk transformasi sel kromosom. Faktor lain seperti kemampuan tumbuh pada sel fibroblas embrio ayam, bentuk plaque, produksi interferon, suhu pertumbuhan yang optimal, juga membantu membedakan virus campak liar dengan strain virus yang dilemahkan(2,6). VAKSIN CAMPAK

Pengembangan vaksin campak dimulai segera setelah isolasi virus campak oleh Enders dan Pebles (1954), yaitu dengan mengembangkan vaksin hidup yang dilemahkan dari strain Edmonston B. Vaksin ini sering menimbulkan rash dan demam tinggi sehingga harus dibarengi dengan pemberian globulin gama untuk mengurangi efek samping tersebut. Pada pertengahan tahun 1960 ditemukan strain baru campak di Amerika, Jepang, Yugoslavia, Rusia dan China dengan cara melemahkan strain Edmonston (AIK-C), Edmonston A (Schwarz), Edmonston B (Moraten, Edmonston Zagreb) atau isolat lainnya (Leningrad 16, CAM 70, Shanghai-91)(3). Vaksin

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 31

Page 33: 20955554-cdk-148-Imunisasi

campak yang ada saat ini berasal dari virus campak liar yang dilemahkan - attenuated live vaccine. Atenuasi dilakukan dengan melakukan adaptasi temperatur dan pasase berulang kali pada beberapa galur sel(9).

Vaksin campak yang digunakan di Indonesia saat ini adalah vaksin campak dari strain CAM-70 buatan PT Bio Farma yang telah teregistrasi sejak tahun 1993(11). Vaksin CAM-70 merupakan derivat strain Tanabe yang ditemukan pada tahun 1968(8). Vaksin ini mengandung virus campak strain CAM-70 hidup yang sudah sangat dilemahkan dan ditumbuhkan dalam biakan jaringan janin ayam kemudian dibeku-keringkan(12). Setiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung virus campak tidak kurang dari 1000 TCID50 (Tissue culture Infectious Dose) atau PFU (Plaque Forming Unit) sesuai dosis standar minimum vaksin campak yang ditetapkan WHO. Efektivitas vaksin campak berkurang dengan menurunnya potensi. Vaksin campak sensitif terhadap panas, oleh karena itu akan cepat hilang infektivitasnya apabila di luar rantai dingin (cold chain)(9).

Virus campak liar dan virus vaksin dapat dibedakan berdasarkan spektrum dan parahnya gejala penyakit pada hewan model dan manusia, atau dengan petanda virologi dan imunologi. Namun demikian determinan yang spesifik terhadap virulensi virus campak belum diketahui(9).

Meskipun vaksin campak yang ada saat ini dinyatakan aman dan efektif, penggunaannya masih terbatas karena dihubungkan dengan adanya efek samping, baik untuk vaksin virus campak hidup yang dilemahkan maupun diinaktifkan(9).

Perbedaan sekuen nukleotida berpengaruh terhadap imunogenitas vaksin. Imunogenitas vaksin turunan strain Edmonston B lebih tinggi dibandingkan vaksin Schwarz yang berasal dari turunan strain Edmonston A, tetapi reaksi samping yang ditimbulkan oleh vaksin Schwarz, seperti rash dan demam lebih ringan. Demikian halnya pada vaksin CAM 70 dan Shanghai 191, meskipun imunogenitas lebih rendah tetapi reaksi samping yang ditimbulkan lebih ringan(3). RESPON IMUNITAS TERHADAP INFEKSI CAMPAK Respon imun terhadap infeksi alam

Respon sel limfosit T dan sel limfosit B terhadap keenam protein virus campak dapat terdeteksi pada infeksi akut primer. Antibodi IgM akan terbentuk dan mencapai puncaknya 7-10 hari setelah timbulnya rash, kemudian akan menurun dengan cepat, dan menghilang 4 minggu kemudian. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi campak baik karena penyakit atau karena vaksin. Ig G akan terbentuk segera setelah timbulnya rash, dan mencapai puncaknya setelah 4 minggu. Selanjutnya Ig G menurun, tetapi akan tetap ada seumur hidup. Ig G terhadap protein H sangat penting, karena menunjukkan adanya imunitas. Adanya Ig G terhadap protein F dan H akan memberikan perlindungan terhadap infeksi secara in vivo, meskipun Ig G terhadap protein H saja dapat menetralkan invasi virus. Ig A juga terbentuk tetapi biasanya hanya sebentar. Imunitas yang timbul setelah terpapar virus campak secara alami biasanya dapat bertahan seumur hidup(3,9).

Sistem imunitas tubuh harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang

terinfeksi, untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah infeksi ulang. Respon imunitas yang berperan menghambat masuknya virion adalah respon humoral, dengan cara netralisasi. Selain respon imun humoral, respon imun seluler juga memegang peranan penting yaitu dengan melibatkan sel T – sitotoksik, sel NK (Natular Killer), ADCC (Antigen Dependent Cell Mediated Cytotoxicity) dan interaksi dengan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I(2,13,14).

Peran antibodi dalam menetralisasi virus akan efektif, terutama untuk virus yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel dan replikasi virus dapat dicegah. Adanya antibodi akan membatasi penyebaran virus ke sel atau jaringan tetangganya. Antibodi dapat menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang keluar dari sel yang telah hancur, namun seringkali tidak cukup mampu menetralisir virus yang telah mengubah struktur antigennya (mutasi) dan yang telah melepaskan diri (budding off) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara langsung(5,13,14).

Meskipun antibodi berperan penting mencegah infeksi virus campak, namun dipengaruhi juga oleh respon imun seluler, yaitu melalui mekanisme ADCC (Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity) dan lisis komplemen terhadap sel yang terinfeksi virus(9).

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa sel limfosit T berperan besar menghilangkan infeksi virus campak. Anak leukemia dengan terapi sitotoksik setelah terpapar virus campak menunjukkan manifestasi klinis yang bervariasi, seperti tidak adanya rash dan berkembangnya pneumonia sel raksasa,. Pada anak terinfeksi HIV dan anak dengan Severe Combined Immuno Defficiency (SCID) akan berkembang menjadi infeksi virus yang parah, meskipun telah diberi imunoglobulin dalam jumlah besar. Pada anak yang tidak dapat membentuk Ig G (X-linked infantile agammaglobulinemia) imunitas seluler dapat membentuk mekanisme perlindungan terhadap virus campak, meskipun tanpa antibodi. Jika anak tersebut terinfeksi virus campak maka akan sembuh sempurna dan tidak akan rentan jika terinfeksi kembali. Sel limfosit T membantu sel limfosit B menghasilkan respon antibodi (IgM, IgG dan IgA) dan dapat bertindak secara independen menghilangkan virus(5,9). Respon imun terhadap imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen. Tujuan imunisasi adalah mencegah penyakit tertentu pada seseorang, menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok orang atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia, seperti penyakit cacar(15).

Titer antibodi setelah imunisasi dengan vaksin campak yang dilemahkan sangat bervariasi, tetapi masih lebih rendah

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 32

Page 34: 20955554-cdk-148-Imunisasi

dibandingkan dengan virus campak liar. Demikian juga respon imun terhadap vaksin yang diinaktivasi berbeda dengan vaksin virus campak hidup. Komponen F yang hancur selama proses inaktivasi menyebabkan orang yang diimunisasi vaksin inaktivasi hanya mempunyai respon terhadap protein H dan tidak mempunyai respon imunitas terhadap protein F. Infeksi virus, fusi sel dan penyebaran dari sel ke sel dapat terjadi karena protein F tidak dinetralisir oleh antibodi(3).

Antibodi akan bertahan lebih lama jika mendapat booster dari paparan virus campak liar yang beredar. Adanya infeksi ulang oleh virus campak liar atau oleh vaksin pada saat titer antibodi rendah, akan merangsang sel memori menghasilkan antibodi secara cepat dan mencapai puncaknya 12 hari setelah infeksi ulang. Studi di komunitas terbuka di mana terjadi booster virus campak liar menunjukkan, bahwa 6-8 tahun setelah imunisasi campak, ternyata 85% sampel masih mempunyai antibodi(3). Meskipun titer antibodi campak setelah imunisasi lebih rendah dibandingkan setelah paparan virus campak liar, imunitasnya masih dapat terdeteksi sampai umur 23 tahun, bahkan seumur hidup.(2)

Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi respon imun terhadap imunisasi campak adalah usia saat imunisasi, adanya antibodi maternal, status nutrisi, penyakit yang diderita dan faktor vaksin yang meliputi potensi vaksin, strain yang digu-nakan, dosis, cara penyimpanan dan rute pemberian vaksin(3).

1. Usia saat imunisasi Daya guna vaksin campak menurun bila vaksin diberikan pada bayi yang lebih muda, karena proporsi antibodi maternal masih tinggi. Umur saat kebanyakan bayi kehilangan antibodi maternal dan waktu yang optimal untuk vaksinasi campak bervariasi dari 3 - 6 bulan di beberapa negara sedang berkembang, dan pada umur 12 bulan atau lebih di negara lainnya(9).

2. Adanya antibodi maternal

Adanya antibodi maternal dan pemberian gamma globulin pada subyek yang terpapar virus campak, dapat mencegah infeksi virus campak dan sakit campak klinis.(4,8) Antibodi maternal yang berasal dari ibu yang terinfeksi virus campak secara alami akan memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6-12 bulan. Antibodi maternal pada bayi akan menghilang lebih cepat pada ibu yang terinfeksi virus dari vaksin campak. Profil antibodi maternal sangat bervariasi tergantung daerah geografis. Kecepatan hilangnya antibodi maternal berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi dan kombinasi beberapa faktor yaitu kadar antibodi maternal yang diturunkan dari ibu, genetik, perbedaan lingkungan dalam transfer plasenta dan perbedaan katabolisme antibodi maternal pada bayi(9). Di Asia Tenggara, cepat hilangnya antibodi maternal terutama disebabkan oleh menurunnya efisiensi transfer IgG transplasental, meningkatnya katabolisme antibodi pasif karena sering terkena infeksi pada waktu bayi dan hilangnya antibodi ke dalam lumen usus selama diare(3).

WHO’s Expanded Programme on Immunization (EPI) menyarankan pemberian vaksin campak yang dilemahkan dengan titer standar, pada usia 9 bulan di negara sedang

berkembang. Alternatif lain diberikan pada umur yang lebih muda untuk perlindungan yang lebih baik. Jadwal dua dosis pada umur yang lebih muda telah dilakukan dengan dosis awal pada usia 6 bulan, di beberapa negara sedang berkembang dan pada usia 9-12 bulan di negara maju. Sedangkan dosis kedua diberikan beberapa bulan kemudian(9).

Di daerah transmisi virus campak liar tinggi, kesempatan terpapar virus pada bayi atau anak-anak akan meningkat segera setelah antibodi maternal turun. Tujuan vaksinasi pada umur yang lebih muda adalah untuk menutup window of susceptibility terhadap infeksi virus alam(9).

Hasil penelitian imunisasi campak dengan vaksin AIK-C pada bayi umur 6 bulan dan vaksin Schwarz pada bayi usia 9 bulan di Ghana, menunjukkan serokonversi yang sama (98%) setelah 3 dan 6 bulan; tetapi titer rata-rata antibodi setelah imunisasi dengan vaksin Schwarz lebih tinggi dibandingkan vaksin AIK-C(16). Di India, imunisasi dengan vaksin Schwarz pada bayi 6-9 bulan menunjukkan serokonversi yang lebih rendah dibandingkan imunisasi pada bayi umur 9-12 bulan(17). Penelitian dengan vaksin campak lain yaitu CAM-70 pada klinik pediatri di Jepang dari tahun 1982-1999 menunjukkan serokonversi sebesar 95.4%(18).

Di Indonesia program imunisasi campak dimulai pada tahun 1981. Imunisasi campak diberikan pada bayi 9 bulan dengan pertimbangan bahwa antibodi maternal bayi telah menurun rata-rata pada umur 9 bulan. Selama bayi masih mempunyai kekebalan dari ibu maka bayi akan aman dari penyakit campak. Dengan imunisasi pada umur 9 bulan diharapkan titer antibodi yang terbentuk setelah imunisasi dapat maksimal, karena tidak ada pengaruh antibodi maternal yang dapat menetralkan antigen vaksin, dan juga memberikan perlindungan pada bayi sedini mungkin terhadap infeksi virus alami. Pemberian satu dosis vaksin diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih dari 14 tahun(19) atau paling sedikit 16 tahun(3).

Penelitian tentang imunisasi campak banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian Kristiani (1990)(20) tentang imunisasi campak dengan vaksin Schwarz pada anak 6-8 bulan dan 9-14 bulan di Kabupaten Magelang, menunjukkan serokonversi masing-masing sebesar 88.8% dan 83.3%. Penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan pada anak 12-36 bulan menunjukkan proporsi titer antibodi campak protektif masing-masing sebesar 41.5% dan 29.8%(21). Penelitian Rostanti (1991)(22) menemukan bahwa 9 bulan setelah imunisasi campak pada anak umur <12 bulan, proporsi titer campak protektif sebesar 85.9% dan setelah 28-36 bulan menjadi 70.7%.

3. Status gizi

Beberapa studi menunjukkan bahwa status gizi kurang berpengaruh terhadap serokonversi titer antibodi sebelum dan sesudah imunisasi campak. Bayi dengan gizi buruk akan memetabolisme antibodi maternal untuk mempertahankan ketersediaan protein, sehingga dengan cepat akan menurunkan antibodi maternal tersebut. Penelitian di Yogyakarta (2000) pada anak usia 1-12 tahun pasca imunisasi ulang campak menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna sekonversi titer antibodi campak berdasarkan status gizi(23).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 33

Page 35: 20955554-cdk-148-Imunisasi

4. Penyakit yang diderita Di negara berkembang, imunisasi pada anak yang

menderita penyakit akut cukup aman dan efektif. Namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa serokonversi titernya lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat. WHO menyarankan sebaiknya imunisasi campak tidak diberikan pada anak yang sedang menderita penyakit akut.

Anak yang menderita imunosupresi merupakan indikasi kontra imunisasi campak, kecuali anak yang terinfeksi HIV. Penelitian prospektif di beberapa negara Afrika menunjukkan tidak ada perbedaan reaksi samping setelah imunisasi campak, pada anak yang terinfeksi HIV dan yang tidak; tetapi penelitian di Amerika dan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa imunisasi campak dapat memperparah penyakit pada orang yang terinfeksi HIV.Oleh karena itu imunisasi campak disarankan diberikan secara rutin pada anak terinfeksi HIV tanpa gejala, dan pada orang dewasa yang tidak mempunyai imunitas terhadap campak. Perlu dipertimbangkan imunisasi campak pada orang terinfeksi HIV dengan gejala imunosupresi yang tidak terlalu parah(3,6). WHO menyarankan imunisasi rutin pada bayi tanpa melakukan skrining HIV.

5. Faktor vaksin

Selain faktor hospes, kemampuan vaksin campak merangsang respon imun dipengaruhi juga oleh strain yang digunakan, dosis, penyimpanan dan cara pemberian vaksin.

Studi menunjukkan vaksin strain Edmonston Zagreb menghasilkan serokonversi yang lebih tinggi dibandingkan strain Schwarz, pada dosis dan umur yang sama. Vaksin dari strain yang sama dapat memberikan hasil berbeda tergantung juga dari pembuatnya; titer antibodi setelah imunisasi dengan vaksin Edmonston Zagreb yang diproduksi di Meksiko lebih rendah dibandingkan dengan vaksin yang diproduksi di Zagreb(3).

Dosis vaksin berpengaruh terhadap antibodi yang terbentuk. Persyaratan WHO untuk titer minimal vaksin campak adalah 1000 TCID 50, merupakan syarat minimal untuk kondisi penanganan vaksin yang jelek di lapangan(3).

Penyimpanan vaksin yang jelek berdampak pada rendahnya efikasi vaksin. Meskipun telah dibuat dalam bentuk beku kering, vaksin campak yang telah dilarutkan masih sensitif terhadap panas dan sinar matahari. Penggunaan desin-fektan untuk sterilisasi siring dan jarum dan variasi dosis yang diberikan melalui injektor juga mempengaruhi efikasi vaksin(3).

Beberapa studi menunjukan bahwa pemberian vaksin non parenteral lebih efektif merangsang terbentuknya Ig A, karena virus vaksin dapat berreplikasi di epitelium pernafasan tanpa dipengaruhi antibodi maternal. Pemberian vaksin secara aerosol menghasilkan serokonversi titer yang sama tinggi dengan pemberian secara subkutan, meskipun secara teknis pemberian secara aerosol relatif sulit dan kurang praktis. Pemberian vaksin secara intranasal memberikan hasil yang bagus di Yugoslavia akan tetapi hasil serokonversi yang rendah di Kenya. WHO menyarankan pemberian imunisasi campak secara subkutan. Penelitian tentang cara pemberian imunisasi lainnya masih terus dikembangkan(3).

PENUTUP Kasus campak masih sering dijumpai di beberapa daerah

di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah respon imun yang kurang optimal. Imunisasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan respon tersebut. Dengan perbaikan mutu vaksin, peningkatan status gizi masyarakat dan penanganan kasus yang baik diharapkan kasus campak dapat dikurangi, sehingga tujuan eradikasi campak dapat segera tercapai.

KEPUSTAKAAN 1. DitJen PPM-PL. Petunjuk Teknis Reduksi Campak di Indonesia. Edisi 1.

Depkes Jakarta.1995:1-9. 2. Field BN, Knipe DM. Field Virology. 2nd ed, New York : Raven Press..

1990; I: 1013 – 36. 3. Cutts F. The Immunologic Basic for Immunization. Measles.

WHO/EPI/GEN/93.17.WHO Geneva. 1993;1-10. 4. Griffin DE, Ward BJ, Esolen LM. Pathogenesis of Measles Virus

Infection: a hypothesis for altered immune responses. J. Infect Dis. 1994; 170(Supp1):S25-6.

5. Stites DP, Terr AI, Parslow TG. Medical Immunology. 9th ed. Prentice-Hall International Inc. 1997; 699-700.

6. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL. Measles Vaccine. In Plotkin SA, Orenstein WA. Vaccine. 3rd ed .Tokyo:WB Saunders Co.: 1999; 223.

7. Ditjen PPM-PL. Pedoman Surveilans dan Respon KLB dalam Rangka Reduksi Campak di Indonesia. DepKes Jakarta. 2002;1-9.

8. Bellini WJ, Rota JS, Rota P. Virology of Measles Virus. J. Infect Dis. 1994;170(Suppl.):S15-21.

9. Gellin B, Katz SL. Measles: State of the Art and Future Directions. J. Infect Dis. 1994;170 (Suppl.):S3-9.

10. Osterhaus AD, Vries P, van Binnendijk RS. Measles Vaccine : Novel Generation and Strategies. J. Infect Dis.1994;170(Suppl 1); S42-S46.

11. Pok Ja Reduksi Campak. Notulen tg. 20 Januari 2004. 12. PT Bio Farma. Vademekum. 1997;52- 4. 13. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FK UI

Jakarta. 1996; 4-6,106-7. 14. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology. 4 ed. Mosby London, 1996,

p:16.1- 8. 15. BrataRanuh IGN, Soeyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita C. Buku

Imunisasi di Indonesia. Ed. 1. Satgas Imuninisasi-IDI.2001:57-63,105-10. 16. Nkrumah FK, Osei-Kwasi MO, Dunyo SK, Koram KA, Afani EA.

Comparison of AIK-C Measles Vaccine in Infants at 6 Months with Schwarz Vaccine at 9 months: a randomized controlled trial in Ghana. Bull WHO 1998;7(4):353-4.

17. Vidyashankar. Optimal Age for Measles Vaccination. J.Indian Med.Assoc. 2002. Jan;100(1):24-26 (Abstrak).

18. Ozaki et al. Clinical and Serological Studies on CAM-70 Live Attenuated Measles Vaccine, an 18-Year Survey at Pediatric Clinic in Japan. Vaccine.2002. Jun 7:20 (19-20) 2618-22. (Abstrak).

19. Dit Pengamatan EPIM-Kesma.DirJen P2MPLP. Materi Pelatihan Manajemen Program Imunisasi Tingkat Kabupaten dan Kota. DepKes Jakarta, 2000.

20. Kristiani R. Vaksinasi campak pada anak umur 6-36 bulan dengan berbagai tingkat gizi di kecamatan Salam Kabupaten Magelang, Propinsi Jateng. Laporan Penelitian. 1990.

21. Yuwono J. Efektivitas Imunisasi Campak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Puslitbang Pemberantasan Penyakit. Badan Litbang Kesehatan. 1991/1992.

22. Rostanti T. Serokonversi HI 0-36 Bulan Pasca Vaksinasi Campak pada Anak Balita di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Tesis S2. Fakultas Pasca Sarjana. UGM. 1991.

23. Heriyanto B. Model Pemberian Imunisasi Ulang Campak pada Anak. Puslitbang Pemberantasan Penyakit. Badan Litbang Kesehatan. Laporan Penelitian. 1999/2000.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 34

Page 36: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Kecenderungan Kasus Campak Selama Empat Tahun (1997 – 2000)

di Indonesia

Enny Muchlastriningsih

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan salah satu dampak keberhasilan program imunisasi ialah menurunnya angka kesakitan dan kematian penyakit campak. Sidang CDC / PAHO / WHO 1996 menyimpulkan bahwa penyakit campak dapat dieradikasi karena satu-satunya pejamu (host) reservoir campak hanya manusia, dan sidang WHA (1998) menetapkan kesepakatan Reduksi Campak(1).

Program imunisasi campak di Indonesia dimulai tahun 1982, dan pada tahun 1991 Indonesia telah mencapai imunisasi dasar lengkap (Universal Child Immunization=UCI) secara nasional; meskipun demikian masih ada beberapa daerah yang cakupan imunisasi campaknya masih rendah sehingga sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak. Salah satu tahapan dalam upaya pemberantasan campak ialah Tahap Reduksi Campak yang salah satu strateginya ialah Surveilans (Surveilans rutin, SKD-respon KLB, dan Penyelidikan KLB).

Surveilans penyakit campak dilakukan untuk menilai perkembangan program pemberantasan campak dan menentu-kan strategi pemberantasannya terutama di daerah. Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih disertai demam 38°C (WHO,1996).

Penyakit campak disebabkan oleh virus golongan paramyxoviridae. Cara penularannya air borne berupa percikan batuk, bersin penderita; penderita dapat menularkan penyakit ini meskipun belum demam (biasanya 3 hari sebelum demam). Masa inkubasi penyakit ini 8-13 hari, rata- rata 10 hari.

Gejala penyakit campak(1) 1. Bercak kemerahan (rash) yang dimulai dari belakang telinga, berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih, menyebar ke seluruh tubuh; dan akan berubah menjadi kehitaman dan bersisik. 2. Suhu tubuh ≥ 38°C. 3. Gejala lain: batuk, pilek, mata merah, Koplik’s spot (bercak kemerahan dengan warna putih di tengahnya pada selaput lendir pipi).

TUJUAN UMUM Menghitung jumlah kasus campak selama 4 tahun (1997 –

2000). TUJUAN KHUSUS 1. Mengetahui kecenderungan kasus campak selama 4 tahun. 2. Mengetahui jumlah kasus campak per propinsi. 3. Mengetahui jumlah kasus campak per golongan umur. 4. Mengetahui jumlah kasus campak per sumber data. METODOLOGI

Dilakukan analisis data hasil surveilans kasus campak selama 4 tahun di Indonesia yang berasal dari Sub.Dit. Surveilans Dit.Jen. PPM-PL Dep.Kes.RI.

Sistem surveilans campak selama ini dilakukan per provinsi dan melalui 3 jalur yaitu : 1. Penderita rumah sakit yang rawat jalan 2. Penderita rumah sakit yang rawat inap 3. Penderita puskesmas HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah kasus campak selama 4 tahun berjumlah 192.171, berasal dari 26 propinsi. Dari Gb. 1 terlihat kecenderungan kasus campak selama 4 tahun dimulai pada tahun 1997, meningkat tinggi pada tahun 1998, mencapai puncaknya pada tahun 1999, kernudian turun pada tahun 2000.

20000300004000050000600007000080000

1 2 3 4

Val

ue K

ASU

S

Gambar l. Kecenderungan Kasus Campak Selama 4 Tahun (1997- 2000)

di Indonesia Keterangan: 1 = tahun 1997, 2 = tahun 1998, 3 = tahun 1999, 4 = tahun 2000

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 35

Page 37: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Tabel 1. Jumlah Kasus Campak selama 4 Tahun di Indonesia

Tahun No. Kriteria 1997 1998 1999 2000 Total

1. Kasus 27.875 53.024 73.963 37.309 192.171 2. Kematian 5 29 17 15 66

Catatan : Jumlah kematian yang tercatat hanya berasal dari RS rawat inap ; data dari RS rawat jalan dan puskesmas tidak ada. Tabel 2. Jumlah Kasus Campak per Propinsi di Indonesia selama 4 tahun.

No. Propinsi 1997 1998 1999 2000 Total 1 D.I. Aceh 1.439 944 1.674 799 4.856 2 Sumatera Utara 2.314 6.145 5.378 2.983 16.820 3 Sumatera Barat 417 193 120 - 730 4 Riau 1.521 905 616 1.431 4.473 5 Jambi 537 968 1.052 376 2.933 6 Sumatera Selatan - 208 2.679 602 3.489 7 Bengkulu 637 675 1.037 253 2.602 8 Lampung 340 98 3.597 1.185 5.220 9 DKI Jakarta 2.374 2.089 5.892 4.536 14.891 10 Jawa Barat 5.839 26.043 23.154 2.387 57.423 11 Jawa Tengah 1.987 6.495 11.543 8.930 28.955 12 D.I. Yogyakarta 1.084 557 726 1.523 3.890 13 Jawa Timur 5.638 4.599 7.711 4.124 22.072 14 Kalimantan Barat 157 215 1.381 586 2.339 15 Kalimantan Tengah 185 213 712 1.395 2.505 16 Kalimantan Selatan - - 1.590 - 1.590 17 Kalimantan Timur 402 489 470 1.506 2.867 18 Sulawesi Utara 436 574 772 436 2.218 19 Sulawesi Tengah 175 118 481 187 961 20 Sulawesi Selatan 336 535 252 414 1.537 21 Sulawesi Tenggara 7 25 86 86 204 22 Bali 244 212 2.556 1.236 4.248 23 Nusa Tenggara Barat - - 209 416 625 24 Nusa Tenggara Timur 129 472 72 1.475 2.148 25 Maluku 1.545 - - - 1.545 26 Irian Jaya 132 252 203 443 1.030

Total 27.875 53.024 73.963 37.309 192.171

Keterangan.: − Tahun 1997 : Propinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Nusa

Tenggara Barat tidak melaporkan adanya kasus campak. Propinsi DKI Jakarta dan Irian Jaya hanya melaporkan kasus campak yang berasal dari puskesmas, sedangkan Propinsi Sulawesi Tenggara hanya melapor-kan kasus campak yang berasal dari RS rawat inap dan RS rawat jalan.

− Tahun 1998 : Propinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku tidak melaporkan adanya kasus campak. Propinsi Sumatera Barat tidak melaporkan adanya kasus campak dari puskesmas. Propinsi Kalimantan Tengah hanya melaporkan kasus campak yang berasal dari puskesmas.

− Tahun 1999 : Propinsi Maluku tidak melaporkan adanya kasus campak. Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak melaporkan adanya kasus campak yang berasal dari puskesmas. Propinsi Nusa Tenggara Timur hanya melaporkan kasus campak yang berasal dari RS rawat inap.

− Tahun 2000 : Propinsi Kalimantan Selatan dan Maluku tidak melaporkan adanya kasus campak. Propinsi Sumatera Barat tidak melaporkan adanya kasus campak dari puskesmas. Propinsi Irian Jaya tidak meiaporkan adanya kasus campak dari RS rawat jalan.

Tabel 3. Jumlah Kasus Campak per Golongan Umur selama 4 tahun (1997-2000) di Indonesia.

Tahun No. Golongan Umur 1997 1998 1999 2000 Total

1 < 1 tahun 3.955 7.009 8.652 3.958 23.574 2 1-4 tahun 9.137 18.737 26.776 10.930 65.580 3 5-14 tahun 10.516 17.774 26.188 14.338 68.816 4 15-44 tahun 3.348 6.646 6.909 6.975 23.878 5 > 45 tahun 919 2.858 5.438 1.108 10.323

Total 27.875 53.024 73.963 37.309 192.171 Tabel 3 terlihat golongan umur yang paling banyak ialah

5-14 tahun, diikuti golongan umur 1-4 tahun, dan yang paling sedikit golongan umur > 45 tahun.

Golongan umur < 1 tahun lebih sedikit dibandingkan golongan umur di atasnya mungkin karena kekebalan bawaan yang bertahan relatif lama yaitu hingga bayi berumur 9 bulan(2). Tabel 4. Jumlah Kasus Campak per Sumber Data Selama 4 tahun

(1997-2000) di Indonesia.

Tahun No. Sumber Data 1997 1998 1999 2000 Total

1 RS Rawat Jalan 2.842 6.601 10.063 5.995 25.501 2 RS Rawat Inap 1.942 4.958 8.599 2.735 17.748 3 Puskesmas 23.541 41.465 5.531 28.579 99.606

Total 27.875 53.024 73.963 37.309 192.171

Tabel 4 terlihat sumber data campak terbanyak berasal dari puskesmas yang memang merupakan ujung tombak terdepan bagi pelayanan kesehatan di negara kita, dan paling sedikit dari rumah sakit rawat inap; mungkin memang tidak banyak kasus campak yang menjadi parah hingga perlu dirawat di rumah sakit. KESIMPULAN

Kasus campak selama 4 tahun di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1999. Ada 3 propinsi yang paling banyak melaporkan kasus campak yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tetapi ada pula propinsi yang tidak melaporkan/laporan tidak lengkap, mungkin karena kendala tertentu. Golongan umur yang paling banyak terkena campak ialah 5-14 tahun. Sumber data kasus campak terbesar berasal dari puskesmas. UCAPAN TERIMA KASIH

Kami tujukan kepada Sub.Dit. Surveilans khususnya Ibu Adolfina Pirade SKM, M.Kes, dan Ibu Niprida Mardin SKM., dan semua pihak yang membantu.

KEPUSTAKAAN

1. Dit.Jen. PPM-PL Departemen Kesehatan bekerja sama dengan WHO.

2002. Pedoman Surveilans dan Respon KLB Campak. Jakarta. 2. Kandun I N et al. Penelitian Kekebalan Bawaan dan Serokonversi setelah

Vaksinasi Campak pada Bayi di Mojokerto. Laporan Seminar, 1986.

Idleness is the beginning of all vices

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 36

Page 38: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Kecenderungan Kejadian Luar Biasa

Chikungunya di Indonesia Tahun 2001 - 2003

Bambang Heriyanto, Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Siti Hutauruk

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Seperti telah kita ketahui bersama penyakit Chikungunya merupakan penyakit reemerging yaitu penyakit yang keberada-annya sudah ada sejak lama tetapi sekarang muncul kembali. Bahkan sejak tahun 1779 di Batavia (Jakarta), telah dilaporkan penyakit yang memiliki gejala mirip chikungunya yang dikenal dengan nama penyakit knuckle fever, knee trouble di Kairo (1779), scarletina rhematica di Calcuta, Madras, dan Gujarat (1824).

Penyakit chikungunya dilaporkan telah berjangkit di beberapa negara Afrika misalnya Angola, Botswana, Nigeria, Zimbabwe, dan negara lainnya, dan virusnya diisolasi pertama kali pada tahun 1952 di Tanganyika .

Di Indonesia sendiri Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh daerah baik di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun 1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara dan Irian Jaya.

Setelah hampir 20 tahun tidak ada kejadian maka mulai tahun 2001 mulai dilaporkan adanya KLB chikungunya lagi di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat, sedangkan pada tahun 2002 terjadi KLB di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.

Gejala utama penyakit ini ialah nyeri sendi, demam, sakit kepala/ pusing, bintik-bintik merah di kulit tetapi tidak terasa gatal. Gejala ini dirasakan oleh penderita sekitar 1-10 hari lamanya. BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Spesimen penderita chikungunya diperoleh dari berbagai daerah dengan kejadian luar biasa (KLB) chikungunya di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 – 2003. Spesimen berupa serum penderita yaitu serum akut saja. Serum dikirim ke Laboratorium Puslitbang Pemberantasan Penyakit dalam keadaan dingin disimpan dalam Cold Box disertai data klinis

penderita. Golongan umur penderita sangat beragam dari anak- anak hingga orang tua.

Dengan bantuan NAMRU-2 dilakukan pemeriksaan serum penderita menggunakan metoda ELISA, isolasi virus, dan RT-PCR.

HASIL PENELITIAN

Jumlah semua spesimen sebanyak 389 dengan perincian pada tahun 2001 sebanyak 18 spesimen, tahun 2002 sebanyak 89 spesimen, dan tahun 2003 sebanyak 282 spesimen.

Secara keseluruhan spesimen berasal dari 22 kabupaten/ kota di seluruh Indonesia.

Tabel 1 memperlihatkan daerah yang mengirim spesimen dan jumlah spesimennya, 3 daerah paling banyak mengirim spesimen yaitu Bekasi =51 spesimen (13,1%), DKI Jakarta = 42 spesimen (10,8%), dan Klaten = 38 spesimen (9,8%), sedangkan 3 daerah yang paling sedikit mengirimkan spesimen yaitu Baturaja = 2 spesimen (0,5%), Karawang = 2 spesimen (0,5%), dan Metro = 3 spesimen (0,8%). Keadaan ini tidak selalu menggambarkan besarnya KLB karena bisa saja sebetul-nya kasusnya banyak tetapi karena keterbatasan (dana, tenaga, maupun waktu) maka spesimen yang dikirim terbatas.

Terlihat pada Grafik 1 kecenderungan yang meningkat pada spesimen penderita chikungunya maupun daerah yang terjangkit meskipun jumlah daerah terjangkit kenaikannya tidak setajam kenaikan jumlah spesimen. Tidak semua daerah merupakan daerah yang baru terkena KLB karena seperti kabupaten Klaten selama tahun 2001-2003 telah terjadi dua kali serangan yaitu pada tahun 2002 dan tahun 2003.

Bila pada tahun 2001 hanya 3 kabupaten dengan jumlah spesimen 18 maka pada tahun 2002 bertambah menjadi 6 kabupaten dengan jumlah spesimen 89, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 14 kabupaten dengan jumlah spesimen 282 , hal ini dapat dilihat dalam 2 sisi yaitu kesadaran daerah yang meningkat dalam hal pencarian kasus chikungunya yang diikuti dengan pengiriman spesimen dan pelaporan atau memang terjadi peningkatan kasus chikungunya di lapangan yang harus diwaspadai dan untuk itu perlu diambil langkah-langkah yang tepat agar penyakit ini tidak makin meluas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 37

Page 39: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Tabel 1. Jumlah spesimen dan daerah asalnya, 2001-2003.

No. Daerah asal Jumlah spesimen Persentase

1. Bireun (Aceh) 6 1,5 2. Baturaja 10 2,6 3. Bogor 2 0,5 4. Kebumen 3 0,8 5. Purworejo 36 9,2 6. Klaten 38 9,8 7. Banggai (Sulsel) 10 2,6 8. Ogan Komering Ulu (Sumsel) 10 2,6 9. Karawang 2 0,5

10. Bantul 23 5,9 11. Pasuruan 10 2,6 12. Mojokerto 10 2,6 13. DKI Jakarta 42 10,8 14. Magelang 14 3,6 15. Bandung 23 5,9 16. Tangerang 17 4,4 17. Bekasi 51 13,1 18. Metro (Lampung) 3 0,8 19. Subang 36 9,2 20. Lahat (Sumsel) 10 2,6 21. Kotawaringin Barat 27 6,9 22. Lamongan 6 1,5

Total 389 100 Grafik 1. Kecenderungan jumlah kasus dan daerah pengirim tahun 2001-2003.

Tabel 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan laboratorium spesimen chikungunya selama 3 tahun (2001-2003) yang secara keseluruhan jumlahnya meningkat begitu pula hasil pemeriksaan terlihat bertambah tetapi bila dilihat persentase hasil yang positif (angka ketepatan diagnosisnya) terlihat menurun dan tahun berikutnya meningkat lagi; yaitu bila pada tahun 2001 jumlah yang positif yang berarti angka ketepatan diagnosisnya 72,2%, maka pada tahun 2002 turun menjadi 42,2%, pada tahun 2003 meningkat menjadi 68,8% meskipun masih lebih rendah dibandingkan tahun 2001.

Di Tabel 3 terlihat jumlah daerah yang terkena KLB, jumlah spesimen yang dikirim dan hasil pemeriksaan. Daerah terbanyak mengirim spesimen yaitu Bekasi dengan 51 spesimen, DKI Jakarta 42 spesimen, Purworejo dan Subang

masing-masing 36 spesimen, tetapi besarnya jumlah spesimen yang dikirim belum tentu menggambarkan besarnya kasus chikungunya di daerah tersebut karena kemungkinan keter-batasan dana, tenaga, dan lokasi pengambilan spesimen ter-sebut; jika diasumsikan keterbatasan tersebut sama di semua daerah maka memang besarnya jumlah spesimen yang dikirim akan menggambarkan besarnya kasus chikungunya di daerah tersebut.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Chikungunya 2001- 2003.

Hasil pemeriksaan Tahun Positif Persen Negatif Persen

Jumlah Persen

2001 13 72,2 5 27,8 18 100 2002 38 42,2 51 57,3 89 100 2003 194 68,8 88 31,2 282 100 Total 245 63,0 144 37,0 389 100

Tabel 3. Jumlah Daerah KLB, Spesimen yang Dikirim, dan Hasil

Pemeriksaan Laboratorium.

Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Daerah KLB

Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Jumlah

Bireun 5 1 - - - - 6 Baturaja 6 4 - - - - 1 Bogor 2 0 - - - - 2 Kabumen - - 0 3 - - 3 Purworejo - - 18 18 - - 36 Klaten - - 18 10 - - 28 Banggai - - 0 10 - - 10 Ogan Komering Ulu

- - 0 10 - - 10

Karawang - - 2 0 - - 2 Bantul - - - - 18 5 23 Pasuruan - - - - 3 7 10 Mojokerto - - - - 2 8 10 Jakarta - - - - 32 10 42 Magelang - - - - 11 3 14 Bandung - - - - 21 2 23 Tangerang - - - - 16 1 17 Bekasi - - - - 26 25 51 Metro - - - - 0 3 3 Subang - - - - 22 14 36 Lahat - - - - 9 1 10 Kotawaringin Barat - - - - 27 0 27

Lamongan - - - - 1 5 6 Total 13 5 38 51 194 88 389

TAHUN

200320022001

Jum

lah

300

200

100

0

DAERAH

SPESIMEN

Grafik 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium yang Hasilnya Positif dan Jenis Kelamin Penderita.

Grafik 2 menggambarkan jumlah penderita chikunga dengan hasil uji laboratorium positif yang berarti memang terinfeksi virus chikungunya; secara keseluruhan jumlah

300

200

jum

lah

kasu

s

100SEX

pria

38 wanita02002 2001 2003

TAHUN

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

Page 40: 20955554-cdk-148-Imunisasi

penderita wanita lebih banyak meskipun bila dilihat per tahun pada tahun 2001 jumlah penderita pria lebih banyak, tetapi pada tahun 2002 dan 2003 penderita wanita lebih banyak daripada pria. Jadi untuk jenis kelamin tidak dapat disimpulkan mana yang lebih dominan.

Berdasarkan golongan usia (Tabel 4) terlihat bahwa yang terbanyak ialah 30-40 tahun (31,8%), termuda 2,6 tahun ( pada anak laki-laki dan perempuan), sedangkan 1 orang laki-laki berusia 77 tahun.

Tabel 4. Jumlah penderita dengan hasil pemeriksaan laboratorium

positif terinfeksi chikungunya berdasarkan usia, 2001-2003.

No Golongan umur Jumlah Persentase 1 0- 7 2,8 2 5- 5 2,0 3 10- 10 4,1 4 15- 20 8,2 5 20- 20 8,2 6 25- 22 9,0 7 30- 27 11,0 8 35- 25 10,2 9 40- 26 10,6 10 45- 23 9,4 11 50- 22 9,0 12 55- 14 5,7 13 60- 10 4,1 14 65- 8 3,3 15 70- 5 2,0 16 75- 1 0,4

Jumlah 245 100

Jadi jika beberapa penelitian mengatakan titer antibodi pada penderita usia < 30 tahun tidak ditemukan atau sangat kecil maka pada penelitian ini agak berbeda karena ternyata ditemukan titer antibodi pada penderita usia < 30 tahun ( 34,3% dari seluruh penderita ) selama tahun 2001-2003. KESIMPULAN 1) Kasus chikungunya di Indonesia tahun 2001 - 2003 menunjukkan kecenderungan meningkat baik dari daerah yang mengalami KLB maupun jumlah spesimen yang diperiksa. 2) Hasil pemeriksaan laboratorium yang positif (angka kete-patan diagnosis) secara keseluruhan persentasenya naik turun. 3) Secara keseluruhan wanita lebih banyak yang hasil laboratoriumnya positif. 4) Golongan umur yang terinfeksi virus chikungunya terutama antara 30- 40 tahun, termuda 2,6 tahun dan tertua 77 tahun.

KEPUSTAKAAN

1. Chin J. Control of Communicable Disease Manual. 17th ed. Am. Pub. Health Assoc.Washington DC 2000. p 624.

2. Lysenko A. Zoonosis Control. Collection of Teaching Aids for International Training Course, Vol-1, General Problem.UNEP-USSR Commission for UNEP, Centre for International Project GNKT,1982.

3. Muchlastriningsih E et al. Hasil Pemeriksaan Spesimen Chikungunya di Indonesia tahun 2001-2002. Berita Epidemiologi, Agustus 2003.

4. Pavri KM. Presence of Chikungunya Antibodies in Human Sera Collection from Calcutta and Jamshedpur before 1963. Indian J. Med. Res. 1964; 52: 698-702.

5. Suharyono W. et al. Outbreak of Chikungunya in Indonesia. First International Conference on the Impact of Viral Disease on Development of Asia Countries. Bangkok Thailand, Dec. 1986.

Hardi aseluhan

imau Siberia, hewan langka penuh pesona ini sekaranglam bebas tinggal……..400 ekor. Sedang luas wilayahruh Siberia 13.807.037 km2, berarti tiap ±34.500 km2

ya ada 1 ekor harimau !

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 39

Page 41: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten Bekasi

Tahun 2003

Rudi Hendro P, Eko Rahardjo, Masri Sembiring Maha, John Master Saragih

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Chikungunya (chik) berasal dari bahasa Swahili (suku bangsa di Afrika) yang berarti “orang yang jalannya mem-bungkuk dan menekuk lutut”. Merupakan suatu jenis penyakit virus dengan gejala demam mendadak, nyeri sendi terutama di sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil pergelangan tangan dan kaki, disertai juga nyeri otot yang berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Pada kebanyakan penderita, radang sendi diikuti dengan bintik-bintik merah (ruam) selang waktu sekitar 1 – 10 hari, biasanya bintik merah tersebut gatal, namun ada juga yang tidak gatal.(1)

Penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting disease). Terjadi penyembuhan sempurna dan diikuti dengan terbentuk-nya imunitas di dalam tubuh penderita. Agen penyebabnya adalah virus Chikungunya, termasuk golongan alpha flavivirus, famili Togaviridae. Virus Chik ditemukan di Afrika, India, Asia Tenggara dan Pasifik.(2)

Dari sejarah diduga KLB Chikungunya terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo; 1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma dan Madras; 1973 di Calcutta.(3)

Di Indonesia Kejadian Luar Biasa (KLB) pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1973 di Samarinda, Kalimantan Timur juga di Jakarta (1982) di Kuala Tungkal, Jambi dan Yogyakarta (1983). Sampai tahun 1985 semua provinsi di Indonesia pernah melaporkan KLB Chikungunya.(4) KLB Chik mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat (Bogor,Bekasi,Depok) pada tahun 2001. Pada tahun 2002 dilaporkan KLB Chikungunya dari Palembang, Semarang, Jawa Barat, Sulawesi Utara dan lain-lain.(5)

LATAR BELAKANG

Pada 19 Maret 2003 Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, melaporkan sedang terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) ter-sangka Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pabayuran, Kabupaten Bekasi. Kasus atau KLB serupa pernah terjadi

sebelumnya di Kabupaten Bekasi pada tahun 2002 di Desa Kali Jaya dengan gejala utama : demam, nyeri otot/sendi dan bintik bintik merah.

Kasus pertama muncul pada bulan Februari 2003 ; jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 45 kasus, tidak dilaporkan adanya kematian (CFR= 0%).

Pada tanggal 17 Maret s/d 22 Maret 2003 dilakukan penyelidikan oleh tim dari Puslitbang Pemberantasan Penyakit, Dinas Kesehatan Bekasi dan Puskesmas Pabayuran dan Harja Mekar.

Tindakan penanggulangan yang dilakukan adalah penyuluhan kesehatan dan penyemprotan agar KLB sesegera mungkin dapat ditanggulangi secara tuntas.(6)

TUJUAN 1. Tujuan umum

Memastikan penyebab penyakit dan adanya KLB serta mengetahui gambaran epidemiologi penyakit di desa Pabayuran dan Harja Mekar. 2. Tujuan khusus a. Memastikan penyebab penyakit dengan pemeriksaan klinis dan laboratorium. b. Memastikan adanya KLB. c. Mengetahui distribusi penderita menurut variabel epide-miologi (orang, waktu dan tempat). d. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan KLB tersebut. BAHAN DAN CARA 1. Definisi Operasional

KLB penyakit adalah peningkatan jumlah kasus di suatu desa 2 kali lebih dalam kurun waktu 1 bulan dibandingkan bulan sebelumnya atau bulan yang sama tahun yang lalu, atau ditemukan 1 atau lebih kasus di suatu desa yang sebelumnya belum pernah melaporkan adanya kasus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 40

Page 42: 20955554-cdk-148-Imunisasi

2. Populasi penyelidikan dan sampel - Populasi penyelidikan.

Masyarakat yang ada dan berdomisili di desa Pabayuran dan Harja Mekar, kabupaten Bekasi.

- Populasi sampel. Seluruh penderita dengan gejala nyeri sendi/otot, demam, bintik-bintik merah di desa Pabayuran dan Harja Mekar - kabupaten Bekasi.

3. Pengumpulan data - Sumber data

a. Puskesmas Pabayuran b. Puskesmas Harja Mekar c. Dinas Kesehatan Bekasi

- Jenis data. a. Data primer dari hasil wawancara dan hasil pemeriksaan spesimen serum penderita. Konfirmasi Chikungunya (ICD-10 A92.0):

- Manusia a. Pemeriksaan serologi (ELISA) b. PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk identifikasi

virus. - Vektor (nyamuk)

a. Isolasi virus b. PCR.

b. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Pabayuran dan Harja Mekar.

- Pengambilan darah, 25 sampel dari Puskesmas Pabayuran dan 25 dari Puskesmas Harja Mekar

- Sampel diperiksa dengan ELISA IgM IgG dan PCR.

HASIL Riwayat Kejadian

Berdasarkan informasi awal dan aspek klinis serta epidemiologis diduga telah terjadi KLB Chikungunya di desa Pabayuran dan Harja Mekar, Kecamatan Cikarang Barat Kabupaten Bekasi. Hal serupa pernah terjadi di Desa Kali Jaya Kabupaten Bekasi pada tahun 2002.

Oleh karena itu pada tanggal 17 s/d 22 Maret 2003 dilakukan penyelidikan epidemiologi oleh tim dari Dinas Kesehatan Kab.Bekasi, Litbangkes Jakarta serta Puskesmas Pabayuran dan Harja Mekar.

Variabel yang dinilai: I. Klinis tersangka chikungunya

1. Demam. 2. Nyeri sendi/otot. 3. Ruam kulit/bercak merah. 4. Nyeri kepala. 5. Malaise/lelah.

II. Laboratoris 1. ELISA 2. PCR

Gambaran epidemiologi 1. Gejala penyakit

Analisis sementara atas sebagian penderita (50) yang di investigasi di Desa Pabayuran dan Harja Mekar 18 Maret 2003,

menunjukkan bahwa 100 % mengeluh demam. Gejala lain yang menonjol adalah malaise/lelah (90 %), nyeri otot dan persendian (95 %) nyeri kepala (90 %), bercak merah pada kulit (85 %). Tabel 1. Proporsi gejala 50 penderita KLB di Desa Pabayuran dan Harja

Mekar.

NO Gejala Jumlah %

1 2 3 4 5

Demam Nyeri persendian Sakit Kepala Bercak merah Malaise/lelah

50 47 45 42 45

100 95 90 85 90

50 100

2. Jumlah kasus menurut desa ( Tabel 2).

Jumlah kasus hingga Mei 2003 (minggu ke 12) sebanyak 107 kasus tanpa kematian (CFR= 0 %), kasus tersebut belum pernah dilaporkan sebelumnya .

Tabel 2. Jumlah kasus di tiap desa.

Desa Kasus Kematian Jumlah

Harja Mekar 67 0 67

Pabayuran 40 0 40

Total 107 0 107

3. Distribusi kasus menurut kelompok umur dan jenis kelamin

Kasus terbanyak didapatkan pada kelompok umur 10 – 49 - tahun yaitu sebesar 82 % (98 kasus) ( Tabel 3 ).

Tabel 3. Proporsi Kasus menurut usia.

Kelompok

umur Jumlah kasus

% Meninggal

CFR %

0 - 9 2 4 % 0 0

10 – 49 98 82 % 0 0

>50 keatas 7 14 % 0 0

Total 107 100 % 0 0

Tabel 4. Proporsi kasus menurut jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah Kasus % Meninggal CFR %

Laki – laki 64 59.813 0 0

Perempuan 43 40.186 0 0

Total 107 100 0 0

4. Pengumpulan Spesimen dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Jumlah spesimen darah yang diambil adalah sebanyak 50 sampel, 25 sampel dari desa Pabayuran dan 25 sampel dari desa Harja Mekar, selanjutnya dilakukan pemeriksaan (test) ELISA dan PCR terhadap Chikungunya. ( Tabel 5 ).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 41

Page 43: 20955554-cdk-148-Imunisasi

5. Upaya Yang Telah Dilakukan a. Pengobatan massal. b. Penyuluhan kesehatan c. Penyelidikan epidemiologi d. Fogging fokus

Tabel 5. Hasil Analisis Laboratorium terhadap Spesimen

Hasil Jumlah spesimen (n,%)

Infeksi Akut

4 (8 % ) Infeksi Baru 18 (36 %) Infeksi Lama 3 (6 %)

Negatif 25 (50 %) Total 50 (100%)

Keterangan : 1. Infeksi Akut = PCR positif, tanpa ELISA IgM positif 2. Infeksi Baru = ELISA IgM positif, tanpa ELISA IgG 3. Infeksi Lama = Hanya ELISA IgG positif. 4. Negatif = Semua Negatif. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Kesimpulan a. Telah terjadi KLB Chikungunya di Desa Pabayuran dan

Harja Mekar. b. Tindakan penanggulangan oleh jajaran kesehatan adalah

kegiatan pengobatan massal, penyuluhan kesehatan serta peneyelidikan epidemiologi dan fogging fokus .

2) Saran a. Pertemuan lintas sektoral secepatnya untuk menyusun

langkah penanggulangan KLB jangka pendek yang efektif. b. Penanggulangan Chikungunya dapat dilaksanakan se-

bagaimana halnya penanggulangan demam berdarah dengue.

c. Meningkatkan kewaspadaan dini dan sistim surveilans epidemiologis khususnya dari puskesmas, mengingat kemungkinan adanya kasus-kasus yang belum dilaporkan dan munculnya kasus baru.

KEPUSTAKAAN

1. Calisher CH et al. Chikungunya, O’nyong nyong, and Mayaro viruses.

Encyclopedia of Virology, p.236-40. 2. De Raritz CM et al. Clinical Impressions of Chikungunya in Vellore

gained from study of adult patients. India J.Med 1965; 53: 756-63. 3. Carey DE. The 1964 Chikungunya Epidemic at Vellore, South India.

Trans Roy Soc Trop Med and Hyg. 1969; 63 (4) : 435-45. 4. Suharyono Wuryadi. Outbreak of Chikungunya in Indonesia. Paper read

at International Conference, Bangkok, Thailand, December, 1986. 5. Rita Kusriastuti. Chikungunya. Sub Din Pencegahan dan Pemberantasan

Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2003. p. 1-2. 6. Sub Din P2B2, Dinkes Kab. Bekasi, Jawa Barat. Rekapitulasi Laporan

Kejadian Luar Biasa / Wabh, Maret 2003.

UNICEF : 1/3 korban patahan lempeng bumi gempa Tsunami di Samudera Hindia 20 Desember 2004 adalah anak – anak dan

satu juta anak – anak menderita !

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 42

Page 44: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Status Antibodi Anak Balita Pasca Pekan Imunisasi Nasional

(PIN) IV di Makassar

Gendrowahyuhono

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian status antibodi anak balita pasca PIN IV di Makasar pada tahun 2003.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status antibodi anak setelah anak mendapat imunisasi polio dua kali dari kegiatan PIN IV, menurut daerah penelitian dan golongan umur anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 92 % anak yang diperiksa seranya sudah mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio. Makin tua usia anak, prosentase anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe-3 dan tipe-123 makin rendah. Prosentase anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio type-2 100%, demikian juga prosentase anak 0-1 tahun yang mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio 100%. Tidak ada perbedaan status antibodi antara anak yang tinggal di daerah pedesaan dan anak yang tinggal di daerah perkotaan.

Dapat disimpulkan bahwa status antibodi anak pasca PIN IV cukup tinggi di segala golongan usia, meskipun masih lebih rendah dari status antibodi anak pasca PIN II. Disarankan tidak perlu melakukan PIN V dengan catatan bahwa kinerja surveilans harus baik dan cakupan imunisasi rutin lebih dari 80%.

PENDAHULUAN

Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh layuh akut (AFP=Acute Flaccid Paralysis).

Program eradikasi polio global telah dicanangkan oleh WHO dengan target dunia bebas polio tahun 2008, sedangkan Indonesia bebas polio ditargetkan pada tahun 2005. Saat ini Indonesia sebenarnya sudah dapat dikatakan bebas polio karena sejak tahun 1996 tidak diketemukan lagi virus polio liar dari kasus kasus AFP yang diambil spesimen fesesnya. Akan tetapi mengingat kinerja surveilans AFP yang jelek pada tahun 2000 dan 2001 (AFP rate <1/10.000)(1) dan cakupan imunisasi polio yang juga rendah (<80%) di beberapa daerah seperti Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Papua, WHO menyatakan bahwa Indonesia harus melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang ke IV. Oleh karena itu Indonesia melaksanakan PIN IV

pada bulan September dan Oktober 2002(2). PIN dimaksudkan untuk meningkatkan status antibodi anak balita sehingga dapat memutus sirkulasi virus polio liar di masyarakat. Dengan status antibodi anak yang tinggi maka herd immunity akan tinggi sehingga sirkulasi virus polio liar akan terhenti. Masalahnya adalah apakah dengan PIN IV dengan dua kali pemberian dosis vaksin polio sudah cukup untuk meningkatkan status antibodi anak pada taraf yang baik? Banyak faktor yang dapat menghambat pembentukan antibodi anak antara lain : potensi vaksin, cold-chain, lingkungan tempat tinggal anak dan respon imun anak sendiri; oleh karena itu perlu diteliti apakah dengan PIN IV status antibodi anak sudah cukup tinggi untuk menghambat sirkulasi virus polio liar.

Hasil penelitian serologi balita pasca PIN II pada tahun 1998 menunjukkan hasil yang baik yaitu 99% anak mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio. Penelitian tersebut dilakukan di kota Jayapura Papua dan Kotawaringin Timur

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 43

Page 45: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Kalimantan Tengah dan cakupan PIN II 100%. Cakupan nasional PIN I,II dan III >95 %(3). Penelitian ini dilaksanakan di daerah yang belum pernah melakukan penelitian serologis dan jauh dijangkau yaitu di Makassar dengan cakupan imunisasi 80 %. Dengan dipilihnya daerah tersebut diharapkan dapat diketahui status antibodi anak menurut lingkungan hidup anak, pengaruh transportasi terhadap cold-chain dan potensi vaksin. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi data serologis, di samping data surveilans AFP dan cakupan imunisasi, untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan PIN V. TUJUAN Tujuan umum

Menilai hasil program eradikasi polio dari segi status kekebalan anak terhadap virus polio untuk menentukan perlu tidaknya PIN dilaksanakan lagi untuk mencapai bebas polio tahun 2005. Tujuan khusus 1. Mengetahui status antibodi anak balita terhadap virus polio

di kota Makasar setelah PIN IV. 2. Mengetahui proporsi anak yang mempunyai antibodi

menurut lingkungan tempat tinggal anak dan golongan umurnya setelah PIN IV.

METODOLOGI Lokasi penelitian

Makasar dipilih sebagai wakil dari Indonesia Timur, karena belum pernah ada penelitian sejenis di daerah tersebut. Di samping itu juga karena jauh dari pusat sehingga ada kemungkinan cold-chain vaksin terganggu oleh transportasi yang dapat mempengaruhi potensi vaksin yang digunakan. Desain penelitian Cross-sectional dengan populasi anak balita. Kriteria inklusi: anak balita sehat, telah mendapat vaksinasi lengkap dari PIN IV dan mendapat persetujuan dari orang tua anak (orangtua menandatangani informed consent). Kriteria eksklusi: anak balita kurang gizi dan tidak mendapat vaksinasi lengkap dari PIN IV. Pengambilan spesimen darah

Diambil 3ml dengan syringe dan wing needle dari vena di lengan anak, oleh petugas yang sudah sangat berpengalaman dalam pengambilan darah. Cara pemeriksaan spesimen

Serum yang sudah terkumpul diperiksa dengan uji netralisasi terhadap virus polio Sabin tipe 1,2 dan 3.

Serum diencerkan terlebih dahulu dengan pengenceran 1 : 8. Uji netralisasi menggunakan sel biakan jaringan lanjut dari L20B yang ditumbuhkan dalam microplate, di laboratorium Puslitbang Pemberantasan Penyakit yang sudah mendapat akreditasi WHO(4). Jumlah seluruh sampel darah sebanyak 200 spesimen, dibagi dua yaitu daerah pedesaan 100 anak dan daerah perkotaan 100 anak. Jumlah sampel dihitung

berdasarkan perhitungan estimasi proporsi dengan relative precision. Rumus : N = Z2 1-α/2 (1-P)/E2P P = 90 %, E = 0,05 Confidence level =95% maka N = 171 ,dibulatkan menjadi 200 sampel. Analisis data .

Dilakukan setelah semua sera diperiksa; menggunakan tabel-tabel berdasarkan umur anak dan daerah penelitian. HASIL

Hasil pemeriksaan antibodi anak dapat dilihat pada Grafik 1 dan 2.

Tidak ada perbedaan antara status antibodi anak yang tinggal di pedesaan dan perkotaan di Makassar (Grafik 1) Sejumlah 93% anak yang tinggal di perkotaan dan 91% anak yang tinggal di pedesaan sudah mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio; berarti status antibodi anak sudah tinggi atau herd immunitynya juga cukup tinggi.

Proporsi anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe-2 baik di pedesaan maupun di perkotaan sudah 100%. Status antibodi anak terhadap virus polio tipe-1 yang tinggal di perkotaan dan yang tinggal di pedesaan masing-masing sebesar 99 % dan 95 %, dan status antibodi anak terhadap virus polio tipe-3 dari anak yang tinggal di pedesaan dan yang tinggal di perkotaan masing-masing sebesar 95 % dan 93 %. Grafik 1. Status antibodi anak Balita pasca PIN IV menurut lokasi

penelitian di Makasar (2003).

86

88

90

92

94

96

98

100

Polio-1 Polio-2 Polio-3 Polio-123

Perkotaan

Pedesaan

Keterangan : Polio-1 = Anak mempunyai antibodi Polio tipe 1 Polio-2 = Anak mempunyai antibodi Polio tipe 2 Polio-3 = Anak mempunyai antibodi Polio tipe 3 Polio-123 = Anak mempunyai antibodi Polio tipe 1,tipe 2,tipe 3

Grafik 2 terlihat bahwa makin tua usia anak antibodinya terhadap virus polio tipe-123 menurun, demikian juga antibodinya terhadap polio tipe-3. Sedangkan antibodinya terhadap polio tipe-1 dan tipe-2 tidak berbeda. Pada anak 0-1 tahun prosentase yang mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio adalah 100%; berarti semua anak 0-1 tahun telah mendapatkan imunisasi secara dini. Sedangkan pada anak yang lebih tua prosentasenya lebih rendah, mungkin karena beberapa di antara mereka mendapatkan imunisasinya sudah terlambat atau mendapatkan pada saat PIN saja.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 44

Page 46: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Grafik 2. Status antibodi anak Balita Pasca PIN IV menurut golongan

usia (2003) . PEMBAHASAN

Tidak ada perbedaan status antibodi antara anak yang tinggal di pedesaan dan yang tinggal di perkotaan. Ini berarti bahwa sanitasi lingkungan di pedesaan dan di perkotaan masih sama, sehingga sirkulasi virus vaksin di kedua daerah juga sama. Hal itu juga menunjukkan bahwa transportasi vaksin yang digunakan di pedesaan sudah cukup baik sehingga potensi vaksin juga masih sebaik yang digunakan di perkotaan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian di Jakarta dan Bekasi(5), yang menunjukkan perbedaan sanitasi lingkungan yang dapat mempengaruhi status antibodi anak setelah vaksinasi polio. Anak yang tinggal di Jakarta dengan sanitasi lingkungan yang baik, status antibodinya lebih rendah dari anak yang tinggal di pedesaan (Bekasi) dengan sanitasi lingkungan yang jelek/kumuh. Kejadian ini karena di daerah kumuh sirkulasi virus vaksin polio dapat berlangsung lebih panjang sehingga anak bisa terinfeksi kembali dengan virus vaksin yang bersirkulasi seperti mendapat booster secara alami, sehingga status antibodinya akan meningkat dan lebih lama ada dalam serum anak.

Bila dilihat menurut golongan umur ternyata anak yang lebih muda mempunyai status antibodi yang lebih baik dari pada anak yang lebih tua. Hal ini mungkin disebabkan karena vaksinasi rutin yang diberikan pada masa kanak-kanak masih berpengaruh terhadap immune response anak terhadap pemberian vaksinasi ulang (booster) pada PIN IV.

Pada anak yang lebih muda tingkat antibodinya masih lebih tinggi sehingga pada saat diberi booster PIN IV antibodinya meningkat lebih cepat dan lebih baik. Hal tersebut terlihat dari status antibodi anak 0-1 tahun yang menunjukkan status antibodi 100 % terhadap tipe-1, tipe-2 dan tipe-3. Prosentase antibodi anak yang mendapat PIN IV ini lebih rendah dari pada anak-anak yang mendapatkan PIN II di Papua dan Kotawaringin Timur. Hal ini karena PIN II dilakukan berturutan dengan PIN I sedangkan PIN IV dilakukan beberapa tahun setelah PIN II berakhir., sehingga ada kesenjangan waktu yang diisi dengan imunisasi rutin yang mungkin cakupannya lebih rendah atau bahkan jauh lebih rendah daripada cakupan PIN. 88

90

92

94

96

98

100

0 - 1 th 1,1- 2 th 2,1 - 3 th 3,1 - 4 th 4,1 - 5 th

Polio-1 Polio-2 Polio-3 Polio-123

KESIMPULAN

1) Status antibodi anak setelah PIN IV sudah cukup tinggi (92%) meskipun masih lebih rendah dari status antibodi anak setelah PIN II.

2) Tidak ada perbedaan antara status antibodi anak yang tinggal di perkotaan dan pedesaan di Makasar.

3) Makin tua umur anak, antibodinya terhadap ketiga tipe virus polio makin rendah, dan pada golongan umur 0-1 tahun prosentase anak yang mempunyai antibodi antara 100%.

UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan di Makasar 2. Kepala Subdin. beserta staf P2 di Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. atas segala bantuannya dalam menyediakan fasilitas di lapangan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

KEPUSTAKAAN 1. WHO-SEARO. Poliomyelitis surveillance : weekly report 2001. SEAR

Polio Bulletin. 2. Dit.Jen P2M & PLP, Dep.Kes. RI. Pekan Imunisasi Nasional 2002.

Materi Informasi dan Advokasi.Dep.Kes.R.I.2002. 3. Gendrowahyuhono dkk. Laporan akhir peneltian serologis poliomyelitis

setelah PIN II di daerah terpencil. 1998. 4. WHO-SEARO. Polio Laboratory Manual. Department of Vaccines and

Biologicals.2001. 5. Gendrowahyuhono. Pengaruh sanitasi lingkungan terhadap pembentukan

antibody anak setelah pemberian vaksinasi oral. Maj. Kes. Masy. Indon. No.4/2000: 214- 8.

An alliance with a powerful man is never safe

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 45

Page 47: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Status Antibodi Anak Sekolah Dasar Sebelum dan Sesudah Program

Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di Yogyakarta

Gendrowahyuhono

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian status antibodi anak SD telah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2000. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui status antibodi anak setelah mendapat vaksin polio dari program BIAS, sehingga dapat ditentukan apakah pemberian BIAS satu kali sudah cukup dapat memutus rantai penularan virus polio pada anak sekolah dasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa status antibodi anak terhadap ketiga tipe virus polio masih rendah yaitu sebesar 79,5%. Akan tetapi status antibodi terhadap tipe-1 dan tipe-2 sudah cukup tinggi yaitu masing-masing 96 % dan 99 %; tidak ada yang tidak mempunyai antibodi terhadap virus polio (tripel negatip = 0).

Dapat disimpulkan bahwa setelah imunisasi polio melalui program BIAS satu kali ternyata status antibodi anak masih kurang; anak yang mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio hanya 79,5%. Untuk itu perlu dilakukan BIAS II dengan sasaran adalah anak SLTP karena anak SD yang masuk dalam penelitian ini sekarang sudah masuk ke SLTP sedangkan anak SD yang sekarang (tidak termasuk dalam penelitian) adalah anak SD yang telah mendapat imunisasi dari program PIN tahun 1995-1997.

PENDAHULUAN Dalam rangka mencapai bebas polio tahun 2008, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah mencanangkan program eradikasi polio (ERAPO) dengan strategi pemberian imunisasi rutin pada bayi, pekan imunisasi nasional (PIN), Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dan kegiatan surveilans AFP (acute flaccid paralysis) pada anak umur 0-15 tahun. PIN adalah pemberian imunisasi polio secara nasional pada anak 0-5 tahun tanpa melihat status imunisasi anak sebelumnya. PIN tidak memberikan imunisasi polio pada anak 6-15 tahun, padahal masih dapat terserang polio. Penelitian menunjukkan bahwa status antibodi anak SD usia 6-12 tahun di beberapa kota di Indonesia sangat rendah(1). Sekitar 26 – 40% anak SD tidak mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio. Ini berarti bahwa 26-40% anak yang diteliti tidak terlindungi dari infeksi tiga tipe virus polio liar.

Pengalaman di Albania menunjukkan bahwa pada 1996 telah terjadi outbreak polio pada anak dengan hasil survai serologis sebelum wabah menunjukkan bahwa 17-20% anak tidak mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio(2) . Virus polio penyebab wabah adalah virus impor dari tetangganya (Norwegia) dan jenis strainnya sama dengan virus polio di India. Meskipun dari tahun 1996 sampai sekarang isolasi virus polio dari kasus AFP di Indonesia tidak menemukan virus polio liar, dengan terbukanya Indonesia untuk perdagangan inter-nasional dan pariwisata, besar kemungkinan virus polio liar masuk dari negara tetangga seperti India dan Bangladesh yang masih mempunyai banyak virus polio liar yang beredar di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut pemerintah lewat Dir.Jen.P2M&PLP telah membuat strategi baru dengan memasukkan vaksin polio dalam program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah dasar) dengan vaksin DPT; tujuannya untuk memutus rantai penularan penyakit polio melalui anak

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 46

Page 48: 20955554-cdk-148-Imunisasi

sekolah dasar. Masalahnya sekarang adalah bagaimana respon imun anak sekolah dasar tersebut; respon imun anak SD mungkin berbeda dengan anak balita. Pada PIN, respon imun balita cukup baik. Ini dibuktikan dengan penelitian di Papua dan Kotawaringin (1998), yang menunjukkan bahwa status antibodi anak terhadap ketiga tipe virus polio setelah PIN II cukup tinggi yaitu antara 99 % sampai 100%(3). Oleh karena itu perlu penelitian serologis untuk mengetahui status antibodi anak SD setelah mendapat imunisasi polio dari program BIAS. Penelitian ini berupa cross sectional study dengan sampel anak SD umur 8-12 tahun (kelas III s/d VI). Lokasi penelitian di daerah yang sudah diketahui status antibodi anak sebelum program BIAS polio yaitu di Yogya.(1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

TUJUAN Tujuan umum Menunjang program imunisasi untuk menentukan berapa kali program BIAS polio diperlukan untuk menghilangkan transmisi virus polio pada anak-anak SD. Tujuan kusus 1. Mengetahui serokonversi antibodi anak SD; adakah

peningkatan bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian vaksin polio pada program BIAS polio.

2. Mengetahui respon imun anak 8-12 tahun terhadap pemberian vaksin polio dua dosis.

3. Mengetahui status antibodi anak SD setelah pemberian vaksin polio pada program BIAS polio.

METODOLOGI. 1. Lokasi penelitian : DI Yogyakarta. Dipilih karena sudah

ada data dasar yang dapat mendukung penelitian. 2. Desain penelitian : cross sectional study. 3. Sampel penelitian : anak SD kelas III s/d kelas VI (umur 8-

12 tahun) sehat dengan status antibodi rendah sesuai hasil penelitian Gendro dkk.(1) tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Anak-anak diperiksa status antibodinya setelah mendapat vaksin polio dari program BIAS polio. Jumlah sampel sebanyak 200 anak dari dua lokasi yaitu di daerah pedesaan 100 anak dan daerah perkotaan 100 anak.

4. Cara pemeriksaan : spesimen berupa sera yang dipisahkan dari gumpalan darah dengan cara sentrifugasi. Darah diambil dari vena cubiti anak sebanyak 2 ml menggunakan syringe + needle. Serum diperiksa dengan uji netralisasi terhadap virus polio Sabin tipe-1, tipe-2 dan tipe-3, menggunakan cell L20B yang ditumbuhkan dalam microplate. Pemeriksaan cytopathic effect (CPE) pada cell culture dilakukan setiap hari sampai hari ke-6 untuk menentukan adanya antibodi dalam serum yang diperiksa. Semua pemeriksaan uji netralisasi dilakukan di laboratorium polio Puslitbang Pemberantasan Penyakit, Jakarta yang sudah mendapat akreditasi dari WHO.

5. Analisis data : hasil uji netralisasi semua serum anak dianalisis berdasarkan lokasi tempat tinggal anak. Akan dibandingkan apakah ada peningkatan titer antibodi yang bermakna antara anak yang belum mendapat vaksin polio

dengan anak yang sudah mendapat vaksin dari program BIAS polio.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan serologi anak SD di Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Status antibodi anak SD di Bantul (pedesaan) sebelum dan

setelah mendapat opv dari program BIAS

Lokasi SD N P1 P2 P3 P123 Neg. Sebelum

BIAS 100 36 65 35 20 31

Setelah BIAS 100 94 100 76 72 0

Tabel 1 menunjukkan bahwa status antibodi anak SD di

Kab. Bantul (pedesaan) sebelum BIAS sangat rendah - masih terdapat 31% anak yang tidak mempunyai antibodi sama sekali terhadap ketiga tipe virus polio (tripel negatip). Ini berarti masih banyak yang rentan terhadap infeksi virus polio liar. Antibodi terhadap virus polio tipe-2 lebih tinggi daripada terhadap tipe lain; ini merupakan hasil imunisasi rutin di mana respon imun anak terhadap virus polio tipe-2 selalu lebih baik dari tipe lain. Setelah anak mendapat imunisasi dari program BIAS ternyata respon imunnya cukup baik; terbukti dari banyaknya anak dengan antibodi yang cukup tinggi terutama terhadap virus polio tipe-1 dan tipe-2. Kenaikan proporsi anak yang mempunyai antibodi terhadap masing-masing tipe virus polio sesudah mendapat imunisasi dari BIAS dibandingkan dengan sebelum program BIAS ternyata cukup bermakna. Meskipun demikian prosentase anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe-3 dan terhadap ketiga tipe virus polio (P123) masih rendah, kurang dari 80%. Tabel 2. Status antibodi anak SD di Kodya Yogya (perkotaan) sebelum

dan setelah mendapat opv dari program BIAS.

Lokasi SD N P1 P2 P3 P123 Neg. Sebelum BIAS 100 47 68 45 28 25

Setelah BIAS 100 96 99 89 87 0

Tabel 2 menunjukkan status antibodi anak di perkotaan

Yogyakarta sebelum BIAS tidak berbeda dengan status antibodi anak yang tinggal di pedesaan. Anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe-2 juga lebih banyak dari tipe-1 dan tipe-3; prosentase anak yang tidak mempunyai antibodi sama sekali terhadap ketiga tipe virus polio (tripel negatip) di daerah perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal di pedesaan, masing-masing 25 % dan 31 %. Status antibodi anak yang tinggal di daerah perkotaan setelah BIAS menunjukkan peningkatan yang cukup bermakna, seperti juga status antibodi anak yang tinggal di pedesaan. Di perkotaan prosentase anak yang mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe-3 dan ketiga tipe virus polio (P123) sudah cukup tinggi, lebih dari 80 %. Yang cukup menggembirakan dari hasil pemberian OPV pada program BIAS adalah, baik di perkotaan

47

Page 49: 20955554-cdk-148-Imunisasi

ataupun di pedesaan, tidak ada lagi anak yang tidak mempunyai antibodi sama sekali terhadap ketiga tipe virus polio (tripel negatip nol); semua anak sudah mempunyai antibodi terhadap salah satu atau dua atau bahkan ketiga tipe virus polio. Tabel 3. Status antibodi anak SD di Kodya Yogya dan Kab. Bantul

sebelum dan setelah mendapat opv dari program BIAS

Lokasi SD N P1 P2 P3 P123 Neg. Sebelum BIAS

200

42

67

40

24

28

Setelah BIAS

200

95

99,5

82,5

79,5

0

Tabel 3 menunjukkan gabungan status antibodi anak di

perkotaan dan pedesaan sebelum dan sesudah BIAS. Secara umum status antibodi anak setelah mendapat vaksin

polio oral dari program BIAS sudah cukup tinggi kecuali status antibodi terhadap ketiga tipe virus polio (P123) masih kurang dari 80 %. Meskipun demikian status antibodi terhadap virus polio tipe-1 dan tipe-2 sudah cukup tinggi yaitu > 95 %.

Status antibodi anak terhadap virus polio tipe-3 masih rendah bila dibandingkan dengan tipe-1 dan tipe-2. Sero-konversi antibodi anak terhadap virus polio tipe-3 memang selalu lebih rendah dari tipe lain; hal ini juga terjadi di daerah - daerah lain di Indonesia(1,3). Demikian juga dengan status antibodi anak terhadap virus polio tipe-2 selalu lebih tinggi dari tipe lain(1,3). Sehingga dapat dikatakan bahwa serokonversi antibodi anak terhadap masing-masing virus berbeda ter-gantung dari tipe virusnya. Serokonversi antibodi terhadap tipe-2 ternyata paling baik disusul dengan tipe-1 dan selanjutnya tipe-3.

Ada peningkatan bermakna antara status antibodi anak setelah program BIAS dibandingkan dengan sebelum program BIAS.Namun perlu dicatat bahwa dalam penelitian ini anak-anak yang diperiksa status antibodinya sebelum BIAS adalah anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin polio pada program PIN tahun 1995-1997. Sedangkan anak-anak SD yang diambil darahnya setelah BIAS adalah anak yang selain mendapat vaksin polio dari program BIAS mereka juga sudah mendapat vaksin polio dari program PIN sehingga status antibodi mereka sudah lebih baik.

Yang menjadi masalah adalah bahwa anak-anak yang diteliti, mungkin mewakili anak-anak lain seumur, yang pada tahun 2001 sudah di sekolah lanjutan pertama (SLTP) padahal pada anak sekolah lanjutan pertama tidak ada program vaksinasi polio massal seperti PIN ataupun BIAS. Jadi seharusnya mereka yang ada di sekolah lanjutan pertama mendapat vaksin polio untuk meningkatkan status antibodinya terhadap ketiga tipe virus polio; kendalanya adalah biaya dan tenaga.

Anak SLTP diharapkan mendapat vaksinasi alami dari saudaranya serumah yang mendapat vaksinasi polio rutin. Atau

dengan pertimbangan bahwa dari tahun 1995 sampai tahun 2000 tidak diketemukan lagi virus polio liar di Indonesia, maka mereka tidak perlu dilindungi terhadap infeksi virus polio liar.

Salah satu kelemahan hasil penelitian ini adalah bahwa pemeriksaan serologi yang dilakukan tidak dapat mendeteksi titer antibodi yang sangat rendah sehingga status antibodi anak yang terpapar dalam laporan ini adalah anak yang mempunyai titer antibodi yang tinggi yaitu di atas 4. Anak anak dengan antibodi sangat rendah diharapkan dapat meningkat jika ada infeksi virus polio dari strain vaksin. Akan tetapi jumlah anak yang titer antibodinya sangat rendah tidak dapat diketahui.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa status antibodi anak terhadap ketiga tipe virus polio setelah program BIAS masih rendah, kurang dari 80%. Anak anak tersebut sekarang ini sudah masuk SLTP. Disarankan untuk memikirkan kembali perlunya BIAS pada anak sekolah lanjutan tingkat pertama sehingga mereka juga terlindungi dari infeksi virus polio liar yang mungkin masuk ke Indonesia dari negara tetangga, terutama India yang sampai sekarang ini masih mempunyai transmisi virus polio liar di masyarakat(4). KESIMPULAN DAN SARAN.

Status antibodi anak terhadap virus polio tipe-3 dan terhadap ketiga tipe virus masih kurang baik yaitu masing masing 82,5 % dan 79,5 % saja.

Perlu dipikirkan apakah anak SLTP perlu diberi vaksinasi polio seperti BIAS, karena anak-anak tersebut pada tahun 2001 sudah masuk ke SLTP. UCAPAN TERIMAKASIH Kepada Yth. 1. Kepala Puslitbang Pemberantasan Penyakit, Jakarta. 2. Kepala Dinas Kesehatan tk.I DIY di Yogya 3. Kepala Dinas Kesehatan Kodya Yogya dan Kab.Bantul. 4. Staf Dinas Kesehatan terutama staf Subdin. Imunisasi di Dinas Tingkat I

dan Tk.II di Yogya dan Bantul. 5. Kepala dan Staf Balai Laboratorium Kesehatan di Yogya. penulis mengucapkan banyak terimaksih atas segala bantuan yang diberikan kepada tim peneliti sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

KEPUSTAKAAN

1. Gendrowahyuhono dkk. Laporan penelitian serologis polio pada anak sekolah dasar kelas I s/d kelas VI di beberapa kota di Indonesia. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1998.

2. Provost DR et al. Outbreak paralytic poliomyelitis in Albania, 1996. High attack rate among adult and apparent interruption of transmission following nationwide mass vaccination. Clin. Infect. Dis. 1998; 26: 419- 25.

3. Gendrowahyuhono. Status kekebalan anak sekolah dasar terhadap virus polio di Medan dan Yogyakarta. Maj. Kes. Masy. Indon.. 2000; XXVII(9):521-24.

4. WHO. Poliomyelitis Surveilance : Weekly report for week 19, 2004. SEAR Polio Bulletin. WHO Regional Office for South-East Asia. May 10, 2004.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 48

Page 50: 20955554-cdk-148-Imunisasi

HASIL PENELITIAN

Pemeriksaan Spesimen Serum Darah terhadap Zat Anti Legionella

Eko Rahardjo

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Latar belakang

Legionellosis adalah suatu penyakit infeksi bakteri akut yang bersifat new emerging diseases. Secara keseluruhan baru dikenal 20 spesies dan penyebab Legionellosis adalah Legionella pneumophila

Pertama kali wabah Legionellosis terjadi di Philadelphia Amerika Serikat pada tahun 1976 dengan jumlah kasus 182 dan kematian 29 orang (CFR 15,9%).

Di Indonesia kasus ini ada di sejumlah tempat antara lain di Bali (1996), di Karawaci Tangerang (1999), dan di sejumlah kota lainnya. Dari hasil survai tahun 2001 atas petugas air menara sistem pendingin di hotel-hotel di Jakarta dan Denpasar ditemukan hampir 90% pernah terpajan bakteri Legionella.

Bakteri Legionella biasa hidup di air laut, air tawar, sungai, lumpur, danau, mata air panas, genangan air bersih, air menara sistem pendingin di gedung bertingkat, hotel, spa, pemandian air panas, air tampungan sistem air panas di rumah-rumah, air mancur buatan yang tidak terawat baik, endapan, lendir, ganggang, jamur, karat, kerak, debu, kotoran, atau benda asing lainnya. Bakteri ini juga terdapat di peralatan rumah sakit seperti alat bantu pernafasan.

Legionella pneumophila termasuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang, tidak meragi D-glukosa, tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit. Koloni bakteri ini hidup subur menempel di pipa-pipa karet dan plastik yang berlumut dan tahan kaporit dengan konsentrasi klorin 2–6 mg/l. Legionella dapat hidup pada suhu antara 5,7°C - 63°C dan hidup subur pada suhu 30°C - 45°C. Penularan Legionella pada manusia, antara lain melalui aerosol di udara atau minum air yang mengandung Legionella; dapat pula melalui aspirasi air yang terkontaminasi, inokulasi langsung melalui peralatan pernafasan dan pengompresan luka dengan air yang terkontaminasi. Masa inkubasi 1-10 hari.

Keberadaan Legionella sangat erat dengan kehidupan manusia, sehingga dapat terjadi kejadian luar biasa di masyarakat. Keberadaan bakteri ini di sarana rumah sakit yang

Disampaikan pada Pelatihan Pengendalian Legionellosis Berbasis Lingkungan Pegawai Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) dari Sepuluh Provinsi di Indonesia, Jakarta, 27 Oktober - 2 November 2002

tidak dikelola dengan baik juga dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Adanya kasus penyakit legionella di obyek-obyek wisata akan berdampak negatif terhadap perkembangan pariwisata.

Untuk mencegah berkembangnya Legionella, minimal seminggu sekali dilakukan pemeriksaan penampungan air terhadap kerusakan fisik, bau dan zat organik, serta adanya serbuk-serbuk yang mengandung Legionella.

Tujuan

Tujuan umum ialah memperoleh data masalah legionellosis yang berbasis lingkungan pada sarana hotel, rumah sakit, dan pusat kebugaran/perawatan tubuh/spa, dan tempat-tempat lain. Tujuan khusus - Melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap antibodi

kuman Legionella pneumophila pada spesimen serum darah.

- Melakukan analisis laboratorium secara benar.

BAHAN DAN ALAT Bahan

- Kit ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Alat

- Autoclave - Incubator - Safety cabinet - Refrigerator - Freezer - Mesin pembuat air destilasi/deionisasi - Mesin pencuci microplate - Alat pembaca microplate (ELISA reader) - pH meter - Tempat penampung limbah infektif - Rak tabung reaksi - Pipet microplate/finetip 10 & 200µl - Timer dengan alarm - Vial (botol kecil) - Jas laboratorium - Multi channel pipet

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 49

Page 51: 20955554-cdk-148-Imunisasi

- Masker - Sarung tangan - Basin (tempat) reagen untuk multichannel pipette - Plate (lempeng) dengan 96 wells (sumuran) - Pipet Pasteur dan pipet ukur - Label - ATK (Alat Tulis Kantor) - Korek api

CARA KERJA Persiapan reagen 1. Larutkan wash buffer 10 X (100 mL concentrate + 900 mL

akuabides). 2. Larutkan high positive & negative control, low positive

standard & serum 21 X (10 µL+ 200µL sampel diluen) 3. TMB, conjugate, stop solution siap digunakan 4. Blank diisi sampel diulent Pelaksanaan Catatan: - Abs Neg control (NC) ≤ 0,25 - Abs Low Pos standard (LPS) ≥ 0.30 - Abs High Pos control (HPC) ≥ 0.50 - Abs NC : Abs LPS ≤ 0.9 - Abs HPC : Abs LPS ≥ 1.25 Interpretasi hasil: - OD Ratio Negative Specimen ≤ 0.9 - OD Ratio Negative Specimen ≥ 1.10 - OD Ratio Equivocal Specimen 0.91-1.09 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan di laboratorium Pusat Penelitian Pengem-bangan Pemberantasan Penyakit atas 213 sampel berasal dari Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar. 68 sampel (32%) positif mempunyai antibodi terhadap Legionella pneumophila, artinya pekerja yang diperiksa pernah terpapar kuman Legionella. (Tabel 1)

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Antibodi terhadap Legionella pneumophila dari Sampel Serum

Sampel Darah

Kota Sampel Diperiksa Positif % Equivoc %

Hotel 40 2 5 0 0

Spa 6 2 33.3 0 0

Fit Ctr 4 0 0 0 0

Bandung

RS 4 2 50 0 0

Hotel 29 12 41.4 3 10.3

Spa 16 2 12.5 0 0

Plaza 4 1 25 0 0

Surabaya

RS 8 6 75 1 12.5

Hotel 36 14 38.9 0 0

Spa 15 4 26.7 1 6.7 Medan

RS 4 1 25 0 0

Hotel 47 21 44.7 1 2.1

Spa 1 0 0 0 0

Makassar RS 5 1 20 0 0

Cuci well (@ 300 – 350 µl) dengan diluted wash buffer 5 X

Masukkan 100 µl conjugate ke semua well kecuali blanko

Tutup plate, inkubasi pada suhu ruang, selama 20 – 22 menit

Cuci well (@300 – 350 µl) dengan diluted wash buffer 5 X

Tambahkan 100µl TMB ke semua well

Tutup plate, inkubasi pada suhu ruang, selama 10 – 20 menit

Tambahkan 50µl stop solution ke semua well, goyang

Baca absorbansi pada 450 nm

Hasil equivocal artinya meragukan berasal dari 6 sampel

serum walaupun diulang 3 kali, mungkin serum/darah diambil terlalu dini saat pekerja sedang terinfeksi, sehingga antibodinya belum terbentuk maksimal.

Hasil dari 4 kota yang diteliti ini (32%) ternyata lebih rendah dari penelitian sebelumnya di Bali dan Jakarta (90%), mungkin karena sampel diambil tidak hanya dari pekerja cooling tower, shower, tetapi juga dari pegawai cadangan, bahkan pekerja pembersih ruangan.

KESIMPULAN - Sejumlah 32% responden yang diperiksa darahnya dengan

ELISA menunjukkan pernah terinfeksi Legionella. - Kemungkinan responden terinfeksi Legionella dari

lingkungan tempat tinggal belum dapat disingkirkan.

KEPUSTAKAAN

1. Agus Syahrurachman. Laporan Survei Bakteri Legionella pada Cooling Tower di Bali dan Jakarta. 2001.

2. Legionellosis survey in Singapore 1997. The Committee on Epidemic Diseases, Ministry of Environmental Health, Singapore Epidemiological New Bulletin 1998; 24(12): 31-34

3. Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC,Yolken RH. Manual of Clinical Microbiology, 7thed, America Society for Microbiology, 1999; 572-781.

4. Hoprich PD (ed). Infectious Diseases, 3rd ed. Philadelphia: Harper & Row Publ. 1983; 370 – 377.

5. Warren KS, Mahmoud AAF. Tropical and Geographical Medicine, Mc Graw-Hill, 1984,148

6. Chin J (ed). Control of Communicable Diseases Manual, 17th ed. The Official Report of APHA, 2000; 281-283.

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

Page 52: 20955554-cdk-148-Imunisasi

ANALISIS

Deteksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Human Metapneumovirus

(HMPV) dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction

(RT-PCR)

Sarwo Handayani

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia. Meskipun dapat sembuh sendiri pada orang sehat, penyakit ini dapat menyebabkan hilangnya produktivitas dan menyebabkan kesakitan dan kematian pada usia lanjut. Penyebab utama infeksi tersebut adalah virus influenzae, diikuti Human Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Human Metapneumovirus (HMPV) yang baru ditemukan di Belanda pada tahun 2001.

Gejala infeksi HMPV mirip dengan infeksi RSV, sehingga diagnosisnya sulit dibedakan. Teknik molekuler RT-PCR diharapkan dapat membantu klarifikasi patogen penyebab infeksi tersebut secara cepat dan akurat. Sampel yang positif RSV akan memberikan gambaran pita DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dengan panjang 278 pb apabila menggunakan primer RSV NS1 dan RSV NS2. Sedangkan sampel positif HMPV akan memberikan gambaran pita DNA dengan panjang 121 pb, apabila menggunakan primer HMPV MF1 dan HMPV MR1. Penentuan subgrup RSV dapat dilakukan dengan teknik RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) menggunakan beberapa macam enzim restriksi, sehingga menghasilkan beberapa pola pemotongan gen nukleotida yang berbeda.

LATAR BELAKANG

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia. Meskipun dapat sembuh sendiri pada orang sehat, penyakit ini dapat menyebabkan hilangnya produktivitas dan menyebabkan kesakitan dan kematian pada usia lanjut. Infeksi saluran pernafasan akut seringkali disebabkan oleh beberapa virus, terutama virus influenza yang merupakan penyebab utama, dan human Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang kasusnya makin banyak dijumpai.(1)

Human Metapneumovirus (HMPV) merupakan anggota baru genus pneumovirus, yang ditemukan pertama kali di Belanda pada tahun 2001. Virus tersebut ditemukan pada aspirat nasofaring anak-anak dan bayi, yang dirawat karena

menderita infeksi saluran pernafasan dengan gejala mirip infeksi RSV(1).

Karena gejala infeksi HMPV mirip dengan infeksi RSV maka diagnosisnya sulit dibedakan. Salah satu upaya adalah dengan mengembangkan metode pemeriksaan yang sensitif, sehingga dapat membantu klarifikasi patogen penyebab infeksi, misalnya dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction). Informasi ini sangat diperlukan terutama untuk pengembangan obat anti virus yang spesifik dan untuk pengembangan vaksin di masa yang akan datang.

Respiratory Syncytial Virus (RSV)

RSV terdiri dari human RSV, bovine RSV dan PVM

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 51

Page 53: 20955554-cdk-148-Imunisasi

(pneumonia pada tikus). Human RSV merupakan penyebab utama infeksi saluran nafas bagian bawah (bronkiolitis dan pneumonia) pada bayi dan anak- anak umur kurang 1 tahun. Gejala dimulai dengan demam, pilek, batuk dan kadang-kadang disertai wheezing (nafas berbunyi). Pada infeksi RSV yang pertama, 25% - 40% bayi dan anak-anak akan menunjukkan gejala bronkiolitis dan pneumonia dan 0.5%-2% di antaranya memerlukan perawatan di rumah sakit terutama pada bayi umur kurang dari 6 bulan. Kebanyakan penyakit ini sembuh setelah 8-15 hari. RSV juga menyebabkan infeksi yang berulang sepanjang hidup, biasanya berkaitan dengan gejala flu ringan sampai berat. Namun demikian, penyakit ini dapat berkembang menjadi parah pada semua umur, terutama pada usia lanjut atau yang mempunyai kelainan jantung, paru-paru atau sistem imunitas(2-4).

RSV merupakan virus Ribo Nucleic Acid (RNA) berselubung anggota dari genus pneumovirus, familia paramyxoviridae. Bentuk dan ukuran virion virus RSV bervariasi (rata-rata diameter 120-300 nm). RSV bersifat tidak stabil di lingkungan dan dapat diinaktivasi dengan sabun, air dan desinfektan(4).

RSV menyebar dari sekret pernafasan melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau kontak dengan bahan yang terinfeksi. Infeksi dapat terjadi jika bahan yang terinfeksi mengenai mata, mulut atau hidung atau melalui inhalasi droplet (percikan ludah/ingus) saat penderita bersin dan batuk. Di daerah iklim sedang, infeksi RSV biasanya menjadi wabah tahunan selama 4-6 bulan pada musim gugur, dingin dan permulaan musim semi, puncaknya pada musim dingin. RSV akan menyebar secara luas pada anak-anak, selama wabah tahunan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tes serologi pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun yang menunjukkan antibodi terhadap RSV(2,4).

Pengembangan vaksin RSV mejadi prioritas penelitian, karena sampai saat ini vaksin tersebut belum tersedia di pasaran. Untuk mencegah infeksi yang lebih parah, perlu penanganan infeksi yang efektif, seperti pemberian imuno-globulin dan pemberian antibodi monoklonal anti RSV(2).

RSV terdiri atas 2 subgrup yaitu RSV A dan RSV B, dibedakan berdasarkan uji serologi, namun belakangan dapat dibedakan berdasarkan sekuen nukleotida. Kedua subgrup RSV dibedakan menjadi galur-galur berdasarkan tiga kriteria yaitu: pola restriksi gen nukleokapsid (gen N), gen hidrofobik (gen SH) dan gen protein pengikat (gen G / attachment gene). Galur-galur ini tersebar di seluruh dunia, tetapi perbedaan tingkat virulensi dan imunitas pada individu dan komunitas, belum diketahui pasti(2).

Human Metapneumovirus (HMPV)

Adanya human RSV tipe baru telah dilaporkan di Belanda, pada tahun 2001. Virus tersebut lebih dekat hubungannya dengan Avian Pneumovirus (APV) serotipe C, yang sebelum-nya dikenal sebagai virus rhinotrakheitis pada ayam kalkun. Virus baru tersebut tidak menginfeksi ayam atau kalkun, tetapi menginfeksi manusia sehingga disebut Human Meta-pneumovirus (HMPV)(2). APV merupakan satu-satunya anggota genus metapneumovirus. Klasifikasi genus pneumovirus dan

metapneumovirus dibedakan berdasarkan susunan gennya. Genus metapneumovirus tidak mempunyai protein non struktural (NS), dan susunan gen juga berbeda dengan genus pneumovirus. Susunan gen RSV (pneumovirus) adalah 3’-NS1-NS2-N-P-M-SH-G-F-M2-L-5’ sedangkan gen APV (metapneumovirus) adalah 3’-N-P-M-F-M2-SH-G-L-5’(2).

Gejala klinis yang dijumpai pada infeksi sebagian besar sama dengan infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh human RSV seperti gangguan pernafasan ringan sampai batuk yang parah, bronkiolitis dan pneumonia, dan seringkali disertai demam, mialgia dan muntah. HMPV dapat menyebabkan penyakit yang serius pada anak-anak atau lanjut usia atau imunokompromais. Studi serologi di Belanda menunjukkan bahwa 25% anak umur 6-12 bulan yang diperiksa ternyata mempunyai antibodi terhadap HMPV. Pada pasien umur ≤ 5 tahun menunjukkan bahwa hampir semuanya pernah terpapar human metapneumovirus. Virus HMPV diperkirakan telah beredar paling sedikit selama 50 tahun(3,6). Di Indonesia belum ada data mengenai besarnya kasus infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh RSV maupun HMPV.

RT-PCR untuk deteksi RSV dan HMPV

Diagnosis RSV dan HMPV dapat dilakukan dengan cara melakukan isolasi virus, deteksi antigen virus, deteksi RNA virus (dengan RT-PCR), adanya antibodi dalam serum atau kombinasi dari tes di atas(4).

PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) spesifik secara enzimatik in vitro. Proses PCR menggunakan 1 pasang oligonukleotida primer yang akan menghibridisasi rantai tunggal dari arah yang berlawanan dengan DNA target. Karena kebanyakan virus mengandung fragmen RNA, maka sebelum penggandaan DNA (amplifikasi), RNA harus diubah terlebih dahulu menjadi kopi DNA dengan ensim reverse-transcriptase. Teknik tersebut disebut RT-PCR yang meliputi beberapa tahap yaitu :

1. Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA dari sampel aspirat nasofaring dapat dilakukan dengan metode phenol-kloroform, gradien sukrosa atau menggunakan kit ekstraksi yang tersedia secara komersial(3,4). Kopi DNA yang berasal dari RNA akan diper-banyak sebagai template (cetakan) pada proses amplifikasi.

2. Sintesis kopi DNA

Untuk memulai sintesis kopi DNA diperlukan primer yaitu yaitu sepasang rangkaian pendek DNA yang susunan asam nukleatnya komplementer dengan asam nukleat DNA target (pada template). Untuk mendeteksi RSV dapat digunakan beberapa macam primer tergantung pada macam gen yang akan digandakan. Primer RSV NS1 dan RSV NS2 akan menggandakan gen nukleotida (gen N) antara nukleotida 858-1135 dan memberikan hasil pita DNA dengan panjang 278 pb (pasang basa). Primer RSVG1 dan RSVG2 akan mengganda-kan fragmen gen G antara 1-21 dan 584-565. Susunan primer untuk gen N dan gen G RSV adalah sebagai berikut(2):

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 52

Page 54: 20955554-cdk-148-Imunisasi

RSVNS1 : 5’ GGA ACA AGT TGT TGA GGT TTA TGA ATA TGC 3’ RSVNS2 : 5’ CTT CTG CTG TCA AGT CTA GTA CAC TGT AGT 3’ dan RSVG1 : 5’ (GGA TCC C) GGG GCA AAT GCA AAC ATG TCC 3’ RSVG2 : 5’ GGT ATT CTT TTG CAG ATA GC 3’

Untuk mendeteksi HMPV digunakan primer HMPV MF1 dan HMPV MR1 yang akan menggandakan gen matrix (gen M) antara nukleotida 212-313 dan memberikan hasil pita DNA dengan panjang 121 pb. Susunan primer untuk gen matriks HMPV adalah sebagai berikut(5) :

HMPV MF1 : 5’AAG TGA ATG CAT CAG CCC AAG 3’ HMPV MR1 : 5’ CAC AGA CTG TGA AGT TTG TCA AA 3’

Selanjutnya sampel yang positip HMPV dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan produk gen F dan gen N hasil penggandaan PCR. Untuk produk gen M yang lebih panjang dapat digunakan primer HMPV MR1 dan HMPV MF2 ( ATG GAG TCC TAT CTA GTA GAC A) yang akan menggadakan nukleotida antara 1-331 dan menghasilkan produk DNA dengan panjang 331 pb. Untuk gen F, primer yang digunakan HMPV FF1 (GTG AGC TGT TCC ATT GGC AG) dan HMPV FR1 (CCC TCA ACT TTG CCT AGC TGA TA) yang akan menggandakan nukleotida antara 1162 – 1295 dan menghasilkan produk dengan panjang 134 pb. Sedangkan untuk gen N, primer yang digunakan adalah HMPV NF1 (GTA TTA CAG AAG TTT GTT CAT TGA G) dan HMPV NR1 (GAG AAC AAC ACT TGC AAA GTT GG) yang akan menggandakan nukloeotida antara 710 – 1034 dan meng-hasilkan produk dengan panjang 325 bp(5).

Untuk reaksi PCR, selain primer dibutuhkan beberapa komponen lain seperti empat basa nukleotida yaitu A(adenin), T (thymine), G (guanin) dan C (cytosine); enzim polimerase (Taq polymerase); enzim Reverse transcriptase dan buffer.

3. Proses RT-PCR

Pada prinsipnya reaksi RT-PCR sama dengan PCR yang berlangsung dalam 3 tahap yang berbeda suhu dan waktunya, yaitu tahap denaturation (pemisahan untai DNA), annealing (penempelan primer dengan untai DNA), dan extension (sintesis untai DNA baru). Reaksi tersebut berlangsung di dalam mesin PCR yang telah diatur suhu dan waktunya. Oleh karena primer dan ensim polimerase tersedia berlebihan, maka produk dari siklus pertama dapat berfungsi sebagai cetakan untuk siklus berikutnya, begitu seterusnya. Ketiga proses denaturation, annealing dan extension merupakan 1 siklus PCR yang akan menghasilkan 2 kopi (salinan) DNA. Apabila siklus tersebut digandakan n kali maka pada akhir proses PCR akan diperoleh salinan DNA sebanyak 2n . Dalam satu proses PCR dapat mendeteksi beberapa macam agen penyakit, tergantung pada macam primer yang digunakan. Teknik semacam ini disebut multiplek PCR

Proses RT-PCR untuk mendeteksi RSV dengan Hybrid TR2 thermal reactor memerlukan 30 siklus dengan program sbb: 94oC - 45 detik, 54oC - 45 detik dan 74ºC - 45 detik(2). Sedangkan deteksi HMPV dengan Perkin-Elmer model 2400 thermo cycle memerlukan 45 siklus dengan program 95 oC - 10 menit diikuti 45 siklus pada 95 oC-1 menit (denaturation),58o C - 1 menit (annealing), 72oC – 1 menit (extension) dan per-

panjangan 72 o C selama 10 menit. Untuk gen F suhu annealing diganti dengan 62 o C(5).

4. Analisis produk PCR

Hasil amplifikasi DNA (amplikon) yang berupa jutaan DNA dapat divisualisasikan pada gel elektroforesis dengan pewarnaan ethidium bromide dan dilihat dengan sinar ultra violet serta dapat didokumentasikan.

HASIL RT-PCR

Hasil RT-PCR akan tampak sebagai pita DNA dengan panjang basa tertentu. Penggandaan gen nukleotida (gen N) pada RSV akan menghasilkan pita DNA dengan panjang 278 pb. Contoh berikut adalah hasil RT-PCR terhadap RSV pada sampel bersihan hidung (nasal wash) penderita pneumonia, dengan primer untuk gen N (RSV NS1 dan RSV NS2) dan program PCR; 94oC -1 menit, 55 o C –1 menit dan 72 o C - 1 menit sebanyak 40 siklus (Gambar 1). . Gambar 1. Hasil pemeriksaan RT-PCR terhadap RSV pada sampel

bersihan hidung (nasal wash) penderita pneumonia Keterangan: Baris 1; kontrol negatip, baris 2; kontrol positip RSV (278 pb) dan hMPV (121 pb), baris 12,13,15; sampel positip RSV dengan pita DNA panjang 278 pb, baris 17 ; marker (dok. pribadi)

Hasil RT-PCR terhadap HMPV pada sampel bersihan hidung penderita pneumonia, dengan primer untuk gen M (HMPV MF1 dan HMPV MR1) dengan program PCR yang sama dengan RSV tampak pada Gambar 2 . . Gambar 2. Hasil pemeriksaan RT-PCR terhadap HMPV pada sampel

bersihan hidung penderita pneumonia

Keterangan: Baris 6 dan 14 menunjukkan sampel positip HMPV dengan pita DNA panjang 121 bp, baris 20 dan 26; marker, baris 21; kontrol negatip, baris 22 ; kontrol positip HMPV (121 pb) (dok. pribadi)

Subgrup RSV ditentukan dengan teknik RFLP (Restriction

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 53

Page 55: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Fragment Length Polymorphisme), yaitu teknik membedakan suatu organisme berdasarkan pola pemotongan DNA oleh enzim restriksi, sehingga menjadi fragmen DNA dengan panjang yang berbeda. Enzim restriksi yang biasa digunakan adalah HindIII, Pst I, Bgl II dan Rsa I,. Dua organisme yang berbeda mempunyai tempat pemotongan enzim yang tidak sama, sehingga menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang berbeda pula(7). Tabel 1. Pola pemotongan gen nukleotida (gen N) oleh enzim restriksi

untuk menentukan subgrup RSV pada produk PCR(2)

Hasil pemotongan oleh enzim Pola NP Hae III RsaI BglII PstI Hind III

Subgrup RSV

NP1 - + - - - B NP2 + + - - - A NP3 - + + - - B NP4 + + + - - A NP5 + + + - + A NP6 - + + - - B NP7 - - - + - Bovine NP8 - - - + + Mice PV NP9 - + + - + B NP10 + + + - - A

Keterangan : hasil + ; bila terjadi pemotongan fragmen DNA oleh enzim, hasil -; bila tidak terjadi pemotongan fragmen DNA oleh enzim

Hasil pemotongan gen nukleotida pada RSV oleh berbagai

enzim restriksi (Gb. 3). Contoh pada sampel a (baris 1,6,11,16,21) dapat dipotong oleh enzim HaeIII dan RsaI sehingga menjadi fragmen yang ukurannya lebih kecil (<278 pb) dan digolongkan dalam RSV subgrup A. Sampel b dapat dipotong oleh enzim RsaI dan Bgl II sehingga digolongkan dalam RSV subgrup B. PENUTUP

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut masih menjadi masalah kesehatan, karena meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri tetapi menyebabkan hilangnya produktivitas dan kesakitan bahkan kematian pada usia lanjut. Di negara yang mempunyai musim dingin, penyakit ini cukup banyak dijum-

Gambar 3. Hasil pemotongan fragmen DNA oleh enzim restriksi untuk

menentukan subgrup RSV dengan teknik RFLP. Keterangan: Baris 1-5; sampel (a-e) dipotong dengan enzim HaeIII, baris 6-10; sampel (a-e) dipotong dengan enzim RsaI, baris 11-15; sampel (a-e); dipotong dengan enzim BglII, baris 16-20; sampel (a-e) dipotong dengan enzim PstI, baris 21-25; sampel (a-e) dipotong dengan enzim HindIII (dok pribadi) pai; di Indonesia belum cukup data tentang kasus yang disebabkan oleh infeksi RSV dan HMPV ini.

Teknik RT-PCR diharapkan dapat mendeteksi agen penyebab infeksi saluran pernafasan akut secara lebih cepat dan akurat. Informasi ini sangat diperlukan untuk pengobatan dan pengembangan obat anti virus serta pengembangan vaksin di masa yang akan datang.

KEPUSTAKAAN 1. Greensill J et al. Human Metapneumovirus in Severe Respiratory

Syncytial Virus Bronchiolitis. J Emerg Infect Dis. 2003; 9: 3. 2. Stockton J, Stephenson I, Fleming D, Zambon M. Human Metapneu-

movirus as a Cause of Community-Acquired Respiratory Illness. J. Emerg Infect Dis. 2002; 8: 9.

3. Cane PA , Pringle CR. Molecular Epidemiology of Respiratory Syncytial Virus: Rapid Identification of Subgroup lineages. J.Virol. Methods 1992; 40.

4. Hoogen B et al. A Newly Discovered Human Pneumovirus Isolated From Young Children with Respiratory Tract Diseases. Nature Med. 2001; 7: 6.

5. http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/revb/respiratory/rsvfeat.htm. 6. http:// www.focustechnologies.com/cms.asp?cms_16UYTKIHW. 7. http://www.vm.cfsan.fda.gov/~frl/eflp.html

Benito Mussolini (1883-1945) diktator fasis di Italia dalam Perang Dunia ke II, sejak kecilnyamenderita ……….hiperaktif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 54

Page 56: 20955554-cdk-148-Imunisasi

IKHTISAR

Introduction to Anti-Aging Medicine

Eulis A. Datau*, Candra Wibowo

* Guru Besar,Divisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Sam Ratulangi / Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Roembajan Deil Kandou, Manado

PENDAHULUAN

Harapan hidup di Amerika Serikat pada masa revolusi hanya sekitar 25 tahun. Kemudian pada tahun 1900 rerata harapan hidup meningkat menjadi 46 tahun; dan pada tahun 1999 menjadi 73-79 tahun. Menurut WHO, sekitar 20 % anak yang lahir saat itu dapat mencapai 100 tahun dan lebih sehat dari usianya.1 Saat ini setiap negara di dunia juga menghadapi peningkatan tajam populasi usia di atas 60 tahun.2 Perubahan ini berhubungan erat dengan perbaikan sanitasi dan eliminasi penyakit infeksi anak; peningkatan harapan hidup ini akan terus berlanjut dengan adanya pengobatan penyakit jantung dan deteksi dini kanker.

Dengan meningkatnya harapan hidup, timbul masalah atau penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan antara lain, penyakit degeneratif, penurunan kualitas hidup, kognitif serta meningkatnya ketergantungan pada orang lain. Penelitian menunjukkan kemunduran hormon seiring bertambahnya usia merupakan penyebab utama kerusakan fisik yang disebabkan penuaan.3 Proses penuaan sangat bervariasi dan dapat dipercepat, diperlambat atau dibalik tergantung pada hormon yang mengatur degenerasi dan regenerasi tubuh di tingkat sel.1,3

Penyakit degeneratif akibat penuaan meliputi 90 % dari semua penyakit, sedangkan 10% sisanya disebabkan oleh penyakit genetik, infeksi dan trauma. Jika kita ingin membuat revolusi dalam kesehatan, kita harus memfokuskan diri pada penyakit akibat proses penuaan ini.1

Ilmu medis baru yaitu Anti-Aging Medicine menjanjikan bagaimana meningkatkan harapan hidup menjadi dua kali dan bagaimana cara mencegah, menghambat dan membalik proses penuaan. Memasuki dunia anti-aging merupakan langkah awal untuk bergabung dengan masyarakat yang awet muda, yaitu suatu masyarakat yang tak kenal usia tua, penyakit, demensia dan ketidak mampuan.1 Pada keadaan ini, setiap orang akan kelihatan muda, usia produktif dapat sampai 100 tahun atau lebih, dengan kesehatan dan kesempatan yang tidak terbatas. Dalam dunia Anti-Aging Medicine terdapat tiga peraturan yaitu jangan sakit, jangan tua dan jangan (cepat) meninggal.1 Penelitian menunjukkan, penuaan sebagian besar disebab-kan oleh penurunan Growth Hormone / Insulin-like Growth Factor-I (GH/IGF-I) secara drastis dalam tubuh setelah dewasa.1,4 Saat ini dunia medis dihadapkan dengan masalah utama yaitu bagaimana menaklukkan musuh utama umat

manusia yang paling tua yaitu penuaan dan kematian. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa, terapi GH/IGF-I dapat mencegah, memperlambat bahkan membalikkan sebagian besar penyakit atau keadaan yang berhubungan dengan proses penuaan seperti diuraikan berikut ini.5

PENGERTIAN ANTI-AGING MEDICINE Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit. Anti-aging medicine sendiri merupakan salah satu spesialisasi bidang kedokteran yang menerapkan ilmu dan teknologi kedokteran mutakhir untuk deteksi dini, prevensi, terapi serta membalikkan disfungsi organ-organ dan penyakit yang berhubungan dengan usia tua. Tabel 1. Usia Rata-Rata pada Jaman Tertentu

Region Years Cro Magnon 28 Ancient Egypt 25 1400 Europe 30 1800 Europe & USA 37 1900 USA 48 2002 USA 78

Prinsip dasar anti-aging medicine meliputi :

1. Ilmiah. 2. Bukti klinis, dengan penelitian buta ganda acak dan

terkontrol. 3. Holistik, jiwa raga, dari kulit ke tulang, dari ujung rambut

ke ujung kuku kaki. 4. Sinergis, pendekatan terapi multi modalitas. 5. Terdokumentasi dalam jurnal perkumpulan seminat. KADAR GH-IGF-I RENDAH DAPAT MEMPERPENDEK HARAPAN HIDUP

Bengston BA dkk (Swedia) melakukan penelitian terhadap 333 pasien dengan diagnosis insufisiensi hipofisis. Semua pasien mendapat terapi sulih hormon antara lain kortison, tiroid dan hormon seks kecuali GH. Ditemukan 107 kematian pada kelompok tanpa terapi GH, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 57 orang. Penyebab utamanya adalah penyakit kardiovaskuler - 60 orang pada kelompok defisiensi GH (dua kali lipat) dan 31 orang pada populasi umum.1

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 55

Page 57: 20955554-cdk-148-Imunisasi

GH/IGF-I DAPAT MEREMAJAKAN SISTEM IMUN Jika sistem imun dapat diremajakan, maka akan kembali

pada sistem imun usia 12 tahun.3 Timus adalah organ primer sistem imun yang terletak di

rongga dada. Timus ini merupakan tempat pematangan sel limfosit T (sel T). Pada usia pubertas sistem imun mencapai puncaknya, setelah itu timus mulai menyusut, pada usia 40 tahun tinggal bayangan dan pada usia 60 tahun sangat sulit ditemukan. Penyusutan timus ini disertai dengan meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan penuaan meliputi keganasan, penyakit autoimun dan penyakit infeksi. Bersamaan dengan penyusutan timus ini terjadi penurunan sel T dan interleukin-2 (IL 2). Dengan demikian penuaan dianggap juga sebagai penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dengan perkembangan lambat.1

Terapi sulih GH dapat meningkatkan aktivitas imun melalui pembentukan antibodi baru. Antibodi baru ini akan meningkatkan produksi sel T dan IL-2, proliferasi dan daya fagosit sel darah putih yang lebih besar, aktivitas anti kanker dari natural killer cells (NK-cell), stimulasi makrofag, maturasi neutrofil, eritropoesis dan produksi sel darah merah yang baru.1

Berdasarkan hal tersebut, terapi sulih GH dalam beberapa minggu akan dapat membangunkan orang yang tidak berdaya dengan harga diri rendah, cemas dan depresi akibat proses penuaan. Efek ini disebut “Lazarus Effect”.1 IMUNITAS DAPAT MENGONTROL HARAPAN HIDUP

Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa peremajaan sistem imun dapat memperpanjang harapan hidup, sedangkan pada manusia belum diketahui. Penelitian dengan kontrol di Universitas North Dakota State (1990) melaporkan efek pemberian GH pada 26 ekor tikus yang telah menunjukkan tanda-tanda penuaan dan penurunan fungsi sistem imun (usia melebihi ¾ rerata harapan hidup). Setelah 13 minggu peng-obatan, 16 (61%) tikus di kelompok kontrol mati, sementara di kelompok GH 97% masih hidup sampai 9 bulan di atas rerata harapan hidup; terapi GH dapat menambah sepertiga dari rerata harapan hidup.

Selain menambah usia harapan hidup terapi GH dapat juga memperbaiki imunitas meliputi aktivasi fungsi sel limfosit T yang dikontrol oleh kelenjar timus. Penulis menganggap peningkatan harapan hidup ini disebabkan pencegahan dan penghambatan kerusakan sistem imun akibat proses penuaan. 1 HGH/IGF-I UNTUK ANTI-AGING DAN UMUR PANJANG

Terapi sulih GH/IGF-I dapat mencegah, menghambat proses penuaan serta memperpanjang umur harapan hidup dengan berbagai mekanisme seperti diuraikan berikut ini. 1. Membantu jantung

Terapi sulih GH meningkatkan fungsi jantung dan mencegah penyakit jantung dengan beberapa cara. GH menurunkan lemak tubuh terutama di daerah abdomen yang berhubungan erat dengan serangan jantung. Pemberian GH pada orang dewasa dengan defisiensi GH bukan karena proses penuaan, dapat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Pemberian GH selama tiga bulan pada pasien gagal jantung fungsional klas II –III akibat kardiomiopati dilatasi idiopatik

dapat meningkatkan kekuatan otot miokard dan menurunkan ukuran ruang ventrikel kiri, meningkatkan fraksi ejeksi, menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung, meningkatkan kapasitas latihan dan kualitas hidup. 6 2. Memperbaiki fungsi paru

Terapi GH dapat meningkatkan fungsi paru dan jantung melalui peningkatan uptake oksigen maksimum dan peningkatan cardiac output. Selain itu dapat juga meningka-tkan forced expiratory volume (FEV1).

Pemberian GH selama tiga minggu pada pasien penyakit obstruksi kronik dapat meningkatkan maximum expiratory force volume.1 Para ahli yakin bahwa GH dapat memberikan harapan pada pengobatan emfisema dan penyakit paru lain. 3. Membentuk tulang

Penelitian di Swedia terhadap 44 orang usia 23-66 tahun dengan defisiensi GH, melaporkan pemberian HGH selama 2 tahun dapat meningkatkan densitas massa tulang pinggul dan vertebra lumbalis. Ditemukan juga peningkatan kalsium, osteokalsin dan kolagen sebagai tanda (marker) pembentukan tulang.1

4. Memperbaiki memori dan fungsi kognitif

Penelitian telah membuktikan bahwa defisiensi GH berhubungan dengan kegagalan memori jangka pendek, memori jangka panjang dan gangguan koordinasi mata dan gerakan tangan. Yang menarik, makin rendah kadar IGF-I, makin rendah IQ dan tingkat pendidikan seseorang.7 Terapi sulih GH dapat mengembalikan penurunan memori dan fungsi kognitif dan memberi harapan pada penyakit neurodegeneratif dan jejas otak.1

5. Mengobati penyakit otak dan neuron

Percobaan pada binatang menunjukkan, IGF-I terbukti dapat menyambung ujung saraf yang rusak sampai 6 mm, suatu prestasi yang sebelumnya belum pernah terdengar. Selain itu dapat meningkatkan aktivitas neuron motorik saraf spinal dan meningkatkan pertumbuhan sel. Terapi GH pada penyakit Alzheimer yang ditandai kehilangan sejumlah neurotransmitter terutama asetilkolin dan noradrenalin juga memberikan hasil baik. Manfaat lainnya pada otak yaitu memperbaiki kualitas tidur yang merupakan masalah utama pada lanjut usia dan perbaikan kualitas penglihatan.1

6. Memperbaiki fungsi seksual

Penurunan kualitas fungsi seksual laki-laki terjadi seiring dengan penurunan kadar GH. Meskipun belum ada penelitian khusus tentang pengaruh GH terhadap fungsi seksual, tetapi orang dengan defisiensi GH akibat penyakit hipofisis akan mengalami penurunan libido dan fungsi seksual. Setelah pengobatan GH, terjadi peningkatan kemampuan dan fungsi seksual.5 Hasil wawancara Robert Klatz terhadap orang yang mendapat terapi sulih GH menunjukkan, hampir semua melaporkan peningkatan libido dan fungsi seksual.1

7. Meremajakan kulit

Terapi sulih GH adalah satu-satunya anti-aging yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 56

Page 58: 20955554-cdk-148-Imunisasi

diketahui dapat membuat seseorang tampak muda. Kulit lansia akan menjadi tipis dan hilang elastisitasnya.5 Pemberian GH selama 6 bulan pada lansia > 60 tahun dapat meningkatkan ketebalan kulit sebesar 7,1%4. Penelitian lain melaporkan pemberian GH selama 6 bulan dapat memperbaiki tekstur kulit dan meningkatkan elastisitas kulit, mengurangi kerutan kulit sebesar 61 % dan pertumbuhan rambut baru sebesar 38%.1

8. Membentuk kembali komposisi tubuh

Terapi sulih GH akan membentuk kembali tubuh dengan cara menghilangkan lemak tubuh terutama di daerah abdomen dan membentuk otot.1 Pemberian GH selama 6 bulan pada orang sehat usia di atas 60 tahun dapat meningkatkan lean body mass (LBM) sebesar 8,8% dan penurunan massa lemak tubuh sebesar 14,4%4. Peningkatan LBM ini meliputi peningkatan densitas massa tulang sebesar 1,6%, organ hati sebesar 19% dan limfa sebesar 17%. Pada follow up selama satu tahun ditemukan peningkatan LBM sebesar 6% dan penurunan massa lemak sebesar 15%, pertumbuhan hati 8%, dan pertumbuhan limfa sebesar 23%.1 Yang paling menyolok pada pengobatan GH adalah penurunan lemak di daerah abdomen, yang selama ini dihubungkan dengan peningkatan serangan jantung. Penurunan massa lemak di daerah abdomen juga mempunyai implikasi terhadap diabetes melitus (DM) tipe II karena ada hubungan erat antara kegemukan intraabdominal dengan resistensi insulin.5,8

9. Mengontrol obesitas Telah diketahui dengan baik pada manusia, bahwa metabolisme lemak dan otot secara langsung dipengaruhi oleh interaksi antara GH, asam amino, latihan, insulin, hormon stres, protein dan lemak. Pembakaran lemak berkurang pada saat kadar insulin tinggi yaitu sesaat setelah makan makanan tinggi lemak atau karbohidrat. Insulin merupakan penghambat sekresi GH, sehingga sangat penting berpuasa minimum selama 2 jam sebelum suntik GH atau sebelum tidur. Obesitas juga penghambat kuat sekresi GH.9 Kelebihan lemak merupakan faktor risiko beberapa penyakit seperti DM tipe II, penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan beberapa macam kanker.1 Pemberian GH selama 6 bulan pada lanjut usia sehat tanpa diet dan olah raga, menyebabkan kehilangan lemak tubuh sebesar 9,2% dari total lemak dan sekitar 6,1% adalah lemak di abdomen.dikutip dari 1 Pemberian GH terhadap 30 orang usia 48-66 tahun, selain menurunkan lemak daerah abdomen juga mem-perbaiki metabolisme glukosa, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dan menurunkan tekanan darah10.

MANFAAT LATIHAN DAN ALASAN UNTUK BEROLAHRAGA

Manfaat latihan terutama yang berdurasi singkat, intensitas tinggi seperti angkat barbel dan aktivitas latihan berat lainnya memberikan efek yang kuat terhadap sistem endokrin di otak dan telah terbukti dapat meningkatkan sekresi GH yang ditandai dengan peningkatan kadar IGF-I 200-400%.1,3

Ekstremitas bawah dan pelvis mengandung 70% total massa otot sehingga berperan penting untuk memacu stimulasi maksimum sistem neuroendokrin. Pada usia > 40 tahun, pemeriksaan fisik dan penentuan jenis latihan merupakan langkah yang bijaksana sebelum program latihan dimulai.1

BERAPA CEPAT PENUAAN ANDA ? Terdapat empat macam tes penanda penuaan yang dapat

dilakukan sendiri. Tes ini merupakan petunjuk kecepatan penurunan fungsi fungsional dan biologis.

Tes ini kasar, tetapi dapat digunakan untuk menilai perkembangan yang dicapai pada program anti-aging.1

1. Tes elastisitas kulit

Cubit kulit dorsal tangan dengan ibu jari dan jari telunjuk selama 5 detik, kemudian lepaskan, hitung berapa lama dia kembali ke bentuk semula.

2. Tes menjatuhkan mistar (Falling Ruler Test)

Minta seseorang menggantung mistar 18 inci (nomor paling besar di bawah) di antara dua jari; tempatkan jari tengah dan ibu jari anda pada posisi 3,5 inci. Kemudian suruh orang yang menggantung mistar tersebut menjatuhkannya secara tiba-tiba tanpa aba-aba sebelumnya dan tangkap mistar tersebut di antara jari anda secepat mungkin. Lakukan sampai tiga kali, catat pada ukuran berapa inci anda dapat menangkap mistar tersebut.

3. Tes keseimbangan statis

Berdiri di permukaan yang keras dengan posisi kedua tungkai rapat tanpa alas kaki. Tutup mata dan angkat salah satu tungkai setinggi 6 inci; tekuk lutut sampai membentuk sudut 45º. Kemudian angkat tungkai yang sebelah dengan cara yang sama. Hitung berapa lama bisa melakukan ini tanpa terjatuh. 4. Tes akomodasi visual

Dengan gerakan lambat dekatkan koran ke mata anda sampai tulisan di koran menjadi kabur. Lakukan tanpa kaca mata baca. Ukur berapa jarak dari mata ke koran. Makin jauh menandakan makin menua. TIDUR MERUPAKAN PEREMAJA YANG PALING KUAT

Kualitas hidup sangat penting untuk kesehatan dan usia panjang. Dilaporkan sepertiga orang Amerika mengalami gangguan tidur malam hari dan hanya sekitar 45 % yang dapat tidur nyenyak.1 Terbatasnya siklus tidur alami akibat stres yang tidak alami seperti nyala lampu, ventilasi yang jelek, emosi berlebihan dan stres psikologis dapat mengurangi harapan hidup maksimum.1 American Demographic Magazine melapor-kan hasil survai orang dewasa yang tidur kurang dari 6 jam 43 % merasakan stres, sementara yang tidur 7-8 jam tiap malam hanya 14% mengalami stres.1 Kualitas tidur sangat penting dalam sekresi GH dan melatonin, mengontrol stres dan mem-perbaiki sel-sel yang rusak. Biasakan tidur dan bangun secara teratur pada jam yang sama.3 Tidurlah pada ruangan sejuk dengan tempat tidur nyaman. Matikan lampu atau bebas dari cahaya lampu karena produksi melatonin yaitu hormon yang penting mengatur kualitas tidur akan berkurang dengan adanya cahaya.1,3 MANFAAT TERAPI SULIH MULTIHORMON

Semua hormon saling berkaitan, oleh karena itu perubahan salah satu hormon berarti perubahan semua hormon. Ini adalah prinsip sinergi hormon. Penurunan GH/IGF-I tidak hanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 57

Page 59: 20955554-cdk-148-Imunisasi

langsung menyebabkan penuaan, tetapi juga memiliki efek gelombang pada seluruh sistem endokrin.3 Sebaliknya, pe-ningkatan GH/IGF-I memiliki efek revitalisasi pada hormon lainnya. Pada penuaan selain penurunan IGF-I/GH, juga disertai penurunan melatonin, DHEA, hormon tiroid, estrogen, progesteron, pregnenolon, androstenedion dan testosteron.3,5 Terdapat beberapa alasan untuk menggunakan terapi sulih multihormon seperti berikut ini.1,11 1. Terapi sulih untuk semua hormon yang mengalami defisiensi akan memberikan efek sinergis pada kesehatan 2. Fungsi tubuh mencapai puncaknya pada kadar hormon-hormon paling tinggi. 3. Jika menggunakan terapi sulih GH secara parenteral, maka meningkatkan hormon lain akan menurunkan kadar GH yang dibutuhkan untuk efek maksimal dan akan menurunkan biaya pengobatan.

Hormon yang dapat diberikan bersama GH adalah melatonin, DHEA, hormon tiroid, estrogen, progesteron, preg-nenolon dan testosteron; sedangkan hormon yang mematikan seperti kortikosteroid harus dihindari.1,5

TUJUH RAHASIA ANTI-AGING 1. Diet seimbang

Minum air yang disuling 8 gelas per hari, jangan dicampur dengan kopi, teh, soda, jeruk, atau yang lain. Batasi daging merah dan makanan kering; makan buah segar dua kali sehari dalam batas karbohidrat yang ditentukan. Makan tomat merah masak minimal satu kali sehari karena mengandung bio-flavonoid.1,12 2. Latihan

Latihan ketahanan dengan durasi singkat, intensitas tinggi seperti angkat barbel dan latihan berat lainnya dengan durasi sekitar 30 menit, 3-5 kali seminggu.1,3 3. Hindari stres mental

Stres mental dapat meningkatkan kadar kortisol darah. Kortisol dianggap sebagai hormon yang mematikan. Untuk menghindari efek stres dianjurkan bermeditasi, tidur cukup dengan kualitas yang baik.1 4. Antioksidan

Antioksidan seperti vitamin A, C, E dan selenium ber-fungsi anti-aging dengan cara mencegah kerusakan sel.1,12

5. Vitamin, mineral, asam amino dan nutrisi lain Makanan suplemen yang dianjurkan adalah yang me-

ngandung antara lain: multivitamin, asam folat, asam amino prekusor GH, CoEnzyme Q-10, Ginkgo Biloba, alga biru-hijau ditambah chlorella.1,12 6. HGH/IGF-I

Diindikasikan untuk yang defisiensi relatif dengan mempertimbangkan faktor mental dan faktor fisik.1,5 7. Hormon DHEA, estrogen, melatonin, tiroksin, testos-

teron, progesteron Pemberian dan dosis sesuai indikasi dan kadar hormon

dalam darah.1,11 PEMERIKSAAN SEBELUM TERAPI ANTI-AGING

Sebelum memulai terapi sulih GH, setiap pasien harus melakukan pemeriksaan:1

1) Kadar IGF-I atau GH. 2) Prostate Surface Antigen (PSA) untuk laki-laki. 3) Mammografi dan pap smear untuk perempuan. KAPAN TERAPI ANTI-AGING DIMULAI ?

Untuk mendapatkan hasil maksimal, program anti-aging sebaiknya dimulai setelah usia 35 tahun.1 Meskipun demikian tidak ada istilah terlambat untuk merencanakan masa depan hidup lebih dari 100 tahun dengan kesehatan dan kesempatan yang tidak terbatas. HUBUNGAN KADAR IGF-I DENGAN BEBERAPA PARAMETER PROSES PENUAAN

Untuk mengetahui hubungan kadar IGF-I dengan para-meter penuaan antara lain usia, massa lemak tubuh, massa tubuh bebas lemak, rasio pinggang-pinggul dan ketebalan kulit, telah dilakukan penelitian observasional analisis dengan rancang bangun potong silang terhadap 81 orang dokter nonobes berusia di atas 30 tahun di FK Unsrat Manado. Massa lemak tubuh dan massa tubuh bebas lemak diukur dengan alat bioelectric impedance merek Tanita dan dinyatakan dalam persentase; ketebalan kulit diukur dengan kaliper buatan Inggris merek Body Care Slim Guide dan dinyatakan dalam milimeter. Kadar IGF-I diukur dengan metode Elisa dengan reagen IGF-I Elisa DSL-10-5600; hasilnya dinyatakan dalam ng/ml.

Hasilnya adalah sebagai berikut: 1) Kadar rerata IGF-I 268,664 (90 - 473) ng/ml. 2) Kadar rerata IGF-I usia < 30-39 tahun 297.728 ng/ml, 40-49 tahun 270,644 ng/ml, 50 - 59 tahun 233,022 ng/ml dan ≥60 tahun 203,113 ng/ml 3) Rerata kadar IGF-I pada dekade keenam berkurang 31,779 % dari rerata kadar IGF-I pada dekade ketiga dan penurunan rerata kadar IGF-I tiap dekade sejak usia 30 tahun sebesar 7,945 %. 4) Terdapat korelasi negatif antara kadar IGF-I dengan usia, massa lemak tubuh dan rasio pingang-pinggul. 5) Terdapat korelasi positif antara kadar IGF-I dengan massa tubuh bebas lemak dan ketebalan kulit tangan regio dorsal. 6) Berdasarkan hasil penelitian ini, terapi sulih GH dapat dipertimbangkan sebagai anti aging pada saat kadar IGF-I < 200 ng/ml dan dipertahankan sampai kadar dekade ke empat (270 ng/ml). RINGKASAN

Penuaan biologis merupakan gejala penurunan hormon, dan karena penurunan hormon dapat dihindari, penuaan biologis dapat dicegah, diperlambat atau dibalikkan tergantung pada hormon yang mengatur degenerasi dan regenerasi tubuh pada tingkat sel. Parameter penuaan ditandai dengan peningkat-an massa lemak tubuh terutama di daerah abdomen, penurunan LBM, densitas massa tulang, ketebalan kulit, kualitas hidup, fungsi kognitif dan memori. Selain itu dapat dijumpai dislipidemi dan beberapa penyakit degeneratif. Tampaknya proses penuaan ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan GH/IGF-I setelah dewasa.

Terapi sulih hormon hanya untuk mengganti hormon yang hilang akibat proses penuaan ke kadar normal fisiologis. Terapi

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 58

Page 60: 20955554-cdk-148-Imunisasi

sulih hormon dapat memberikan manfaat yang mengagumkan sebagai anti-aging jika diberikan secara bijaksana dengan pengawasan laboratoris secara periodik untuk menjamin kadar efektif dalam darah dan di bawah supervisi dokter yang mempunyai kemampuan/keahlian di bidang terapi anti-aging. Sebaiknya terapi sulih hormon disertai diet seimbang, latihan, menghindari stres mental, antioksidan, vitamin, mineral dan asam amino.

Penelitian observasional dengan rancang bangun potong lintang pada 81 dokter usia 31-65 tahun mendapatkan kesimpulan: 1) Terdapat korelasi negatif kadar IGF-I dengan umur, massa lemak tubuh dan rasio pingang-pinggul. 2) Terdapat korelasi positif kadar IGF-I dengan massa tubuh bebas lemak dan ketebalan kulit tangan regio dorsal. Dari hasil penelitian ini disarankan, terapi sulih IGF-I/GH sudah diperlu-kan untuk tujuan anti penuaan pada beberapa dokter dengan kadar IGF-I di bawah 200 ng/ml dan dipertahankan sampai kadar IGF-I 270 ng/ml.

KEPUSTAKAAN

1. Klatz RM. Ten Weeks to a Younger You. Chicago; Ill.: Sport Tech Labs

Inc; 1999. 2. Lifespan literature scan. International trends in human longevity and

public policy in aging. Anti-Aging Medical News 2002;56 3. Faigin R. Meningkatkan Hormon secara Alami (terj.). 1st ed. Jakarta: Raja

Grapindo Persada; 2000. 4. Rudman D, Feller A, Nagraj HS, Gergans GA, Lalitha PY, Goldberg AF,

et al. Effects of human growth hormone in men over 60 years old. N Engl J Med 1990;323:1-6

5. Cummings DE, Merriam GR. Growth hormone and growth hormone se-cretagogues in adults. In: Meikle AW. (ed). Contemporary Endo-crinology: Hormone Replacement Therapy. Totowa: Humana Press Inc; 1999.p.61-88

6. Fazio S, Sabatini D, Capaldo D et al. A preliminary study of growth hormone in the treatment of dilated cardiomyopathy. N Engl J Med 1996;334: 809-14.

7. Dam PSV, Aleman A, Vries WR et al. Growth hormone, insulin-like growth factor-I and cognitive function in adults. GH & IGF-I Research 2000;Suppl B:S69-S73.

8. Thompson JL, Butterfield GE, Marcus R, Hintz RL, Loan MV, Ghiron L. The effects of recombinant human insulin-like growth factor-I and growth hormone on body composition in elderly women. J Clin Endocrinol Metab 1995;80:1845-52.

9. Clemmons DR, Van Wyk JJ. Factors controling blood concentration of somatomedin C. Clin Endocrinol Metab 1984;13:113-43.

10. Johannson, G. et al. Growth hormone treatment of abdominal fat mass, improves glucose and lipoprotein metabolism and reduces diastolic blood pressure. J Clin Endocrinol Metab 1997;82:727-34.

11. Delgado N. Clinical perspectives GH therapy to grow young and slim. Anti Aging Medical News 2002; 5-17.

12. New discovery in DNA repair mechanism reinforces nutrient-gene interaction in longevity. Anti Aging Medical News 2002; 3-23.

LAMPIRAN Reserve Capacity ( % of Maximum Function )

100%

Gambar 1. Grafik vitalitas menurut usia Ron Rothernberg A4M Dec 2002,Las Vegas NV

Gambar 2. Pengobatan konvensional dan perpanjangan kesakitan

Gambar 3. Tujuan Anti-Aging Medicine

75%

50%

25%

9 10 11 12 AGE years

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Optimum

Sub Optimum

Undiagnosed

100%

75%

50%

25%

0 10 20

AGE years

90 100 110 120 30 40 50

GH

THE ARRIVAL AT PRACTICAL IMMORTALITYTHE ARRIVAL AT PRACTICAL IMMORTALITYTHE ARRIVAL AT PRACTICAL IMMORTALITY

60 70 80

100%

75%

50%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 AGE (years)

Morbidity

Optimum Health

Sub-optimum Health

Compression

25%

LEVELS OF HORMONES LEVELS OF HORMONES LEVELS OF HORMONES

10 20 30 40 50 60 70age (yrs)

20

40

60

80

100

120

140

melatonin

DHEA

80

testosteron

leptinestrogen

insulin

Practical immortality -healthy human life spans of 120 yrs & longer -anti aging R/ as the bridge between now & the immediate future

NOWSOON

FUTURE

Life spans of 80 yrs- antioxidant- physiological HRT

Life spans of 120 yrs -stem cell -DNA repair -Telomerase

(may be 2029) Life spans of 150 - 200 yrs- cloning- machine - based human/

bionic

(may be 2050 -2095)

Ronald Klatz , 2004

Seek no thyself outside of thyself

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 59

Page 61: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Produk Baru

Terapi Osteoporosis

Osteoporosis adalah sebuah silent epidemic yang akan menjadi masalah global sejalan dengan makin bertambahnya populasi dunia dan meningkatnya usia harapan hidup manusia. Satu dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria di atas 50 tahun akan mengalami osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Osteoporosis didefinisikan sebagai berkurangnya massa tulang yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur walaupun dengan trauma minimal. Dua faktor utama yang mempengaruhi risiko timbulnya osteoporosis adalah massa tulang puncak (massa tulang yang dicapai saat pematangan tulang) dan laju kehilangan tulang setelahnya. Beberapa faktor risiko lain yang dapat menyebabkan osteoporosis adalah: asupan nutrisi yang tidak adekuat, aktivitas fisik yang kurang, merokok, konsumsi alkohol berlebih, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

Pencegahan dan pengobatan osteoporosis melibatkan pemberian nutrisi yang kaya kalsium, fosfor, dan vitamin D, olahraga teratur, menghindari faktor risiko dan juga dengan obat-obatan. Saat ini telah tersedia beberapa pilihan pengobatan osteoporosis yang aman dan efektif, di antaranya adalah Osteonate® dan Osteofem®.

Osteonate® mengandung risedronate, suatu bisfosfonat yang bekerja sebagai antiresorpsi tulang. Pada tingkat seluler, risedronate menghambat aktivitas osteoklas dan memicu proses apoptosis osteoklas. Penelitian membuktikan bahwa risedronate 5 mg per hari dapat menurunkan risiko fraktur sebanyak 69% dibandingkan plasebo dalam waktu 1 tahun. Bahkan penurunan risiko yang bermakna sudah tampak dalam 6 bulan pengobatan.1 Risedronate juga terbukti aman dan efektif digunakan untuk wanita pasca menopause yang berusia lebih dari 80 tahun.2

Gambar 1. Perbandingan insiden fraktur vertebra dalam studi VERT.1 (-- = Placebo; – = Risedronate 5 mg, * = p<0.05)

Untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis, Osteonate® dikonsumsi dengan dosis 5 mg per hari dengan

segelas air putih (200 ml) minimal 30 menit sebelum makan pagi. Pasien sebaiknya tidak berbaring dalam 30 menit setelah minum obat untuk menghindari gangguan gastrointestinal yang mungkin terjadi.

Saat ini, risedronate juga telah tersedia dalam tablet 35 mg yang dikonsumsi seminggu sekali (once-weekly). Hasil studi menyatakan bahwa efektivitas dan tolerabilitas risedronate once-daily sebanding dengan risedronate once-weekly.

Pengobatan lain yang juga sudah terbukti efektivitasnya

adalah Osteofem® yang mengandung kalsitriol, suatu metabolit aktif dari vitamin D3. Kalsitriol secara alamiah disintesis di ginjal dari 25-hidroksi-kolekalsiferol (kalsidiol). Kalsitriol bekerja meningkatkan absorbsi kalsium di usus dan juga mengatur mineralisasi tulang.

Untuk pengobatan osteoporosis, Osteofem® diberikan dengan dosis 0,25 mcg dua kali sehari. Penelitian membuktikan bahwa pemberian kalsitriol dapat meningkatkan densitas massa tulang lebih dari 2% dalam waktu 1 tahun3 dan menurunkan kejadian fraktur dibandingkan suplemen kalsium saja.4 Selain itu, Osteofem® juga memiliki beberapa indikasi lain, seperti: osteodistrofi ginjal, osteomalasia, dan riketsia.

010203040506070

No.

of N

ew

Ver

tebr

al

Frac

ture

s

1 2 3

Year of Treatment

Calcitriol Calcium

* *

Gambar 2. Perbandingan jumlah fraktur vertebra antara kalsitriol dan kalsium (*= p<0.001)4

KEPUSTAKAAN 1. Roux C et al. Efficacy of risedronate on clinical vertebral fractures within

six months. Curr Med Res Opin 2004;20(4):433-9. 2. Boonen S et al. Safety and efficacy of risedronate in reducing fracture

risk in osteoporotic women aged 80 and older: Implication for the use of antiresorptive agents in the old and oldest old. J Am Geriatr Soc 2004;52 (11):1832-39.

3. Shah D et al. Effects of calcitriol (rocaltrol) on spine and femoral neck bone mineral density in postmenopausal osteoporosis. Bombay Hospital Journal 2002;44(2)

4. Tilyard MW et al. Treatment of postmenopausal osteoporosis with calcitriol or calcium. N Engl J Med 1992;326:357-62.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 60

Page 62: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Informatika Kedokteran

Daftar Simposium/seminar pada Website Kalbe Farma

Tampilan website Kalbe Farma yang berisi daftar simposium, bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Adanya simposium tentu sangat diperlukan guna menambah ilmu bagi para dokter. Umumnya acara simposium diberitahukan kepada para dokter melalui surat undangan (tertulis) atau berkomunikasi langsung (lisan). Bagi dokter yang kebetulan terlewatkan atau ingin mengetahui lebih banyak mengenai simposium yang akan diadakan, website Kalbe Farma yang telah dikenal sebagai Portal Informasi Kedokteran / Kesehatan Indonesia berusaha memenuhi permintaan tersebut. Silakan akses http://www.kalbefarma.com/calendar. Dalam halaman tersebut, dokter bisa memperoleh informasi mengenai simposium yang dibagi berdasarkan: Spesialisasi, Kategori (Lokal, Nasional bahkan Internasional),

serta waktu pelaksanaannya (Bulan dan Tahun). Dokter bisa menemukan keterangan lengkap daftar acara serta para pembicara simposium yang diminati. Keistimewaan lain dari website yang telah masuk dalam 5 situs terbaik versi Majalah Komputer Aktif adalah membantu baik event organiser ataupun organisasi profesi yang ingin mempromosikan acara simposiumnya. Silakan klik ”Add your event >>” pada halaman ini untuk meng-sosialisasi acara Anda kepada pengunjung website Kalbe Farma yang tersebar di seluruh dunia. Jangan lupa menyertakan nama serta cara menghubungi, agar bisa dikonfirmasi kembali. [SIM]

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 61

Page 63: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Kegiatan Ilmiah

Laporan lengkap dari simposium di bawah ini, bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/seminar. Simposium Satelit II, Nutritional & Complementary Choices in Cancer Therapy, Surabaya 5 Maret 2005

Saat ini terapi atau pengobatan nutrisi dan komplemen/pelengkap penyakit kanker mulai mendapat tempat tidak hanya di kalangan penderita, namun juga termasuk para dokter. Penyebabnya antara lain, kesulitan menyembuhkan penyakit kanker. Apalagi di Indonesia, umumnya pasien datang berobat ke dokter pada tahap sudah sangat lanjut. Belum lagi jika diperhitungkan biaya obat kanker yang bisa dibilang tidak murah (meskipun untuk saat ini, Kalbe Farma telah menyediakan obat-obat kanker generik yang juga bisa diperoleh para anggota Askes). Masalah tersebut dibahas di Surabaya pada simposium yang diadakan oleh Perhimpunan Onkologi Indonesia.

Seminar Sehari Bedah Laparoskopik untuk Obesitas, Jakarta 19 Maret 2005

Gemuk tidak selalu diidentikkan dengan cantik, seperti sering didengung-dengungkan dengan pameo Big is beautiful. Lebih sering gemuk malah bisa membuat persoalan seperti: penyakit jantung koroner, kencing manis, radang sendi dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya. Sayangnya orang gemuk sangat sulit untuk menjadi kurus; pelbagai usaha telah dicoba, namun umumnya tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Tak jarang, akhirnya mereka frustrasi dan tidak peduli lagi dengan kegemukannya. Presentasi dari dr. Abdul Fahmi Karim dari Pantai Hospital Kuala Lumpur membawa harapan cerah bagi mereka yang tergolong gemuk.

PIT Interna Unibraw, Malang 19 - 20 Maret 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Bagian Penyakit Dalam, Unibraw-RS Saiful Anwar ini dilaksanakan di Hotel Tugu Malang, 19 – 20 Maret 2005. Topik simposium yang dihadiri oleh sekitar 250 peserta ini adalah Evidence Based Medicine in Clinical Practice. Dalam pembukaannya ketua panitia menyampaikan bahwa acara PIT yang dilaksanakan secara berkala ini bertujuan untuk menjawab tantangan ilmu kedokteran yang terus berkembang, sehingga para dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan selalu berdasarkan ilmu yang terbaru.

Pelatihan Pricing Strategy, Jakarta 30 - 31 Maret 2005

Salah satu syarat agar rumah sakit dapat melanjutkan dan memperluas usahanya adalah mampu memasarkan produk pelayanan kesehatannya secara berhasil dan memperoleh keuntungan. Tentunya dengan cara yang tidak melanggar etika perumahsakitan dan tidak melupakan fungsi sosial rumah sakit, demikian dipaparkan dr. Sri Rachmani MKes, saat memberi presentasi pada hari kedua Pelatihan III 2005 dari Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN). PIN I Nyeri, Manado 29 - 30 April 2005

Nyeri telah akrab sejak manusia diciptakan. Meskipun telah berlangsung lama, persoalan nyeri tidak ada habis-habisnya. Apalagi persoalan yang menjengkelkan bagi penderitanya ini, kadangkala sangat sulit diselesaikan. Dalam rangka mengupdate ilmu mengenai -

nyeri ini, selama 2 hari telah diselenggarakan Pertemuan Ilmiah Nasional I Nyeri oleh Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). Acara ini berlangsung di Manado, Sulawesi Utara. Sekitar 500 dokter dari seluruh Indonesia (termasuk dari Aceh) turut berpartisipasi dalam acara yang baru pertama kali diadakan ini. Seminar Revolution on Anti Aging Medicine I, Jakarta 14 Maret 2005

Kondisi lingkungan kota-kota besar di Indonesia tampaknya berpengaruh negatif terhadap kesehatan, apalagi jika kurang berolahraga. Demikian disampaikan dr. Phaidon Toruan, MM dalam presentasinya yang berjudul "Aktivitas Olahraga sebagai Anti Aging Action", pada acara pertama dari rangkaian Seminar dan Workshop Perkumpulan Awet Sehat Indonesia (Indonesian Anti Aging Society) di Jakarta, Sabtu 14 Mei 2005. Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta peminat Anti Aging, diramaikan dengan pelbagai stand sponsor alat dan food supplement untuk menjaga kesehatan. Seminar hari itu dilanjutkan dengan workshop Sustain Your Sex Life Through Sports & Fitness. Sampai jumpa di seminar berikutnya pada bulan Agustus 2005. Seminar Sosialisasi Etika Profesi dan Penelitian Kedokteran serta Etika Rumah Sakit, Jakarta 14 Mei 2005

Di tengah maraknya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan tenaga kesehatan, di RS Pondok Indah pada 14 Mei 2005, telah diadakan seminar tentang Etika Profesi Kedokteran untuk para dokter dan tenaga medis lainnya. Acara ini menghadirkan 4 pembicara yaitu Prof. Dr. R Sjamsuhidajat SpB, Drs. Darojatun Sanusi Apt, MBA, Dr. Samsi Jacobalis SpB, Dr. Broto Wasisto MPH.

JNHC V, Jakarta 20 - 21 Mei 2005

Sampai kini masih banyak yang berpendapat bahwa keadaan Gagal Ginjal Akut bersifat reversibel (dapat kembali normal/sehat). Namun menurut salah satu ahli ginjal Indonesia, dr. Pranawa, tidak semua keadaan demikian hasil akhirnya. Keadaan seperti ini hanya bisa dijumpai pada pasien yang ditangani secara cepat dan tepat, maksimal dalam 48 jam pertama. Untuk itu, saran dokter dari FK UNAIR/RSUD dr. Soetomo Surabaya ini, tenaga kesehatan yang menemui pasien Acute Renal Failure (ARF), perlu cepat-cepat berkonsultasi dengan dokter ahli ginjal. Informasi ini diutarakan Pranawa kepada sekitar 1.000 orang peserta The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course, yang berlangsung dari tanggal 20 - 21 Mei 2005. Symposium on Hypertension, Jakarta, 22 Mei 2005

Telah ditetapkan baik oleh JNC7 (Joint National Committee VII) maupun oleh ADA (American Diabetes Association) bahwa target tekanan darah bagi penderita Kencing Manis adalah di bawah 130 / 80 mmHg. Demikian pemaparan Guru Besar FKUI Jose Roesma pada acara Symposium on Hypertension, Jakarta 22 Mei 2005. Sebenarnya, lanjut spesialis Ginjal dan Hipertensi ini, makin rendah tekanan darah pasien makin baik. Untuk itu usaha (obat maupun non obat) menurunkan tekanan darah serendah mungkin adalah hal yang diprioritaskan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 62

Page 64: 20955554-cdk-148-Imunisasi

apsul

Vaccines for travellers Category Vaccine 1. Routine vaccination Diphtheria/tetanus/pertussis (DTP) Hepatitis B (HBV) Haemophilus influenzae type b (Hib) Measles (MMR) Poliomyelitis (OPV or IPV) a 2. Selective use for travellers Cholera Influenza Hepatitis A (HAV) Japanese encephalitis Lyme disease Meningococcal disease Pneumococcal disease Rabies Tick-borne encephalitis Tuberculosis (BCG) Typhoid fever Yellow fever (for individual protection) 3. Mandatory vaccination Yellow fever (for protection of vulnerable countries)

Meningococcal disease - required by Saudi Arabia for pilgrims visiting Mecca for the Hajj (annual pilgrimage) or for the Umrah.

a OPV = oral poliomyelitis vaccine; IPV = inactivated poliomyelitis vaccine. Sumber: International travel and health. WHO, 2005. ch.6.p.90

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 63

Page 65: 20955554-cdk-148-Imunisasi

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Yang tidak benar mengenai flu burung :

a) Disebabkan oleh virus influenza tipe A b) Terutama menyerang unggas, bukan manusia c) Bisa mematikan d) Bisa menjadi epidemi e) Virus penyebabnya tahan suhu tinggi

2. Yang bukan gejala flu burung :

a) Nyeri tenggorokan b) Nyeri kepala c) Diare d) Sesak nafas e) Konjungtivitis

3. Campak paling infeksius pada masa :

a) Prodromal b) Akut c) Konvalesen d) Kronis e) Carrier

4. Koplik spots dapat ditemui di :

a) Konjungtiva b) Mukosa mulut c) Bibir d) Mukosa hidung e) Kulit

5. Imunitas terhadap campak ditunjukkan dengan adanya :

a) IgM b) IgG terhadap protein F c) IgA terhadap protein F d) IgG terhadap protein H e) IgA terhadap protein H

6. Imunisasi campak dianjurkan diberikan secara : a) Intramuskular b) Subkutan c) Intrakutan d) Inhalasi e) Oral

7. Saat optimal vaksinasi campak di negara berkembang

ialah pada usia : a) 0 – 3 bulan b) 3 – 6 bulan c) 6 – 12 bulan d) 12 – 24 bulan e) Setelah 24 bulan

8. Antibodi maternal campak akan bertahan di dalam darah

bayi sampai usia: a) 0 – 3 bulan b) 3 – 6 bulan c) 6 – 12 bulan d) 12 – 24 bulan e) Lebih dari 24 bulan

9. Perlindungan satu dosis vaksin campak dapat mencapai :

a) 1 tahun b) 5 tahun c) 10 tahun d) 14 tahun e) 16 tahun

JAWABAN RPPIK :

1. E 2. C 3. A 4. B 5. D 6. B 7. B 8. C 9. E

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 64