2060-2399-1-SM

9
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi) 9 DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER Saipul Hamdi Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan e-mail: [email protected] RINGKASAN Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global, aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak energi matahari untuk memulai reaksi tersebut. 1 PENDAHULUAN Aerosol memainkan peranan penting dalam iklim global melalui dua mekanisme, yaitu dampak langsung dan dampak tak langsung. Dampak langsung aerosol terhadap iklim adalah dengan cara menyerap dan menghamburkan radiasi matahari sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendinginan global, dan juga meningkatkan albedo awan. Dampak aerosol secara tidak langsung adalah dengan cara memodifi- kasi sifat optis awan. Keberadaan aerosol di stratosfer banyak disebabkan oleh letusan gunung berapi yang dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo (1991) di Filipina, sedangkan sumber aerosol di lapisan troposfer didominasi oleh aktivitas manusia khususnya dalam penggunaan bahan bakar fosil. Indonesia yang memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya merupakan gunung berapi aktif tentu saja memiliki peluang menjadi penyumbang aerosol yang potensial di lapisan stratosfer. Dengan letak geografis yang sangat representatif di khatulistiwa menjadikan gunung api aktif tersebut akan memainkan peranan penting dalam iklim global jika terjadi letusan yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat yang dilepaskan dalam letusan gunung berapi masuk ke dalam lapisan stratosfer dapat mencapai ribuan kilometer jauhnya, serta memberikan kontribusi yang nyata dalam perubahan iklim global. Dalam skala global, aerosol yang dikeluarkan oleh letusan Gunung Pinatubo telah menyebabkan pendinginan global (global cooling) dengan penurunan suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer bawah dan belahan bumi utara pada September 1992 (Dutton and Christy, 1992). Selain berdampak pada iklim global, aerosol juga diyakini dapat menyebabkan hujan asam, bahkan penipisan lapisan ozon melalui proses heterogeneous reaction, khususnya di daerah kutub utara. Makalah ini disusun untuk menguraikan sumber aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer, dampak aerosol terhadap iklim global baik langsung maupun tidak langsung, maupun dampaknya terhadap ozon stratosfer, serta kaitan aerosol dengan proses terjadinya hujan asam.

description

CAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAACCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCC

Transcript of 2060-2399-1-SM

Page 1: 2060-2399-1-SM

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

9

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER

Saipul Hamdi

Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi

dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan

tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global,

aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan

berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya

aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi

menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di

dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya

dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol

mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon

menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak

energi matahari untuk memulai reaksi tersebut. 1 PENDAHULUAN

Aerosol memainkan peranan

penting dalam iklim global melalui dua

mekanisme, yaitu dampak langsung dan

dampak tak langsung. Dampak langsung

aerosol terhadap iklim adalah dengan

cara menyerap dan menghamburkan

radiasi matahari sehingga dapat

menyebabkan terjadinya pendinginan

global, dan juga meningkatkan albedo

awan. Dampak aerosol secara tidak

langsung adalah dengan cara memodifi-

kasi sifat optis awan. Keberadaan

aerosol di stratosfer banyak disebabkan

oleh letusan gunung berapi yang

dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo

(1991) di Filipina, sedangkan sumber

aerosol di lapisan troposfer didominasi

oleh aktivitas manusia khususnya

dalam penggunaan bahan bakar fosil.

Indonesia yang memiliki 400

gunung berapi dan 130 di antaranya

merupakan gunung berapi aktif tentu

saja memiliki peluang menjadi

penyumbang aerosol yang potensial di

lapisan stratosfer. Dengan letak geografis

yang sangat representatif di khatulistiwa

menjadikan gunung api aktif tersebut

akan memainkan peranan penting

dalam iklim global jika terjadi letusan

yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat

yang dilepaskan dalam letusan gunung

berapi masuk ke dalam lapisan

stratosfer dapat mencapai ribuan

kilometer jauhnya, serta memberikan

kontribusi yang nyata dalam perubahan

iklim global.

Dalam skala global, aerosol yang

dikeluarkan oleh letusan Gunung

Pinatubo telah menyebabkan pendinginan

global (global cooling) dengan penurunan

suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer

bawah dan belahan bumi utara pada

September 1992 (Dutton and Christy,

1992). Selain berdampak pada iklim

global, aerosol juga diyakini dapat

menyebabkan hujan asam, bahkan

penipisan lapisan ozon melalui proses

heterogeneous reaction, khususnya di

daerah kutub utara. Makalah ini

disusun untuk menguraikan sumber

aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer,

dampak aerosol terhadap iklim global

baik langsung maupun tidak langsung,

maupun dampaknya terhadap ozon

stratosfer, serta kaitan aerosol dengan

proses terjadinya hujan asam.

Page 2: 2060-2399-1-SM

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

10

2 AEROSOL DI LAPISAN TROPOSFER DAN STRATOSFER

2.1 Aerosol di Lapisan Troposfer

Aerosol adalah kumpulan dari

partikel-partikel padat yang tersuspensi

di dalam medium gas dalam waktu yang

cukup lama dan memungkinkan untuk

diamati dan diukur. Pada umumnya,

partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm

sehingga kasat mata namun keberadaan-

nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol

terdapat di atmosfer, dari permukaan

hingga ketinggian stratosfer. Bahkan

tanpa disadari, aerosol pun banyak

terdapat di dalam ruangan, terutama

ruangan tertutup dengan ukuran yang

sangat halus (nano aerosol).

Aerosol dapat terbentuk melalui

dua cara, yaitu proses buatan dan

proses alami yang berasal dari aktivitas

makhluk hidup. Pembakaran bahan

bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan

industri dan transportasi, dipercaya

memberikan sumbangan yang cukup

besar terhadap peningkatan jumlah

aerosol atmosfer, khususnya di lapisan

troposfer bawah. Kandungan sulfur pada

bahan bakar fosil akan menghasilkan

aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian

besar jumlah aerosol yang terdapat di

lapisan troposfer bawah merupakan

turunan dari sulfurdioksida yang

dihasilkan dari pembakaran bahan bakar

fosil. Demikian juga dengan kebakaran

hutan yang sering terjadi di beberapa

negara, termasuk Indonesia, menghasilkan

aerosol dalam jumlah yang sangat

banyak dan terdistribusi hingga ke

tempat yang sangat jauh (remote area).

Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa

kebakaran hutan lebih dikenal dengan

istilah aerosol organis ataupun black

carbon.

Aerosol juga dihasilkan oleh

tumbuh-tumbuhan berupa senyawa

organis tidak stabil (VOC: volatile organics

compounds). Informasi mengenai

mekanisme pelepasan VOC ini masih

sangat sedikit yang diketahui mengingat

sangat beragamnya jenis vegetasi yang

dikenal. Salah satu jenis VOC yang

sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide

(DMS), yaitu jenis VOC utama yang

dilepaskan oleh phytoplankton di lautan

dan berperan penting dalam siklus

sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga

menghasilkan aerosol melalui mekanisme

bursting bubbles pada permukaan laut.

Dengan demikian maka lautan merupakan

sumber aerosol yang sangat luas bagi

atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol

yang berasal dari laut utamanya

merupakan aerosol garam laut misalnya

Cl, Na, dan Ca.

Ditinjau dari segi ukuran maka

aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

inti aitken, inti besar, dan inti raksasa.

Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini

sangat bergantung pada tujuannya

(Kumar et al., 2010). Misalnya untuk

tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol

diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100

nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000

nm). Namun demikian, pembatasan

klasifikasi tersebut tidaklah disepakati

secara tegas, dan sangat bergantung

pada tujuan dan penggunaannya.

Tabel 2-1: KLASIFIKASI AEROSOL BERDASARKAN DIAMETERNYA, SERING DIGUNAKAN OLEH METEOROLOGIST

Ukuran (diameter) Sumber

Inti Aitken < 0,001-0.1 µ Dihasilkan dari pembakaran, dan

konversi gas-partikel

Inti besar 0,1 – 1,0 µ Garam, spora halus, hasil pembakaran,

penggumpalan inti Aitken

Inti raksasa > 1 µ Garam, spora kasar, hasil dari proses

industri

Page 3: 2060-2399-1-SM

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

11

2.2 Aerosol di Lapisan Stratosfer

Munculnya aerosol di lapisan

stratosfer didominasi kuat oleh letusan

gunung berapi yang menyemburkan

ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke

atmosfer di samping material debu

lainnya, bahkan mencapai lapisan

stratosfer. Gas SO2 dapat berubah

menjadi H2SO4/H2O langsung melalui

konversi gas ini ke partikel serta reaksi

heterogen dengan uap air melalui bantuan

radiasi matahari pada ketinggian tertentu

(McCormick et al., 1995). Di lapisan

stratostefer, aerosol sulfat ini dapat

menyebar hingga ke daerah yang sangat

jauh, bergantung pada keadaan meteo

makro dan sirkulasi global atmosfer.

Letusan gunung berapi yang dahsyat

akan meningkatkan secara cepat jumlah

aerosol sulfat di lapisan stratosfer.

Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini

memiliki waktu hidup yang lebih lama

dibandingkan dengan waktu hidupnya

di lapisan troposfer, khususnya troposfer

bawah.

Salah satu letusan gunung berapi

yang cukup dahsyat dan tercatat dalam

sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo

di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.

Dunia ilmu pengetahuan mencatat

bahwa letusan ini telah mengeluarkan

sulfurdioksida yang sangat banyak

jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei) menjadi

5.000 ton (28 Mei) atau meningkat

sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu

pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013).

Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan

selama terjadinya letusan adalah

sebanyak 30 juta ton (McCormick et al.,

1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur

dengan air dan oksigen di atmosfer dan

berubah menjadi asam sulfat yang akan

mempercepat proses penipisan lapisan

ozon. Letusan ini juga menjadi salah

satu letusan yang mendapatkan perhatian

penuh dari seluruh ilmuwan dunia.

Beberapa perkembangan ilmu

pengetahuan yang diperoleh dari letusan

Mt. Pinatubo antara lain berkaitan

dengan proses-proses dinamika awan

dan aerosol, proses-proses radiatif bumi,

dan proses-proses kimia yang terjadi di

atmosfer. Selain berasal dari letusan

gunung berapi yang dahsyat, aerosol di

lapisan stratosfer juga berasal dari

debu-debu meteorit di lapisan mesosfer,

dan masuk ke dalam lapisan stratosfer

melalui proses pengendapan.

Gambar 2-1: Sumber aerosol di stratosfer (http://noaanews.noaa.gov)

Page 4: 2060-2399-1-SM

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

12

3 DAMPAK AEROSOL TERHADAP IKLIM GLOBAL

3.1 Dampak Langsung

Dampak aerosol secara langsung

terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi

menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses

absorpsi (penyerapan) dan scattering

(penghamburan) radiasi matahari, dan

(ii) menghamburkan, menyerap, dan

memancarkan radiasi panas (Lohmann,

U. and J. Feichter, 2005). Adanya

aerosol di dalam atmosfer bumi akan

meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD)

dan memperluas penutupan awan yang

berakibat pada menurunnya radiasi net

matahari pada puncak awan sehingga

terjadilah pendinginan (Lohmann U. and

J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol-

aerosol karbon dan debu akan menambah

positive forcing pada puncak atmosfer,

setidaknya di daerah dengan albedo

permukaan yang tinggi, dan juga secara

langsung menghangatkan atmosfer. Efek

ini dapat diperkuat jika penyerapan

radiasi matahari dari partikel-partikel

aerosol ini terjadi di dalam tetes awan

(Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan

temperatur ini akan mengurangi

kelembapan relatif dan bisa juga

menurunkan evaporasi tetes awan.

Pengurangan penutupan awan dan AOD

awan selanjutnya akan memperkuat

pemanasan sistem atmosfer bumi.

Akibat penyerapan energi matahari

oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi

maka sebagian energi sinar matahari

akan tersimpan di atmosfer dan

berpotensi untuk memanaskan atmosfer

bumi. Sementara itu, penghamburan

radiasi matahari yang disebabkan oleh

aerosol menyebabkan radiasi matahari

terpantulbalikkan ke luar atmosfer

bumi. Dampak aerosol secara langsung

ini sangat bergantung pada sifat fisis

aerosol tersebut dan disebut sebagai single

scattering albedo, yaitu perbandingan

antara radiasi yang dihamburkan dengan

yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini,

aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti

Aitken) merupakan partikel yang paling

efektif dalam menghamburkan radiasi

matahari sehingga memegang peranan

penting dalam iklim global. Karena

ukurannya yang sangat kecil dan

memiliki bobot yang sangat ringan maka

inti aitken berpotensi untuk ditemukan

pada ketinggian yang sangat tinggi

(lapisan stratosfer).

Sebagai gambaran, aerosol yang

bersumber dari letusan Gunung

Pinatubo pada tahun 1991 berdampak

langsung pada menurunnya intensitas

radiasi matahari langsung (direct solar

radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi

pengamatan yang disebar pada 4 lintang

yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol

Optical Depth (AOD) total yang dihitung

pada 10 bulan pertama setelah letusan

adalah sebesar 1,7 kali lebih besar

daripada yang teramati mengikuti letusan

gunung El Chichon pada tahun 1982.

Sementara itu, pada bulan September

1992 temperatur troposfer bawah global

dan pada troposfer telah mengalami

penurunan (global cooling) masing-masing

sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan

dengan sebelum terjadinya letusan.

Terjadinya global cooling ini dikaitkan

dengan berkurangnya jumlah konsentrasi

uap air di troposfer (Soden B.J. et al.,

2002).

3.2 Dampak Tidak Langsung

Selain berdampak langsung

terhadap iklim, aerosol juga

memberikan dampak tidak langsung.

Dampak tidak langsung aerosol dapat

didefinisikan sebagai proses-proses yang

disebabkan oleh aerosol dan berdampak

pada gangguan keseimbangan radiasi

atmosfer bumi dengan cara memodulasi

albedo awan ataupun jumlah awan,

yaitu bertindak sebagai inti kondensasi

awan (CCN: cloud condensation nuclei)

dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya

aerosol yang tersuspensi ke dalam awan

akan menyebabkan semakin banyaknya

inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga

albedo awan menjadi meningkat dan

waktu hidup awan juga menjadi lebih

lama. Hal ini dapat menyebabkan

berkurangnya jumlah curah hujan.

Page 5: 2060-2399-1-SM

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

13

Gambar 3-1: Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim global adalah dengan cara memodifikasi

sifat-sifat fisis awan

Dampak tidak langsung aerosol

terhadap iklim lainnya adalah

berkurangnya ukuran butiran awan

(cloud droplet). Butiran awan yang

terdapat di atas samudera atlantik

memiliki ukuran yang lebih kecil untuk

awan yang terpolusi dibandingkan dengan

awan yang bersih (Breguier et al, 2000;

Schwartz et al., 2002). Pengamatan

jangka panjang menggunakan satelit

untuk daerah China dan Eropa

menujukkan dampak tidak langsung

aerosol yaitu menurunkan planetary

albedo yang dapat dihubungkan dengan

penyerapan aerosol pada musim dingin

(Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger

et al., 2004). Dengan demikian maka

butiran awan yang lebih kecil akan

mengurangi efisiensi presipitasi dan

sekaligus menambah waktu hidup awan

dan reflektivitasnya.

4 DAMPAK AEROSOL TERHADAP HUJAN ASAM

Aerosol yang berada di lapisan

troposfer, akan terdeposisi ke permukaan

bumi melalui proses deposisi basah dan

kering. Deposisi basah terjadi jika

aerosol terlarut ke dalam air hujan dan

turun bersama-sama dengan hujan.

Sebaliknya, deposisi kering terjadi

melalui proses pengendapan yang tidak

melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol

yang terlarut ke dalam air hujan

merupakan senyawa yang bersifat asam

(misalnya turunan dari SO2 dan NOx)

maka pH air hujan akan mengarah

kepada pH yang bersifat asam. Dalam

hal ini, kemampuan tanah dalam

menetralisir senyawa yang bersifat asam

akan sangat menentukan kelestarian

lingkungan hidup. Tanah yang bersifat

asam cenderung akan kehilangan zat

gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan

yang akhirnya akan menurunkan jumlah

tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu

saja ini akan mengganggu keseimbangan

alam.

Efek hujan asam berbeda-beda

terhadap lokasi. Rusaknya permukaan

dedaunan ataupun batang pohon akan

menurunkan kemampuannya dalam

beradaptasi dengan iklim yang ekstrim

(panas atau hujan) dan juga mem-

pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan

dataran tinggi sangat mudah terkena

serangan penyakit karena mereka

dikelilingi oleh awan ataupun kabut

yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan

juga menderita karena pengaruh hujan

asam terhadap tanah. Kontaminasi

hujan asam yang berlebihan pada tanah

akan cenderung menghilangkan zat gizi

yang penting, dan ini akan menurunkan

kandungan aluminium di dalam tanah.

Kekurangan senyawa alumunium

menyebabkan pertumbuhan tumbuhan

menjadi lebih lambat atau bahkan mati

sama sekali.

Page 6: 2060-2399-1-SM

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

14

Gambar 4-1: Proses deposisi basah dan kering yang mencuci atmosfer dari senyawa-senyawa aerosol

yang bersifat asam

5 DAMPAK AEROSOL TERHADAP

PENIPISAN LAPISAN OZON

Pemantauan aerosol stratosfer

secara rutin dilakukan sejak Oktober

1978 menggunakan sensor Stratospheric

Aerosol Measurement II (SAM II) yang

ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7.

Proyek penelitian ini mengarahkan

kepada penemuan PSCs dan diketahui

bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman

di kedua belahan kutub dunia. Sifat-

sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan

menggunakan sensor tersebut. Diketahui

bahwa koefisien peluruhan (extinction)

PSCs berkisar antara 10-3/km hingga

10-2/km. meskipun tidak ditemukan

awan dengan koefisien ekstingsi yang

lebih besar daripada 10-2/km namun

ada indikasi bahwa hampir sebagian

besar awan memiliki indikasi optical

depth. Ini penting karena meskipun

suhu di stratosfer mencapai -80°C

hingga -85°C, namun air murni akan

terkondensasi (dengan asumsi bahwa

kandungan air 5 ppmv). Jika setiap

partikel aerosol stratosfer ambient

menjadi tetes awan (water cloud droplet)

maka awan akan terkomposisikan dari

tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan

akan memiliki ekstingsi yang lebih besar

daripada 10-1/km.

Gambar 5-1: NIMBUS 7 dan SAM II yang

menempel (http://sage.nasa.Gov SAM/

Polar Stratospheric Clouds (PSCs)

merupakan awan stratosfer yang tersusun

atas larutan asam nitrit dengan

sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs

dapat juga terkomposisi dari campuran

bahan-bahan kimia yang lainnya,

terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan

merupakan unsur penting dalam

peristiwa terjadinya lubang ozon. PSCs

memiliki efek yang tidak baik terhadap

Page 7: 2060-2399-1-SM

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

15

ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat

(misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat

bereaksi dengan klorin monoksida (ClO)

untuk membentuk klorin nitrat

(ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai

tempat terjadinya reaksi fase gas yang

lambat menjadi sangat cepat secara

heterogen (gas yang bereaksi pada

permukaan benda padat). Efek yang

kedua ini dapat digambarkan sebagai

berikut,

HCl + ClONO2 --- pada permukaan es -- Cl2 (gas) dan HNO3

Reaksi tersebut dapat berlangsung

secara cepat pada permukaan butiran

awan cirrus stratosfer yang berwujud

kristal. Adanya SO2 di dalam butiran

awan akan mengubah sifat optis awan

sehingga berwujud sebagai kristal es

pada lapisan stratosfer. Selanjutnya,

klorin akan mempercepat proses

perusakan ozon melalui reaksi sebagai

berikut.

(1) Cl + O3 ClO + O2

(2) ClO + O Cl + O2

Hasil dari rangkaian reaksi tersebut

adalah O3 + O 2O2, yaitu berubahnya

satu molekul ozon menjadi 2 molekul

oksigen akibat adanya senyawa klorin.

SO2 gunung berapi dapat

mengurangi lapisan ozon dengan cara

menyerap radiasi matahari pada panjang

gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang

gelombang yang bersesuaian dengan

proses fotolisis O2 (diperlukan saat

pembentukan molekul ozon). Karena

terjadi pengurangan proses fotolisis

maka berakibat juga pada berkurangnya

proses pembentukan ozon. Selain

mengurangi proses pembentukan molekul

ozon, SO2 juga dapat menambah

konsentrasi ozon stratosfer, yaitu

dengan cara menyerap radiasi ultraviolet

matahari untuk menghasilkan precursor

ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2

mengkatalisis proses pembentukan

ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan

reaksi berikut ini:

SO2 + hν SO + O (λ < 220nm) (5-1)

SO + O2 SO2 + O (5-2)

2(O + O2 + M O3 + M) (5-3)

3O2 2O3 (5-4)

Pada panjang gelombang kurang

dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi

satu molekul SO dan satu atom O yang

bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian

akan bereaksi dengan molekul oksigen

lainnya untuk menghasilkan molekul

SO2 kembali dan satu atom O.

Selanjutnya atom oksigen dan molekul

oksigen akan bergabung kembali menjadi

molekul O3 . Akhirnya, dengan bantuan

molekul SO2 dan radiasi matahari (λ <

220nm) maka 3 molekul oksigen akan

diubah menjadi 2 molekul ozon pada

lapisan stratosfer.

6 PENUTUP

Aerosol stratosfer memiliki peran

yang sangat kuat dalam proses terjadinya

perubahan iklim. Dampak langsung

yang berkaitan dengan radiasi matahari

adalah terjadinya pendinginan global

atau global cooling, dan dampak tak

langsungnya adalah berkurangnya

intensitas hujan (curah hujan) karena

berubahnya sifat-sifat fisika awan.

Berubahnya sifat fisika awan bisa

terjadi dengan semakin mengecilnya

diameter butiran awan, ataupun

berubahnya titik leleh dan titik beku

awan.

Di lapisan troposfer dan per-

mukaan, aerosol sulfat banyak dihasilkan

dari aktivitas manusia khususnya

dalam pemakaian bahan bakar fosil.

Melalui deposisi basah maka aerosol

sulfat akan terlarut ke dalam air hujan

Page 8: 2060-2399-1-SM

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

16

dan jatuh ke permukaan bumi dalam

bentuk hujan asam. Hujan yang bersifat

asam tentu saja akan mengganggu

keseimbangan lingkungan. Dampak

langsung hujan asam terhadap

tumbuhan adalah menyebabkan

tumbuhan menjadi kering dan

selanjutnya mati, sedangkan dampak

jangka panjangnya adalah mengurangi

tingkat kesuburan tanah sehingga

mengganggu pertumbuhan tanaman.

SO2 yang dihasilkan dari letusan

gunung berapi dapat berperan sebagai

penghambat proses pembentukan ozon

di stratosfer dengan cara menyerap radiasi

matahari (λ 180-390 nm) sehingga

mengurangi proses fotolisis yang

diperlukan dalam pembentukan ozon,

dan secara bersamaan dapat pula

mengkatalisis proses pembentukan ozon

dengan cara menyerap radiasi matahari

lainnya (λ < 220 nm).

DAFTAR RUJUKAN

Breguier, J.L.; Pawlowska, H.; Schuller,

L.; Preusker, R.; Fischer, J.; and

Fouquart, Y., 2000. Radiative

Properties of Boundary Layerclouds:

Droplet Effective Radius Versus

Number Concentration, J. Atmos.

Sci., 57, 803-821.

Chÿlek, P.; G.B. Lesins; G. Videen;

J.G.D. Wong; R.G. Pinnick; D.

Ngo; J.D. Klett, 1996. Black

Carbon and Absorption of Solar

Radiation By Clouds. J. Geophys.

Res., 101, 23 365–23 371.

Dutton, E.G.; J.R. Christy, 1992. Solar

Radiative Forcing at Selected

Locations and Evidence for Global

Lower Tropospheric Cooling

Following the Eruptions of El

Chichón and Pinatubo.

Geophysical Research Letters,

Volume 19, p. 2313-2316.

Kumar, P; A. Robins; S. Vardoulakis; R.

Britter, 2010. A Review of the

Characteristics of Nanoparticles in

the Urban Atmosphere and the

Prospects for Developing Regulatory

Controls. Atmospheric Environment,

44.

Krüger, O.; Graßl, H., 2002. The Indirect

Aerosol Effect Over Europe.

Geophys. Res. Lett., 29.

Krüger, O.; Graßl, H., 2004. Albedo

Reduction by Absorbing Aerosols

Over China”. Geophys. Res. Lett.

Krüger, O.; R. Marks; H. Graßl, 2004.

Influence of Pollution on Cloud

Reflectance. J. Geophys. Res., 109.

Lohmann, U.; J. Feichter, 2005. Global

Indirect Aerosol Effets: a Review.

Atmospheric Chemistry and

Physics, 5, 715-737.

McCormick, M.P.; L.W. Thomason; C.R.

Trepte, 1995. Atmospheric Effects

of the Mt Pinatubo Eruption.

Nature, 373, 399-404.

McElroy, M.B.; R.J. Salawitch; S.C.

Wofsy; J.A. Logan, 1986. Reduction

of Antarctic Ozone Due to Synergistic

Interactions of Chloride And

Bromine. Nature, 321, 759-762.

Schwartz, S. E.; Harshvardhan;

Benkovitz, C., 2002. Influence of

Anthropogenic Aerosol on Cloud

Optical Depth and Albedo Shown

by Satellite Measurements and

Chemical Transport Modeling. Proc.

Nat. Acad. Sciences, 99, 1784–

1789.

Soden, B.J.; R. T. Wetherald; G. L.

Stenchikov; A. Robock, 2002.

Global Cooling After Eruption of

Mount Pinatubo: a Test of Climate

Feedback by Water Vapor.

Science, 297, 727-730.

Solomon, S.; R. R. Garcia; F. S. Rowland;

D. J. Wuebbles, 1986. On The

Depletion of Antarctic Ozone.

Nature, 321, 755–758.

Warneck, P., 1988. Chemistry of the

Natural Atmosphere. San Diego

Academic Press.

Wikipedia, 2013. http://en.wikipedia. org/

wiki/Mount_Pinatubo, diunduh

pada tanggal 21 Juni 2013 pukul

10:10 WIB.

Page 9: 2060-2399-1-SM

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

9