2060-2399-1-SM
-
Upload
rama-namikaze -
Category
Documents
-
view
217 -
download
2
description
Transcript of 2060-2399-1-SM
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
9
DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER
Saipul Hamdi
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi
dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan
tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global,
aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan
berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya
aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi
menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di
dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya
dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol
mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon
menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak
energi matahari untuk memulai reaksi tersebut. 1 PENDAHULUAN
Aerosol memainkan peranan
penting dalam iklim global melalui dua
mekanisme, yaitu dampak langsung dan
dampak tak langsung. Dampak langsung
aerosol terhadap iklim adalah dengan
cara menyerap dan menghamburkan
radiasi matahari sehingga dapat
menyebabkan terjadinya pendinginan
global, dan juga meningkatkan albedo
awan. Dampak aerosol secara tidak
langsung adalah dengan cara memodifi-
kasi sifat optis awan. Keberadaan
aerosol di stratosfer banyak disebabkan
oleh letusan gunung berapi yang
dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo
(1991) di Filipina, sedangkan sumber
aerosol di lapisan troposfer didominasi
oleh aktivitas manusia khususnya
dalam penggunaan bahan bakar fosil.
Indonesia yang memiliki 400
gunung berapi dan 130 di antaranya
merupakan gunung berapi aktif tentu
saja memiliki peluang menjadi
penyumbang aerosol yang potensial di
lapisan stratosfer. Dengan letak geografis
yang sangat representatif di khatulistiwa
menjadikan gunung api aktif tersebut
akan memainkan peranan penting
dalam iklim global jika terjadi letusan
yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat
yang dilepaskan dalam letusan gunung
berapi masuk ke dalam lapisan
stratosfer dapat mencapai ribuan
kilometer jauhnya, serta memberikan
kontribusi yang nyata dalam perubahan
iklim global.
Dalam skala global, aerosol yang
dikeluarkan oleh letusan Gunung
Pinatubo telah menyebabkan pendinginan
global (global cooling) dengan penurunan
suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer
bawah dan belahan bumi utara pada
September 1992 (Dutton and Christy,
1992). Selain berdampak pada iklim
global, aerosol juga diyakini dapat
menyebabkan hujan asam, bahkan
penipisan lapisan ozon melalui proses
heterogeneous reaction, khususnya di
daerah kutub utara. Makalah ini
disusun untuk menguraikan sumber
aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer,
dampak aerosol terhadap iklim global
baik langsung maupun tidak langsung,
maupun dampaknya terhadap ozon
stratosfer, serta kaitan aerosol dengan
proses terjadinya hujan asam.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
10
2 AEROSOL DI LAPISAN TROPOSFER DAN STRATOSFER
2.1 Aerosol di Lapisan Troposfer
Aerosol adalah kumpulan dari
partikel-partikel padat yang tersuspensi
di dalam medium gas dalam waktu yang
cukup lama dan memungkinkan untuk
diamati dan diukur. Pada umumnya,
partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm
sehingga kasat mata namun keberadaan-
nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol
terdapat di atmosfer, dari permukaan
hingga ketinggian stratosfer. Bahkan
tanpa disadari, aerosol pun banyak
terdapat di dalam ruangan, terutama
ruangan tertutup dengan ukuran yang
sangat halus (nano aerosol).
Aerosol dapat terbentuk melalui
dua cara, yaitu proses buatan dan
proses alami yang berasal dari aktivitas
makhluk hidup. Pembakaran bahan
bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan
industri dan transportasi, dipercaya
memberikan sumbangan yang cukup
besar terhadap peningkatan jumlah
aerosol atmosfer, khususnya di lapisan
troposfer bawah. Kandungan sulfur pada
bahan bakar fosil akan menghasilkan
aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian
besar jumlah aerosol yang terdapat di
lapisan troposfer bawah merupakan
turunan dari sulfurdioksida yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
fosil. Demikian juga dengan kebakaran
hutan yang sering terjadi di beberapa
negara, termasuk Indonesia, menghasilkan
aerosol dalam jumlah yang sangat
banyak dan terdistribusi hingga ke
tempat yang sangat jauh (remote area).
Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa
kebakaran hutan lebih dikenal dengan
istilah aerosol organis ataupun black
carbon.
Aerosol juga dihasilkan oleh
tumbuh-tumbuhan berupa senyawa
organis tidak stabil (VOC: volatile organics
compounds). Informasi mengenai
mekanisme pelepasan VOC ini masih
sangat sedikit yang diketahui mengingat
sangat beragamnya jenis vegetasi yang
dikenal. Salah satu jenis VOC yang
sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide
(DMS), yaitu jenis VOC utama yang
dilepaskan oleh phytoplankton di lautan
dan berperan penting dalam siklus
sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga
menghasilkan aerosol melalui mekanisme
bursting bubbles pada permukaan laut.
Dengan demikian maka lautan merupakan
sumber aerosol yang sangat luas bagi
atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol
yang berasal dari laut utamanya
merupakan aerosol garam laut misalnya
Cl, Na, dan Ca.
Ditinjau dari segi ukuran maka
aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
inti aitken, inti besar, dan inti raksasa.
Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini
sangat bergantung pada tujuannya
(Kumar et al., 2010). Misalnya untuk
tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol
diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100
nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000
nm). Namun demikian, pembatasan
klasifikasi tersebut tidaklah disepakati
secara tegas, dan sangat bergantung
pada tujuan dan penggunaannya.
Tabel 2-1: KLASIFIKASI AEROSOL BERDASARKAN DIAMETERNYA, SERING DIGUNAKAN OLEH METEOROLOGIST
Ukuran (diameter) Sumber
Inti Aitken < 0,001-0.1 µ Dihasilkan dari pembakaran, dan
konversi gas-partikel
Inti besar 0,1 – 1,0 µ Garam, spora halus, hasil pembakaran,
penggumpalan inti Aitken
Inti raksasa > 1 µ Garam, spora kasar, hasil dari proses
industri
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
11
2.2 Aerosol di Lapisan Stratosfer
Munculnya aerosol di lapisan
stratosfer didominasi kuat oleh letusan
gunung berapi yang menyemburkan
ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke
atmosfer di samping material debu
lainnya, bahkan mencapai lapisan
stratosfer. Gas SO2 dapat berubah
menjadi H2SO4/H2O langsung melalui
konversi gas ini ke partikel serta reaksi
heterogen dengan uap air melalui bantuan
radiasi matahari pada ketinggian tertentu
(McCormick et al., 1995). Di lapisan
stratostefer, aerosol sulfat ini dapat
menyebar hingga ke daerah yang sangat
jauh, bergantung pada keadaan meteo
makro dan sirkulasi global atmosfer.
Letusan gunung berapi yang dahsyat
akan meningkatkan secara cepat jumlah
aerosol sulfat di lapisan stratosfer.
Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini
memiliki waktu hidup yang lebih lama
dibandingkan dengan waktu hidupnya
di lapisan troposfer, khususnya troposfer
bawah.
Salah satu letusan gunung berapi
yang cukup dahsyat dan tercatat dalam
sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo
di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.
Dunia ilmu pengetahuan mencatat
bahwa letusan ini telah mengeluarkan
sulfurdioksida yang sangat banyak
jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei) menjadi
5.000 ton (28 Mei) atau meningkat
sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu
pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013).
Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan
selama terjadinya letusan adalah
sebanyak 30 juta ton (McCormick et al.,
1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur
dengan air dan oksigen di atmosfer dan
berubah menjadi asam sulfat yang akan
mempercepat proses penipisan lapisan
ozon. Letusan ini juga menjadi salah
satu letusan yang mendapatkan perhatian
penuh dari seluruh ilmuwan dunia.
Beberapa perkembangan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari letusan
Mt. Pinatubo antara lain berkaitan
dengan proses-proses dinamika awan
dan aerosol, proses-proses radiatif bumi,
dan proses-proses kimia yang terjadi di
atmosfer. Selain berasal dari letusan
gunung berapi yang dahsyat, aerosol di
lapisan stratosfer juga berasal dari
debu-debu meteorit di lapisan mesosfer,
dan masuk ke dalam lapisan stratosfer
melalui proses pengendapan.
Gambar 2-1: Sumber aerosol di stratosfer (http://noaanews.noaa.gov)
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
12
3 DAMPAK AEROSOL TERHADAP IKLIM GLOBAL
3.1 Dampak Langsung
Dampak aerosol secara langsung
terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi
menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses
absorpsi (penyerapan) dan scattering
(penghamburan) radiasi matahari, dan
(ii) menghamburkan, menyerap, dan
memancarkan radiasi panas (Lohmann,
U. and J. Feichter, 2005). Adanya
aerosol di dalam atmosfer bumi akan
meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD)
dan memperluas penutupan awan yang
berakibat pada menurunnya radiasi net
matahari pada puncak awan sehingga
terjadilah pendinginan (Lohmann U. and
J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol-
aerosol karbon dan debu akan menambah
positive forcing pada puncak atmosfer,
setidaknya di daerah dengan albedo
permukaan yang tinggi, dan juga secara
langsung menghangatkan atmosfer. Efek
ini dapat diperkuat jika penyerapan
radiasi matahari dari partikel-partikel
aerosol ini terjadi di dalam tetes awan
(Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan
temperatur ini akan mengurangi
kelembapan relatif dan bisa juga
menurunkan evaporasi tetes awan.
Pengurangan penutupan awan dan AOD
awan selanjutnya akan memperkuat
pemanasan sistem atmosfer bumi.
Akibat penyerapan energi matahari
oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi
maka sebagian energi sinar matahari
akan tersimpan di atmosfer dan
berpotensi untuk memanaskan atmosfer
bumi. Sementara itu, penghamburan
radiasi matahari yang disebabkan oleh
aerosol menyebabkan radiasi matahari
terpantulbalikkan ke luar atmosfer
bumi. Dampak aerosol secara langsung
ini sangat bergantung pada sifat fisis
aerosol tersebut dan disebut sebagai single
scattering albedo, yaitu perbandingan
antara radiasi yang dihamburkan dengan
yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini,
aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti
Aitken) merupakan partikel yang paling
efektif dalam menghamburkan radiasi
matahari sehingga memegang peranan
penting dalam iklim global. Karena
ukurannya yang sangat kecil dan
memiliki bobot yang sangat ringan maka
inti aitken berpotensi untuk ditemukan
pada ketinggian yang sangat tinggi
(lapisan stratosfer).
Sebagai gambaran, aerosol yang
bersumber dari letusan Gunung
Pinatubo pada tahun 1991 berdampak
langsung pada menurunnya intensitas
radiasi matahari langsung (direct solar
radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi
pengamatan yang disebar pada 4 lintang
yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol
Optical Depth (AOD) total yang dihitung
pada 10 bulan pertama setelah letusan
adalah sebesar 1,7 kali lebih besar
daripada yang teramati mengikuti letusan
gunung El Chichon pada tahun 1982.
Sementara itu, pada bulan September
1992 temperatur troposfer bawah global
dan pada troposfer telah mengalami
penurunan (global cooling) masing-masing
sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan
dengan sebelum terjadinya letusan.
Terjadinya global cooling ini dikaitkan
dengan berkurangnya jumlah konsentrasi
uap air di troposfer (Soden B.J. et al.,
2002).
3.2 Dampak Tidak Langsung
Selain berdampak langsung
terhadap iklim, aerosol juga
memberikan dampak tidak langsung.
Dampak tidak langsung aerosol dapat
didefinisikan sebagai proses-proses yang
disebabkan oleh aerosol dan berdampak
pada gangguan keseimbangan radiasi
atmosfer bumi dengan cara memodulasi
albedo awan ataupun jumlah awan,
yaitu bertindak sebagai inti kondensasi
awan (CCN: cloud condensation nuclei)
dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya
aerosol yang tersuspensi ke dalam awan
akan menyebabkan semakin banyaknya
inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga
albedo awan menjadi meningkat dan
waktu hidup awan juga menjadi lebih
lama. Hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah curah hujan.
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
13
Gambar 3-1: Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim global adalah dengan cara memodifikasi
sifat-sifat fisis awan
Dampak tidak langsung aerosol
terhadap iklim lainnya adalah
berkurangnya ukuran butiran awan
(cloud droplet). Butiran awan yang
terdapat di atas samudera atlantik
memiliki ukuran yang lebih kecil untuk
awan yang terpolusi dibandingkan dengan
awan yang bersih (Breguier et al, 2000;
Schwartz et al., 2002). Pengamatan
jangka panjang menggunakan satelit
untuk daerah China dan Eropa
menujukkan dampak tidak langsung
aerosol yaitu menurunkan planetary
albedo yang dapat dihubungkan dengan
penyerapan aerosol pada musim dingin
(Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger
et al., 2004). Dengan demikian maka
butiran awan yang lebih kecil akan
mengurangi efisiensi presipitasi dan
sekaligus menambah waktu hidup awan
dan reflektivitasnya.
4 DAMPAK AEROSOL TERHADAP HUJAN ASAM
Aerosol yang berada di lapisan
troposfer, akan terdeposisi ke permukaan
bumi melalui proses deposisi basah dan
kering. Deposisi basah terjadi jika
aerosol terlarut ke dalam air hujan dan
turun bersama-sama dengan hujan.
Sebaliknya, deposisi kering terjadi
melalui proses pengendapan yang tidak
melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol
yang terlarut ke dalam air hujan
merupakan senyawa yang bersifat asam
(misalnya turunan dari SO2 dan NOx)
maka pH air hujan akan mengarah
kepada pH yang bersifat asam. Dalam
hal ini, kemampuan tanah dalam
menetralisir senyawa yang bersifat asam
akan sangat menentukan kelestarian
lingkungan hidup. Tanah yang bersifat
asam cenderung akan kehilangan zat
gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan
yang akhirnya akan menurunkan jumlah
tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu
saja ini akan mengganggu keseimbangan
alam.
Efek hujan asam berbeda-beda
terhadap lokasi. Rusaknya permukaan
dedaunan ataupun batang pohon akan
menurunkan kemampuannya dalam
beradaptasi dengan iklim yang ekstrim
(panas atau hujan) dan juga mem-
pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan
dataran tinggi sangat mudah terkena
serangan penyakit karena mereka
dikelilingi oleh awan ataupun kabut
yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan
juga menderita karena pengaruh hujan
asam terhadap tanah. Kontaminasi
hujan asam yang berlebihan pada tanah
akan cenderung menghilangkan zat gizi
yang penting, dan ini akan menurunkan
kandungan aluminium di dalam tanah.
Kekurangan senyawa alumunium
menyebabkan pertumbuhan tumbuhan
menjadi lebih lambat atau bahkan mati
sama sekali.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
14
Gambar 4-1: Proses deposisi basah dan kering yang mencuci atmosfer dari senyawa-senyawa aerosol
yang bersifat asam
5 DAMPAK AEROSOL TERHADAP
PENIPISAN LAPISAN OZON
Pemantauan aerosol stratosfer
secara rutin dilakukan sejak Oktober
1978 menggunakan sensor Stratospheric
Aerosol Measurement II (SAM II) yang
ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7.
Proyek penelitian ini mengarahkan
kepada penemuan PSCs dan diketahui
bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman
di kedua belahan kutub dunia. Sifat-
sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan
menggunakan sensor tersebut. Diketahui
bahwa koefisien peluruhan (extinction)
PSCs berkisar antara 10-3/km hingga
10-2/km. meskipun tidak ditemukan
awan dengan koefisien ekstingsi yang
lebih besar daripada 10-2/km namun
ada indikasi bahwa hampir sebagian
besar awan memiliki indikasi optical
depth. Ini penting karena meskipun
suhu di stratosfer mencapai -80°C
hingga -85°C, namun air murni akan
terkondensasi (dengan asumsi bahwa
kandungan air 5 ppmv). Jika setiap
partikel aerosol stratosfer ambient
menjadi tetes awan (water cloud droplet)
maka awan akan terkomposisikan dari
tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan
akan memiliki ekstingsi yang lebih besar
daripada 10-1/km.
Gambar 5-1: NIMBUS 7 dan SAM II yang
menempel (http://sage.nasa.Gov SAM/
Polar Stratospheric Clouds (PSCs)
merupakan awan stratosfer yang tersusun
atas larutan asam nitrit dengan
sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs
dapat juga terkomposisi dari campuran
bahan-bahan kimia yang lainnya,
terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan
merupakan unsur penting dalam
peristiwa terjadinya lubang ozon. PSCs
memiliki efek yang tidak baik terhadap
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
15
ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat
(misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat
bereaksi dengan klorin monoksida (ClO)
untuk membentuk klorin nitrat
(ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai
tempat terjadinya reaksi fase gas yang
lambat menjadi sangat cepat secara
heterogen (gas yang bereaksi pada
permukaan benda padat). Efek yang
kedua ini dapat digambarkan sebagai
berikut,
HCl + ClONO2 --- pada permukaan es -- Cl2 (gas) dan HNO3
Reaksi tersebut dapat berlangsung
secara cepat pada permukaan butiran
awan cirrus stratosfer yang berwujud
kristal. Adanya SO2 di dalam butiran
awan akan mengubah sifat optis awan
sehingga berwujud sebagai kristal es
pada lapisan stratosfer. Selanjutnya,
klorin akan mempercepat proses
perusakan ozon melalui reaksi sebagai
berikut.
(1) Cl + O3 ClO + O2
(2) ClO + O Cl + O2
Hasil dari rangkaian reaksi tersebut
adalah O3 + O 2O2, yaitu berubahnya
satu molekul ozon menjadi 2 molekul
oksigen akibat adanya senyawa klorin.
SO2 gunung berapi dapat
mengurangi lapisan ozon dengan cara
menyerap radiasi matahari pada panjang
gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang
gelombang yang bersesuaian dengan
proses fotolisis O2 (diperlukan saat
pembentukan molekul ozon). Karena
terjadi pengurangan proses fotolisis
maka berakibat juga pada berkurangnya
proses pembentukan ozon. Selain
mengurangi proses pembentukan molekul
ozon, SO2 juga dapat menambah
konsentrasi ozon stratosfer, yaitu
dengan cara menyerap radiasi ultraviolet
matahari untuk menghasilkan precursor
ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2
mengkatalisis proses pembentukan
ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan
reaksi berikut ini:
SO2 + hν SO + O (λ < 220nm) (5-1)
SO + O2 SO2 + O (5-2)
2(O + O2 + M O3 + M) (5-3)
3O2 2O3 (5-4)
Pada panjang gelombang kurang
dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi
satu molekul SO dan satu atom O yang
bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian
akan bereaksi dengan molekul oksigen
lainnya untuk menghasilkan molekul
SO2 kembali dan satu atom O.
Selanjutnya atom oksigen dan molekul
oksigen akan bergabung kembali menjadi
molekul O3 . Akhirnya, dengan bantuan
molekul SO2 dan radiasi matahari (λ <
220nm) maka 3 molekul oksigen akan
diubah menjadi 2 molekul ozon pada
lapisan stratosfer.
6 PENUTUP
Aerosol stratosfer memiliki peran
yang sangat kuat dalam proses terjadinya
perubahan iklim. Dampak langsung
yang berkaitan dengan radiasi matahari
adalah terjadinya pendinginan global
atau global cooling, dan dampak tak
langsungnya adalah berkurangnya
intensitas hujan (curah hujan) karena
berubahnya sifat-sifat fisika awan.
Berubahnya sifat fisika awan bisa
terjadi dengan semakin mengecilnya
diameter butiran awan, ataupun
berubahnya titik leleh dan titik beku
awan.
Di lapisan troposfer dan per-
mukaan, aerosol sulfat banyak dihasilkan
dari aktivitas manusia khususnya
dalam pemakaian bahan bakar fosil.
Melalui deposisi basah maka aerosol
sulfat akan terlarut ke dalam air hujan
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
16
dan jatuh ke permukaan bumi dalam
bentuk hujan asam. Hujan yang bersifat
asam tentu saja akan mengganggu
keseimbangan lingkungan. Dampak
langsung hujan asam terhadap
tumbuhan adalah menyebabkan
tumbuhan menjadi kering dan
selanjutnya mati, sedangkan dampak
jangka panjangnya adalah mengurangi
tingkat kesuburan tanah sehingga
mengganggu pertumbuhan tanaman.
SO2 yang dihasilkan dari letusan
gunung berapi dapat berperan sebagai
penghambat proses pembentukan ozon
di stratosfer dengan cara menyerap radiasi
matahari (λ 180-390 nm) sehingga
mengurangi proses fotolisis yang
diperlukan dalam pembentukan ozon,
dan secara bersamaan dapat pula
mengkatalisis proses pembentukan ozon
dengan cara menyerap radiasi matahari
lainnya (λ < 220 nm).
DAFTAR RUJUKAN
Breguier, J.L.; Pawlowska, H.; Schuller,
L.; Preusker, R.; Fischer, J.; and
Fouquart, Y., 2000. Radiative
Properties of Boundary Layerclouds:
Droplet Effective Radius Versus
Number Concentration, J. Atmos.
Sci., 57, 803-821.
Chÿlek, P.; G.B. Lesins; G. Videen;
J.G.D. Wong; R.G. Pinnick; D.
Ngo; J.D. Klett, 1996. Black
Carbon and Absorption of Solar
Radiation By Clouds. J. Geophys.
Res., 101, 23 365–23 371.
Dutton, E.G.; J.R. Christy, 1992. Solar
Radiative Forcing at Selected
Locations and Evidence for Global
Lower Tropospheric Cooling
Following the Eruptions of El
Chichón and Pinatubo.
Geophysical Research Letters,
Volume 19, p. 2313-2316.
Kumar, P; A. Robins; S. Vardoulakis; R.
Britter, 2010. A Review of the
Characteristics of Nanoparticles in
the Urban Atmosphere and the
Prospects for Developing Regulatory
Controls. Atmospheric Environment,
44.
Krüger, O.; Graßl, H., 2002. The Indirect
Aerosol Effect Over Europe.
Geophys. Res. Lett., 29.
Krüger, O.; Graßl, H., 2004. Albedo
Reduction by Absorbing Aerosols
Over China”. Geophys. Res. Lett.
Krüger, O.; R. Marks; H. Graßl, 2004.
Influence of Pollution on Cloud
Reflectance. J. Geophys. Res., 109.
Lohmann, U.; J. Feichter, 2005. Global
Indirect Aerosol Effets: a Review.
Atmospheric Chemistry and
Physics, 5, 715-737.
McCormick, M.P.; L.W. Thomason; C.R.
Trepte, 1995. Atmospheric Effects
of the Mt Pinatubo Eruption.
Nature, 373, 399-404.
McElroy, M.B.; R.J. Salawitch; S.C.
Wofsy; J.A. Logan, 1986. Reduction
of Antarctic Ozone Due to Synergistic
Interactions of Chloride And
Bromine. Nature, 321, 759-762.
Schwartz, S. E.; Harshvardhan;
Benkovitz, C., 2002. Influence of
Anthropogenic Aerosol on Cloud
Optical Depth and Albedo Shown
by Satellite Measurements and
Chemical Transport Modeling. Proc.
Nat. Acad. Sciences, 99, 1784–
1789.
Soden, B.J.; R. T. Wetherald; G. L.
Stenchikov; A. Robock, 2002.
Global Cooling After Eruption of
Mount Pinatubo: a Test of Climate
Feedback by Water Vapor.
Science, 297, 727-730.
Solomon, S.; R. R. Garcia; F. S. Rowland;
D. J. Wuebbles, 1986. On The
Depletion of Antarctic Ozone.
Nature, 321, 755–758.
Warneck, P., 1988. Chemistry of the
Natural Atmosphere. San Diego
Academic Press.
Wikipedia, 2013. http://en.wikipedia. org/
wiki/Mount_Pinatubo, diunduh
pada tanggal 21 Juni 2013 pukul
10:10 WIB.
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
9