PADArepo.unhi.ac.id/bitstream/123456789/181/1/PENANGGULANGAN... · 2019. 12. 27. · yang tidak...
Transcript of PADArepo.unhi.ac.id/bitstream/123456789/181/1/PENANGGULANGAN... · 2019. 12. 27. · yang tidak...
-
i
PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK
PADA
UPACARA PIODALAN DI PURA BESAKIH (Perspektif Sosio-Ekologi)
DISUSUN OLEH
Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si
EDITOR
I Gusti Ketut Widana
UNHI PRESS
Publishing
-
ii
PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK
PADA
UPACARA PIODALAN DI PURA BESAKIH (Perspektif Sosio-Ekologi)
Penulis : Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si
ISBN : 978-623-91211-4-3
Editor : I Gusti Ketut Widana
Penyunting : Ida Bagus Putu Eka Suadnyana, SH.H.,M.Fil.H
Desain Sampul dan Tata Letak : I Made Hartaka, M.Fil.H
Penerbit : UNHI Press
Redaksi : Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar -Bali Telp. (0361) 464700/464800 Email :
Distributor Tunggal :
UNHI Press
Jl. Sangalangit, Tembau Penatih, Denpasar-Bali
Telp. (0361) 464700/464800
Email : [email protected]
Cetakan pertama, September 2019
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
-
iii
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi
Wasa), penuis panjatkan karena atas Asung Kerta Waranugraha-Nya-lah buku ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang khusus
mengkaji tentang pola penanggulangan sampah plastik pada upacara piodalan di Pura
Besakih. Studi ini secara umum bertujuan untuk memahami berbagai alasan masyarakat
Bali dengan mudahnya dapat mengadopsi barang-barang yang terbuat dari plastik padahal
limbah plastik sangat sulit terurai oleh alam (bersifat undergradable), sehingga hal ini dapat
berdampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Hal ini menarik sebab ketika apresiasi
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan diharapkan meningkat, justru yang terjadi malah
sebaliknya, yakni kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan semakin menurun
ditambah sikap pragmatisme masyarakat semakin tinggi, maka degradasi kualitas lingkungan
tidak dapat dihindari.
Selain itu, penelitian ini juga ingin mengungkap secara gamlang mengenai pola
penanggulangan sampah dan hambatan yang dialami masyarakat dalam menanggulangi
sampah pada setiap upacara Piodalan di Pura Besakih, Karangasem, Bali. Buku ini penulis
beri judul ‘’Penanggulangan Sampah Plastik pada Upacara Piodalan di Pura Besakih’’
(Perspektif Sosio-Ekologi) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menggugah
kesadaran masyarakat bahwa barang-barang yang terbuat dari plastik sangat mudah
disampahkan, dan sampah yang berasal dari limbah plastik bersifat undergadable (sulit
terurai oleh alam); Kedua, untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa sampah
plastik jika tidak dikelola secara baik sangat berpotensi menimbulkan masalah lingkunga;
Ketiga, untuk menarik minat pembaca memahami lebih dalam tentang pola penanggulangan
sampah di Pura Besakih dan hambatan yang timbul dalam proses penanggulangan tersebut.
Terbitnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini izinkan penulis menyampaikan rasa
hormat, kagum, dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah
mendidik, membimbing, mendampingi, serta memberi peluang kepada penulis, sehingga
penulis bisa mewujudkan buku kecil dan sangat sederhana ini. Pertama, ucapan terima kasih
dan doa yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Pascasarjana,
Universitas Hindu Indonesia (Prof. Dr. I Wayan Suka Yasa, M.Si) yang telah memberikan
-
iv
bantuan dana dan dorongan moral dalam proses penerbitan buku kecil ini. Ucapan terima
kasih dan doa serupa penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Drs., I Wayan Budi Utama,
M.Si., Bapak Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, M.S., Bapak Dr. Drs. I Wayan
Winaja, M.Si., Bapak Dr. Drs., I Wayan Subrata, M.Ag., Ibu Dr. Dra. Ni Made Indiani,
M.Si; Bapak Dr., Drs, I Wayan Paramartha, S.H., M. Pd., Bapak Dr. Drs. I Made Nada
Atmaja, M.Si. yang telah menyemangati penulis dalam berkarya.
Sebuah nama yang tidak pernah penulis lupakan dan pantas diberikan ucapan terima
kasih yang tulus adalah I Wayan Gampil Suardana, S.Pd. seorang guru yang pernah
mengajar penulis sewaktu masih duduk di bangku SLTP, yakni di SMP N 1 Tegallalang yang
dengan ketulusan hati dan petuah-petuahnya yang sangat menyejukkan bagaikan embun di
pagi hari, telah menyemangati, memotivasi, dan memberi dorongan moral kepada penulis
sehingga bisa sampai ke jenjang ini.
Demikian pula, nama lain yang tidak akan pernah penulis lupakan dan patut diberikan
doa dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya adalah Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja,
M.A. yang juga mempunyai andil besar atas keberhasilan penulis dalam menebitkan buku
kecil ini. Sebab melalui bimbingan beliau saat penulis menyelesaikan tesis di Program
Magister Kajian Budaya UNUD dan Program Doktor pada institusi yang sama, penulis
banyak dibimbing, diarahkan, dan dimotivasi dalam memahami berbagai perkembangan
teori-teori sosial kontemporer yang sangat bermanfaat bagi penulisan buku ini. Satu nama
yang tidak mungkin juga penulis lupakan dan sangat penting disebut dalam buku ini adalah
Mrs. Judy Sonnesson, yakni seorang guru Bahasa Inggris dari Melbourn Austrlia, yang
pernah mengajar di SMP N 1 Teggalalang pada tahun 1977 yang telah berkenan membiayai
studi penulis selama menuntut ilmu di bangku SLTA. Tanpa bantuan dan dorongan moral
yang beliau berikan mungkin saja penulis tidak akan penah sampai ke jenjang ini. Oleh
karena itu, melalui kesempatan yang baik ini ijinkan penulis mennyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya.
Keberhasilan penulis sampai di jenjang ini, juga tidak bisa dilepaskan dari peran
orang-orang di sekeliling diri penulis seperti ayahanda tercinta I Nyoman Sukra (almarhum),
dan ibunda tercinta Ni Wayan Cangkir (almarhumah) yang dengan keluguan dan
ketekunannya berhasil mendidik dan menyekolahkan penulis sampai ke jenjang yang penulis
alami saat ini, meskipun beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bangku
sekolah. Kekokohan dan keteguhan hatinya mendorong penulis untuk terus mengikuti
pendidikan, terlihat ketika penulis masih kecil dengan empat orang bersaudara ditinggal oleh
ayahanda untuk selama-lamanya meskipun di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang teramat
-
v
sangat ibunda tetap mendorong dan mengizinkan penulis untuk terus melanjutkan
pendidikan.
Istri tercinta Ir. Ni Nengah Srianti, tampaknya juga penting disebut dan diberikan
ucapan terima kasih yang tulus karena dengan kesabaran dan keteguhan hatinya telah
berkenan mendampingi dan menyemangati penulis sampai saat ini. Dengan ketajaman naluri
seorang jurnalis, Ni Nengah Srianti juga sering memberikan masukan yang sangat konstruktif
bagi penyempurnaan buku kecil ini. Demikian pula Dr. Putu Edy Suardiyana Putra,
S.Com.,M.Com., Ph.D putra sulung dan I Made Gede Dwipayana Putra, S.Ked putra kedua
sekaligus anak bungsu dari penulis juga penting disebut dan diberikan ucapan terima kasih
karena telah banyak membantu dalam hal ketik-mengetik di komputer.
Demikian pula Putu Pradnya Kavindra dan Made Mia Ananza dua cucu dari anak
penulis yang pertama tampaknya penting juga disebut dan diberikan ucapan terima kasih
karena dengan karakternya yang sangat lucu telah menyemangati penulis dalam berkarya,
sehingga penulis dapat menghasilkan beberapa karya yang sangat berarti bagi kehidupan diri
penulis.
Tradisi menjalani kehidupan akademik yang sarat dengan nilai kedisiplinan juga telah
ditanamkan sebelumnya oleh para guru dan dosen penulis, mulai dari guru di tingkat SD
sampai perguruan tinggi di antaranya I Wayan Wija (mantan guru SD Negeri 1 Kedisan), I
Made Riuh (almarhum) mantan guru SD Negeri 1 Kedisan), I Wayan Kota (mantan guru SD
Negeri 1 Kedisan) I Wayan Atjin Tisna (almarhum) mantan guru dan sekaligus kepala
sekolah SMP Negeri 1 Tegallalang; I Dewa Made Suparsa (almarhum) mantan guru SMP
Negeri 1 Tegallalang; A.A. Alit Atmaja mantan guru SMP Negeri 1 Tegallalang; I Gusti
Made Artana, mantan guru SMP Negeri 1 Tegallalang; I Gede Putu Dirga (almarhum) matan
Kepala TGA Saraswati Denpasar), dan Drs. I Gde Widana (almarhum) mantan dosen FKIP
UNUD Singaraja. Kepada beliau-beliau ini penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya, sebab tanpa peran beliau-beliau ini tidak
mungkin penulis sampai ke jenjang ini. Kesederhanaan dan disiplin khas yang masih penulis
rasakan hingga kini telah ditanamkan oleh Drs. I Ketut Wirata, M.Si. (almarhum) mantan
guru penulis di TGA Saraswati Denpasar, yang juga paman penulis, kepada beliau secara
khusus melalui kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan doa yang setulus-
tulusnya.
Selain orang-orang yang telah disebutkan di atas, ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang ikut membantu,
mendorong dan membimbing penulis, sehingga bisa sampai ke jenjang ini, meskipun tidak
-
vi
mungkin penulis sebut namanya satu per satu. Semoga amal dan budi baik semua pihak yang
telah membantu dan membimbing penulis selama ini mendapat balasan yang sebanding dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan kepada penulis sekeluarga.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Desember 2019
Penulis,
-
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1
BAB II KONSEP DAN TEORI .................................................................................... 5
2.1 Konsep .................................................................................................... 8 2.2 Teori ........................................................................................................ 9
BAB III PURA BESAKIH : EKOLOGI DAN DEMOGRAFI ................................... 15
3.1 Ekologi Desa Besakih ....................................................................... 16
3.2 Demografi Desa Besakih ................................................................... 18
BAB IV GLOBALISASI DAN MODERNISASI MELANDA BALI..................... 20
4.1 Ciri-Ciri Masyarakat Modern ................................................................. 20
4.2 Gaya Hidup Konsumerisme ................................................................... 24
4.3 Barang Plastik, Praktis dan Modern ................................................... 29
4.4 Masyarakat Bali Terjerat Ideologi McDonaldisasi ................................ 33
BAB V POLA PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK PADA UPACARA
PIODALAN DI PURA BESAKIH.................................................................. 39
5.1 Karakteristik Organisasi dan Teknologi Penanggulangan
Sampah di Pura Besakih ......................................................................... 39
A. Struktur Organisasi .......................................................................... 39
B. Teknologi Organisasi ....................................................................... 42
C. Karakteristik Pekerja ........................................................................ 46
5.2 Kebijakan dan Praktik Manajemen ......................................................... 50
BAB VI HAMBATAN DALAM MENANGGULANGI SAMPAH
PLASTIK PADA UPACARA PIODALAN DI PURA BESAKIH ............ 54
6.1 Hambatan Tenaga Kerja ......................................................................... 54
6.2 Hambatan dari segi Peran Serta Masyarakat .......................................... 56
6.3 Temuan dan Prospek Temuan ............................................................... 60
BAB VII PENUTUP ................................................................................................ 62
7.1 Simpulan .................................................................................................. 62
7.2 Saran ........................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 65
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Di era modernisasi ini, istilah pembangunan seolah-olah sudah menjadi sebuah mitos
dan seakan telah mengalami sakralisasi. Jika meminjam gagasan Nugroho (2001:111)
pembangunan itu sendiri diartikan sebuah proses perubahan sosial dari kondisi tertentu ke
kondisi yang lebih baik. Jadi, di balik istilah pembangunan seolah-olah tersembunyi „‟nilai
kebaikan‟‟. Oleh karena tujuan dan anggapan dasarnya baik, maka proses pembangunan
cenderung mengijinkan pengorbanan-pengorbanan tertentu. Misalnya, dalam hal tertentu
berbagai nilai kearifan lokal yang sesungguhnya mempunyai nilai adiluhung yang tinggi pun
bisa dikorbankan demi labeling pembangunan. Bahkan di kalangan negara-negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia pembangunan dinilai sebagai resep mujarab yang bisa
memecahkan segala masalah yang dihadapi manusia guna mewujudkan masyarakat adil-
makmur yang berkemodernan (Atmadja, 2005 : 6).
Tolok ukur masyarakat adil makmur dan berkemodernan adalah masyarakat yang
berkebudayaan Barat. Hal ini sejalan pula dengan gagasan Wilbert Moore (dalam Sztomka,
2004:152) yang menyatakan bahwa modernisasi adalah transformasi total masyarakat
tradisional atau pra modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial yang
menyerupai kamajuan dunia Barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.
Pemaknaan seperti itu, dapat diartikan bahwa tujuan pembangunan adalah mewujudkan
masyarakat modern yang ditandai oleh pengadopsian kebudayaan Barat yang oleh Sianipar
(2004) disebut sebagai kebudayaan global putih.
Selain itu, masyarakat modern juga ditandai dengan tingginya pemanfaatan berbagai
peralatan yang terbuat dari plastik. Oleh karenanya Atmadja (2005:315) mengatakan bahwa
ruang dan waktu di mana kita hidup saat ini bisa disebut zaman plastik. Sebab hampir
sebagian besar teknologi atau peralatan yang kita gunakan, baik teknologi canggih maupun
teknologi sederhana terbuat dan atau mengandung unsur plastik. Plastik bisa
ditransformasikan menjadi aneka barang yang penampakannya tidak saja indah atau bahkan
lebih indah dari aslinya, tetapi juga memiliki nilai kepraktisan sehingga cocok dengan
tuntutan modernitas yang mendambakan pola kehidupan yang praktis dan ekonomis.
Hal ini pula yang mendorong masyarakat untuk mentransformasikan berbagai
peralatan yang digunakan dalam hidup ini dari peralatan yang sebelumnya tidak terbuat dari
plastik kini cenderung menggunakan berbagai peralatan yang terbuat dari plastik. Misalnya,
dalam hal perabotan rumah tangga, piring dan mangkok yang semula terbuat dari bahan
keramik atau mungkin juga dari batok kelapa diganti dengan bahan plastik, sendok yang
-
2
terbuat dari stenles atau aluminium diganti dengan plastik, dan banyak lagi perabotan rumah
tangga lainnya yang semula tidak terbuat dari plastik kini dibuat dari plastik.
Bukan hanya itu, proses transformasi ini dalam kehidupan masyarakat, termasuk
masyarakat Bali tampaknya tidak hanya menyasar perabotan rumah tangga, tetapi juga telah
menyasar berbagai aspek kehidupan, termasuk perlengkapan sarana upacara keagamaan.
Misalnya, pada masyarakat Hindu di Bali sekarang banyak bisa ditemukan sarana upacara
keagamaan yang terbuat dari plastik seperti, bunga-bungaan yang di era sebelumnya
masyarakat cenderung menggunakan bunga segar yang langsung diambil dari alam, kini
selain menggunakan bunga-bunga segar masyarakat juga sering menggunakan bunga-
bungaan yang terbuat dari plastik.
Selain itu, jajan yang dijadikan sarana pembuatan banten dalam pelaksanaan berbagai
upacara keagamaan di Bali, kini tidak jarang dibungkus dengan plastik. Demikian pula untuk
membawa perlengkapan/sarana persembahyangan seperti, bunga, kuangen, dupa, dan canang
sari, masyarakat seringkali menggunakan tas yang terbuat dari plastik, yang sering disebut tas
kresek, seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Gambar 1.1: Sampah berserakan di Pelataran Pura Besakih saat
upacara piodalan (gambar ini diambil pada tanggal 8 April 2010
saat Bhatara Turun Kabeh)
(Dok Suda)
Gambar 1.2: Masyarakat membawa perlengkapan sembahyang
dengan tas plastik pada saat piodalan di Pura Besakih
(Dok Suda)
-
3
Kecenderungan masyarakat memakai berbagai peralatan yang terbuat dari plastik
selain karena harganya relatif murah, pemanfaatannya juga sangat praktis (sesuai dengan
tuntutan pola hidup modern). Artinya, setelah persembahyangan selesai tasnya bisa dibuang,
sehingga tidak perlu repot-repot lagi membawanya pulang. Di satu sisi memang harus diakui
pemakaian perabotan yang terbuat dari plastik memberikan manfaat praktis yang sangat
tinggi, akan tetapi di sisi lain limbah plastik jika tidak ditanggulangi secara profesional bukan
tidak mungkin dapat mengakibatkan petaka yang dapat mengancam kelangsungan hidup
umat manusia di muka bumi ini.
Dikatakan demikian karena limbah plastik merupakan salah satu limbah yang bertipe
sangat sulit terurai dalam tanah (undergradable). Selain itu sampah plastik juga dapat
menjadi biang utama terjadinya banjir, dan dapat meracuni kandungan air jika dikubur di
dalam tanah atau jika dibuang ke sungai (Lili Lengkana, 2009:1). Adanya kondisi demikian,
ditambah semakin meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas yang dilakukan
telah mendorong terjadinya berbagai bentuk pencemaran lingkungan, seperti pencemaran air,
tanah, atau pun udara yang berasal dari emisi gas buang.
Sejalan dengan itu, Suarna dan Adnyana (t.t. : 8) mengatakan bahwa terjadinya
degradasi kualitas lingkungan tidak semata-mata disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk
dan aktivitas dalam memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga karena apresiasi masyarakat
akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan masih sangat lemah. Di sisi lain, sikap dan
tanggung jawab masyarakat produsen (pemilik pabrik) dan masyarakat konsumen (penikmat
barang-barang hasil produksi pabrik) belum mengarah pada pola-pola yang berwawasan
lingkungan. Hal ini terbukti dari tingginya minat masyarakat membeli barang-barang yang
menggunakan kemasan kertas, kantong plastik, kaleng, dan berbagai bentuk kemasan lainnya,
temasuk untuk keperluan upacara keagamaan. Padahal limbah dari kemasan model ini
bersifat undergradable (tidak terurai oleh alam), yang akhirnya harus dibuang ke lingkungan
begitu saja tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi.
Fenomena transformasi dari barang non-plastik ke barang-barang yang terbuat dari
plastik dan pola penanganan sampah pada upacara piodalan di Pura Besakih, sangat menarik
untuk diteliti karena ribuan umat dari berbagai daerah di Bali, bahkan dari luar Bali pedek
(datang untuk sembahyang) ke Pura Besakih pada setiap upacara piodalan, tentu dengan
sarana banten masing-masing yang tidak luput dari pemakaian berbagai sarana yang
menggunakan bahan plastik. Selesai melakukan persembahyangan masyarakat akhirnya
membuang sampah begitu saja, sehingga hal ini menjadi masalah tersendiri dalam konteks
kelestarian lingkungan. Di sisi lain, sistem penanganan dan pengelolaan limbah padat
-
4
(sampah) di Bali belum mengalami kemajuan berarti, sehingga menyebabkan volume limbah
terus mengalami peningkatan yang tajam.
Mengingat keberadaan sampah plastik yang begitu sangat memprihatinkan, Gubernur
Bali I Wayan Koster, pada 24 Desemebr 2018 akhirnya mengumumkan larangan penggunaan
kantong plastik, Styrofoam, dan sedotan plastik. Larangan tersebut dituangkan dalam
Peraturan Gubernur (Pergub) No. 97 tahun 2018 untuk menekan kemunculan sampah plastik
yang sangat mengganggu kelestarian lingkungan. Namun, penanggulangan sampah plastic
sampai saat ini masih menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian yang serius, sebab
pengelolaan sampah selama ini, masih bertumpu pada satu penyelesaian di tingkat
pengumpulan akhir (end pipe) yang disebut TPA (tempat pembuangan akhir) dengan
menggunakan sistem open dumping. Upaya-upaya pengurangan sampah (reduce) dari sumber
penghasil sampah masih belum banyak memberikan hasil. Ditambah kesadaran masyarakat
untuk berperilaku „‟mengurangi sampah‟‟, apalagi memilah sampah organik dengan sampah
anorganik masih jauh dari harapan. Akibatnya, semua jenis sampah harus terangkut dan
tertimbun di lokasi pembuangan akhir yang disebut TPA.
-
5
BAB II
STUDI PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI
2.1 Studi Pustaka
Dari hasil penelusuran terhadap beberapa kajian sebelumnya, ada beberapa hasil
studi terdahulu yang terkait dengan persoalan ini. Kajian Gunadha dan Dharmika (t.t) yang
berjudul “Kerangka Konseptual Hindu mengenai Hubungan Timbal Balik antara Manusia
dan Lingkungan”, mencoba mencermati berbagai krangka konseptual yang dimiliki umat
Hindu dalam konteks pelestarian lingkungan. Misalnya, upacara Tumpek Bubuh pada
masyarakat Bali yang dilaksanakan pada hari Saniscara Kliwon wuku Wariga setiap 210 hari
sekali, dapat ditanggapi sebagai usaha untuk melestarikan lingkungan.
Upacara ini dilakukan dalam rangka pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, yakni Dewanya tumbuh-tumbuhan. Dasar
dilaksanakan upacara ini adalah pemikiran filosofi untuk „memberikan sebelum menikmati‟.
Dalam konteks pelestarian sumber daya hayati hal ini bermakna bahwa sebelum manusia
menikmati atau menggunakan sesuatu (baca:hasil-hasil alam), harus didahului dengan
kegiatan penanaman atau pemeliharaan. Demikian juga dengan pelaksanaan upacara Tumpek
Kandang yang diselenggarakan pada hari Saniscara Kliwon wuku Uye untuk menyatakan
ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa
Pasupati pencipta binatang atau hewan-hewan piaraan.
Selain itu, pada masyarakat Bali juga ada kepercayaan tidak boleh menebang pohon
bambu pada hari Minggu, tidak boleh menebang kayu untuk bangunan jika harinya berisi
‘’was’’ (menurut kalender Bali hari was datang setiap enam hari sekali) dan banyak lagi nilai-
nilai kearifan lokal lainnya yang terkait dengan konsep pelestarian lingkungan. Masyarakat
Hindu di Bali juga menyadari bahwa lingkungan hidup merupakan suatu kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya.
Kajian ini memperlihatkan bahwa secara konseptual sebenarnya masyarakat Hindu di
Bali memiliki banyak nilai kearifan lokal dalam konteks pelestarian lingkungan.
Kepemilikan kerangka konseptual seperti itu, ternyata belum banyak memberikan manfaat
secara pragmatis kepada masyarakat. Kendati dalam beberapa hal kerangka konsep
pelestarian lingkungan ala umat Hindu, seperti larangan menebang pohon pada hari-hari
tertentu, melakukan pemeliharaan secara ritual terhadap tumbuh-tumbuhan pada hari Tumpek
-
6
Wariga, dan pemeliharaan secara ritual terhadap binatang pada hari Tumpek Uye,
menunjukan tanda yang menggembirakan. Namun, secara praktik pelestarian lingkungan
pada masyarakat Bali masih jauh dari harapan.
Beberapa konsep yang digunakan Gundha dan Dharmika di atas, seperti konsep
memberi sebelum menikmati, larangan menebang pohon pada hari-hari tertentu bisa juga
diaplikasikan dalam kaitan dengan proses transformasi barang non-plastik ke barang-barang
yang terbuat dari plastik dan pola penanggulangan sampah dalam rangka pelestarian
lingkungan. Faktor-faktor tersebut banyak berkaitan dengan upaya pemeliharaan lingkungan
seperti, tidak membuang sampah sembarangan, khususnya sampah plastik sebab hal ini
sangat terkait dengan kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan.
Selanjutnya Suda (2001) juga mengkaji konsep pelestarian lingkungan menurut Hindu
dengan judul „‟Perwujudan Sistem Nilai Melalui Simbol dalam Kehidupan Umat Hindu di
Bali‟‟. Dalam kajianya, Suda menegaskan, pemakaian saput poleng pada pohon di Bali
secara sosiologi hukum mengandung makna pelestarian lingkungan hidup. Dikatakan
demikian sebab jika masyarakat melihat pohon yang dililit dengan saput poleng, jangankan
menebang pohonnya, ingin memetik daun atau rantingnya saja masyarakat tidak berani
sembarangan. Jika masyarakat ingin memetik daun atau rantingnya, apalagi menebang
pohonnya masyarakat terlebih dahulu harus melakukan permohonan, baik secara sekala
maupun niskala. Permohonan secara sekala artinya, meminta izin langsung kepada pemilik
atau pemelihara pohon itu. Permohonan secara niskala berarti melakukan persembahyangan
di bawah pohon itu, yang tidak lain sebagai bentuk yadnya kepada Tuhan sebagai cetusan
rasa bhakti dan ucapan terima kasih atas karunia-Nya berupa pohon besar yang dapat
membantu kehidupan manusia di bumi ini.
Beberapa konsep yang digunakan Suda juga dapat membantu menjembatani
pemecahan permasalahan dalam penelitian ini, terutama yang berkaitan dengan pola
penanggulangan sampah pada upacara Piodalan di Pura Besakih. Misalnya, mengenai etika
umat Hindu dalam melakukan penebangan terhadap pohon, yakni sebelum menebang pohon
didahului dengan permohonan baik secara sekala maupun niskala. Jika etika ini diterapkan
dalam konteks penanggulangan sampah tentu masyarakat Hindu tidak akan berani membuang
sampah secara sembarangan tanpa meminta izin terlebih dahulu, baik secara sekala maupun
niskala.
Suarna dan Sandi Adnyana (t.t) dalam kajiannya berjudul „‟Permasalahan dan
Kerusakan lingkungan Hidup‟‟, menyoroti berbagai kerusakan lingkungan telah terjadi di
Indonesia termasuk Bali. Di antaranya, kerusakan lingkungan hutan, penurunan
-
7
keanekaragaman hayati, lahan kritis, kerusakan akibat penambangan galian C, kerusakan
karena erosi, dan lain-lain termasuk permasalahan sampah dan limbah padat. Menurutnya,
pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memberikan tekanan yang besar terhadap
lingkungan. Jumlah penduduk yang besar dengan segala aktivitas yang dilakukan telah
mendorong terjadinya berbagai bentuk pencemaran, seperti pencemaran air, tanah, dan udara
yang berasal dari emisi gas buang. Meningkatnya penceraman tersebut semakin dirasakan
oleh masyarakat di wilayah perkotaan yang merupakan pusat akumulasi dari berbagai
aktivitas dan mobilitas manusia, sehingga secara nyata telah menimbulkan dampak terhadap
kualitas lingkungan.
Suarna juga menjelaskan bagaimana proses pengelolaan sampah yang dilakukan
pihak terkait di provinsi Bali ini masih bertumpu pada satu penyelesaian di tingkat akhir yang
disebut TPA (tempat pembuangan akhir). Sementara upaya-upaya pengurangan sampah dari
sumber penghasil sampah masih belum banyak memberikan hasil. Demikian pula kesadaran
masyarakat untuk berperilaku mengurangi sampah apalagi memilah sampah, masih jauh dari
harapan. Jadi, beberapa temuan yang dikemukakan oleh Suarna, seperti pola penanganan
sampah yang bertumpu pada satu penyelesaian di tingkat pengumpulan akhir (TPA)
tampaknya dapat dijadikan acuan dalam proses pemecahan masalah penelitian ini khususnya
mengenai pola penanggulangan sampah pada upacara Piodalan di Pura Besakih.
Demikian pula Atmadja (2010) dalam kajiannya berjudul „’Ajeg Bali Gerakan,
Identitas Kultural, dan Globalisasi’’ juga menyinggung tentang kekerasan masyarakat Bali
terhadap lingkungannya. Dengan mangacu pada Kraf (2002) Atmadja mengatakan bahwa
etika lingkungan ekosentrisme atau holistik yang dianut oleh manusia Bali telah berubah
menjadi etika antroposentrisme. Artinya, manusia tidak hanya mengambil jarak dengan
lingkungan alam, tetapi juga menganggap dirinya sebagai pusat dari segala-galanya. Atau
dengan paparan yang tidak jauh berbeda, Chang (2000) mengatakan, modernisasi
mengakibatkan sistem pemikiran ekologis berubah menjadi sistem filsafat utilitarianisme dan
pragmatisme. Artinya, manusia yang menganut filsafat ini selalu berusaha mendapatkan
manfaat yang sebesar-besarnya dari lingkungan tanpa memperhatikan dampak, terutama
dampak negatifnya.
Konsep peralihan etika lingkungan dari etika ekosentrisme berubah menjadi
antroposentrisme yang terjadi pada masyarakat Bali sebagaimana digambarkan Atmdja di
atas tampakanya dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelusuran terhadap sejauh
mana etika ekonsentrisme pada masyarakat Bali telah berubah menjadi etika
antroposentrisme, sehingga hal ini nantinya dapat dijadikan rujukan dalam konteks
-
8
pemecahan masalah penelitian ini khususnya masalah yang pertama, yakni alasan masyarakat
Bali mengadopsi berbagai barang yang terbuat dari plastik yang dapat berdampak negatif
bagi pelestarian lingkungan.
Akan tetapi dari beberapa kajian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya
sebagaimana diuraikan di atas tidak satu pun yang membahas mengapa masyarakat Bali
begitu mudahnya mengadopsi berbagai barang yang terbuat dari plastik, padahal limbah
plastik sangat sulit ditanggulangi karaena bersifat undergradable dan tidak ada satupun
kajian sebelumnya yang membahas secara spesifik bagaimana pola penanggulangan sampah
plastik pada setiap upacara piodalan di Pura Besakih, Karangasem Bali.
2.1 Konsep
Menurut Atmadja (2005:286) citra lingkungan masyarakat Bali, selain bersumberkan
pada pengetahuan lokal, juga bersumber pada ajaran Agama Hindu. Menurut pandangan
Hindu citra lingkungan masyarakat Bali mengarah kepada ekosentrisme. Artinya, masyarakat
Bali melihat bahwa manusia dan alam dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Mereka tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Terkait dengan persoalan lingkungan, Gunadha dan Dharmika (t.t:8) menegaskan
bahwa ada keyakinan pada masyarakat Hindu bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini
dengan menggunakan lima benih atau unsur tenaga yang disebut Pancatanmatra yang terdiri
atas; (1) Gandhatanmatra adalah benih dari unsur pertiwi; (2) Rasatanmatra adalah benih
dari unsur apah; (3) Rupatanmatra adalah benih dari unsur teja; (4) Spasatanmatra adalah
benih dari unsur bayu; dan (5) Sabdatanmatra adalah benih dari unsur akasa. Kelima unsur
yang disebut pancatanmtra itu, kemudian berubah menjadi atom-atom yang disebut
paramanu. Selanjutnya, dari paramanu itu, lalu muncullah unsur-unsur benda yang disebut
Pancamahabhuta (lima unsur yang maha ada), yaitu (1) Pertiwi adalah unsur zat padat; (2)
Apah adalah unsur zat cair; (3) Teja adalah unsur sinar atau panas; (4) Bayu adalah unsur
udara; dan (5) Akasa adalah unsur ether.
Interaksi antara alam dan manusia, antara buana agung dan buana alit, antara
makrokosmos dan mikrokosmos menunjukkan adanya hubungan timbal balik di antara
keduanya. Dalam arti antara manusia dan lingkungan ada hubungan timbal balik yang saling
berhubungan satu sama lain. Terkait dengan pola pengelolaan lingkungan Geertz (1999)
mengatakan bahwa pengelolaan lingkungan terkait pula dengan sistem budaya atau
superstruktur ideologi, nilai, norma, agama, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Sistem budaya
-
9
memberikan resep bertindak, baik pada struktur sosial maupun hubungan mereka dengan
alam sekala dan niskala dengan menggunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Karena itu hubungan antarkomponen tersebut, tidak bersifat acak melainkan
berketeraturan karena adanya pola dari dan pola untuk yang terakumulasi pada superstruktur
ideologi yang mereka miliki.
Jadi, konsep pengelolaan lingkungan atau citra lingkungan holistik pada masyarakat
Bali terkristalisasi pada ideologi Tri Hita Karana yang mengidealkan hubungan harmonis
antara manusia dengan manusia pada struktur sosial (pawongan), hubungan harmonis antara
manusia dengan lingkungan alam sekala (palemahan) dan hubungan harmonis antara
manusia dengan Tuhannya atau alam niskala (Parhyangan).
Dengan demikian kerangka konsep yang dapat dikemukakan dalam kajian ini adalah
konsep tentang pandangan masyarakat Hindu di Bali tentang lingkungannya dan bagaimana
lingkungan itu dikelola berdasarkan ideologi Tri Hita Karana, termasuk di dalamanya
bagaimana masyarakat Bali mengelola sampah, baik sampah organik maupun sampah
anorganik, sehingga harmonisasi hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia
dengan Tuhan, dan antara manusia dengan lingkungannya tetap dapat terjaga.
2.2 Teori
Untuk memperoleh pemahaman tingkat kedua, yakni deskripsi analisis mengenai
transformasi barang-barang non-plastik ke barang yang terbuat dari plastik dan pola
penanggulangan sampah, khususnya pada upacara Piodalan di Pura Besakih melalui
penelitian kualitatif mutlak memerlukan kerangka teori. Mengingat, persoalan transformasi
barang non-plastik ke barang yang terbuat dari plastik dan pola pengagulangan sampah
sifatnya sangat kompleks, maka beberapa teori yang dapat digunakan di sini adalah sebagai
berikut.
A. Teori Pembangunan dan Modernisasi
Istilah pembangunan mula-mula diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry
S. Truman, dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, pada tangal 20 Januari 1949. Pada
saat itu, Harry S. Truman, melihat kondisi yang terjadi di Amerika bagian Selatan sebagai
suatu daerah yang memerlukan pembangunan dan disebutnya sebagai „‟kawasan
-
10
terbelakang‟‟ (underdevelopmed areas). Meski pun pada mulanya ia menggunakan istilah
tersebut untuk menggambarkan kawasan Amerika bagian Selatan, namun kemudian konsep
„‟pembangunan kawasan terbelakang‟‟ di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menjadi politik
Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an (Nugroho, 2006 : 13).
Sejalan dengan Nugroho Sianipar (dalam Atmadja, 2010:8) mengatakan bahwa
pembangunan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dinilai sebagai resep yang
dapat memecahkan setiap masalah yang dihadapi manusia dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, dan modern, dengan tolok ukurnya adalah kebudayaan Barat
atau kebudayaan global putih.
Oleh karena itu, pembangunanisme tidak saja dipandang sebagai terapi, tetapi juga
diposisikan seperti agama baru yang menyaingi agama lama, misalnya agama Hindu, Islam,
Kristen, Budha, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan gagasan Wilbert Moore (dalam
Sztomka, 2004:152) yang mengatakan bahwa modernisasi adalah transformasi total
masyarakat tradisional atau pramodern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial
yang menyerupai dunia Barat, yang ekonominya makmur dan politiknya stabil.
Modernisasi yang mengarah pada konstruksi budaya global putih berkaitan pula
dengan proses globalisasi yang melanda dunia saat ini dengan begitu kuatnya. Salah satu ciri
utama dari masyarakat global adalah kuatnya pengaruh konsumerisme melanda kehidupan
masyarakat atas barang-barang konsumsi yang melimpah di pasar. Terkait dengan
masyarakat konsumsi Hertz (2004) mengatakan bahwa globalisasi produksi atau pun
globalisasi informasi mengakibatkan masyarakat menjadi bagian dari global village.
Berkenaan dengan itu, maka konsumerisme sebagai rohnya ideolgi pasar telah berkembang
luas dalam kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Bali.
Hal ini tampak dari bagaimana masyarakat Bali dalam mengonsumsi berbagai barang
produksi demi sebuah gaya hidup, oleh karenanya Atmadja (2005:336) mengatakan saya ada
karena saya mengonsumsi. Kenyataan ini menandakan bahwa arah imperialisme telah
berubah, dari semula menekankan pada pendudukan wilayah secara fisik, kini lebih
menekankan pada imperialisme gaya baru, yakni imperialisme ekonomi dan imperialisme
cultural (Ritzer dan Goodmen, 2003; dan Fakih, 2004).
Tujuan imperialisme cultural adalah tidak saja menjadikan kita sebagai manusia yang
berbudaya putih global, tetapi juga menciptakan kita ketergantungan pada negara-negara
kapitalisme global. Hal ini terbukti disadari atau tidak dalam benak kita melekat anggapan
bahwa jika kita bisa mengonsumsi sebanyak mungkin budaya global, maka kita akan puas
dan bangga. Oleh karena itu, tanpa disadari budaya global ternyata menerpa pula sistem ritual
-
11
orang Bali. Peralatan ritual atau apa yang dipersembahkan kepada para dewa atau roh leluhur
kurang mantap jika tidak menyertakan produk-produk global, seperti buah-buahan termasuk
barang-barang yang terbuat dari plastik.
Kondisi inilah yang membuat masyarakat Bali mengalami proses transformasi dari
barang non-plastik menuju barang yang terbuat dari plastik, yakni mengganti berbagai
teknologi atau peralatan yang semula tidak menggunakan plastik kini diganti dengan berbagai
peralatan yang terbuat dari plastik. Hal ini dilakukan selain karena pertimbangan pragmatis
juga masyarakat kini terjebak pada persoalan gaya hidup. Hidup ini dianggap semakin
modern jika kita bisa mengikuti perkembangan budaya global putih, sebaliknya jika tidak
bisa mengikuti kita dianggap kuno atau ketinggalan zaman.
Dalam perkembangan pembangunan model ini ternyata tidak hanya bersentuhan
dengan kehidupan dunia material, seperti cara berpakaian (fashionable), persoalan makanan,
dan yang lain-lain, tetapi telah merembes pula pada persoalan-persoalan psikologis, seperti
dalam hal manusia menikmati rasa keindahan, rasa aman, dan tidak terkecuali menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhannya (sistem ritual). Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Atmadja (2005:337) sebagai berikut.
“Peralatan ritual atau apa yang dipersembahkan masyarakat Bali kepada para dewa
atau roh leluhurnya, kurang mantap jika tidak menyertakan produk global, mislanya
buah-buahan, jajan, dan lain-lain. Buah-buahan global sangat disukai, tidak semata-
mata sebagai wujud bhakti orang Bali yang mengharuskan mereka
mempersembahkan yang terbaik dan yang tersempurna, kepada para dewa atau roh
leluhur yang mereka puja, tetapi juga karena kita merasa bangga jika mengonsumsi
buah-buahan global”.
Jika mengacu pada Atmadja (2005:337) sebagaimana diuraikan di atas, dapat
dipahami bahwa, betapa pembangunanisme telah melahirkan gaya hidup yang saat ini
pengaruhnya telah menyasar kehidupan ritual masyarakat Bali. Akibatnya, ketika kita
mengadopsi begitu saja produk-produk budaya global, tanpa diimbangi dengan pengetahuan
untuk menetralisir berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya, maka bukan
tidak mungkin hal ini dapat menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia.
Teori ini digunakan karena dapat menggambarkan bagaimana keterjeratan masyarakat
terhadap budaya global putih, bahkan dalam proses penerimaan masyarakat terhadap budaya
ini sering dilakukan tanpa seleksi, sementara di sisi lain apresiasi masyarakat akan
pentingnya kelestarian lingkungan masih sangat lemah. Hal demikian dapat berakibat fatal
bagi kelestarian lingkungan sebab limbah dari barang-barang produksi budaya global, seperti
-
12
berbagai kemasan yang menggunakan kertas, kantong plastik, kaleng, dan berbagai bentuk
kemasan lainnya bersifat ‘’undegradable’’ (tidak terurai oleh alam) yang akhirnya harus di
buang ke lingkungan begitu saja tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi.
B. Teori Struktural Fungsional
Asumsi dasar teori ini adalah anggapan bahwa ada kesamaan antara organisme
biologis dengan kehidupan sosial. Tokoh penting dari teori ini adalah Auguste Comte dan
Herbert Spencer. Menurut Spancer masyarakat manusia adalah seperti suatu organisme. Jadi,
pada intinya badan manusia dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri atas organ-organ yang
saling berhubungan satu sama lainnya. Seperti, jantung, paru-paru, otak, ginjal, dan
seterusnya. Setiap organ mempunyai satu atau beberapa fungsi tertentu yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup organ-organ lain bahkan seluruh organisme tubuh. Organ-organ
tersebut merupakan suatu struktur dari seluruh organisme tubuh. Demikian pula lembaga-
lembaga sosial dalam masyarakat dianggap sama dengan organ-organ tubuh. Lembaga sosial
sebagai unsur struktur, dianggap dapat memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup dan
pemeliharaan masyarakat (Simanjutak, 1985:70).
Berangkat dari pandangan Comte dan Spencer di atas, maka Pura sebagai tempat
berlangsungnya upacara keagamaan juga dapat dipandang sebagai lembaga kemasyarakatan
yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Boon sebagaimana dikutif Sudaratmaja (2003:26)
mengatakan bahwa Pura tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali, karena
setiap aspek kehidupan termasuk sosial dan ekonomi berhubungan langsung dengan berbagai
jenis Pura. Pekarangan individu, wilayah desa, kesatuan kabupaten, dan propinsi, pasar, serta
lahan persawahan juga ditandai oleh bentuk Pura yang berbeda sesuai dengan fungsi masing-
masing.
Agar setiap lembaga kemasyarakatan dapat berfungsi dengan baik, maka perlu dijaga
harmonisasi hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam menjaga
kelangsungan hidup sebuah lembaga kemasyarakatan, maka antar lembaga kemasyarakatan
tersebut harus dapat saling bekerja sama dan saling mendukung satu sama lainnya. Misalnya,
dalam sebuah proses pelaksanaan upacara keagamaan seharusnya ada panitia yang bertugas
sebagai penyelenggara upacara, ada lembaga ekonomi yang bertugas men-suport pendanaan,
ada lembaga keamanan yang betugas menjaga ketertiban jalannya upacara, dan harus
didukung pula oleh lembaga kebersihan yang bertugas menjaga kelestarian lingkungan hidup.
-
13
Dalam proses pelaksanaannya semua lembaga akan saling berkaitan satu sama lain
dalam suatu sistem tertentu. Hal inilah oleh Comte dan Spencer (dalam Simanjutak, 1985 :
70) diartikan sebagai suatu sistem, yakni himpunan atau kesatuan dari unsur-unsur yang
saling berhubungan selama jangka waktu tertentu atas dasar pada pola tertentu. Jadi, teori ini
digunakan karena teori ini menegaskan bahwa kehidupan sosial dianggap memiliki kesamaan
dengan kehidupan organisme, yakni antara lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai organ
sosial mempunyai fungsi masing-masing dan di dalam menjalankan fungsinya harus saling
bekerja sama satu sama lainnya. Demikian pula dalam konteks penanggulangan sampah pada
upacara Piodalan di Pura Besakih, seharusnya ditangani oleh suatu lemabaga khusus yang
masih mempunyai kaitan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
C. Teori Instraksionisme Simbolik
Intraksionisme simbolik adalah sebuah teori sosiologi yang dikemukakan oleh George
Herbert Mead. Mead mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi
dengan pihak-pihak lain dengan perantaraan lambang-lambang yang dimiliki bersama.
Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada
kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku, dengan
mempergunakan lambang-lambang tersebut (Simanjutak,1985 : 72).
Misalnya, dalam konteks penelitian ini proses transformasi barang non-plastik ke
barang plastik merupakan sebuah simbol modernitas yang sering digunakan oleh masyarakat
kita dewasa ini untuk menentukan identitas dirinya. Artinya, masyarakat dewasa ini
cenderung menggunakan simbol-simbol pengkonsumsian produk budaya Barat sebagai
identitas diri, dan menganggap jika belum bisa mengikuti/mengonsumsi budaya global
(baca:budaya Barat) maka belum menjadi manusia modern. Selain itu, masyarakat kita suka
memanfaatkan teknologi yang terbuat dari plastik atau yang ada unsur plastiknya karena
plastik bisa ditransformasikan menjadi aneka barang yang penampakannya tidak saja indah,
atau bahkan lebih indah dari aslinya, tetapi juga memiliki nilai kepraktisan sehingga cocok
dengan tuntutan modernitas yang mendambakan pola kehidupan yang praktis dan ekonomis
(Atmadja,2005:315). Oleh karenanya Barthes (2004) mengatakan plastik sebagai zat ajaib
atau zat magis.
Namun, di balik keajaibannya itu, plastik dapat menimbulkan masalah sampah yang
luar biasa. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa pertama, barang yang
-
14
terbuat dari plastik banyak yang mudah rusak dan sulit untuk diperbaiki. Kedua, transformasi
bentuk barang yang terbuat dari plastik mudah berubah. Barang plastik yang dibuat
belakangan selalu lebih praktis dan lebih baik dilihat dari penampilannya, karena itu barang
plastik yang lama cenderung disampahkan oleh pemiliknya. Ketiga, sejalan dengan
perkembangan budaya instan banyak barang plastik yang hanya layak sekali pakai, lalu
disampahkan.
Di sisi lain sampah plastik tergolong ke dalam sampah anorganik atau disebut pula
sampah yang bersifat non gradable (sulit diurai oleh alam). Sebaliknya, jika sampah plastik
dibakar ternyata sangat berbahaya, hal ini terungkap dari hasil penelitian di Jepang yang
menunjukkan bahwa pembakaran plastik yang dilakukan di rumah, berpotensi menyebabkan
kemandulan pada wanita atau sulit melahirkan pada saat mengalami kehamilan (Bali Post,
dalam Atmadja, 2005:317).
Jadi teori ini digunakan karena mempunyai relevansi sebagai berikut. Asumsi dasar
teori intraksionisme simbolik mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi dengan pihak-pihak lain dengan perantaraan lambang-lambang yang dimiliki
bersama. Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti
pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku, dengan
menggunakan lambang-lambang tersebut. Sementara penelitian ini ingin mengungkap
mengapa masyarakat begitu mudah melakukan transformasi dari barang non-plastik ke
barang yang terbuat dari plastik, bahkan pada aktivitas yang menyangkut ranah
superstruktur ideologis, yakni upacara keagamaan (sistem ritual). Hal ini mudah dipahami
karena masyarakat dewasa ini terjerat pada pola kehidupan praktis dan ekonomis sebagai
lambang kehidupan modernitas.
-
15
BAB III
PURA BESAKIH :
EKOLOGI DAN DEMOGRAFI
Pura Besakih terletak di wilayah Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem. Pura ini terletak pada ketinggian kurang lebih 3.000 kaki di lereng Gunung
Agung dan berdiri kokoh membelakangi gunung di satu sisi dan di sisi lain menghadap laut
pantai selatan Pulau Bali. Menurut catatan Stuart Fox (2010:3) bahwa gunung ini telah
meletus berkali-kali sepanjang millennium. Potongan jalan yang dalam (lebih dari 20 meter)
dekat Desa Besakih memperlihatkan lapisan demi lapisan abu dan runtuhan vulkanik
berbagai warna. Meski pun bebarapa dari lapisan endapan vulkanik ini berasal dari letusan
beberapa gunung sebelumnya yang ada di sekitar Gunung Agung, seperti (Gunung Batur,
Rinjani, dan Tambora) tetapi Fox tetap meyakini kalau Gunung Agung ini sudah meletus
berkali-kali.
Letusan-letusan awal sebagaimana disebut dalam mitos, menekankan hubungan
antara gunung dan alam Dewa serta kepercayaan bahwa letusan gunung berapi merupakan
perwujudan kekuatan Dewa. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, menurut kepercayaan
populer pada abad-abad berikutnya, letusan gunung berapi dan bencana alam lainnya, lebih
banyak dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang menyangkut para penguasa bumi.
Secara historis, tidak ada informasi mengenai kegiatan-kegiatan gunung sebelum naskah
lontar menyebutkan terjadinya letusan pada tahun 1543, 1615—1616, 1665,1683—1684, dan
1710—1711. Memang tahun-tahun sebagaimana di sebutkan di atas tidak selalu dapat
dipercaya, tetapi ceritra-ceritra setempat menunjukkan bahwa paling sedikit telah terjadi
sebuah letusan yang sangat dasyat pada abad ke-17.
Dari sekian catatan tentang meletusnya Gunung Agung, yang walaupun barang kali
masih banyak catatan yang tidak sempat penulis rekam, catatan yang paling dekat dengan
ingatan kita adalah letusan Gunung Agung yang terjadi tahun 1963. Pada letusan kali ini
terjadi gumpalan asap membara, menyerbu lereng-lereng gunung lahar terbawa air menyapu
lembah-lembah sungai, menuju laut dan menghancurkan sawah-sawah serta desa-desa yang
dilaluinya. Abu vulkanik menutupi sebagian besar Pulau Bali, bahkan sampai ke Pulau Jawa.
Gempa mengguncang Pulau Bali, dan angka-angka kematian serta kehancuran yang
dipublikasi cukup beragam, tetapi dari catatan tersebut dapat diketahui paling sedikit 1.200
orang meninggal, ribuan binatang terbunuh, 17 desa tersapu bersih dan lebih dari 50.000 ha
-
16
lahan persawahan tidak berfungsi, dan sekitar 350.000 ha lainnya terpengaruh oleh letusan
tersebut (Staurt Fox, 2010 : 4).
Secara topografi Gunung Agung merupakan fitur fisik yang dominan di Bali Timur,
sementara jejeran Gunung Batur (yang masih aktif), Beratan (sudah tidak aktif lagi) dan
Gunung Batukaru berada di bagian Tengah dan Barat Pulau Bali. Gunung-gunung tersebut
telah menimbulkan lereng landai yang begtu menonjol dan hamparan kawasan datar yang
luas terdapat di sana-sini. Mengingat wilayah Indonesia pada umumnya dan Bali, khususnya
berada di daerah tropis, maka hujan tropis yang biasanya lebat memasok air ke banyak sungai
yang berkelok-kelok di atas tanah vulkanik yang lembut, serta membentuk hamparan jurang
dan bukit-bukit kecil (munduk) seperti orang yang sedang menjelajahi setiap bagian lereng
pegunungan. Fitur topografi tukad dan munduk yang menonjol ini membentang dari
pegunungan sampai ke laut dan telah berperanan penting dalam perkembangan budaya Bali
sepanjang sejarahnya.
3.1 Ekologi Desa Besakih
Secara administrasi Desa Besakih merupakan salah satu desa dinas dari enam desa
dinas yang ada di wilayah Kecamatan Rendang, Kabupaten, Karangasem. Secara geografis
Desa ini memiliki batas-batas wilayah antara lain : di sebelah Timur adalah Kecamatan Selat,
di sebelah Selatan Desa Menanga, di sebelah Barat Desa Pempatan, dan di sebelah Utaranya
adalah Gunung Agung (Monografi Desa dan Kelurahan Besakih, 2013:1). Penelitian yang
dilakukan Fox (2010:11) menegaskan bahwa pada masa prakolonial hanya ada satu jenis
desa, yang sekarang dikenal sebagai desa adat. Secara tradisional, administrasi pemerintahan
desa ini, tidak didasarkan atas sistem birokrasi teritorial, tetapi berdasarkan sistem yang
menekankan kontrol terhadap sumber daya manusia. Tataran paling rendah pada sistem ini
adalah perbekel yang bertanggung jawab kepada punggawa, yang selanjutnya bertanggung
jawab pada penguasa atau raja.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Kecamatan Rendang dibagi ke dalam tiga
desa administratif (perbekelan) yakni Nongan, Pringalot (Rendang), dan Besakih. Terkait
dengan keberadaan Desa Besakih secara administratif, meskipun diberi nama Besakih, tetapi
kepala desanya yang disebut juga perbekel berturut-turut pertama tinggal di Tegenan,
kemudian di Menanga. Dengan keadaan demikian maka pada tahun 1945 Menanga
menggantikan Besakih sebagai nama desa administratifnya. Hal ini disebabkan karena Desa
-
17
Menanga mempunyai peranan sebagai pusat pasar lokal, dan karena kebetulan perbekelnya
tinggal di desa tersebut.
Desa Besakih secara geografis memiliki wilayah seluas 21,23 Km2, dengan
jumlah
penduduk 6967 orang yang terdiri atas 3526 laki-laki dan 3441 orang perempuan.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk desa Besakih sampai
tahun 2013 mencapai lebih kurang 328 orang per km2. Desa ini terdiri atas 11 (sebelas)
Dusun, yakni (1) Dusun Besakih Kanginan; (2) Dusun Besakih Kawan; (3) Dusun Kunyit; (4)
Dusun Kedungdung; (5) Dusun Palak; (6) Dusun Batang; (7) Dusun Kesimpar; (8) Dusun
Tembukus; (9) Dusun Angsoka; (10) Dusun Batu Madeg; dan (11) Dusun Kiduling Kerteg.
Dari segi jumlah keluarga sampai penelitian ini dilakukan Desa Besakih terdiri atas
1962 Kepala Keluarga (KK). Dari 6967 jiwa penduduk dan 1962 KK yang ada di Desa
Besakih, tercatat 3 orang di antaranya memeluk agama Islam dan hanya satu orang beragama
Kristen sedangkan selebihnya adalah memeluk Agama Hindu. Diterimanya penduduk
pendatang untuk menetap di Desa Besakih, mengindikasikan bahwa masyarakat Desa
Besakih cukup terbuka untuk menerima berbagai pembaharuan, sebab masuknya orang luar
ke suatu wilayah tertentu, dapat dipastikan akan membawa pengaruh tersendiri terhadap
kondisi wilayah itu sendiri, seperti terhadap kebudayaan, adat-istiadat, dan bukan tidak
mungkin juga bisa mempengaruhi keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Selain
itu, masuk dan menetapnya orang-orang non-Hindu di wilayah Desa Besakih juga
mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Besakih memiliki toleransi dalam kehidupan
beragama yang cukup tinggi.
Karena letaknya yang cukup tinggi, yakni pada ketinggian kurang lebih 700 m di atas
permukaan air laut, maka Desa Besakih secara topografi tidak cocok untuk dijadikan lahan
pertanian basah, khususnya padi. Dengan keadaan alam seperti itu, maka jenis tanaman yang
cocok ditanam di wilayah Desa Besakih adalah jagung, seluas 20 ha; tanaman ketela pohon
seluas 27 ha; ketela rambat seluas 40 ha; kubis (kol) seluas 1 ha; tomat seluas 5 ha; dan
tanaman cabai seluas 26 ha. Sedangkan jenis buah-buahan yang cocok ditanam di wilayah
Desa Besakih meliputi, buah pisang seluas 60,35 ha; papaya 3,326 ha; jeruk seluas 7,195 ha;
manggis seluas 6,745 ha; salak seluas 6,668 ha; dan alpokat seluas 40 ha.
Melihat berbagai jenis palawija dan buah-buhan bisa tumbuh dengan baik di wilayah
Desa Besakih, menunjukkan bahwa Desa Besakih sesungguhnya merupakan areal pertanian
yang cukup potensial. Jika hal ini bisa dikelola dengan baik, oleh masyarakat setempat, maka
Desa Besakih bisa berkembang menjadi desa yang tidak hanya menggantungkan diri pada
sektor pariwisata, tetapi juga menjadikan sektor pertanian sebagai sektor andalan.
-
18
3.2 Demografi Desa Besakih
Sesuai data yang ada dalam demografi desa/kelurahan Besakih, keadaan penduduk
hanya diklasifikasi berdasarkan kelompok umur dan kelompok tenaga kerja. Oleh karenanya
dalam penelitian ini hanya digambarkan secara garis besar saja mengenai keadaan penduduk
desa Besakih sesuai data yang ada. Namun, hal demikian diharapkan tidak mengurangi
makna dari temuan yang didapat dalam penelitian ini.
Berdasarkan data yang ada maka dapat diketahui keadaan penduduk Desa Besakih
dilihat dari kelompok umur berdasarkan pencatatan tahun 2013 dapat digambarkan sebagai
berikut. Anak usia 00—03 tahun berjumlah 489 orang; usia 04—06 tahun sebanyak 348
orang; usia 07—12 tahun sebanyak 613 orang; usia 13—15 tahun sebanyak 501 orang; anak
usia 16—18 tahun sebanyak 385 orang dan usia 19 tahun ke atas sebanyak 4631 orang. Jika
kelompok umur ini dibagi menjadi kelompok umur 0—18 tahun dan kelompok umur 19
tahun ke atas, maka didapat perbandingan angkanya 1:2 antara kelompok umur remaja ke
bawah dengan kelompok umur orang dewasa.
Dilihat dari angka perbandingan tersebut, secara kuantitaif jumlah kelompok orang
dewasa jauh lebih banyak dibandingkan kelompok anak usia remaja ke bawah. Hal ini
mengandung makna secara kuantitatif seharusnya para orang tua (kelompok usia dewasa)
mampu melakukan pembinaan dan penerusan nlai-nilai budaya, agama, dan tradisi kepada
generasi penerus.
Namun, karena para orang tua dewasa ini waktunya lebih banyak dimanfaatkan untuk
urusan perut (baca: berkutat dengan urusan ekonomi keluarga), maka sering proses transmisi
nilai (transmission of value), dan transfer pengetahuan atas adat, budaya, dan agama
(transformation of knowledge) di lingkungan keluarga tidak terjadi. Akibatnya, banyak anak-
anak remaja sekarang yang tidak lagi memahami, nilai-nilai budaya, adat-istiadat, dan tradisi
yang ada di sekitar dirinya, yang pada akhirnya dapat berakibat terjadinya cultural lag, di
antara anak remaja dengan orang dewasa.
Mengenai keadaan penduduk Desa Besakih menurut Mata Pencahariannya, dalam
Monografi Desa, ternyata tidak diklaster berdasarkan jenis mata pencaharian yang ditekuni
oleh setiap individu. Melainkan hanya dikategorisasi berdasarkan kelompok umur. Berangkat
dari data yang ada peneliti tidak bisa menjelaskan jenis mata pencaharian yang banyak
ditekuni oleh masyarakat Desa Besakih. Namun, sesuai data yang ada dalam monografi Desa
tahun 2013 kelompok tenaga kerja hanya digolongkan berdasarkan kelompok umur. Adapun
kelompok tenaga kerja berdasarkan atas umur di Desa Besakih dapat dirinci sebagai berikut.
-
19
(1) kelompok tenaga kerja umur 10—14 tahun sebanyak 605 orang; umur 15—19 tahun
sebanyak 423 orang; umur 20—26 tahun sebanyak 875 orang; umur 27—40 tahun sebanyak
2104; umur 41—56 tahun sebanyak 1469 orang; umur 57 ke atas sebanyak 255 orang.
-
20
BAB IV
GLOBALISASI DAN MODERNISASI
MELANDA BALI
4.1 Ciri-Ciri Masyarakat Modern
Masyarakat modern menurut Sianipar (dalam Atmadja, 2010:8) adalah masyarakat
yang telah mampu mengadopsi kebudayaan Barat atau kebudayaan putih global. Hal ini
sejalan dengan Wilbert Moore (dalam Sztomka, 2004:152) yang mengatakan bahwa
modernisasi adalah tranformasi total masyarakat tradisional atau pra modern ke tipe
masyarakat teknologi dan organisasi yang menyerupai kemajuan dunia Barat. Sementara di
bidang filsafat „‟modernisme‟‟ dimaksudkan sebuah gerakan pemikiran yang diinsiprasi oleh
pemikiran Descartes dan dikokohkan oleh gerakan pencerahan (aufklarung/enlighthemen)
yang mengabdikan dirinya hingga abad ke-20 melalui dominasi sains dan kapitalisme
(Sugiharto, 1996 : 28).
Lebih lanjut menurut Sugiharto gambaran dunia semacam ini, serta tatanan sosial
yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konskuensi buruk bagi kehidupan
manusia dan alam pada umumnya. Dalam konteks ini paling tidak ada enam konsekuensi
negatif yang ditimbulkan oleh kondisi sebagaimana digambarkan di atas.
Pertama, pandangan dualistik dari paham modernisme itu telah membagi seluruh
realitas menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya. Hal
demikian ternyata telah mengakibatkan terjadinya objektivisasi alam secara berlebihan,
sehingga berakibat pula pada masalah terjadinya eksploitasi alam secara semena-mena yang
pada ujungnya bermuara pada krisis ekologi.
Kedua, pandangan dunia modern yang bersifat objektivistis dan positivistis tersebut
cenderung memposisikan manusia sebagai objek, dan masyarakat pun tak urung direkayasa
bagaikan mesin, yang setiap saat bisa bertindak secara mekanik dan bukan atas dasar perilaku
yang bersifat manusiawi.
Ketiga, pandangan modernisme memandang bahwa ilmu-ilmu positif-empiris adalah
ilmu yang memiliki standar kebenaran tertinggi. Hal demikian dapat berakibat nilai-nilai
moral-religius dalam masyarakat kehilangan kewibawaannya, dan akibat lanjutannya banyak
anggota masyarakat yang mengalami disorientasi moral-religius yang pada gilirannya dapat
mengakibatkan munculnya tindakan kekerasan, baik terhadap manusia itu sendiri maupun
terhadap alam (lingkungan).
-
21
Keempat, pandangan modernisme juga telah mengakibatkan munculnya filsafat
materialisme dalam kehidupan masyarakat. Artinya, ketika kenyataan mendasar tidak lagi
ditemukan dalam sistem religi, maka materialah yang secara mudah dianggap sebagai
kenyataan mendasar (materialisme ontologis). Sementara berdasarkan materialisme praksis
(aksiologis) hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan
mengontrol hal-hal yang bersifat material. Dalam kondisi demikian aturan main utama yang
berlaku dalam kehidupan di masyarakat adalah ‘’survival of the fittes’’ dalam arti siapa yang
memiliki kekuatan dalam mengontrol sumber-sumber daya material dialah yang bisa bertahan
hidup, sementara, yang tidak memiliki kemampuan untuk itu harus rela tersingkirkan.
Kelima, konskuensi yang ditimbulkan oleh paham modernisme ini adalah
munculnya sikap militerisme dalam kehidupan masyarakat. Secara logika formal ketika
norma-norma religius dan moralitas tidak lagi berdaya untuk mengendalikan perilaku
masyarakat, maka norma-norma yang bersifat umum dan objektif pun cenderung hilang juga.
Dalam kondisi demikian, sifat militerialisme atau sikap kekerasanlah satu-satunya cara untuk
mengendalikan perilaku manusia dalam tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Keenam, konskuensi keenam atau yang terakhir dari munculnya paham modernisme
itu adalah bangkitnya kembali apa yang disebut dengan istilah tribalisme, yakni mentalitas
yang mengunggulkan suku bangsa atau kelompok sendiri. Jika dicermati secara lebih
seksama, kondisi ini sesungguhnya merupakan konskuensi logis dari hukum survival of the
fittes dan penggunaan kekuasaan yang koersif.
Secara teoritis sistem religi sebenarnya telah berusaha untuk mengatasi tribalisme dan
menggantikannya dengan universalisme, namun dalam praktiknya tidak memiliki cukup
kekuatan dan otoritas, sehingga pengaruhnya tidak terasa. Lebih-lebih setelah berakhirnya
perang ideology antara Amerika dan Unisoviet, yang oleh Huntington diintroduksi sebagai
perang dingin babak kedua (Triguna, 2011 : 2), kini agama justru menjadi identitas penting
yang cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar atau dengan kata
lain mendukung penguatan tribalisme dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari keenam pengaruh negatif atas munculnya paham modernisme, dan jika
dikaitkan dengan sikap masyarakat Bali yang dengan mudah dapat mengadopsi berbagai
pengaruh kebudayaan modern maka dapat dikembangkan sebuah pemahaman bahwa pada
hakikatnya masyarakat Bali telah terkena pengaruh modernisasi dan globalisasi itu sendiri.
Hal ini nampak dengan jelas dari orientasi masyarakat Bali yang selalu menjadikan
kebudayaan Barat sebagai kiblat. Kekaguman orang Bali terhadap kebudayaan Barat mulai
-
22
tampak sejak awal abad ke-20, seiring dengan semakin intensifnya pengaruh kebudayaan
Belanda atas kebudayaan Bali. Salah satu cara yang ditempuh Belanda untuk menanamkan
pengaruh kebudayaanya atas kebudayaan Bali, adalah melalui penetrasi sistem pendidikan,
yang menurut Van Niel, (1994) sistem pendidikan yang diterapkan Belanda tidak dapat
dilepaskan dari politik pembaratan.
Dengan politik pembaratan tersebut, maka orang Bali sering memandang dunia Barat
sebagai dunia yang modern, maju, rasional, dan berkembang dengan baik, sehingga harus
diposisikan sebagai pusat, baik sebagai pusat orientasi maupun sebagai pusat teladan.
Sementara dunia Timur selalu dipandang sebagai dunia yang tradisional, terbelakang, tidak
berkembang, dan tidak baik. Dengan kondisi demikian, maka apa pun yang dilakukan dunia
Barat harus diikuti, karena aspek modernitas, rasionlaitas, dan kebaikan selalu dianggap
mengalir dari dunia Barat ke dunia Timur agar masayarakat Timur dapat sejajar dengan
masyarakat Barat (Atmdja, 2001).
Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa orang Bali dengan mudah dapat
menerima berbagai pengaruh kebudayaan Barat, termasuk mengadopsi barang-barang yang
terbuat dari plastik.
Seperti dikatakan Gusti Biang Murka (52 Tahun) seorang ibu rumah tangga :
“…tiang sampun sue ngangge perabotan sane melakar antuk plastik, santukan
hargane murah tur yan pet ulung rikala ngangge ten belah. Siosan ring punika
numbasne aluh nika santukan nyabran rahina wenten dagang meriki metanja
mawinan akehan semetone deriki seneng ngangge prabotan sane melakar antuk
plastik, di samping ngenahne lebih modern. (Saya sudah lama menggunakan barang-
barang yang terbuat dari plastik, sebab selain harganya murah, dan jika jatuh saat
dipakai tidak akan pecah. Selain itu, untuk memperoleh barangnya juga gampang,
karena hampir setiap hari ada pedagang datang ke sini menjual barang-barang yang
terbuat dari plastik, sehingga kebanyakan masyarakat di sini suka memakai prabotan
yang terbuat dari plastik, selain penggunaannya praktis, kelihatannya juga lebih
modern....” (Wawancara, 25 Oktober 2014).
Gambar 4.1 : Gusti Biang Murka saat diwawancarai, di rumahnya,
di Kawasan Pura Besakih, Desa besakih, Kecamatan
Rendang, Kab Karangasem.
(Dok:Suda)
-
23
Pernyataan Gusti Biang Murka (52 Tahun), sebagaimana diuraikan di atas
menunjukan bahwa apa yang dikatakan Wilbert Moore yang mengatakan modernisasi
adalah transformasi total masyarakat tradisional atau pra modern ke tipe masyarakat
teknologi dan organisasi yang menyerupai kemajuan dunia Barat menunjukkan
kebenarannya. Sebab hal yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan maju atau
tidaknya suatu peradaban masyarakat, termasuk masyarakat Besakih adalah
kebudayaan Barat. Ketika mereka telah mampu mengadopsi berbagai peralatan yang
datang dari dunia Barat, mereka merasa hidupnya sudah sejajar dengan kehidupan
orang Barat. Hal senada dikatakan Jero Sari (60 Tahun) :
“...tiang ten inget ipidan kaden tiang mulai ngangge perabotan sane melakar
antuk plastik. Napi mawinan santukan sampun sue pisan. Tiang ngangge
perabotan sane melakar antuk plastik santukan mangkin sampun sulit pisan
ngerereh prabotan sane melakar antuk kayu, kau, utawai daun. Nika
mawinane akehan kramane mangkin ngangge prabotan sane melakar antuk
plastik, menawi nika sane kebaos aab jagat. (Saya tidak ingat kapan mulai
menggunakan peralatan yang terbuat dari plastik, sebab sudah terlalu lama.
Saya menggunakan peralatan yang terbuat dari plastik sebab sekarang sangat
sulit untuk mendapatkan peralatan yang terbuat dari kayu, batok kelapa, dari
daun dan yang lain selain plastik. Itu sebabnya kebanyakan masyarakat
sekarang suka menggunakan peralatan yang terbuat dari plastik, mungkin ini
karena factor jaman barangkali....” (Wawancara, 25 Oktober 2014).
Gambar 4.2 : Jero Sari salah satu informan saat diwawancarai
di tempatnya berjualan, di Desa Besakih, Karangasem
(Dok:Suda)
-
24
Pernyataan Jero Sari tersebut mengindikasikan bahwa keinginan masyarakat Bali
untuk mengadopsi kebudayaan Barat, telah terjadi sejak lama dan kini terus menguat. Hal ini
menurut Atmdja (2010:10) disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: Pertama secara
historis orang Bali melihat kebudayaan Barat telah berbentuk ilmu dan teknologi yang secara
faktual lebih maju dibandingkan apa yang dimiliki oleh orang Bali. Kedua, modernisasi dan
globalisasi telah membuat orang-orang Bali dengan mudah dapat mengakses ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat. Ketiga, bersamaan dengan semakin kuatnya gerak
modernisasi, maka cara berpikir modern yang oposisional dan dikotomis (oposisi biner)
yang berlaku di dunia Barat juga ikut merambah kehidupan masyarakat Bali. Pola berpikir
demikian semakin mendapat ruang dalam kebudayaan Bali, karena masyarakat Bali juga
memiliki pola berpikir yang sama, yang dalam konteks Bali disebut Rwa Bhineda.
Ciri-ciri masyarakat modern seperti ini tampaknya tidak hanya merambah kehidupan
masyarakat Besakih, yang sejak lama telah menjadi kawasan pariwisata di Bali, tetapi juga
telah merambah kehidupan masyarkat Bali secara menyeluruh. Hal ini terbukti hampir
seluruh masyarakat Bali, dalam kehidupannya sehari-hari telah terimbas oleh pemakaian
berbagai barang hasil produksi industri negara-negara Barat, mulai dari berbagai jenis barang
otomotif, elektronik, sampai perabotan rumah tangga, yang sebagian atau seluruhnya
menggunakan bahan-bahan dari plastik.
4.2 Gaya Hidup Konsumerisme
Dengan mengacu pada Piliang (2004 : 179) dapat dipahami bahwa salah satu
perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi dalam lima tahun terakhir di Indonesia
adalah berkembangnya berbagai gaya hidup (life style), sebagai fungsi dari difrensiasi sosial
yang tercipta dari adanya relasi konsumsi. Maksudnya, perubahan sosial yang terjadi di
Indonesia selama lima tahun terakhir ini lebih banyak diwarnai oleh perubahan gaya hidup
masyarakat. Di dalam perubahan tersebut, konsumsi tidak lagi hanya dipandang sebagai
upaya untuk memenuhi fungsi utilitas, atau kebutuhan dasar umat manusia, akan tetapi kini
berkaitan pula dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial
tertentu.
Artinya, di era kekinian orang mengkonsumsi sesuatu tidak lagi hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga untuk mengekspresikan posisi sosial dan
identitas kultural seseorang di dalam masyarakat. Dengan demikian, apapun yang dikonsumsi
oleh masyarakat dewasa ini, tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang
-
25
tersembunyi di balik tindakan konsumsi itu sendiri. Kecenderungan demikian oleh para
pemikir sosial dan budaya Eropa, sering disebut dengan budaya konsumerisme, meskipun
istilah yang sama digunakan di Amerika dengan pengertian yang sangat berbeda.
Sikap konsumerisme semacam ini tidak saja dialami oleh masyarakat Bali di daerah-
daearah perkotaan, seperti Denpasar, Badung, Klungkung, Gianyar, dan Kota lainya di Bali,
tetapi telah merambah pula dalam kehidupan masyarakat di pelosok-pelosok pedesaan,
termasuk masyarakat Desa Adat Besakih. Hal ini terlihat dari penampilan masyarakat
Besakih, yang dari segi performance hampir tidak dapat dibedakan dengan penampilan orang
kota pada umumnya, seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.3 : Penampilan salah seorang masyarakat Besakih yang tidak
jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan pada umumnya.
(Dok:Suda)
Bukan hanya aspek penampilan yang sulit dibedakan antara masyarakat desa
Besakih, dengan masyarakat perkotaan, melainkan juga dari segi praktik-praktik estetika
kontemporer bagi masyarakat pedesaan juga telah ikut terpengaruh. Misalnya, dalam
pemakaian berbagai asesoris, seperti hiasan rambut, cincin, giwang dan asesoris lainnya juga
telah menyamai gaya hidup masayarakat perkotaan. Hal ini menurut Piliang (2004:180)
dikarenakan dalam masyarakat konsumer telah terjadi perubahan mendasar berkaitan dengan
cara objek-objek estetik itu dikonsumsi.
Hal ini bisa terjadi melalui penyebarluasan informasi mengenai gaya hidup yang
secara efektif telah disebarluaskan oleh kaum kapitalis melalui tayangan iklan di media
massa, baik cetak maupun elektronik. Terkait dengan keberadaan TV sebagai media sosial,
menurut Atmadja (2010:96) bahwa dalam konteks tertentu TV tidak hanya mengandung nilai
hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, tetapi juga sebagai media yang dapat
-
26
menertawakan, bahkan mengejek pemirsanya. Hal ini sejalan dengan gagasan Baudrillard
(dalam Ibrahim, 2004:90) yang menegaskan bahwa TV bukan saja menjadi objek tontonan,
tetapi pada saat yang sama TV juga bisa menonton kita. Misalnya, ketika kita menonton acara
lucu/comedian di TV, kita bisa tertawa terpingkal-pingkal, namun sebaliknya ketika TV
menyiarkan iklan atau acara lainnya yang bernuansa memamerkan berbagai model kehidupan
mewah, sementara pemirsanya merasa belum memiliki apa yang ditayangkan oleh TV
melalui iklan tersebut, maka giliran TV lah yang menertawakan kita.
Terkait dengan kepemilikan TV menurut Bapak Wayan Benya (44 tahun) yang juga
Kepala Desa Besakih bahwa hampir di setiap keluarga memiliki minimal sebuah TV, sebagai
alat hiburan. „‟Sekarang TV bukan lagi merupakan barang mewah, seperti halnya jaman dulu,
karena selain untuk mendapatkan hiburan, TV juga telah menjadi semacam media sosial bagi
masyarakat untuk mengakses berbagai informasi, sehingga pengetahuan masyarakat bisa
berkembang‟‟ tegas I Wayan Benya saat diwawancarai di sebuah warung kopi di desanya.
Lebih lanjut menurut Wayan Benya, bahwa melalui siaran TV ini pula masyarakat banyak
memperoleh informasi mengenai berbagai peralatan rumah tangga yang dapat dibeli oleh
masyarakat dengan harga yang terjangkau dan dengan cara yang sangat mudah. Mengapa
demikian sebab sekarang selain informasinya telah menyebar melalui media televisi, masalah
transfortasi sekarang sudah tidak menjadi masalah bagi masyarakat-masyarakat di daerah
pedesaan.
Oleh karenanya, untuk mendapatkan berbagai jenis perabotan, termasuk berbagai
macam peralatan yang terbuat dari plastik bagi masyarakat kami di sini sudah tidak masalah.
Sebab hampir setiap saat ada pedagang keliling yang datang ke sini untuk menjajakan
berbagai barang kebutuhan masyarakat, termasuk berbagai peralatan itu tadi. Hal ini
membuat masyarakat kami menjadi semakin pragmatis dalam mengadopsi berbagai peralatan
modern, termasuk berbagai prabotan yang terbuat dari plastik. Namun, di sisi lain masyarakat
kami sebagian besar tidak menyadari dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh sampah
plastik bagi lingkungan hidup ini. Selain itu menurutnya kesadaran masyarakat Bali pada
umumnya dan masyarakat Desa Besakih pada khususnya akan kesehatan lingkungan masih
sangat rendah. Terkait dengan kondisi itu Wayan Benya (40 tahun) mencontohkan sebagai
berikut.
“...Suatu ketika pas saat itu ada piodalan di Pura Besakih, saya sedang berjalan kaki
akan menuju ke Pura. Tiba-tiba dari arah depan datang sebuah truk membawa
penumpang para pemedek yang baru saja selesai sembahyang. Tanpa saya sadari tiba-
tiba salah seorang penumpang di atas truk itu membuang kulit jagung ke arah saya
-
27
dan pas mengenai kepala saya. Akhirnya, saya kembali pulang ke rumah mengganti
destar yang saya pakai karena kotor terkena kulit jagung. Hal ini membuktikan bahwa
kesadaran masyarakat kita akan kebersihan lingkungan masih sangat rendah...”
(wawancara, 25 Oktober 2014).
Gambar 4.4 : Kepala Desa Besakih saat diwawancarai
di sebuah warung kopi di desanya
(Dok:Suda)
Fenomena yang disampaikan oleh Kepala Desa Besakih di atas, sesungguhnya sangat
bertentangan dengan citra lingkungan masyarakat Bali. Menurut Atmadja (2010:400) citra
lingkungan masyarakat Bali selain bersumberkan pada pengetahuan lokal, juga bersumberkan
pada ajaran Agama Hindu, yang secara umum dapat dikatakan mengarah pada citra
lingkungan ekosentrisme. Artinya, masyarakat Bali dalam memandang lingkungannya
melihat bahwa antara manusia dan alam lingkungannya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara konseptual sebenarnya
masyarakat Bali menganut pandangan holistik dalam melihat hubungan manusia dengan
lingkungannya. Namun, dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Bali telah terjerat
pada gaya hidup konsumerisme sebagai ciri dari masyarakat modern. Terkait dengan gaya
hidup konsumerisme Piliang (2004:306) menegaskan bahwa:
“Meningkatnya GNP perkapita di kawasan negara-negara Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, dalam dekade terakhir ini, telah menciptakan satu tata masyarakat kelas
menengah baru, yang dapat menentukan gaya hidupnya secara bebas sesuai dengan
pilihannya tanpa perlu terikat oleh norma-norma sosial dan cultural yang ada. Mereka
mengekspresikan gaya hidup melalui kepemilikan objek-objek dan simbol-simbol
sosial. Mereka membeli makna sosial di tempat-tempat seperti Planet Hollywood atau
Sogo. Mereka melihat gaya hidup seperti fashion, yang dapat dicoba, dipertahankan,
atau ditinggalkan”.
-
28
Apa yang dikatakan Piliang di atas, dalam konteks Bali termasuk Desa Besakih telah
menunjukan kebenarannya. Hal ini terbukti kecenderungan umum ke arah pembentukan
simbol-simbol sosial dan identitas kultural melalui gaya pakaian, mobil, atau produk industri
lainnya, termasuk aneka barang yang terbuat dari plastik, sebagai komunikasi simbolik dan
makna-makna sosial telah mewabahi masyarakat Besakih dalam dekade trakhir ini. Kondisi
demikian didukung oleh peningkatan pendapatan masyarakat Desa Besakih karena
berkembangnya sektor pariwisata di desa tersebut. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan
masyarakat yang sebagian besar telah terbuat dari beton dan lantainya terbuat dari kramik
atau marmer. Dalam budaya konsumer menurut Piliang (2004:307) bahwa:
“Konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai lalu lintas kebudayaan benda, akan
tetapi telah menjadi panggung sosial, yang di dalamnya makna-makna sosial saling
diperebutkan, dan di dalamnya pula terjadi perang posisi di antara anggota-angota
masyarakat yang terlibat. Budaya konsumerisme yang berkembang merupakan satu
arena, di mana produk-produk konsumer merupakan satu medium untuk pembentukan
personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara difrensiasi status sosial yang berbeda-
beda. Barang-barang konsumer, pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para
consumer menemukan makna kehidupannya”.
Kenyataan ini pula yang membuat masyarakat berlomba-lomba membeli berbagai
produk industri modern karena bagi para konsumer dengan mengonsumsi barang-barang
tersebut, mereka akan menemukan makna kehidupannya. Selain mereka berlomba-lomba
membeli barang karena mereka ingin menemukan makna kehidupannya, mereka juga
membeli beraneka barang, terutama yang terbuat dari plastik karena produk barang-barang
yang datang belakangan selalu dikemas dalam bentuk dan kemasan yang diperbaharui,
sehingga penampakannya selalu lebih baik dan lebih modern. Namun, tanpa disadari menurut
Kartanegara (dalam Harian Kompas, Senin, 23 Mei 2005) bahwa:
“Manusia modern menjadi semakin teralienasi dari alam. Hal ini terjadi setelah
mereka menciptakan jurang yang tidak terjembatani antara keduanya, yakni manusia
sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Dengan memandang alam sebagai obyek
nafsu, manusia modern dengan sains dan teknologinya mendominasi alam dan
mengeksploitasinya secara kasar untuk memenuhi tuntutan mereka yang terus-
menerus meningkat. Akibatnya, alam sekarang dalam proses kehilangan kemampuan
untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya”.
-
29
Berangkat dari pandangan Kartadinata di atas, dapat dibangun sebuah pemahaman
baru bahwa masyarakat dewasa ini, telah terjerat dalam kehidupan konsumerisme, sebagai
turunan dari kehidupan modernisme, sehingga masyarakat, termasuk masyarakat Besakih
begitu mudahnya mengadopsi berbagai barang produk industri termasuk beraneka barang
yang terbuat dari plastik. Ketika mereka dengan mudah dapat mengadopsi berbagai prabotan
yang terbuat dari plastik, sementara di sisi lain mereka tidak memahami bahwa plastik
merupakan barang yang bersifat undergradable (sangat sulit terurai oleh alam), maka hal ini
bukan tidak mungkin dapat menjadi mala petaka bagi kelestarian lingkungan ke depan.
Sebaliknya, jika sampah plastik dibakar ternyata sangat berbahaya, hal ini terungkap
dari hasil penelitian di Jepang yang menujukan bahwa pembakaran sampah plastik yang
dilakukan di sekitar pekarangan rumah berpotensi menyebabkan kemandulan pada wanita
atau sulit melahirkan pada saat mengalami kehamilan (Bali Post, dalam Atmadja, 2005:317).
Hal-hal seperti ini tentu tidak banyak dipahami oleh masyarakat, termasuk masyarakat
Besakih, sehingga ke depan proses pengadopsian barang-barang yang terbuat dari plastik
dapat berakibat buruk bagi kelestarian lingkungan dan bagi kesehatan umat manusia pada
umumnya. Dengan demikian perlu ada upaya yang lebih propesional dalam menanggulangi
sampah khususnya sampah plastik, sebab setiap piodalan di Pura Besakih berton-ton sampah
menumpuk di areal tersebut, yang sebagian adalah sampah plasti/kaleng yang jika dibuang ke
tanah sangat sulit terurai oleh alam.
4.3 Barang Plastik, Praktis, dan Modern
Menurut pandangan beberapa ahli, bahwa zaman ini bisa disebut zaman plastik,
karena hampir sebagian besar peralatan yang digunakan oleh masyarakat saat ini, baik
probotan rumah tangga maupun berbagai peralatan teknologi menggunakan bahan yang
terbuat dari plastik atau mengandung unsur plastik. Selain pemanfaatannya praktis barang
yang terbuat dari plastik, harganya juga terjangkau dan dari segi penampakan cukup modern.
Oleh sebab itu, masyarakat Bali pada umumnya, dan masyarakat di Desa Besakih pada
khususnya cenderung dapat menerima kehadiran barang-barang yang terbuat dari plastik, dan
menggantikan berbagai perabotan rumah tangga yang dimiliki sebelumnya yang terbuat dari
bahan non-plastik. Terkait penggunaan barang dari plastik Ni Nengah Murdani, seorang ibu
rumah tangga (29 tahun) dari Desa Besakih mengatakan :
-
30
“...Saya lebih suka menggunakan barang-barang yang terbuat dari plastik,
dibandingkan dengan menggunakan barang-barang yang terbuat dari besi, kramik,
atau pun yang terbuat dari kayu. Karena barang yang terbuat dari bahan plastik
membawanya ringan, mudah digunakan, dan dari segi penampilan juga cukup keren.
Selain itu barang-barang yang terbuat dari plastik harganya terjangkau (relatif lebih
murah) dibandingkan dengan yang terbuat dari kayu atau besi. Dengan demikian jauh
lebih praktis jika menggunakan barang-barang yang terbuat dari plastik dibandingkan
dengan barang-barang yang terbuat dari bahan non-plastik....” (Wawancara, 28
Oktober 2014).
Ungkapan senada dikemukakan Ni Ketut Asih (26 tahun) yang juga seorang ibu
rumah tangga :
“...Kalau saya di rumah lebih banyak memakai perabotan yang terbuat dari plastik,
dibandingkan prabotan yang terbuat dari bahan non-plastik, sebab selain harganya
murah, pemakaiannya juga sangat praktis. Di samping itu kalau jatuh saat memakai
tidak mudah pecah (rusak), sehingga perawatannya juga lebih gampang. Jadi,
pendeknya memakai prabotan yang terbuat dari plastik sangat praktis dan
ekonomis....” (wawancara, 28 Oktober 2014).
Gambar 4.5 : salah satu informan saat diwawancarai terkait kesenangannya
menggunakan peralatan yang terbuat dari plastic
(Dok:Suda)
Berdasarkan kedua pendapat di atas, terungkap sebuah pemikiran bahwa masyarakat
modern cenderung berpikir praktis dan ekonomis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Atmadja (2010:437) bahwa plastik selain bisa ditransformasikan menjadi aneka barang yang
tidak saja penampakannya indah, bahkan lebih indah dari aslinya, juga memiliki nilai
kepraktisan yang sangat tinggi, sehingga cocok dengan tuntutan modernitas yang
mendambakan pola kehidupan yang praktis dan ekonomis.
-
31
Namun, di balik keajaibannya itu, plastik juga dapat menjadi sumber sampah yang
sangat potensial bagi kerusakan lingkungan alam, sebab bahaya dari sampah plastik itu tidak
dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Ada beberapa alasan yang dapat memperkuat
pandangan tersebut antara lain, (1) barang yang terbuat dari plastik mudah rusak dan sulit
diperbaiki, sehingga harus segera disampahkan; (2) barang plastik yang dikeluarkan
belakangan cenderung memiliki penampilan yang lebih baik, dan nilai keparktisannya juga
lebih tinggi dibandingkan barang plastik yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga barang
yang lama sering dipinggirkan dan otomastis menjadi sampah karena telah digantikan dengan
barang yang baru yang lebih baik dari segi penampilan dan mempunyai nilai kepraktisan
yang lebih tinggi; (3) sesuai deng