20 September

6
20 September Tanggal 20 September, sama seperti yang tertera di undangan pesta hari itu. Orang di sekitarku tampak bahagia, senyum bahagia terlukis di setiap wajah mereka. Akan tetapi tidak denganku. Mukaku pucat, tangan dan kakiku gemetar. Ada rasa penyesalan yang mendalam. Ingin rasanya kuputar waktu mengulang semua yang terjadi. Seandainya saja aku bisa menyadarinya dari dulu... Sewaktu aku duduk di bangku sekolah dasar, aku adalah anak yang pendiam yang jarang berbicara dengan siapa pun. Tiba-tiba seorang anak laki-laki mendekatiku, dan merebut buku yang sedang kubaca. Aku langsung marah dan meminta bukuku dikembalikan. “Kembalikan buku milikku!” “Tidak mau, Sekarang buku ini jadi milikku, weeek” Ujarnya dengan jahil lalu membawa pergi bukuku. Sejak saat itu aku menandainya sebagai musuh terbesarku. Aku tidak berani membaca buku saat jam istirahat lagi. Sebagian besar waktu yang kuhabiskan di waktu istirahat hanya merenung di kelas. Namun anak laki-laki itu datang lagi di kemudian harinya lalu setiap harinya menjambak rambutku, menyembunyikan sempoaku, dsb. Waktu pun berganti, akhirnya ia masuk SMP sementara aku masih di kelas empat sekolah dasar. Hore! Pikirku. Sayangnya saat aku masuk SMP orang tuaku memasukkanku ke SMP yang sama dengan dirinya. Akhirnya kejahilannya terhadapku pun terus berlanjut hanya saja tingkahnya kali ini sedikit berbeda. Setiap kali aku berjalan berdampingan bersama teman sekelas

description

Ini teks cerpen yang gagal masuk dalam sebuah kontes. Hahaha...

Transcript of 20 September

Page 1: 20 September

20 September

Tanggal 20 September, sama seperti yang tertera di undangan pesta hari itu. Orang di

sekitarku tampak bahagia, senyum bahagia terlukis di setiap wajah mereka. Akan tetapi tidak

denganku. Mukaku pucat, tangan dan kakiku gemetar. Ada rasa penyesalan yang mendalam.

Ingin rasanya kuputar waktu mengulang semua yang terjadi. Seandainya saja aku bisa

menyadarinya dari dulu...

Sewaktu aku duduk di bangku sekolah dasar, aku adalah anak yang pendiam yang jarang

berbicara dengan siapa pun. Tiba-tiba seorang anak laki-laki mendekatiku, dan merebut buku

yang sedang kubaca. Aku langsung marah dan meminta bukuku dikembalikan.

“Kembalikan buku milikku!”

“Tidak mau, Sekarang buku ini jadi milikku, weeek” Ujarnya dengan jahil lalu membawa

pergi bukuku.

Sejak saat itu aku menandainya sebagai musuh terbesarku. Aku tidak berani membaca buku

saat jam istirahat lagi. Sebagian besar waktu yang kuhabiskan di waktu istirahat hanya

merenung di kelas. Namun anak laki-laki itu datang lagi di kemudian harinya lalu setiap

harinya menjambak rambutku, menyembunyikan sempoaku, dsb.

Waktu pun berganti, akhirnya ia masuk SMP sementara aku masih di kelas empat sekolah

dasar. Hore! Pikirku. Sayangnya saat aku masuk SMP orang tuaku memasukkanku ke SMP

yang sama dengan dirinya. Akhirnya kejahilannya terhadapku pun terus berlanjut hanya saja

tingkahnya kali ini sedikit berbeda. Setiap kali aku berjalan berdampingan bersama teman

sekelas lawan jenis, dia selalu menggodaku dengan berteriak “Cieeee...cieee yang lagi

berduaan!!!” Bagiku itu sangat mengganggu.

Tahun demi tahun kembali berlalu. Anak laki-laki yang suka menjahiliku itu tumbuh menjadi

seorang pemuda yang kalem. Mengapa dia tiba-tiba bisa berubah seperti itu? Saat itu dia

mulai aktif menulis, sampai karyanya masuk dalam banyak perlombaan. Ditambah lagi dia

aktif dalam berbicara dan berorganisasi. Sehingga saat aku baru masuk di SMA yang sama

dengannya (lagi), dia telah menjadi seorang ketua OSIS. Namun dibandingkan semua itu ada

hal lain yang lebih aneh lagi.

Siang itu sangat riuh, teman-teman sekelasku saling bercerita, berteriak-teriak, larut dalam

suka cita. Bahkan ada yang bertingkah seolah-olah dia sedang memainkan gitar.

“Hore! Sebentar lagi kita libur panjang!” Sorak teman-temanku yang berbahagia.

"Tapi kita harus belajar untuk ujian akhir kenaikan lho, teman-teman..."Ujarku tiba-tiba

sambil membalik lembaran buku yang kubaca.

Page 2: 20 September

“Ah, Melisa! Kamu ngerusak suasana aja deh bisanya.” Balas temanku, Nanda dengan nada

kesal.

“Tapi benar kan?”Ujarku lagi sambil membalik lagi halaman buku yang kubaca.

“Ngomong-ngomong kerjaan kamu baca terus ya. Apa ga ada kerjaan lain?”

“Membaca itu penting. Memberikan kita ilmu dan membiasakan kita dalam mengingat materi

pelajaran jika dibutuhkan.”

“Tapi yang kamu baca itu buku puisinya Kak Arman lhooo..”Ujar Nanda dengan nada

menggoda.

Mukaku langsung memerah seperti tomat. Apa salahnya membaca karya seseorang? Lagipula

karyanya itu bagus. Diksinya dan intonasinya pas, isinya bermakna, bahkan rasanya seperti

mendalam. Puisi-puisi yang ditulisnya bertema cinta, seperti cinta yang tidak dapat

diungkapkan. Isinya menceritakan tentang kegelisahan yang mendalam karena tidak bisa

mengungkapkan sebuah perasaan yang tersembunyi dalam harinya. Tidak kusangka pemuda

yang kucap sebagai musuh bebuyutan itu bisa menulis puisi-puisi yang bagus seperti ini.

Tiba-tiba orang yang baru kupikirkan itu muncul. Iya, Kak Arman datang dengan senyum. Ia

mendekati mejaku. Secepat kilat kusembunyikan buku kumpulan puisi itu di bawah meja. Ia

tampak gugup begitu ia tiba di mejaku, dia berkata sambil mengalihkan pandangan matanya

dariku,”Err...Dik Lisa ada waktu? Ada yang mau saya bicarakan dengan adik..”

Akhirnya aku mengikutinya karena penasaran. Kami berdiri di bawah pohon besar di

belakang sekolah. Lagi-lagi ia tampak gugup di sana. Aku tampak heran jadi bertanya

padanya,”Kakak ada apa ya tiba-tiba memanggilku kemari?”

Ia tampak berdehem lalu mulai berbicara sambil mengalihkan pandangan matanya

dariku,”Err...dek. Tidak lama lagi saya akan lulus dari sekolah ini jadi...”

Aku diam menantikan kata-kata yang tidak kusangka keluar dari mulutnya saat itu.

“Dik Lisa mau tidak jadi pacar saya?”

Apa? apa aku tidak salah dengar? Musuh bebuyutanku selama bertahun-tahun ini memintaku

untuk jadi pacarnya? Spontan aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Kak Arman

tampak keheranan. Wajahnya memerah lantaran malu. Wajahku sendiri saat itu juga tampak

memerah, berusaha menahan tawa. Dia langsung meninggalkan tempat itu saat itu juga.

Beberapa tahun kemudian, di saat aku memasuki semester enam. Waktu itu juga, Kak Arman

baru saja lulus dari jurusan sastra di sebuah perguruan tinggi ternama. Selain itu, karirnya

sebagai seorang penulis sedang menanjak. Sementara Aku di universitas yang sama

dengannya (lagi-lagi), di fakultas MIPA jurusan matematika. Saat itu aku bertujuan untuk

mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri.

Page 3: 20 September

Kak Arman kembali datang padaku. Namun tidak dengan perasaan yang gugup seperti itu.

Tatapannya begitu tajam, langkahnya begitu mantap saat menghampiriku saat itu.

“Dek, ada orang tuanya di rumah besok?”

“Iya...kenapa kak?”

“Saya mau melamar adik menjadi istri saya.”

Spontan aku terkejut saat itu. Wajahku sendiri tampak memerah. Dulunya aku memang bisa

tertawa mendengar perkataannya mengenai hal itu. Sekarang tidaklah lagi. Dengan gugup

aku menjawab,”Ta..tapi kak. Aku akan mengambil S2 di luar negeri. Jadi kalau

boleh...bi..bisakah kakak menunggu sampai...aku selesai kak....”

Tidak, aku tidak siap dengan semua ini! Tapi aku tidak bohong soal diriku yang ingin

mengambil S2 ke luar negeri.

“Baiklah, kalau begitu saya akan menunggu sampai adik pulang ya. Kakak janji...”Ujarnya

sambil tersenyum.

Satu setengah tahun kemudian saat aku berada di Malaysia, aku mendengar bahwa Kak

Arman sedang dekat dengan seorang wanita. Wanita itu konon sangat cantik dan solehah,

berbeda denganku yang bahkan berhijab saja belum. Teman-temanku yang berada di

Indonesia sering bercerita mengenai mereka berdua yang sering terlihat berjalan bersama.

Hatiku langsung sedih, gundah. Ada rasa penyesalan yang sangat dalam. Namun aku tidak

bisa pulang. Aku harus menyelesaikan pendidikan S2ku sampai selesai.

Rasanya berat untuk menapakkan kakiku di ruangan besar yang dipenuhi kegembiraan itu.

Aku merasa sangat tidak layak.

“Dik, adik kenapa kok kelihatannya sedih?” Bisik Kak Arman tiba-tiba.

“Tidak, kak. Aku cuma tidak merasa layak menerima cinta kakak. Selama ini aku tidak peka

terhadap perasaan kakak. Bahkan curiga kakak punya hubungan dengan wanita lain...”

Ujarku sambil menunduk, mataku mulai berkaca-kaca.

“Tidak usah bersedih, dik. Ini kan hari bahagia kita. Kakak tidak masalah menunggu dan

bagaimanapun keadaan adik, kakak terima kok. Buktinya kita bisa berada di sini sekarang.

Soal Kak Mina juga tidak apa-apa. Wajar semua orang mengira kami punya hubungan.

Padahal kami berdua kan kakak adik. Hahaha...pokoknya tidak usah khawatir...”

Aku tersenyum mendengarnya. Anak laki-laki yang dulunya menjahiliku telah tumbuh

menjadi seorang pria yang lembut dan baik hati, juga pemaaf. Tidak kusangka dia benar-

benar mau menungguku selama bertahun-tahun. Dengan bahagia aku menyambut tangannya,

bersama-sama kami melangkahkan kaki menuju kursi pelaminan.

Tamat

Page 4: 20 September

Biodata Penulis :

Rezky Amelia, dara kelahiran 11 Mei 1992 di Lhokseumawe ini

adalah lulusan Program Strata Satu (S1) pada Universitas

Malikussaleh Fakultas Teknik Prodi Teknik Informatika. Sampai

saat ini masih bertempat tinggal di Dusun Blang Rayeuk, Kota

Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Selain menulis cerita, tentu saja

hobinya adalah menulis program dan membuat kue. Kritik dan

saran sangat diharapkan guna peningkatan kualitas dan penulisan

selanjutnya. Untuk itu, silahkan kirim kritik dan saran ke email :

[email protected]