2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Kaldor menganalisis total factor productivity dari...
Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Kaldor menganalisis total factor productivity dari...
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori
Beberapa teori yang ditinjau untuk mendukung penelitian ini adalah teori
pertumbuhan wilayah yang dikemukakan dengan pendekatan Kaldorian,
perubahan struktural (structural change), definisi deindustrialisasi dan model
deindustrialisasi.
2.1.1 Sektor Manufaktur sebagai Mesin Pertumbuhan (Pendekatan
Kaldorian) Teori pertumbuhan Kaldor digunakan dalam penelitian ini untuk
menganalisis peranan sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia sejak
Indonesia mengalami proses industrialisasi. Analisis dengan pendekatan
Kaldorian dapat mengidentifikasi apakah sektor manufaktur telah menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi. Apabila sektor manufaktur menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi, hal ini berarti bahwa perekonomian secara keseluruhan yang terdiri dari
berbagai jenis aktivitas ekonomi digerakkan oleh sektor manufaktur.
Hukum Kaldor dalam konteks fenomena deindustrialisasi dapat digunakan
sebagai penentu apakah deindustrialisasi yang terjadi merupakan fenomena positif
atau negatif. Deindustrialisasi yang merupakan fenomena positif artinya proses
pembangunan ekonomi telah mencapai tahap yang matang (mature) dan ditandai
dengan kuatnya pengaruh sektor manufaktur dalam menggerakkan perekonomian.
Deindustrialisasi yang merupakan fenomena negatif ditandai dengan kurang
kuatnya pengaruh sektor manufaktur dalam menggerakkan perekonomian dan hal
ini dapat menyebabkan turunnya nilai output atau jumlah pekerja sektor
manufaktur yang tidak disertai dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup
tinggi. Pendapatan per kapita yang tinggi mencirikan bahwa suatu wilayah telah
mencapai tahap pembangunan ekonomi yang matang (mature).
Kaldor menggunakan analisis ekonomi klasik dan hasil analisis Young
(1928) dalam mengusulkan teorinya. Kaldor memperkenalkan konsep dynamic
economies of scale yang menyatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan output
sektor manufaktur maka produktivitas sektor ini juga akan semakin tinggi. Model
Kaldor menganalisis total factor productivity dari sisi demand dan supply,
10
sedangkan neoklasik hanya menganalisisnya dari sisi supply. Kaldor percaya
bahwa tidak cukup memformulasikan sebuah teori pertumbuhan hanya
berdasarkan pada sebuah sektor perekonomian karena kondisi supply dan demand
setiap sektor berbeda. Pada sisi demand, Kaldor menyatakan bahwa elastisitas
pendapatan terhadap demand untuk produk manufaktur lebih besar dibanding
produk pertanian dan kurang lebih sama untuk sektor jasa. Pada sisi supply, sektor
manufaktur mempunyai potensi pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat
dibandingkan sektor jasa.
Model pertumbuhan Kaldor juga berbeda dengan teori pertumbuhan
endogen (endogenous growth theory). Menurut Knell (2004), teori pertumbuhan
endogen mempunyai hipotesis dasar bahwa pertumbuhan output dibatasi oleh
supply pekerja dan kapital, sedangkan model pertumbuhan Kaldor mempunyai
hipotesis dasar bahwa pertumbuhan output dibatasi oleh banyaknya demand.
Model pertumbuhan Kaldor sangat menekankan pentingnya perluasan pasar, yang
menggambarkan peningkatan demand, dalam menjelaskan adanya increasing
returns to scale. Hubungannya adalah ketika demand semakin meningkat,
dibutuhkan output yang lebih banyak sehingga dengan adanya pengaruh
perubahan teknologi dan technological learning pada output maka proses
produksi akan terus mengalami increasing returns to scale.
Kaldor’s growth law menerangkan hubungan antara pertumbuhan sektor-
sektor industri, pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan total output.
Kaldor’s growth law tersebut adalah:
1. Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (pertumbuhan output) berhubungan
positif dengan pertumbuhan sektor sekunder terutama sektor manufaktur.
Hukum pertama ini lebih terkenal dengan istilah “manufacturing is the
engine of growth” dan diformulasikan dalam persamaan regresi sebagai
berikut.
(2.1)
dengan adalah pertumbuhan total output dan adalah pertumbuhan sektor
manufaktur. Akan tetapi persamaan (2.1) tersebut belum cukup menguatkan
argumentasi bahwa sektor manufaktur merupakan mesin pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Kaldor menambahkan hubungan yang lebih spesifik
11
yaitu semakin besar selisih pertumbuhan sektor manufaktur dengan
pertumbuhan sektor selain manufaktur maka pertumbuhan total output
semakin cepat. Hubungan tersebut diformulasikan dalam persamaan regresi
sebagai berikut.
(2.2)
dengan adalah pertumbuhan sektor selain manufaktur. Kaldor juga
menambahkan argumentasi yang dapat menguatkan hukum Kaldor yang
pertama yaitu pertumbuhan sektor selain manufaktur juga dipengaruhi oleh
pertumbuhan sektor manufaktur. Argumentasi ini diformulasikan dalam
persamaan regresi sebagai berikut.
(2.3)
Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan keeratan hubungan antara
pertumbuhan sektor manufaktur dan pertumbuhan output (Libanio dan Moro
2007). Alasan pertama adalah pertumbuhan output dan pekerja sektor
manufaktur menyebabkan terjadinya transfer pekerja dari sektor yang
mempunyai produktivitas rendah, karena sektor ini memiliki surplus pekerja,
menuju sektor manufaktur yang mempunyai produktivitas lebih tinggi. Hasil
proses transfer ini adalah peningkatan produktivitas pada semua sektor
perekonomian dan hanya sedikit atau bahkan tidak menyebabkan dampak
negatif pada sektor primer. Kaldor (1967) yang diacu dalam Felipe (1998)
menyebutkan bahwa proses ini disebut sebagai transisi dari perekonomian
yang bersifat immature menuju perekonomian yang bersifat mature dan hal ini
merupakan pertanda bahwa proses pembangunan telah memasuki tahap
intermediate. Alasan kedua adalah adanya static increasing returns pada
sektor manufaktur yang berhubungan dengan economies of scale internal to
firm dan adanya dynamic increasing returns pada sektor manufaktur yang
berasal dari proses ‘learning by doing’, ‘induced’ technological change,
economies of scale external to firm.
Kaldor (1967) yang diacu dalam Felipe (1998) mengemukakan empat
alasan mengapa sektor manufaktur memegang peranan penting dalam
menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Alasan tersebut adalah:
12
a. Pada saat proses produksi sektor manufaktur mengalami peningkatan,
terdapat aliran pekerja dari sektor selain manufaktur, yang memiliki
pengangguran terselubung (disguised unemployment) dan surpus pekerja,
menuju sektor manufaktur sehingga produktivitas sektor selain manufaktur
mengalami peningkatan produktivitas (dengan asumsi bahwa sumber daya
sektor selain manufaktur tersebut memiliki opportunity cost yang kecil).
Berdasarkan hal tersebut, implikasinya adalah semakin cepat pertumbuhan
sektor manufaktur, yaitu sebelum pertumbuhannya mengalami diminishing
returns, maka proses transfer pekerja menjadi semakin cepat.
b. Kegiatan sektor manufaktur memiliki backward linkage dan forward
linkage yang lebih besar dibanding sektor-sektor lainnya.
c. Sektor industri khususnya sektor manufaktur mempunyai sifat static
increasing returns yang berasal dari ukuran dan skala produksinya dan
sifat dynamic increasing returns karena bisa mengalami proses learning
by doing dalam proses produksinya.
d. Adanya kendala neraca pembayaran (balance-of-payments) yang
diperlonggar akan menyebabkan pertumbuhan output dan sektor selain
manufaktur semakin cepat jika pertumbuhan sektor sekunder semakin
cepat.
2. Produktivitas pekerja sektor manufaktur berhubungan positif dengan
pertumbuhan output sektor manufaktur itu sendiri. Hubungannya lebih
cenderung kepada pertumbuhan output sektor manufaktur yang mempengaruhi
pertumbuhan produktivitas pekerja sektor manufaktur. Hukum Kaldor kedua
ini disebut juga dengan Verdoorn’s Law atau Kaldor-Verdoorn Law.
Verdoorn’s Law biasanya digunakan untuk membuktikan adanya static
increasing returns dan dynamic increasing returns yang merupakan kunci
penting pada model pertumbuhan circular and cummulative causation dalam
analisis Kaldorian (Kaldor 1970, Dixon dan Thirlwall 1975 diacu dalam
Libanio dan Moro 2007). Argumentasinya adalah dengan tingkat pertumbuhan
output tertentu, output tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
produktivitas pekerja. Pada saat produktivitas pekerja meningkat, unit labor
costs (biaya pekerja per unit) akan menurun dan dengan asumsi ceteris
13
paribus harga barang per unit akan turun. Harga barang per unit yang menjadi
relatif murah ini akan meningkatkan daya saing (competitiveness) dan pada
akhirnya akan meningkatkan output melalui peningkatan permintaan ekspor.
Knell (2004) menyebutkan bahwa terdapat tiga rumus dasar untuk
Kaldor-Verdoorn Law dan berasal dari persamaan dasar berikut.
(2.4)
dengan adalah pertumbuhan output, adalah pertumbuhan output per
pekerja (produktivitas pekerja) dan adalah pertumbuhan pekerja. Verdoorn
menyatakan bahwa pertumbuhan produktivitas berhubungan linier dan positif
dengan pertumbuhan output. Berdasarkan pernyataan tersebut didapatkan
rumus pertama dari Kaldor-Verdoorn Law yaitu:
(2.5)
dikenal dengan koefisien Verdoorn dan koefisien ini bisa menjelaskan
adanya pertumbuhan demand (perluasan pasar) dan perubahan struktural.
Rumus kedua didapatkan dari pandangan lain Kaldor mengenai
hubungan antara pertumbuhan output dan produktivitas pekerja. Rumus kedua
tersebut adalah:
(2.6)
Kaldor menyebutkan bahwa persamaan (2.6) tersebut telah memadai untuk
mengetahui adanya static increasing returns atau dynamic increasing returns.
Jika < 1 dan signifikan secara statistik maka perekonomian dalam kondisi
dynamic increasing returns. Jika = 1 dan signifikan secara statistik maka
proses pertumbuhan dapat dikatakan mengikuti model pertumbuhan Solow
tanpa peningkatan teknologi. Jika tidak signifikan secara statistik maka
Kaldor mendeskipsikan perekonomian sebagai nihilistic.
Rumus Kaldor-Verdoorn Law ketiga berasal dari pernyataan Cripps dan
Tarling (1973) yang diacu dalam Knell (2004). Mereka menyatakan bahwa
persamaan (2.5) dan (2.6) harus diuji secara simultan dengan menggunakan
persamaan berikut.
(2.7)
Kaldor (1975) yang diacu dalam Knell (2004) menyatakan bahwa persamaan
(2.7) ini tidak dapat digunakan untuk menguji hipotesisnya dan bahkan bisa
14
terjadi misleading ketika terdapat hubungan yang negatif dari kedua variabel
tersebut.
3. Produktivitas sektor selain manufaktur berhubungan positif dengan
pertumbuhan output sektor manufaktur. Hukum ini lebih intuitif dan
berdasarkan pada argumentasi bahwa sektor selain manufaktur memiliki
diminishing returns to scale.
2.1.2 Perubahan Struktural (Structural Change)
Perubahan struktural dalam perekonomian merujuk pada perubahan struktur
perekonomian yang mendasar dalam jangka panjang, bukan hanya perubahan
struktur dalam lingkup mikro dan dalam jangka pendek. Struktur perekonomian
yang dimaksud adalah formasi sektor/industri dalam suatu perekonomian. Contoh
perubahan struktural adalah perekonomian subsisten yang mengalami
industrialisasi sehingga kontribusi dominan sektor pertanian bergeser ke sektor
manufaktur.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah
berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan
antara lain oleh:
1. dampak dari suatu kebijakan
2. perubahan sumber daya, penduduk dan keadaan sosial yang bersifat
permanen
Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
Gollin et. al. (2002) menunjukkan model perubahan struktural dapat
menjawab dua pertanyaan penting mengenai proses industrialisasi. Pertanyaan
tersebut adalah mengapa proses industrialisasi pada setiap negara mempunyai
waktu permulaan yang berbeda-beda dan mengapa pada beberapa negara proses
tersebut berjalan lambat. Implikasi penting dari model perubahan struktural
tersebut adalah pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci
penting proses pertumbuhan.
Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik
yang memasukkan sektor pertanian secara eksplisit. Berdasarkan model ini,
15
Gollin et al. (2002) menyatakan bahwa proses pembangunan berhubungan dengan
adanya perubahan struktural. Pada model ini diasumsikan fungsi utilitas dari
sebuah rumah tangga mengikuti Stone-Geary variety.
( ) ( )⎩⎨⎧ +
=t
ttt a
acacU
log,
aa aa
t
t
<≥
jikajika
(2.8)
Keterangan:
ta : konsumsi barang hasil pertanian pada periode t
tc : konsumsi barang hasil non pertanian pada periode t
Nilai utilitas seumur hidup ditunjukkan dengan persamaan (2.9) berikut.
( )∑∞
=1
,t
ttt acUβ (2.9)
Berdasarkan persamaan (2.8) dan (2.9) dapat disimpulkan bahwa ketika hasil
produksi sektor pertanian mencapai a , kelebihan tenaga kerja sektor pertanian
yang ada akan berpindah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini
menandakan bahwa keadaan sektor pertanian mempengaruhi ketersediaan tenaga
kerja untuk sektor non pertanian. Model pertumbuhan neoklasik menunjukkan
bahwa sektor non pertanian memproduksi sejumlah output ( mtY ) dengan
menggunakan kapital ( mtK ) dan tenaga kerja ( mtN ).
( )( ) ⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ ++=
−mtmt
tmmtmmt NNKAY αγ
θθ 11 (2.10)
Keterangan
mA : total-factor-productivity (TFP)
mγ : tingkat perubahan teknologi
Persamaan (2.10) merupakan modifikasi fungsi produksi yaitu dengan
menambahkan mtNα agar suatu perekonomian yang tidak mempunyai kapital fisik
dapat melakukan akumulasi kapital. Setiap negara diasumsikan mempunyai TFP
( mA ) berbeda-beda dan nilainya ditentukan oleh faktor kebijakan dan institusi
yang mempengaruhi kegiatan sektor non pertanian. Sebaliknya, parameter mγ dan
α diasumsikan sama untuk semua negara. Parameter mγ diasumsikan sebagai
variabel eksogen karena negara-negara miskin umumnya tidak menciptakan ide
untuk pengembangan teknologi. Output yang diperoleh dari sektor non pertanian
16
(dalam hal ini adalah sektor manufaktur) dapat digunakan untuk konsumsi atau
investasi ( mtX ) sehingga fungsi stok kapital untuk sektor manufaktur adalah
sebagai berikut.
( ) mtmtmt XKK +−=+ δ11 (2.11)
Sektor pertanian menghasilkan sejumlah output ( atY ) hanya dengan
menggunakan sebuah input produksi yaitu tenaga kerja ( atN ). Pada model ini
diasumsikan penambahan input yang berupa tanah tidak akan mempengaruhi hasil
akhir. Selain itu, model ini mengasumsikan terdapat dua macam teknologi yang
dapat digunakan pada sektor pertanian. Kedua macam teknologi tersebut adalah:
a. Teknologi tradisional
Penggunaan teknologi tradisional akan menghasilkan a buah barang
pertanian pada satu periode waktu.
b. Teknologi modern
Penggunaan teknologi akan menghasilkan sejumlah output sektor pertanian
( atY ) seperti dirumuskan pada persamaan (2.12) berikut.
( ) att
aaat NAY γ+= 1 (2.12)
Asumsi yang digunakan untuk aA dan aγ sama dengan yang diasumsikan
untuk sektor non pertanian.
Output yang diperoleh dari sektor pertanian diasumsikan hanya digunakan untuk
konsumsi, sehingga jumlah konsumsi barang hasil pertanian terbatas att Ya ≤ .
Solusi untuk competitive equilibrium melalui dua langkah. Langkah pertama
yaitu menentukan alokasi tenaga kerja setiap sektor untuk setiap periode.
Berdasarkan fungsi utilitas rumah tangga maka pada awalnya semua tenaga kerja
akan dialokasikan ke sektor pertanian sampai 1 . Ketika kondisi ini
tercapai maka produksi sektor pertanian akan menggunakan teknologi modern
untuk menggantikan teknologi tradisional yang selama ini digunakan dan hal ini
menyebabkan tenaga kerja sektor pertanian berpindah ke sektor manufaktur
dengan kecepatan . Sehingga:
1 , 1
1 (2.13)
Langkah
neoklasik
digunakan
akan
akan sam
perekonom
Ana
mengguna
jawaban a
Sumber: GoGambar 4
Gollin et a
1. Perbe
steady
2. Negar
memp
memu
3. Pemb
memu
nya s
denga
4. Adany
tenaga
Berdasark
pertanian
Out
put s
ekto
r man
ufak
tur/
outp
ut to
tal p
erek
onom
ian
kedua ad
dengan
n sektor per
mendekati
ma dengan
mian sebaga
alisis Gollin
akan model
atas pertanya
ollin et. al. (204 Output
(persen
al. (2002) m
edaan incom
y state.
ra-negara
punyai pertu
ulai lebih du
bangunan m
ulai industri
setidaknya
an model pe
ya distorsi
a kerja berp
kan model i
dapat me
alah menc
sebaga
rtanian men
nol dan
model per
ai mesin per
n et. al.
l ini meng
aan awal.
002) relatif unt)
menyimpulk
me antar neg
yang terl
umbuhan ya
ulu proses p
merupakan p
ialisasi pad
dalam 100
ertumbuhan
dari aktivit
pindah ke se
ini dapat di
emperlamba
cari peruba
ai faktor
ningkat deng
akan me
rtumbuhan
rtumbuhan.
(2002) pad
ghasilkan s
tuk bebera
kan 4 hal ber
gara pada ta
lambat me
ang lebih c
pembanguna
proses yang
a tahun 195
0 tahun. Tr
neoklasik.
tas sektor p
ektor manuf
simpulkan
at proses
ahan dinam
eksogen. P
gan kecepat
endekati 1.
neoklasik
da beberap
ebuah graf
apa waktu
rdasarkan G
ahun 2000 te
emulai pro
epat diband
annya.
berjalan de
50 akan me
ransisi ini l
pertanian ak
faktur.
bahwa rend
industrialis
mika mode
Pada saat
tan , mak
Oleh karen
yaitu deng
pa negara
fik yang b
permulaan
Gambar 4, y
ernyata buk
oses pemb
dingkan neg
engan lamb
encapai ting
lebih lamb
kan semaki
dahnya prod
asi. Sebua
el pertumb
teknologi
ka pada akh
na itu, mod
gan satu s
industri de
isa membe
n industria
yaitu:
kanlah perbe
bangunan
gara-negara
bat. Negara
gkat steady s
at dibandin
in menyeba
duktivitas s
ah negara
17
buhan
yang
hirnya
del ini
sektor
engan
erikan
alisasi
edaan
akan
yang
yang
state-
ngkan
abkan
sektor
yang
18
mengalami proses industrialisasi yang berjalan lambat perlu mengetahui faktor-
faktor apa saja yang dapat memicu peningkatan produktivitas sektor pertaniannya.
2.1.3 Konsep Deindustrialisasi
Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan peranan
sektor manufaktur baik dalam kontribusi jumlah output maupun kontribusi jumlah
pekerja dalam sebuah perekonomian. Definisi deindustrialisasi sendiri memiliki
banyak interpretasi. Tabel 3 berisi beberapa definisi deindustrialisasi beserta
sumbernya.
Tabel 3 Beberapa definisi deindustrialisasi berdasarkan sumbernya Sumber Definisi Deindustrialisasi
a. Blackaby (1979) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)
Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.
b. Singh (1982) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)
Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impornya untuk mencapai kondisi full-employment dalam perekonomian.
c. Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF (1997)
Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.
d. Bazen dan Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)
Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja.
e. World Bank (1994) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)
Penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat.
f. Rowthorn dan Coutts (2004)
Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional.
g. Wikipedia (2009) Proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh semakin berkurangnya kapasitas atau aktivitas industri pada suatu daerah atau negara, khususnya untuk industri berat (heavy industry) atau industri manufaktur.
19
Lanjutan Tabel 3
Sumber Definisi Deindustrialisasi
h. Cairncross (1982) dan Lever (1991) diacu dalam Wikipedia (2009)
h. 1. Penurunan output sektor manufaktur atau penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur (definisi ini bisa menimbulkan salah interpretasi ketika terjadi penurunan output atau jumlah pekerja sektor manufaktur secara sementara ataupun penurunan tersebut merupakan bagian dari siklusnya).
h. 2. Pergeseran sektor manufaktur menuju sektor jasa sehingga sektor manufaktur memiliki proporsi output atau jumlah pekerja terhadap total output atau pekerja yang lebih kecil dibanding sektor jasa (definisi ini bisa menyebabkan salah interpretasi misalnya pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa terjadi tapi secara absolut ouput atau jumlah pekerja sektor manufaktur tetap meningkat).
h. 3. Penurunan proporsi output sektor manufaktur pada neraca perdagangan luar negeri (external trade) sehingga perekonomian gagal menciptakan keseimbangan pada neraca perdagangan luar negerinya (nilai ekspor lebih kecil dibandingkan nilai impornya).
h. 4. Suatu kondisi dimana neraca perdagangan mengalami defisit secara terus menerus sehingga dapat mengganggu proses produksi barang manufaktur dalam negeri dan pada akhirnya akan terjadi penurunan output sektor manufaktur tersebut dalam perekonomian.
Teori-teori yang menjelaskan tentang deindustrialisasi telah berkembang
sejak lama. Rowthorn dan Wells (1987) yang diacu dalam IMF (1997)
membedakan definisi deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu deindustrialisasi
positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif merupakan sebuah
konsekuensi dari sebuah perekonomian yang telah mengalami kedewasaan
(maturity). Deindustrialisasi negatif mengindikasikan adanya performa yang
buruk dari sebuah perekonomian. Deindustrialisasi negatif tersebut merupakan
20
efek sekaligus penyebab dari performa buruk sebuah perekonomian.
Deindustrialisasi negatif merupakan efek dari performa buruk sebuah
perekonomian karena jika perekonomian memburuk maka akan menurunkan
tingkat konsumsi dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi
khususnya sektor manufaktur. Sebaliknya, deindustrialisasi negatif juga
merupakan penyebab memburuknya perekonomian karena penurunan tingkat
produksi dapat menyebabkan penurunan tingkat pendapatan yang pada akhirnya
akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat.
Rowthorn (1992) menganggap bahwa teori Marx tentang penurunan profit
industri dapat disebutkan sebagai awal mula teori deindustrialisasi. Teori tersebut
menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi
lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang
bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja
karena pekerja dapat digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan
kapital meningkat. Jika diasumsikan pekerja dapat memberikan nilai tambah baru,
maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan
surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Rata-rata profit
industri akan menurun dalam jangka panjang. Implikasinya adalah bagi sebuah
industri, disamping melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital perlu
juga mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital
untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif.
Pitelis dan Antonakis (2003) mengemukakan bahwa perkembangan sektor
manufaktur dapat dicirikan dengan produktivitasnya yang tinggi. Tingginya
produktivitas sektor manufaktur, dengan asumsi ceteris paribus, akan
menyebabkan penurunan biaya relatif untuk memproduksi barang manufaktur
sehingga harga barang manufaktur bisa lebih murah. Hal inilah yang bisa
menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun dengan asumsi
demand terhadap barang manufaktur dan jasa bersifat inelasitis. Perkembangan
selanjutnya adalah pengurangan aktivitas sektor manufaktur karena sebagian
proses produksinya dilakukan dengan cara outsourcing atau dikontrakkan
menyebabkan turunnya proporsi nilai tambah sektor manufaktur tanpa
21
memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak
positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi.
Pengertian lain dari deindustrialisasi bisa dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan
Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyebutkan bahwa
fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna
untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu
dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan
pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan (lihat Tabel 3) dapat disimpulkan
bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah
pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan
bertambahnya jumlah pengangguran.
Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam
terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal
dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur
perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya
deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison (1982) serta Logan dan
Swanstrom (1990), terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi
informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang
lebih murah dan lokasi sebelumnya (pusat kota) ditempati oleh sektor jasa dan
aglomerasi finansial.
Singh (1977) menyatakan bahwa untuk menganalisis adanya industrialisasi
dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya
dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus
menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang di
awal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment
sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat
pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan
sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya
demand terhadap produk manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar
domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi
neraca perdagangan. Sedangkan pada negara maju, kontribusi sektor manufaktur
22
saat ini sangat kecil (baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja) dan
sektor ekspor utama adalah knowladge-based services.
2.1.4 Model Deindustrialisasi
Bagian ini mengadopsi IMF Working Paper (IMF 1997) dan model ini
menunjukkan bahwa deindustrialisasi merupakan proses alami dari sebuah
pertumbuhan ekonomi dan bisa terjadi walaupun tanpa adanya perdagangan
dengan negara-negara lainnya. Model ini didasarkan pada ketiga fakta berikut:
1. Demand untuk produk makanan mempunyai elastisitas pendapatan yang
inelastis (Engel’s Law).
2. Real demand untuk produk jasa meningkat seiring dengan peningkatan
pendatan nasional riil.
3. Produktivitas pekerja di sektor jasa mempunyai peningkatan yang lebih kecil
dibanding sektor manufaktur ataupun industri secara keseluruhan.
Asumsi awal yang digunakan sebagai penyederhanaan adalah perekonomian
dianggap tertutup.
sia YYYY ++= (2.14)
Keterangan:
Y : real output
aY : real output sektor pertanian
iY : real output sektor manufaktur
sY : real output sektor jasa
Konsumsi produk makanan (dari sektor pertanian) untuk setiap orang diasumsikan
tetap. Jumlah populasi (L) juga diasumsikan tetap dan semuanya diasumsikan
sebagai pekerja.
bLYa = (2.15)
Huruf b pada persamaan (2.15) merupakan sebuah konstanta. Output sektor jasa
merupakan bagian dari real output.
cYYs = (2.16)
23
Produktivitas Pekerja
Asumsi yang digunakan adalah:
1. Peningkatan produktivitas pekerja sektor jasa lebih rendah dibanding sektor
manufaktur.
2. Peningkatan produktivitas pekerja sektor manufaktur dan pertanian sama.
3. Peningkatan produktivitas diasumsikan sama sepanjang waktu.
4. Output per pekerja pada t = 0 diasumsikan sama.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka: t
a eyy λα0=
ti eyy λα
0= (2.17)
ts eyy α
0=
dengan 0y > 0, λ > 1, dan α > 0. sia yyy ,, merupakan output per pekerja untuk
sektor pertanian, manufaktur dan jasa. λ adalah indeks pertumbuhan
produktivitas.
Output per pekerja juga dapat dirumuskan sebagai:
a
aa L
Yy =
i
ii L
Yy = (2.18)
s
ss L
Yy =
Total pekerja adalah
sia LLLL ++= (2.19)
Dari persamaan (2.15) sampai dengan (2.18) didapatkan:
[ ]tt ecceyYL λαα −− −+= )1(
0
(2.20)
t
t
eccey
y )1(0
)1( −−−+= λα
α
(2.21)
ts
eccy
)1()1( −−−+= λα
LYy /= adalah rata-rata produktivitas pekerja. Karena λ > 1 dan α > 0, pada saat
t mendekati tak hingga maka:
24
cyy
s
1→ (2.22)
Persamaan (2.22) mengindikasikan bahwa rata-rata pertumbuhan produktivitas
akan menurun mendekati pertumbuhan produktivitas yang dicapai sektor jasa. Hal
tersebut merupakan ilustrasi dari teori asymtotic stagnancy dimana pertumbuhan
ekonomi dibatasi oleh produktivitas sektor jasa (Baumol et al 1989 dalam IMF
1997).
Employment Share
aP , iP , dan sP merupakan proporsi pekerja sektor pertanian, manufaktur dan jasa
dalam total pekerja.
LL
P aa =
LL
P ii =
LL
P ss = (2.23)
aP , iP , dan sP juga dapat dirumuskan sebagai berikut:
ta e
ybP λα−=
0
tsecc
cPαλ )1()1( −−−+
= (2.24)
sai PPP −−=1 (2.25)
t
t
i eccc
ybeP αλ
λα
)1(0 )1(
1 −−
−
−+−−= (2.26)
Berdasarkan persamaan (2.24) dan (2.25), jika t mendekati tak hingga maka: 0→aP 0→iP 1→sP
Pada saat tak hingga (infinity), kontribusi pekerja sektor pertanian dan sektor
manufaktur akan konvergen menuju nol dan kontribusi pekerja sektor jasa akan
konvergen menuju satu. Walaupun telah didapatkan kesimpulan ini, akan tetapi
masih dibutuhkan analisis lebih lanjut mengenai sektor manufaktur.
The Share of Industry
Jika persamaan (2.25) di-difference terhadap waktu maka akan didapatkan:
dtdP
dtdP
dtdP sai −−= (2.27)
Berdasarkan persamaan (2.24), persamaan (2.27) dapat dituliskan kembali
menjadi:
25
)1()1( ssai PPP
dtdP
−−−= αλλα (2.28)
0>dt
dPi jika )1()1( ssa PPP −−> αλλα (2.29)
aPλα mengindikasikan tingkat penurunan kontribusi pekerja sektor pertanian dan
)1()1( ss PP −− αλ mengindikasikan peningkatan kontribusi pekerja sektor jasa. Pada
negara miskin nilai aP cukup besar, maka pertidaksamaan (2.29) terpenuhi dan
kontribusi pekerja sektor industri akan meningkat ( 0>dtdPi ). Proses
pembangunan selanjutnya bisa menurunkan aP dan pertidaksamaan (2.29) akan
berubah tanda menjadi “<” sehingga pada saat ini kontribusi pekerja sektor
industri akan mulai menurun. Gambar 5 menunjukkan perubahan kontribusi
pekerja untuk sektor pertanian, industri dan jasa berdasarkan waktu dan
pendapatan per kapita.
Kontribusi output sektor manufaktur terhadap real output total adalah
( )[ ]tt
asi eccy
becYY
YY
YY 1
0
)1(11 −−−
−+−−=−−= λαα
(2.30)
Sumber: IMF (1997) Gambar 5 Proporsi pekerja sektor pertanian, manufaktur dan jasa
terhadap total pekerja (persen)
Kontribusi output sektor manufaktur ini meningkat dengan cepat pada tahap awal
pembangunan dan seiring perjalanan waktu akan konvergen menuju batas atas
tertentu (Gambar 6). Oleh karena itu, pada perekonomian yang telah maju
kontribusi output sektor manufaktur menjadi stabil pada titik tertentu sedangkan
proporsi pekerja yang bekerja di sektor manufaktur semakin berkurang karena
produktivitas sektor ini semakin meningkat.
Time, per capita income
26
Sumber: IMF (1997) Gambar 6 Proporsi output sektor manufaktur terhadap real output (persen) 2.2 Tinjauan Empiris
Beberapa studi empiris tentang deindustrialisasi telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Penelitian tersebut diantaranya sebagai berikut. Bagian 2.2.1
sampai dengan 2.2.7 membahas penelitian khusus tentang deindustrialisasi
sedangkan sisanya merupakan penelitian lain yang dapat mendukung analisis
penulis tentang deindustrialisasi.
2.2.1 Deindustrialisasi pada Negara-Negara OECD
IMF Working Paper (IMF 1997) yang berjudul “Deindustrialization:
Causes and Implications” menyatakan bahwa deindustrialisasi bukan merupakan
fenomena negatif, tapi merupakan konsekuensi dari dinamika industri pada
sebuah negara yang telah maju. Negara-negara yang menjadi fokus penelitian
adalah 21 negara dari 23 negara OECD (negara industri berdasarkan World
Economic Outlook). Negara yang tidak dimasukkan dalam analisis adalah
Luxemburg dan Iceland. Data yang digunakan mencakup beberapa titik waktu
yaitu tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya deindustrialisasi di negara-
negara OECD adalah pertumbuhan produktivitas relatif, neraca perdagangan
(trade balance), investasi, dan beberapa faktor lainnya. Produktivitas relatif
dihitung berdasarkan produktivitas sektor manufaktur dibagi dengan produktivitas
sektor jasa. Variabel dependen yang digunakan adalah proporsi pekerja sektor
manufaktur terhadap total pekerja dalam satuan persen. Metode analisis yang
digunakan adalah regresi data panel. Tulisan tersebut menggunakan beberapa
persamaan regresi data panel dalam analisisnya. Kesimpulan dari beberapa
Time, per capita income
27
simulasi yang dilakukan didapatkan empat faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya deindustrialisasi di negara-negara industri. Tabel 4 merupakan
ringkasan hasil analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
deindustrialisasi di negara-negara OECD dengan periode analisis tahun 1970 -
1994. Pertumbuhan produktivitas relatif adalah faktor yang pengaruhnya paling
penting dalam menjelaskan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara OECD.
Tabel 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis deindustrialisasi di negara-negara OECD
Jenis Variabel Nama Variabel
Variabel dependen Kontribusi (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen)
Variabel independen
1. Pertumbuhan produktivitas relatif 2. Pangsa neraca perdagangan (ekspor dikurangi
impor) dalam PDB 3. Pangsa investasi dalam PDB 4. Faktor lainnyaa)
(-) (+)
(-) (-)
Keterangan: a) Faktor lainnya adalah perubahan pola konsumsi, perubahan kontrak kegiatan yang sebelumya
dilakukan di sektor manufaktur ke sektor jasa, efek perdagangan North-South dan pengaruh faktor lain yang tidak teridentifikasi.
Tanda positif (+) dan negatif (-) yang terletak di sebalah kanan variabel independen menandakan arah hubungan antara variabel dependen dan independen.
Tulisan tersebut juga membahas implikasi dari adanya deindustrialisasi.
Pada saat proses deindustrialisasi terus berlanjut, produktivitas total akan tumbuh
berdasarkan pertumbuhan produktivitas sektor jasa (sesuai dengan persamaan
(2.22)). Hal ini menyebabkan peningkatan standar hidup selanjutnya akan
dipengaruhi oleh pertumbuhan produktivitas sektor jasa. Deindustrialisasi juga
mengimplikasikan bahwa peranan serikat perdagangan (trade unions) dapat
berubah pada perekonomian yang telah maju. Perubahan peranan tersebut terjadi
dalam hal penentuan standar upah pekerja. Pada perekonomian yang telah maju,
serikat perdagangan sulit menentukan standar upah sektor jasa yang tepat karena
sektor jasa terdiri dari bermacam-macam aktivitas dan masing-masing aktivitas
memerlukan kemampuan pekerja yang berbeda-beda.
Selain IMF (1997), penelitian Rowthorn dan Ramaswamy dalam IMF
Working Paper (IMF 1998) yang berjudul “Growth, Trade, and
28
Deindustrialization” juga memfokuskan analisis deindustrialisasi di 18 negara
OECD dengan periode 1963–1994 dengan metode regresi data panel. Tujuan
utama penelitian ini adalah mengetahui seberapa penting peranan faktor internal,
yaitu produktivitas dan struktur demand, dalam menjelaskan fenomena
deindustrialisasi. Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah:
log log ∑ (2.31)
log log ∑ (2.32)
log log log log ∑ (2.33)
log log log (2.34)
log log log ∑ (2.35)
log log log ∑ (2.36)
, , , 0; , , , , 0 (2.37)
Keterangan:
= produktivitas pekerja sektor manufaktur relatif terhadap
produktivitas pekerja total semua sektor perekonomian
= harga barang manufaktur relatif terhadap indeks harga umum
= proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap PDB riil
= proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total
pekerja
= pendapatan per kapita
= variabel-variabel lain yang ditambahkan untuk melihat pengaruh
perdagangan luar negeri dan faktor internal lainnya
Persamaan (2.34) akan berlaku jika unit pengukurannya tepat.
Variabel yang ditambahkan untuk melihat pengaruh perdagangan luar negeri
adalah persentase neraca perdagangan barang manufaktur terhadap PDB
(TRADEBAL : nilai total ekspor dikurangi nilai total impor) dan persentase nilai
impor barang manufaktur dari negara berkembang terhadap PDB (LDCIMP).
29
Variabel LDCIMP digunakan untuk mengetahui efek kompetisi barang
manufaktur yang berasal dari negara dengan tingkat upah rendah pada negara
maju. Satu variabel yang ditambahkan lagi adalah persentase nilai bruto investasi
modal tetap domestik (FIXCAP) terhadap PDB. Alasan memasukkan variabel ini
karena investasi barang modal bersifat manufacturing-intensive sehingga semakin
banyak investasi akan menyebabkan demand terhadap produk manufaktur
menjadi lebih besar dibanding demand produk selain manufaktur.
Hasil penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Peningkatan pendapatan per kapita dapat meningkatkan produktivitas pekerja
sektor manufaktur. Hasil ini sesuai dengan Engel’s Law dimana peningkatan
pendapatan perkapita meningkatkan demand terhadap produk manufaktur dan
hal ini pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja
sektor manufaktur.
b. Tingkat harga relatif barang manufaktur utamanya dipengaruhi oleh
perubahan produktivitas pekerja sektor manufaktur. Semakin tinggi
produktivitas pekerja sektor manufaktur maka harga relatif barang manufaktur
akan semakin rendah.
c. Elastisitas demand terhadap produk manufaktur bernilai di atas satu untuk
negara miskin dan akan menurun ketika negara itu menjadi negara kaya. Hal
ini berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan keeratan hubungan antara
variabel OUTSHARE dan Y.
d. Pengaruh harga relatif barang manufaktur terhadap demand barang
manufaktur tidak pasti. Pernyataan ini berdasarkan hasil analisis yang berbeda
ketika metode analisis yang digunakan berbeda.
e. Persentase pekerja sektor manufatur terhadap total pekerja akan terus
meningkat pada tahap awal pertumbuhan dan akan menurun pada saat
pendapatan per kapita mencapai level yang tinggi.
f. Variabel FIXCAP mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap
EMPSHARE dan OUTSHARE. Hal tersebut bisa disebabkan oleh pengaruh
investasi modal tetap dapat dirasakan setelah beberapa periode setelah
investasi tersebut dilakukan.
30
g. Variabel perdagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang sangat kecil
terhadap produktivitas pekerja sektor manufaktur, harga relatif barang
manufaktur, persentase nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB, dan
persentase pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.
Kesimpulan umum yang didapat dari penelitian tersebut adalah deindustrialisasi
yang terjadi pada beberapa negara maju lebih disebabkan oleh faktor internal
perekonomiannya yaitu produktivitas dan struktur demand.
Jurnal yang ditulis oleh Rowthorn dan Coutts (2004) dengan judul “De-
industrialisation and the balance of payments in advance countries” juga berfokus
pada negara-negara OECD juga. Penelitian ini mendefinisikan deindustrialisasi
sebagai penurunan kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.
Pada jurnal ini dijelaskan apa yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi pada
negara-negara maju. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah adanya
spesialisasi, perubahan pola konsumsi yang mengacu pada Engel’s Law,
produktivitas pekerja sektor manufaktur yang tinggi, perdagangan internasional
dan investasi.
Jumlah negara yang dicakup dalam analisis sebanyak 23 negara dengan
tahun analisis dari tahun 1963 sampai dengan tahun 2002. Metode ekonometrik
yang digunakan adalah regresi data panel. Model dasar regresi data panel yang
digunakan adalah:
log log ∑ (2.38)
Variabel EMPSHARE merupakan kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap
total pekerja, Y adalah pendapatan per kapita, dan Z adalah variabel lain. Variabel
lain yang turut mempengaruhi EMPSHARE tersebut adalah TRADEBAL,
LDCIMP, OPEN, IMPCHINA, FIXCAP, dummy negara. Variabel-variabel yang
digunakan untuk mengukur pengaruh perdagangan internasional antara lain
TRADEBAL (neraca perdagangan barang-barang manufaktur), LDCIMP (nilai
impor barang manufaktur dari negara-negara berkembang), OPEN (nilai ekspor
ditambah nilai impor barang manufaktur), dan IMPCHINA (nilai impor barang
manufaktur dari China). Variabel FIXCAP (persentase investasi modal
tetap/kapital bruto terhadap PDB) dimasukkan dalam analisis dengan alasan yang
sama dengan penelitian IMF (1998). Semua variabel tersebut dimasukkan dalam
31
persamaan regresi dalam bentuk persentase terhadap PDB atas dasar harga
berlaku.
Hasil analisisnya sesuai dengan penelitian IMF (1998) dimana faktor
internal mempunyai pengaruh lebih dominan dalam menjelaskan terjadinya
deindustrialisasi. Faktor internal tersebut antara lain pendapatan per kapita dan
investasi. Peningkatan pendapatan per kapita berhubungan dengan elastisitas
demand terhadap produk manufaktur, produktivitas dan perubahan harga relatif
barang manufaktur. Pengaruh perdagangan luar negeri cukup signifikan tapi
relatif kecil jika dibandingkan pengaruh faktor internal terhadap terjadinya
deindustrialisasi.
Selain itu, jurnal ini juga membahas secara khusus kasus deindustrialisasi
yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Pada kedua negara ini
terjadinya deindustrialisasi justru dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Rowthorn dan Coutts (2004) membandingkan produktivitas dan perdagangan
internasional dari kedua negara ini. Produktivitas yang diukur dengan log output
per kapita di AS secara umum lebih besar dibanding dengan di Inggris. Sejak
tahun 1960 sampai dengan tahun 2003, produktivitas di kedua negara semakin
meningkat. Perbandingan kondisi balance of payments (neraca pembayaran)
antara AS dan Inggris dapat dilihat pada Gambar 7. Perkembangan neraca
pembayaran pada kedua negara tersebut relatif sama yaitu mulai defisit pada awal
tahun 1980-an.
Gambar 7 Perkembangan neraca pembayaran AS dan Inggris 1965 – 2003
Bala
nce
of p
aym
ents
(% te
rhad
ap P
DB
)
AS
Inggris
32
Penelitian IMF (1997), IMF (1998) serta Rowthorn dan Coutts (2004)
menunjukkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi pada negara-negara OECD
adalah deindustrialisasi positif yang merupakan konsekuensi dari proses
pembangunan yang telah maju sehingga tidak menimbulkan efek yang buruk bagi
kondisi perekonomian. Deindustrialisasi yang terjadi pada negara maju tersebut
lebih diakibatkan oleh faktor internalnya dibandingkan faktor eksternalnya. Faktor
internal tersebut adalah pendapatan per kapita dan investasi. Pendapatan per
kapita berhubungan dengan elastisitas demand terhadap produk manufaktur dan
produktivitas sektor manufaktur. Tingginya tingkat produktivitas sektor
manufaktur berdampak baik pada perkembangan sektor selain manufaktur. Hal ini
sejalan dengan hukum pertumbuhan Kaldor yang menyebutkan bahwa
pertumbuhan sektor manufaktur dapat menjadi pemicu bagi pertumbuhan sektor
lainnya sehingga didapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Faktor
eksternal yang berupa hubungan perdangan luar negeri turut menyebabkan
terjadinya deindustrialisasi akan tetapi pengaruhnya sangat kecil dibandingkan
faktor internalnya.
2.2.2 Deindustrialisasi di Sub-Saharan Africa
Penelitian yang dilakukan Jalilian dan Weiss (2000) bertujuan menganalisis
terjadinya deindustrialisasi di Sub-Saharan Africa (SSA). Negara yang dicakup
dalam analisis tersebut adalah 86 negara termasuk 16 negara SSA dengan periode
waktu tahun 1975 sampai dengan tahun 1993. Akan tetapi pada beberapa
persamaan regresi hanya menggunakan 65 negara karena keterbatasan data yang
tersedia. Metode analisisnya menggunakan pendekatan regresi data panel. Model
dasar yang digunakan adalah:
MANVA = f (GDP, POP, POL, N, DV) (2.39) + + + - ?
MANSH = f (GDPCP, POP, POL, N, DV) (2.40) + + + - ?
Keterangan:
MANVA = nilai tambah sektor manufaktur
MANSH = proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB
GDP = PDB
33
GDPCP = PDB per kapita
POP = total penduduk
POL = variabel kebijakan perdagangan luar negeri yang menggambarkan
keterbukaan hubungan perdagangan luar negeri
N = ukuran sumber daya alam (natural resource endowment) yang
didekati dengan proporsi nilai ekspor komoditas primer terhadap
total nilai ekspor
DV = beberapa variabel dummy untuk memebedakan karakteristik regional
atau negara dan karakteristik periode waktu tertentu
Uji formal deindustrialisasi oleh Jalilian dan Weiss (2000) mengikuti aturan
berikut:
a. Jika menggunakan persamaan (2.40) maka suatu negara atau wilayah
mengalami deindustrialisasi jika proporsi nilai tambah sektor manufaktur
terhadap PDB lebih kecil daripada nilai prediksinya dan juga
penyimpangannya itu terus bertambah sepanjang waktu.
b. Jika menggunakan persamaan (2.39) maka suatu negara atau wilayah
mengalami deindustrialisasi jika nilai tambah sektor manufaktur lebih kecil
daripada nilai prediksinya dan juga penyimpangannya itu terus bertambah
sepanjang waktu.
Jalilian dan Weiss (2000) menggunakan residual dari persamaan regresi data
panel untuk melihat penyimpangan variabel MANSH dan MANVA dari nilai
prediksinya. Negara yang mempunyai outlier residual bernilai negatif artinya
mengalami under-industrialized dan yang memiliki outlier residual bernilai positif
artinya mengalami over-industrialized. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 16
negara SSA terdapat 7 negara yang memiliki outlier residual bernilai negatif dan
terus berkembang sepanjang waktu. Negara yang memiliki outlier residual
bernilai negatif tersebut dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi negatif.
2.2.3 Deindustrialisasi di India
Jurnal yang berjudul “Will Services be the New Engine of Indian Economic
Growth?” oleh Dasgupta dan Singh (2005) membahas secara khusus fenomena
deindustrialisasi di India. Tujuan utama penelitian tersebut adalah untuk meninjau
ulang peranan sektor manufaktur dan sektor informal pada pembangunan ekonomi
34
di India. Latar belakang penelitian tersebut adalah adanya fenomena beberapa di
negara berkembang seperti pertumbuhan sektor jasa yang lebih cepat dibanding
sektor manufaktur, munculnya gejala deindustrialisasi yang diikuti dengan
rendahnya pendapatan per kapita, penurunan jumlah pekerja di sektor formal dan
meluasnya sektor informal.
Penelitian Dasgupta dan Singh (2005) menggunakan Kaldorian Framework
dalam menganalisis peranan sektor pertanian, manufaktur dan jasa. Model regresi
cross-section yang digunakan terdiri dari:
log log (2.41)
log log (2.42)
log log (2.43)
log log log (2.44)
Persamaan (2.41) sampai dengan (2.43) digunakan untuk menganalisis hukum
Kaldor pertama. Persamaan (2.44) digunakan untuk menganalisis hukum Kaldor
kedua dan ketiga. Unit analisis dibagi menjadi dua. Kelompok pertama adalah 30
negara berkembang dengan tahun analisis 1980, 1990, dan 2000. Kelompok kedua
adalah 29 negara bagian India dengan tahun analisis 1993/1994 dan 1999/2000
dan juga memisahkan antara sektor manufaktur yang terdaftar (registered
manufacturing) dan tidak terdaftar (un-registered manufacturing). Hasil analisis
sepenuhnya mendukung hukum pertumbuhan Kaldor utamanya sektor manufaktur
adalah mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan mengapa pertumbuhan sektor
jasa yang relatif cepat disebabkan oleh pertumbuhan sektor manufaktur yang
mempengaruhi pertumbuhan sektor jasa. Contoh sektor jasa yang sangat erat
hubungannya dengan sektor manufaktur adalah sektor perdagangan dan
transportasi. Menurut Dasgupta dan Singh (2005) pertumbuhan sektor jasa di
bidang pengembangan teknologi informasi bukanlah dipengaruhi akan tetapi
mempengaruhi pertumbuhan sektor manufaktur.
2.2.4 Deindustrialisasi pada Negara Berkembang
Dasgupta dan Singh (2006) membahas fakta terjadinya deindustrialisasi di
negara berkembang dengan menggunakan Kaldorian Framework. Judul
penelitiannya adalah “Manufacturing, Services, and Premature
Deindustrialization in Developing Countries: A Kaldorian Analysis”.
35
Deindustrialisasi yang terjadi di negara berkembang diikuti dengan level
pendapatan yang rendah, peningkatan jumlah pengangguran, dan perluasan sektor
informal dengan sangat cepat. Dasgupta dan Singh (2006) menggunakan enam
persamaan untuk menganalisis terjadinya deindustrialisasi dengan unit analisis 48
negara untuk periode 1990–2000. Persamaan-persamaan tersebut dianalisis
menggunakan metode regresi data panel. Tabel 5 adalah ringkasan ketujuh
persamaan beserta hasil analisisnya.
Tabel 5 Ringkasan analisis deindustrialisasi oleh Dasgupta dan Singh (2006)
Jenis analisis Hasil analisis Pertumbuhan sektoral dan PDB dalam analisis Kaldorian (Kaldor’s first law)
1. 0.022 0.473 R2 = 0.9833 FStat(1,46) = 2710.01
2. 1.167 1.421 R2 = 0.6966 FStat(1,46) = 108.92
3. 0.015 0.58 R2 = 0.9811 FStat(1,46) = 1576.34
Pertumbuhan sektor manufaktur, perubahan struktural dan pertum-buhan ekonomi (Kal-dor’s second and third law)
4. 0.0162 0.49840.705 R2 = 0.9701 FStat(1,46) = 731.69
5. 0.003 0.40870.286 R2 = 0.7641 FStat(1,40) = 63.51
6. 0.0207 0.90590.276 R2 = 0.8259 FStat(1,46) = 92.51
Faktor-faktor yang mem pengaruhi perubahan kontribusi pekerja sektor manufaktur
7. 12.29 1.000.02 0.004 0.0010.082 0.059 R2 = 0.14 FStat(10,180) = 2.56
Keterangan: - : variabel dummy untuk Amerika Latin - : variabel dummy untuk China - Koefisien regresi untuk tidak signifikan secara statistik
Keterangan: : pertumbuhan PDB (persen)
: perumbuhan nilai tambah sektor manufaktur (persen) : perumbuhan nilai tambah sektor pertanian (persen) : perumbuhan nilai tambah sektor jasa (persen)
: perumbuhan produktivitas pekerja (persen) : perumbuhan pekerja sektor selain manufaktur (persen)
: perumbuhan pekerja sektor pertanian (persen) : kontibusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen)
: bentuk logaritma natural dari PDB : bentuk kuadrat dari : proporsi gross fixed capital dalam PDB (persen)
: tingkat keterbukaan perdagangan (persentase ekspor ditambah impor ter hadap PDB)
36
Fakta sebenarnya berdasarkan hasil analisis adalah sektor manufaktur tetap
menjadi sektor utama penggerak perekonomian di beberapa negara-negara
berkembang yang menjadi fokus analisis. Akan tetapi sektor jasa termasuk jasa
yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi (information and
communication technology/ICT) juga mempunyai pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang lainnya seperti India.
Khusus kasus India, jasa-jasa yang berhubungan dengan ICT seperti software
komputer memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan ekspor dan
pertumbuhan jasa ini melebihi pertumbuhan sektor manufaktur dan GDP.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Dasgupta dan Singh (2006) menyatakan
bahwa deindustrialisasi yang terjadi di negara berkembang mempunyai dua tipe
yaitu:
a. Sektor manufaktur lebih berkembang ke arah sektor manufaktur yang bersifat
informal. Contohnya adalah India.
b. Tipe kedua adalah negara yang mengalami pathological deindustrialization.
Pada kasus ini, negara tersebut mengalami perubahan struktural tapi tidak
dapat meningkatkan perekonomian yang lebih sustainable. Negara ini terlalu
berspesialisasi pada satu sektor berdasarkan keunggulan komparatif yang
dimiliki saat ini dan tidak terlalu memperhatikan keunggulan komparatifnya
untuk jangka panjang. Contohnya adalah negara-negara Amerika Latin.
Deindustrialisasi yang dialami menunjukkan adanya kegagalan proses
industrialisasi dan ketidakmampuan membangun sektor jasa modern.
Kesimpulan dari penelitian Dasgupta dan Singh (2006) adalah negara-
negara berkembang yang mempunyai pendapatan perkapita pada level rendah dan
menengah mempunyai income elasticity of demand terhadap barang-barang
manufaktur tetap tinggi. Negara yang mengalami pathological deindustrialization
seharusnya mengevaluasi kebijakan industrialisasinya agar pertumbuhan
ekonominya lebih terarah dan tepat sasaran. Sebaliknya bagi negara yang
mengalami deindustrialisasi seperti tipe pertama, deindustrialisasi yang terjadi
adalah yang bermakna positif sehingga kebijakan industrialisasi yang ada tidak
perlu direvisi kembali.
37
Analisis deindustrialisasi dengan pendekatan Kaldorian pada negara
berkembang ini dapat memberikan fakta bahwa terdapat dua tipe deindustrialisasi
yaitu deindustrialisasi positif dan negatif. Deindustrialisasi positif pada negara
berkembang terjadi karena sektor manufakturnya berkembang ke arah sektor yang
bersifat informal sehingga tidak membawa dampak buruk pada perekonomian.
Deindustrialisasi negatif yang terjadi pada negara berkembang disebabkan oleh
kesalahan arah pengembangan sektor manufaktur atau dengan kata lain proses
industrialisasinya mengalami kegagalan sehingga tidak mampu memberikan
pertumbuhan ekonomi yang sustain.
2.2.5 Deindustrialisasi di Indonesia
Suwarman (2006) menulis tesis yang berjudul “Faktor-faktor Apakah yang
Mendorong Terjadinya Proses Deindustrialisasi di Indonesia?”. Penelitian tersebut
mempunyai tujuan utama untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia. Data yang
digunakan mencakup data nasional triwulanan dengan rentang waktu tahun 1989–
2005. Metode ekonometrik yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan
metode Bounds Testing Cointegration pendekatan ARDL (Autoregressive
Distributed Lag).
Variabel dependen yang digunakan adalah logaritma proporsi nilai tambah
sektor manufaktur dalam PDB (LPNT). Variabel independen yang digunakan
adalah:
a. Pendapatan perkpita yang didekati dengan logaritma pendapatan nasional per
kapita (LY) dan kuadrat LY (LYK).
b. Harga riil produk-produk manufaktur yang didekati dengan logaritma rasio
indeks harga produk manufaktur terhadap indeks harga umum (LHR).
c. Proporsi nilai pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) terhadap
PDB (I).
d. Proporsi nilai ekspor produk manufaktur terhadap PDB (XM).
e. Proporsi nilai impor produk manufaktur terhadap PDB (MM).
f. Proporsi neraca perdagangan produk-produk manufaktur terhadap PDB
(NPM).
g. Proporsi nilai impor bahan baku terhadap PDB (MBB).
38
h. Proporsi nilai impor barang modal terhadap PDB (MBM).
Model yang diuji Suwarman (2004) untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia
terdiri atas dua macam yaitu:
(2.45)
(2.46)
Hasil estimasi dari kedua model tersebut adalah terdapat hubungan jangka
panjang dengan pengaruh yang positif dan negatif. Variabel pendapatan per
kapita, PMTDB, ekspor produk manufaktur, neraca perdagangan produk
manufaktur dan impor barang modal mempunyai hubungan jangka panjang dan
berpengaruh positif terhadap kontribusi sektor manufaktur dalam PDB.
Sedangkan variabel harga riil produk manufaktur dan impor produk manufaktur
mempunyai hubungan jangka panjang dan berpengaruh negatif terhadap
kontribusi sektor manufaktur dalam PDB. Variabel impor bahan baku tidak
memiliki hubungan jangka panjang dengan kontribusi sektor manufaktur dalam
PDB.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, Suwarman (2006) menyimpulkan bahwa
proses deindustrialisasi di Indonesia bukan merupakan dampak alamiah dari
keberhasilan pembangunan Indonesia. Hal tersebut terlihat dari pengaruh
pendapatan perkapita terhadap kontribusi sektor manufaktur dalam PDB dimana
peningkatan pendapatan perkapita masih menyebabkan peningkatan kontribusi
sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia. Jika proses deindustrialisasi
merupakan dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan maka seharusnya
peningkatan pendapatan per kapita akan menurunkan kontribusi sektor
manufaktur dalam PDB atau telah dilaluinya titik balik (turning point) dari efek
peningkatan pendapatan per kapita.
2.2.6 Penelitian Lain yang Mendukung
Bjorvatn dan Coniglio (2007) meneliti tentang pentingnya akses ke pasar
internasional terhadap proses industrialisasi pada 58 negara berkembang.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan penting yaitu bagaimana
seharusnya kebijakan industrialisasi di negara berkembang dan apakah kebijakan
39
industrialisasi tersebut lebih diarahkan ke beberapa sektor tertentu atau lebih
diarahkan ke semua sektor secara merata. Metode analisis yang digunakan adalah
analisis regresi dengan variabel dependennya adalah rata-rata pertumbuhan PDB
tahun 1980-1992. Variabel independen yang digunakan adalah PDB per kapita
tahun 1980, rata-rata private saving, rata-rata pertumbuhan ekonomi negara
tetangga, tingkat keterbukaan perdagangan internasional pada tahun 1980, indeks
intervensi pemerintah, dan indeks keragaman etnis. Hasil penelitian ini
menyarankan untuk negara yang termasuk kategori less open economy, kebijakan
industrialisasi harus lebih diarahkan ke beberapa sektor tertentu saja dan untuk
negara yang termasuk kategori more open economy, kebijakan industrialisasi
harus lebih diarahkan ke semua sektor secara merata.
Hayashi (2005) dalam melakukan penelitian tentang perubahan struktural
sektor perekonomian dan perdagangan yang terjadi di Indonesia. Hayashi
menggunakan pendekatan analisis Input Output (IO). Tabel IO yang digunakan
adalah 1985, 1990, 1995 dan 2000. Pada penelitian ini membahas proses
industrialisasi di Indonesia dan mencari faktor yang mendukung keberlangsungan
proses industrialisasi. Selama tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, sektor
manufaktur memberikan peningkatan kontribusi output, peningkatan ekspor dan
penurunan ketergantungan impor. Kemajuan tersebut bukan dihasilkan dari
peningkatan permintaan ekspor akan tetapi lebih disebabkan oleh depresiasi nilai
rupiah. Menurut Hayashi, penurunan investasi pada sektor manufaktur di
Indonesia dapat menjadi permasalahan untuk proses industrialisasi selanjutnya
sehingga perlu diciptakan iklim investasi yang baik terutama bagi investor asing.
2.3 Kerangka Pemikiran
Proses industrialisasi di Indonesia dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril
1993). Perkembangan kondisi perekonomian sampai dengan tahun 2008
berdasarkan kriteria negara industri dalam Ruky (2008) dan kriteria UNIDO
menunjukkan bahwa proses industrialisasi di Indonesia belum selesai. Belum
selesainya proses industrialisasi ini ditandai dengan belum masuknya Indonesia ke
dalam kategori negara industri. Bertentangan dengan kenyataan tersebut,
fenomena yang terjadi pada perekonomian Indonesia memperlihatkan dengan
40
jelas tanda-tanda terjadinya proses deindustrialisasi. Proporsi pekerja sektor
manufaktur terhadap total pekerja mengalami pertumbuhan yang negatif sejak
tahun 2002. Selain itu, pertumbuhan output sektor manufaktur dan komposisi
sektor manufaktur dalam PDB terlihat menurun sejak tahun 2005. Penelitian ini
menggunakan pendekatan Kaldorian untuk menganalisis peranan sektor
manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama proses industrialisasi dan fase
terjadinya gejala deindustrialisasi. Inti dari pendekatan Kaldorian tersebut adalah
sektor manufaktur merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Analisis
Kaldorian ini juga bisa digunakan untuk mengetahui apakah proses
deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan fenomena yang positif atau
negatif.
Setelah dilakukan pengujian secara formal atas terjadinya deindustrialisasi di
Indonesia, maka ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
terjadinya deindustrialisasi. Variabel dependen yang digunakan sebagai proxy dari
deindustrialisasi adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja
dan proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB. Faktor-faktor yang
diduga sebagai penyebab deindustrialisasi berdasarkan tinjauan teori dan empiris
antara lain adalah:
Pendapatan per kapita
Penggunaan variabel ini untuk menggambarkan kondisi permintaan terhadap
produk manufaktur. Hubungan pendapatan per kapita dengan proporsi pekerja
sektor manufaktur terhadap total pekerja dapat menggambarkan tingkat
produktivitas pekerja sektor manufaktur. Hal ini sesuai dengan Engel’s Law
dimana peningkatan pendapatan perkapita meningkatkan demand terhadap
produk manufaktur dan hal ini pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan
produktivitas pekerja sektor manufaktur. Kelebihan pekerja yang dialami
sektor manufaktur karena produktivitas pekerja sektor manufaktur relatif
sangat tinggi maka akan terjadi pergeseran struktur pekerja ke sektor yang
produktivitasnya lebih rendah.
Investasi modal tetap (fixed capital investment)
Penggunaan variabel investasi sebagai penyebab deindustrialisasi mempunyai
alasan karena pada umumnya investasi yang ditanamkan digunakan untuk
41
membeli produk manufaktur atau investasi modal tetap besifat manufacturing-
intensive.
Neraca perdagangan dan openness
Faktor ini mewakili selera konsumen terhadap produk manufaktur. Jika
permintaan produk manufaktur Indonesia rendah, yang digambarkan dengan
rendahnya neraca perdagangan produk manufaktur, maka bisa mengakibatkan
produksi sektor manufaktur menjadi berkurang, dengan asumsi ceteris
paribus. Hal tersebut menyebabkan jumlah pekerja sektor manufaktur menjadi
berkurang. Pada perekonomian yang telah maju, ekspor sektor manufaktur
berkurang dan berganti dengan knowladge-based services.
Impor barang modal, bahan baku dan barang konsumsi
Semakin meningkatnya impor barang modal untuk proses produksi akan
menyebabkan penggunaan tenaga kerja semakin berkurang. Jika penggunaan
bahan baku yang berasal dari impor berpengaruh signifikan terhadap kinerja
sektor manufaktur, maka penurunan volume impor bahan baku tanpa ada
alternatif pengganti bahan baku yang berasal dari domestik akan menurunkan
kapasitas produksi. Penurunan kapasitas produksi pada akhirnya akan
mengurangi jumlah pekerja. Impor barang konsumsi berpengaruh terhadap
domestic demand barang konsumsi. Adanya barang konsumsi yang berasal
dari impor dapat menyebabkan produk dalam negeri memiliki saingan. Jika
daya saing barang konsumsi produksi dalam negeri lebih rendah daripada
produk impor, maka akan menurunkan kapasitas produksi barang konsumsi
dalam negeri. Penurunan kapasitas produksi barang konsumsi dalam negeri
pada akhirnya juga akan mengurangi jumlah pekerja.
Ekspor ke beberapa negara tujuan utama
Negara tujuan ekspor yang memiliki nilai transaksi terbesar adalah AS, Jepang
dan Singapura. Pengidentifikasian negara tujuan ekspor utama dilakukan
untuk mengetahui apakah ekspor ke 3 negara tersebut berpengaruh signifikan
terhadap terjadinya gelaja deindustrialisasi di Indonesia.
Impor dari China
Membanjirnya produk impor yang berasal dari China utamanya dalam 3 tahun
42
terakhir membuat faktor ini turut diduga menjadi penyebab terjadinya gelaja
deindustrialisasi di Indonesia. Faktor ini juga bisa digunakan sebagai bahan
kajian berlakunya perjanjian ASEAN China-Free Trade Area (AC-FTA) pada
tahun 2009.
Hasil analisis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembuat kebijakan
bidang perekonomian menyangkut fenomena terjadinya deindustrialisasi agar
kebijakannya lebih tepat sasaran dan mampu memberikan pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Gambar 8 menggambarkan kerangka pemikiran
konseptual dari penelitian ini.
Gambar 8 Kerangka pemikiran konseptual
2.4 Hipotesis Penelitian
Beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Sektor manufaktur tetap menjadi mesin pertumbuhan bagi perekonomian
Indonesia.
2. Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia cenderung menuju ke arah yang
negatif (deindustrialisasi negatif).
3. Pengaruh faktor-faktor yang diduga menyebabkan terjadinya proses
deindustrialisasi di Indonesia sangat signifikan.
Proses industrialisasi di Indonesia belum selesai akan tetapi telah terjadi gejala dini deindustrialisasi sejak tahun 2002
Peranan sektor manufaktur sejak dimulainya proses
industrialisasi
Indentifikasi jenis deindustrialisasi
(negatif atau positif)
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya proses deindustrialisasi
Saran implikasi kebijakan yang tepat atas fenomena deindustrialisasi yang telah terjadi