2 Pembahasan Pasca Mortem
-
Upload
indri-hadiansyah -
Category
Documents
-
view
150 -
download
1
Transcript of 2 Pembahasan Pasca Mortem
INDRI HADIANSYAH240210100100
VI. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini dilakukan pengujian perubahan fisik, kimia, dan
fungsional pasca mortem pada daging ikan. Pengamatan-pengamatan yang
dilakukan dalam percobaan kali ini adalah pengukuran pH, pengukuran suhu,
pengukuran water holding capacity (WHC), dan pengamatan kekerasan daging
secara subjektif. Sebelum dilakukan berbagai pengamatan tersebut, ikan yang
segar dimatikan terlebih dahulu dan diberi berbagai perlakuan agar dapat
dilakukan pengamatan-pengamatan tadi. Ikan yang digunakan harus ikan yang
benar-benar baru mati supaya fase-fase keadaan ikan pasca kematian tersebut
dapat diamati dengan baik. Fase-fase tersebut antara lain adalah fase pre-rigor,
fase rigor mortis, dan fase post-rigor.
Berikut merupaka hasil pengamatan dan pembahasan terhadap pengamatan
yang dilakukan pada ikan pasca kematian.
6.1 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan cara mematikan ikan terlebih dahulu,
lalu setelah ikan tidak menggelepar lagi diambil dagingnya sebanyak 5 gr,
kemudian ditambahkan air destilasi (air yang bersih dari logam) dengan pH 7
sebanyak 1 ml. Gunakan mortar untuk mencampurkan daging dan air lalu dibaca
nilai pHnya menggunakan pH meter. Pembacaan pH ini dilakukan selama 10
menit selama satu jam. Hal ini dilakukan agar setiap perubahan pH yang terjadi
dalam jangka waktu tertentu dapat diamati. Berikut hasil pengukuran pH pada
daging ikan.
Tabel 6.1. Hasil Pengamatan Pengukuran pH
Menit ke- 0’ 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’
pHSuhu Ruang 6,27 4,59 3,35 -* -* -* -*
Suhu Refrigator
6,55 6,68 6,41 6.58 6.59 6,50 6,13
Sumber: dokumentasi pribadi,2012
Keterangan : * Tidak teramati
Berdasarkan tabel diatas dapat diamati perbedaan pH pada ikan yang
disimpan dalam suhu ruang dan refrigator. Terlihat pada tabel, penurunan pH
daging ikan yang disimpan pada suhu ruang terlihat cukup drastis dibandingkan
INDRI HADIANSYAH240210100100
dengan penyimpanan daging ikan pada suhu refrigator, pH daging ikan yang pada
menit ke-0 berada pada kisaran 6,27 menurun cukup drastis pada menit ke-10
menjadi 4,59, dan mengalami penurunan lagi pada menit ke-20 menjadi 3,35.
Pengamatan pH menit ke 30, 40, 50, dan 60 tidak dapat dilakukan karena terjadi
kesalahan selama praktikum. Sedangkan penurunan pH pada sampel ikan yang
disimpan dalam suhu refrigator tidak terlalu drastis malah cenderung tidak stabil.
Hal ini dikarenakan terjadinya kenaikan pH pada menit ke-30 sampai menit ke-40
dan mengalami penurunan kembali pada menit ke-50 sampai menit ke-60. Hal ini
tidak sesuai dengan literatur yang ada, karena seharusnya semakin lama waktu
penyimpanan daging ikan pasca mortem, maka pH daging tersebut akan ikut
menurun pula. Keadaan ini dikarenakan glukosa yang glikogen pada ikan yang
telah mati mengalami glikolisis menjadi asam piruvat. Asam piruvat ini
selanjutnya akan diubah kembali menjadi asam laktat. Akan tetapi, pada ikan yang
telah disimpan terlalu lama, pH ikan tersebut juga dapat meningkat kembali akibat
timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basis, misalnya ammonia, trimetilamin,
dan senyawa-senyawa volatil lainnya. Jadi, dari hasil pengamatan dapat
disimpulkan bahwa kemungkinan ikan yang digunakan belum dalam keadaan
yang benar-benar mati atau masih berada pada fase pre-rigor sehingga masih
terjadi sedikit kontraksi otot. Kontraksi otot ini yang menyebabkan glukosa dan
glikogen lebih banyak diubah menjadi ATP daripada dibuat menjadi asam piruvat
lalu asam laktat sehingga pHnya tidak terlalu rendah atau bahkan bisa naik lagi.
Perbedaan hasil pada sampel daging ikan yang disimpan dalam suhu ruang
dan daging ikan yang disimpan dalam suhu refrigasi terjadi karena adanya
penghambatan proses autolisis dan kerusakan yang diakibatkan oleh
mikroorganisme yang dapat menurunkan pH pada sampel daging ikan tersebut.
6.2 Pengukuran Suhu
Pada percobaan pengukuran suhu ini, sampel ikan terlebih dahulu
disembelih hingga sudah tidak menggelepar-gelepar lagi. Kemudian dilakukan
pengukuran suhu setiap 10 menit selama 1 jam. Berikut merupakan hasil
pengamatan pengukuran suhu pada ikan yang telah mati.
Tabel 6.2. Hasil Pengamatan Pengukuran Suhu
INDRI HADIANSYAH240210100100
Menit ke- 0’ 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’
Suhu
Suhu Ruang
30OC 29 OC 28 OC 28 OC 28 OC 28 OC 28 OC
Suhu Refrigator
34OC 34OC 34OC 34OC 28OC 10OC 8OC
Sumber: dokumentasi pribadi,2012
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada sampel daging ikan
menunjukkan terjadinya penurunan suhu seiring bertambahnya waktu. Pada ikan
yang disimpan dalam suhu ruang penurunan suhu terjadi pada menit ke-0 sampai
menit ke-10, selanjutnya suhu sampel daging ikan konstan sampai pengamatan
berakhir yakni pada menit ke-60. Sedangkan penurunan daging ikan pada sampel
yang disimpan dalam suhu refrigator cukup konstan pada menit ke-0 sampai
menit ke-30 dan mulai mengalami penururnan yang cukup drastis pada menit ke-
40 sampai menit ke-60. Keadaan ini dikarenakan glukosa dan glikogen pada
sampel daging ikan tersebut sudah tidak dibuat menjadi ATP lagi sehingga panas
yang dihasilkan juga berkurang.
6.3 Pengukuran Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity atau daya ikat air didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri
maupun yang berasal dari luar. Banyaknya air yang berikatan dengan protein pada
WHC merupakan fungsi dari komposisi asam amino dan bentuk proteinnya,
seperti banyaknya gugus polar, anion dan kation yang ada di dalamnya. Proses
pembentukan gel melibatkan garam, protein dan air, sehingga reaksi antara
protein-air-garam memegang peranan yang sangat penting. Untuk mengamati
daya ikat air pada ikan yang telah mati maka pertama kali yang dilakukan adalah
mematikan ikan. Kemudian dari ikan tersebut diambil dagingnya sebanyak 10
gram dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu diberi aquades sebanyak 10
ml. Fungsi penambahan air pada daging sebelum disentrifus adalah supaya
memancing air keluar karena sebelum ditambahkan air daging dalam keadaan
‘pekat’ atau konsentrasi airnya rendah sehingga air akan lebih banyak diikat dan
sulit untuk keluar. Dengan ditambahkannya air, air akan berosmosis masuk
kedalam sel dan membantu melarutkan air yang terikat. Setelah ditambahkan air,
tabung tersebut disimpan di dalam chiller di kulkas dengan tujuan untuk
INDRI HADIANSYAH240210100100
mempertahankan keadaannya (khususnya supaya tidak terjadi kontaminasi oleh
mikroorganisme) sambil menunggu airnya larut. Setelah itu tabung disentrifus
dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Lalu cairan dipisahkan dari
campuran dan diukur volumenya. Berikut hasil pengamatan WHC pada daging
ikan.
Tabel 6.3. Hasil Pengamatan Pengukuran Water Holding Capacity (WHC)Suhu Penyimpanan
IkanWaktu Berat Ikan
Volume Awal
Volume Akhir
%WHC
0’
Suhu ruang
10,0383 g 10 ml 24,9 %
Suhu refrigator
10,0102 g 10 ml 12 ml
30’
Suhu ruang
10,0504 g 10 ml 29,85 %
Suhu refrigator
10,0570 g 10 ml 13 ml
Sumber: dokumentasi pribadi,2012
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa semakin lama, jumlah air
yang dihasilkan pada daging akan semakin banyak. Hal ini berarti daya ikat air
pada daging semakin lama akan semakin sedikit. Selain itu, daya ikat air juga
dipengaruhi oleh pH daging tersebut. Semakin lama, persediaan glikogen dan
glukosa lebih banyak diubah menjadi asam laktat sehingga dapat menurunkan pH.
Di samping itu, pH yang rendah juga menurunkan daya ikat air.
6.4 Pengamatan Kekerasan Daging secara Subyektif
Pengamatan kekerasan daging dilakukan terlebih dahulu dengan
mematikan ikan. Lalu dilakukan pengamatan setiap 10 menit selama 1 jam,
dengan cara menekankan ujung jari keatas permukaan daging ikan. Berikut hasil
pengamatan kekerasan daging pada ikan.
Tabel 6.4. Hasil Pengamatan Kekerasan Daging secara Subyektif
INDRI HADIANSYAH240210100100
WaktuSuhu
Penyimpanan
Ikan
WarnaAroma Kekerasan LendirDekat
MataMata Sisik
0’
Suhu ruang
Merah (++++)
Jernih (++++),
menonjol (++++)
Hitam (++++)
Segar (++++)
Kenyal (++++)
Berlendir (++++)
Suhu refrigator
Merahsegar CoklatHitamKee
masanAmis (+)
Keras (+)
10’
Suhu ruang
Merah (++++)
Jernih (++++),
menonjol (++++)
Hitam (++++)
Segar (+++),
amis (++)
Kenyal (+++)
Berlendir (+++)
Suhu refrigator
Merahsegar CoklatHitamKee
masanAmis (+)
Keras (+)
20’
Suhu ruang
Merah (++++)
Jernih (+++),
menonjol (+++)
Hitam (+++)
Segar (++), amis
(++)
Kenyal (++)
Berlendir (++)
Suhu refrigator
MerahCoklatKehi
tamanHitamKee
masanAmis (+)
Keras (+)
30’
Suhu ruang
Merah (+++)
Jernih (+++),
menonjol (++)
Hitam (+++), pucat
(+)
Segar (+),
amis (+++)
Kenyal (++)
Berlendir (++)
Suhu refrigator
MerahHatiCoklatKehi
tamanHitamKee
masanAmis (+)
Keras (+)
40’
Suhu ruang
Merah (+++)
Jernih (+++),
menonjol (++)
Hitam (++), pucat
(++)
Amis (++++)
Kenyal (+)
Berlendir (++)
Suhu refrigator
MerahKecoklatan
CoklatTuaHitamKee
masanAmis (++)
Keras (++)
50’
Suhu ruang
Merah (+++)
Jernih (+++),
menonjol (++)
Hitam (++), pucat
(++)
Amis (+++++)
KenyalBerlendir
(+)
Suhu refrigator
MerahKecoklatan
CoklatTuaHitamKee
masanAmis (+++)
Keras (++)
60’
Suhu ruang
Merah (+++)
Jernih (+++),
menonjol (++)
Hitam (++), pucat
(++)
Amis (+++++)
KenyalBerlendir
(+)
Suhu refrigator
MerahKecoklatan
CoklatTuaHitamKee
masanAmis (+++)
Keras (++)
Sumber: dokumentasi pribadi,2012
INDRI HADIANSYAH240210100100
Keterangan:
Warna + : semakin merah, jernih, menonjol, dan hitam
Bau + : semakin segar dan amis
Kekerasan + : semakin kenyal dan keras
Lendir + : semakin berlendir
Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat bahwa warna dekat mata, mata,
dan sisik pada sampel ikan semakin lama proses penyimpanannya makan akan
menurunkan kualitas dari sampel tersebut. Semakin lama warna dekta mata pada
ikan akan lebih memudar seiring dengan pertambahan waktu penyimpanan.
Warna mata pada ikan pun akan mengalami kemunduran pula, warna mata yang
tadinya jernih semakin lama akan semakin memudar. Sedangkan untuk sampel
yang disimpan dalam suhu refrigator, warna mata yang tadinya coklat akan
berubah menjadi lebih coklat tua. Sama halnya dengan pengamatan diatas, sisik
pada ikan semakin lama proses penyimpanan maka akan terjadi kemunduran
kulaitas pada masing-masing sampel baik yang disimpan dalam suhu ruang
maupun suhu refrigasi.
Aroma ikan pun semakin lama semakin berbau amis. Adanya bau amis
akibat kerusakan kimiawi yang terkait dengan lemak ikan yang merupakan
fosfolipida yang kaya akan tri-metil-amin. Tri-metil-amin dibebaskan oleh
aktivitas enzim pada fosfolipid dan menimbulkan bau amis. Ikan yang baru
dikeluarkan dari air pada hakekatnya tidak memiliki bau amis. Bau busuk pada
ikan juga disebabkan oleh oksidasi lemak. Lemak ikan umumnya tidak jenuh
sehingga mudah teroksidasi, dengan menghasilkan bau dan cita rasa menyimpang,
antara lain tengik.
Pengamatan pada lendir menunjukan hasil yang tidak sesuai dengan
literatur yang ada. Seharusnya semakin lama, lendir yang dihasilkan akan semakin
banyak. Hyperaemia atau proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada
di dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di
sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas
suatu organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat
yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
INDRI HADIANSYAH240210100100
Selain lendir, kekerasan ikan juga semakin lama akan semakin lembek.
Pada sampel daging yang disimpan dalam suhu refrigator, kekerasan sampel
semkain lama semkain menjadi lebih keras. Hal ini menunjukan bahwa
penyimpanan daging ikan pasca mortem pada suhu refrigator akan
mempertahankan kualitas dari sampel tersebut. Penurunan kekerasan ikan
dikarenakan terjadinya proses autolisis. Fase ini terjadi setelah terjadinya fase
rigor mortis. Pada fase ini ditandai ikan menjadi lemas kembali. Lembeknya
daging Ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi
pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi
pertumbuhan bakteri.
Jadi, semakin lama ikan dibiarkan tanpa perlakuan pengawetan seperti
penyimpanan dalam suhu rendah maka akan semakin cepat pula ikan tersebut
menjadi rusak.
INDRI HADIANSYAH240210100100
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah :
1. Setelah kematian, pH daging akan menurun seiring dengan pertambahan
waktu.
2. Suhu ikan pasca kematian akan menurun karena tidak dihasilkan lagi ATP
dan panas
3. Water Holding Capacity dari daging ikan semakin lama akan semakin
menurun diakibatkan penurunan pH yang menyebabkan turunnya daya
ikat air.
4. Setelah kematian, ikan akan mengalami perubahan tekstur menjadi lebih
lembek, lebih berlendir, dan aroma yang lebih amis.
5. Semakin lama ikan dibiarkan, maka warna ikan tersebut akan semakin
mengalami penurunan kulaitas.
6. semakin lama ikan dibiarkan tanpa perlakuan pengawetan seperti
penyimpanan dalam suhu rendah maka akan semakin cepat pula ikan
tersebut menjadi rusak.
7.2 Saran
1. Sebaiknya ikan yang digunakan dalam pengamatan seperti ini harus dalam
keadaan benar-benar mati supaya hasilnya dapat sesuai dengan literatur.
2. Sebelum dilakukan pencucian bahan-bahan praktikum seharusnya
dilakukan pengecekan apakan bahan tersebut sudah beres dilakukan
pengamatan atau belum.
INDRI HADIANSYAH240210100100
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Water Holding Capacity. Available at : http://foodreview.biz
( diakses 22 September 2012).
Buckle,K.A.,R.A. Edwards, G.H.Fleet, dan M.Wootton.1985.Ilmu pangan.
Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press),Jakarta.
Tjahjadi, C. Dan M. Harta. 2010. Pengantar Teknologi Pangan : Volume 2.
Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada.