2 Pembahasan Pasca Mortem

14
INDRI HADIANSYAH 240210100100 VI. PEMBAHASAN Praktikum kali ini dilakukan pengujian perubahan fisik, kimia, dan fungsional pasca mortem pada daging ikan. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan dalam percobaan kali ini adalah pengukuran pH, pengukuran suhu, pengukuran water holding capacity (WHC), dan pengamatan kekerasan daging secara subjektif. Sebelum dilakukan berbagai pengamatan tersebut, ikan yang segar dimatikan terlebih dahulu dan diberi berbagai perlakuan agar dapat dilakukan pengamatan-pengamatan tadi. Ikan yang digunakan harus ikan yang benar-benar baru mati supaya fase-fase keadaan ikan pasca kematian tersebut dapat diamati dengan baik. Fase-fase tersebut antara lain adalah fase pre-rigor, fase rigor mortis, dan fase post-rigor. Berikut merupaka hasil pengamatan dan pembahasan terhadap pengamatan yang dilakukan pada ikan pasca kematian. 6.1 Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan dengan cara mematikan ikan terlebih dahulu, lalu setelah ikan tidak menggelepar lagi diambil dagingnya sebanyak 5 gr, kemudian ditambahkan air destilasi (air yang bersih dari logam) dengan pH 7 sebanyak 1 ml. Gunakan mortar untuk mencampurkan daging dan air lalu dibaca nilai pHnya menggunakan pH meter. Pembacaan pH ini dilakukan selama

Transcript of 2 Pembahasan Pasca Mortem

Page 1: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

VI. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini dilakukan pengujian perubahan fisik, kimia, dan

fungsional pasca mortem pada daging ikan. Pengamatan-pengamatan yang

dilakukan dalam percobaan kali ini adalah pengukuran pH, pengukuran suhu,

pengukuran water holding capacity (WHC), dan pengamatan kekerasan daging

secara subjektif. Sebelum dilakukan berbagai pengamatan tersebut, ikan yang

segar dimatikan terlebih dahulu dan diberi berbagai perlakuan agar dapat

dilakukan pengamatan-pengamatan tadi. Ikan yang digunakan harus ikan yang

benar-benar baru mati supaya fase-fase keadaan ikan pasca kematian tersebut

dapat diamati dengan baik. Fase-fase tersebut antara lain adalah fase pre-rigor,

fase rigor mortis, dan fase post-rigor.

Berikut merupaka hasil pengamatan dan pembahasan terhadap pengamatan

yang dilakukan pada ikan pasca kematian.

6.1 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan cara mematikan ikan terlebih dahulu,

lalu setelah ikan tidak menggelepar lagi diambil dagingnya sebanyak 5 gr,

kemudian ditambahkan air destilasi (air yang bersih dari logam) dengan pH 7

sebanyak 1 ml. Gunakan mortar untuk mencampurkan daging dan air lalu dibaca

nilai pHnya menggunakan pH meter. Pembacaan pH ini dilakukan selama 10

menit selama satu jam. Hal ini dilakukan agar setiap perubahan pH yang terjadi

dalam jangka waktu tertentu dapat diamati. Berikut hasil pengukuran pH pada

daging ikan.

Tabel 6.1. Hasil Pengamatan Pengukuran pH

Menit ke- 0’ 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’

pHSuhu Ruang 6,27 4,59 3,35 -* -* -* -*

Suhu Refrigator

6,55 6,68 6,41 6.58 6.59 6,50 6,13

Sumber: dokumentasi pribadi,2012

Keterangan : * Tidak teramati

Berdasarkan tabel diatas dapat diamati perbedaan pH pada ikan yang

disimpan dalam suhu ruang dan refrigator. Terlihat pada tabel, penurunan pH

daging ikan yang disimpan pada suhu ruang terlihat cukup drastis dibandingkan

Page 2: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

dengan penyimpanan daging ikan pada suhu refrigator, pH daging ikan yang pada

menit ke-0 berada pada kisaran 6,27 menurun cukup drastis pada menit ke-10

menjadi 4,59, dan mengalami penurunan lagi pada menit ke-20 menjadi 3,35.

Pengamatan pH menit ke 30, 40, 50, dan 60 tidak dapat dilakukan karena terjadi

kesalahan selama praktikum. Sedangkan penurunan pH pada sampel ikan yang

disimpan dalam suhu refrigator tidak terlalu drastis malah cenderung tidak stabil.

Hal ini dikarenakan terjadinya kenaikan pH pada menit ke-30 sampai menit ke-40

dan mengalami penurunan kembali pada menit ke-50 sampai menit ke-60. Hal ini

tidak sesuai dengan literatur yang ada, karena seharusnya semakin lama waktu

penyimpanan daging ikan pasca mortem, maka pH daging tersebut akan ikut

menurun pula. Keadaan ini dikarenakan glukosa yang glikogen pada ikan yang

telah mati mengalami glikolisis menjadi asam piruvat. Asam piruvat ini

selanjutnya akan diubah kembali menjadi asam laktat. Akan tetapi, pada ikan yang

telah disimpan terlalu lama, pH ikan tersebut juga dapat meningkat kembali akibat

timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basis, misalnya ammonia, trimetilamin,

dan senyawa-senyawa volatil lainnya. Jadi, dari hasil pengamatan dapat

disimpulkan bahwa kemungkinan ikan yang digunakan belum dalam keadaan

yang benar-benar mati atau masih berada pada fase pre-rigor sehingga masih

terjadi sedikit kontraksi otot. Kontraksi otot ini yang menyebabkan glukosa dan

glikogen lebih banyak diubah menjadi ATP daripada dibuat menjadi asam piruvat

lalu asam laktat sehingga pHnya tidak terlalu rendah atau bahkan bisa naik lagi.

Perbedaan hasil pada sampel daging ikan yang disimpan dalam suhu ruang

dan daging ikan yang disimpan dalam suhu refrigasi terjadi karena adanya

penghambatan proses autolisis dan kerusakan yang diakibatkan oleh

mikroorganisme yang dapat menurunkan pH pada sampel daging ikan tersebut.

6.2 Pengukuran Suhu

Pada percobaan pengukuran suhu ini, sampel ikan terlebih dahulu

disembelih hingga sudah tidak menggelepar-gelepar lagi. Kemudian dilakukan

pengukuran suhu setiap 10 menit selama 1 jam. Berikut merupakan hasil

pengamatan pengukuran suhu pada ikan yang telah mati.

Tabel 6.2. Hasil Pengamatan Pengukuran Suhu

Page 3: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

Menit ke- 0’ 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’

Suhu

Suhu Ruang

30OC 29 OC 28 OC 28 OC 28 OC 28 OC 28 OC

Suhu Refrigator

34OC 34OC 34OC 34OC 28OC 10OC 8OC

Sumber: dokumentasi pribadi,2012

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada sampel daging ikan

menunjukkan terjadinya penurunan suhu seiring bertambahnya waktu. Pada ikan

yang disimpan dalam suhu ruang penurunan suhu terjadi pada menit ke-0 sampai

menit ke-10, selanjutnya suhu sampel daging ikan konstan sampai pengamatan

berakhir yakni pada menit ke-60. Sedangkan penurunan daging ikan pada sampel

yang disimpan dalam suhu refrigator cukup konstan pada menit ke-0 sampai

menit ke-30 dan mulai mengalami penururnan yang cukup drastis pada menit ke-

40 sampai menit ke-60. Keadaan ini dikarenakan glukosa dan glikogen pada

sampel daging ikan tersebut sudah tidak dibuat menjadi ATP lagi sehingga panas

yang dihasilkan juga berkurang.

6.3 Pengukuran Water Holding Capacity (WHC)

Water Holding Capacity atau daya ikat air didefinisikan sebagai

kemampuan daging untuk mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri

maupun yang berasal dari luar. Banyaknya air yang berikatan dengan protein pada

WHC merupakan fungsi dari komposisi asam amino dan bentuk proteinnya,

seperti banyaknya gugus polar, anion dan kation yang ada di dalamnya. Proses

pembentukan gel melibatkan garam, protein dan air, sehingga reaksi antara

protein-air-garam memegang peranan yang sangat penting. Untuk mengamati

daya ikat air pada ikan yang telah mati maka pertama kali yang dilakukan adalah

mematikan ikan. Kemudian dari ikan tersebut diambil dagingnya sebanyak 10

gram dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu diberi aquades sebanyak 10

ml. Fungsi penambahan air pada daging sebelum disentrifus adalah supaya

memancing air keluar karena sebelum ditambahkan air daging dalam keadaan

‘pekat’ atau konsentrasi airnya rendah sehingga air akan lebih banyak diikat dan

sulit untuk keluar. Dengan ditambahkannya air, air akan berosmosis masuk

kedalam sel dan membantu melarutkan air yang terikat. Setelah ditambahkan air,

tabung tersebut disimpan di dalam chiller di kulkas dengan tujuan untuk

Page 4: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

mempertahankan keadaannya (khususnya supaya tidak terjadi kontaminasi oleh

mikroorganisme) sambil menunggu airnya larut. Setelah itu tabung disentrifus

dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Lalu cairan dipisahkan dari

campuran dan diukur volumenya. Berikut hasil pengamatan WHC pada daging

ikan.

Tabel 6.3. Hasil Pengamatan Pengukuran Water Holding Capacity (WHC)Suhu Penyimpanan

IkanWaktu Berat Ikan

Volume Awal

Volume Akhir

%WHC

0’

Suhu ruang

10,0383 g 10 ml 24,9 %

Suhu refrigator

10,0102 g 10 ml 12 ml

30’

Suhu ruang

10,0504 g 10 ml 29,85 %

Suhu refrigator

10,0570 g 10 ml 13 ml

Sumber: dokumentasi pribadi,2012

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa semakin lama, jumlah air

yang dihasilkan pada daging akan semakin banyak. Hal ini berarti daya ikat air

pada daging semakin lama akan semakin sedikit. Selain itu, daya ikat air juga

dipengaruhi oleh pH daging tersebut. Semakin lama, persediaan glikogen dan

glukosa lebih banyak diubah menjadi asam laktat sehingga dapat menurunkan pH.

Di samping itu, pH yang rendah juga menurunkan daya ikat air.

6.4 Pengamatan Kekerasan Daging secara Subyektif

Pengamatan kekerasan daging dilakukan terlebih dahulu dengan

mematikan ikan. Lalu dilakukan pengamatan setiap 10 menit selama 1 jam,

dengan cara menekankan ujung jari keatas permukaan daging ikan. Berikut hasil

pengamatan kekerasan daging pada ikan.

Tabel 6.4. Hasil Pengamatan Kekerasan Daging secara Subyektif

Page 5: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

WaktuSuhu

Penyimpanan

Ikan

WarnaAroma Kekerasan LendirDekat

MataMata Sisik

0’

Suhu ruang

Merah (++++)

Jernih (++++),

menonjol (++++)

Hitam (++++)

Segar (++++)

Kenyal (++++)

Berlendir (++++)

Suhu refrigator

Merahsegar CoklatHitamKee

masanAmis (+)

Keras (+)

10’

Suhu ruang

Merah (++++)

Jernih (++++),

menonjol (++++)

Hitam (++++)

Segar (+++),

amis (++)

Kenyal (+++)

Berlendir (+++)

Suhu refrigator

Merahsegar CoklatHitamKee

masanAmis (+)

Keras (+)

20’

Suhu ruang

Merah (++++)

Jernih (+++),

menonjol (+++)

Hitam (+++)

Segar (++), amis

(++)

Kenyal (++)

Berlendir (++)

Suhu refrigator

MerahCoklatKehi

tamanHitamKee

masanAmis (+)

Keras (+)

30’

Suhu ruang

Merah (+++)

Jernih (+++),

menonjol (++)

Hitam (+++), pucat

(+)

Segar (+),

amis (+++)

Kenyal (++)

Berlendir (++)

Suhu refrigator

MerahHatiCoklatKehi

tamanHitamKee

masanAmis (+)

Keras (+)

40’

Suhu ruang

Merah (+++)

Jernih (+++),

menonjol (++)

Hitam (++), pucat

(++)

Amis (++++)

Kenyal (+)

Berlendir (++)

Suhu refrigator

MerahKecoklatan

CoklatTuaHitamKee

masanAmis (++)

Keras (++)

50’

Suhu ruang

Merah (+++)

Jernih (+++),

menonjol (++)

Hitam (++), pucat

(++)

Amis (+++++)

KenyalBerlendir

(+)

Suhu refrigator

MerahKecoklatan

CoklatTuaHitamKee

masanAmis (+++)

Keras (++)

60’

Suhu ruang

Merah (+++)

Jernih (+++),

menonjol (++)

Hitam (++), pucat

(++)

Amis (+++++)

KenyalBerlendir

(+)

Suhu refrigator

MerahKecoklatan

CoklatTuaHitamKee

masanAmis (+++)

Keras (++)

Sumber: dokumentasi pribadi,2012

Page 6: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

Keterangan:

Warna + : semakin merah, jernih, menonjol, dan hitam

Bau + : semakin segar dan amis

Kekerasan + : semakin kenyal dan keras

Lendir + : semakin berlendir

Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat bahwa warna dekat mata, mata,

dan sisik pada sampel ikan semakin lama proses penyimpanannya makan akan

menurunkan kualitas dari sampel tersebut. Semakin lama warna dekta mata pada

ikan akan lebih memudar seiring dengan pertambahan waktu penyimpanan.

Warna mata pada ikan pun akan mengalami kemunduran pula, warna mata yang

tadinya jernih semakin lama akan semakin memudar. Sedangkan untuk sampel

yang disimpan dalam suhu refrigator, warna mata yang tadinya coklat akan

berubah menjadi lebih coklat tua. Sama halnya dengan pengamatan diatas, sisik

pada ikan semakin lama proses penyimpanan maka akan terjadi kemunduran

kulaitas pada masing-masing sampel baik yang disimpan dalam suhu ruang

maupun suhu refrigasi.

Aroma ikan pun semakin lama semakin berbau amis. Adanya bau amis

akibat kerusakan kimiawi yang terkait dengan lemak ikan yang merupakan

fosfolipida yang kaya akan tri-metil-amin. Tri-metil-amin dibebaskan oleh

aktivitas enzim pada fosfolipid dan menimbulkan bau amis. Ikan yang baru

dikeluarkan dari air pada hakekatnya tidak memiliki bau amis. Bau busuk pada

ikan juga disebabkan oleh oksidasi lemak. Lemak ikan umumnya tidak jenuh

sehingga mudah teroksidasi, dengan menghasilkan bau dan cita rasa menyimpang,

antara lain tengik.

Pengamatan pada lendir menunjukan hasil yang tidak sesuai dengan

literatur yang ada. Seharusnya semakin lama, lendir yang dihasilkan akan semakin

banyak. Hyperaemia atau proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada

di dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di

sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas

suatu organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat

yang baik bagi pertumbuhan bakteri.

Page 7: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

Selain lendir, kekerasan ikan juga semakin lama akan semakin lembek.

Pada sampel daging yang disimpan dalam suhu refrigator, kekerasan sampel

semkain lama semkain menjadi lebih keras. Hal ini menunjukan bahwa

penyimpanan daging ikan pasca mortem pada suhu refrigator akan

mempertahankan kualitas dari sampel tersebut. Penurunan kekerasan ikan

dikarenakan terjadinya proses autolisis. Fase ini terjadi setelah terjadinya fase

rigor mortis. Pada fase ini ditandai ikan menjadi lemas kembali. Lembeknya

daging Ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi

pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi

pertumbuhan bakteri.

Jadi, semakin lama ikan dibiarkan tanpa perlakuan pengawetan seperti

penyimpanan dalam suhu rendah maka akan semakin cepat pula ikan tersebut

menjadi rusak.

Page 8: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah :

1. Setelah kematian, pH daging akan menurun seiring dengan pertambahan

waktu.

2. Suhu ikan pasca kematian akan menurun karena tidak dihasilkan lagi ATP

dan panas

3. Water Holding Capacity dari daging ikan semakin lama akan semakin

menurun diakibatkan penurunan pH yang menyebabkan turunnya daya

ikat air.

4. Setelah kematian, ikan akan mengalami perubahan tekstur menjadi lebih

lembek, lebih berlendir, dan aroma yang lebih amis.

5. Semakin lama ikan dibiarkan, maka warna ikan tersebut akan semakin

mengalami penurunan kulaitas.

6. semakin lama ikan dibiarkan tanpa perlakuan pengawetan seperti

penyimpanan dalam suhu rendah maka akan semakin cepat pula ikan

tersebut menjadi rusak.

7.2 Saran

1. Sebaiknya ikan yang digunakan dalam pengamatan seperti ini harus dalam

keadaan benar-benar mati supaya hasilnya dapat sesuai dengan literatur.

2. Sebelum dilakukan pencucian bahan-bahan praktikum seharusnya

dilakukan pengecekan apakan bahan tersebut sudah beres dilakukan

pengamatan atau belum.

Page 9: 2 Pembahasan Pasca Mortem

INDRI HADIANSYAH240210100100

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Water Holding Capacity. Available at : http://foodreview.biz

( diakses 22 September 2012).

Buckle,K.A.,R.A. Edwards, G.H.Fleet, dan M.Wootton.1985.Ilmu pangan.

Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press),Jakarta.

Tjahjadi, C. Dan M. Harta. 2010. Pengantar Teknologi Pangan : Volume 2.

Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Universitas Padjadjaran.

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar

Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada.