Hipotensi Pasca Operasi

30
BAB I PENDAHULUAN Pasca anastesia merupakan periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan dan anestesia 1 . Periode ini akan berakhir ketika pasien pulih dari pengaruh anestesia. Periode ini dikatakan kritis karena pada tindakan anestesia dan pembedahan akan terjadi gangguan fisiologis tubuh yang berefek pada berbagai sistem organ pasien. Beberapa komplikasi pasca operasi yang sering terjadi adalah postoperative nausea and vomiting (PONV), hipoksia, hipotermia dan menggigil, serta ketidakstabilan kardiovaskular. Studi prospektif yang dilakukan pada 18.000 pasien di ruang pemulihan menyatakan bahwa sebesar 24% dari jumlah tersebut mengalami komplikasi pasca anestesia. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah PONV 9,8%, obstruksi saluran nafas 6,8%, dan hipotensi 2,7%. Walaupun presentase kejadian PONV cukup tinggi, tetapi komplikasi pasca anestesia yang dikatakan cukup serius salah satunya adalah ketidakstabilan hemodinamik 2 . Anestesia umum maupun regional dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik pada pasien, seperti hipotensi sistemik, hipertensi sistemik, takikardi, maupun bradikardi. Semua bentuk komplikasi tersebut 1

description

Anestesi

Transcript of Hipotensi Pasca Operasi

Page 1: Hipotensi Pasca Operasi

BAB I

PENDAHULUAN

Pasca anastesia merupakan periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan

dan anestesia1. Periode ini akan berakhir ketika pasien pulih dari pengaruh

anestesia. Periode ini dikatakan kritis karena pada tindakan anestesia dan

pembedahan akan terjadi gangguan fisiologis tubuh yang berefek pada berbagai

sistem organ pasien. Beberapa komplikasi pasca operasi yang sering terjadi adalah

postoperative nausea and vomiting (PONV), hipoksia, hipotermia dan menggigil,

serta ketidakstabilan kardiovaskular. Studi prospektif yang dilakukan pada 18.000

pasien di ruang pemulihan menyatakan bahwa sebesar 24% dari jumlah tersebut

mengalami komplikasi pasca anestesia. Komplikasi yang paling sering terjadi

adalah PONV 9,8%, obstruksi saluran nafas 6,8%, dan hipotensi 2,7%. Walaupun

presentase kejadian PONV cukup tinggi, tetapi komplikasi pasca anestesia yang

dikatakan cukup serius salah satunya adalah ketidakstabilan hemodinamik2.

Anestesia umum maupun regional dapat menyebabkan ketidakstabilan

hemodinamik pada pasien, seperti hipotensi sistemik, hipertensi sistemik,

takikardi, maupun bradikardi. Semua bentuk komplikasi tersebut dapat terjadi

secara bersamaan maupun sendiri-sendiri2. Evaluasi dan penanganan awal dari

ketidakstabilan hemodinamik ini sangat penting karena dapat menurunkan angka

mortalitas dan morbiditas pasien di ruang pemulihan. Untuk itulah seorang

anestesiologis harus mampu melakukan tindakan resusitasi pada berbagai situasi

kegawatdaruratan medis tersebut serta pada saat bersamaan mampu memberikan

obat-obatan anestesia yang dapat menstabilkan keadaan pasien3.

Hipotensi sering didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan sistolik

pasien berada di bawah 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sebesar 40% atau

lebih dari tekanan darah normal pasien sehari-hari3. Hipotensi yang terjadi pasca

operasi bisa disebabkan oleh 3 hal, yakni hipovolemia (penurunan preload),

distributif (penurunan afterload), atau kardiogenik (kegagalan pompa intrinsik)2.

1

Page 2: Hipotensi Pasca Operasi

Beberapa pasien memang rentan mengalami hipotensi pasca operasi, seperti

pasien-pasien dengan hipertensi kronis, penyakit aterosklerosis pada arteri koroner

atau karotis, penyempitan katup jantung, maupun pasien dengan peningkatan

tekanan intrakranial. Jika tidak ditangani dengan baik, hipoperfusi dari organ vital

pasien akibat hipotensi ini dapat menyebabkan iskemia maupun infark jaringan4.

2

Page 3: Hipotensi Pasca Operasi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Patofisiologi Hipotensi

Tekanan darah adalah daya yang dihasilkan oleh darah terhadap satuan

luas dinding pembuluh darah5. Tekanan darah normal pada manusia dapat

dicapai bila terjadi keseimbangan antara resistensi pembuluh darah perifer

dan curah jantung, dengan volume total darah mempengaruhi keduanya.

Curah jantung ini secara matematis didapatkan dari perkalian antara curah

isi sekuncup jantung dengan frekuensi denyut jantung6. Aliran darah yang

melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor: (1) Perbedaan tekanan

darah di antara kedua ujung pembuluh, kadang-kadang juga disebut

“gradien tekanan” di sepanjang pembuluh darah, yaitu daya yang

mendorong darah melalui pembuluh, dan (2) Rintangan bagi aliran darah

melalui pembuluh, yang disebut resistensi pembuluh darah5.

CO = HR x SV BP = CO x SVR

CO = Cardiac Output (Curah jantung)

HR = Heart Rate (Frekuensi denyut

jantung)

SV = Stroke Volume (Curah isi

sekuncup)

BP = Blood Pressure (Tekanan darah)

CO = Cardiac Output (Curah jantung)

SVR = Systemic Vascular Resistance

(Resistensi Pembuluh darah sistemik)

Tabel 1. Hubungan antara curah isi sekuncup, frekuensi denyut jantung,

curah jantung, dan resistensi pembuluh darah sistemik dengan tekanan

darah.5

Secara sederhana, aliran darah berarti jumlah darah yang mengalir melalui

suatu titik tertentu di sirkulasi dalam periode waktu tertentu. Biasanya

3

Page 4: Hipotensi Pasca Operasi

aliran darah dinyatakan dalam milimeter per menit atau liter per menit,

tetapi dapat juga dinyatakan dalam milimeter per detik atau setiap satuan

aliran lainnya. Secara keseluruhan aliran darah pada sirkulasi total orang

dewasa dalam keadaan istirahat adalah sekitar 5000 ml/menit. Aliran darah

ini disebut curah jantung karena merupakan jumlah darah yang dipompa

ke aorta oleh jantung setiap menitnya5.

Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh. Resistensi

harus dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan antara

dua titik di dalam pembuluh darah. Bila perbedaan tekanan di antara dua

titik adalah 1 mmHg dan aliran adalah 1ml/detik, resistensinya dikatkan

sebesar satu satuan resistensi perifer, biasanya disingkat PRU (Peripheral

Resistence Unit)5. Resistensi pembuluh darah perifer dipengaruhi oleh

banyak mekanisme6.

Tabel 2. Penyebab Rendahnya Resistensi Pembuluh darah Sistemik4

Hipotensi terjadi ketika curah jantung dan resistensi pembuluh darah

perifer menurun. Vasokonstriksi saja tidak akan cukup untuk memperbaiki

hipotensi apabila volume total darah pasien tidak adekuat6. Mekanisme

kompensasi pada kondisi hipotensi ini terbagi menjadi dua fase pengaturan

tekanan arteri, yaitu pengaturan cepat dan pengaturan jangka panjang5.

Pengaturan cepat tekanan arteri ini didapatkan dari peran sistem saraf dan

4

Page 5: Hipotensi Pasca Operasi

refleks-refleks baroreseptor. Sedangkan pengaturan jangka panjang

diperankan oleh ginjal5.

Apabila terjadi penurunan tekanan darah, sinyal baroreseptor tidak akan

memasuki traktur solitarius medula sehingga menghambat pusat

parasimpatis vagus dan merangsang pusat vasokonstriktor di medula. Efek

akhirnya adalah vasokonstriksi vena dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi

perifer dan bertambahnya frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung.

Sebaliknya tekanan yang tinggi memiliki efek yang berlawanan5,6. Selain

itu juga terdapat mediator-mediator kimia yang mengatur tekanan arteri,

baik melalui efeknya sebagai vasokontriktor maupun vasodilator6.

Pengaturan tekanan arteri jangka panjang diperankan oleh ginjal. Apabila

terjadi penurunan tekanan arteri, ginjal akan melakukan perannya melalui

beberapa mekanisme:

Menurunkan glomerular filtration rate (GFR) sehingga penyerapan

natrium di tubulus ginjal akan meningkat diikuti oleh penyerapan

air.

Meningkatkan penyerapan air di tubulus distal ginjal melalui peran

anti diuretic hormone (ADH).

Menghasilkan renin yang akan mengubah angiotensinogen menjadi

angiotensin-1 di hati. Angotensin-1 ini akan diubah lagi menjadi

angotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE) di paru.

Angiotensin-2 inilah yang bersifat vasokonstriktor dan memicu

produksi aldosteron yang menyebabkan retensi natrium.

Menyebabkan pelepasan natriuretics peptides sehingga

pembuangan natrium dan air di ginjal akan menurun.

Akan tetapi, seluruh mekanisme kompensasi di atas akan terganggu pada

pasien pasca anestesia dan pembedahan sehingga dibutuhkan evaluasi dan

penatalaksanaan yang lebih ketat dan cepat.

5

Page 6: Hipotensi Pasca Operasi

2.2 Etiologi Hipotensi Pasca Operasi

Hipotensi yang terjadi pasca operasi bisa disebabkan oleh 3 hal, yakni

hipovolemia (penurunan preload), distributif (penurunan afterload), atau

kardiogenik (kegagalan pompa intrinsik)2.

2.2.1 Hipovolemia (Penurunan Preload)

Preload adalah derajat regangan otot jantung ketika otot

tersebut mulai berkontraksi. Jumlah aliran balik vena ke ventrikel

kiri dan tahanan pembuluh darah vena menentukan preload.

Penurunan preload jantung akan menyebabkan terjadinya

hipovolemia3. Hipovolemia merupakan penyebab tersering

hipotensi pasca operasi4,7. Hipovolemia terjadi apabila volume

cairan intravaskuler dan preload jantung menurun. Penyebab dari

penurunan volume cairan intravaskuler pasca operasi ini meliputi

perpindahan cairan intravaskuler ke ruang ketiga, perdarahan,

pergantiaan cairan intraoperatif yang tidak adekuat (khususnya

pada pasien yang menjalani operasi intrabdominal mayor), serta

penurunan tonus saraf simpatis akibat blok anestesia neuroaksial

(spinal ataupun epidural)2,4,7. Semua hal tersebut berdampak pada

penurunan aliran balik vena ke jantung sehingga curah jantung

akan ikut menurun7.

Jumlah perdarahan yang terjadi selama proses operasi pada

pasien yang mengalami hipotensi pasca operasi harus dihitung

kembali. Hal ini dilakukan karena bisa saja perhitungan kehilangan

darah intraoperatif tidak akurat sehingga pemberian cairan

pengganti kurang optimal. Jika pasien tidak stabil, pengukuran

kadar hemoglobin bisa dilakukan pada saat itu juga agar tidak

membuang waktu untuk menunggu keluarnya hasil laboratorium.

Satu hal penting yang harus diingat, takikardi tidak bisa menjadi

indikator yang dapat dipercaya pada pasien-pasien yang meminum

obat-obatan golongan beta blocker atau calcium channel blocker7.

6

Page 7: Hipotensi Pasca Operasi

Hipovolemia juga dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan

anestesia blok spinal ataupun epidural karena terbloknya sistem

saraf simpatis8,9. Jika sistem saraf simpatis terblok maka akan

terjadi vasodilatasi pembuluh darah arteri dan arteriol sehingga

resistensi pembuluh darah perifer akan menurun. Hal tersebut

tentunnya akan menyebabkan penurunan tekanan darah.

High sympathetic block

Increased venous capacitance (pooling of blood in extremities and pelvis)

Decreased venous return to heart (decreased preload) decreased cardiac output

Decreased blood pressure*

*May be compounded by:

Impaired compensatory tachycardia

Bradycardia from blockade and cardioaccelerator fiber (T1-T4)

Gambar 1. Fisiologi Insufisiensi Sirkulatori Setelah Blok Spinal atau Epidural9

Derajat penurunan resistensi pembuluh darah perifer ini bergantung

pada letak dan jumlah segmen vertebra yang teranestesi. Semakin

tinggi segmen yang diblok maka derajat hipotensinya semakin

berat, sedangkan semakin rendah segmen yang diblok maka

semakin rendah pula derajat hipotensinya. Hal ini disebabkan pada

blokade segmen rendah (lumbal atau sakral) akan tejadi

peningkatan tonus saraf simpatis pada segmen yang lebih tinggi

(torakal) yang tidak terblok. Sehingga hal ini akan

mempertahankan resistensi pembuluh darah perifer dalam batas

normal. Spinal anestesia dosis rendah yang dikombinasikan dengan

opioid golongan lipofilik juga dikatakan memiliki komplikasi

hipotensi yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan

7

Page 8: Hipotensi Pasca Operasi

penggunaan anestesi lokal dengan dosis standar untuk prosedur

yang sama8.

Blok saraf simpatis pada segmen atas vertebra juga dapat

mengganggu mekanisme kompensasi tubuh terhadap hipotensi,

yakni takikardia sehingga akan menyamarkan tanda awal dari

hipovolemia. Jika sebuah operasi memiliki risiko untuk mengalami

perdarahan yang tak nampak (occult bleeding), tenaga medis yang

bertugas di ruang pemulihan harus selalu waspada terhadap tanda-

tanda hipoperfusi jaringan yang samar, seperti pucat, penurunan

tekanan nadi, dan disorientasi9. Yang perlu digarisbawahi, semua

komplikasi anestesi regional yang menyebabkan hipotensi pasca

operasi ini karena bukan secara langsung disebabkan oleh

penurunan volume darah maka disebut sebagai hipovolemia relatif.

Hal-hal lain yang juga bisa menyebabkan hipovolemia relatif

adalah penggunaan venodilator dan obat-obatan golongan alpha

adrenergic blocker4.

2.2.2 Distributif (Penurunan Afterload)

Afterload adalah beban yang harus dilawan oleh kontraksi otot

jantung. Beban dalam hal ini merupakan jumlah darah yang

mengalir ke dalam ventrikel jantung. Afterload ventrikel adalah

tekanan di dalam arteri yang berasal dari ventrikel. Afterload ini

berhubungan dengan tekanan sistolik jantung5. Hipotensi pasca

operasi yang bersifat distributif disebabkan oleh penurunan

afterload. Peristiwa ini terjadi akibat terganggunya fungsi fisiologis

tubuh, yakni akibat iatrogenik simpatis, penyakit-penyakit kritis,

reaksi alergi, dan sepsis2.

Iatrogenik simpatis yang disebabkan oleh teknik regional anestesia

adalah penyebab yang sangat penting pada hipotensi pasca operasi

karena tidak hanya menyebabkan hipotensi akibat hipovolemia,

tetapi juga hipotensi akibat syok distributif. Blok saraf simpatis

8

Page 9: Hipotensi Pasca Operasi

segmen vertebra atas dapat menurunkan tekanan darah melalui

efeknya yang menyebabkan bradikardia akibat blok serat-serat

kardioakselerator simpatis, refleks Bezold-Jarisc, pada segmen T1-

T42,8,9. Jika tidak ditangani dengan baik dapat berujung pada henti

jantung (cardiac arrest).

Hipotensi sangat mudah terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit

kritis walaupun telah digunakan anestesia dengan dosis yang sangat

minimal, baik berupa anestesia hirup, opioid, ataupun sedatif-

hipnotik. Hal ini disebabkan karena pasien dengan kondisi ini

sangat bergantung pada tonus saraf simpatis untuk pengaturan

tekanan darah sistemik dan frekuensi denyut jantung2. Beberapa

contoh pasien-pasien dengan penyakit kritis adalah pasien dengan

penyakit jantung koroner, hipertensi tak terkontrol, penyakit

serebrovaskular, dan gangguan fungsi ginjal atau hati. Pasien-

pasien tersebut digolongkan sebagai pasien berisiko tinggi8.

Reaksi alergi (reaksi anafilaksis atau anafilaktoid) juga dapat

menjadi penyebab hipotensi pasca operasi di ruang pemulihan.

Peningkatan konsentrasi serum triptase di spesimen darah pasien

bisa dijadikan indikator. Namun, hal ini tidak bisa digunakan untuk

membedakan apakah reaksi alergi tersebut bersifat anafilaksis atau

anafilaktoid. Obat-obat anestesia yang paling sering menyebabkan

reaksi alergi ini adalah golongan pemblok neuromuskular. Pada

pasien yang menjalani operasi saluran kemih ataupun saluran

empedu, penyebab hipotensi sistemik tersering adalah sepsis2.

9

Page 10: Hipotensi Pasca Operasi

Tabel 3. Obat-Obatan yang Menyebabkan Anafilaksis Perioperatif2

2.2.3 Kardiogenik (Kegagalan Pompa Intrinsik)

Penurunan kontraksi otot jantung dapat terjadi pasca operasi di

ruang pemulihan akibat beberapa penyebab. Penyebab pertama

adalah masih tersisanya efek obat anestesia yang memiliki efek

depresan pada otot jantung. Penyebab kedua adalah pasien

memang memiliki penyakit jantung yang menyebabkan penurunan

kontraksi otot jantung. Pada akhirnya, semua penyebab tersebut

akan berujung pada myocardial ischemia ataupun myocardial

infarction akut7.

Pasien-pasien yang paling sering mengalami myocardial infarction

adalah mereka dengan hipertrofi ventrikel jantung, riwayat

hipertensi, diabetes mellitus, ataupun penyakit jantung koroner.

Biasanya, hanya 25% dari pasien tersebut mengeluh mengalami

angina pektoris pada saat di ruang pemulihan. Sebagian besar dari

mereka tiba-tiba saja mengalami episode hipotensi yang tak bisa

dijelaskan, beberapa disertai kontraksi ventrikel jantung yang

prematur7.

10

Page 11: Hipotensi Pasca Operasi

2.3 Diagnosis Hipotensi pasca Operasi

Salah satu parameter yang harus dievaluasi untuk mendiagnosis hipotensi

pasca operasi adalah tekanan darah. Seseorang pasien dikatakan hipotensi

apabila tekanan sistoliknya berada di bawah 90 mmHg atau penurunan

tekanan darah sebesar 40% atau lebih dari tekanan darah normal pasien

sehari-hari3. Adreta menilai perubahan tekanan darah pasca anestesia

dengan kriteria sebagai berikut: 1

Perubahan sampai 20% dari nilai prabedah = 2

Perubahan antara 20-50% dari nilai prabedah = 1

Perubahan melebihi 50% dari nilai prabedah = 0

Selain untuk menilai hipotensi, penilaian ini juga berguna sebagai kriteria

standar untuk memindahkan pasien dari ruang pemulihan ke bangsal1.

Penegakan diagnosis dari keadaan hipotensi sebaiknya cepat ditegakkan.

Palpasi dari nadi karotis atau tekanan femoral dan auskultasi suara jantung

sangat berguna sebagai indikator kualitatif yang baik dari tekanan darah

sentral.

Parameter lain yang dapat diukur adalah denyut jantung. Denyut jantung

normal berkisar 55-120 kali per menit dengan irama yang teratur. Pada

pasien hipotensi pasca operasi yang disebabkan oleh hipovolemia, denyut

jantung pasien akan meningkat (takikardi)1. Namun, satu hal penting yang

harus diingat, takikardi tidak bisa menjadi indikator yang dapat dipercaya

pada pasien-pasien yang meminum obat-obatan golongan beta blocker

atau calcium channel blocker7. Selain itu, pada pasien-pasien yang

mengalami hipotensi akibat anestesia regional akan lebih sering ditemukan

penurunan denuyt jantung (bradikardi). Bradikardi menjadi sangat

bermakna ketika frekuensinya berada di bawah 50 kali per menit karena

ini menandakan penurunan curah jantung yang menyebabkan hipotensi8.

Produksi urin juga menjadi salah satu parameter yang harus diperhatikan.

Pada keadaan normal, produksi urin orang dewasa mencapai > 0,5

cc/kgBB/jam. Apabila terjadi oligouri atau anuri harus segera dicari

penyebabnya1,10. Oligouri ini merupakan indikator klinis yang sangat

11

Page 12: Hipotensi Pasca Operasi

berguna untuk mendiagnosis hipotensi pasca operasi akibat hipovolemia

atau penurunan curah jantung. Untuk membedakan yang mana penyebab

hipotensi dari kedua hal tersebut digunakan tes cairan. Pasien diberikan

cairan ringer laktat sebanyak 3-6 ml/kgBB secara intravena, kemudian

produksi urin dimonitor. Pada oligouri yang disebabkan oleh hipovolemia

akan terjadi peningkatan produksi urin. Di lain pihak, produksi urin

biasanya tidak akan meningkat pada oligouria yang disebabkan oleh

penurunan curah jantung7. Parameter lainnya yang juga harus dievaluasi

adalah, status mentalis pasien, perfusi pembuluh darah perifer, dan

perdarahan dari luka operasi.

Tabel 4. Evaluasi Tanda-Tanda Awal Hipotensi Pasca Operasi10

Hal lain yang mendapat perhatian pasca operasi adalah pedarahan dari

luka operasi. Adanya perembesan darah dari luka operasi atau

bertambahnya jumlah darah pada botol penampungan drainase luka

operasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan eksplorasi kembali1.

Pemeriksaan hemoglobin juga dapat dilakukan pada saat itu juga (bedside)

agar tidak membuang waktu untuk menunggu hasil laboratorium2. Tes

cairan menggunakan bolus cairan dengan komposisi 350-500 ml kristaloid

dan 100-200 ml koloid juga dapat dilakukan. Apabila terdapat peningkatan

tekanan darah setelah diberikan cairan, biasanya hipotensi dapat

dikonfirmasi3. Jika dicurigai penyebab hipotensi pasca operasi adalah

12

Page 13: Hipotensi Pasca Operasi

sepsis, harus dilakukan kultur darah. Terapi antibiotika secara empiris juga

harus dimulai sebelum pasien dipindahkan ke bangsal2.

Pada hipotensi pasca operasi yang disebabkan oleh sepsis yang perlu

diperhatikan adalah tanda-tanda terjadinya Systemic Inflamatory Response

Syndrome (SIRS).

Ditemukan Nilai

Suhu <36 °C (96.8 °F) or >38 °C (100.4 °F)

Nadi >90/min

Laju pernafasan >20/min or PaCO2<32 mmHg (4.3 kPa)

WBC <4x109/L (<4000/mm³), >12x109/L (>12,000/mm³), or 10%

Tabel 5. Kriteria SIRS12

Diagnosis banding dari hipotensi pasca operasi meliputi:

1. Penurunan volume intravaskuler

a. Hilangnya cairan yang persisten

b. Berpindahnya cairan ke ruang ketiga

c. Pendarahan akibat pembedahan

2. Peningkatan permeabilitas kapiler

a. Akibat sepsis

b. Akibat luka bakar

3. Penurunan dari cardiac output

a. Infark miokard

b. Kardiomiopati

c. Cardiac Tamponade

d. Emboli pada paru

e. Tension Pneumothorax

f. Disebabkan oleh obat-obatan seperti β-blockers, calcium channel

blocker2.

13

Page 14: Hipotensi Pasca Operasi

2.4 Penatalaksanaan Hipotensi Pasca Operasi

Pada umumnya, penurunan tekanan sistolik sebanyak 20 – 30 % pada

pasien yang akan dioperasi atau apabila terdapat tanda-tanda adanya

hipoperfusi pada organ-organ vital adalah indikasi dilakukannya

perawatan terhadap hipotensi pasca operasi. Pada pasien dengan risiko

tinggi terhadap komplikasi dari hipotensi, diperlukan evaluasi yang ketat

terhadap tanda-tanda hemodinamik pasien ketika dijadwalkan untuk

melakukan operasi. Sehingga dapat mengantisipasi kejadian hipotensi

pasca operasi kedepannya. Berikut terapi hipotensi pasca operasi

berdasarkan penyebabnya2.

2.4.1 Hipovolemia (Penurunan Preload)

Pada hipotensi yang disebabkan oleh hipovolemia pemberian

oksigen tambahan sebaiknya dilakukan. Frekuensi dari cairan infus

sebaiknya ditingkatkan hingga batas maksimum karena etiologi

yang paling sering dari hipotensi pasca operasi adalah

hipovolemia. Elevasi dari kaki pasien juga dapat membantu

meningkatkan tekanan darah pasien. Riwayat pengobatan pasien

penting untuk dicatat dan penggunaan infus yang menyebabkan

vasodilatasi dari pembuluh darah sebaiknya dihentikan. Manuver

yang sederhana seperti menempatkan pasien hamil dalam posisi

lateral tilt position dan menempatkan pasien dengan hipotensi

ortostatik dalam posisi supinasi dapat dilaksanakan bila diperlukan.

Pemberian infus dengan cairan kristaloid biasanya dapat

mencukupi dalam menangani keadaan hipovolemia. Obat dengan

efek simpatomimetik yang dapat meningkatkan SVR dan venous

return dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan sistemik

hingga volume yang diperlukan oleh pasien dapat diberikan

melalui infus. Kapasitansi pembuluh darah vena yang meningkat

dan adanya hambatan pada venous return dapat diobati dengan

obat alpha-adrenergic seperti phenylephrine yang dikombinasikan

dengan terapi cairan.

14

Page 15: Hipotensi Pasca Operasi

Apabila pasien telah diberikan cairan sebanyak 300-500 ml namun

tidak dapat meningkatkan tekanan darah pada pasien, sebaiknya

dipertimbangkan bahwa penyebab dari hipotensi pasca operasi dari

pasien mungkin adalah disfungsi dari miokardial. Pada gangguan

yang tidak berhubungan dengan keadaan iskemia, penggunaan obat

yang dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung seringkali

dapat mengembalikan cardiac output dan tekanan sistemik. Namun

apabila hipotensi disebabkan oleh keadaan iskemia maka

perawatan yang tepat adalah dengan menyembuhkan keadaan

iskemia dan fungsi dari miokardiumnya. Apabila hipotensi

disebabkan oleh keadaan asidosis metabolik, maka pemberian

bikarbonat secara intravena dapat memperbaiki keadaan tersebut4.

2.4.2 Distributif (Penurunan Afterload)

Penatalaksanaan hipotensi yang disebabkan oleh reaksi anafilaktik

memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan

gawat. Sebenarnya pengobatan hipotensi akibat reaksi anafilaktik

ini tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu

resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini

diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar

tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Jika terjadi

komplikasi dari hipotensi akibat anafilaktik setelah kemasukan

obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan

yang perlu dilakukan adalah11:

Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki

diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran

balik darah vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan

menaikkan tekanan darah.

Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

o Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga

tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk 15

Page 16: Hipotensi Pasca Operasi

penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur

agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas,

yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula

ke depan, dan buka mulut.

o Breathing support, segera memberikan bantuan napas

buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui

mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok

anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau

parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas

parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus

diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan

sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan

lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,

atau trakeotomi.

o Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada

arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan

kompresi jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan

bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan

protokol resusitasi jantung paru.

Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk

penderita dewasa atau 0.01 mg/kgBB untuk penderita anak-

anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit

sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan

pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin

kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6

mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9

mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

16

Page 17: Hipotensi Pasca Operasi

Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg

atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang

untuk mengatasi efek lanjut dari reaksi anafilaktik atau syok

yang membandel.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur

intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke

ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi

reaksi anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan

darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap

merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian

mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran

kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,

maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan

volume plasma. Biasanya, pada reaksi anafilaktik berat

diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume

plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat

diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan

kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa

larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan

histamin.

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita

syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal

dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan

penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin

sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita

harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap

dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.

Apabila keadaan hipotensi ini sudah teratasi, penderita jangan

cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu

selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah

17

Page 18: Hipotensi Pasca Operasi

mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus

dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

Apabila hipotensi disebabkan oleh keadaan sepsis pasca operasi,

maka diperlukan adanya pemeriksaan kultur darah untuk

menentukan penyebabnya dan menetapkan antibiotik untuk

diberikan kepada pasien sebelum pasien dipindahkan ke ruang

rawat inap pasien. Walaupun terapi cairan merupakan prioritas

utama dalam perawatan hipotensi, pemberian vasopresin seringkali

diperlukan juga untuk menaikan tekanan darah pasien. Biasanya

defisiensi vasopresin merupakan faktor yang berkontribusi terhadap

keadaan vasokntriksi pada pasien yang sepsis2.

2.4.3 Kardiogenik (Kegagalan Pompa Intrinsik)

Pada hipotensi yang terjadi akibat permasalahan kardiogenik,

penatalaksanaan tergantung pada jenis infark myokard. Dapat

diberiksan terapi cairan dan juga obat-obatan yang bersifat

inotropik. Agen inotropik positif digunakan untuk meningkatkan

kemampuan jantung memompa, meningkatkan kontraktilitas dan

memperbaiki hipotensi4.

Tabel 6. Obat yang dapat digunakan untuk manajemen hipotensi3

18

Page 19: Hipotensi Pasca Operasi

BAB III

SIMPULAN

Hipotensi pasca operasi adalah keadaan kritis yang segera dimulai setelah

pembedahan dan anestesia. Periode ini dikatakan kritis karena pada tindakan

anestesia dan pembedahan akan terjadi gangguan fisiologis tubuh yang berefek

pada ketidakstabilan hemodinamik seperti hipotensi sistemik. Hipotensi sering

didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan sistolik pasien berada di

bawah 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sebesar 40% atau lebih dari

tekanan darah normal pasien sehari-hari. Hipotensi yang terjadi pasca operasi bisa

disebabkan oleh 3 hal, yakni hipovolemia (penurunan preload), distributif

(penurunan afterload), atau kardiogenik (kegagalan pompa intrinsik).

Evaluasi dan penanganan awal dari ketidakstabilan hemodinamik ini sangat

penting karena dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien di ruang

pemulihan. Evaluasi tanda-tanda hipotensi pasca operasi meliputi tekanan darah,

frekuensi denyut jantung, produksi urin, status mentalis, temperatur, capillary

refill, dan perdarahan luka operasi.

Penanganan hipotensi pasca operasi ditentukan berdasarkan penyebabnya. Pada

hipotensi yang disebabkan oleh hipovolemia pemberian oksigen tambahan

sebaiknya dilakukan. Dilanjutkan dengan pemberian cairan infus hingga batas

maksimum karena etiologi yang paling sering dari hipotensi pasca operasi adalah

hipovolemia. Pada hipotensi yang terjadi akibat reaksi anafilaksis, dilakukan

penatalaksanaan sesuai dengan guideline penatalaksanaan syok anafilaksis. Pada

hipotensi yang terjadi akibat permasalahan kardiogenik dapat digunakan obat-

obatan yang berisfat inotropik positif.

19