2. Makalah_Kel 5

21
PENENTUAN HARGA TRANSFER “PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK DALAM KEPUTUSAN PENENTUAN HARGA TRANSFER KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK (STUDY KASUS PADA PT. TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA)” TUGAS MATA KULIAH : PERENCANAAN PAJAK DOSEN PENGAMPU : AGUS WIDODO, SE., M.Si., Ak Disusun oleh : Kelompok 5 Ketua : Adhi Pramudita F1314001 Anggota : Aditya Fendy Gurantyo F1314003 Lutfan Al Hakim F1314057

description

makalah seminar

Transcript of 2. Makalah_Kel 5

Page 1: 2. Makalah_Kel 5

PENENTUAN HARGA TRANSFER

“PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK DALAM KEPUTUSAN

PENENTUAN HARGA TRANSFER KAITANNYA DENGAN

PENGHEMATAN PAJAK (STUDY KASUS PADA PT. TOYOTA

MOTOR MANUFACTURING INDONESIA)”

TUGAS MATA KULIAH : PERENCANAAN PAJAK

DOSEN PENGAMPU : AGUS WIDODO, SE., M.Si., Ak

Disusun oleh :

Kelompok 5

Ketua : Adhi Pramudita F1314001

Anggota : Aditya Fendy Gurantyo F1314003

Lutfan Al Hakim F1314057

S1 AKUNTANSI (TRANSFER)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2015

Page 2: 2. Makalah_Kel 5

PENDAHULUAN

Dewasa ini, globalisasi telah berkembang pesat hampir pada semua aspek kehidupan

negara-negara di dunia. Globalisasi ekonomi telah memberikan dampak pada meningkatnya

transaksi international (cross border transaction). Namun, sebuah permasalahan perpajakan

yang timbul dari kegiatan ini adalah penentuan harga transfer (transfer pricing). Transfer

pricing berkaitan erat dengan harga transaksi barang, jasa atau harta tak berwujud

antarperusahaan dalam suatu perusahaan multinasional. Transfer pricing dapat dibagi

menjadi dua pengertian, yaitu pengertian netral dan pengertian peyoratif. Dalam pengertian

peyoratif, transfer pricing bertujuan untuk menurunkan atau bahkan menghindari pengenaan

pajak pada laba sebuah perusahaan dengan cara mengalokasikan penghasilan dari suatu

perusahaan ke perusahaan lain pada negara yang berbeda, karena setiap negara memiliki

peraturan perpajakan yang berbeda-beda. Ada negara yang mengenakan tarif pajak yang

tinggi pada laba kena pajak perusahaan, namun juga ada negara yang mengenakan tarif

pajak yang rendah pada laba kena pajak perusahaan, atau bahkan ada negara yang tidak

mempunyai peraturan antipenghindaran pajak. Pada negara-negara inilah biasanya

perusahaan melakukan transfer pricing dengan mudah.

Dampak dari praktek transfer pricing adalah harga yang menjadi terlalu tinggi

(overpricing) atau harga yang menjadi terlalu rendah (underpricing). Hal ini mendorong

pemerintah untuk menetapkan regulasi tertentu terhadap harga transfer, termasuk

perhitungan kembali laba usaha. Dengan maksud mencegah erosi basis pajak dan netralitas

pemajakan. Di Indonesia regulasi tersebut tertuang dalam pasal 18 ayat (2) undang-undang

pajak penghasilan (UU PPh).

Ayat (2)

(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak

dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha

yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima

puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau.

b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan

modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

Page 3: 2. Makalah_Kel 5

LANDASAN TEORI

Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada

suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up)

atau menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (Multi-

National Enterprise). Tujuannya, pertama, untuk mengakali jumlah profit sehingga

pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan

profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan. Negara dirugikan triliunan

rupiah karena praktek transfer pricing perusahaan asing di Indonesia. (KONTAN, 20 Juni

2012).

Transfer Pricing dalam Peraturan Perpajakan Indonesia

Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36

Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan

bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan

Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi

oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode

perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode

biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (i) Wajib Pajak

mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada

Wajib Pajak lain; (ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib

Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

(iii) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus

dan/atau ke samping satu derajat.

Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan Dirjen

Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun

2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba

atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa

ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang

wajar.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arm’s length principle dilakukan

dengan menggunakan langkah-langkah: (i) melakukan analisis kesebandingan dan

Page 4: 2. Makalah_Kel 5

menentukan pembanding; (ii) menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; (iii)

menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis

kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang

dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (iv)

mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Aturan ini juga menyebutkan metode apa yang dapat digunakan untuk menentukan

harga transfer yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang melakukan

transfer pricing, yaitu:

a. Metode perbandingan harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP)

Metode ini membandingkan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa

tersebut dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai

hubungan istimewa (pembanding independen), baik itu internal CUP maupun

eksternal CUP. Metode ini sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi

yang sering menjadi permasalahan adalah mencari barang yang benar-benar sejenis.

Contoh penerapan: PT ABC menyerahkan penjualan barang X kepada afiliasinya PT

Y dengan harga franko tujuan Rp10.000.000. Di saat yang sama PT ABC juga

menjual barang X kepada pihak ketiga PT KLM dengan harga franko pabrik

Rp10.000.000 dan biaya pengangkutan dan asuransi Rp500.000. Dengan metode

CUP harga jual wajar barang X dari PT ABC kepada PT Y adalah Rp10.000.000 +

Rp500.000 = Rp10.500.000.

b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)

Metode ini digunakan dalam hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha

perdagangan, di mana produk yang telah dibeli dari pihak yang mempunyai

hubungan istimewa dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya (yang tidak

mempunyai hubungan istimewa). Harga yang terjadi pada penjualan kembali tersebut

dikurangi dengan laba kotor (mark up) wajar sehingga diperoleh harga beli wajar dari

pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Contoh penerapan: PT A menyerahkan barang kepada afiliasinya PT B dengan harga

Rp10.000.000. PT B kemudian menyerahkan barang tersebut kepada pihak ketiga PT

C (independen) dengan harga Rp20.000.000. Diketahui ternyata ada transaksi antara

pihak independen, yaitu PT Z yang juga menyerahkan produk yang sejenis kepada

PT Y dengan kenaikan harga jual (mark up) 20%. Dengan demikian, harga jual yang

wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp20.000.000 - (20% x Rp20.000.000) =

Page 5: 2. Makalah_Kel 5

Rp16.000.000. Jadi, harga jual PT A terlalu rendah dari yang seharusnya karena ada

transfer pricing.

c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)

Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh

perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan

Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi

sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Umumnya

digunakan pada usaha pabrikasi.

Contoh penerapan: PT A memproduksi barang dengan biaya Rp500.000 dan

menyerahkan barang tersebut kepada afiliasinya PT B dengan harga Rp900.000. PT

Y juga memproduksi produk sejenis dengan biaya sebesar Rp600.000 dan

menjualnya kepada PT Z (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp900.000.

Dari penjualan PT Y terlihat bahwa persentase laba kotor dari biaya adalah sebesar

30 : 60 = 50 %. Dengan cost-plus method, dapat diketahui bahwa harga wajar

penjualan PT A ke PT B adalah: Rp500.000 + (50% x Rp500.000) = Rp750.000.

Jadi, bisa dianggap bahwa harga beli PT B lebih mahal dari yang seharusnya dan

dapat dikoreksi biayanya oleh kantor pajak.

d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)

Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi

yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut

dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan

perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari

kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan

menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode

Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).

e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM)

Metode ini dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi

terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas

transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase

laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang

tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang

diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai

hubungan istimewa lainnya.

Contoh penerapan: PT ABC merupakan produsen alat-alat kecantikan yang menjual

Page 6: 2. Makalah_Kel 5

ke perusahaan grup di Malaysia (ABC Bhd) dan menggunakan merk ABC Bhd.

Dalam hal ini, ABC Bhd hanya menjual produk PT ABC. Berdasarkan analisis,

diketahui juga bahwa PT XYZ yang menjual produk serupa dan memperoleh laba

operasi sebesar 10%. Untuk itu, harga transfer PT ABC kepada ABC Bhd

berdasarkan metode TNM adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Ilustrasi Penerapan Transactional Net Margin Method (TNMM)

Uraian Rp.

Harga Pokok Produksi 50.000.000

Biaya Operasi 15.000.000

Total Biaya 65.000.000

Net Mark-up 6.500.000

Harga Transfer 71.500.000

Ruang Lingkup Transfer Pricing

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010,

memerinci transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai

hubungan istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan jumlah

penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi

Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sejumlah transaksi

tersebut antara lain:

1. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang

tidak berwujud;

2. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan

harta berwujud maupun harta tidak berwujud;

3. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;

4. Alokasi biaya; dan

5. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan

atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk

instrumen keuangan dimaksud.

Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-32/PJ/2011. Di

Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan rincian transaksi-

transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2)

di atas diubah menjadi:

Page 7: 2. Makalah_Kel 5

“Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap

di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang

dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk

memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:

1. Perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha

tertentu;

2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau

3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama

Migas.”

Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi di mana terdapat

motivasi untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan

dalam Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention

justru lebih menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan

yang timbul dari transaksi di mana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-

kondisi tersebut, kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa

tersebut, ini pun dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari

salah satu atau kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan

masing-masing negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak

antar negara.

OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha

tidak hanya digunakan pada transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa,

terjadi di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Adanya perbedaan

tarif pajak dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dianggap

sebagai bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan

pada saat memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan sebagai suatu

unsur yang akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran dan kelaziman

usaha . Di samping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral, sehingga dalam

penerapannya juga tentunya bersifat netral .

Page 8: 2. Makalah_Kel 5

PEMBAHASAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalampembahasan kasus PT Toyota Manufacturing

Indonesia yaitu metode deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber

data yang digunakan yaitu data sekunder. Data diperoleh dari studi pustaka.

B. Hasil Penelitian

1. Profil Perusahaan

Toyota Motor Corporation didirikan pada September 1993 sebagai divisi mobil

Pabrik Tenun Otomatis Toyota. Divisi mobil perusahaan tersebut kemudian dipisahkan

pada 27 Agustus 1937 untuk menciptakan Toyota Motor Corporation seperti saat ini.

Berangkat dari industri tekstil, Toyota menancapkan diri sebagai salah satu

pabrikan otomotif yang cukup terkemuka di seluruh dunia. Merek yang memproduksi 1

mobil tiap 6 detik ini ternyata menggunakan penamaan Toyota lebih karena

penyebutannya lebih enak daripada memakai nama keluarga pendirinya, Toyoda. Inilah

beberapa tonggak menarik perjalanan Toyota.

Toyota merupakan pabrikan mobil terbesar ketiga di dunia dalam unit sales dan

net sales. Pabrikan terbesar di Jepang ini menghasilkan 5,5 juta unit mobil di seluruh

dunia. Jika dihitung, angka ini ekuivalen dengan memproduksi 1 unit mobil dalam 6

detik.

Dibandingkan dengan industri-industri otomotif lain yang menggunakan nama

pendirinya sebagai merek dagang seperti Honda yang didirikan oleh Soichiro Honda,

Daimler-Benz (Gottlibe Daimler dan Karl Benz), Ford (Henry Ford), nama Toyoda

tidaklah dipakai sebagai merek. Karena berangkat dari pemikiran sederhana dan visi

waktu itu, penyebutan Toyoda kurang enak didengar dan tidak akrab dikenal sehingga

diplesetkan menjadi Toyota. Pada Oktober 2013, untuk ke empat kalinya dalam lima

tahun terakhir, PT Toyota Manufacturing Indonesia menyabet Primaniyarta Award,

penghargaan dari Kementrian Perdagangan untuk para eksportir berprestasi.

2. Permasalahan

Skandal transfer pricing Toyota di Indonesia terendus setelah Direktorat Jenderal

Pajak secara simultan memeriksa surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) Toyota

Motor Manufacturing pada 2005. Belakangan, pajak Toyota pada 2007 dan 2008 juga

Page 9: 2. Makalah_Kel 5

ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan karena Toyota mengklaim kelebihan membayar

pajak pada tahun-tahun itu, dan meminta negara mengembalikannya (restitusi).

Dari pemeriksaan SPT Toyota pada 2005 itu, petugas pajak menemukan

sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30

persen, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin –

atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat penjualan-- juga menyusut. Dari

sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian.

Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra

Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh

tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Walhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95

persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor

Manufacturing Indonesia (TMMIN).

Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor

Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek

dengan nama lama: Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi

pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota

Motor Corporation Jepang.

Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok.

Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga

berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun

rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM)

hanya membayar pajak Rp 168 miliar.

Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada

tahun itu justru naik 40 persen. Jadi kemana keuntungan Toyota menguap?

Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur harga

penjualan dan biaya Toyota dengan lebih seksama. Di sinilah jejak transfer pricing

perseroan ini mulai tercium. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak

terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar.

Dalam manifes disebutkan bahwa pada pekan keempat Januari lalu, Toyota

Motor Manufacturing mengirim 307 unit mobil Fortuner dari dermaga Tanjung Priok ke

pelabuhan Batangas, Luzon, Filipina. Pembelinya adalah Toyota Motor Philippines

Corporation –unit bisnis Toyota di negara itu. Sisanya, sekitar 700 unit mobil Innova,

dikirim ke pelabuhan Laem Chabang, Thailand, untuk Toyota Motor Thailand Co., Ltd –

unit korporasi Toyota di negeri Gajah Putih.

Page 10: 2. Makalah_Kel 5

Dari dokumen manifes itu terungkap bahwa seribu mobil buatan Toyota Motor

Manufacturing Indonesia harus dikirim dulu ke kantor Toyota Asia Pasifik di Singapura,

sebelum berangkat ke Filipina dan Thailand. Dengan kata lain, Toyota di Indonesia

hanya bertindak “atas nama” Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd –nama unit bisnis

Toyota yang berkantor di Singapura.

Skema jual-beli via negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam

perdagangan internasional. Apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari korporasi

perusahaan multinasional yang sama. Tapi Justinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center

for Indonesia Taxation Analysis, mengingatkan, ada persyaratan yang harus dipenuhi

agar suatu transfer pricing --atau transaksi antar-pihak terafiliasi-- tidak dituding sebagai

modus penghindaran pajak (tax avoidance). “Syaratnya, nilai transaksi mereka harus

memenuhi standar kewajaran,” katanya, Februari lalu.

Di sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan sengketa pajak ini,

ada sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual mobil-

mobil produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.

Misalnya, pada dokumen laporan pajak Toyota pada tahun 2007. Sepanjang

tahun itu, Toyota Motor Manufacturing di Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit

Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota sendiri, petugas

pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS)

Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota

menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49 persen lebih murah dibandingkan

nilai tersebut. Artinya, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-

mobil itu ke Singapura.

Temuan yang sama juga terlacak pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova

bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73 persen dan 5,14 persen dari ongkos

produksinya per unit. Pada ekspor Rush dan Terios, Toyota Motor Manufacturing

memang meraup untung, tapi tipis sekali yakni hanya 1,15 persen dan 2,69 persen dari

ongkos produksi per unit.

Temuan ini jadi menyolok karena Toyota Manufacturing menjual produk-produk

serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di dalam

negeri, mobil yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan bruto sebesar

3,43 - 7,67 persen.

Page 11: 2. Makalah_Kel 5

Tapi temuan itu saja belum cukup untuk menyimpulkan Toyota melakukan

penghindaran pajak. Untuk itu, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari

semua transaksi Toyota Manufacturing ke Singapura.

Caranya? Sesuai aturan penanganan transaksi hubungan istimewa yang

diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, otoritas pajak berhak menentukan kewajaran harga

penjualan suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi

perusahaan sejenis di luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline

yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak yang diperoleh menunjukkan bahwa

petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap

memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu

adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India),

Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina).

Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa

menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar (arm’s length

range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 - 13,58 persen.

Berdasarkan itu, pemeriksa pajak lalu mengkoreksi harga pada transaksi Toyota

Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia Pacific di Singapura.

Hasilnya fantastis: omzet penjualan Toyota Motor Manufacturing pada 2007 jadi

melonjak hampir setengah triliun dari laporan awal perusahaan itu. Nilainya sekarang

menjadi Rp 27,5 triliun.

Petugas pajak kemudian memeriksa laporan keuangan Toyota Manufacturing

pada 2008. Modus ekspor dengan nilai tak wajar juga berulang pada tahun itu. Koreksi

serupa dilakukan dan sim salabim: nilai omzet Toyota tahun itu melonjak 1,7 triliun

menjadi Rp 34,5 triliun.

Dengan kombinasi ‘permainan’ harga dalam transaksi terafiliasi dan pembayaran

royalti yang dinilai tak wajar, Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan

penghasilan kena pajak sebesar Rp 426,9 miliar (2007) dan Rp 60,6 miliar (2008).

Karena merasa sudah membayar lebih dari nilai itu, lima tahun lalu Toyota menuntut

negara mengembalikan kelebihan pajak sebesar Rp 412 miliar.

Direktorat Jenderal Pajak tidak terima. Mereka bersikukuh kalau penghasilan

Toyota yang harus dikenai pajak adalah Rp 975 miliar (2007) dan Rp 2,45 triliun (2008).

Alih-alih lebih bayar, pemerintah malah minta Toyota membayar kekurangan pajaknya

senilai Rp 1,22 triliun.

Page 12: 2. Makalah_Kel 5

Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian menjadi sengketa di pengadilan

pajak. Yang mencurigakan, sejak diadili pada 2007 sampai sekarang, kasus ini tak

kunjung diputus. Umumnya persidangan sengketa pajak hanya butuh waktu 1,5 tahun.

Page 13: 2. Makalah_Kel 5

Kesimpulan dan Saran

Darihasilpenelitian inidapatditarikkesimpulanbahwaalternatif pembeliantruck

mixermenggunakanleasingdenganhakopsimenghasilkanpenghematanpajakyang lebih besar

dibandingkan dengan alternatif pembelian tunaimaupun kreditbank dimanapada alternatif

leasingdenganhakopsi,deductible expense-nyasebesarRp.1.038.649.139yang

terdiridaribiayabunga,angsuranpokok,biayapenyusutan,biayaadministrasi danbiaya

eksekutori(asuransi) yangmenghasilkantaxsavingsebesar Rp. 259.662.285.

P

adaalternatifpembelianmelaluikreditbank,deductibleexpensesebesarRp.912.719.311terdiridar

ibiayabungabank,biayapenyusutan,biayaadministrasi danbiaya

eksekutori(asuransi)dengantaxsavingsebesarRp.228.179.828. Sedangkanpada alternatif

pembeliantunai,biayayangdapatdikurangkanpadalababrutohanyasebesarRp.779.734.375yang

berasaldaribiayapenyusutansajadantaxsavingyangdidapathanya sebesar Rp. 199.933.594

PT.DutaBangsaMandirisebaiknya memilih untuk menggunakan alternatif

pembelianmelaluileasingdenganhakopsiuntukmemperolehaktivatetapkarenaalternatif

inimenghasilkantaxsavingyang paling besardibandingkandenganalternatif pembelian

lainnya.Perusahaansebaiknyalebihmemahamiketentuan-ketentuanyang tercantumdalam

aturan perpajakan khususnyamengenaibiaya-biayayang boleh dikurangkan atau tidak boleh

dikurangkan daripenghasilan bruto untuk mempermudah perusahaan dalammelakukan

perencanaan pajak.