2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

12
9 Universitas Kristen Petra 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) 2.1.1 Pengertian Leader Member Exchange LMX adalah sebuah teori yang berfokus pada kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahan untuk memahami pengaruh peran pemimpin terhadap member, tim atau organisasi(Berrin, E., & Bauer, T, N, 2014). Teori LMX mengatakan bahwa seorang pemimpin membedakan relasi dengan bawahan. Terdapat kemungkinan pemimpin membentuk hubungan secara merata pada seluruh bawahannya tetapi membentuk hubungan baik membutuhkan pengorbanan waktu dan energi dan karyawan memiliki kualitas kerja dan motivasi yang berbeda sehingga pemimpin akan lebih sering membedabedakan relasi pada karyawan organisasi (Liden, R. C., & Graen, G, 1980). Pembedaan hubungan antara pemim- pin dan bawahan dikategorikan menjadi dua yaitu ingroup dan outgroup. Dasar dibalik teori LMX adalah pemimpin membuat dua kelompok dimana masingmasing kelompok membangun jenis relasi yang berbeda dengan pemimpin. Teori LMX berbeda dengan kebanyakan teori kepemimpinan lain yang berasumsi bahwa pemimpin berperilaku sama terhadap setiap member bawahan. LMX berfokus pada pembahasan hubungan pemimpin dan bawahan secara independen daripada hubungan pemimpin pada bawahan secara keseluruhan dimana terdapat pembedaan kualitas hubungan pada individu yang berbeda (dalam Lunenburg, FC, 2010). Kualitas LMX yang baik ditandai dengan adanya sikap saling support antara pemimpin dan bawahan, rasa saling percaya, komunikasi yang baik dan nyaman, kesetiaan terhadap sesama serta daya tarik interpersonal yang baik sedangkan kualitas LMX yang rendah ditandai dengan pengaruh dan support timbal balik yang terbatas antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin juga memberlakukan otoritas formal dan memberikan benefit hanya sebatas standar organisasi kepada bawahan(Deluga, R. J, 1998).

Transcript of 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

Page 1: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

9 Universitas Kristen Petra

2. LANDASAN TEORI

2.1 Leader Member Exchange (LMX)

2.1.1 Pengertian Leader Member Exchange

LMX adalah sebuah teori yang berfokus pada kualitas hubungan antara

pemimpin dan bawahan untuk memahami pengaruh peran pemimpin terhadap

member, tim atau organisasi(Berrin, E., & Bauer, T, N, 2014). Teori LMX

mengatakan bahwa seorang pemimpin membedakan relasi dengan bawahan.

Terdapat kemungkinan pemimpin membentuk hubungan secara merata pada seluruh

bawahannya tetapi membentuk hubungan baik membutuhkan pengorbanan waktu

dan energi dan karyawan memiliki kualitas kerja dan motivasi yang berbeda

sehingga pemimpin akan lebih sering membeda–bedakan relasi pada karyawan

organisasi (Liden, R. C., & Graen, G, 1980). Pembedaan hubungan antara pemim-

pin dan bawahan dikategorikan menjadi dua yaitu in–group dan out–group.

Dasar dibalik teori LMX adalah pemimpin membuat dua kelompok dimana

masing–masing kelompok membangun jenis relasi yang berbeda dengan pemimpin.

Teori LMX berbeda dengan kebanyakan teori kepemimpinan lain yang berasumsi

bahwa pemimpin berperilaku sama terhadap setiap member bawahan. LMX

berfokus pada pembahasan hubungan pemimpin dan bawahan secara independen

daripada hubungan pemimpin pada bawahan secara keseluruhan dimana terdapat

pembedaan kualitas hubungan pada individu yang berbeda (dalam Lunenburg, FC,

2010). Kualitas LMX yang baik ditandai dengan adanya sikap saling support antara

pemimpin dan bawahan, rasa saling percaya, komunikasi yang baik dan nyaman,

kesetiaan terhadap sesama serta daya tarik interpersonal yang baik sedangkan

kualitas LMX yang rendah ditandai dengan pengaruh dan support timbal balik yang

terbatas antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin juga memberlakukan otoritas

formal dan memberikan benefit hanya sebatas standar organisasi kepada

bawahan(Deluga, R. J, 1998).

Page 2: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

10 Universitas Kristen Petra

2.1.2 Diferensiasi Leader Member Exchange

Kategori in–group dalam teori LMX terdiri dari bawahan yang terpercaya dan

memiliki tanggung jawab yang lebih bedasarkan negosiasi peran dengan pemimpin.

Kategori out–group terdiri dari bawahan lain yang masih memiliki hubungan atau

relasi lebih formal terhadap pemimpin (Kang, D., & Stewart, J., 2006). Proses

pengembangan relasi dua arah ini secara teoritis didasarkan pada role theory (Katz,

D. & Kahn, R.L, 1978) dan social exchange theory (Emerson, 1962). Kedua teori

tersebut membantu bagaimana teori LMX terbentuk.

Menurut Liden, R. C., & Graen, G (1980), seseorang dipilih menjadi anggota

in-group karena tiga alasan yaitu kompetensi atau skill yang dimiliki, kepercayaan

atau seberapa besar seseorang tersebut dapat dipercaya oleh pemimpin dan terakhir

adalah motivasi seseorang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar

daripada tugas yang diberikan. Individu yang masuk dalam kelompok in-group akan

berkontribusi lebih daripada sekedar tugas formal yang diberikan sehingga

mendapat perhatian, support dan sensitifitas lebih dari pemimpinnya. Individu yang

berada pada kategori out-group hanya berkontribusi sesuai tugas rutin dan formal

yang diberikan dan memiliki hubungan yang formal terhadap pemimpinnya.

2.1.3 Pengertian Role Theory dan Social Exchange Theory

Pada role theory, seorang pemimpin memiliki ekspektasi peran terhadap

bawahan dan sejauh mana bawahan dapat memenuhi harapan pemimpin tersebut

akan membantu pembentukan relasi (Kang, D., & Stewart, J, 2006). Graen &

Scandura (1987) mengusulkan model tiga fase pengembangan LMX yaitu role

taking ketika individu menerima tanggung jawab, role making ketika bawahan

mengerjakan tugas dan role routinisation dimana peran dijalankan secara rutin.

Dalam tahapan role making, derajat dimana bawahan menyanggupi tugas dan

menunjukan kelayakannya dalam melakukan tugas tersebut dapat turut

mempengaruh jenis relasi LMX yang terbentuk. Kualitas LMX yang terbentuk, me-

nentukan tugas dan autonomi yang diberikan pemimpin kepada bawahan, dalam hal

Page 3: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

11 Universitas Kristen Petra

ini pemimpin dan bawahan memiliki relasi yang didasarkan pada peran (Dienesch &

Liden, 1986).

Social exchange theory berfokus pada pertukaran antara atasan dan bawahan

yang tidak didasarkan oleh peran. Menurut Blau (1964, p. 91) social exchange

merujuk pada aksi volunter individu yang termotivasi oleh ekspektasi return atau

keuntungan dari interaksi sosial tersebut sebagai urutan awal dari pembentukan

relasi antara kedua pihak tetapi ekspekasi tersebut tidaklah pasti (dalam Cook, K. S.,

& Rice, E, n.d.). Menurut Uhl-Bien, M., Graen, G & Scandura, T (2000) social

exchange merupakan interaksi awal diikuti dengan pertukaran sosial dimana

individu melakukan tes untuk memutuskan apakah mereka mampu membangun

komponen relasi kepercayaan, rasa hormat dan hal lain yang dibutuhkan untuk

membangun kualitas pertukaran sosial yang baik. Kualitas LMX yang akan

terbentuk ditentukan oleh ekspektasi dari pertukaran sosial dan kepuasan terhadap

perilaku pertukaran sosial tersebut.

2.1.4 Dimensi Leader Member Exchange

Menurut Dienesch & Liden (1986) terdapat beberapa dimensi dari LMX,

antara lain:

1) Contribution adalah persepsi kinerja yang ditunjukan oleh setiap anggota pada

tujuan bersama (baik secara eksplisit atau implisit) Dienesch & Liden (1986).

2) Loyalty adalah sejauh mana baik pemimpin maupun bawahan secara terbuka

mendukung satu sama lain baik dari segi aksi dan karakter.

3) Affect adalah afeksi yang dimiliki kedua pihak terhadap satu sama lain yang di-

dasarkan pada atraksi interpersonal daripada nilai–nilai profesional atau

pekerjaan. Dienesch & Liden (1986).

4) Other Dimensions, ketiga dimensi diatas bukanlah satu–satunya dimensi dari

LMX. Dienesch & Liden (1986) menyadari bahwa terdapat kemungkinan

bahwa terdapat dimensi lain yang turut berperan dalam pengembangan teori

LMX. Contoh dimensi lain dari LMX mungkin terdiri dari trust, respect,

openness dan honesty (dalam Graen, G. B., & Scandura, T. A, 1987).

2.1.5 Indikator Leader Member Exchange

Page 4: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

12 Universitas Kristen Petra

Indikator yang akan digunakan untuk LMX adalah indikator yang dikem-

bangkan dari angket LMX–7 menurut Graen & Uhl-Bien (1995). Joseph, D. L.,

Newman, D. A & Sin, H. P (2011) mengatakan bahwa sebanyak 66 prosen

penelitian LMX dari total sebanyak 241 penelitian setelah tahun 1999 hingga tahun

2010 mengukur LMX dengan LMX–7 dan sebanyak 19 prosen penelitian

menggunakan LMX-MDM (Liden & Maslyn, 1998). Sebelum tahun 1999,

sebanyak 22 prosen penelitian menggunakan LMX–7 (Graen & Uhl-Bien, 1995)

sebagai instrumen pengukuran sedangkan sub-indikator terinspirasi oleh hasil

penelitian (Wibowo, N, 2013). Indikator LMX–7 dan sub–indikator ditunjukan

sebagai berikut:

1. Respect sebagai syarat pembentukan hubungan antara atasan dan bawahan.

Respect akan diukur dengan sub-indikator sebagai berikut:

− Pemimpin mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam peker-jaan

karyawan sehingga timbul rasa hormat pada karyawan terhadap

pemimpin.

− Pemimpin mengakui dan menghargai potensi karyawan sehingga

karyawan juga menghargai pemimpin.

2. Trust, tanpa ada rasa saling percaya yang timbal balik maka hubungan antara

atasan dan bawahan akan sulit terbentuk. Trust akan diukur dengan sub-

indikator sebagai berikut:

− Karyawan memiliki rasa percaya untuk dapat berpihak atau membela

pemimpinnya dan sebaliknya.

− Karyawan dipercaya untuk dapat melakukan pekerjaan secara

independen oleh pemimpin artinya terdapat unsur kepercayaan pemim-

pin kepada kinerja karyawan.

3. Obligation, pengaruh kewajiban akan berkembang menjadi suatu hubungan

kerja antara atasan dengan bawahan.

− Pemimpin bersedia menolong karyawan dalam menyelesaikan masa-

lah pekerjaan.

Page 5: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

13 Universitas Kristen Petra

− Pemimpin bersedia menjamin karyawan yang berada dalam masalah

dengan apa yang ia miliki.

− Karyawan memiliki keyakinan terhadap pemimpinnya sehingga kar-

yawan akan membela dan mempertahankan keputusan pemimpin.

− Hubungan kerja antara pemimpin dan karyawan yang efektif.

2.2 Work–Life Balance

2.2.1 Pengertian Work–Life Balance

Menurut Parkes & Langford (2008), work–life balance merupakan kondisi

dimana individu yang mampu berkomitmen dalam pekerjaan dan keluarga, serta

bertanggung jawab baik dalam kegiatan non-pekerjaan. Brough, Timms, O’Driscoll,

Kalliath, Siu, Sit & Lo (2014) mendefinisikan Work–Life Balance sebagai penilaian

subjektif individu terhadap kesesuaian antara kegiatan pekerjaan dan yang tidak

menyangkut pekerjaan dan kehidupan (dalam Gravador, L. N., & Teng-Calleja, M.,

2018). Pengertian work–life balance juga didapat dari Greenhaus & Allen (2011, p.

174) mendefinisikan work–life balance sebagai penilaian dimana efektifitas dan

kepuasan individu terhadap peran pekerjaan dan keluarga konsisten dengan nilai

kehidupan yang dianut individu tersebut pada suatu waktu.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work–life Balance

Menurut Schabracq (2003), terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi

Work–life balance seseorang, yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik Kepribadian. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan

di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan

individu ketika masih kecil dengan work–life balance. Individu yang memiliki

secure attachment atau keterikatan emosional yang baik dengan keluarga cen-

derung mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki

insecure attachment atau keterikatan emosional yang tidak baik.

2. Karakteristik Keluarga adalah aspek yang dapat turut menentukan adanya

konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Page 6: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

14 Universitas Kristen Petra

3. Karakteristik Pekerjaan mengacu pada beban kerja, pola bekerja dan waktu

kerja yang dapat memicu adanya benturan dalam pekerjaan dan kehidupan

pribadi.

4. Sikap yaitu aspek yang menyinggung komponen pengetahuan, perasaan dan

kecenderungan berperilaku. Sikap dari masing-masing individu merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi work–life balance.

Berbagai peneliti dan pakar pada bidang work–life balance sepakat bahwa

jumlah jam kerja, jadwal bekerja, kehidupan pribadi karyawan dan tanggung jawab

pribadi, cuti karir dan keterlibatan serta komitmen top management adalah faktor

utama yang berkontribusi terhadap work–life balance. Praktik work–life balance yang

baik akan meningkatkan kepuasan karyawan, kesetiaan karyawan terhadap

perusahaan dan produktivitas karyawan (Dizaho, E & Othman, M, 2013).

2.2.3 Dimensi Work–life Balance

Menurut Fisher, G, Bulger, C & Smith, C. S (2009), terdapat empat dimensi

work-life balance, yaitu:

1. Work Interference with Personal Life (WIPL) Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi individu

2. Personal Life Interference With Work (PLIW). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaan-

nya.

3. Personal Life Enhancement Of Work (PLEW). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa

individu dalam dunia kerja

4. Work Enhancement Of Personal Life (WEPL). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi

individu.

2.2.4 Indikator Work–life Balance

Indikator yang digunakan untuk mengukur Work–life balance menurut

Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D (2003) antara lain:

Page 7: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

15 Universitas Kristen Petra

1. Time balance merujuk pada ketersediaan waktu individu baik bagi

pekerjaannya maupun keluarga.

2. Involvement balance merujuk pada keterlibatan individu secara psikologis dan

komitmen dalam pekerjaannya maupun keluarga.

3. Satisfaction balance merujuk pada kepuasan individu dalam menjalani

kegiatan pekerjaannya maupun kegiatan keluarga.

2.3 Turnover Intention

2.3.1 Pengertian Turnover Intention

Menurut Carmeli & Weisberg (2006), istilah turnover intention merujuk pada

tiga elemen dalam proses kognitif yaitu pikiran untuk keluar dari pekerjaan, intensi

untuk mencari pekerjaan lain dan pikiran untuk berhenti bekerja (dalam Rahman,

Wali & Nas, Zekeriya, 2013). Menurut Robbins & Judge (2009) turnover intention

adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan

baik secara sukarela atau tidak. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan

keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Saeed, I.,

Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) dalam penelitiannya mendefinisikan

turnover intention sebagai rencana karyawan perusahaan untuk meninggalkan peru-

sahaan atau rencana perusahaan untuk memecat karyawan. Ronald & Milkha (2014,

p.5) mengemukakan bahwa Turnover Intention merupakan kecenderungan atau

intensitas keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dengan berbagai alasan

dan diantaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

2.3.2 Faktor-Faktor penyebab Turnover Intention

Penelitian meta–analisis yang dilakukan oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M.

(1986) mengidentifikasi 24 variabel yang berdampak pada turnover dan mengklasifi-

kasikan variabel tersebut menjadi tiga jenis kategori korelasi yaitu faktor eksternal,

faktor pekerjaan dan faktor pribadi. Hal yang masih belum diketahui adalah variabel

manakah yang berpengaruh signifikan terhadap turnover di organisasi kemanusiaan.

Penelitian faktor turnover sangat berguna bagi peneliti dan praktisioner. Meninjau

Page 8: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

16 Universitas Kristen Petra

penelitian Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) maka Dubey, Gunasekaran, Altay,

Childe & Papadopoulos (2016) mengolah klasifikasi tersebut menjadi tiga kategori

yang akan dibahas sebagai berikut.

1. Faktor Eksternal yang meliputi presensi serikat pekerja, presepsi terhadap

jabatan, tingkat pengangguran. Tingkat turnover yang tinggi secara garis besar

dapat dijelaskan dengan teori kebudayaan dan teori perkembangan negara.

2. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu gaji, performa kerja, kejelasan

peran, repetitif pekerjaan, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pekerjaan

itu sendiri, kepuasan terhadap kesempatan promosi dan komitmen

organisasional.

3. Faktor pribadi, pada faktor ini Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah mengi-

dentifikasi bahwa faktor pribadi mencangkup usia, masa kerja, jenis kelamin, in-

formasi biografi, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, kemampuan

atau bakat, kecerdasan, intensi perilaku dan ekspektasi murni.

Penelitian Dubey et al (2016) menemukan bahwa variabel yang telah

diidentifikasi oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah digunakan pada konteks

penelitian yang berbeda oleh berbagai peneliti. Pada tahun 2015, Atique Siddiqui,

Atif & Jamil, R, melakukan penelitian berkaitan dengan hal yang menyebabkan

gejala turnover intention pada 176 responden berasal dari institusi edukasi yang

berbeda. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa stress kerja adalah faktor utama

penyebab karyawan berpikir untuk keluar dari pekerjaan. Temuan penelitian milik

Atique Siddiqui, Atif & Jamil, R (2015) dan Dubey et al (2016) didukung oleh

kesimpulan hasil penelitian Zentner, Aeron (2014) dimana personal factors dan fak-

tor organisasional atau pekerjaan juga menjadi faktor yang mempengaruhi turnover

intention.

2.3.3 Jenis-Jenis Turnover Intention

Pengelompokan jenis turnover oleh Mathis & Jackson (2001) dibedakan

menjadi tiga jenis utama yaitu turnover bedasarkan kesediaan karyawan, tingkat

fungsionalitas dan bentuk pengendaliannya.

Page 9: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

17 Universitas Kristen Petra

1. Turnover bedasarkan kesediaan karyawan terdiri dari turnover secara sukarela

yaitu karena keinginan pribadi dan tidak secara sukarela misalnya dikarenakan

pemecatan akibat kinerja yang buruk.

2. Turnover dari segi fungsionalitas dibedakan menjadi dua yaitu fungsional dan

disfungsional. Turnover fungsional artinya karyawan yang melakukan

turnover memiliki kinerja yang rendah dan menganggu rekan kerja sehingga

menganggu performa perusahaan. Turnover disfungsional adalah turnover

yang dilakukan oleh karyawan yang memiliki peran penting dan kinerja baik

dan meninggalkan perusahaan di saat yang penting.

3. Turnover dari bentuk pengendalian ada dua yaitu turnover yang tidak dapat

dikendalikan karena dipengaruhi dari faktor diluar kendali pemberi kerja atau

organisasi misalnya karyawan berhenti kerja karena alasan keluarga. Turnover

yang dapat dikendalikan perusahaan misalnya perusahaan mampu memelihara

dan membantu karyawan menyelesaikan permasalahan kerja sehingga tidak

jadi melakukan turnover.

2.3.4 Indikator Turnover Intention

Tingkat turnover intention diukur dengan skala pengukuran menurut Harnoto

(2002, p. 2) yaitu sebagai berikut:

1. Absention, yaitu keinginan karyawan untuk melakukan absensi yang tinggi,

disertai dengan tingkat tanggung jawab karyawan yang kurang baik.

2. Work Attitude, yaitu perilaku dan sikap kerja karyawan seperti pelanggaran tata

tertib, perilaku protes terhadap atasan, kemalasan bekerja.

2.4 Hubungan Antar Konsep

2.4.1 Hubungan Leader Member Exchange terhadap Turnover Intention

Para ahli di bidang turnover, baik akademik maupun praktisioner telah la-

ma menekankan bahwa pengawasan terhadap karyawan memiliki peran penting

dalam keputusan turnover secara sukarela (Morrow, P., Suzuki, Y., Crum, M.,

Ruben, R., & Pautsch, G, 2005). Kualitas hubungan atasan dan bawahan

diidentifikasi sebagai kerangka berpikir yang mungkin mampu menjelaskan perilaku

pengawasan yang mempengaruhi keinginan turnover (Gaertner, 1999). Penemuan

Page 10: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

18 Universitas Kristen Petra

beberapa penelitian meta-analisis walaupun memiliki jumlah sampel yang kecil

namun hasil penemuan menunjukan adanya indikasi bahwa kualitas LMX

berpengaruh negatif terhadap keinginan melakukan turnover dan turnover actual

(Gerstner & Day, 1997). Pernyataan bahwa terdapat pengaruh negatif LMX terhadap

turnover intention didukung penelitian Day & Gerstner (1997) dimana hasil

penelitian mereka menunjukan terdapat korelasi LMX negatif signifikan terhadap

turnover intention.

Penelitian terdahulu oleh Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M

(2014) dengan jumlah sampel sebanyak 200 karyawan menyatakan bahwa terdapat

hubungan negatif secara signifikan antara LMX dan turnover intention. Analisis

Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) membuktikan hipotesis

mereka bahwa LMX memiliki asosiasi negatif secara langsung terhadap turnover

intention. Hasil yang identik didapat dari penelitian Hossam, M & Abu, E (2014)

dengan sampel sebanyak 241 karyawan pada 15 organisasi menyatakan bahwa

kualitas LMX memiliki pengaruh fungsional terhadap turnover intention karyawan

secara negatif. Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) pada penelitiannya dengan

sampel sebanyak 1800 orang pada berbagai departemen supermarket di United States

menunjukan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara diversitas demografis

dan turnover pada nilai group mean LMX yang rendah dan hubungan tersebut

melemah ketika nilai mean LMX tinggi.

Penelitian Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) memiliki makna bahwa LMX

memainkan peran pengaruh pada hubungan diversitas demografi pada tingkat

turnover dan tingkat turnover itu sendiri secara tidak langsung. Merujuk pada

berbagai ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.

H1: Diduga leader Member Exchange berpengaruh terhadap turnover intention

pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.

2.4.2 Hubungan Work–life Balance terhadap Turnover Intention

Penelitian terdahulu menampilkan bukti empiris bahwa presepsi terhadap

kualitas kehidupan bekerja berhubungan secara negatif terhadap turnover intentions

(Huang, T, C., Lawler, J., & Lei, C, 2007). Grover & Crooker (1995) menemukan

Page 11: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

19 Universitas Kristen Petra

bahwa karyawan yang memiliki akses kepada praktik yang bersifat family-responsive

memperlihatkan komitmen organisasional yang lebih dan turnover intention yang

lebih rendah (Huang, T. C, et al., 2007). Penelitian terdahulu Huang, T. C, et al.

(2007) dengan random sampel sebanyak 600 pekerja pada empat perusahaan

akunting terbesar di Taiwan menunjukan bahwa empat faktor kualitas kehidupan

bekerja secara negatif berhubungan dengan turnover intention. Hasil penelitian diatas

juga menunjukan bahwa beberapa aspek kulitas kehidupan bekerja berdampak secara

langsung terhadap turnover intention dan beberapa aspek lainnya berdampak secara

tidak langsung melalui mediasi aspek karir dan komitmen afeksi.

Hubungan work–life Balance terhadap Turnover Intention, dibuktikan dengan

sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suifan, T & Abdallah, A & Diab, H

(2016) dengan ukuran sampel sebanyak 382 karyawan. Penelitian tersebut berhasil

membuktikan bahwa praktik Work–life Balance lebih efektif dalam mempengaruhi

tingkat turnover intention sehingga bedasarkan penelitian ini oleh Suifan, T,

Abdallah, A & Diab, H (2016) menyimpulkan Work–life Balance memiliki peran

vital dalam mengurangi tingkat turnover intention. Penelitian ini juga menunjukan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara work-life conflict dan turnover in-

tention.

Semakin banyak konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi maka akan

semakin sulit bagi karyawan tersebut untuk menjaga keseimbangan dan akhirnya

berujung pada pengunduran diri dari pekerjaan(Houston & Waumsley, 2003).

Kualitas work-life balance yang baik dapat menghasilkan keuntungan finansial secara

langsung dari berkurangnya rasio turnover dan pilihan rekruitmen karyawan yang

lebih baik dengan mempekerjakan karyawan berkinerja tinggi yang menghargai

work-life balance (Suifan, T, Abdallah, A & Diab, H.,2016). Merujuk pada berbagai

ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.

H2: Diduga Work–life Balance berpengaruh terhadap terhadap turnover intention

pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.

Page 12: 2. LANDASAN TEORI 2.1 Leader Member Exchange (LMX) …

20 Universitas Kristen Petra

2.5 Kerangka Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

Sumber: Graen & Uhl-Bien (1995), Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D.

(2003), Harnoto (2002, p.2).

Gambar di atas menunjukkan adanya tiga variabel dalam penelitian ini, yaitu Leader

Member Exchange (X1), Work–life Balance (X2) dan garis anak panah menunjukan

hubungan pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap variabel Turnover intention (Y)

sehingga menghasilkan dua hipotesis yang akan diuji. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis dan membuat kesimpulan pengaruh pada masing-masing variabel X1

dan X2 terhadap variabel Y.