1418781679_JWK_17_2_Nov_2014.pdf

download 1418781679_JWK_17_2_Nov_2014.pdf

of 134

Transcript of 1418781679_JWK_17_2_Nov_2014.pdf

  • ISSN 1411-4917 Volume 17 Nomor 2 November 2014 JURNAL WACANA KINERJA Adalah media publikasi ilmiah yang fokus pada penilaian kinerja kebijakan pemerintah, organisasi dan aparatur pemerintah, serta kinerja perusahaan milik negara dan sektor swasta. Penanggungjawab Dr. Joni Dawud, DEA Redaktur Dr. Baban Sobandi, SE., M. Si Penyunting/ Editor Putri Wulandari, S.Si., ME. Pratiwi, S.Sos Mitra Bestari Prof. H. A. Djaja Saefullah, Drs. MA, Ph. D (Guru Besar FISIP Universitas Padjajaran) Prof. Dr. Drs. Budiman Rusli, M. S (Guru Besar FISIP Universitas Padjajaran) Prof. Dede Mariana, M. Si (Guru Besar FISIP Universitas padjajaran) Dr. Dra. Hj. Sintaningrum (Sekretaris Program Magister Administrasi Publik dan Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Padjajaran) Desain Grafis Budi Permana, S.Sos Sekretariat Candra Setya Nugroho, SH Alamat Redaksi/ penerbit: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur 1 Lembaga Administrasi Negara Jl. Kiara Payung KM. 4, 7 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat Telp. (022) 7790048-7790044-7790049-7782041-7782042 Fax. (022) 7790055-7782178; Email: [email protected] Redaksi menerima sumbangan naskah artikel berupa hasil analisis kebijakan, kajian, penelitian dan gagasan yang belum pernah dipublikasikan. Artikel yang diterbitkan menjadi milik redaksi. Isi artikel merupakan tanggungjawab penulis.

  • ISSN 1411-4917 Volume 17 Nomor 2 November 2014 DAFTAR ISI Daftar Isi Pengantar Redaksi Editorial Analisis Flypaper Effect Belanja Pemerintah Daerah Di Indonesia Berbasis Vector Autoregressive (VAR) Toni Heryana Desentralisasi Fiskal dan Tingkat Kemandirian Daerah(Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Jawa Barat) Pupung Puad Hasan Pengaruh Kompetensi Pegawai dan Komitmen Organisasi Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Di Kota Bandung Nugraha, Arvian Triantoro dan Ika Famela Kurnia Efektifitas Manajemen Pelatihan dan Pengembangan Kepemimpinan Pegawai Negeri Sipil Rahmat Mengaudit Kualitas Kebijakan Pembangunan Indonesia: Sebuah Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) Pihri Buhaerah Kerangka HAMBagi Kebijakan Pengendalian Tembakau Asep Mulyana Pengaruh Jumlah Kunjungan Wisatawan Terhadap Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Tahun 2005-2012 Nugraha dan Rita Purnamasari

    Resensi Buku Ketentuan Penulisan Artikel

    78

    113

    1

    41

    52

    20

    96

    ii iii iv

    ii

  • PENGANTAR REDAKSI

    Pembaca yang baik, setelah pelantikan presiden baru yakni Joko Widodo beserta wakilnya, Muhammad Jusuf Kalla, Indonesia dihadapkan pada sejumlah pembenahan khususnya di bidang birokrasi sebagai rantai komando yang menggerakan sendi-sendi pelayanan publik hingga level paling bawah. Birokrasi di Indonesia saat ini dihadapkan pada beberapa persoalan utama seperti kualitas kompetensi aparatur, pembangunan daerah yang terhambat karena anggaran yang dominan pada belanja aparatur, serta manajemen pendapatan daerah. Sehubungan dengan beberapa isu tersebut maka, Jurnal Wacana Kinerja (JWK) pada Volume 17 Edisi 2, November 2014 kali ini menghadirkan enam tulisan dengan bahasan yang beragam.

    Keenam tulisan yang hadir pada edisi kali ini antara lain; 1) Analisis Flypaper Effect Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Indonesia Berbasis Vector Autoregressive (VAR) oleh Toni Heryana yang menjelaskan hubungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada aplikasi di Indonesia. 2) Desentralisasi Fiskal dan Tingkat Kemandirian Daerah yang menyajikan tentang pengaruh desentralisasi terhadap kemandirian daerah oleh Pupung Puad Hasan 3) Pengaruh Kompetensi Pegawai dan Komitmen Organisasi Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Di Kota Bandung oleh Nugraha, Arvian Triantoro dan Ika Famela Kurnia menmggarisbawahi bahwa pengembangan pegawai dan kualitas aparatur berhubungan dengan kualitas laporan keuangan SKPD di Kota Bandung. 4) Efektifitas Manajemen Pelatihan dan Pengembangan Kepemimpinan Pegawai Negeri Sipil oleh Rahmat yang memberikan rekomendasi model hipotetik bagi Diklatpim tingkat IV. 5)Mengaudit Kualitas Kebijakan Pembangunan Indonesia: Sebuah Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditulis oleh Pihri Buhaerah. Tulisan tersebut mampu memberikan khazanah baru dalam perspektif HAM dalam penyusunan kebijakan pembangunan. 6) Kerangka HAMBagi Kebijakan Pengendalian Tembakauyang ditulis oleh Asep Mulyana menjabarkan dimensi dan prospek kebijakan pengendalian tembakau terkait dengan kian mendesaknya tuntutan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan 7) Pengaruh Jumlah Kunjungan Wisatawan Terhadap Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Tahun 2005-2012 yang dibahas oleh Nugraha dan Rita Purnamasari, yang memberikan rekomendasi dan alasan ilmiah agar Pemerintah Kota Bandung semakin mendukung sektor pariwisata di Kota Kembang tersebut.

    Resensi buku berjudul Menegakan Hukum dan Hak Warga Negara : Pers Buku dan Filmmenutup semua tulisan-tulisan diatas. Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh kontributor dan mitra bestari yang telah berkenan memberikan telaahan untuk perbaikan seluruh tulisan hingga JWK edisi kali ini terbit tepat pada waktunya. Selamat membaca kepada seluruh pembaca. Semoga tulisan-tulisan yang tersaji dalam JWK kali ini dapat bermanfaat dalam memberikan pengetahuan dan perspektif baru dalam memberikan kontribusi pada ilmu administrasi negara. Serta, yang lebih penting adalah mendorong angin perubahan kabinet baru.

    Redaksi

    iii

  • Mari Bekerja Bersama!

    Kabinet kerja yang baru dilantik pada tanggal 27 Oktober 2014 lalu mengisyaratkan bahwa anggota kabinet yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki integritas dan kompetensi di bidangnya. Merit system yang tidak sekadar pertimbangan pembayaran hutang politik terlihat dalam pemilihan para pejabat yang duduk di kabinet. Pada level pusat, sistem ini telah dimulai. Meski demikian, kabinet yang disebut dengan Kabinet Kerja ini mengemban pekerjaan rumah birokrasi yang tidak sedikit. Data tahun 2013 menunjukan bahwa proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi di atas 40 persen. Proporsi belanja pegawai pada keseluruhan provinsi di Indonesia berada di kisaran 25 persen, sedangkan kabupaten dan kota pada kisaran 51 persen. Meski belanja pegawai cukup tinggi, hal tersebut tidak membawa angin segar pada perbaikan kinerja birokrasi di Indonesia. Peringkat Ease of Doing Business (Kemudahan berbisnis) Indonesia masih jauh dibawah lima negara ASEAN lainnya yakni Singapura, Malaysia, Vietnam, Brunei dan Thailand. Penyuapan dan birokrasi berbelit menjadi dua titik hitam yang menghambat kemudahan berbisnis di Indonesia. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang memburuk dari tahun 2011 ke 2012 juga merupakan tantangan birokrasi bagi kabinet baru. IPK salah satunya diukur dari gratifikasi dalam birokrasi. Maka, perbaikan dan perombakan birokrasi baik di pusat dan daerah menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan oleh Kabinet Kerja. Pekerjaan rumah yang tidak sedikit dalam birokrasi tersebut dan dilantiknya kabinet baru merupakan desakan bagi aparatur di seluruh Indonesia untuk segera meningkatkan kinerjanya. Tantangan-tantangan diatas harus segera ditangani lantaran pada debat capres dan cawapres lalu, Joko Widodo yang saat ini menjadi presiden terpilih menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Target pertumbuhan tersebut tentu tidak akan lekas tercapai tanpa perombakan birokrasi ke arah yang lebih baik dan berkinerja lebih efektif. Reformasi birokrasi menjadi program nyata pertama dari sembilan program yang dikampanyekan. Reformasi birokrasi akan diprioritaskan dengan sejumlah sub-program antara lain lelang jabatan, pembukaan transparansi sektor publik, restrukturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan publik, peningkatan profesionalisme aparatur, peningkatan kesejahteraan aparatur, pemberantasan korupsi serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik.

    Program-program tersebut hendaklah segera didukung oleh seluruh aparatur dengan peningkatan efektivitas dan efisiensi kinerja. Reformasi birokrasi menuntut lebih dari penyesuaian lingkungan birokrasi dengan kepemimpinan baru namun juga akselerasi kinerja yang diwujudkan secara nyata oleh seluruh birokrat baik di level pusat maupun daerah. Mari bekerja bersama! -Pratiwi

    iv

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 1

    ANALISIS FLYPAPER EFFECT BELANJA PEMERINTAH DAERAH

    DI INDONESIA BERBASIS VECTOR AUTOREGRESSIVE (VAR)

    FLYPAPER EFFECT ANALYSIS OF LOCAL GOVERNMENT EXPENDITURE IN INDONESIA BASED VECTOR AUTOREGRESSIVE (VAR)

    Toni Heryana

    Jurusan Pendidikan Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia Gedung Garnadi

    Jl. Dr. Setiabudhi 229. Bandung 40154 Jawa Barat Telp/Fax: (022) 2001619/ (022) 2001621

    Email: [email protected]

    Abstract Regional autonomy as local independence acceleration policy framework still has not managed to demonstrate achievement, especially in the fiscal aspects. Start from these problems, this research aims: first, examines the relationship between the General Allocation Fund (Dana Alokasi Umum, DAU) and expenditure area consisting of operating expenditure and capital expenditure; the second examines the relationship between revenue local own (Pendapatan Asli Daerah, PAD) and the expenditure area consisting of operating expenditures and expenditures capital. Third, it examines the relationship DAU and PAD; Fourth, it examines whether there is a flypaper on capital expenditure and operating expenditure regency/ cities in Indonesia during the period 2004 to 2013. In line with these objectives in research analysis tool used is the Granger Causality Test and Vector Autoregressive (VAR). The results show: first, DAU and operating expenditures do not have a reciprocal relationship, while the capital expenditure, DAU has a reciprocal relationship with the capital expenditure. Second, revenue and operating expenditures have a reciprocal relationship, so did his relationship with capital expenditure. Third, DAU and PAD do not have a reciprocal relationship, even though it is actually contrary to the practice that occurs in a government in which the determination of the amount of DAU is based on the PAD. Fourth, there is a flypaper in relation DAU, PAD with capital expenditure.

    Keyword : Flypaper Effect, Local Government, Vector Autoregressive A. PENDAHULUAN

    Desentralisasi fiskal yang diamanatkan dalam Undang Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak terasa telah berusia lebih dari satu dasawarsa. Tentunya dengan rentang waktu yang cukup lama ini, seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia diharapkan mampu mengurangi ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Pada usia ini seyogyanya sudah terlihat kemandirian daerah dalam mengoptimalkan berbagai sumber

    dayanya guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan publik di daerah secara lebih baik.

    Semenjak digulirkannya desentralisasi fiskal sebagai bagian dari penerapan otonomi daerah, Pemerintah Pusat senantiasa memfasilitasi Pemerintah Daerah berupa transfer dana, diantaranya berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

  • 2 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    desentralisasi. Kedepan diharapkan besaran transfer DAU ini semakin berkurang, dengan kata lain menunjukkan daerah semakin mandiri dalam memperoleh sumber pembiayaan yang terlihat pada perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dalam pelaksanaannya, transfer DAU dari tahun ke tahunnya semakin meningkat tetapi disatu sisi besaran PAD masih di bawah DAU sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut:

    Gambar 1.

    Perkembangan DAU dan PAD Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia

    Tahun 2004 2013

    Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan

    Republik Indonesia, 2014 Hal ini menunjukkan bahwa

    DAU yang ditransfer oleh pemerintah pusat selama ini belum berhasil mendongkrak PAD. Menurut Alie (2014), besarnya DAU pada pemerintah daerah disebabkan oleh tingginya belanja pegawai di daerah. Sebagai contoh Alie memberikan fakta dilihat dari porsi belanja daerah tahun 2010, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran pegawai 44,57%, sedangkan belanja modal hanya 21,7%. Terdapat 289 kabupaten dan kota yang memiliki belanja pegawai mendominasi 50% atau lebih dari total belanja Pemdanya, bahkan 11 diantaranya belanja pegawai menghabiskan 70% dari total belanjanya.

    Adanya fakta yang menunjukkan pergerakan antara DAU

    terhadap belanja daerah maupun PAD bagi para peneliti merupakan sebuah obyek yang menarik untuk dikaji. Dalam rangka mengkaji interaksi ketiga komponen tersebut, para peneliti memfokuskan pada analisis ada tidaknya gejala flypaper effect atas belanja daerah. Flypaper effect atau lebih dikenal dengan efek kertas layang adalah suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) berupa DAU dari pada menggunakan sumber dana kemampuan sendiri/PAD (Sukri dan Halim 2004; Maimunah 2006).

    Di Indonesia penelitian tentang flypaper effect diantaranya dilakukan oleh Kusumadewi dan Rahman (1999) yang menemukan adanya flypaper effect dalam respon Pemda terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun pada kondisi DAUt-1 dan PADt-1 pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia selama tahun 2001 2004 dengan menggunakan analisis regresi. Maimunah (2006) menemukan flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera baik pada daerah dengan PAD rendah maupun daerah dengan PAD yang tinggi. Selain itu ia menyimpylkan bahwa flypaper effect dapat digunakan dalam memprediksi belanja daerah untuk periode mendatang.

    Senada dengan kedua peneliti sebelumnya, Sasana (2010) menjelaskan terdapat fenomena flypaper effect dalam kinerja anggaran pemerintah provinsi, ditunjukkan oleh lebih besarnya pengaruh DAU dibandingkan PAD terhadap belanja daerah. Sementara itu Pramuka (2010) mengungkapkan tidak adanya flypaper effect pada anggaran belanja pemerintah kabupaten/kota di Jawa. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah setempat tidak mengandalkan hibah dari pemerintah pusat sebagai sumber dari anggaran

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 3

    mereka. Temuan Pramuka ini sekaligus membantah hasil hasil penelitian sebelumnya yang cenderung menyampaikan bahwa sesungguhnya kabupaten/kota di Jawa menunjukkan kemandiriannya dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan daerah.

    Penelitian mengenai flypaper effect tidak hanya dilakukan di Indonesia, juga dilakukan di sejumlah negara lainnya yang termasuk pada kelompok negara berkembang dan negara maju. Dalam penelitiannya, Melo (2002) menemukan fakta terjadinya flypaper effect pada anggaran belanja Pemerintah Kota di Kolombia selama tahun 1980 1997 dengan menggunakan alat analisis regresi data panel yang estimasi dengan Within Groups (WG), Generalized Least Square (GLS). Kemudian, Deller, dkk. (2007) juga menemukan fenomena flypaper effect pada anggaran belanja pemerintah kota di Wincousin selama tahun 1987 2000 dengan menggunakan alat analisis regresi dengan data cross section. Acosta (2008) menemukan flypaper effect pada anggaran belanja pada 124 Kabupaten/Kota di Argentina tahun 1997 dengan menggunakan Regresi berbasis Ordinary Least Square (OLS). Selanjutnya, Gennari dan Messina (2012) menemukan fenomena flypaper effect pada 18 Provinsi di Italia selama kurun waktu 1999 2006 dengan menggunakan regresi data panel. Terakhir di kawasan Asia, Lee (2012) menemukan fenomena flypaper effect pada Anggaran Belanja Pemerintah Provinsi di China selama tahun 1980 2008 dengan menggunakan regresi. Terakhir, Baskaran (2012) menemukan fenomena flypaper effect pada Pemerintah Kota Hessian Jerman selama tahun 2001 2010. Fenomena flypaper effect pada negara maju sesungguhnya merupakan hal yang di luar perkiraan sebab menurut Hines dan Thaler (1995) serta Inman (2008) bahwa

    fenomena flypaper effect tidak terbukti pada negara negara maju.

    Bertitik tolak dari adanya fakta empiris belanja daerah pada Kabupaten/Kota di Indonesia dan beragam temuan para peneliti flypaper effect di Indonesia dengan tahun pengamatan yang berbeda serta adanya temuan para peneliti di negara maju yang menemukan adanya fenomena flypaper effect, menjadi motivasi peneliti untuk mengkaji hal yang sama dengan menggunakan teknik analisis yang berbeda yakni dengan pendekatan Vector Autoregressive (VAR). Teknik analisis VAR sangat tepat digunakan untuk mengAnalisis data deret waktu dan untuk melihat hubungan timbal balik pada variabel variabel yang diteliti (Juanda dan Junaidi, 2012, p. 134). Sejalan dengan hal tersebut, dalam rangka mengkaji fenomena flypaper effect dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan

    resiprokal antara DAU dengan belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Indonesia ?

    2. Apakah terdapat hubungan resiprokal antara PAD dengan belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Indonesia ?

    3. Apakah terdapat hubungan antara resiprokal DAU dengan PAD pemerintah kabupaten/kota di Indonesia ?

    4. Apakah terdapat flypaper effect antara DAU, PAD dengan belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Indonesia ?

    B. DESENTRALISASI FISKAL

    Menurut Falleti (2005) decentralization is a process of state reform composed by a set of public policies that transfer responsibilities, resources, or authority from higher to lower levels of government in the context of a specific type of state. Pandangan yang agak berbeda

  • 4 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    mengenai desentralisasi dikemukakan oleh Suparmoko (2010) yang menjelaskan bahwa desentralisasi adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat seperti hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan serta pertahanan keamanan. Pendapat ini menunjukkan dalam pelaksanaan desentralisasi tidak semua aspek diserahkan pada pemerintah daerah, akan tetapi pemerintah pusat tetap harus memiliki kontrol atas berbagai aspek yang menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan negara.

    Di Indonesia, mengenai desentralisasi diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana desentralisasi dikenal dengan istilah otonomi daerah. Menurut UU tersebut otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang-undangan, dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah. Ditambahkan oleh Shah (2005) tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah menciptakan pemerintah daerah yang demokratis, transparan, meningkatkan kapasitas administrasi, dan lebih mandiri dan mampu di dalam pengelolaan fiskal.

    Secara teoritis desentralisasi fiskal merunut kepada teori fiscal federalism. Teori ini pada dasarnya dikembangkan dari dua teori sebelumnya yakni traditional theory (first

    generation theory) dan new fiscal theory (second generation theory) (Khusaini, 2006). Pandangan teori tradisional tentang fiscal federalism menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi, untuk mendapatkan kemudahan informasi dari masyarakat. Dalam hal ini, terdapat dua ide yang mendasari keuntungan alokatif. Pertama, Penggunaan knowledge in society, dimana menurut Sasana (2009), proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan mempermudah penggunaan informasi yang efisien. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik dari pada pemerintah pusat tentang kondisi daerah sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan tentang penyediaan barang dan jasa publik daripada jika diserahkan ke pemerintah pusat. Kedua, Tiebout dalam Shah (2005) mengenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah daerah dan mempunyai pandangan bahwa kompetisi antara pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat. Suatu analogi argumentasi lainnya yang dikenal dengan ungkapan Love it or leave it . Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 5

    masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut (leave) atau tetap tinggal di wilayah tersebut (love) dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui perwakilannya di daerah (DPRD) (Hyman dalam Khusaini 2006).

    New perspective theory atau second generation theory menjelaskan bagaimana desentralisasi akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Dengan implementasi desentralisasi fiskal apakah pemerintah daerah akan berperilaku berbeda dengan ketika dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Secara teoritik, seharusnya pemerintah daerah akan berperilaku berbeda ketika pemerintah pusat menyerahkan berbagai kewenangan kepada pemerintah daerah, yaitu semakin berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa desentralisasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimana hal tersebut sangat bergantung pada fiskal insentif yang diberikan kepada masyarakat. Dalam new perspective theory dari fiscal federalism dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal seyogiyanya dapat mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga dalam sistem pemerintahan yang desentralistik akan menciptakan efisiensi dalam perekonomian, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat (Ross 1992 dalam Khusaini 2006). Hal ini sejalan dengan penjelasan Tiebout dalam Davoodi dan Zou (1998) menjelaskan:

    The basic economic argument in favor of fiscal decentralization is based . on two complementary assumptions: 1 decentralization will increase economic efficiency because local governments are better positioned than the national government to deliver public services as a result of information

    advantage; and 2 population mobility and competition among local governments for delivery of public services will ensure the matching of preferences of local communities and local governments. Hal senada juga dikemukakan

    oleh Oates seperti yang dikutip oleh Akai dan Sakata (2002) yang menjelaskan : the theoretical prediction that fiscal decentralization enhances or improves the efficiency of government and promotes economic development. Sejalan dengan pendapat Gamkhar dan Oates (1996) menjelaskan terdapat tiga tujuan utama yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, yakni: a. Menciptakan efisiensi dan efektivitas

    pengelolaan sumber daya daerah b. Meningkatkan kualitas pelayanan

    umum dan kesejahteraan masyarakat.

    c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

    Dengan demikian pelimpahan wewenang dan tata kelola dalam bentuk desentralisasi fiskal dalam pelaksanaannya harus berorientasi pada tujuan pemberian desentralisasi fiskal itu sendiri. Tujuan desentralisasi yang dikemukakan di atas sekaligus dapat merupakan indikator dari keberhasilan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan oleh daerah. Bahkan dalam bagian lain Shah (2005) menjelaskan desentralisasi fiskal harus memiliki hubungan dengan peningkatan kinerja fiskal dan meningkatnya fungsi pasar secara umum.

    Nampaknya tujuan dari desentralisasi fiskal hanya tercapai pada negara maju, sedangkan pada negara berkembang desentralisasi fiskal tidak memberikan dampak terhadap

  • 6 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    pertumbuhan ekonomi. Hasil studi yang dilakukan Davoodi dan Zou (1998) menyatakan dampak desentralisasi fiskal yang berbeda antara Negara sedang berkembang dan negara maju, dimana pada Negara maju desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada negara berkembang desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal senada juga ditemukan oleh Shuangcai dan Guiying (2004) dalam penelitiannya terkait dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Mereka menemukan fakta empiris bahwa desentralisasi fiskal di China pada rentang tahun 1979-1990 berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, analisis menggunakan data terkini yang dipakai oleh Lee (2012) menunjukkan bahwa desentralisasi berdampak positif di China pasca reformasi menunjukkan relasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Menurut Dillinger (dalam Sidik 2001) desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan yang mencakup : a. Self-financing atau cost recovery dalam

    pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah.

    b. Co financing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

    c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat serta pinjaman daerah (sumber daya alam).

    Suparmoko (2010) menjelaskan desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung

    fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam konteks perundang undangan, desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya pemisahan yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran; penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam tax policy. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 157 dan Pasal 158 UU No. 32 tahun 2004 yakni adanya keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk menggali potensi penerimaan melalui pajak ataupun retribusi. Di sisi pengeluaran, daerah akan mendapat kewenangan penuh dalam penggunaan dana perimbangan (dari bagi hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU). Pada prinsipnya penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut ditentukan oleh daerah sendiri. Jadi tidak lagi ditetapkan penggunaannya oleh pemerintah pusat seperti yang terjadi pada dana SDO (Subsidi Daerah Otonom) dan Inpres di masa lalu.

    Dalam membahas mengenai desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel yang merupakan representasi desentralisasi fiskal (Khusaini, 2006) yaitu : 1. Desentralisasi Pengeluaran

    Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN).

    2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

    Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 7

    kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik.

    3. Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

    Pelaksanaan desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power) (Bahl, 1999). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah dapat berdampak positif yang akan digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik. Bahkan lebih jauh Booth (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal dapat dijadikan penilaian kemandirian atau kemampuan fiskal. Menurutnya kemampuan fiskal diartikan sebagai proporsi total pendapatan propinsi dan kabupaten/kota yang diperoleh dari sumber-sumber diluar subsidi dari pemerintah pusat.

    Selanjutnya, Suparmoko (2010) menjelaskan untuk mengukur desentralisasi fiskal dapat digunakan rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah, rasio antara PAD dengan penerimaan daerah. Harus diakui bahwa derajat desentralisasi fiskal daerah di Indonesia masih rendah, artinya daerah belum mampu untuk membiayai pengeluaran rutinnya. Oleh karena itu otonomi daerah dapat terwujud apabila disertai dengan otonomi keuangan yang efektif dan daerah mempunyai kemampuan menggali sumber-sumber PAD. Melalui optimalisasi PAD ini, diharapkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer berupa DAU dari pemerintah pusat semakin berkurang.

    C. FLYPAPER EFFECT

    Flypaper effect atau lebih dikenal dengan efek kertas layang adalah suatu kondisi yang menunjukkan porsi penggunaan DAU yang lebih tinggi daripada PAD dalam hal belanja daerah (Sukri dan Halim 2004; Maimunah 2006). Karena itu flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika transfer harus dianggap sebagai tambahan pendapatan masyarakat (seperti halnya pajak daerah), sehingga harus dibelanjakan dengan cara yang sama pula dengan pendapatan asli daerah. Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri.

    Anomali yang timbul tersebut menghasilkan dua aliran pemikiran dari para pengamat ekonomi mengenai telaah flypaper effect, yakni Model Birokratik (bureaucratic model) dan Model Ilusi Fiskal (fiscal illusion model) (Sukri dan Halim 2004; Maimunah 2006). Pemikiran birokratik berpandangan posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan keputusan publik dimana berusaha

  • 8 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    untuk memaksimalkan anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Model birokratik juga menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang leluasa untuk membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak. Shinta (2009: 37) menyatakan bahwa implikasi yang penting dari model ini bahwa desentralisasi fiskal memacu pertumbuhan sektor publik. Dalam sistem yang terdesentralisasi, pemerintah daerah memiliki lebih banyak informasi untuk membedakan kepentingan penduduknya sehingga bisa memperoleh lebih banyak sumber daya dari perekonomian. Sehingga efisiensi ekonomi penyediaan barang publik akan tercapai dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

    Model Ilusi Fiskal (fiscal illusion model) pertama kali dikemukakan oleh ekonom Italia bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu. Maksud dari penjelasan di atas dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah daerah melakukan rekayasa terhadap anggaran agar mampu mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi lebih besar dalam hal membayar pajak atau retribusi, dan juga mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana dalam jumlah yang lebih besar. Apabila terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal (Shinta, 2009: 38).

    D. PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. Hubungan DAU dan Belanja

    Daerah Dalam literatur ekonomi dan

    keuangan daerah, hubungan pendapatan dan belanja daerah didiskusikan secara

    luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang hubungan diuji secara empiris (Chang dan Ho 2002). Holtz-Eakin et al. (1994) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Studi Gennari dan Messina (2012) menggunakan sampel pemerintah kota di Italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric. Gamkhar dan Oates (1996) menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cut in the federal grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Hal tersebut juga tidak berbeda dengan hasil penelitian Sukri dan Halim (2004).

    Berdasarkan konsep dan temuan-temuan tersebut di atas, maka hipotesis untuk melihat hubungan DAU dengan belanja daerah yang terdiri dari belanja operasi dan belanja modal pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia adalah sebagai berikut: H1a : DAU memiliki hubungan

    resiprokal dengan belanja operasi. H1b : DAU memiliki hubungan

    resiprokal dengan belanja modal. 2. Hubungan PAD dan Belanja

    Daerah Studi tentang pengaruh

    pendapatan daerah (local own source revenue) terhadap pengeluaran daerah sudah banyak dilakukan (misalnya Sasana 2010; Acosta 2008; Deller et al. 2007; Gounder et al. 2007; Adi 2006; Hines dan Thaler 1995;). Hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan (terutama pajak) akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 9

    dikenal dengan nama tax spend hypothesis (Acosta 2008; Deller et al. 2007; Gounder et al. 2007). Dalam hal ini pengeluaran Pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Hipotesis untuk menguji hubungan PAD terhadap belanja daerah yang terdiri dari belanja operasi dan belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia adalah sebagai berikut: H2a : PAD memiliki hubungan

    resiprokal dengan belanja operasi. H2b : PAD memiliki hubungan

    resiprokal dengan belanja modal. 3. Hubungan DAU dan PAD

    Seperti yang dikemukakan oleh Maimunah (2006), Suparmoko (2010), dan Sasana (2010) bahwa besaran dana transfer (DAU) dari pemerintah pusat diharapkan mampu mendongkrak besaran pendapatan pemerintah daerah yang tercermin dalam PAD, sehingga diharapkan di masa yang akan datang besaran DAU menjadi lebih sedikit pada daerah yang memiliki PAD yang besar. Pada bagian lain, menurut kajian LPPM UI bahwa antara DAU dan PAD memiliki sifat yang saling menentukan, artinya besaran DAU tergantung kepada besarnya PAD, dan diharapkan DAU yang ditransfer mampu mendongkrak PAD di masa mendatang. Berdasarkan uraian konsep tentang DAU dan PAD serta hasil hasil penelitian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3 : DAU memiliki hubungan

    resiprokal dengan PAD. 4. Flypaper Effect Pada DAU, PAD

    dan Belanja Daerah Beberapa studi empiris

    menunjukkan bahwa perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan sendiri memang terjadi (Gennari dan

    Messina 2012; Aragon 2012; Baskaran 2012; Lee 2012; Pramuka 2010; Sasana 2010; Masdjojo & Sukartono 2008; Hall 2008; Acosta 2008; Deller , dkkl. 2007; Gounder dkk. 2007; Kuncoro 2007; Maimunah 2006; Melo 2002; Kusumadewi & Rahman 1999; Barnett, dkk. 1991). Deller, dkk. (2007) melakukan studi analisis dan empirik dengan sampel pemerintah kota di Kanada dan menyatakan bahwa unconditional grants kepada pemerintah kota diiringi dengan kenaikan dalam pengeluaran pemerintah kota (tapi dengan jumlah yang lebih kecil dari grants).

    Deller, dkk. (2007) menganalisis hubungan pendapatan yang berasal dari bagi hasil dengan menggunakan data 581 kota dan villages di Wisconsin, Amerika Serikat dan menemukan untuk setiap dollar kenaikan dalam pendapatan per kapita, maka pengeluaran total per kapita meningkat sekitar 12 sampai 15 sen. Untuk setiap kenaikan dalam pendapatan bagi hasil per kapita, peningkatan pengeluaran per kapita mencapai 46-55 sen. Hasil ini konsisten dengan hipotesis flypaper effect. Deller, dkk. (2007) menduga bahwa pola respon daerah ini juga dipengaruhi oleh formula penentuan bagi hasil itu sendiri.

    Penelitian Gennari dan Messina (2012) memberikan bukti empiris tentang adanya flypaper effect dalam jangka panjang untuk sampel pemerintah kota di Italia. Mereka menyatakan bahwa local governments consistently increase their expenditure more with respect to increase in State transfer rather than increase in own revenues. Lee (2012) memberikan bukti senada untuk data pemerintah kota di Cina, yakni terjadinya flypaper effect dalam reaksi belanja terhadap unconditional grants. Karena itu flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika transfer harus dianggap sebagai (tambahan) pendapatan masyarakat (seperti halnya pajak daerah), sehingga mestinya

  • 10 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    dihabiskan (dibelanjakan) dengan cara yang sama pula (Hines dan Thaler 1995; Inman 2008). Pada penelitian Kusumadewi dan Rahman (1999) terjadi flypaper effect dalam merespon (belanja) transfer (DAU) dan PAD pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. begitu pula dengan penelitian Maimunah (2006) yang menemukan flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera. Para peneliti menemukan flypaper effect dengan kondisi ketika belanja pemerintah lokal meningkat pada saat mendapatkan transfer dari pemerintah pusat, dengan peningkatan belanja yang tidak sebanding dengan pendapatan pemerintah lokal (Inman, 2008). Sesuai dengan karakteristik anggaran pemerintah di Indonesia, maka flypaper effect terjadi dalam kondisi : (1) apabila efek (nilai koefisien) DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada efek PAD dan keduanya sama-sama signifikan, atau (2) PAD tidak signifikan, maka dapat disimpulkan terjadi flypaper effect (Maimunah, 2006).

    Berdasarkan uraian konsep flypaper effect dan hasil hasil penelitian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H4a : Bila respon DAU lebih besar dari

    PAD terhadap belanja operasi, maka terjadi flypaper effect.

    H4b : Bila respon DAU lebih besar dari PAD terhadap belanja modal, maka terjadi flypaper effect.

    E. METODE PENELITIAN 1. Variabel Penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan survey terhadap realisasi APBD khususnya mengenai belanja operasi, belanja modal, DAU, dan PAD seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia dalam periode triwulanan selama kurun waktu tahun 2004 2013 yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan

    Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

    Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti terdiri dari: a. Belanja Operasi

    Adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial. (Sumber : PP 71 tahun 2010 tentang SAP).

    b. Belanja Modal pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud. (Sumber : PP 71 tahun 2010 tentang SAP).

    c. Pendapatan Asli Daerah Adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)

    d. Dana Alokasi Umum Adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 11

    2. Teknik Analisis Data

    Guna melihat hubungan antara variabel yang akan diteliti, digunakan Vector Autoregressive (VAR) sebagai alat analisis. Teknik analisis VAR digunakan apabila data yang digunakan adalah data deret waktu dan dapat digunakan untuk melihat hubungan timbal balik pada variabel variabel yang diteliti (Juanda dan Junaidi, 2012, p. 134).

    Terdapat tiga bentuk model VAR yaitu (1) Unrestricted VAR yang terdiri dari VAR in level dan VAR in difference, (2) Restricted VAR atau disebut Vector Error Correction Model (VECM), dan (3) Structural VAR. VAR in level digunakan dalam kondisi data yang stationer, apabila tidak stationer maka harus distationerkan terlebih dahulu, VAR in difference digunakan jika data tidak stationer dalam level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi. VECM digunakan dalam kondisi data tidak stationer namun terkointegrasi. Structural VAR merupakan bentuk VAR yang direstriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat dan skema urutan peta hubungan terhadap peubah-peubah yang digunakan dalam model VAR (Juanda dan Junaidi, 2012, p. 137).

    Pemilihan model VAR berdasarkan pengujian stationer tidaknya data penelitian. Guna kepentingan ini digunakan uji akar unit (unit root test) melalui metode Dickey-Fuller (DF) berupa nilai t-hitung DF yang dibandingkan dengan test critical value pada tingkat kesalahan alpha 1%, 5% atau 10%. Jika t-hitung lebih besar dari test critical value, data bersifat stationer dan sebaliknya t-hitung lebih kecil dari test critical value, data bersifat tidak stationer.

    Sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, persamaan berdasarkan analisis VAR adalah sebagai berikut:

    Pengujian hipotesis model VAR

    digunakan uji kausalitas Granger (Granger causality test). Uji kausalitas adalah pengujian untuk menentukan hubungan sebab akibat antara peubah dalam sistem VAR yang dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

    Berdasarkan persamaan tersebut

    disusun persamaan untuk menguji apakah X mempengaruhi Y dan sebaliknya apakah Y mempengaruhi X seperti dalam persamaan 1.1 sampai dengan persamaan 2.6. Prosedur pengujian atas persamaan tersebut menggunakan uji F. Nilai F hitung ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

  • 12 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    Melalui perbandingan nilai F-

    hitung dengan F-tabel selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan menolak atau menerima hipotesis nol. Jika nilai F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak dan sebaliknya menerima H0.

    Perhitungan pengujian dan Analisis VAR dalam penelitian ini menggunakan software E-Views versi 6.0.

    F. HASIL PENELITIAN DAN

    PEMBAHASAN Pengujian stationeritas data

    menunjukkan data stationer dalam kondisi 1st difference (lihat tabel A) pada tingkat kesalahan alpha 1%, 5% maupun 10% dan dengan demikian model VAR yang dapat digunakan adalah VAR unrestricted. Selanjutnya hasil Analisis pemilihan model VAR yang optimal menunjukkan model akan optimal dalam kondisi lag 2 (lihat tabel B dan C).

    Seperti yang diuraikan dalam metodologi bahwa pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji kausalitas Granger. Berikut ini disajikan ikhtisar hasil pengujian kausalitas Granger atas variabel DAU, PAD, Belanja Operasi dan Belanja Modal:

    Tabel 1 Ikhtisar Hasil Pengujian Kausalitas Granger

    Hasil Pengujian

    Interpretasi

    DAUBOPR Menerima H0

    DAU tidak memiliki hubungan resiprokal dengan belanja operasi.

    PAD BOPR Menolak H0 PAD memiliki hubungan resiprokal dengan belanja operasi.

    DAU BMOD Menolak H0 DAU memiliki hubungan resiprokal dengan belanja modal.

    PAD BMOD Menolak H0 PAD memiliki hubungan resiprokal dengan belanja modal.

    DAU PAD Menerima H0

    DAU tidak memiliki hubungan resiprokal dengan PAD.

    Sumber : Hasil pengolahan VAR dengan E-Views versi 6.0, tahun 2014 Menyimak tabel di atas, nampak bahwa DAU dan belanja operasi menunjukkan tidak terdapat hubungan resiprokal. Hal ini menunjukkan pemerintah daerah mengalokasikan belanja operasi dari sumber lain, misalnya PAD. Dengan demikian temuan ini bertentang dengan hasil penelitian Gennari dan Messina (2012) menggunakan sampel pemerintah kota di Italia, menemukan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric. Hubungan resiprokal diperlihatkan oleh PAD dan biaya

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 13

    operasi, dimana PAD pada masa sekarang menjadi penentu alokasi belanja operasi di masa mendatang, dan sebaliknya belanja operasi pada gilirannya akan menjadi pertimbangan pencapaian target PAD di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan temuan Acosta (2008); Deller et al. (2007); Gounder et al. (2007) yang menyatakan bahwa pendapatan (terutama pajak) akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah dikenal dengan nama tax spend hypothesis. Dalam hal ini pengeluaran Pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran.

    Mengenai hubungan DAU dan belanja modal, Tabel 1 menunjukkan terdapat hubungan resiprokal antara keduanya, artinya DAU tahun ini merupakan hasil perhitungan dari belanja modal sebelumnya, dan begitu pula penerimaan DAU tahun ini menjadi proyeksi bagi pemerintah daerah dalam menaksir perkiraan belanja modal pada periode mendatang. Hasil penelitian sekaligus menjadi pelengkap teknik perhitungan DAU bagi suatu daerah ditentukan melalui celah fiskal dan alokasi dasar1 yang keduanya ditentukan berdasarkan kemampuan PAD, penerimaan bagi hasil dan kondisi makro seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Pada bagian lain kondisi ini mencerminkan Pemerintah Pusat melalui DAU berupaya untuk meningkatkan kemandirian daerah dengan mendorong belanja modal sebesar besarnya sebagai katalisator untuk memperoleh pendapatan daerah. Hal yang sama juga ditemukan oleh para peneliti di negara 1 Undang Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Negara

    lain seperti Melo (2002), Deller, dkk. (2007), Acosta (2008), Gennari dan Messina (2012), Lee (2012), dan Baskaran (2012) yang mengungkapkan bahwa besaran belanja pemerintah lokal dipengaruhi oleh dana dana transfer dari pemerintah pusat.

    Seperti halnya hubungan DAU dan belanja modal, dari sisi Pemerintah Daerah terdapat hubungan resiprokal antara PAD dan belanja modal dimana besarnya PAD saat ini akan menjadi penentu belanja modal di masa mendatang, dan sebaliknya belanja modal yang diperlukan menjadi penentu target PAD yang harus diperoleh oleh pemerintah. Praktek demikian sejalan dengan konsep penganggaran pemerintah bahwa kebutuhan belanja akan menjadi target untuk memperoleh pendapatan di masa yang akan datang, dan berlaku sebaliknya. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan Kusumadewi dan Rahman (1999), Maimunah (2006), dan Sasana (2010) yang meneliti pola penganggaran pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera maupun di Jawa.

    Adanya hubungan antara DAU dengan belanja modal dan PAD dengan belanja modal pada bagian lain dapat digunakan untuk menguji terjadi tidaknya flypaper effect. Tabel F pada lampiran menunjukkan nilai F-hitung DAU ternyata lebih besar dari PAD atau dengan kata lain responsivitas DAU lebih besar daripada PAD terhadap belanja modal, artinya dalam anggaran pemerintah daerah menunjukkan adanya fenomena flypaper effect. Temuan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih tergantung pada alokasi DAU sebagai transfer dari Pemerintah Pusat walaupun telah diberlakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah yang tertuang dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diharapkan

  • 14 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    memberikan stimulus yang cukup berarti dalam mendorong kemandirian fiskal di daerah.

    Temuan terjadinya flypaper effect pada anggaran pemerintah daerah sejalan dengan temuan Kusumadewi dan Rahman (1999) yang menemukan adanya flypaper effect dalam respon Pemda terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia selama tahun 2001 2004. Begitu pula dengan hasil penelitian Maimunah (2006) menemukan flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera, serta Sasana (2010) yang meneliti 33 Provinsi di Indonesia. Hasil penelitian ini sekaligus menunjukkan kecenderungan yang sama pada negara berkembang lainnya seperti yang ditemukan oleh Melo (2002), Deller, dkk. (2007), Acosta (2008), Gennari dan Messina (2012), Lee (2012), dan Baskaran (2012). G. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN

    PENELITIAN SELANJUTNYA Sesuai dengan tujuan yang ingin

    dicapai dalam penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut: pertama, DAU dan belanja operasi tidak memiliki hubungan resiprokal, sedangkan pada belanja modal, DAU memiliki hubungan resiprokal dengan belanja modal. Kedua, PAD dan belanja operasi memiliki hubungan resiprokal, begitu pula hubungannya dengan belanja modal. Ketiga, DAU dan PAD tidak memiliki hubungan resiprokal, walaupun hal ini sesungguhnya bertentangan dengan praktek yang terjadi di pemerintahan di mana penentuan besaran DAU adalah didasarkan kepada PAD . Keempat, terdapat flypaper effect dalam hubungan DAU, PAD dengan belanja modal. Temuan keempat ini menunjukkan geliat kemandirian fiskal daerah belum

    mengalami perkembangan yang lebih baik.

    Secara teoritis, hasil penelitian ini serta didukung pula oleh sejumlah penelitian lainnya tentang flypaper effect di Indonesia dapat digeneralisasi bahwa tujuan desentralisasi fiskal tidak terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia, dan hal ini sekaligus menjadi salah satu sumbangan dalam memperkuat teori new perspective bahwa desentralisasi fiskal sebagai bagian dari semangat otonomi daerah dalam pemanfaatannya dapat menunjukkan perilaku pemerintah daerah.

    Secara empiris, adanya fenomena flypaper effect pada belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia, pemerintah pusat perlu melakukan penataan kebijakan pemanfaatan DAU yang berorientasi pada peningkatan belanja modal, misalnya DAU dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur atau layanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya ; atau kegiatan dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan. Tentunya hal ini akan memiliki dampak yang besar bagi masyarakat dalam peningkatan pelayanan publik maupun mengurangi pengangguran. Dengan demikian, DAU menjadi penting bagi suatu daerah sebagai salah satu pendapatan daerah yang dapat digunakan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan daerah dan menjadikan daerah tersebut memiliki kapabilitas yang tinggi.

    Penelitian ini terfokus pada pengkajian model VAR secara nasional, oleh karenanya untuk penelitian berikutnya peneliti menyarankan model VAR untuk masing masing Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia supaya mendapatkan variasi model VAR secara lebih baik.

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 15

    H. UCAPAN TERIMA KASIH Hasil penelitian ini telah

    dipresentasikan dalam acara Seminar dan Call for Paper 3rd Economics and Business Research Festival dengan tema Business Dynamics Toward Competitive Region of ASEAN di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga pada tanggal 13 November 2014. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada tim reviewer yang telah memberikan komentar dan kontribusi dalam penyempurnaan artikel ini maupun peserta diskusi khususnya kepada Bapak Made Dudy Setiawan.

    DAFTAR PUSTAKA Acosta, P. (2008). The Flypaper Effect in

    Presence of Spatial Interdependence: Evidence from Argentinean Municipalities. The Annals of Regional Science, 44(3), 453466. doi:10.1007/s00168-008-0277-0

    Adi, P. H. (2006). Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah: Studi pada Kabupaten dan Kota se-Jawa Bali. In Simposium Nasional Akuntansi IX (pp. 2326).

    Akai, N., & Sakata, M. (2002). Fiscal Decentralization Contribute to Economic Growth: Evidence from State Level Cross Section data for United States. Journal of Urban Economics, 52, 93108.

    Alie, M. (2014). Efektivitas pengelolaan keuangan daerah. http://marzukialie.com.

    Aragon, F. (2012). Local Spending, Transfers and Costly Tax Collection (pp. 137).

    Bahl, R. (1999). Implementation Rules For Fiscal Decentralization. New York: The World Bank.

    Barnett, R. R., Levaggi, R., & Smith, P. (1991). Does The Flypaper Model

    Stick? A test of The Relative Performance of The Flypaper and Conventional Models of Local Government Budgetary Behaviour. Public Choice, 69(1), 118.

    Baskaran, T. (2012). The Flypaper Effect: Evidence from A Natural Experiment in Hesse (pp. 125). Goettingen, Germany.

    Booth, A. (2000). Upaya-Upaya Untuk Mendesentralisasi Kebijaksanaan Perpajakan. Masalah Kemampuan Perpajakan, usaha Perpajakan dan Perimbangan Keuangan, Hubungan Pusat Daerah dalam Pembangunan(Rangkuman Collin Mac Andrews dan Icksul Amal). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

    Chang, T., & Ho, Y. H. (2002). Tax or Spend, What Cause What: Taiwans Experience. International Journal of Business and Economics, 1(2), 157165.

    Davoodi, H., & Zou, H. (1998). Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study. Journal of Urban Economics, 43, 244257.

    Deller, S., Maher, C., & Liedo, V. (2007). Winconsin Local Government, State Shared Revenues and The Illusive Flypaper Effect. Journal of Budgeting, Accounting, and Financial Management, 19(2), 200220.

    Falleti, T. G. (2005). A Sequential Theory of Decentralization: Latin American Cases in Comparative Perspective. American Political Science Review, 99, 327 346.

    Gamkhar, S., & Oates, W. (1996). Asymmetries in The Response to Increases and Decreases in Intergovermental Grants: Some Empirical Findings. National Tax Journal, 49(4), 501512.

    Gennari, E., & Messina, G. (2012). How Sticky are Local Expenditures in Italy? Assesing The Relevance of The

  • 16 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    Flypaper Effect Through Municipal Data (No. 844) (pp. 131). Italy.

    Gounder, N., Narayan, P. K., & Prasad, A. (2007). An Empirical Investigation of the Relationship Between Government Revenue and Expenditure: The Case of The Fiji Islands. International Journal of Social Economics, 34(3), 147158. doi:10.1108/03068290710726711

    Hall, J. L. (2008). The Changing Federal Grant Structure and Its Potential Effects on State and Local Community Development Efforts. Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, 20(1), 4671.

    Heryana, T. (2014). Flypaper Effect: Suatu Analisis Pola Anggaran Pemerintah Daerah Menyongsong Asean Economic Community. In 3rd Economics & Business Research Festival: Business Dynamics Toward Competitive Economic Region of ASEAN (pp. 179201). Salatiga, Jawa Tengah: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana.

    Hines, J. R., & Thaler, R. H. (1995). Anomalies: The Flypaper Effect. Journal of Economic Perspectives, 9(4), 217226. doi:10.1257/jep.9.4.217

    Holtz-Eakin, D., Rosen, H. S., & Tilly, S. (1994). Intertemporal Analysis of State in Local Government Spending: Theory and Test. Journal of Urban Economics, 35, 159174.

    Inman, R. P. (2008). The Flypaper Effect (pp. 110). Massachusetts.

    Juanda, B., & Junaidi. (2012). Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor, Indonesia: IPB Press.

    Khusaini, M. (2006). Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. Malang: BPFE Universitas Brawijaya.

    Kuncoro, H. (2007). Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan

    Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. In Simposium Nasional Akuntansi X (pp. 129). Makassar, Indonesia.

    Kusumadewi, D. A., & Rahman, A. (1999). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Indonesia. JAAI, 11(1), 6780.

    Lee, L. (2012). The Flypaper and Teflon Effects: Evidence from China. Modern Economy, 03(07), 811816. doi:10.4236/me.2012.37103

    Maimunah, M. (2006). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. In Simposium Nasional Akuntansi IX (pp. 2326). Padang, Indonesia.

    Masdjojo, G. N., & Sukartono. (2008). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta Analisis Flypaper Effect Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006-2008. Jurnal Telaah Manajemen, 6(1), 3250.

    Melo, L. (2002). The Flypaper Effect under Different Institutional Contexts: The Colombian Case. Public Choice, 111(3-4), 317345.

    Pramuka, B. A. (2010). Flypaper Effect pada Pengeluaran Pemerintah Daerah di Jawa. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 11, 112.

    Sasana, H. (2009). Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 10(1), 103124.

    Sasana, H. (2010). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada Provinsi di Indonesia. Eko-Regional, 5(2), 6066.

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 17

    Shah, A. (2005). Fiscal Decentralization and Fiscal Performance. In Annual Congress of the International Institute of Public Finance. Jeju Island, Korea.

    Shuangcai, Z., & Guiying, L. I. U. (2004). Influencing Factors Analysis of and Control Systems Design of Budgetary Slack in Chinese Enterprise 2 The Present Situation of Budgetary Slack in China, 127132.

    Sidik, M. (2001). Studi Empiris Desentralisasi Fiskal: Prinsip, Pelaksanaan di Berbagai Negara, serta Evaluasi Pelaksanaan Penyerahan Personil, Peralatan,

    Pembiayaan dan Dokumentasi Sebagai Konsekuensi Kebijakan Pemerintah. In Sidang Pleno X ISEI. Batam, Indonesia: ISEI.

    Sukri, A., & Halim, A. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI, 2(25), 90109.

    Suparmoko. (2010). Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Andi.

  • 18 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 19

    Tabel F Model VAR Belanja Modal, DAU, PAD

    D(B_MOD) D(DAU) D(PAD)

    D(B_MOD(-1)) -0.677811 -1.070468 -0.448057

    (0.21086) (0.34013) (0.09965) [-3.21454] [-3.14727] [-4.49615]

    D(DAU(-1)) -0.044826 -0.394364 0.045352

    (0.11973) (0.19313) (0.05659) [-0.37439] [-2.04195] [ 0.80147]

    D(PAD(-1)) 0.758805 1.609371 0.074591 (0.34684) (0.55947) (0.16392) [ 2.18776] [ 2.87658] [ 0.45504]

    C 74203.64 1793636. 776367.2 (3961949) (6390847) (1872457) [ 0.01873] [ 0.28066] [ 0.41462]

    R-squared 0.346222 0.496633 0.484760 Adj. R-squared 0.288536 0.452218 0.439297 Sum sq. resids 2.02E+16 5.25E+16 4.51E+15 S.E. equation 24368927 39308451 11516999 F-statistic 6.001818 11.18172 10.66287 Log likelihood -698.1415 -716.3105 -669.6611 Akaike AIC 36.95482 37.91108 35.45585 Schwarz SC 37.12719 38.08346 35.62822 Mean dependent 395994.4 1962047. 791222.8 S.D. dependent 28890828 53110719 15380591

    Determinant resid covariance (dof adj.) 6.19E+43 Determinant resid covariance 4.43E+43 Log likelihood -2071.256 Akaike information criterion 109.6451 Schwarz criterion 110.1622

    Sumber : Hasil Pengolahan E-Views Versi 6

    tahun 2014

  • 20 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    DESENTRALISASI FISKAL DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH (Studi Pada Kabupaten dan Kota Di Provinsi Jawa Barat)

    FISCAL DECENTRALIZATION

    AND LOCAL GOVERNMENT INDEPENDENCY LEVEL (Study in Districts and Cities of the Province of West Java)

    Pupung Puad Hasan

    Bidang Diklat Aparatur Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara

    (PKP2A 1 LAN) Jl. Kiara Payung KM. 4, 7, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

    Telp. (022) 7790048/ 7782178 Email: [email protected]

    Abstract

    Fiscal decentralization is a form of delegated authority of the central government to local governments in matters of financial management. Local governments are given the authority to explore potential sources of local revenue in accordance with applicable regulations. Submission sources of revenue for local governments in the region should ideally be able to encourage self-finance its expenditure. Minimum local governments are able to finance expenditures of local government employee nevertheless remains dependent on central government transfers, it is shown by the local government is still dependent on the balance of funds by the central government through the DAU, DAK and other legal equalization funds. This study aims to determine the level of regional dependency on the central government decentralization era during his journey in the past 10 years (2001-2011). The sample in this study are some regencies/districts and cities in the Province of West Java. The results showed that the degree of independence of local government is still low, which means dependence on the central government is still high. Some areas even shows for local income can not afford to finance recurrent expenditure. Keywords: decentralization, local government, level of regional dependency.

    A. PENDAHULUAN Reformasi yang digulirkan di negeri

    ini memberikan arah perubahan yang cukup besar terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah lahirnya kebijakan otonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut memberikan angin segar terhadap kejumudan sistem sentralistik yang dinilai tidak adil dalam pelaksanaan pembangunan. Otonomi daerah memberikan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk

    mengatur urusan pelayanan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan daerahnya secara mandiri.

    Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian diganti dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang mengatur tentang otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan salah satu instrumen yang dinilai efektif dalam pelaksanaan pemerataan pembangunan di tiap

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 21

    daerah, yang harapanya terjadi efisiensi dan keefektifan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah serta mampu menjadi solusi atas ketimpangan antar daerah yang dianggap sebagai dampak dari sistem sentralistik yang kurang adil. Kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan dan pelaksanaan pembangunan dalam mengejar ketertinggalannya dari daerah lain sesuai dengan kewenangan yang diaturnya. Implikasinya terhadap daerah adalalah menjadikan daerah memiliki peran yang penting dalam mengatasi masalah pemerataan pembangunan dan pengelolaan kepemerintahan secara mandiri. Sebagai pelaksana utama pembangunan didaerahnya daerah memiliki kewajiban dalam melaksanakan program- program pembangunan yang memiliki dampak terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dalam mengelola daerahnya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakatnya. Daerah diberikan kewenangan dalam mengelola daerahnya sendiri secara mandiri dan mampu memenuhi kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundangan. Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk mendukung pembangunan nasional di negeri ini demi tercapainya pemerataan kapasitas daerah dari berbagai aspek. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam menjalankan otonomi seluas- luasnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota saling terkait, tergantung

    dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.

    Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah ini adalah dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan sumber- sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya. Daerah diberikan kewenangan dalam menggali sumber- sumber penerimaan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Undang- undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah2. Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah dalam menggali pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat. Prinsip dari desentralisasi fiskal tersebut adalah money folow functions, dimana pemerintah daerah mendapat kewenangan dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah pusat memberikan dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Disamping pemerintah pusat juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan pemerintah 2 UU No. 33 tahun 2004 sebelumnya telah didahului oleh Penggantian UU No. 25 tahun 1999 yang tujuan penggantiannya adalah untuk mengakomodasi perubahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah sehingga menjadi sesuai dengan perkembangan yang ada.

  • 22 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    pusat dan antar pemerintah daerah lainnya. Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya. Sumber- sumber pendapatan asli daerah tersebut adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha milik daerah dan pendapatan lain yang sah. Undang- undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa daerah boleh meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian dengan ditetapkannya Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan adanya tambahan terhadap sumber- sumber penerimaan daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Kebijakan tersebut pada dasarnya semakin memperluas daerah untuk menggali sumber- sumber pendapat asli daerahnya dari komponen- komponen pajak dan retribusi daerah.

    Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri. Menurut Halim (2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sejalan dengan Waluyo, (2007) yang mengatakan bahwa idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah dapat benar- benar otonom, tidak lagi tergantung ke pemerintah pusat.

    Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

    Santosa dan Rahayu (2005) menyebutkan bahwa PAD sebagai salah satu penerimaan daerah mencerminkan tingkat kemandirian daerah. Semakin besar PAD maka menunjukan bahwa daerah mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat berkurang. Namun demikian kebijakan- kebijakan desentralisasi fiskal yang ada tidak sertamerta dapat membangun kemandirian daerah dengan cepat. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya tentang Kinerja Keuangan Dan Strategi Pembangunan Kota Di Era Otonomi Daerah Di Kota Surabaya menemukan bahwa ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi karena belum optimalnya penerimaan dari PAD dan belum optimalnya pendapatan/laba BUMD. Sampai saat ini potensi pendapatan asli daerah masih menitikberatkan pada perolehan pajak dan retibusi daerah. Butuh waktu yang lama untuk membangun kemandirian daerah dalam membiayai anggaran pengeluaran belanja daerah minimal belanja pegawainya. Sampai saat ini ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih cukup besar. Kawung (2008) meneliti kemampuan keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara masih rendah yakni sebesar 30,66% terhadap penerimaan daerah, yang artinya peranan PAD masih kurang dan perlu ditingkatkan. Dari uraian

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 23

    diatas menunjukan bahwa kemampuan keuangan daerah yang direpresentasikan dari pendapatan asli daerah (PAD) masih menitik beratkan pada komponen pajak dan retribusi. Kemampuan PAD dalam mengurangi ketergantungan masih perlu di teliti dalam perannya mengakomodasi pembiayaan belanja daerah minimal belanja rutinnya. Kapasitas PAD sebagai salah satu indikator pembentuk kemandirian sebuah daerah perlu di teliti dan dievaluasi selama perjalanan desentralisasi fiskal di negeri ini untuk melihat sejauh mana tingkat kemandirian dari daerah selama 10 tahun berjalan.

    B. RUMUSAN MASALAH

    Desentralisasi fiskal adalah bentuk pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam urusan pengelolaan keuangan. Daerah diberikan kewenangan dalam menggali potensi sumber- sumber pendapatan daerah sesuai pertaturan yang berlaku. Penyerahan sumber- sumber pendapatan bagi daerah idealnya mampu mendorong daerah dalam membiayai pengeluarannya secara mandiri. Seyogyanya daerah minimal mampu membiayai belanja pegawai namun demikian pemerintah daerah masih tetap bergantung kepada transfer pemerintah pusat, hal ini ditunjukan dengan masih tergantungnya daerah terhadap dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat melalui DAU, DAK dan dana perimbangan lainnya yang sah. Hal tersebut memunculkan pertanyaan bagaimanakah kemampuan keuangan daerah khususnya pendapatan asli daerah (PAD) dalam membiayai belanja rutin daerah, bagaimanakah derajat desentralisasi fiskal, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dan kemampuan PAD dalam membiayai belanja rutin daerah

    dalam kurun waktu 10 tahun berjalannya desentralisasi fiskal khususnya daerah beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat? C. TUJUAN PENELITIAN

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penerimaan daerah dari PAD, kemampuan daerah dalam membiayai belanja rutin/ belanja pegawai, derajat desentralisasi fiskal daerah dan tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat selama berjalannya pelaksanaan desentralisasi fiskal yakni dari tahun 2001 sampai 2011 beberapa kabupaten dan kota di lingkungan Provinsi Jawa Barat

    D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Otonomi Daerah dan

    Desentralisasi Fiskal Penerapan otonomi dan

    desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi undang-undang tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah yang diberlakukan pada Bulan Desember 2004. Kebijakan tersebut memungkinkan daerah- daerah untuk mampu mengelola keuangannya secara mandiri untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukanakan oleh Living Stone dan Charlton (1998 : 499), yaitu bahwa desentralisasi pemerintah dan desentralisasi keuangan pemerintah merupakan suatu tujuan yang penting di banyak negara sedang berkembang dan bahwa kabupaten atau kota lebih memungkinkan untuk lebih

  • 24 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    dekat dengan masyarakat, sehingga dapat mengetahui kebutuhan masyarakat dan pelayanan yang perlu disediakan untuk masyarakat. Dampaknya masyarakat akan memiliki kesadaran untuk membayar kewajiban pajak sebagai kontribusinya, karena jumlah yang mereka kontribusikan kepada pemerintah langsung terlihat hasilnya.

    Dalam UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) pada prinsipnya ada tiga bentuk desentralisasi, dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah, yaitu sebagaimana berikut ini:

    a. Dekonsentrasi (Decontretation) Merupakan pelimpahan kewewenangan dari agen-agen pemeritah pusat yang ada di ibukota negara, pada agen-agen di daerah.

    b. Delegasi (Delegation) Merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan tanggung jawab pada pemerintah pusat.

    c. Devolusi (Devolution) Merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat, pada pemerintah daerah, dimana daerah juga diberi kewenangan dalam mengelolah penerimaan dan pengeluaran daerahnya. Mengingat prinsip money follow

    function dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi yang ketiga yaitu devolusi (Devolution).

    Menurut Prawirosetoto, 2002, desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggungjawab dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expanditure assignment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyedian barang dan jasa publik (pubilc goods/public services). Ada dua keuntungan yang dapat dicapai dari penerapan desentralisasi fiskal (Ebel dan Yilmaz, 2002), antara lain:

    a. Efisiensi dan alokasi sumber-sumber ekonomi

    Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh informasi yang lebih baik (dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah daerah lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

    b. Persaingan antara pemerintah daerah

    Penyediaan barang publik yang dibiayai oleh pajak daerah akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi fiskal, warga negara menggunakan metode vote by feet dalam menentukan barang publik di wilayah mana, yang akan dimanfaatkan.

    Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat dua variabel umum yang sering digunakan,

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 25

    yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah. Ebel dan Yilmaz (2002) menyatakan terdapat variasi dalam pemilihan indikator untuk mengukur desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Meskipun sama-sama menggunakan variabel yang pengeluaran dan penerimaan pemerintah, yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran (size variabels) yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga ukuran variabel yang umum digunakan, seperti: jumlah penduduk, luas wilayah, dan GDP. Lebih lanjut Ebel dan Yilmaz (2002) bahwa baik penerimaan dan atau pengeluaran pemerintah bukanlah indikator yang sempurna untuk mengukur desentralisasi fiskal.

    2. Kemandirian Daerah

    Lahirnya kebijakan otonomi daerah diikuti oleh kebijakan kebijakan lainnya yang turut mendukung pelaksanaan otonomi daerah di negeri ini, harapannya daerah mampu untuk mengembangkan diri sehingga tercipta suatu pola kemandirian Daerah yang selain memajukan Daerah itu sendiri sekaligus mampu mensejahterakan masyarakatnya. Kemandirian daerah merupakan salah satu kriteria untuk melihat berhasil tidaknya salah satu kebijakan pemerintah yaitu otonomi daerah yang mulai dilaksanakan pada tahun 2001. Kemandirian suatu daerah dapat didefinisikan sebagai seberapa besarkah tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai daerahnya. Mengingat pelaksanaan program pembangunan daerah di berbagai bidang membutuhkan biaya yang cukup besar. Daerah yang mampu memperkecil tingkat ketergantungannya kepada

    pemerintah pusat dapat dikatakan sebagai daerah yang mandiri.

    Menurut Mardiasmo (2002:3) menjelaskan bahwa pemberlakuan otonomi daerah merupakan tuntutan reformasi total yang disebabkan karena pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan.

    Sebelum otonomi daerah mulai diberlakukan, semua urusan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan alasan yaitu, untuk menjaga stabilitas nasional, dan kondisi sumberdaya manusia daerah yang dirasa masih relatif lemah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

    Adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah khususnya terkait dengan penyerahan sumber- sumber ekonomi dalam pendapatan asli daerah harus dioptimalkan oleh daerah untuk membangun kemandirian dalam pembiayaan belanja daerah. Ketergantungan kepada bantuan pusat

  • 26 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    harus seminimal mungkin, sehingga pendapatan asli daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan Negara (Halim, 2001 : 370).

    Hal utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berdiri sendiri dalam pembangunannya terletak pada kemampuan keuangan daerah tersebut untuk menggali sumber keuangan sendiri dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi sumber keuangan besar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

    Jika rasio ketergantungan suatu daerah terhadap pemerintah pusat semakin kecil, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang mandiri. Oleh karena itu suatu daerah harus mampu menyusun anggaran daerah dengan baik yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang tujuannya adalah melayani kepentingan umum atau masyarakat daerahnya.

    3. Penerimaan Daerah

    Dalam mengalokasikan pembelajaan atas sumber-sumber penerimaannya terkait dengan fungsi desentralisasi, daerah memiliki kebijakan penuh untuk menentukan besaran dan sektor apa yang akan dibelanjakan (kecuali transfer DAK yang digunakan untuk kebutuhan khusus). Menurut UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, maka sumber penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

    Perimbangan, dan lain-lain pendapatan (Nurcholis, 2005). 4. Pendapatan Asli Daerah

    Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus dipacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian pemerintah daerah sangat dituntut dalam membiayai pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat perlu diprioritaskan karena diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, definisi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sebagai berikut : Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD merupakan hak setiap daerah. Oleh karena itu setiap daerah diwajibkan untuk menggali sumber-sumber potensial masing-masing daerah untuk meningkatkan pendapatan daerahnya.

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penggalian sumber-sumber potensial daerah wajib dilakukan sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Salah satunya dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dan retribusi, yang nantinya akan meningkatkan total hasil penerimaan daerah. Jika penerimaan pajak dan retribusi daerah meningkat, maka akan memberikan peluang kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Sehingga secara otomatis akan mengurangi rasio ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu suatu daerah harus mampu menyusun anggaran daerah dengan baik yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah

  • Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014 27

    dalam rangka melaksanakan pembangunan yang tujuannya adalah melayani kepentingan umum atau masyarakat daerahnya.

    Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan aspek pendapatan yang paling utama dalam PAD karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan. Menurut Halim dalam Landiyanto, 2005, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan suatu otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk mengelolah pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

    PAD mencerminkan local taxing power yang cukup sebagai necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah yang luas. Jadi keinginan daerah untuk meningakatkan penerimaan dari pajak dan retribusi adalah legal dengan tetap memenuhi prinsip keuangan negara (perpajakan) agar pajak dan retribusi daerah tidak distortif dan menyebabkan inefisiensi ekonomi (Simanjuntak, 2005).

    5. Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan

    hasil kebijakan pemerintah pusat di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (pajak dan sumber daya alam), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK)

    6. Dana Bagi Hasil

    Dana Bagi Hasil (DBH), merupakan salah satu jenis dari dana perimbangan antara pusat dan daerah di bidang desentralisasi fiskal. Melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil (DBH), dibagimenjadi dua, yaitu:

    a. Dana Bagi Hasil Pajak Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal (11) disebutkan bahwa bagian daerah dari bagi hasil pajak berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dalam negeri.

    b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam, panas bumi, pertambangan umum (seperti batu bara, nikel, emas, dsb), hasil hutan dan hasil perikanan. Bagi hasil dilakukan antara pusat dengan daerah dimana SDA itu berada. Jadi, daerah yang tidak memiliki SDA atau yang tidak berada dalam satu provinsi dengan daerah kaya, pada dasarnya tidak akan memperoleh bagian (Simanjuntak, 2005).

    7. Dana Alokasi Umum

    Dana alokasi umum adalah transfer yang bersifat umum black grant

  • 28 Jurnal Wacana Kinerja Volume 17 Edisi 2 November 2014

    yang diberikan kepada semua kabupaten kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari daerah kaya. Tujuan pengalokasian DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik diantara pemerintah daerah di Indonesia. Secara implisit, DAU bertujuan untuk menetralkan dampak peningkatan ketimpangan antar daerah sebagai akibat bagi hasil pajak dan SDA yang tidak merata. DAU untuk satu wilayah dialokasikan atas dasar celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar (Simanjuntak, 2005). Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di Indonesia (Kuncoro, 2004).

    Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah dapat secra leluasa dapa