132423245-Demam-Tifoid-Blok-12
-
Upload
risma-lestari-siregar -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of 132423245-Demam-Tifoid-Blok-12
Demam Tifoid
Risma Lestari Siregar
102012426
D2
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit yang dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan
negara- negara berkembang lainnya. Demam tifoid adalah penyakit yang mudah menular dari penderita
atau karier ke orang lain melalui kebersihan dan sanitasi yang kurang. Penyebab utama penyakit
demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui fecal-oral. Transmisi yang
paling sering terjadi adalah melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan bakteri
tersebut. Oleh sebab itu demam tifoid menjadi endemik di daerah-daerah yang status ekonomi kurang
baik, daerah yang sanitasi lingkungannya kurang bersih, tempat dimana air bersih susah didapat, dan
pengetahuan setiap individu yang kurang atas pentingnya kebersihan perorangan terutama dalam
mengelola makanan dan minuman.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu komunikasi antara dokter dengan pasien atau orang yang terdekat
dengan kehidupan pasien tersebut sehari-hari. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk mengetahui
keluhan utama dari pasien serta informasi mengenai riwayat penyakit pasien. Pada pasien ini diketahui:
Panas naik turun terus menerus selama 7 hari terutama sore hari.
Menggigil dan kadang mengigau.
Konstipasi selama 5 hari.
Gejala klinis lainnya yang dapat ditemukan pada penderita demam tifoid minggu pertama
adalah: nyeri kepala, vertigo, myalgia, nyeri abdomen, batuk, diare, mual, muntah, anoreksia.1-3
Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengetahui adanya perubahan patologis secara
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada pasien ini didapatkan:
PF: compoc mentis
Tekanan darah: 110/80mmHg.
Suhu 38,6oC
Denyut nadi 80x/menit.
RR 20x/menit
Abdomen : nyeri tekan pada region epigastrium
Gejala klinis lainnya terdapat: bradikardia, lidah berselaput dengan kotor ditengah, gangguan
mental berupa koma, delirium, atau stupor dan Rose Spots. 1-3
Pemeriksaan Laboratorium
Tujuan dari pemeriksaan laboratorium atau penunjang ini adalah untuk mengetahui lebih pasti
ada atau tidaknya penyakit tertentu secara mikroskopis atau laboratorium.
Pemeriksaan Rutin: Pada pemeriksaan darah perifer bisa didapati leucopenia, leukosit normal,
atau leukositosis walaupun tidak terdapat infeksi sekunder. Anemia ringan dan trombositopenia juga
dapat ditemukan. Pada pemeriksaan hitung jenis didapatkan aenosinofilia maupun limfopenia dan LED
meningkat. Pada SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT(Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase) sering kali meningkat. 1-3
Kultur Darah: Merupakan tes untuk mengetahui adanya infeksi bakteri atau yeast dengan
membiakan darah pasien. Hasil biakan yang positif terhadap demam tifoid memastikan adanya bakteri
atau yeast, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut: 1-3
1) Telah mendapat terapi antibiotik yang mengakibatkan biakan terhambat.
2) Volume darah yang kurang (minimal 5cc).
3) Riwayat vaksinasi karena antibodu dapat menekan bakteremia.
4) Pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
Uji Widal: Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman tertentu. Pada uji ini, akan terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari ujian Widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serium
penderita demam tifoid: Aglutinin O (dari tubuh kuman), H (dari flagella kuman), Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara
cepat dan mencapai puncat pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Setelah
sembuh, orang itu masih didapatkan aglutinin O selama 4-6 bulan dan H selama 9-12 bulan. Faktor
yang mempengaruhi uji Widal: 1-3
1) Pengobatan dini dengan antibiotik.
2) Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid.
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemic atau non-endemik
5) Riwayat vaksinasi.
6) Reaksi anamnestik, atau peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu.
7) Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif yang cepat untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi
O9 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. Hasil positif uji TUBEX ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. tyhpi. Infeksi
pada S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. 1-3
Uji Typhidot merupakan uji untuk mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji ini didapatkan 2-3 hari setelah infeksi
dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi.
Uji IgM Dipstick merupakan uji khusus untuk mendeteksi antibody IgM spesifik terhadapt S.
typhi pada spesimen serum atau whole bood. Uji ini menggunakan strip yang mengantdung antigen
LPS S. typhi dan anti IgM (sebagai kontrol). Akurasi hasil ini didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala. 1-3
Working Diagnosis
Demam tifoid sebagai diagnosa kerja karena gejala yang dialami pasien ini menyerupai gejala
yang didapati pada penderita demam tifoid antara lain demam yang terus menerus dan meningkat sore
hari, bradikardia, konstipasi, splenomegali, dan hepatomegali. Selain dari gejala klinis tersebut, ujis
laboratorium dibutuhkan untuk memastikan bahwa pasien ini menderita demam tifoid. Walaupun
gejala-gejala klinis yang didapati pada pasien ini dapat terjadi pada penderita infeksi lainnya, namun
gejala-gejala tersebut lebih mengarah kepada demam tifoid. Penatalaksanaan dan pencegahan harus
dilakukan dengan tepat dan baik untuk memperbaiki keadaan pasien dan orang disekitarnya supaya
tidak tertular. 1-3
Differential Diagnosis
Demam Dengue: Demam ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus
Flavivirus. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Penularan infeksi virus
demam dengue terjadi melalui vector genus Aedes terutama Aedes Aegypti dan A. albopictus.
Gejala klinis demam ini menyerupai gejala klinis infeksi lainnya disertai dengan ruam kulit,
manifestasi perdarahan seperti petekie, leucopenia. Penderita demam ini biasanya sering
mengalami epistaksis atau perdarahan pada gusi.1-3
Demam Berdarah Dengue : Penderita demam ini sama dengan penderita demam dengue kecuali
pada DBD, didapati kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia. Pada
keadaan berat dapat terjadi SSD atau sindrom syok dengue yang disertai dengan kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin, dan gelisah. 1-3
Demam Tifoid : Penderita penyakit ini disebabkan oleh genus Rickettsiae yang merupakan
bakteri gam negatif dan obligat intraseluler. Transmisi bakteri ini melalui kutu, tick, atau vector
kecil lainnya yang menghisap darah tidak termasuk nyamuk. Terdapat 12 macam typhus yang
berbeda transmisi dan gejala klinisnya. Gejala klinis awal meliputi demam, nyeri kepala,
myalgia, muntah, dan batuk. Tahap selanjutnya meliputi macular, makulopapular, atau vesikels,
pneumonitis. 1-3
Malaria : Penderita penyakit ini disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium dan memiliki 4
species: P. vivax, P.ovale, P.malariae, P. falciporum. Dari keempat tersebut, yang dapat
menyebabkan kematian paling sering adalah P.falciporum. Manusia dapat terinfeksi oleh
parasit ini melalui saliva ketika nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi menggigit dan
memiliki fase sporozoit yang merupakan stadium infeksi pada parasit ini. Gejala klinis
penderita ini sama seperti penderita infeksi lainnya meliputi sakit kepala, lelah, nyeri abdomen
dan demam. Walaupun nyeri kepala pada malaria cukup parah, tetapi tidak ada kekakuan leher
atau photophobia dan nyeri otot tidak separah pada penderita demam dengue. Orthostatic
hypotension sering didapati. Yang khas tentang malaria adalah demam tinggi, menggigil, dan
kekakuan badan. Pada P.falciporum mungkin demamnya tidak pernah reguler, suhu mencapai
diatas 40oC dengan takikardi dan delirium. Hepatomegali, splenomegali, dan jaundice yang
ringan sering didapati pada penderita ini. Rash tidak didapati pada penderita ini kecuali pada
penderita berat P. falciparum. 1-3
Leptospirosis : Penderita Leptospirosis disebabkan oleh Leptospirosis interrogans.
Mikroorganisme ini dapat hidup di tubulus renalis untuk beberapa tahun tertuama pada rodents
atau tikus. Transmisi bakteri ini pada manusia biasanya melalui kontak langsung dengan urin,
darah, atau jaringan dari binatang atau hewan yang telah terinfeksi atau kepaparang terhadap
lingkungan yang terkontaminasi. Transmisi antara manusia ke manusia jarang. Karena
Leptospirosis interrogans ini dikeluarkan melalui urin dan dapat hidup dalam air selama
beberapa bulan, air merupakan transportasi bagi transmisi bakteri ini seperti pada banjir dimana
urin dari hewan yang terkontaminasi bergabung. Gejala-gejala yang didapati penderita ini
hampir sama dengan gejala klinis infeksi yang lain meliputi demam, menggigil, sakit kepala di
bagian frontal dan retroorbital, mual, muntah, dan nyeri otot. Yang khas pada penderita ini
adalah nyeri otot terutama di bagian betis, belakang, dan perut. Sering juga didapat conjunctival
suffusion. Rash, limfadenopati, splenomegali, hepatomegali jarang ditemukan. Pada penderita
berat ditemukan Weil’s syndrome yang dikarakteristikan dengan jaundice, gangguan renal, dan
hemmorhagic diathesis. 1-3
Etiologi
Penyebab dari demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi yang merupakankan suatu
penyakit menular melalui transmisi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut.
Bakteri dengan genus Salmonella beradaptasi dengan baik di dalam manusia dan binatang yang
menyebabkan banyaknya penyakit. Bakteri Salmonella typhi dan S. paratyhpi adalah 2 serotypes dari
Genus Salmonella yang hanya menganggap manusia sebagai host. S. typhi termasuk family
Enterobacteriaceae, gram (-), tidak berspora, dan anaerobic fakultatif yang berukuran 2-3 x 0.4-0.6 m.
Seperti Enterobacteriacea lainnya, S. typhi memproduksi asam pada fermentasi glukosa, menurunkan
nitrat, dan tidak memproduksi sitokrom oksidase. S. typhi juga mempunyai flagel yang peritrikh untuk
bergerak, memproduksi gas H2S pada fermentasi gula.1-4
Epidemiologi
Transmisi yang menyebabkan kenaikan insiden demam tifoid adalah melalui makanan atau
minuman yang telah terkontaminasi oleh orang yang sakit atau seorang demam tifoid karier yang
terdapat sebanya (2-5%). Pada tahun 2002, di seluruh dia telah terestimasi sebanya 22 juta kasus
dengan 200,000 meninggal. Insiden tertinggi (>100/ 100,000) di south-central dan Southeast Asia;
medium (10-100/100,000) di Asia lain, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan New Zealand; rendah
pada bagian dunia lain. Insiden yang tinggi disebabkan oleh santasi yang buruk dan kurangnya akses
kepada air minum yang bersih. 1-4
Menurut Departemen kesehatan RI, kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 9,2/100,000 dan pada tahun 1994 terjadi peningakata menjadi 15,4/100,000 penduduk. Dari
survei rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981-1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita
sekitar 35,8%. Insiden demam tifoid bervariasi setiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rurual Jawa Barat terdapat 157/100,000 penduduk namun pada daerah urban
terdapat 760-810/100,000 penduduk. Perbedaan ini disebabkan oleh penyediaan air bersih,yang belum
memada serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia namun tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. 1-4
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sallmonella yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke saluran
getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai organ,
termasuk usus. Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan dieksresi dalam tinja.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 1-4
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara ”intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 1-4
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi. 1-4
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. 1-4
Penatalaksanaan atau Terapi
Non-Medica Mentosa: 1-4
1) Istirahat dan perawatan: Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat sperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, buang air besar, akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, perlengkapan yang dipakai, serta
hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2) Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif): Dengan tujuan mengembalikan
rasa nyaman dan keseatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup
penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid karena makanan yang
kurang akan menunrunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan
proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemeberian bubur saring ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Kemudian
ditingkatkan ke bubur kasar dan nasi.
Medica Mentosa:1-6
1) Kloramfenikol: Obat pilihan utama di Indonesia dengan efektifitas membunuh 90%
kuman. Dosis 4 x500 mg/hari (PO or IV) sampai dengan 7 hari bebas panas.
2) Tiamfenikol: Dosis sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi
seperti anemia apalastik kemungkinan lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.
3) Kotrimoksazol: Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa: 2x2 tablet (1 mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80
mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
4) Ampisilin dan Amoksisilin: kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih
rendah dibanging kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan berkisar 50-150 mg/kbBB dan
digunakan selama 2 minggu.
5) Sefalosporin Generasi Ketiga: Yang terbukti efektif untuk demam tifoid: seftriakson.
Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc diberikan ½ jam
perinfus sekali sehari selama 3 hingga 5 hari.
6) Golongan Fluorokuinolon:
a. Norfloksasin: 2x400mg/hari selama 14 hari.
b. Siprofloksasin: 2x500mg/hari selama 6 hari.
c. Ofloksasin: 2x400 mg/hari selama 7 hari.
d. Pefloksasin: 400mg/hari selama 7 hari.
e. Fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari.
7) Azitromisin: Dosis 2x500mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini dibanding
dengan fluorokuinolon, secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat
inap terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain Multi Drug Resistance
maupun Nalidixic Acid Resistant S. typhi. Dibandingkan dengan ceftriakson, azitromisin
mampu mengurangi angka relaps. Antibiotika ini terkonsentrasi dalam sel sehingga
antiibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengibatan infeksi S. typi yang
merupakan kuman intraseluler. Bisa PO atau IV.
8) Kortikosteroid: Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septic dengan dosis 3x5mg.
Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus
premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat
disingkirkan. Pada kehamilan lanjut dari trimester pertama, dapat diberikan. Fluorokuinolon dan
kotrimaksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksilin, dan seftriakson. 1-6
Komplikasi
Karena demam tifoid merupakan penyakit sistemik, makan hampir semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi dapat terjadi. 1-6
1) Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
2) Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID.
c. Paru: Pneumonia, empiema, pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
f. Tulang: osteomielitis, periostitis, arthritis.
g. Neuropsikiatrik.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah
dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Biasanya bila terobati dini dan tidak ada
komplikasi berat: 1-6
Ad vitam: Bonam
Ad Functionam: Bonam
Preventif1-6
1) Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut: Terutama
pengelola makanan-minuman, pelayan masyarakat.
2) Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier.
3) Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi:
a. Vaksinasi: Terutama bagi yang hendak mengunjungi daerah endemic, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid, dan petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan. Jenis vaksinasi oral: -Ty21a (vivotif Berna) atau parenteral: -ViCPS, vaksin
kapsul polisakarida.
4) Tindakan preventif beradasarkan likasi daerah yaitu:
a. Daerah non-endemik: Sanitasi air dan kebersihan lingkungan, penyaringan pengelola
pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman, pencarian dan pengobatan kasus
tifoid karier.
i. Bila ada kejadian epidemi tifoid: Pencarian dan eliminasi sumber penularan.
Pemeriksaan air minum dan mandi, penyuluhan hygiene dan sanitasi pada
populasi umum daerah tersebut.
b. Daerah endemik: memasyaratkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standara prosedur kesehatan, pengunjung ke daerah ini harus minum air yang
telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar, vaksinasi secara menyeluruh pada
masyarakat setempat maupun pengunjung.
Kesimpulan
Demam tifoid dapat dibedakan dengan typhus atau penyakit demam lainnya berdasaran
beberapa ciri khas dari gejala demam tifoid. Namun untuk memastikan suatu diagnosa, tes
laboratorium perlu dilakukan. Penatalaksanaan demam tifoid juga dapat dilakukan secara medica
mentosa atau non-medica mentosa. Pemberian obat dan dosis harus tepat dan teratur untuk mengurangi
terjadinya komplikasi dan penyembuhan yang lebih cepat. Demam tifoid dapat dicegah dengan
pemberian vaksin namun lebih baik lagi kalau kemungkinan transmisi tersebut dikurangi atau
ditiadakan.
Daftar Pustaka
1. Widoyono. Penyakit tropis. Demam Tifoid. Jakarta: Erlangga ; 2008. h.34-6.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Harrison. Editor: Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Principles of
internal medicine. 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.
4. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Medical microbiology. USA: Thieme; 2005
5. Goodman, Gillman. Editor: Brunton LL. The pharmacological bass of therapeutics. 11 th Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies Inc;
6. Istiantoro YH, Gan VHS. Farmakologi dan terapi.Penisilin, sefalosporin, antibiotik betalaktan
lainnya. Edisi ke-5.2007. Jakarta:Balai Penerbit FKUI