121-131

18
SISTEM TRANSPOR MUKOSILIER Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya yang terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukos dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret akan lebih kental tapi drainase lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek. Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum kemudian ke atap, dinding lateral, dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinier jika ostiumnya terletak didasar sinus atau gerakan

description

ddfg

Transcript of 121-131

SISTEM TRANSPOR MUKOSILIERSistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya yang terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukos dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret akan lebih kental tapi drainase lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum kemudian ke atap, dinding lateral, dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinier jika ostiumnya terletak didasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya bergabung di dekat infudibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melawati bagian anteroinferior orifisium tuba eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero superior orifisium tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba Eustachius.

FISIOLOGI HIDUNGBerdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) Fungsi respirasi untuk mengukur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan resevoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara, dan mencegah hantaran suar sendiri melalui tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.

FUNGSI RESPIRASIUdara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lekungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinan oleh banyak pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring oleh a) rambut pad vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

FUNGSI PENGHIDU Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapatmencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasaa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis stroberi, jeruk, pisang atau coklat, Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari asam jawa.

FUNGSI FONETIKResonansi oleh hidung penting un-tuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebab-kan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) ringga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

REFLEK NASALMukosa hidung merupakan reseptorefleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiologi, vaskuler dan pernapasanIritasi mukosa hidung dapat menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekreskelenjar liur, lambung dan pankreas. Daftar pustaka 1. Probst RA History and Clinical Examination of the Nose. In: Probst R. Basic Otorhinolaryngoloyg. Georg Thieme Verlag Stuttgart. New York, 2006 : 16-18. 2. East C. Examination of the NoseY In: Mackay IS., Bull TR (Eds). Scott-Browns's Otolaryngology Sixthed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-83. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and accessory sinuses.ln Diseases of the Nose, ThroatEar, Head & Neck. Fourteenth Edition Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger, Philadelphia. London` 1991: p.3-84. Rice DH and Schaefer SD. Endoscopic Paranasal Sinus Surgery. Roven Poles, New York, 1988:p.37-40

POLIP HIDUNGEndang Mangunkusumo dan Retno S. Wardani

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongg hidung, berwarna putih keabu-abuan terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.

PatogenesisPembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bemstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjabaru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.

MakroskopisSecara makroskopik polip merupakan massa berangkai dengan permukaan licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, Iobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Wama polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal daridalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.

Mikroskopsis Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-sel nya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung seI-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.Berdasarkan jenis sel peradangannya polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofllik.

Diagnosis Polip NasiAnamnesisKeluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada hidung disenai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bemafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengiterutama pada penderita polip nasi dengan asma.Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.

Pemeriksaan FisikPolip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif.Naso-endoskopiAdanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasai daostium asesorius sinus maksila.

Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasi-kan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada kom-plikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.

PENATALAKSANAANTujuan Utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplilfasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respon yang Iebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutroilik.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi Iokal etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).

Daftar pustaka1. Nuty W Nizar, Endang Mangunkusumo. Polip Hidung. Dalam Efiaty Sopardi, Nurbaiti lskandar (ed). Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi v. Jakarta; Barat Penerbit FKUI; 2001: p.96-8.2. Hilger PA. Diseases of the nose. ln: Adams GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6" ed. Philadelphia: wB saunders,1989; p.246-41. 3. Dreake-Lee AB. Nasal Polyps. ln'. Mackay IS, Bull TR (Eds). Scott-Brown's Otolaryngology. Sixth ed. London; Butterworth. 1997: 4/10/1-6.4. Bernstein JM. The lmmunohistopathology and pathophysiology of nasal polyp.ln: Settipane GA Lund VJ, Bernstein JM, Tos M eds. Nasal polyp; epidemiology, pathogenesis and its treatment Providence. Rhode Island: Ocean Side Publication; 1997.p.85-9.5. Settipane GA. Nasal Polyps. ln: Settipane GA (Ed)Rhinitis 2"' ed Providence: Ocean Side Publications,inc.,1991: p.173-83.6. Jareoencharsri P, Pathogenesis ot Nasal Polyps. In: Bunnag C and Muntarbhorn K (Eds). Asean Rhinological Practice. Thailand: Siriyod Co., Ltd, 1997: p.54-74.7. Larsen PLl Tos M. Origin and structure of nasal polyps. In: Mygind N, Lildholdt T (Eds) Nasal Polyposis: An inflammantory disease and its treatment. Copenhagen: Munksgaard, 1991: p.17-30.8. Naclerio RM, Mackay IS. Guideline for the management of nasal polyirwsiti1 |01 Mygind N Lildholdt T (eds). Nasal Polyposis: An inhamantory disease and as treatment. copenhagen: Munksgaard, T991: p.177-80.

KELAINAN SEPTUMNuty W. Nizar dan Endang Mangunkusumo

Kelainan septum yang sering ditemukan ialah deviasi septum, hematoma septum danabses septum.

DEVIASI SEPTUMBentuk septum normal ialah Iurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak Iurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan menganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

EtiologiPenyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi pada septum nasi itu.

BENTUK DEFORMITASBentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.

Gejala KlinikKeluhan yang paling sering pada deviasi septum ialah sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.Keluhan Iainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari itu penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

TerapiBila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR). Pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan berlangsung bertemu di garis tengah.Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.

HEMATOMA SEPTUMSebagai akibat trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah akan berkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan septum, dan membentuk hematoma pada septum.Bila terjadi fraktur tuIang rawan, maka darah akan masuk ke sisi lain, sehingga terbentuk hematoma septum bilateral. Adanya kumpulan darah di subperikondrium akan mengancam vitalitas tulang rawan yang hidupnya tergantung dari nutrisi perikomdrium.

Gejala KlinikGejala yang menonjol pada hematomaseptum ialah sumbatan hidung dan rasa nyeri Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unllateral atau bilateral pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin dan ber warna merah. Pembengkakan dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung, sehingga menyebabkan obstruksi total.

TerapiDrenase yang segera dilakukan dapar mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan. Dilakukan punsi dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pungsi, pada bagian hematoma yang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang rawan di bawahnya.Antibiotika harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

KomplikasiKomplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi ialah : abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose).

ABSES SEPTUMKebanyakan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kumman dan menjadi abses.Gejala abses septum ialah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri berat, terutama terasa di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Pemeriksaan lebih baik tanpa menggunakan spekulum hidung. Tampak pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin.Abses septum harus segera diobati sebagai kasus gawat darurat karena komplikasinya dapat berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan septum. Terapinya, dilakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk nyeri dan demamnya diberikan analgetika.Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung, bila sudah ada destruksi tulang rawan perlu dilakukan rekonstruksi septumKomplikasi yang mungkin terjadi ialah destruksi tulang rawan septum yang dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (me-lesak). Jugadapat menyebabkan komplikasi ke intrakranial atau septikemia.

Daftar pustaka1. Brain D. The Nasal septum. ln: Mackay lS, Bull TR (Eds). Scott-Brownss Otolaryngology. Sixth ed.London: Butterworth, 1997; p.4/|1/1-272. Hilger PA. Diseases of the noseA in Adams GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia, Saunders, 1989; p.215-6; p.241-33. Ballenger JJ Diseases of the Nose, Throat Ear` Head and Neck. 14" ed. Philadelphia: Lea a Febiger, 1991; 145-94. Huizing EH. The management of septal abscess. Facial Plastic Surgery 1986; 3'. 243-54

RINITIS ALERGINina Irawati, Elise Kas'akeyan dan Nikmah Rusmono

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatai dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh lg E.

Patofisiologi Rinitis AlergiRinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktintas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th O). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, lL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofll (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basotil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGDZ), Leukotrien D4 (LT D4), LeukotrienC4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5 IL6, GM-CSF (Granu/ocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi AIergi Fase Cepat (RAFC).Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 - 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,basofil dan mastosit di mukosa hidung sena peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofll dengan mediator inflamasi dari granuinya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphiiic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesiflk (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambaran HistologikSecara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan inflltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungaudebu rumah (D. pteronyssinus, D.fannae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur Aspergillus,Alternana).2. Mergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.3. Mergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisiiin dan sengatan lebah.4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :1. Respons PrimerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.

2. Respons SekunderReaksi yang terjadi bersifat spesifik yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag bemasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons Tersier Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasiflkasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi ananlaksis (immediate hypersentitivity). tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis AlergiDahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat bedangsungnya, yaitu :1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman. hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah.gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakanpenyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencemaan. Gangguan flsiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO InitiativeARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau-kurang dan 4 minggu.

2. Persisten/ menetap: bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi 2 yaitu:1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

DiagnosisDiagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1. AnamnesisAnamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme flsiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFLsebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (Iakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisikPada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bervvarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofiPemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesiflk lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granular dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).