118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

36
BAB I KASUS 1.1 IDENTITAS Nama : Tn. U Jenis Kelamin : Laki-Laki Umur : 34 tahun Alamat : Jl. Baru HHII Dalam RT 12/01 No. 12, Jakarta Utara No. RM : 163624 Tanggal Pemeriksaan : 27 November 2012 1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) Keluhan Utama : Bersin-bersin terus menerus sejak 6 tahun yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung,

Transcript of 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Page 1: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

BAB I

KASUS

1.1 IDENTITAS

Nama : Tn. U

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 34 tahun

Alamat : Jl. Baru HHII Dalam RT 12/01 No. 12, Jakarta Utara

No. RM : 163624

Tanggal Pemeriksaan : 27 November 2012

1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

Keluhan Utama :

Bersin-bersin terus menerus sejak 6 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 6

tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu

yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar

debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga

disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan cairan

berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai dengan

hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian

menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak

mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak

disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Os belum pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluhan yang sama di keluarga disangkal

Page 2: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Riwayat Alergi :

Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap makanan,

dan obat-obatan, disangkal.

Riwayat Pengobatan :

Sebelumnya pasien hanya mengobati keluhan hanya dengan menggunakan obat warung.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien bekerja sebagai petugas pengamanan, dan untuk berangkat ke tempat bekerja,

pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak menggunakan masker

saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : tidak diukur

Pernafasan : 20 x/ menit

Nadi : 84 x/menit

Suhu : Afebris

Status Lokalis

Telinga

Bagian KelainanAuris

Dextra SinistraPreaurikula Kelainan kongenital

Radang Tumor Trauma Nyeri tekan

-----

-----

Aurikula Kelainan kongenital Radang Tumor Trauma

----

----

Page 3: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Nyeri tarik - -Retroaurikula Edema

Hiperemis Nyeri tekan Radang Tumor Sikatriks

------

------

Canalis Acustikus Externa

Kelainan kongenital Kulit Sekret KlotingSerumen Edema Jaringan granulasi Massa Cholesteatoma

---------

---------

Membrana Timpani Intak Reflek cahaya

++

++

Fungsi Pendengaran Aurikula Dextra Aurikula Sinistra

Batas atas dan batas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Rinne positif Rinne positif

Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak ada lateralisasi

Hidung

Bentuk : normonasi

Cavum nasi : lapang (+/-), perdarahan mengalir (-/-), blood clotting (-/-)

Mukosa : Hiperemis (-/+)

Concha : concha inferior eutrofi (+/-)

Septum : C-Shape deviasi ke arah sinistra

Sinus paranasal : nyeri tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi (-), tidak

terlihat pembengkakan pada daerah muka

Tenggorokan :

Mukosa : Hiperemis (-/-), Granul (-/-)

Uvula : Deviasi (-/-)

Tonsil : T1 – T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)

1.4 RESUME

Page 4: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari

sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada

waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila

terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan

juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan

cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai

dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian

menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak

mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak

disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan koana nasalis sinistra menyempit, hipertrofi

konka nasalis inferior sinistra, hiperemis pada konka nasalis inferior sinistra, dan C-

shaped deviasi ke arah sinistra.

1.5 DIAGNOSIS

Suspect Rhinitis Alergika Intermiten Ringan

1.6 PENATALAKSANAAN

Non- Medikamentosa

a. Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan masker saat bekerja

dan berkendara

Medikamentosa

a. Antihistamin H2 : Lorantadin 1 x 1

b. Dekongestan : Pseudoefedrin 3 x 1

Page 5: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

2.2 Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan

dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Gambar 1 Patofisiologi Rinitis Alergi 2

Page 6: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek

peptida MHC kelas II (Major Histo-compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan

pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL

1) yang akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat

oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan

memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke

dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly

Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien

C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4,

IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menim-

bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar

mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain

histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa

hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menye-

babkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti

sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah

pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan

sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-

CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif

Page 7: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic

Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 2 Teori perkembangan alergi2

2.3 Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Page 8: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten

sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi

proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu

rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit

binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus,

Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,

telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui sun-tikan atau tusukan, misalnya penisilin dan

sengatan iebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya

bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial

dan rinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari :

1. Respons primer:

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.

2. Respons sekunder:

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag berhasil

dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada

defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

Page 9: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

3. Respons tertier:

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu :

o tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),

o tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik,

o tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan

o tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah

tipe 1 yaitu rinitis alergi.

2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak dikenal

rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu

nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang

tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten

atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan

alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan

alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada

anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,

gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan

diban-dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.1

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan

sifat berlang-sungnya dibagi menjadi :

Page 10: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang

dari , 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.5 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala rinitis

alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala

pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,

hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.

Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-

satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

ampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata

yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut

allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,

karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.

Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis

Page 11: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut

sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior

faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral

faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1

Gambar 3 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi 3

Gambar 4 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi dengan Kelainan Warna Membran Mukosa Hidung 3

Gambar 5 Rasa Gatal pada Hidung 3

Page 12: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

3. Pemeriksaan penunjang :

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent

Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan

sitologi hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna

sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan

adanya infeksi bakteri.1

Gambar 6 Skema Pemeriksaan In Vitro 4

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri. Skin Endpoint

Titration/SET), SET dilakukan untuk aiergen inhalan dengan menyuntikkan

aiergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan

SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui.

Page 13: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan

adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai

baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge

Test").

Alergen ingestan secara tuntas lenyap :ari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu :ada "Challenge Test", makanan yang dicurigai ; berikan pada pasien

setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

TES ALERGI UJI KULIT ALERGI :  

Prick Test

Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan

imunologi dapat dilakukan walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis

pemeriksaan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang berbeda.  Prinsip

pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada

kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi

tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan

tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE

mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi

maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8

jam.5

 Alergi Tipe 1 (IgE mediated) adalah hasil dari produksi IgE spesifik untuk

alergen oleh alergi individu. Kondisi di mana alergi yang dimediasi IgE dapat

memainkan peran utama termasuk rhinitis alergi, asma, dermatitis atopik,

anafilaksis, urticaria dan angioedema akut, alergi makanan, alergi racun serangga,

lateks alergi dan beberapa obat alergi.Tes untuk alergi serum IgE spesifik (juga

disebut sebagai tes RAST) juga berguna dalam situasi tertentu.

Page 14: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Gambar 7 Skin Prick Test

 

Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji

tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel). Uji gores

sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.5

1.  Uji kulit intradermal  Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml

semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga

timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang

menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing

dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.

Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada

kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan

untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi

mungkin untuk mendeteksi  racun dan diagnosis alergi obat. Ini

membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan

tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis. 5

2.  Uji tusuk  Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih

sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah

volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku

dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%

gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit

ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang

dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji

Page 15: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

tusuk.Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat

daripada yang digunakan untuk uji intradermal. 5

Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan

risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk

mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal,

tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang

lebih rendah.Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01% histamin

pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan

untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma

jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin. Antihistamin

dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang

mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum

uji kulit. 5

Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang

lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat

golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena

pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga

mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja

terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas

yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah

dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah

10 menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan

positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan

adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter

terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan

ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi

dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur

diameternya. Kertas dapat disimpan untuk dokumentasi. 5

Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen dengan

kualitas yang baik maka uji ini mempunyai spesifitas dan sensitivitas

yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak

menyakitkan.

Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai metode utama untuk

diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit

Page 16: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil

cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan demonstrasi yang

jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung

pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. 5 

Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang

relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test

adalah perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting. 5

Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.

Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan harus

diperhatikan. 

Uji gores kulit  harus dilakukan oleh yang terlatih dan

berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan

fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik

(anafilaksis).

Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes

untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan

karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi

eksposur termasuk faktor-faktor lokal.

Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah

pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di

lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk

mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.

Kontrol positif dan negatif sangat penting. 

Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan

menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-

tanda.

Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas

dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.

Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara

individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan

lingkungan setempat. 5

Pengakuan terhadap keterbatasan Uji gores kulit penting,  yaitu.

terbatasnya  kemampuan dalam prediksi tipe alergi reaksi lambat. positif

palsu atau negatif karena karakteristik alergi  pasien atau kualitas.

Page 17: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Adanya IgE tanpa gejala klinis dan tes negatif tidak mengecualikan gejala

yang disebabkan oleh non-IgE mediated alergi / intoleransi atau penyebab

medis lainnya . 5

 Patch test.

Metode lain adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang

kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan

yang memicu dermatitis kontak alergi. Jika ada alergi antibodi dalam sistem anda,

kulit anda akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk.

Reaksi ini berarti Anda alergi terhadap zat tersebut5

 Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo

maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi

imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas

tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall

antigen) pada kulit. 5

Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal.

Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal,

misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans,

trikofiton, dan proteus. Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan

paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini

lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur.

Hanya 1/3 dari anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan

kandida, dan akan mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5

tahun. 5

Page 18: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Gambar 8 Alergen Patch Test

Gambar 9 Patch Test

Gambar 10 Patch Test

Page 19: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

         Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan

larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux

Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida

albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton,

dan proteus) serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji. 5

Persiapan

Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai,

perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa

kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga

memberi hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah

berkontak sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan. 5

Melakukan uji

Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan

banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus

dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada

aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus,

tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan

bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk

gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi

antigen. 5

Hasil pemeriksaan

Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka

cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang

terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan

diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula

(a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih. 5

Efek samping

Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa

meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan

ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen. 5

Interpretasi

Page 20: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular

seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan

anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur

diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan

bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat

dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya

pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo. 5

2.6 Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen pe-

nyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi, Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan antihistamin

generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat

lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)

dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini

antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin

sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin

generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik,

antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi

secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada

respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi

gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi

menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol

dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung

tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan

Page 21: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah diterik dari

peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin

dan levosetirisin.1

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.1

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering dipakai

adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah

bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif

terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat

sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat

ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,

obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel

netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai

profilaksis.1

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor.1

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.1

Page 22: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Gambar 11 Skema Terapi Rinitis Alergi 2

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.1

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada a, inhalan dengan gejala yang bera:

sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang

memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: ant1ibody

dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan

sublingual.1

2.7 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung

2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal1

Page 23: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

Gambar 12 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1

Page 24: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada pasien dengan Riniris Alergi perlu diketahui alergen penyebab pada pasien

dan keteraturan terapi pada pasien untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan

mengurangi resiko kearah komplikasi pada rinitis alergi, seperti sinusitis, polip, ataupun

otitis media.

Page 25: 118093994 Laporan Kasus Rhinitis Alergi

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134.

2. Snow Jr, James B. Ballenger, John Jacob. 2003. Balllenger’s Otorhinolarynology Head

and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton : BC Decker Inc. Hal : 708 – 739.

3. Hawke, Michael et all. 2002.Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. New York:

Material. Hal :91-155

4. Lalwani, Anil K. 2008. Current Diagnosis and TreatmentOtolaryngology Head and Neck

Surgery Second Edition.New York : Mc Graw Hill. Hal : 267 - 272

5. AP, Arwin Dkk. 2007.Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi 2. Jakarta :IDAI . Hal : 76 - 88