10-EBCR edited2

21
Evidence-based Case Report (EBCR) Indah Suci Widyahening, Nastiti Kaswandani Pendahuluan Evidence-based Case Report (EBCR) merupakan bentuk penulisan laporan kasus yang baru berkembang seiring dengan makin meningkatnya penerapan Evidence-based Medicine. Bentuk penulisan ini pertama kali muncul di British Medical Journal tahun 1998 dengan tujuan untuk membantu para praktisi meningkatkan keterampilan mereka menerapkan hasil penelitian (evidence) dalam praktik sehari-hari. Klinisi seringkali mengeluhkan bahwa hasil penelitian yang dipublikasi di jurnal tidak valid, tidak relevan dengan situasi praktis di klinik, atau dipenuhi dengan angka-angka statistik yang membingungkan. Penulisan EBCR akan mempermudah aplikasi klinis dengan menyuguhkan hasil penelitian yang valid didasarkan atas pertanyaan klinis yang timbul dari pasien yang nyata. Manfaat EBCR Evidence-based Case Report memperlihatkan bagaimana hasil penelitian dapat diterapkan pada semua tahapan penatalaksanaan pasien. Informasi mengenai kekekerapan

Transcript of 10-EBCR edited2

Page 1: 10-EBCR edited2

Evidence-based Case Report (EBCR)

Indah Suci Widyahening, Nastiti Kaswandani

Pendahuluan

Evidence-based Case Report (EBCR) merupakan bentuk penulisan laporan kasus yang

baru berkembang seiring dengan makin meningkatnya penerapan Evidence-based

Medicine. Bentuk penulisan ini pertama kali muncul di British Medical Journal tahun

1998 dengan tujuan untuk membantu para praktisi meningkatkan keterampilan mereka

menerapkan hasil penelitian (evidence) dalam praktik sehari-hari. Klinisi seringkali

mengeluhkan bahwa hasil penelitian yang dipublikasi di jurnal tidak valid, tidak relevan

dengan situasi praktis di klinik, atau dipenuhi dengan angka-angka statistik yang

membingungkan. Penulisan EBCR akan mempermudah aplikasi klinis dengan

menyuguhkan hasil penelitian yang valid didasarkan atas pertanyaan klinis yang timbul

dari pasien yang nyata.

Manfaat EBCR

Evidence-based Case Report memperlihatkan bagaimana hasil penelitian dapat

diterapkan pada semua tahapan penatalaksanaan pasien. Informasi mengenai

kekekerapan berbagai macam keadaan klinis yang diperoleh melalui studi kohort dapat

membantu mengarahkan kepada diagnosis tersering yang mungkin. Pada saat mengambil

keputusan mengenai uji diagnosis yang mana yang akan disarankan kepada pasien,

informasi mengenai sensitivitas dan spesifisitas berbagai pemeriksaan dapat disajikan.

Bahkan bila pemeriksaan bersifat invasif, EBCR dapat memberikan informasi mengenai

efek sampingnya dan bagaimana penerimaan pasien terhadap pemeriksaan tersebut.

Informasi yang membantu pengambilan keputusan mengenai tata laksana/intervensi

terhadap pasien diperoleh dari penelitian yang berbentuk randomized controlled trial dan

systematic reviews. EBCR intervensi dapat membandingkan efektivitas, keamanan dan

Page 2: 10-EBCR edited2

penerimaan berbagai pilihan intervensi. Informasi mengenai efek samping jangka

panjang maupun jarang dapat diperoleh melalui studi kohort maupun kasus kontrol yang

dilakukan secara baik. Apabila setelah dilakukan pencarian literatur secara menyeluruh

tidak diperoleh bukti berkualitas baik yang sesuai, penulis laporan kasus diharapkan juga

melaporkannya sehingga diketahui bahwa kesenjangan terdapat pada kurang tersedianya

bukti bukan pada pengetahuan yang dimiliki.

Evidence-based Case Report tidak bertujuan untuk menyajikan suatu penemuan baru

melainkan menggambarkan proses pengambilan keputusan. Laporan kasus ini dibuat

berdasarkan kasus yang benar-benar ditemui dalam praktik, sehingga diharapkan dapat

memberikan pengetahuan terbaru yang bisa dipercaya mengenai penatalaksanaan kasus

klinis yang sering ditemui.

Komponen Evidence-based Case Report

Mengingat bahwa EBCR dibuat untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan saat

menghadapi pasien di praktek yang sesungguhnya, EBCR diawali dengan deskripsi kasus

yang dihadapi, kemudian pertanyaan klinis yang timbul, dan setelah dilakukan

penelusuran dan telaah literatur maka dalam kesimpulannya diharapkan EBCR ini dapat

menjawab pertanyaan klinis tersebut.

Untuk lebih rinci EBCR disusun dalam komponen-komponen sebagai berikut:

1. Ilustrasi kasus

Ilustrasi kasus harus menggambarkan karakteristik pasien dan berbagai temuan atau

keadaan yang dianggap penting dan relevan. Dalam ilustrasi kasus juga dijelaskan

mengenai motivasi penulisan laporan kasus yaitu adanya kesenjangan pengetahuan baik

di dalam pendidikan sebelumnya, buku pedoman/teks yang ada maupun dalam praktik

selama ini. Kesenjangan klinis ini dapat berupa etiologi, diagnosis, terapi maupun

prognosis. Selain itu juga diceritakan mengapa kasus ini dianggap penting.

2. Pertanyaan klinis

Page 3: 10-EBCR edited2

Pertanyaan klinis berupa satu kalimat yang menyatakan secara singkat rumusan masalah

terkait penatalaksanaan pasien sesuai yang digambarkan pada ilustrasi kasus. Pertanyaan

klinis umumnya terdiri atas problem (P), indicator (I), comparator/pembanding (C) dan

outcome (O). Sifat dari pertanyaan klinis adalah spesifik dan dapat dijawab dan

bertujuan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian atas penatalaksanaan terbaik bagi

pasien.

3. Metoda

Bagian metoda memuat:

3.1. Pencarian literatur

Langkah-langkah pencarian literatur telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Langkah-

langkah pencarian literatur perlu dijelaskan secara terperinci dan transparan sehingga

pembaca mendapat gambaran yang cukup jelas bahwa penyusun EBCR telah berupaya

semaksimal mungkin menemukan evidence yang diperlukan. Dalam bagian ini selain

strategi pencarian yang meliputi kata kunci dan kombinasinya (AND, OR, NEAR dan

lain-lainnya) serta database yang digunakan, juga perlu disebutkan mengenai jumlah

sitasi yang dihasilkan dalam langkah-langkah tersebut. Langkah-langkah pencarian

literatur secara singkat biasanya digambarkan dalam tabel, seperti contoh di bawah ini.

Tabel 1. Strategi pencarian literatur

Database Strategi pencarian (search terms) Hasil Literatur terpilih

Pubmed Calcium AND (post-menopaus* OR

elderly) AND women AND (fracture

OR osteoporosis)

529

Cochrane Calcium AND osteoporosis 96

EMBASE Calcium AND (post-menopaus* OR

elderly) AND women AND (fracture

OR osteoporosis)

134

3.2. Cara pemilihan literatur

Page 4: 10-EBCR edited2

Artikel jurnal yang dihasilkan umumnya tidak semuanya terdiri atas artikel yang relevan.

Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk memilih artikel yang relevan

dengan masalah. Langkah-langkah tersebut berupa skrining judul, skrining abstrak dan

bila perlu skrining full-teks hingga diperoleh sejumlah artikel yang relevan. Sebelum

dilakukan skrining perlu ditetapkan dahulu kriteria inklusi dan eksklusi artikel yang akan

dipilih. Saringan terhadap artikel jurnal biasanya meliputi :

Jenis studi, misalnya yang diinginkan adalah randomized control trial maka selain

dari itu akan dieksklusi

Karakteristik subyek, misalnya yang diinginkan adalah subyek anak

Bahasa yang digunakan

Ketersediaan artikel dalam bentuk fulltext

Pada metoda biasanya dapat juga ditampilkan suatu bagan alur (flow chart) yang

menggambarkan seluruh proses pencarian literatur hingga diperoleh artikel yang relevan.

Berikut ini contoh alur pencarian terhadap artikel mengenai nilai prognosis riwayat

keluhan pada bahu sebelumnya dalam memprediksi lama nyeri pada episod nyeri bahu

yang akut.

Page 5: 10-EBCR edited2

EmbasePubmed 2689

33

2689

3545

63

Keluhan bahu

Prognosis Nyeri

A

N

D

A

N

D

4361

Saringan artikel yang sama

Skrining judul / abstrak

Skrining judul / abstrak

Skrining full-text

5

Kriteria eksklusi

- Studi terapi, diagnosis, etiologi

- Anak < 18 tahun- Studi hewan- Studi post

mortem- Kelainan non

bahu

Kriteria inklusi

- Studi prognostik

- Bahasa Inggris, Belanda, Jerman

- Belum dioperasi

- Tersedia full-text

Kriteria seleksi

- Keluhan bahu sebagai faktor prognosis

- Outcome: nyeri

Skrining artikel dan artikel yang berhubungan : 2 *

Artikel yang relevan : 0 *

* : keputusan diambil berdasarkan konsensus dari minimal 2 penulis

Page 6: 10-EBCR edited2

3.3 Telaah Kritis Jurnal

Setelah diperoleh sejumlah artikel yang relevan, langkah berikutnya adalah melakukan

telaah kritis (critical appraisal) untuk menilai kualitas artikel yang dipergunakan.

Critical appraisal dilakukan sesuai dengan jenis permasalahan yang diajukan (diagnosis,

terapi, prognosis atau etiologi). Pada critical appraisal terutama yang dinilai adalah

relevansi dan validitas artikel. Relevansi dinilai dengan cara membandingkan antara

PICO pada artikel dengan PICO pada permasalahan yang diajukan. Validitas dinilai

berdasarkan sejauh mana penelitian tersebut memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.

Apabila terdapat lebih dari satu artikel maka perlu dibuat sistem skor untuk

membandingkan penelitian mana yang paling relevan dan paling valid. Skor dari masing

artikel kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.

Tabel. Hasil critical appraisal

Article Relevance Score Validity Score

Represent

ativeness

Allocation Maintenance Measurement

P I C O Ra

nd

om

Simi

lar

Acco

unted

for

Equal

treat

ment

Blind

(subjective) or

objective

standardized

1

2

3

etc

4. Hasil

Pada bagian hasil dilaporkan evidence terbaik yang tersedia (best available evidence)

yang berhasil ditemukan oleh penyusun EBCR. Hasil penelitian yang tercantum pada

artikel yang digunakan untuk menjawab masalah disajikan dalam bentuk tabel dengan

mempertimbangkan kualitas artikel tersebut dari segi relevansi dan validitas. Selain

Page 7: 10-EBCR edited2

pengukuran outcome, presisi hasil juga harus dicantumkan. Bila ditemukan lebih dari

satu artikel, dilihat juga apakah hasil penelitian tersebut konsisten satu sama lain.

Bila perlu dapat juga ditetapkan level of evidence artikel yang dipergunakan hasil

berdasarkan critical appraisal.

Tabel. Level of evidence (Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of

Evidence)

Grade Type of study Level

A1 Meta-analysis containing at least some trials of level A2

and of which the results of individual trials are consistent

Level 1

A2 Randomized comparative clinical trials of good quality

(randomized double-blind controlled trials) of sufficient

size and consistency

Level 1

B Randomized clinical trials of moderate (weak) quality of

insufficient size or other comparative trials (non-

randomized, cohort studies, patient-control studies)

Level 2

C Non-comparative trials Level 3

D Expert opinion Level 4

5. Diskusi

Bagian diskusi memuat interpretasi hasil penelitian terbaik yang tersedia (best available

evidence) yang diperoleh. Bagian ini mendiskusikan juga rekomendasi penatalaksanaan

atau alat diagnosis yang dipilih untuk menyelesaikan masalah beserta alasan yang jelas.

Rekomendasi disusun dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan literatur

yang dipergunakan berdasarkan relevansi dan validitasnya.

6. Kesimpulan

Pada kesimpulan dinyatakan jawaban atas pertanyaan/permasalahan yang diceritakan

pada laporan kasus (EBCR) atau bisa juga dinyatakan bahwa saat ini tidak diperoleh

jawaban untuk pertanyaan/permasalahan tersebut.

Page 8: 10-EBCR edited2

Daftar Pustaka

1. Godlee F. Applying research evidence to individual patients - Evidence based case

reports will help. BMJ 1998;316:1621-2

2. BMJ.com [homepage on the internet]. London: BMJ Publishing Group Ltd; 2009.

(Cited 2009 Aug 18). Evidence-based case reports. Available from:

http://resources.bmj.com/bmj/authors/types-of-article/practice

3. Browman GP. Essence of Evidence-Based Medicine: A case report. J Clin Oncol

1999;17:1969-1973.

4. De Brun C, Perce-Smith N. Building a search strategy. Dalam: Heneghan C, Perera R,

Badenoch D, penyunting. Searching Skills Toolkit. Finding the evidence. Oxford UK:

Wiley-Blackwell 2009. h.38-48.

Page 9: 10-EBCR edited2

Resusitasi Inisial pada Anak dengan Sindrom Syok Dengue:

Kristaloid Isotonis atau Koloid?

Nikmah Salamia Idris

Sindrom syok dengue merupakan manifestasi terberat infeksi virus denguedengan

angka fatalitas kasus (case fatality rates)mencapai 20%.iKelainan ini ditandai oleh

peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma dari

kompartemen intravaskular ke ruang ekstravaskular. Terapi utama sindrom syok

dengue adalah resusitasi segera dengan cairan parenteral untuk mengembalikan

dan mempertahankan volume sirkulasi secara adekuat selama periode peningkatan

permeabilitas vaskular.ii

Pilihan cairan resusitasi yang optimal untuk sindrom syok dengue masih

menjadi perdebatan. Rekomendasi the World Health Organization (WHO) adalah

memberikan larutan kristaloid untuk resusitasi inisial diikuti oleh koloid atau

plasma untuk pasien dengan syok berat atau refrakter. Di sisi lain, secara teoritis,

larutan koloid memberikan keuntungan lebih untuk mengatasi syok secara lebih

cepat dan efektif mengingat distribusi cairan yang terkonsentrasi di rongga

intravaskular dan adanya tekanan onkotik yang dapat menarik cairan dari ruang

intersitial ke dalam kompartemen intravaskular.2

Kasus

Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun datang dengan keluhan utama kaki

dan tangan dingin sejak 2 jam sebelum masuk ke rumah sakit. Keluhan disertai

dengan demam selama empat hari yang timbul mendadak hingga suhu 39,5C dan

mulai turun pada satu hari terakhir. Pasien juga mengeluh sakit kepala, mual, dan

pegal di otot serta persendian; tidak ada keluhan batuk, pilek, maupun nyeri

tenggorokan. Buang air besar normal, sedangkan buang air kecilsedikit dan

berwarna pekat sejak satu hari terakhir. Buang air kecil terakhir empat jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh nyeri di daerah perut kanan

atas, tidak ditemukan adanya tanda perdarahan.

Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, berasal dari keluarga

golongan sosial ekonomi menengah. Adik pasien baru sembuh dari sakit demam

berdarah dua minggu sebelumnya. Riwayat kehamilan, persalinan, dan tumbuh

CONTOH EBCR TERAPI

Page 10: 10-EBCR edited2

kembang normal, saat ini pasien duduk di kelas 5 sekolah dasar. Imunisasi dasar

lengkap, asupan nutrisi kesan berlebih.

Pada pemeriksaan fisis saat datang ke Instalasi Gawat Darurat Anak, pasien kompos

mentis, tidak sesakmaupun sianosis, berat badan 52 kg dan tinggi badan 153 cm

(gizi lebih). Pasien mengalami takikardia (frekuensi nadi 120x/menit pada suhu

tubuh 37,5°C) dengan isi nadi kurang disertai penyempitan tekanan nadi (TD 110/95

mmHg). Akral teraba dingin dengan waktu pengisian kapiler lebih dari 3 detik.

Selain nyeri tekan di daerah hipokondriak kanan, tidak ditemukan kelainan lain

pada pemeriksaan fisis. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan empat jam

sebelum pasien ke rumah sakit, menunjukkan peningkatan hematokrit dibandingkan

satu hari sebelumnya (39,4 dibandingkan 35,9%), leukopenia (2100/µL) dengan

dominasi sel limfosit (79%), dan trombositopenia (86000/µL)

Pasien didiagnosis mengalami sindrom syok dengue, mendapat loading cairan

ringer laktat 20 ml/kgBB bersamaan dengan gelafusin 20 ml/kg BB yang dihitung

terhadap berat badan ideal 42,5 kg dan diberikan selama 30 menit. Pasca loading

pertama, masih didapatkan isi nadi kurang dengan tekanan nadi 20 mmHg (TD

110/90 mmHg) sehingga diberikan kembali loading cairan ringer laktat 20 ml/kg BB

bersamaan dengan gelafusin 10 ml/kg BB. Pasca loading kedua, syok teratasi, tanda

vital normal, dan selanjutnya pasien dirawat di unit perawatan intensif anak.

Formulasi pertanyaan klinis

Kontroversi mengenai penggunaan larutan kristaloid atau koloid untuk tata laksana

syok, terlepas apa penyebabnya, telah berlangsung sejak dahulu.iii,iv Sejauh ini,

pilihan cairan untuk tata laksana syok pada dengue masih banyak didasarkan atas

keputusan empiris, seperti halnya pada pasien ini. Untuk itu, diajukan pertanyaan

klinis sebagai berikut: “pada anak dengan sindrom syok dengue, apakah pemberian

cairan koloid pada resusitasi inisial akan memberikan respons terapi yang lebih baik

dibandingkan kristaloid isotonis?”

Metode/strategi penelusuran bukti

Penelusuran dimulai untuk mencari bukti sekunder berupa meta-analisis, telaah

sistematis, ataupun guidelinesberbasis bukti sistematis pada situs Cochrane

Systematic Database Review, Bandolier (http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/),

dan ACP Journal Club (http://www.acpjc.org/) dengan memakai kata kunci “dengue”.

Pada ketiga situs tersebut, hanya ditemukan satu artikel mengenai penggunaan

Page 11: 10-EBCR edited2

kortikosteroid pada sindrom syok dengue yang tidak relevan dengan pertanyaan

klinis.

Penelusuran bukti primer dilakukan dengan mempergunakan mesin pencari TRIP

database (www.tripdatabase.com)dan Pubmed. Pada pencarian dengan TRIP

database mempergunakan kata kunci “dengue”, “shock”, dan “resuscitation”

dengan penyaring (filter)core primary research diperoleh satu artikel yang sesuai.

Penelusuran dengan Pubmed mempergunakan kata kunci “dengue”, “shock”,

“resuscitation”, dan “fluid” denganlimit ‘all child: 0-18 years’ menghasilkan 18

artikel. Setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, tiga

artikel (seluruhnya berupa uji klinis) dianggap relevan, sedangkan 15 lainnya

dieksklusi karena studidilakukan pada pasien dewasa, ketidakjelasan metodologi,

atau isi yang tidak relevan. .Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi

yang dikeluarkan olehOxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of

Evidence.v

Hasil penelusuran

Dalam jangka waktu 15 tahun terakhir (1995-sekarang), terdapat tiga uji klinis yang

mengevaluasi penggunaan cairan kristaloid dan koloid untuk resusitasi sindrom

syok dengue (Tabel 1). Outcome yang diteliti bervariasi, namun secara keseluruhan

tidak ada yang konsisten menunjukkan bahwa koloid lebih unggul dibandingkan

kristaloid.

Pada tahun 1998, Dung et alvi melakukan suatu uji klinis acak tersamar

ganda untuk membandingkan penggunaan cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat,

dextran 70, dan gelafundin pada resusitasi awal 50 anak usia 5 hingga 15 tahun

dengan sindrom syok dengue (level of evidence: 1b). Pada penelitian tersebut

tidak ditemukan perbedaan pada jumlah episode maupun durasi syok, penurunan

rerata laju nadi, peningkatan tekanan nadi, dan indeks kardiak antar grup. Pada

i . WHO2008. Fact sheet no. 117. Dengue and dengue haemorrhagic fever, revised May 2008. Diunduh dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.

ii . Wills B. Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue Bull. 2001;25:51-5.iii . Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill

patients: a systematic review of randomised trials. Brit Med J. 1998;27:200-10.iv . Upadhyay M, Singhi S. Randomized evaluation of resuscitation with crystalloid (saline) and

colloid (polymer from degraded gelatin in saline) in pediatric septic shock. Indian J Pediatr.v . Oxford Centre of Evidence-based Medicine. Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of Evidence (March 2009). Diunduh dari:

http://www.cebm.net/index.aspx?o=1025.

vi . Dung NM, Day NPJ, Tam DTH, Loan HT, Chau HTT, Minh LN, et al. Fluid replacement in dengue shock syndrome: a randomized, double-blind comparison of four intravenous-fluid regimens. Clin Infect Dis. 1999;29:787-94.

Page 12: 10-EBCR edited2

pooled analysis antara cairan kristaloid dan koloid, pasien yang mendapat infus

koloid mengalami perubahan lebih besar dalam penurunan nilai rerata hematokrit,

peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan nadi, dan indeks kardiak pada dua jam

pertama dibandingkan subyek yang mendapat cairan kristaloid. Sayangnya studi ini

memiliki power yang kecil mengingat jumlah sampel yang sedikit.

Tabel 1. Studi yang ditemukan pada penelusuran dengan Pubmed dan TRIP database

Dung et al Nhan et al Wills et al

Desain Uji klinis acak tersamar ganda Uji klinis acak tersamar ganda Uji klinis acak tersamar ganda

Setting PICU pusat rujukan Vietnam PICU rumah sakit tersier PICU rumah sakit tersier

Subjek Anak usia 5-15 tahun Anak usia 1-15 tahun Anak usia 2-15 tahun

Stratifikasi subjek

Tidak Tidak; derajat syok tidak terdistribusi merata antar grup

Tingkat kebocoran plasma berdasarkan tekanan nadi saat masuk RS

Besar sampel

50 subyek terbagi dalam 4 grup 222 subyek terbagi dalam 4 grup

512 subyek terstratifikasi syok sedang (383) dan berat (129)

Intervensi cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat, dextran 70, atau gelafundin

cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat, dextran 70, atau gelafundin

Syok sedang: ringer laktat, dekstran, atau starch

Syok berat: dekstran atau starch

Jumlah cairan & laju infus

20 ml/kg untuk 1 jam pertama 10 ml/kg untuk 1 jam berikutnya

DBD gr III: 20 ml/kg untuk 1 jam pertama 20 ml/kg untuk 1 jam berikutnya

15 ml/kg BB selama satu jam 10 ml/kg selama 1 jam berikutnya

DBD gr IV: 20 ml/kg selama 15 menit 20 ml/kg untuk 1 jam berikutnya

Outcome primer

Durasi syok, jumlah episode syok

Waktu pemulihan tekanan nadi Kebutuhan intervensi tambahan dengan rescue colloid

Kejadian dan waktu terjadinya episode syok selanjutnya

Outcome sekunder

Perbaikan cardiac output, hematokrit, dan kebutuhan resusitasi lebih lanjut

Penurunan hematokrit dan laju nadi

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabilitas kardiovaskular (inisial dan sustained)

Page 13: 10-EBCR edited2

Total volume dekstran 70 yang diperlukan setelah jam pertama

Volume rescue colloid dan cairan parenteral total

Total cairan intravena hingga pemulihan penuh

Pola perubahan nilai hematokrit

Komplikasi terapi Jumlah hari perawatan RS

Hasil Tidak ditemukan perbedaan pada jumlah episode syok & durasi syok antar grup

Waktu pemulihan tekanan nadi grup RL lebih lama dibandingkan kelompok lain.

RR rescue colloid: 1,08 (95%CI 0,78-1,47) pada grup ringer laktat dibandingkan koloid

Dextran 70 berhubungan dengan penurunan nilai hematokrit yang lebih cepat

Tidak ada perbedaan dalam waktu terjadinya epiode reschock pertama.

Stabilitas kardiovaskular inisial dicapai lebih lama pada grup ringer laktat dibanding koloid; tidak ada perbedaan waktu untuk mencapai stabilitas kardiovaskular sustained

Pooled analysis: koloid menghasilkan penurunan nilai hematokrit, peningkatan TD sistolik, tekanan nadi, dan indeks kardiak yang lebih besar dibandingkan kristaloid pada 2 jam pertama

Reduksi hematokrit maksimal dicapai oleh kelompok desktran sedangkan penurunan laju tekanan nadi paling besar didapatkan pada grup gelatin.

Pasien yang mendapat koloid mengalami penurunan hematokrit lebih cepat pada 2 jam pertama dibandingkan grup kristaloid, antara 2 -6 jam mengalami rebound sebesar 5%

Tidak ada perbedaan dalam outcome sekunder lainnya.

Tidak terdapat perbedaan dalam volume rescue colloid, cairan parenteral total, waktu pemulihan akhir, atau jumlah hari perawatan di RS.

Studi yang dilakukan oleh Nhan et al (level of evidence: 1b)viijuga

melaporkan keunggulan koloid dibandingkan kristaloid dalam waktu pemulihan

tekanan nadi dan reduksi hematokrit. Kelompok yang mendapat ringer laktat

memiliki waktu pemulihan paling lama dengan proporsi subjek yang membutuhkan

resusitasi tambahan lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Mayoritas subyek

yang membutuhkan resusitasi tambahan juga terbukti mengalami syok lebih berat,

ditandai tekanan nadi yang sangat rendah (<10 mmHg) saat awal presentasi

sehingga hal ini dapat menjadi perancu karena tingkat keparahan syok tidak

terdistribusi secara merata antar grup. Berdasarkan penelitian ini, penggunaan

koloid mungkin memberi keuntungan dalam resusitasi pasien syok yang memiliki

tekanan nadi lebih rendah saat awal presentasi. Pada studi ini, 6 subyek mengalami

vii . Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Van My N, Phuong NTQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4

intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001;32:204-13.

Page 14: 10-EBCR edited2

reaksi alergi terhadap gelatin dan 2 subyek masing-masing dari grup gelatin serta

dekstran mengalami epistaksis dan hematoma berat.

Penelitian terbaru dilakukan oleh Wills et alviii (level of evidence:

1b)dengan sampel lebih besar dan desain lebih sempurna, yaitu melakukan

stratifikasi subyek berdasarkan beratnya syok menjadi syok sedang (tekanan nadi

>10 dan <20 mmHg) dan syok berat (tekanan nadi <10 mmHg). Cairan kristaloid

tidak dimasukkan dalam skema randomisasi pasien dengan syok berat. Pada studi

ini, tidak terdapat peningkatan risiko kebutuhan rescue colloid pada grup ringer

laktat dibandingkan kelompok lain. Reduksi hematokrit saat dua jam pertama

dicapai lebih cepat pada kelompok koloid dibandingkan kristaloid, namun terjadi

rebound sebanyak 5% pada grup koloid saat 2-6 jam berikutnya. Tidak terdapat

perbedaan dalam volume rescue colloid, cairan parenteral total, waktu pemulihan

akhir, atau jumlah hari perawatan di di rumah sakit. Manifestasi perdarahan,

gangguan koagulasi dan tingkat overload cairan tidak berbeda antar grup.

Pembahasan

Pemilihan cairan resusitasi untuk mengatasi syok bukan suatu hal yang mudah. Tata

laksana emergensi sindrom syok dengue agak berbeda karena hilangnya cairan

secara perlahan ke ruang interstitial akibat kebocoran kapilerdan

kemungkinanterdapatnya edema paru serta instabilitas jantung yang menghambat

penggantian cairan secara cepat.ix Perhatian khusus harus diberikan untuk

menghindari kelebihan cairan dengan segala komplikasinya. Untuk itu, diperlukan

pemilihan jenis cairan dengan laju pemberian yang tepat.

Secara teoritis, koloid memiliki keuntungan dibandingkan kristaloid pada

resusitasi cairan karena bertahan lebih lama dalam rongga intravaskular dan

memiliki efek tekanan onkotik yang dapat menarik cairan dari ruang ekstravaskular

ke kompartemen intravaskular. Kendati demikian, terdapat kekhawatiran mengenai

efek buruk cairan ini, yaitu dengan adanya peningkatan permeabilitas vaskular pada

sindrom syok dengue, molekul koloid dapat bocor ke ruang interstitial dan

menimbulkan efek osmotik berlawanan dari yang diharapkan sehingga menambah

berat syok.x Selain itu, keamanan cairan ini pada pasien dengan hipovolemia yang

memiliki risiko nyata untuk mengalami gagal ginjal akut juga masih dipertanyakan.

viii . Wills BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh TT, et al. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med. 2005;353:877-89.

ix . Molyneux E, Maitland K. Intravenous fluids – getting the balance right. N Engl J Med. 2005;353:9.

x . Haupt MT, Kaufman BS, Carlson RW. Fluid resuscitation in patients with increased vascular permeability. Critical care clinics 1992;8:341-53.

Page 15: 10-EBCR edited2

Kekhawatiran lain berhubungan dengan potensi reaksi alergi dan koagulopati yang

ditemukan pula pada studi Nhan et al.7

Tidak ada satupun dari ketiga uji klinis di atas yang memberikan bukti konsisten

mengenai keunggulan koloid dibandingkan kristaloid isotonis pada resusitasi awal

sindrom syok dengue. Bahkan Wills et al menunjukkan bahwa pemberian ringer

laktat memberikan outcome yang sama dibandingkan koloid pada anak dengan syok

sedang. Pasien ini datang dengan tekanan nadi antara 10-20 mmHg sehingga

merujuk pada bukti yang ada, pemberian koloid tidak diperlukan pada awal

resusitasi. Untuk pasien dengan syok berat, belum terdapat bukti yang jelas

mengenai keunggulan koloid dibandingkan kristaloid. Sampai ada bukti yang lebih

valid, klinisi mungkin sebaiknya tetap mengandalkan penilaian personal, familiaritas

dengan produk tertentu, ketersediaan obat, dan harga.

Ketiga penelitian di atas memberikan loading cairan parenteral dengan laju yang

tidak terlalu cepat (15-20 ml/kg/jam), kecuali untuk sindrom syok dengue berat. Hal

ini mungkin didasari oleh adanya risiko overload cairan yang cukup besar pada

pasien dengue. Walaupun secara teoritis, kemungkinan overload akibat pemberian

kristaloid lebih besar dibandingkan koloid,2 namun pada studi Wills et al,6tidak

ditemukan perbedaan kejadian overload cairan antara grup ringer laktat dan koloid.

Sejauh ini belum ada studi yang meneliti laju pemberian infus optimal pada sindrom

syok, namun pemberian cairan dengan kecepatan 40 ml/kgBB selama 30 menit pada

pasien ini sangat berisiko untuk menimbulkan komplikasi overload cairan.

Kesimpulan

Belum terdapat bukti yang kuat mengenai keunggulan koloid dibandingkan

kristaloid dalam resusitasi inisial pasien dengan sindrom syok dengue. Sebagian

besar anak berespons baik terhadap pemberian cairan kristaloid isotonis secara

bijaksana. Menimbang ketersediaan dan harga yang lebih murah, cairan kristaloid

isotonis masih merupakan pilihan terbaik untuk resusitasi inisial sindrom syok

dengue. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai efektivitas cairan kristaloid

isotonis dibandingkan koloid pada syok berat dan untuk mengevaluasi laju

pemberian infus yang optimal.

Daftar Pustaka