ASMAHADYrepository.uinjkt.ac.id/.../24894/1/ASMAHADY.FSH.pdf1 Menurut pasal 106 ayat 9 UU 22 Tahun...

73
BERBONCENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAM (Perspektif Bahtsul Masa’il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Se-Jawa Timur) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy) ASMAHADY NIM: 108043100016 PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Transcript of ASMAHADYrepository.uinjkt.ac.id/.../24894/1/ASMAHADY.FSH.pdf1 Menurut pasal 106 ayat 9 UU 22 Tahun...

  • BERBONCENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAM

    (Perspektif Bahtsul Masa’il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri

    (FMP3) Se-Jawa Timur)

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)

    ASMAHADY NIM: 108043100016

    PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

    JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1435 H/2014 M

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa :

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang di ajukan untuk memenuhi salah satu

    persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semuasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    3. Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

    merupakan hasil jiplakan darikarya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta: 08 Mei 2014 M

    08 Rajab 1435 H

    Asmahady

  • ii

    ABSTRAK

    Asmahady. NIM:108043100016. Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan

    Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri

    (FMP3) se-Jawa Timur). Perbandingan Mazhab Fiqih, Perbandingan Mazhab dan

    Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, 54

    hal.

    Skripsi ini merupakan upaya menjelaskan pemasalahan terkait berboncengan

    selain mahram, penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil

    bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), menjelaskan apa

    mahram itu sendiri, batasan batasan mahram, pendapat para ulama-ulama terdahulu,

    dasar-dasar hukum yang digunakan oleh para ulama tersebut. Yang menjadi focus

    penulis ialah, Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri

    (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya,

    Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang

    bukan mahramnya.

    Terkait jenis penelitian yang di gunakan dalam skripsi ini ialah deskriptif

    analisis dan penelitian pustaka (library research). Pendekatan yang digunakan dalam

    skripsi ini ialah analisis fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)

    se-Jawa Timur dan pendapat para ulama-ulama terdahulu.

    Kata kunci : mahram, batasan-batasan mahram ,larangan berboncengan selain

    mahram, bahtsul masa’il, metode istinbat bahtsul masa’il.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Assalammu’alaikum. Wr. Wb.

    Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa

    melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat serta

    salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhamad SAW

    berserta semua keluarganya dan para sahabatnya dan juga para pengikut sunnahnya

    sampai akhir zaman.

    Banyak hal yang ingin penulis sampaikan dalam kata berupa ungkapan terima

    kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah membantu penulis

    secara materil maupun moril untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah yaitu

    penyusunan karya tulis ilmiah (skripsi).

    Demikian juga kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis

    dalam menyelesaikan karya tulis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

    Olehnya pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengungkapkan terima

    kasih yang setulus-tulusnya kepada :

    1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

    beserta jajaranya.

    2. Dr. H. Muhammmad Taufiki, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pebandingan dan

    Mazhab Hukum.

  • iv

    3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan

    Mazhab dan Hukum.

    4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi Penulis yang

    telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan,

    dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini

    dapat diselesaikan dengan baik.

    5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

    Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmunya

    kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak atau Ibu berikan, bermanfaat dan

    berguna untuk penulis.

    6. Kepala dan Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta

    Perpustakaan Utama yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dalam

    penyelesaian skripsi penulis.

    7. Kepada orang tua penulis, ayahanda H. Ma’asan Dinuk (Alm) dan ibunda

    Umiyati yang telah melahirkan dan membesarkan ananda. Tiada kata yang dapat

    ku ucapkan selain ucapan terima kasih yang tak terbatas untuk semua

    pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan

    perkuliahan dan skripsi ini. Karena ku yakin kasih sayang, cinta suci, dan

    pengorbanan kalian takkan tertandingi adanya, oleh karena itu aku akan selalu

    berusaha membuat kalian tersenyum bangga. Ucapan ribuan terima kasih atas

    do’a-nya tak henti-hentinya penulis lantunkan di setiap do’a.

  • v

    8. My best Friends, Suhendra, Budi, Hasan Aziz, Fauzan, Riadi, Syafi’i, M Rifqi

    Azis dan Humaidah yang selalu ada disaat penulis membutuhkan bantuannya

    serta selalu memberikan masukan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.

    9. Teman-teman seperjuangan penulis angkatan 2008 jurusan perbandingan hukum

    dengan semangat perjuangan dan solidaritas yang telah diberikan kepada penulis

    dengan segala hormat dan terima kasih penulis sampaikan semoga kisah

    persahabatan ini akan tetap terjalin selamanya.

    10. Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas

    bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

    Dengan ini penulis sampaikan dengan perasaan rendah hati dan penuh hormat

    rasa terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah

    berjasa dalam menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah ini. Semoga jasa dan amal

    baiknya mendapat balasan yang lebih baik dan berkah di dunia dan akhirat. Amin.

    Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.

    Jakarta: 08 Mei 2014 M

    08 Rajab 1435 H

    Asmahady

  • vi

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ............................................................................................................... ii

    KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi

    BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

    B. Identifikasi masalah ......................................................................... 5

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................... 6

    D. Review Studi Terdahulu ................................................................... 7

    E. Metodelogi Penelitian ...................................................................... 8

    F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

    BAB II : PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATASAN

    MAHRAM ............................................................................................. 14

    A. Pengertian Mahram .......................................................................... 14

    B. Dasar Hukum Batasan Mahram ....................................................... 16

    C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan ..................................... 24

    BAB III : PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN

    PUTRI (FMP3), DAN BATSUL MASA’IL ........................................ 31

    A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ........... 31

    B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il ......................................... 35

  • vii

    BAB IV : ANALISA TERHADAP HASIL BAHTSUL MASA’IL

    TENTANG PELARANGAN BERBONCENGAN DENGAN

    LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA ............................ 41

    A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan

    Mahram ............................................................................................ 41

    B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)

    terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ...................... 45

    C. Analisa Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan

    Mahram ............................................................................................ 48

    BAB V : PENUTUP ............................................................................................. 51

    A. Kesimpulan ...................................................................................... 51

    B. Saran-saran ....................................................................................... 53

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55

    LAMPIRAN ............................................................................................................. 57

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Seiring perkembangan zaman, manusia memiliki ketergantungan terhadap

    kendaraan dalam untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, baik itu kendaraan

    pribadi maupun kendaraan umum, di darat, di laut maupun di udara. Dewasa ini

    masyarakat cenderung memilih kendaraan yang murah, fleksibel, dan cepat untuk

    mencapai tujuan.

    Kendaraan alternatif yang dipilih dan diminati oleh mayoritas masyarakat

    di Indonesia adalah sepeda motor. Sepeda motor mempunyai kompatibilitas tinggi

    dalam memenuhi kebutuhan masyarat. Hal ini terbukti karena kendaraan sepeda

    motor dapat mencangkup berbagai sudut pemukiman di kota-kota maupun di

    daerah terutama daerah padat penduduk. Menurut UU di Indonesia kendaraan ini

    hanya berkapasitas dua orang.1

    Di Indonesia, baik pengendara maupun penumpang itu tidak mengenal

    adanya perbedaan kelamin, usia, maupun SARA. Dalam pelaksanaannya di

    lapangan, karena tidak adanya perbedaan jenis kelamin, maka banyak pengendara

    sepeda motor yang saling berboncengan dengan lawan jenis. Akibat hal tersebut

    1 Menurut pasal 106 ayat 9 UU 22 Tahun 2009, yaitu: Setiap orang yang mengemudikan

    Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.

  • 2

    maka timbullah berbagai dampak termasuk diantaranya dapat menimbulkan

    fitnah.

    Oleh karena itu, tepatnya pada 14 Januari 2010 Forum Musyawarah

    Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah Fatwa

    Haram, salah satunya Fatwa Perempuan Tukang Ojek Atau Perempuan Naik

    Ojek. Fatwa tersebut di keluarkan oleh FMP3 di Pondok Pesantren Lirboyo,

    Kediri Jawa Timur, yang diikuti oleh 258 peserta yang berasal dari 46 Pondok

    Pesantren di Jawa Timur dan dua pondok pesantren di Jawa Tengah. Fatwa

    (opini hukum dalam Islam) tersebut tentu saja menimbulkan banyak pendapat,

    terlebih pada isu haramnya perempuan menjadi tukang ojek dan haram naik ojek.

    Pro dan kontra fatwa ini belum lagi usai, pada Agustus 2010 lalu, Majelis Ulama

    Indonesia (MUI) Lebak, Banten, Jawa Barat pun mengeluarkan fatwa sejenis

    yakni berboncengan sepeda motor berbeda jenis kelamin dengan bukan

    mahramnya haram hukumnya, karena dianggap mengundang pornografi maupun

    pergaulan bebas.2

    Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu

    juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa

    Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di

    atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa

    2http://lestarin.wordpress.com/2012/02/21/tanggapan-perempuan-terhadap-fatwa-haram-

    forum-musyawarah-pondok-pesantren-putri-fmp3-se-jawa-timur-di-ponpes-lirboyo-studi-pada-

    perempuan-akar-rumput-di-jawa-barat-dan-jawa-timur-terhadap-fatwa/ (diakses pada tanggal 22

    Mei 2013 Jam 12.15)

  • 3

    dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak

    menaiki (unta Nabi).

    Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:

    …“

    ”. Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang

    telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya…

    sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh,

    ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya

    merasa malu.”3 (H.R.Bukhari)

    Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk,

    dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa

    dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang

    yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua

    pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu

    merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu

    sama lain tidak harus saling berpegangan.

    Dari penjelasan di atas, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan

    mahramnya itu diperbolehkan. Hal ini dapat terwujudkan apabila memenuhi

    beberapa syarat, yaitu:

    3 Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh,

    1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224

  • 4

    1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

    2. Tidak terjadi khalwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang

    menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)

    3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan

    syara‟

    4. Tidak terjadi persentuhan kulit

    5. Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain

    menurut satu pendapat diperbolehkan, meski tidak disertai mahram apabila

    aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan).4

    Dalam masalah ini perbandingan antara alat yang dikendarakan pada

    jaman nabi dan kendaraan pada zaman sekarang ini. Pada masa nabi kendaraan

    yang digunakan adalah onta sedangkan pada jaman sekarang ini adalah motor

    yang dimana sangat jauh berbeda diantara keduanya. Perbedaan antara keduanya

    adalah onta memiliki punuk yang bisa dijadikan sebagai pembatas antara

    pengendara dan penumpangnya, sehingga antara keduanya tidak dapat saling

    bersentuhan. Sedangkan semua jenis motor tidak memiliki halangan antara

    pengendara dan penumpangnya sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya

    sesuatu yang tidak dibolehkan seperti bersentuhannya badan yang bisa saja

    menimbulkan syahwat.

    4 http://m.life.viva.co.id/news/read/121832-_wanita_juga_dilarang_naik_ojek_ (diakses

    pada tanggal 22 Mei 2013 jam 12:58)

  • 5

    Oleh karena itu, tinjauan bahtsul masa`il yang dikeluarkan oleh Forum

    Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur tentang

    pengharaman berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya menurut

    penulis sangat penting sekali sehingga umat Islam dapat mengetahui dan

    memahami lebih mendalam mengenai hukum mengendarai dengan lawan jenis

    yang bukan mahramnya. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis merasa tertarik

    untuk meneliti lebih jauh tentang “Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan

    Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren

    Putri (FMP3) se-Jawa Timur)”.

    B. Identifikasi Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi penelitiannya pada

    analisa larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait fatwa

    Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Penulis

    akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur

    mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya.

    2. Perumusan Masalah

    Untuk mengetahui pembahasan ini lebih lanjut dan mendalam penulis

    perlu membatasi dan merumuskan pokok-pokok masalah tersebut agar tidak

    terjadi pandangan yang terlalu luas dan tumpang tindih dalam pernulisan

    skripsi ini:

  • 6

    a. Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)

    se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan

    mahramnya?

    b. Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan

    jenis yang bukan mahramnya?

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

    1. Manfaat Penulisan

    Pada dasarnya tujuan adalah merupakan suatu alasan penting bagi kita

    dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah

    yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang

    menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:

    a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan

    yang bukan mahram.

    b. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab larangan

    terhadap pengendara yang berboncengan dengan selain mahramnya.

    c. Untuk mengetahui apa saja dampak yang dihasilkan pada masyarakat

    terhadap fatwa pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.

    2. Manfaat Penulisan

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

    ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya ilmu pengetahuan

  • 7

    hukum Islam serta sebagai bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait

    terutama:

    a. Bagi penulis sendiri, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah

    wawasan dan pengetahuan yang lebih luas khususnya di bidang hukum

    Islam sehingga dapat diterapkan di lingkungan masyarakat.

    b. Bagi program studi Perbandingan Mazhab Fiqih semoga hasil penelitian

    ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberikan

    informasi yang berharga mengenai fatwa majelis ulama tentang

    pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.

    c. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam semoga hasil penelitian

    ini dapat menjadi pengetahuan mengenai hukum islam secara mendalam.

    D. Review Studi Terdahulu

    Sebelum membuat proposal skripsi ini, penulis melakukan beberapa studi

    pada penelitian sebelumnya, sehingga mendapat beberapa ide dan wawasan

    baru dalam mendukung penyusunan proposal skripsi ini. Dalam beberapa

    penelitian ada banyak yang selanjutnya agar lebih jelas penulis sudah mencatat

    beberapa penelitian dibawah berikut ini :

    - Muhammad Gusmakin, (102044225097) dengan judul “Kemitrasejajaran

    Perempuan Dan Laki-laki Dalam Perspektif Hukum Islam” penelitian ini

    membahas masalah ke sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dalam

    penelitian ini, Saudara Gusmakin menjelaskan tentang bagaimana

  • 8

    menghadapi kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam pandangan

    masyarakat Islam, serta kebebasan perempuan dala berekspresi menurut

    pandangan islam, dan juga kedudukan perempuan dalam islam. Perbedaan

    yang mendasar bagi penulis adalah aspek kajian penelitian. Skripsi di atas

    mendeskripsikan aspek kesejajaran antara laki-laki menurut hukum isam serta

    kedudukan perempuan dalam pandangan Islam dan juga kebabasan

    perempuan dalam berekspresi, sedangkan penulis ingin membahas lebih

    spesifik lagi yaitu mengenai. larangan wanita berboncengan dengan bukan

    mahramnya terkait hasil Bahtsul Masa‟il Forum Musyawarah Pondok

    Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Serta mendeskripsikan faktor-faktor

    yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan

    dampaknya.

    E. Metode Penelitian

    Paradigma menurut Robert A. Friedrichs adalah suatu gambaran yang

    mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin.5

    Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

    fenomenologis. Paradigma fenomenologis yaitu berusaha memahami fenomena

    atau kenyataan sosial maupun perilaku manusia dari segi berfikir maupun

    bertindak orang-orang itu sendiri.6

    5 Imam S dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2003), 91.

    6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja

    Rosdakarya, 2002), 31.

  • 9

    Dalam hal ini, peneliti berusaha memahami suatu kenyataan tentang hasil

    Bahtsul Masa‟il, yaitu: pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan

    mahramnya.

    Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan

    kualitatif, karena berupaya untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

    tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan

    kualitatif ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).7

    - Jenis Penelitian

    Dilihat dari segi penelitian yang berdasarkan bahan-bahan tertulis atau

    bahan pustka, maka. Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini

    adalah metode penelitian normatif8, yaitu penelitian yang memuat deskripsi

    tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis.

    Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan

    cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan bahan pustaka yang ada

    relevansinya dengan judul skripsi ini. Metode ini dimaksudkan untuk

    memberikan gambaran secara nyata mengenai situasi tertentu atau keterkaitan

    hubungan antara berbagai fenomena secara aktual dan teratur. Dalam hal ini

    peneliti berusaha memberikan gambaran secara nyata mengenai batasan non

    muhrim dalam Islam.

    7 Ibid, hlm. 3.

    8 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, ( Lembaga

    Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet 1, h.10.

  • 10

    - Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

    1. Sumber Data

    Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu

    penelitian. Yang dimaksud sumber data dalam suatu penelitian adalah

    subjek dari mana data diperoleh.9 Dalam penelitian ini peneliti

    menggunakan tiga sumber yaitu :

    a. Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan

    dalam hal ini, yaitu Al-quran dan hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat

    Ulama-ulama Terdahulu dan Kontemporer, FPM3 se-Jawa Timur.10

    b. Sumber Data Sekunder adalah data yang didapat dari sumber kedua.

    Data ini merupakan data pelengkap yang nantinya akan dikorelasikan

    dengan sumber data primer, antara lain berwujud buku-buku, jurnal

    dan majalah, maupun catatan pribadi.11

    c. Sumber Data Tersier adalah data penunjang, yakni bahan-bahan yang

    memberi petunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan

    sekunder, diantaranya kamus-kamus dan ensiklopedi.12

    9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

    (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm.114. 10

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005),

    hlm.12. 11

    Ibid, hlm. 12. 12

    Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo

    Persada, 2005), 114.

  • 11

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi

    pustaka (library research)13

    , yaitu penelitian yang dilakukan dengan

    mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang diperlukan dalam hal ini

    adalah Alquran, Al-hadis, pendapat ulama terdahulu dan kontmporer,

    Fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa

    Timur. Sebagai rujukan utama dan buku yang berkaitan tentang masalah-

    masalah kejahatan narkotika dan yang ada relevansinya dengan skripsi

    ini.

    3. Metode Pengolahan Data

    Sebelum data di analisis, perlu dilakukan proses pengolahan data

    terlebih dahulu untuk memisahkan data yang relevan dengan tujuan

    penelitian dan mana yang tidak, dengan proses sebagai berikut:

    a. Editing (pemeriksaan ulang), dengan tujuan data yang dihasilkan

    berkualitas baik.14

    Dalam hal ini peneliti membaca kembali data atau

    keterangan yang telah dikumpulkan dengan, buku catatan, daftar

    pertanyaan (interview guide) jika masih ada hal-hal yang salah dan

    meragukan.

    b. Analyzing (analisis), proses ini merupakan yang terpenting dalam

    penelitian kualitatif yang selalu harus disandingkan dengan upaya

    13

    ibid., h.12. 14

    LKP2M, Research Book for LKP2M (Malang: UIN-Malang, 2005), 60-61.

  • 12

    interpretatif. Karena prinsip pokok penelitian jenis ini adalah

    menemukan teori dari data.

    c. Concluding (penarikan kesimpulan) yaitu dengan cara menganalisis

    data secara komprehensif serta menghubungkan makna data yang ada

    dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

    - Teknik Analisis Data

    a. Teknik yang digunakan adalah deskriptif komparatif.15 Tahap analisis

    deskriptif adalah tahap penyajian data terhadap berboncengan dengan

    lawan jenis yang bukan mahramnya.

    Sedangkan tahap analisis komparatif dilakukan dalam upaya

    membandingkan antara prinsip-prinsip hukum Islam, para ulama terdahulu dan

    hasil keputusan bahtsul masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri

    (FMP3)se-Jawa timur.

    Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman

    Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta, UIN Pres, 2007 yang merupakan Pedoman dari Penulisan

    karya ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umunya,

    khususnya Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum.16

    15

    Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia,

    suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa

    sekarang. Penelitian deskriptif ini ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab-akibat,

    dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu. 16

    Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta

    Pres, 2007), Cet 1, h.36.

  • 13

    F. Sistematika Penulisan

    Untuk sistematika penulisan, seluruh skripsi ini terdiri dari lima bab,

    masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

    BAB I Berisikan latar belakang masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan

    Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan, Studi

    Pendahuluan, dan Sistematika Pembahasan.

    BAB II Membahas tentang pengertian mahram serta pandangan hukum Islam

    tentang batasan yang bukan mahram.

    BAB III Untuk mendeskripsikan profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren

    Putri (FMP3), dan Metode Istinbat Bahtsul Masa‟il.

    BAB IV Analisa terhadap hasil Bahtsul Masa‟il tentang pelarangan

    berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dan

    implikasinya di masyarakat.

    BAB V Penutup; Kesimpulan dan Saran.

  • 14

    BAB II

    PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATASAN MAHRAM

    A. Pengertian Mahram

    Penyebutan istilah muhrim, dalam makna saudara di kalangan masyarakat

    sering kita jumpai. Akan tetapi penggunaan istilah muhrim disini adalah salah,

    karena istilah yang mereka maksud adalah mahram. Secara definisi arti ke-dua

    istilah tersebut sangatlah berbeda. Walaupun kata muhrim dan mahram berasal

    dari bahasa Arab tetapi kata muhrim berasal dari kata muhrimun, (mimnya di

    dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan

    ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram berasal dari kata mahramun,

    (mimnya di-fathah).

    Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram

    dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh

    melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh

    melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dll., sesuai

    dengan hukum-hukum mahram.

    Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah

    dengannya.17

    Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang

    diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti

    17

    Imam Rozi‟, Mukhtar as-Shihah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet 1, h.

    77-78

  • 15

    hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti

    suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.

    Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟

    ayat 23.

    ( السورة

    ( ألنساء:

    Artinya: “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak

    perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-

    saudara perempuan bapak kalian, saudara-sudara perempuan ibu

    kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak

    perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang

    menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri

    kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu

    dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur

    dengan iteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak

    berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-

    isteri ank kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam

    perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada

    masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha

    penyayang.” (An-Nisa‟ ayat 23).

  • 16

    Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani memberikan definisi: “Mahrom adalah

    seseorang yang tidak boleh dinikahi selamanya”.18

    Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah memberikan definisi: “Mahram

    adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab

    nasab, persusuan dan pernikahan.”19

    Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus

    yaitu: haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi‟i

    dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.

    B. Dasar Hukum Batasan Mahram.

    Karena ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu

    tempat) ini sudah menjadi suatu hal yang biasa terjadi di lingkungan kita terutama

    di Negara kita yang tidak menggunakan hokum islam secara kaffah. Untuk

    mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena ikhtilat tersebut, sebagai

    seorang muslim kita harus mengetahui dasar hokum batasan-batasan mahram

    yang telah Allah tentukan, baik itu yang berasal dari Al-Quran maupun As-

    Sunnah. Berikut ini beberapa dasar hokum tentang batasan mahram :

    1. Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:

    :السورة االسراء( )

    18

    Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul bari, ( t.t., :Al Makhtabah Salafiyah, t.th.), juz 9, h.

    332. 19

    Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, Al Mughni, (Riyadh : Darul Alamul Khutub,

    t.th.), juz 9, h. 493.

  • 17

    Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)

    Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah

    subhanahu wata‟ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya

    dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati

    sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.”20

    Asy-Syaikh As-Sa‟di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di

    dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang

    larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina

    mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan

    kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia

    dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina

    yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan

    zina.”21

    2. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.

    20

    Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55 21

    Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457

  • 18

    :السورة ألنساء( )

    Artinya : “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak

    perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-

    saudara perempuan bapak kalian, saudara-sudara perempuan ibu

    kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak

    perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang

    menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri

    kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam

    pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika

    kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian

    ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan

    diharamkan bagi kalian issteri-isteri anak kandung kalian

    (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan

    bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.

    Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha

    penyayang.”(An-Nisa‟ ayat 23).

    Surat An-Nisa ayat 23 menjelaskan wanita-wanita yang haram

    dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah

    (pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara).

    Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi.

    Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari

    bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang

    laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan

    masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi (uhilla

  • 19

    lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan

    puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal)

    maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal

    dinikahi.

    Yang diharamkan karena sepersusuan–yang disebutkan dalam ayat-

    adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena

    dalam hadits disebutkan,

    Artinya : Diriwayatkan dari Aisyah berkata Rasulullah SAW. "Karna

    Sesungguhnya persusuan itu mengharamkan seperti juga

    haramnya keturunan22

    ." (HR. Bukhari dan Muslim)

    Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan

    demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi:

    1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya),

    2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya),

    3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga),

    4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya),

    5. Saudari suami wanita yang menyusui („ammahnya),

    6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.

    22

    Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih Bukhari dan Muslim, (Bandung, Jabal,

    2011), cet, h 261, no 835

  • 20

    7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri

    si wanita yang menyusui dst. ke bawah.

    Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4,

    yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai

    ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti

    neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri

    dari istri kita yang lahir dari selain kita.

    3. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:

    Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan

    mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah

    SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul

    beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak

    merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka

    melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).

    …“

    ”.

    Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya),

    yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala

    saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw.

  • 21

    berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di

    belakangnya, tetapi saya merasa malu.”23

    (H.R.Bukhari)

    Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada

    punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu

    berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak

    harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang

    tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya.

    Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk

    dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.

    4. Dari Ibnu „Abbas r.a.

    Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW.

    Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di

    tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus

    diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh

    berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram”.Tiba tiba

    berdiri seorang laki-laki, lalu dia bertanya: “istriku hendak

    menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan untuk

    23

    Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah

    Qohiroh, 1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224

  • 22

    berperang kesana dan kesitu; bagaimana itu ya Rasulullah?”

    jawab Rasulullah SAW. “Pergilah kamu haji bersama

    isterimu!”24

    (H.R. Muslim)

    Imam nawawi mensyarahkan hadis ini, bahwa hadis ini menjadi dasar

    dari madzhab syafi‟i dan jumhur ulama bahwasanya keharusan seorang wanita

    untuk keluar bersama mahram, baik itu muahram dari persusuan, maupun

    muhrim dari nasab seperti anak, saudara, keponakan dan paman.25

    Pada

    akhirnya, beliaupun menyimpulkan bahwa setiap perjalanan yang dilakukan

    oleh seoarang wanita, baik itu tiga hari, 2 hari maupun satu hari itu dilarang

    bagi wanita kecuali bersama mahramnya.26

    5. Dari „Uqubah bin „Amir r,a.

    Artinya: Dari „Uqubah bin „Amir r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda:

    “Hindarilah olehmu masuk kerumah-rumah wanita!” lalu bertanya

    Anshar, “Ya, Rasulullah! Bagaimana pendapat anda tentang al-

    Hamwu (keluarga dekat bagi suaminya27

    ). jawab Rasulullah SAW.,

    “Bahkan itu lebih berbahaya.”28

    (H.R. Muslim).

    24

    HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji, Bab Safarul Mar‟ah

    Ma‟a Mahram (Bandung: Sirkah Ma‟arif,1978) , Juz.1, h. 563. 25

    Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, (t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,), h. 839

    26 Ibid, h. 839

    27Al Hamwu, keluarga dekat bagi suami, seperti paman suami, saudaranya, anak

    saudaranya, dan sebagainya. 28

    HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Salam, Bab Tahrim

    Khalwat Bil Ajnabi (Bandung: Sirkah Ma‟arif, 1978), Juz. 2, h. 270.

  • 23

    Di jelaskan oleh hadits di atas bahwa keluarga dari suami berpotensi

    untuk menimbulkan fitnah dan dilarang untuk berkhalwat. Dikarnakan kerabat

    atau keluarga dekat sering berada dalam satu rumah atau satu temapat jika

    sedang bertamu yang bisa menimbulkan pitnah.

    6. Dari Abu Hurairah r.a.

    Artinya : “Dari Abu Harairah r.a., katanya Rasulullah SAW

    bersabda:”Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari

    kiamat tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam,

    melainkan harus bersama muhrim.”29

    (H.R. Muslim).

    Pada keterangan hadits diatas keharusan seorang wanita untuk

    bersama mahramnya pada saat selama perjalanan terlebih dalam perjalanan

    yang menempuh waktu selama sehari semalam, oleh sebab itu hadis diatas

    mengharuskan jika seorang wanita ditemani mahramnya selama perjalanan

    agar terhidar dari hal-hal yang tidak di inginkan.

    29

    Ibid.,Juz.1, h.563.

  • 24

    7. Dari Jabir r.a.

    Artinya: Dari Jabir r.a : Sesungguhnya Nabi SAW

    Bersabda:”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari

    akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak

    di dampingi dengan mahramnya. Karena sesungguhnya yang

    ketiga adalah setan.”30

    (H.R. Ahmad)

    Hadis ini menunjukan bahwa kholwat antara laki-laki dan perempuan

    baik itu dalam sebuah perjalanan maupun hal-hal lain yang berbentuk halwat

    itu dialarang oleh syari‟at.

    C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan

    Islam menetapkan beberapa kriteria syar‟i pergaulan antara laki-laki dan

    perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya.

    Kriteria syar‟i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai

    tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Diantaranya, Islam mengharamkan

    ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan khalwat

    (berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan adanya sutrah

    (pembatas) yang syar‟i dan menundukkan pandangan, meminimalisir

    30

    Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad: Darul Ibni Afan, 2005)

    cet.1, Juz.7, h. 542.

  • 25

    pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan

    menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan kriteria lainnya.

    Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan

    semuanya. Sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu

    kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan

    kenyataan dan realita.

    Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya

    boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak

    memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika

    wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya,

    bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan.

    Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab

    terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.

    Wajib berhati-hati, karena setan terkadang menipu seseorang dengan

    merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia

    sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan.

    Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi SAW

    dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan.

    Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan

    jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada suatu kebutuhan yang

    mendesak, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan sesuai ketentuan syar‟i,

    di antaranya:

  • 26

    1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan)

    Allah Ta‟ala berfirman,

    :السورة النور( )

    Artinya: “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, hendaklah mereka

    menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS.

    An-Nuur: 30).

    Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan,

    ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya yang beriman

    untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah

    mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat

    (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan

    pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat

    sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka

    memalingkan pandangannya dengan segera.”31

    Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,

    السورة(

    (13:النور

    31

    Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al

    „Azhim,(Beirut: Al Makhtabah Al Asriyah.2000), jilid3, h. 265

  • 27

    Artinya: “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah

    mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An-

    Nuur: 31).

    Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,

    ”Firman Allah “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah

    mereka menundukkan pandangan mereka‟ yaitu hendaklah mereka

    menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang

    lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa

    tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami) baik dengan

    syahwat dan tanpa syahwat. Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang

    bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.32

    Berdasarkan hal ini

    ditetapkan nya keharaman tentang melihat aurat lawan jenis yang bukan

    muhrim.

    2. Tidak berduaan atau berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram dan

    bukan istrinya).

    Dalam Shahihul Muslim, dari Ibnu Abbas radliyallah „anhu, Nabi

    shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

    32

    Ibid., h. 265-266

  • 28

    Artinya: Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dia

    bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang

    wanita, kecuali bersama mahramnya.”33

    (H.R. Muslim)

    Dijelaskan pula, dari Amir Bin Rabi‟ah,

    Artinya : Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah

    seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak halal

    baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah setan.kecuali

    ditemani mahramnya.”34

    )HR. Ahmad)

    3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah.

    Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:

    :السورة االسراء( )

    Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)

    Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati”

    menunjukkan bahwa Al-Qur‟an telah mengharamkan zina begitu pula

    pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta

    33

    HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim,Kitab Haji, (Bandung: Sirkah

    Ma‟arif,2007)cet.8 Juz.3, Hal. 27, No. 1281 34

    Al Imam Asy- Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah (Riad: Darul Ibni Afan,2005),

    Juz7, hlm 543

  • 29

    sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, ber-khalwat,

    tabarruj dan lain-lain.”

    Allah Ta‟ala berfirman guna melarang hamba-hambanya dari perbuatan

    zina, mendekatinya, dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat menimbulkan

    atau menyeret kepada perzinaan. “Dan janganlah kamu mendekati perzinaan.

    Sesungguhnya perzinaan itu adalah perbuatan keji, “yakni dosa yang besar“, dan

    satu jalan yang buruk” yakni perzinaan itu merupakan jalan dan perilaku yang

    terburuk.35

    4. Tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, karena diharamkan.

    Dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma‟qil bin

    Yasar berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

    Artinya : Telah memberikan hadits kepada saya Abdan bin Ahmad Sana Nasar

    bin Ali beliau berkata: saya Abi sana Sadad bin Said dari Abi Ala

    telah mebberikan hadis kepada saya Ma‟qul bin Yasar, beliau

    berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata kepala salah seorang

    35

    Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,(Zedah: Al

    Haramain, TT), Juz3, h. 38

  • 30

    laki-laki ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada

    menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”36

    5. Allah telah memerintahkan beberapa adab yang agung kepada para istri

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan segenap wanita muslimah yang masuk

    di dalamnya.

    Allah berfirman di dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 32 :

    ( )السورة االحزاب:

    Artinya: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga

    berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

    ucapkanlah perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32)

    Imam ibnu katsir lebih lanjut menafsirkan ayat ini bahwa tidak

    diperbolehkan bagi wanita berbincang dengan ajanib lawan jenis seperti

    berbincang dengan suami atau mahram nya37

    . Begitu juga, Imam Qurthubi dalam

    ayat ini beliau menafsirkan bahwa disunnahkan bagi wanita untuk merendahkan

    suaranya ketika berbincang dengan lawan jenis yang bukan mahram38

    36

    Al Hafidz Ahmad Athobary, Mu‟jam Alkabir, (t.t., Maktabah Ibnytaimiyah,1991),cet.1

    , juz 20, h. 211-212. 37

    Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (t.t., Darrul Kutub Ilmiah, t.th.), juz 6, h.362.

    38 Imam Qurthubi, Jami‟ ahkam Qur‟an Tafsir Qurthubi, ( t.t., darrul kutub mishriyah,

    1964), cet. 2, jilid 5, juz 14.

  • 31

    BAB III

    PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3),

    DAN BATSUL MASA’IL

    A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)

    FMP3 adalah sebuah acara pengkajian yang dilakukan oleh pondok

    pesantren putri se-Jawatimur dan Madura. FMP3 itu sendiri adalah Forum

    aspirasi Pondok pesantren Putri untuk membahas permasalahan-permasalahan

    yang ada dimasyarakat, nantinya akan dibahas pada forum tersebut. Akan

    menghadirkan tutor-tutor dari kalangan dunia pesantren yang sudah mumpuni

    dibidangnya masing-masing.

    FMP3 diadakan pertama kali di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'at

    al-Qur'aniyyah (HMQ) Lirboyo - Kediri - Jatim. Acara ini biasa dilakukan di tiap-

    tiap pondok pesantren yang telah di pilih menjadi penyelengara acara. Pada acara

    tersebut, biasanya panitia FMP3 se-Jawa dan Madura mengundang ratusan

    pondok pesantren salaf putri, tetapi yang tercatat sebagai peserta yang hadir ada

    sekitar lima puluhan pondok pesantren.

    Dalam acara tersebut, seluruh perwakilan pesantren melaksanakan diksusi

    yang dikemas dalam bingkai Bahtsul Masail. Bahtsul Masail yang dilaksanakan

    santri putri merupakan suatu pergerakan progresif yang baik di lingkungan

    pesantren, mengingat pesantren selama ini terlihat sebagai sub kultur yang

    mengesampingkan suara perempuan dalam mengambil keputusan/hukum baik

  • 32

    keagamaan maupun sosial. Selain itu, bahtsul masail tersebut secara tidak

    langsung telah mengajak para santri untuk terus membuka dasar hukum berupa

    kitab-kitab kuning sebagai landasan berideologi. Agar santri putri terus

    melakukan aktualisasi zaman dengan tetap merujuk pada kitab kuning, karena

    sekarang ini sudah jarang santri yang mempelajari kitab kuning sebagai landasan

    hukum mereka.

    Sedangkan Tujuan bahtsul masa‟il menurut Majelis Musyawarah Pondok

    Pesantren Lirboyo yaitu:

    Pertama, bahtsul masa‟il bisa dijadikan sebagai mediator dalam rangka

    mensosialisasikan gagasan-gagasan baru pemahaman ajaran

    Islam kepada masyarakat.

    Kedua, bahtsul masa‟il dapat difungsikan sebagai ajang penempaan

    ketrampilan, kreatifitas dan kualitas intelektual santri di

    pesantren, pemupukan jiwa kritis dan inovatif terhadap

    berbagai disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya fikih.

    Ketiga, melalui bahtsul masa‟il dapat dipersiapkan sejak dini kader-

    kader yang mumpuni dalam mengakomodir beragam

    perbedaan pemikiran yang berkembang di kalangan umat,

    untuk kemudian memberikan formulasi terbaik secara arif dan

    bijaksana.39

    39

    http://www.lirboyo.net/17/12/2013. Lajanah Bahtsul Masail

  • 33

    FMP3 ( Forum Musyawarah Pondok Pesantren ) putri se-jawa timur. Berikut

    susunan kepengurusan.

    - PELINDUNG :

    1. KH. Ahmad Idris Marzuqi P3TQ. Lirboyo Kota Kediri

    2. KH. M.Anwar Manshur P3HM. Lirboyo Kota Kediri

    3. KH. M.Abdul Aziz Manshur PP. Tarbiyatunnasyiaat Paculgowang Jombang

    4. KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri

    5. KH. Nurul Huda PP. Al Falah Ploso Kediri

    6. KH. Zainuddin Jazuli PP. Al Falah Ploso Kediri

    7. KH. Anwar Iskandar PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri

    8. KH. Muhammad Subadar PP. Roudlotul „Ulum Besuk Pasuruan

    9. KH. Miftahul Akhyar PP. Miftahussunnah Surabaya

    10. KH. Masrukhin PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek

    11. KH. Masbukhin Faqih PP. Mambaussholihin Suci Manyar Gresik

    12. KH. Sadid Jauhari PP. As Sunniyyah Kencong Jember

    13. KH. Imam Yahya Malik PP. Al Ma‟ruf Bandar Lor Kota Kediri

    14. KH. Masyhudi PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek

    15. KH. Mujib Imron PP. Al Yasini Areng-areng Sambisirah Pasuruan

    16. Ibu Hj. Badriyah Jazuli PP. Al Badriyah Ploso Mojo Kediri

    17. Ibu Hj. Qoni‟atuz Zahro Sa‟id PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri

    18. Ibu Hj. Lilik Nur Kholidiah PP. Al Badriyah Al Hikmah Purwoasri

    19. Ibu Hj. Roikhanah Faqih PP. Darussalam Sumbersari Pare Kediri.

  • 34

    20. Ibu Hj. Azzah Nuur Laila P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri

    - PENASEHAT :

    1. KH. Atho‟illah Sholahuddin PP. Lirboyo Kota Kediri

    2. KH. Asyrofi Abi Yusa PP. Darussalam Sumbersari Pare Kediri.

    3. KH. Dliyauddin PP. Manba‟ul Hikmah Mantenan Blitar

    4. KH. Muhibbul Aman Ali PP. Roudlotul „Ulum Besuk Kejayan Pasuruan

    5. KH. Ibnu Shodiq PP. Hidayatul Mubtadi-in Ngunut Tulungagung

    6. KH. Bahrul Huda PP. An Nur Gondanglegi Malang

    7. Agus H. Reza Ahmad Zahid PP. Al Mahrusiyah Lirboyo Kota Kediri

    8. Agus Anang Darunnaja PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri

    9. Agus Fauzi Hamzah PP. Miftahul „Ulum Pare Kediri

    10. Agus H. Abdul Mu‟id Shohib PP. Mambaul Ma‟arif Denanyar Jombang

    11. Agus H. Ibrahim Abdul Hafidz PP. Hidayatus Sholihin Turus Kediri

    12. Agus H. Dahlan Ridlwan PP. Roudlotul Huffazh Kodran Mojo Kediri

    13. Agus H. Huda PP. Suci Manyar Gresik

    14. Agus Jamil PP. Wali Songo Cukir

    - DEWAN HARIAN:

    Ketua Umum : HM. Adibussholeh (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

    Ketua Satu : Ma‟adzallah (P3.Darussalam Sumbersari Kediri)

    Ketua Dua : M. Fadloli (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

    Ketua Tiga : H. Muhammad (P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)

    Ketua Empat : Muzammalah (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

  • 35

    Sekretaris Umum : Yusuf Nur (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

    Sekretaris Satu : Teten Rustendi (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

    Sekretaris Dua : Qurrotu A'yunin (P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)

    Sekretaris Tiga : Tri Fina F. (P3TQ. Lirboyo Kota Kediri)

    Berndahara : M. Najib Yasin (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)

    Wakil bendahara : Ria Mustika Sari (PP. Al Mahrusiyyah Lirboyo Kota

    Kediri)40

    B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il

    1. Bahtsul Masail

    Bahtsul Masa‟il secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah

    yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan Al-Masa‟ilud

    Diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan al-

    Masa‟ilul Fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). Dari perspektif ini Al-Masa‟ilul

    Fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah (kontroversial) karena

    jawabannya bisa berbeda pendapat.

    Nahdlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa

    didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk di dalamnya

    keputusan hukum Islam yang diambil oleh Nahdlatul Ulama terlebih dahulu

    digodok dalam forum bahtsul masa‟il (pembahasan berbagai permasalahan

    hukum). Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masa‟il tersebut, diperlukan

    40

    [email protected]. Dikirim /28/11/2013 Forum jawa timur.

  • 36

    tata cara pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam system pengambilan

    hukum Islam.

    Dalam struktur organisasi NU, bahtsul masa‟il dilaksanakan oleh

    lembaga yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan

    namanya, bahtsul masa‟il, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah

    agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas

    berbagai masalah keagamaan.

    Tugas LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan

    masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga

    ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi

    alim ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya

    merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam

    mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunah Waljamaahmenurut

    salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang

    demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat.

    K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiai NU, mengatakan bahwa

    ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk

    qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul

    (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan

    sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai

    dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.

  • 37

    Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu

    peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih

    dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab

    kuning.41

    Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya

    bagi NU, Namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan:

    a. Kelemahan yang bersifat teknis (kaifiyatul bathsi), yakni belum ada

    ketegasan yang bersifat jama‟i mengenai pola bermahzhab antara

    manhaj dan qauli.

    b. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum

    bakunya hirarhi (martabat) keputusan bahtsul masa‟il yang

    diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar

    sampai tingkat ranting serta dipesantren-pesantren.

    c. Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan

    melakukannya secara baik hasil putusan bahtsul masail.42

    Masail Diniyah yaitu permasalahan yang sedang berkembang untuk

    dicarikan solusi dari sisi agama. NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah:

    a. Masail Diniyah Waqi‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang

    menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang

    Islam meresmikan gereja?

    41

    Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 35-36

    42Busyairi Harits, Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya,

    2010), h. 57-58.

  • 38

    b. Masail Dinniyah Maudhu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut

    pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.

    c. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang

    diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi

    ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk

    diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.43

    2. Metode Istinbath Hukum Islam di Lajnah Bahtsul Masail.

    Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini

    diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan

    para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU. Selanjutnya

    para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan

    dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik).

    Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument

    dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras

    dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan

    dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.

    Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi‟i, karena

    madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan

    kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i

    tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam

    lingkungan madzhab yang empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi).

    43

    Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 77

  • 39

    Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu,

    namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam

    penerapannya.44

    3. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail.

    a. Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an

    dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab -

    mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam

    konteks permasalahan yang dicari hukumnya.

    b. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah

    bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada

    qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas

    dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal

    ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.

    c. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil

    sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti

    dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (Maraji') berupa kitab-

    kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam

    beberapa komponen: Ibadah, Mua'amalah, Munakahah (hukum keluarga)

    dan Jinayah atau Qadla (pidana atau peradilan). Dalam hal ini para ulama

    NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam

    pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin (pendapat para

    44

    Ibid., h. 35-36

  • 40

    mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan

    Qaul Manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang

    dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj

    (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka

    diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih.

    Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi

    juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi

    kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah

    (kebutuhan primer).

  • 41

    BAB IV

    ANALISA TERHADAP HASIL BAHTSUL MASA’IL TENTANG

    PELARANGAN BERBONCENGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG

    BUKAN MAHRAMNYA

    A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan Mahram

    Berikut pendapat para ulama beserta dasar hukumnya, baik itu yang

    memperbolehkan maupun melarangnya:

    1. Menurut pandangan Dr. Abdul Karim Zaidan dalam karyanya Mufasal Fi

    Ahkami Mar‟ah.

    Sesungguhnya asal hukum dalam masalah berkumpulnya seorang laki-laki

    dan wanita adalah haram. Namun dibolehkan berikhtilat antara laki laki dan

    perempuan jika memang terdapat dhorurah sariyah, hajat sariyah, maslahah

    sariyah atau karena hukum adat dalam beberapa keadaan berikut:

    a. Ikhtilat yang di bolehkan sebab darurat:

    Seorang laki-laki yang menolong seorang wanita padasaat wanita tersebut di kejar oleh seseorang yang akan menganiayanya.

    Seorang laki-laki yang menemukan seorang wanita yang tesesat di jalan kemudian berjalan bersama ketempat yang di tujunya.

    b. Ikhtilat yang di bolehkan sebab hajat sar‟iyah

    Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk bermualah sariyah seperti jual beli, gadai, dan lainnya.

    Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk menghormati tamu.

    Berikhtilatnya laki-laki dan wanita di dalam kendaraan umum untuk memenuhi hajat (kebutuhan hidup sehari-hari seperti berbelanja dan

    sebagainya).

    c. Ikhtilath yang sudah menjadi sebuah hukum adat atau kebiasan masyarakat yangg bersifat positif :

    Berihktilatnya lelaki dengan wanita di salah satu tempat berkumpul seperti lapangan upacara, auditorium atau saat mengunjungi salah

    seorang sahabat dengan catatan pakaian dan adab harus sesuai dengan

    ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat islam dan hukum syari‟at,

  • 42

    pandangan antara para lelaki dan wanita-wanita tersebut tidak terdapat

    syahwat dan tidak ada kholwat antara seorang lelaki dan seorang

    wanita.45

    2. Menurut jumhur ulama dalam kitab Mau‟suah Fiqih Kuwait tentang hukum

    berboncengan:

    Boleh hukumnya berboncengan seorang lelaki dengan seorang istrinya karena

    nabi pernah membonceng istrinya Sofi‟ah r.a.h. Sedangkan hukum seorang

    lelaki yang membonceng seorang wanita “ajnabiy” atau sebaliknya (bukan

    dalam keadaan dhorurat dan ada hajat positif ) itu adalah dilarang berdasarkan

    hukum “saddu dziro‟i” dan untuk menjaga dari syahwat terhadap lawan jenis

    yang bukan muhrim.46

    Dasar hokum pelarangannya berdasarkan hadis

    Rasulullah SAW . Dijelaskan pula dari Amir bin Rabi‟ah,

    Artinya: Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah

    seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak

    halal baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah

    setan.kecuali ditemani mahramnya.”47

    )HR. Ahmad)

    3. Menurut imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimyati ulama

    dari mazhab Syafi‟i dalam karyanya “Hasyiah I‟anah Tholibhin” beliau

    mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut :

    45

    Dr.Abdul Karim Zaidan, Mufashol Fi Ahkamil Mar‟ah, (t.t, Mu‟assasah Arrisalah,

    1993) cet.1, juz 3, h. 328-330 46

    Kementrian dan Urusan Agama Kuwait, Mausu‟ah Fiqh Kuwair, (t.t., dzatu tsalazil,

    1983) cet.2, juz 3, h. 91 47

    Al Imam Asy- Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah (Riad: Darul Ibni Afan,2005),

    Juz7, hlm 543

  • 43

    Adapun hukum berkumpulnya seorang wanita dan seorang lelaki pada

    perayaan yang tidak melanggar hukum syar‟iyah diakhir romadhon (perayaan

    malam takbiran) adalah makruh Selama tidak terdapat persentuhan badan

    antara lawan jenis yang ajnaby secara sengaja dan tanpa kebutuhan dhorurot.

    maka jika terjadi persentuhan yang disengaja dan tidak dalam kebutuhan

    dhorurat adalah haram hukumnya.48

    4. Menurut imam Nawawy dalam karyanya Majmu Syarah Muhadzab

    berpendapat sebagai berikut :

    Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita berjalan sendirian untuk

    melaksanakan ibadah sunnah, berdagang dan selainya kecuali bersama

    mahromnya. Namun sebagian dari sahabat kami (ashabul wujuh dalam

    mazhab Syafi‟i) berpendapat bahwa: boleh hukumnya seorang wanita

    berpergian tanpa di temani wanita-wanita lain jika perjalan nya di anggap

    aman.49

    5. Menurut Syaikh Ibnu Ibrahim

    Menaiki kendaraan berupa mobil atau motor bersama sopir lebih dari sekedar

    berduaan di rumah, karena bisa berpergian kemana saja baik karena sama-

    sama senag atau karena dipaksa. Kerusakan yang mungkin timbul bisa lebih

    besar dari pada hanya berduan saja. Fitnah yang ditimbulkan wanita karna

    berduaan tidak di sangsikan lagi. Dalam hadits disebutkan.

    Artinya : Dari Usamah bin Zaid r.a,Nabi SAW, beliau bersabda. “Aku tidak

    meninggalkan fitnah sesudahku yang lebih berbahaya atas laki-laki

    dari pada fitnah perempuan.50

    ”(H.R. Muslim)

    48

    Abi Bakar Usman Adhimyathi, I‟anah Tholibhin, (Beirut-Libanon:Darrul Khutub

    Ilmiyah, 1995) cet.1, juz 1 h. 272 49

    Al Imam Nawawi, Majmu Syarah Muhadzab, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub

    Ilmiyah, 2001) cet.2, Juz.8, h.421 50

    HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Riqaq, (Bandung: Sirkah

    Ma‟arif, 1978), Juz.2, h.487-488 .

  • 44

    Yang menjadi kewajiban bagi kita semua, adalah melarang setiap wanita naik

    taksi hanya bersama sopir taksi saja, tanpa ditemani mahramnya atau teman-

    teman yang di percaya dan sudah dikenal. Wajib pula menasehati para wanita

    dan wali-wali mereka dan mengingatkan dengan ancaman-ancaman.51

    6. Menurut Syaikh Aziz bin Baz

    Tidak di perbolehkan bagi wanita untuk pergi bersama orang asing meski

    hanya sebagai sopir tanpa ditemani orang lain, karena ini merupakan khalwat

    (berduaan). Telah diriwayatkan dalam hadis nabi SAW beliau bersabda

    Artinya: Dari Jabir: Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda:”Barang siapa yang

    beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak

    berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan

    mahramnya. Karna sesungguhnya yang ketiga adalah

    setan.”52

    (H.R. Ahmad)

    Namun jika ia bersama laki-laki lain atau lebih, atau dengan satu wanita lain

    atau lebih, maka tidak apa-apa, jika tidak ada keraguan yang timbul, karena

    hukum khalwat hilang dengan adanya orang ketiga atau lebih. Ini apabila

    bukan dalam kondisi berpergian, maka tidak dibolehkan bagi wanita untuk

    berpergian tanpa di temani mahromnya berdasarkan hadits nabi :

    51

    Syaikh Muhammad bin Yahya Al-Wazan.. [et al.],Fatwa-fatwa Tentang Wanita,

    Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab, (Jakarta: Darul haq, 2001),jil.3, h.129 52

    Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad:Darul Ibni Afan,2005),

    cet.1, Juz.7, Hlm.542.

  • 45

    Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW.

    Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di

    tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus

    diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh

    berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram.53

    ”(H.R.

    Muslim)

    Tidak ada perbedaan, apakah berpergian dengan mengunakan kendaraan

    darat, laut, dan udara.54

    B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) terhadap

    Larangan Boncengan yang Bukan Mahram

    Setelah kita mengetahui pendapat-pendapat para ulama berikut adalah

    ketetapan forum musyawaroh pondok pesantren putri se-Jawa Timur terhadap

    larangan boncengan antara pria dan wanita yang bukan mahrom. Dalam ketetapan

    tersebut FMP3 menetapkan Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak

    diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti:

    1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

    2. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang

    menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)

    53

    HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji ,(Bandung: Sirkah

    Ma‟Arif,1978) ,Juz.1, Hal. 563. 54

    Syaikh Muhammad bin Yahya Al-Wazan.. [et al.],Fatwa-fatwa Tentang

    Wanita,Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab,(Jakarta: Darul haq,2001),jil.3, h.131

  • 46

    3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan

    syara

    4. Tidak terjadi persentuhan kulit

    Forum musyawarah ini mengambil rujukan dari beberapa kitab ulama

    klasik dan modern berikut sandaran dalili nash hadisnya. Adapun dalil dari

    refensi yang di kemukakan oleh mereka sebagai berikut:

    1. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:

    …”.

    Artinya: Dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata: Pada suatu hari aku membawa

    buah kurma yang kujunjung dikepalaku. Di tengah jalan aku bertemu

    Rasulullah saw. Beserta beberapa orang dari sahabatnya,

    “Ikh!Ikh!” kata beliau menghentikan dan menyuruh unntanya

    berlutut, untuk memboncengku dibelakangnya.“tetapi aku malu55

    (H.R. Bukhari)

    55

    Al Imam Bukhory, Shahihh Al Bukhari, (Al Azhar Mesir,Maktabah Salafiyah

    Qohiroh,1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224

  • 47

    Artinya: “Di dalam penjelasan hadis ini (hadis asma) terdapat kebolehan

    membonceng seorang wanita yang mana wanita tersebut bukanlah

    muhrimnya, hal tersebut dibolehkan jika wanita tersebut ditemukan

    di jalan dan dalam keadaan kelelahan, terlebih lagi membonceng

    wanita yang bukan mahram bersama kumpulan lelaki sholeh, tidak

    ada keraguan di dalam kebolehan masalah yang seperti ini.”56

    Artinya : “Pengertian irdaf, Irdaf secara bahasa adalah bentuk isim masdar

    dari bentuk fiil madhi lafaz ardafa yang berarti membonceng.Adapun

    hukum ijmali dari berboncengannya seorang laki-laki lain atau

    seorang perempuan dengan perempuan lain selama tidak

    mendatangkan kerusakan atau sahwat maka hukumnya boleh. Begitu

    pula hukum seorang laki-laki yang membonceng isterinya,seorang

    isteri yang membonceng suaminya atau memboncengi wanita yang

    mempunyai ikatan saudara yaitu dibolehkan selama terjaga dari

    syahwatnya.Sedangkan seorang laki yang membonceng wanita

    56

    Al Imam Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shoheh Muslim: Salam. (Riyadh: Baitul afka

    ridauliyah, 2001) Kitab ke-15,h. 1364

  • 48

    ajnabiy begitu pula sebaliknya hukumnya adalah haram berdasarkan

    hukum saddu dziro‟i dan untuk menjaga dari sahwat yang

    diharamkan”.

    Dalam kajian forum bahtsul masail yang dilaksanakan oleh para ulama

    se-Jawa Timur atas adanya jasa angkutan umum berupa motor yaitu ojek yang

    dimana mayoritas pengendaranya adalah laki-laki sedangkan penumpangnya

    adalah seorang wanita karena keterbatasan kemampuan seorang wanita yang

    tidak bisa mengendarai kendaraan pribadi. Hal tersebut juga dijadikan dasar

    kebolehan oleh para ulama se-Jawa Timur dari hasil putusan basul masail.

    C. Analisis Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram.

    Dalam pemasalahan di atas terkait berboncengan selain mahram penulis

    menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum

    Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) dan oleh ulama terdahulu. Atas

    dasar- dasar hukum yang digunakan oleh para ulama di atas terkait masalah

    tersebut penulis mendapatkan ada dua hukum, ada yang membolehkan dan ada

    juga yang melarang secara terang-terangan.

    Menurut pandangan Dr. Abdul Karim Zaidan, jumhur ulama, Menurut

    imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimyati (ulama dari mazhab

    Syafi‟i) memperbolehkan apabila hal tersebut tidak menimbulkan:

    1. Tidak terjadi ikhtilath yang dilarang,

    2. Tidak terjadi kholwat yang dilarang,

  • 49

    3. Tidak terlihat aurot antara lelaki dan wanita,

    4. Tidak terjadi persentuhan kulit yang bukan karena dhorurot.

    Sedangkan Imam Nawawy, Syaikh Ibnu Ibrahim dan Syaikh Aziz bin Baz

    melarang secara jelas jika wanita berpergian sendirian tanpa ditemani oleh

    mahromnya.

    Adapun hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh FMP3 pada

    tanggal 27–28 Muharram 1431/13–14 Januari 2010, di Pondok Pesantren Putri

    Tahfizhil Qur‟an, Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, memutuskan Hukum naik

    ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-

    hal yang diharamkan) seperti :

    a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

    b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang

    menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)

    c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan

    syara

    d. Tidak terjadi persentuhan kulit

    Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari hasil bahtsul

    masa‟il di atas bukanlah bagaimana Islam memandang suatu permasalahan dari

    satu sisi saja. Seperti kasus di atas, hasil bahtsul masail tersebut tidak benar-benar

    melarang atau mengharamkan berboncengan dengan bukan mahramnya,

    akantetapi tujuannya yaitu mencegah terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan

    yang ada di masyarakat. Sedangkanyang diberitakan oleh media baik itu media

  • 50

    masa elektronik maupun media social tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil

    putusan bahtsul masail. Media social dalam pemberitaannya dapat membuat

    perpecahan antar umat Islam, karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja

    yaitu pengharaman tanpa melihat sebab dan akibatnya berboncengan dengan

    lawan jenis yang bukan mahromnya.

  • 51

    BAB V

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan dari skripsi diatas, maka penulis dapat mengambil

    kesimpulan. Bahwa hukum berboncengan yang bukan mahram serta metode

    istibat bahtsul masa‟il ialah,

    1. Hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh FMP3 (Forum Musyawarah

    Pondok Pesantren putri) se-Jawa Timur, pada tanggal 27–28 Muharram

    1431/13–14 Januari 2010 di Pondok Pesantren Putri Tahfizhil Qur‟an,

    Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, memutuskan Hukum naik ojek bagi kaum

    wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang

    diharamkan) seperti :

    a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan).

    b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi

    yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang

    diharamkan).

    c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang

    diperbolehkan syara.

    d. Tidak terjadi persentuhan kulit.

  • 52

    2. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail,

    d. Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an

    dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab -

    mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam

    konteks permasalahan yang dicari hukumnya.

    e. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah

    bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada

    qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas

    dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal

    ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.

    f. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil

    sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti

    dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (Maraji') berupa kitab-

    kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam

    beberapa komponen: Ibadah, Mua'amalah, Munakahah (hukum keluarga)

    dan Jinayah atau Qadla (pidana atau peradilan). Dalam hal ini para ulama

    NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam

    pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin (pendapat para

    mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan

    Qaul Manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang

    dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj

    (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka

  • 53

    diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih.

    Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi

    juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi

    kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah

    (kebutuhan primer).

    3. Yang harus diketahui bahwa tujuan dari hasil bahtsul masa‟il bukanlah

    bagaimana Islam memandang suatu permasalahan dari satu sisi saja. Seperti

    kasus di atas, hasil bahtsul masail tersebut tidak benar-benar melarang atau

    mengharamkan berboncengan dengan bukan mahromnya, akan tetapi

    tujuannya yaitu mencegah terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan yang ada

    di masyarakat.

    B. Saran-saran

    1. Mengingat bahwa berboncengan selain mahrom itu tidak di perbolehkan maka

    dalam hal berboncengan, yang paling jelas adajika kendaraan tersebut (ojek)

    di atasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri,

    dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik di

    belakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute

    perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan

    terpencil, seperti:

    a. wanita tersebut naik di belakangnya, sementara dia tidak menyentuh

    pemboncengnya.

  • 54

    b. tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa

    melihatnya.

    2. Mengingat hukum berboncengan selain mahram tidak diperbolehkan kecuali

    bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti :

    a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

    b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi

    yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang

    diharamkan)

    c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang

    diperbolehkan syara

    d. Tidak terjadi persentuhan kulit.

    Penulis menghimbau kepada masyarakat khususnya perempuan untuk lebih

    memperhatikan hal-hal yang telah penulis sampaikan di atas dan untuk lebih

    berhati-hati lagi agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.

  • 55

    DAFTAR PUSTAKA

    S, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003).

    Moleong, Lexy.J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).

    Ahmadi, Fahmi Muhammad. Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, ( Lembaga

    Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).

    Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.

    Rineka Cipta, 1998).

    Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005).

    Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

    Persada, 2005).

    LKP2M. Research Book for LKP2M (Malang: UIN-Malang, 2005).

    Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta

    Pres, 2007).

    Rozi‟, Imam. Mukhtar as-Shihah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994).

    Al Asqolani, IbnuHajar.Fathulbari, ( t.t., :Al MakhtabahSalafiyah, t.th.).

    Ibnu Qudamah, Imam. Al Mughni, (Riyadh :DarulAlamulKhutub, t.th.).

    Bukhari, Imam. Shahih Bukhari, (Al Azhar Mesir: Maktabah Salafiyah Qohiroh,

    1400 H).

    Ismail, Abi Fida‟I bin Katsir. Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim, (Beirut: Al Makhtabah Al

    Asriyah. 2000).

    Athabrany, Ahmad. Mu‟jam Alkabir, (t.t., Maktabah Ibnitaimiyah, 1991).

    Ismail, AbiFida‟I bin Katsir. Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,(Zedah: Al Haramain, TT).

    Muslim, Imam.Shahih Muslim, (Bandung: SirkahMa‟arif,1978).

    Asy-Syaukani, Imam. Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad:DarulIbniAfan,2005).

  • 56

    Fedeli, Soeleiman dan Moh.Subhan. Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008).

    Harits, Busyairi. Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya,

    2010).

    Zaidan, Abdul Karim. Mufashol Fi Ahkamil Mar‟ah, (t.t, Mu‟assasah Arrisalah,

    1993).

    Kementrian dan Urusan Agama Kuwait. Mausu‟ah Fiqh Kuwair, (t.t., dzatutsalazil,

    1983).

    Adhimyathi, Abi Bakar Usman. I‟anah Tholibhin, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub

    Ilmiyah, 1995) .

    Nawawi Imam. Majmu Syarah Muhadzab, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub Ilmiyah,

    2001).

    Muhammad, Syaikh bin Yahya Al-Wazan. [et al.], Fatwa-fatwa TentangWanita,

    Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab, (Jakarta: Darul haq, 2001).

    Nawawi, Imam. Al-Minhaj Syarah Shoheh Muslim