PRESTâSI Edisi 106

download PRESTâSI Edisi 106

of 28

Transcript of PRESTâSI Edisi 106

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    1/28

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    2/28

     

    2

    Salam sejahtera. Puji syukur ke hadirat Allah swt, shalawat

    salam teruntuk Nabi-Nya, Muhammad saw. Siapa bilang

    Masisir adem-adem ayem (baik-baik saja tanpa masalah)?

    Banyak problem yang membikin kita sekejap menarik

    nafas, duduk bersandar, dan ba-ba tersadar diri. Krea-

    vitas dan kekuasaan, adalah tonggak dari masalah yang

    diangkat oleh kami kali ini. Apa maksud dari berdirinya

    kreavitas di sisi kekuasaan? Kreavitas Masisir begitu

    banyak dan beragam; mulai dari bidang pendidikan, ke-

    budayaan, sampai kesenian. Di ap bidang itu, kenyataan

    yang dak banyak kita ketahui adalah adanya kekuasaan

    yang di satu waktu dipandang menghambat, dan di waktu

    lain malah dipandang progres. Contoh yang nyata di

    hadapan kita, di bidang kesenian musik, adalah

    Khatuliswa. Bidang kesenian yang satu ini, dalam

    sejarahnya, adalah milik Masisir; ia berdiri di kaki sendiri

    dan menjadi ajang untuk menumpahkan kreavitas

    Masisir tanpa ada batasan ataupun intervensi. 

    Kita menghadapi satu dilema besar keka Khatuliswa

    mulai disusupi pihak sponsor yang ternyata, lambat laun

    tampak semakin menguasai. Kami sering mendengar

    desas-desus yang sembunyi-sembunyi dari pihak yang

    dak puas dengan konsep Khatuliswa kemaren. Dari

    adanya desas-desus itulah, kami berinisiaf untuk

    membedah dan menghadirkan masalah ini ke permukaan.

    Selain itu, menyeluruhnya tema “Kreavitas danKekuasaan”  juga menuntut kami untuk mengeksplor

    bidang lain selain kesenian, yaitu kebudayaaan dan

    pendidikan; baik di wilayah Masisir, Timur Tengah,

    maupun Nusantara. 

    Akhirnya, judul yang menurut kami humorik dan

    menyenl tapi mengena adalah: “Republik Rakyat

    Tawakal”, dengan asumsi bahwa: keka kreavitas kita

    dijajah oleh pihak penguasa tetapi kita diam saja, berar,

    kita termasuk dalam gugusan “Rakyat Tawakal”: marah

    tanpa protes, mengangguk tanpa mendongak, mengepal

    tanpa melawan. Maukah kita berada di gugusan sana?

    Selamat membaca! 

    Pelindung: Ketua KSW│Dewan Redaksi: Nashifudin Luthfi, Muhammad Fardan SatriaWibowo, Lc., Nanang Fahlevi, Fadhilah Rizqi, Iis Isti ’anah, Wais Al-Qorny │Pimpinan Umum: Laila Nur Hi-dayati │Pimpinan Redaksi: Muhammad Samsul Arifin │Pimpinan Usaha: Muhammad Furqon Khoirudin│Sekretaris Redaksi: Izzatun Nafisyah │Redaktur Pelaksana:  Aminatuz Zuhriyah, Ni ’matul Majmu’ah,

     Ayatullah El-Haqqi │Reporter: Muna Ni ’amy Dzurrohmah, Itta Raisah Fitriyani, Yusuf Fajri │Distributor: Ahmad Zuhdan Maimun, Muhammad Rifqi Syarifuddin │Layouter:  Ahmad Rikza Aufaru l Umam│Karikaturis: Darmono │Editor: Choiri ya Safina, Zulfah Nur Alimah, Muhammad Faqih Dlofir  

    Redaksi menerima tulisan dan arkel yang

    sesuai dengan visi misi Bulen.

    Krik dan saran, kirim ke FB: Prestasi Ksw 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    3/28

     

    Budaya menjadi buk eksistensi manusia. Se-

    ap manusia hidup pas berbudaya, sebagai

    manifestasi interaksi manusia dengan sesama

    dan dengan lingkungannya. Kebudayaan yanglahir dan berkembang di suatu masyarakat ter-

    tentu tentu berbeda dengan kelompok

    masyarakat yang lain, disebabkan perbedaan

    pengalaman hidup dan perbedaan lingkungan

    hidup. Yang menjadi poros utama penggerak

    terciptanya kebudayaan adalah proses kreavi-

    tas. 

    Manusia seiring berjalannya waktu membentuk

    peradaban. Dalam proses tersebut banyak pola

    -pola baru yang terbentuk, seper kontrol atas

    seap apa yang dihasilkan dari pemikiran

    manusia. Kejahatan semacam itu semakin

    terorganisir semakin ke sininya. Apa yang kami

    temukan saat ini adalah kemungkinan-

    kemungkinan tersebut semakin banyak terjadi,

    fakta bawa pendidikan yang baik bukan untuk

    orang miskin saja sudah merupakan contoh

    yang sangat mewakili. Bahkan kita belum sam-

    pai pada contoh-

    contoh dak mudahnyaberkreasi tanpa ada koneksi ke birokrasi. 

    Maka dewasa ini, sungguh miris dirasakan bah-

    wa proses kreavitas manusia dak diperankan

    seutuhnya dalam membentuk kebudayaan. Jika

    kita mau sejenak merenungkan apa yang men-

    impa budaya di lingkungan kita, akan kita

    dapatkan bentuk kemuskilan dalam menya-

    lurkan kreavitas. Katakanlah sang seniman

    yang memiliki segudang ide kreaf ingin mem-

    buat suatu karya tertentu, namun tak dapatmerealisasikannya karena terhalang oleh sebab

    pembiayaan. Sedangkan di sisi lain ada seorang

    penguasa atau dalam hal ini adalah orang yang

    memiliki materi yang dapat membantu sang

    seniman, namun harus tunduk patuh sesuai

    dengan apa yang diinginkannya atau laku dijual

    di pasaran. 

    Segala bentuk kreavitas dalam menyumbang

    perkembangan budaya banyak mendapattekanan dari pihak penguasa, menggiring kita

    terhadap ‘’budaya’’ yang mereka ciptakan,

    tanpa memberikan kebebasan kepada kita un-

    tuk membuat kebudayaan sesuai dengan krea-

    vitas yang kita miliki. Sebagai contohnya da-

    lam dunia perlman, banyak kita jumpai lm

    atau acara televisi yang digarap ala kadarnyatanpa mempermbangkan kualitas yang layak,

    bahkan menyuguhkan tontonan yang–bisa

    dikatakan–adalah tontonan sampah  yang dak

    mempunyai manfaat.

    Kreavitas yang berisi ide atau gagasan

    hakikatnya dapat mendorong perkembangan

    manusia apabila dapat diproses dan diaplikasi-

    kan dalam bentuk yang konkrit. Perkembangan

    manusia akan menjadikan berkembangnya

    tatanan sosial dan lebih jauh akan menjadikan

    berkembangnya bangsa ke arah yang semakin

    baik. Hal ini seharusnya menjadi perhaan bagi

    pemimpin ataupun orang yang berkuasa untuk

    dapat mendorong terealisasinya hal tersebut.

    Tanpanya, perkembangan ini akan sulit ter-

    wujud.

    Namun, apabila pemimpin menyer laju krevi-

    tas individu atau kelompok maka yang terjadi

     justru sebaliknya. Masyarakat hanya akan men- jadi kOrban dari produk kekuasaan. Alih-alih

    mengharapkan berkembangnya budaya, maju

    sejengkal pun dak.

    Bermula dari keresahan yang terjadi di

    masyarakat itulah tulisan-tulisan di bulen ini

    berangkat. Dengan mengangkat tema

    ‘’Republik Rakyat Tawakal’’ mencoba

    menginterpretasikan fenomena sosial yang

    menimpa masyarakat. Republik, sebuah kata

    yang mengisyaratkan kelompok dalam

    kekuasaan tertentu yang kedaulatannya berada

    di tangan rakyat. Sedangkan tawakal berar

    bentuk kepasrahan paska berusaha yang

    nyatanya masih saja dak menuai hasil yang

    memuaskan. Jadi dapat disimpulkan bahwa

    kebebasan dalam berkreasi yang dimiliki oleh

    rakyat dimonopoli oleh orang yang memiliki

    kekuasaan atau materi. Sehingga yang terjadi

    adalah kreavitas hanyalah sebuah barang da-gangan, tanpa memperhakan esteka sebuah

    karya. Begitukah? [] 

    Kreavitas dalam Belenggu Otoritas 

    Oleh M. Rifqy Syarifuddin 

     Edi  t  ori  

    a l

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    4/28

     

    4

    Hingga kini, pamor al-Azhar sebagai universitas

    terkemuka dan dahsyat akan keilmuan serta

    ulamanya masih bersinar. Masisir tentunya jugameyakini, bahwa fasilitas keilmuan yang dita-

    warkan al-Azhar sangatlah melimpah. Dengan

    segala potensi yang menjadi sumber kege-

    milangan mahasiswa, mengapa belum

    terdengar riuh rendah buah kreavitas. Karya

    tulis ilmiah–selayaknya idenk dengan Masisir–

    pun belum ramai terlihat. Padahal sudah ber-

    puluh tahun jejak Masisir menapak. 

    Berbagai faktor bermunculan menanggapi per-

    masalahan di atas. Bisa jadi dimensi internal

    Masisir memang belum memiliki daya kreavi-

    tas unggul, sehingga terkesan mandul karya.

    Kemungkinan lain yaitu, permasalahan terletak

    pada dimensi di luar diri mahasiswa yang berar

    soal akomodasi atas sebuah karya. 

    Menilik program kerja di komunitas tertentu,

    khususnya yang berkaitan dengan literasi, tentu

    memiliki gerakan untuk menciptakan sebuah

    karya. Baik berupa ilmiah maupun sastra.Bahkan, dalam lingkup kepengurusan suatu

    kekeluargaan, beberapa mencantumkan pro-

    gram karya tulis dalam proker. Lain dari pada

    itu, bidang lain seper musik, gras dan

    olahraga juga cukup subur di Masisir. Kira-kira,

    beginilah besarnya kadar gairah berkreasi

    Masisir. 

    Dengan demikian, akan terasa minus jika meni-

    kberatkan sebab musabab kasus ini pada di-

    mensi internal. Terlebih komunitas sekaligusakvitasnya begitu melimpah dan–bisa

    dikatakan–berimbang memenuhi kebutuhan

    bakat minat hampir seluruh Masisir. Berat

    rasanya menyalahkan mahasiswa atas ken-

    yataan ini. Sekarang ada tawaran berpikir,

    bagaimana jika kita hidupkan sense  kris se-

    bagai mahasiswa, dan KBRI adalah objek sasa-

    ran pada kesempatan kasus ini? 

    Penulisan laporan ini bertolak dari asumsi atauanggapan bahwa ada yang salah dengan ken-

    yataan ini. Terdengar untuk menghasilkan se-

    buah karya tulis, kemudian dicetak dalam ben-

    tuk sik, memiliki syarat tertentu: adanya tuli-

    san yang dinisbatkan pada pihak pemegangkuasa jabatan. Sebuah syarat yang akan

    mencederai integritas mahasiswa sebagai kaum

    terpelajar penjunjung moralitas dan idealisme.

    Tahun 2014 kemarin, salah satu komunitas

    kajian di Masisir, Al-Mizan Study Club

    mengajukan sebuah proposal permohonan ban-

    tuan dana untuk mencetak buku mereka.

    Dengan menghadap Atdik–saat itu dijabat oleh

    Bapak Fahmi Lukman–didapatlah sinyal posif

    terkabulnya proposal. Namun suasana berubah

    pasca mendapatkan harapan tersebut. Men-

    gup kesaksian koordinator Mizan, Zulfah Nur

    Alimah, ada syarat yang harus dipenuhi pihak

    pemohon jika ingin bantuan–sejanya milik

    negara, yang kemudian dimonopoli pemilik jab-

    atan–dana dapat dicairkan. 

    Melanjutkan kesaksiannya, Zulfah menuturkan:

    “Bapak Atdik menyaratkan agar tulisannya

    dimuat, dan dijadikan tulisan pertama dalambuku. Padahal bisa jadi beliau dak memahami

    tema yang diangkat: al - Ashâlah wa ad -Dakhîlah

    (27/02).” Sebuah tema yang sebagian besar

    asing bagi penghuni istana KBRI. Lantas, apa

    gerangan yang mendorong seorang–yang

    mengklaim diri–pelayan pendidikan untuk

    menawarkan syarat yang dak memiliki sangkut

    paut dengan karya ini?

    Sejak lama kru PRESTâSI mengendus adanya

    modus mencurigakan di balik kemandulan karyaMasisir. Melalui metode  people trial , sejumlah

    kesaksian dari sumber desas-desus ini dikeruk

    kemudian digali. Beberapa hipotesis menjelas-

    kan, bagaimana dan mengapa hal ini terjadi dan

    baru terungkap lebih jelas bentuknya. Namun

    pengetahuan ini belumlah cukup memuaskan

    hasrat kru PRESTâSI untuk menunaikan hak

    publik mendapatkan informasi yang benar.

    Langkah lebih jauh pun ditempuh. Misinya,

    menemukan petunjuk: sejauh apa kasus dan

    siapa dalangnya. 

    Kebuntuan Kreavitas dan Kesewenangan Kuasa; Kaji Ulang Kasus Masisir vs Atdik 

    Oleh Furqon Khoiruddin 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    5/28

     

    Kasus ini semakin panas keka ada perkem-

    bangan baru mengenai objek sasaran. Kabarn-

    ya, Mizan daklah seorang diri. Ada dua karya

    tulis lain dari dua organisasi yang berbeda be-

    rada dalam posisi yang serupa dialami buku

    karya Mizan. Keduanya adalah majalah Aar

    dan kumpulan cerpen karya salah satu ForumAlmamater Masisir. Jadi, sampai saat ini ada

    ga objek kesaksian pada kasus ini. 

    Jika Mizan memiliki dua pilihan: dana cair

    dengan syarat atau menolak, dak demikian

    untuk Aar. Memang sempat terdengar kalau

    Aar mendapatkan tawaran serupa. Demi me-

    menuhi kelengkapan data sebagai referensi, m

    redaksi mewawancarai senior Aar, saudara

    Muhakam Zain. Beliau mengonrmasi kabar ini

    daklah benar dan masih simpang siur. Bolehdibilang kasus yang dialami Aar malahan lebih

    kejam daripada diberi syarat tertentu: proposal

    ditolak. 

    Barangkali penolakkan ini bisa diterima pihak

    Aar. Akan tetapi alasan penolakan yang

    diberikan sangatlah ganjil, lain daripada yang

    lain: majalah Aar dak memenuhi standar

     jurnalisk. Inilah yang menjadi tanda tanya be-

    sar di pihak Aar. Memangnya standar mana-lagi yang harus diterapkan, atau mungkin Atdik

    memiliki standar tertentu yang sifatnya ra-

    hasia?

    Selama ini proses seleksi tulisan dan seluruh

    konten bisa dibilang sangat ketat. Terlebih

    muatan yang diangkat adalah pemikiran. Tentu

    prosesnya dak dibiarkan berkelakar. Berdasar-

    kan kesaksian sumber, alasan yang disampaikan

    pihak Atdik dinilai daklah profesional; bernu-

    ansa polis. Atau faktor terbesar penolakan inibisa jadi sebab “senmen ideologi”. Namun

    demikian, pihak Aar tetap memposisikan

    penilaiannya pada dugaan, bahkan narasumber

    berharap jika asumsi dan kecurigaannya itu

    keliru. 

    Kemudian yang terakhir, kumpulan cerpen milik

    salah satu Forum Almamater Masisir, berbeda

    dengan dua narasumber lainnya mereka

    menerima tawaran dari Atdik. Berdasarkan infoyang didapat dari salah satu senior Forum Al-

    mamater tersebut, syarat agar dana bantuan

    dicairkan yaitu menyertakan sambutan dan

    logo dari pihak Atdik di dalam buku. Suatu hal

    yang wajar apabila Atdik menghendaki adanya

    logo. Namun, apa urgensi dari sebuah sambu-

    tan pan? Apalagi sambutan ini ternyata di-

    tulis oleh pihak pemohon akan tetapi atas nama

    Atdik. Jangan- jangan alasan mengapa pihak

    pemohon diminta menulis sambutan tersebut

    lantaran Bapak Atdik dak terlalu mendalami

    dunia tulis menulis ksi. 

    Walaupun terjebak dalam tawaran Atdik di-

    mana dana yang disepaka dak turun se-

    luruhnya, Forum Almamater  tersebut ternyata

    cukup cerdik untuk membalas permainan polis

    ini. Dari 1000 LE yang cair, hanya dua buku yang

    tercantum logo dan sambutan. Sisanya dicetak

    sebagaimana rencana semula sebelummengajukan proposal.

    Periswa di atas tentu bukan hal baru di jagad

    bumi manusia. Mengadopsi teori geopolik

    milik Federich Ratzel, apabila seorang pejabat

    dak terpenuhi kepenngannya, maka ia akan

    melakukan ekspansi di luar dimensi yang sudah

    dimiliki. Sejalan dengan kasus ini, keka Pak

    Atdik dak mampu mencapai misi pribadinya, ia

    akan mencari peluang dari potensi ruang yangtersedia; elemen Masisir. 

    Teori ruang mengatakan: semakin luas potensi

    ruang, makin memungkinkan kelompok

    berkepenngan bergerak lebih jauh. Masisir,

    dengan ragam tradisi, budaya dan ideologi, ke-

    ganya adalah potensi ruang yang memiliki

    kemungkinan untuk dimanfaatkan. Baik oleh

    pribadi Masisir ataupun pihak luar. Dengan

    demikian, siapa pun penghuni KBRI yang berke-

    hendak memenuhi kepenngan pribadi ataugolongannya, dan ia dak mampu mendapat-

    kannya melalui istana KBRI, maka kega potensi

    ruang tadi akan menjadi sasaran. Hal-hal seper

    ini kerap kali nampak lebih jelas menjelang

    pemilu.

    Kasus-kasus “papa p tulisan” mesnya men-

     jadi penng bagi seluruh elemen Masisir karena

    dengan adanya upaya menipkan kepenngan

    pribadi oleh pejabat itu akan melukai harga diridan idealisme–yang seharusnya dimiliki oleh–

    mahasiswa. Selengkapnya, hal. 26 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    6/28

     

    6

    Banyak cerita yang ironis dari kengerian Orde

    Baru (Orba), selalu, dari pembunuhan sampai

    pembunuhan. Tapi kita seringkali lupa,pembunuhan di sini nyaris tanpa objek.

    Arnya, ia hampir menyeluruh di segala hal

    dan bidang. KOrban jiwa mungkin bisa dicatat

    oleh pihak invesgator, tapi pembunuhan

    karakter, selera, mental, dan seabrek benda

    abstrak rakyat Indonesia tak mampu tercatat

    oleh skema dan kalkulus. Jika pembunuhan

     jiwa hanya menghilangkan nyawa kOrban,

    dak dengan pembunuhan karakter, selera,

    dan mental. Masyarakat Indonesia hampir bisadikatakan berbudaya tawakal, budaya yang

    dalam bahasa Jawa diucapkan dengan ketukan

    khas (entah khas orang sabar atau jangan-

     jangan khas orang pesimis dan putus asa):

    “Nerima Ing Pandum.” 

    Reformasi 98 dak serta merta

    mengembalikan karakter individu rakyat

    Indonesia. Kita menghargai kegigihan para

    pejuang reformasi itu, para mahasiswa

    pemberani itu, tapi perjuangan daklah tuntas

    di sana: hanya keka kita usai menyaksikan

    Soeharto lengser dari kepemimpinan

    kemudian para mahasiswa dengan sorak dan

    yel-yel menduduki gedung DPR. Sorak sorai

    masihlah jauh dari target. Reformasi masih

    bertahan pada pembenahan sik. Fisik? Ya,

    sik. Sistem demokrasi diterapkan, hukum

    ditegakkan—meskipun masih setengah-

    setengah, penyiaran dan penerbitan karya

    dak diser lagi. Semua ini masih pada tataran

    sik, masih pada kulit. Saat ini, kita masih

    belajar menata mental dan karakter, serta

    masih mencari identas kebangsaan kita. 

    Orde Baru memang menyisakan trauma, tapi

    lebih sering menciptakan dilema. Tiga puluh

    dua tahun bukan waktu yang singkat untuk

    membentuk selera sebuah bangsa. Tahun-

    tahun yang telah terlewa itu, diam-diam,

    telah menciptakan sebentuk nalar, tsaqâfah.Abed Jabiri membedakan dua nalar. Pertama, 

    akal yang membentuk (al -‘  aql al -mukawwin).

    Kedua,  akal yang dibentuk (al -‘  aql al -

    mukawwan). Akal yang pertama ada lainadalah akal manusia yang membedakannya

    dari hewan. Sedangkan akal yang kedua

    berar hasil dari aktas berpikir. Hasil dari

    aktas berpikir adalah paradigma. Jika

    paradigma dipeluk banyak orang untuk jangka

    waktu yang relaf lama, itu dinamakan

    budaya. Budaya bisa berupa apa saja,

    termasuk budaya tawakal dan “nerima ing

    pandum” tadi. 

    Pada ranah layar kaca, kita masih melihat

    dampak dari budaya itu. Dulu, Orba menyer

    tayangan-tayangan yang ada di televisi.

    Konsumsi publik disorr sedemikian rupa.

    Sehingga tayangan-tayangan berkualitas yang

    seharusnya sampai kepada khalayak, bertahan

    di lembaga sensor milik pemerintah. Dalam

     jangka waktu yang lama, tayangan televisi ini

    menciptakan semacam “budaya selera”.

    Alhasil, sampai sekarang (di mana sebenarnya

    di internet kita bisa mengakses segala macam

    tayangan), tayangan televisi kita didominasi

    oleh sinetron-sinetron murahan. Anehnya,

    sinetron inilah yang laris di pasaran dan

    banyak ditonton oleh masyarakat. Hal ini

    memunculkan praduga, bahwa selera Orba

    masihlah membudaya sampai saat ini. Kiranya

    itu yang dinamakan akal (atau budaya) yang

    dibentuk (al -‘  aql al -mukawwan). 

    Polemik kekuasaan dan kreavitas barangkalisudah dibahas bahkan sejak Orba masih

    berdiri. Lumrah kita dengar, sebagai generasi

    milenium, cerita tentang penghilangan orang

    dan pemenjaraan bukan segelinr akvis

    polik maupun budaya. Sebut saja dua

    sastrawan besar kita Pramoedya dan Wiji

    Thukul. Apa yang terjadi di masa lampau itu

    merupakan sebentuk demonstrasi kekerasan

    sik. Banyak dari peneli yang sudah

    menghitung seberapa banyak kOrban sikyang berjatuhan di rezim Soeharto itu.

    Tergilas Roda Orba: Budaya Tawakal Rakyat Indonesia  

    Oleh M. S. Arin 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    7/28

     

    Kebanyakan mereka (peneli), melihat

    kekerasan hanya sebatas sik. Tapi abai bahwa

    kekerasan yang masih bertahan sampai saat

    ini, adalah kekerasan budaya; elan kekerasan

    yang mengakar dan turun-temurun sampai

    beberapa generasi. Keadaan ini tentu sangat

    ironis. 

    Dari sini kita perlu melihat kekerasan yang

    dilakukan oleh Orba dalam dua sisi. Pertama,

    dari sisi kekerasan sik. Kedua, dari sisi

    kekerasan budaya. Analis mengenai kekerasan

    budaya bisa kita temui dari Johan Galtung,

    seper yang dikup oleh Wijaya Herlambang

    dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965.

    Galtung berkata: 

    “Dengan kekerasan budaya,maksud kami adalah aspek-

    aspek kebudayaan, bidang-

    bidang simbolis dari

    keberadaan kita —seper

    agama dan ideologi, bahasa

    dan seni, pengetahuan

    empiris dan pengetahuan

    formal (logika, matemaka)

    —  yang dapat digunakan

    untuk membenarkan ataumelegimasi kekerasan

    langsung dan struktural.” 

    Analisa Galtung ini sangat mendukung untuk

    keperluan tulisan ini. Bahwa kita bisa menarik

    satu hipotesa: kekerasan sik hanya bertahan

    sampai kekerasan itu berakhir, sementara

    kekerasan budaya sifatnya lebih tahan lama

    dan awet. Tulisan ini bertolak dari hal yang

    sedikit berbeda dari Wijaya, tapi ia memiliki

    satu k temu: kekerasan budaya. Wijaya

    membidik kekerasan itu dari periswa

    berdarah G30S PKI 1965, sedangkan tulisan ini,

    mengacu pada selera rakyat Indonesia yang

    mengalami ndak “kekerasan” pada masa

    Orba. 

    Meskipun berbeda fokus, analisa Wijaya bisa

    saya jadikan pijakan. Kekerasan sik yang

    dialami oleh PKI saya rasa kengeriannya sudahcukup membuat kita empa. Tapi sekali lagi,

    menurut Wijaya, kekerasan sik itu berakhir

    tepat dan persis keka kekerasan itu berhen.

    Pasalnya, kita tahu dak hanya kekerasan sik

    yang dialami oleh kOrban 65, tapi juga

    kekerasan mental, budaya, harga diri, dan lain

    sebagainya. Kekerasan budaya yang

    dilancarkan Orba kepada anak –cucu PKI masihbertahan meskipun secara sik sudah

    berakhir. Hal paling ironis dari semua itu

    adalah anak cucu PKI menghadapi sgma

    negaf; seolah semua mata mengobjek

    mereka dengan pandangan sinis sebagai

    pemberontak. Sesungguhnya inilah kekerasan

    yang paling mengerikan. 

    Berkaitan dengan tema kita, sampel di atas

    melegimasi sekaligus mengukuhkan analisa

    saya. Mof pembatasan tayangan dan

    kesenian yang layak yang dilakukan oleh Orba

    adalah sebentuk kekerasan budaya (lihat lagi

    pengeran kekerasan budaya menurut

    Galtung di atas). Di sini, analisa psikologi juga

    mendukung. Taruhlah kita ambil contoh

    seorang anak kecil yang mulai beranjak

    dewasa, oleh orang tuanya ia dibatasi dalam

    ndakan kreavitas. Ia tak mengenal banyak

    bentuk kreavitas dan ia tak pernah melihat

    apalagi merasakan kreavitas yang beragam.

    Setelah ia dewasa, didikan ini ternyata

    membentuk selera. Ibaratnya, orang yang

    hanya menger satu kebenaran, sangatlah

    sulit mengakui kebenaran yang lain. Orang

    yang akrab dengan satu selera, sangat sulit

    mengakui selera lain, meskipun selera lain itu

    lebih layak. 

    Alhasil, kekerasan budaya yang dilakukan oleh

    Orba membentuk satu pola—yang dalamislah saya: budaya tawakal. Ar singkatnya

    adalah sebuah budaya yang mengakui satu

    bentuk dan memeluknya secara/dengan puas

    tanpa mengakui bentuk lain yang lebih baik

    dan layak. Budaya tawakal adalah budaya

    “nerima ing pandum”—entah dalam konteks

    kepasrahan absolut manusia kepada Tuhan,

    atau jangan- jangan kepasrahan total manusia

    terhadap penguasanya (yang juga manusia).

    Rakyat Indonesia mus lebih banyak mengenaldirinya sendiri. [*] 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    8/28

     

    8

    Aksi besar yang dilakukan sebagian besar

    rakyat Mesir beberapa tahun silam,mengakibatkan Mesir harus kembali menata

    ulang kepemerintahannya. Beberapa pihak

    yang berada di pihak Presiden kudeta pun ikut

    disingkirkan, walaupun sebenarnya masih ada

    beberapa pengikutnya yang menduduki

    beberapa elemen pemerintah. Ibarat bagunan

    kokoh, dirobohkan, kemudian ingin

    mengembalikan bangunan itu seper semula,

    dak serta merta langsung kokoh. Ada proses

    dan waktu yang dibutuhkan. Begitu puladengan Mesir yang harus menata ulang

    kepemerintahannya sejak terjadinya revolusi.

    Penataan di sini, bukan dimaksudkan penataan

    dalam aran struktur eksekuf ataupun

    legislaf, tapi sebuah tatanan kestabilan.

    Dalam proses menuju kestabilan sekaligus

    kemajuan inilah, suatu negara disebut negara

    berkembang. Atau bisa dikatakan Mesir sedang

    dalam masa pemulihan.

    Mesir telah mendaku dirinya sebagai negara

    demokrasi yang berdaulat kepada rakyat.

    Bukan lagi menjalani kepemerintahan otoriter

    seper yang telah dipimpin Hosni Mubarak

    selama 32 tahun lamanya. Kala itu semua

    elemen yang berhubungan dengan negara dan

    rakyat diser oleh satu kepala. Mulai dari segi

    polik, pendidikan, ekonomi, sosial sampai

    pers atau sekarang lebih akrab disebut dengan

    media. Secara langsung ataupun dak

    langsung, kekuasaan represif yang seper ini

    membatasi kreavitas masyarakatnya. 

    *** 

    Kreavitas dalam diri seap insan bagaikan ruh

    penggerak akal dan jiwa. Jika perkataan “ jika

    saya berpikir maka saya ada”, maka jika saya

    berkreavitas maka saya hidup. Terlalu

    berlebihan mungkin, tapi jika kekangan dan

    perasaan takut kepada penguasa sampai

    merenggut daya kreavitas bahkan gerak dan

    langkah menjadi terbatas, maka di saat itulah

    seseorang harus bangkit secara nyata.

    Menyoal tentang kreavitas dan kekuasaan diMesir, berar menyoal tentang penguasa dan

    rakyatnya. Walaupun pemegang pemerintah

    telah bergan tangan, masih ditemukan laku

    kekuasaan represif oleh penguasa. Salah satu

    contohnya dalam dunia media. Ada beberapa

    media besar di Mesir yang pro pemerintah.

    Sehingga dalam pemberitaannya, terbatas

    pada hal-hal normaf. Pun berita tentang

    kepemerintahan dan kenegaraan yang

    disampaikan dak mencengangkanpembacanya. Sebut saja Al Youm As Sabi’, Al

    Ahram dan Shorouk.

    Periswa bom yang terjadi pada 21 Januari

    2016 di dekat kawasan wisata, Pyramid, dak

    ada satu pun dari media-media tersebut

    memberitakan hal ini. Padahal periswa bom

    di Mesir akan cukup mencuri perhaan publik

    baik dari kalangan dalam maupun

    mancanegara. Perhaan akan memusat padaperiswa itu dan kewaspadaan secara langsung

    akan ditanamkan dalam diri. 

    Jika kita cerma dari pembenaran laku ini,

    barangkali alasannya ada pada segi menjaga

    citra negara di hadapan publik. Terlebih, Mesir

    merupakan salah satu negara yang banyak

    dikunjungi pelajar dan wisatawan dari berbagai

    belahan dunia. Pun bahwa negara ini sedang

    menjalani masa pemulihan dan

    perkembangan, menjadi salah satu faktorutama. Sehingga menjadi penng untuk tetap

    ‘terlihat’ stabil dalam hal keamanan negara

    agar birokrasi tetap berjalan sebagaimana

    mesnya. Karena ancaman keamanan akan

    banyak merampas minat wisatawan. Dan jika

    hal ini terjadi, tentu berdampak pada aspek

    ekonomi Mesir yang sebenarnya dak kunjung

    stabil.

    Selain itu dari sisi media pro pemerintah, sebutsaja Al Ahram yang menerbitkan surat kabar

    dalam ga bahasa. Diantaranya Al Ahram

    Cedera Pers di Mesir 

    Oleh Choiriya Sana 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    9/28

     

    1hps://www.sadda.co/Egypt/566289.html 

    2hp://www.aljazeera.net/news/cultureandart/2012/3/2 

    3hps://id.wikipedia.org/wiki/Pers_Indonesia 

    berbahasa Arab, Al Ahram weekly berbahasa

    Inggris dan Al Ahram Ebdo berbahasa perancis.

    Distribusinya meluas hingga Amerika dan

    Eropa. Mengingat dari segi pembaca yang luas

    maka tak heran jika citra negara pun kembali

    menjadi faktor permbangan. 

    Namun jika kita cerma dari sisi lain, persoalanpembatasan ruang gerak pers lah yang kita

    temukan. Kreavitas berpikir dan gerak

    akvitas insan pers berada dalam ambang.

    Insan pers merasa dilema loyalitas dari dua

    arah sekaligus. Jelas, dalam persoalan inilah

    pers dan fungsinya tercederai oleh hegemoni.

    Dalam UU pers no 40 tahun 1999, pers adalah

    lembaga sosial dan wahana komunikasi massa

    yang melaksanakan kegiatan jurnalisk

    melipu mencari, memperoleh, memiliki,

    menyimpan,

    mengolah dan

    menyampaikan

    informasi baik

    dalam bentuk

    tulisan, suara,

    gambar, suara

    dan gambar,

    serta data dan

    grak maupun

    dalam bentuk

    lainnya dengan

    menggunakan media cetak, media elektronik

    dan segala jenis saluran yang tersedia. 

    Selain itu pers dalam negara demokrasi hadir

    sesuai wataknya, seharusnya. Demokrasi

    dengan konsep kedaulatan rakyat dan watak

    kebebasan seharusnya sudah diterapkan Mesir

    sejak pernyataannya sebagai negarademokrasi. Selain perkara pemberitaan,

    beberapa waktu lalu dalam seminarnya di

    Cairo Internaonal Book fair, Sayid Wakil,

    novelis sekaligus krikus mengatakan bahwa

    “Mesir tengah mengalami krisis kris dan

    kreavitas dan otoritas kekuasaan dak

    sejalan.”1  Beliau mengkaitkan kris dengan

    wujud kreavitas. Baginya, wujud kreavitas

    seorang penulis atau lebih spesiknya novelis

    adalah segi krik mereka. Baginya banyaknovel-novel yang terbit tanpa kreavitas baru

    yang berbeda. Metode yang digunakan masih

    dalam taraf normaf dan cerita imajinasi pada

    umumnya. Hal ini ia indikasikan sebab adanya

    otoritas kekuasaan, pun secara tersirat masih

    ada bias katakutan hegemoni diktator yang

    mengakar dalam diri mereka. Padahal Sayid

    Wakil menjelaskan bahwa kreavitas dan

    kekuasaan dak sejalan. Seharusnya kedua inimenduduki ruangnya masing-masing tanpa

    saling bertemu. 

    *** 

    Kebebasan pers erat kaitannya dengan

    demokrasi. Dampak dari hegemoni penguasa

    dalam beberapa segi kehidupan yang jarang

    memberikan legimasi kepada masyarakatnya

    dak lain akan terjadi kesewenang-wenangan.2 

    Masyarakat akan memberontak sistem

    kenegaraan dan kericuhan pun terjadi. Maka

    stabilitas

    nasional

    terancam. Dan

    independensi

    pers pun

    semesnya

    diperjuangkan

    oleh insan-

    insan pers.Seper yang

    terjadi di

    Indonesia pada

    akhir tahun 1998 sampai awal tahun 1999,

    insan pers gencar memperjuangan RUU pers.

    Mengup jargon kala itu “biarkan pers

    mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa,

    sehingga dak ada lagi campur tangan

    birokrasi.” Dari sini kesadaran berdemokrasi

    diwujudkan dalam laku nyata, bukan sekedarwacana. Karena dengan kebebasan pers,

    terjadilah check and balance dalam kehidupan

    bangsa dan bernegara.3  Jika demikian, maka

    demokrasi dalam suatu negara mewujud nyata

    layaknya prinsip negara demokrasi, dari rakyat,

    oleh rakyat, untuk rakyat.[_enbe] 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    10/28

     

    10

    Sudah umum bahwa Khatuliswa adalah salah

    satu acara pagelaran seni-musik yang berjalan

    di Masisir, suatu gerak kreavitas yang bisadikatakan sebagai satu-satunya ruang ekspresi

    yang intens dalam kesenian musik. Ia sekaligus

    pula menjadi sebentuk kegiatan yang dapat

    menjadi contoh dari satu-dua ragam kreavitas

    Masisir, yang tengah ramai-ramai dibangun;

    sebuah iklim seni-budaya yang lahir dari rahim

    Masisir. Di mana mereka —sekelompok subjek

    yang mengekspresikan identasnya melalui

    musik— 

    bukan lagi menjadi“kelainan

    ”ter-hadap orientasi sosial Masisir. Ada alur berpikir

    yang sederhana di sini: bahwa bermusik dak

    melulu sebagai bentuk hiburan yang serta mer-

    ta menghilangkan identasnya sebagai maha-

    siswa al Azhar, namun ia dapat menjadi jalan

    tengah dan jalur alternaf komunikasi antar

    subjek keka pergolakan sosial dan friksi aga-

    ma yang dak lagi mampu menemukan benang

    merahnya. Maka adanya Khatuliswa di tengah

    -tengah dinamika Masisir, mendapatkan ar

    penngnya, bahwa ia dak diam. 

    Hanya, kedak-diam-an dalam pagelaran

    Khatuliswa yang terlihat hari-hari ini, dak

    menjamin bahwa ia benar-benar hidup. Dalam

    pengerannya, bahwa ada semacam

    pergeseran orientasi yang terjadi di sini, keka

    melihat awal lahirnya Khatuliswa. Pergeseran

    watak ini yang –bagi penulis– membingungkan,

    karena mula-mula ia terbentuk dari adanya

    kesadaran terhadap penngnya posisi kesenian

    musik di Masisir; bahwa ia bukan hanya dipan-

    dang sebagai instrumen kesenangan atau se-

    bentuk penyaluran hobi, tapi juga sebagai

    penegasan sikap pada apa yang “rasional” dan

    suatu yang “irasional”, sehingga pada saat itu

    Khatuliswa menjadi ruang berekspresi yang

    bebas dan jujur, yang semua elemen terlibat di

    dalamnya. Namun pada perjalanannya,

    pengeran yang sedari awal terbentuk ini mu-

    lai layu dan mengering, keka kebebasan ek-

    spresi ini dirayu untuk bergaul dengan kema-

    san yang bersifat lebih “elegan” dan

    “profesional”. Puncaknya terjadi pada Khatu-liswa ke-tujuh, di mana seap elemen dipaksa

    memenjarakan dirinya sendiri dalam jeruji

    kedakmampuan mereka atas ekspresi musik

    yang dinilai tak elegan dan tak profesional. 

    Tidak salah keka profesionalisme itu dihadir-

    kan dalam bidang atau kegiatan apapun, ter-

    lebih dalam pagelaran besar seper Khatulis-

    wa -yang dalam bahasa kswmesir.org merupa-

    kan acara paling “spektakuler” se-Masisir. Bah-

    wa tuntutan untuk profesional menjadi sebuah

    keharusan di sini dan menjadi modal utama

    bagi mereka yang ingin berada di atas

    panggung. Hanya saja, bentuk profesionalisme

    itu yang menyebabkan batas-batas keberjara-

    kan semakin jelas: dengan profesionalisme itu,

    kegiatan yang–katakanlah–sederhana dan

    inklusif (dalam mengekspresikan kreavitas)

    berubah sebentuk kegiatan yang “eksklusif ” tur  

    “selekf ”; sebuah “kebebasan” yang menis-

    cayakan “tuntutan”; lalu kemudian menjadi

    suatu gerak kreavitas yang “keberadaan” -nya

    menjadi “keadaan” -nya. Sehingga pada

    akhirnya bentuk yang seper ini dapat menjadi

    —meminjam islah kawan sebagai—  “bom

    bunuh diri” bagi keberadaan Khatuliswa yang

    saat ini tengah dibangun eksistensinya. 

    Kegandrungan akan islah “profesionalisme”

     juga menjadi problemak dan harus mendapat

    perhaan, keka itu berbicara mengengenai

    gerak kreavitas yang terjalin dalam Khatulis-

    wa saat ini. Di mana menjadi profesional bera

    paham dalam bidang yang digelunya, tanpa

    harus kehilangan sifat konsisten serta kompe-

    ten terhadap persoalan yang terjadi di seke-

    lilingnya. Dengan kata lain, profesionalisme

    merupakan pengalaman di mana ia paham

    akan batas-batas yang menjadi wilayah keahl-

    iannya. Namun paradoksnya adalah terjadinya

    Khatuliswa: Budaya Dominan yang Klise 

    Oleh Wais al -Qarny  

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    11/28

     

    11 

    kedakpahaman —untuk dak menyebut dak

    profesional—  dalam mengambil keputusan

    siapa yang akan mewakilkan Masisir

    (Khatuliswa Project ) dalam pagelaran Khatu-

    liswa ke-tujuh. Di sini dak ada penyeleksian

    yang selekf -inklusif keka menentukan siapa

    Masisir yang berhak di atas panggung, sehinggatentu saja keputusan yang dihasilkan sangat

    klise: bersifat anitas dan rasa saling keco-

    cokan. 

    Interelasi, kedekatan, rasa saling cocok dan

    segala bentuk yang menjadi ego sepihak, sed-

    aknya itu yang akhir-akhir ini sangat terasa da-

    lam Khatuliswa. Selama itu cocok, sama-sama

    kenal dan sedaerah, selama itu juga permasala-

    han selesai. Jika demikian, apakah kemudianKMC (Khatuliswa Monthly Café) yang digelu

    secara serius seap bulannya, seolah tampak

    tak menjadi bagian di dalamnya? Di sini KMC

    bukanlah suatu yang lain dari seap kreavitas

    seni-musik Masisir, yang kemudian diposisikan

    sebagai suatu ajang penilaian terhadap suatu

    kreavitas. Namun, bagaimana ia berangkat

    dari bawah keka kebebasan kreaf dicoba

    untuk diekspresikan dan dikembangkan, bukan

    lagi untuk dinilai lalu dipersepsikan secara

    ekonomis. Maka akan terlihat lugu di sini,

    keka konsep Khatuliswa dituntut untuk

    profesional, namun secara bersamaan,

    kemeriahan yang terlihat di atas panggung

    bukanlah hasil dari keputusan yang selekf dan

    inklusif. Karena pada akhirnya, konsep ini akan

    berujung klise yang mudah ditebak, dan mau

    dak mau keberadaan KMC di sini ibarat

    sebuah “permen” bagi seorang anak kecil yangsedang menangis.

    Sampai di sini, sedaknya apa yang terlihat

    dalam Khatuliswa adalah betapa keberjarakan

    itu terbalut dalam budaya “suka sama suka”.

    Budaya yang diam-diam memiliki efeknya yang

    serius, bukan saja karena kegandrungan mere-

    ka terhadap yang “profesional”, sehingga masi-

    fnya keberadaan KMC yang terlihat, seolah

    tampak seper penghibur pada seorang anak,namun di saat yang sama budaya yang ber-

    landaskan hubungan anitas: selama kita dak

    suka kau dak ada, menjadikan gerak kreavi-

    tas di tempatkan dalam persepsi pasar. Sebuah

    persepsi di mana keuntungan menjadi priotas

    utama yang ditandai dengan nilai “standarisasi”

     jual. Betapapun masifnya kegiatan KMC yang

    terlihat, selagi itu dak memiliki nilai jual untuk

    dipromosikan, maka jangan berharap besarket panggung Khatuliswa akan diberikan.

    Sehingga apa yang seorang kawan katakan

    seolah mendapat pembenarannya: di mana ada

    budaya pasar dalam gerak kreavitas, di situ

    kreavitas akan terjebak pada lingkaran

    “standarisasi” untung-rugi, selebihnya menurut

    pada besarnya modal yang diberikan. 

    Mungkin ini adalah sebuah ironi keka

    mengama kondisi kesenian musik di Masisir,terkhusus Khatuliswa sebagai hajat tahunan

    dalam kesenian musik. Kondisi di mana saat

    gerak kreavitas musik tengah ramai-ramai

    dibangun, keka bentuk kesenian-musik

    Masisir sudah mulai mengenal diri, lalu kemudi-

    an mencoba membangunnya dengan berbagai

    macam kegiatan kreaf, dengan dimensi ruang

    ekspresi masing-masing. Hanya saja keka

    gerak kreavitas yang tengah berjalan ini, ser-

    ing kali dak searah dengan bentukan awal.

    Kedaksearahan gerak kreavitas di berbagai

    kegiatan bukan hal mustahil untuk dak ada,

    tapi bukan di situ poinnya, melainkan pada apa

    yang melatarbelakangi bentuk kreavitas itu

    sendiri, semacam ada “sentuhan” dari luar . Ini

    yang pada akhirnya membuat gerak kreavitas

    akan terganggu, dan dak mustahil jika ter-

     jadinya cover -up  dalam konsep, pola dan ide

    gagasan yang sedari awal pengeran sudahterbentuk. 

    Pada posisi yang demikian, dunia kesenian

    musik Masisir memang dak memiliki jalan lain

    selain jalan buntu bagi mereka yang mengek-

    spresikan intelektual seninya melalui musik.

    Sebuah jalan yang ditutup dengan tembok bu-

    daya dominan–“budaya pasar”. Dan keka

    gerak kreavitas ini ingin keluar, maka jalan

    terakhir adalah mendobraknya. [] 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    12/28

     

    12

    Prolog 

    Kreavitas adalah hal mutlak yang diperlukan

    oleh kehidupan untuk mencapai kemajuan. Ia

    merupakan faktor pembaru yang memung-

    kinkan entas baru hadir. Sesuai dengan mak-

    na emologinya yang dalam bahasa Arab di-

    wakilkan dengan kata al -ibdâ'   yang berkaitan

    dengan inovasi dan progresivitas.1  Melaluinya

    keberagaman entas terungkap. Kehidupan

    bukanlah panggung dengan bentuk penampi-

    lan yang stagnan dan rigid. Namun, ia selalu

    memberikan bentuk penampilan yang beru-

    bah, yang terungkap setahap demi setahap

    melalui proses kreavitas. Dari sini kita bisa

    mengatakan, bahwa kreavitas memiliki karak-

    ter luwes dan bebas. Kreavitas yang merupa-

    kan penggerak perubahan memerlukan

    keluwesan untuk keluar dari segala stagnansi.

    Dan ia membutuhkan kebebasan untuk

    mengembara di hamparan cakrawala baru,

    menemukan hal-hal baru.

    Kreavitas dengan karakternya ini, sebagaima-

    na yang direkam oleh sejarah, sering kali bersi-tegang dengan kekuasaan. Tak jarang, otoritas

    kekuasaan yang mapan diresahkan, di-

    goyahkan hingga dirubuhkan oleh kreavitas.

    Seper halnya yang terjadi antara kaum gereja

    dengan para ilmuan pada masa kegelapan.

    Kreavitas dak hanya memasuki zona daya

    cipta seni; puisi, prosa, lukis, pahat, musik dan

    lain sebagainya. Lebih luas dari itu, ia juga ber-

    sangkutan erat dengan daya krik yang mam-

    pu mengendusi berbagai bentuk kejanggalan.

    Demi eksistensi, sang pemilik kuasa tentu tak

    akan diam. Dalam sejarah kita lihat bagaimana

    penguasa meletakkan batas-batas yang tak

    boleh dilampaui oleh masyarakat baik pemikir,

    seniman maupun orang awam sekalipun dalam

    ruang gerak kreavitasnya. Kekuasaan menun-

     jukkan wajah represifnya, wajah aslinya. Ia pun

    berubah menjadi kesadaran polik; polik

    kekuasaan yang dilegimasikan sehingga mam-

    pu mewajibkan masyarakat publik untuk tun-

    duk menaanya. Bahkan, kesadaran ini pun

    tetap menyusup dalam sistem polik yang

    menjunjung nggi demokrasi, mengaung-

    ngaungkan kebebasan dengan beragam ben-

    tuknya.2 

    Dan relasi inilah yang akan kita diskusikan da-

    lam pembahasan ini untuk melacak secara

    singkat perjalanan geneologis antara kuasa dan

    kreavitas, sekaligus menyingkap tabiat yang

    dikandung oleh keduanya.

    Otoritas Kuasa dan Polik Kreavasitas 

    Untuk membincang permasalahan ini, kita

    akan memulai dengan kata polik. Kata ini da-

    lam bahasa Arab diwakilkan oleh kata siyâsah 

    yang secara emologi bermakna mengontrol,

    mengarahkan dan memperbaiki. Polik dengan

    karakter reformisnya ini, membuatnya

    Otoritas Kuasa dalam Masyarakat; Kreavitas sebagai Solusi 

    Oleh Zulfah Nur Alimah 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    13/28

     

    13 

    beriringan dengan makna kebaikan, kebajikan

    dan keadilan. Tak heran jika dahulu, Plato ber-

    pendapat bahwa hanya seorang lsuf yang

    layak memangku jabatan pemimpin. Karena

    seorang lsuf dengan pengetahuan dan

    kearifannya, membuatnya mampu untuk me-

    lahirkan ide-ide bijak yang memberikan

    pengaruh dan efek posif bagi keberlangsun-

    gan kehidupan individu dan masyarakat secara

    keseluruhan.3 

    Karakter dasar ini pun pudar secara perlahan,

    sejak polik dilembagakan dan dilegimasikan

    dengan berbagai macam dalih. Polik tak lagi

    bekerja untuk kemaslahatan masal, ia lebih

    cenderung memperturutkan egoisme dan ke-

    maslahatan subyekf. Polik tak lagi menjadi

    payung besar, namun tenggelam dalam bingkai

    kekuasaan. Kekuasaan polik diraih oleh nega-

    ra, kelompok ataupun seorang individu terten-

    tu melalui kekuasaan-kekuasaan di bawahnya;

    kekuasaan ekonomi dan pengetahuan. Atau

    dengan kata lain, seorang pemilik modal dan

    seorang yang berpengetahuan memiliki daya

    kontrol bahkan daya paksa terhadap orang

    lain.

    Terlebih dengan munculnya paham pragma-

    sme di Amerika yang menikberatkan pada

    keuntungan materialis. Dalam bingkai pragma-

    sme, kebenaran diakui keka suatu ide ter-

    tentu membuahkan efek praks yang

    menguntungkan bagi seseorang. Ia tak ber-

    tolak dari sebab, namun akibat yang

    dihasilkan.4  Paham ini membentuk kesadaran

    masyarakat yang materialis. Terlepas dari

    tujuan dasar para peletak paham ini yang ingin

    mengcover sejumlah keragaman penduduk

    Amerika, paham ini memberikan dampak, d-

    ak hanya bagi masyarakat Amerika namun

    kesadaran manusia secara keseluruhan, yang

    akan melegimasikan berbagai macam cara

    untuk memperjuangkan kemaslahatannya.

    Dari sinilah, para pemilik kekuasaan mendapat-

    kan pembenaran dalam menggunakan otori-

    tasnya untuk menundukkan orang lain agar

    tetap berjalan dalam koridor tujuan-tujuannya.

    Yang musykil  adalah ukuran dari kemaslahatan

    dan batasan maksimal yang tak boleh dilanggar

    masih samar. Atau dengan kata lain, seap

    orang bisa mengajukan pembenarannya

    tersendiri. Jika Foucault mengatakan bahwa

    kekuasaan ada di mana-mana,5  maka daya

    kreavitas pun tumbuh berkembang dimana-

    mana.

    Selain sebagai bentuk pencurahan ja diri, kre-

    avitas sekaligus cerminan akan sensivitas

    dan daya krik seseorang terhadap fenomena

    sekeliling yang berusaha ia ungkapkan melalui

    hasil kreasinya baik secara terang-terangan

    maupun secara simbolis. Bisa kita ambil con-

    toh, Wiji Tukul dengan puisi-puisinya yang be-

    rusaha mengkrik rezim otoriter orde baru

    ataupun novel Da Vinci Code karya Dan Brown

    yang dicekam oleh pihak gereja karena berani

    menggulingkan prinsip-prinsip mapan akidah

    Krisani.

    Adapun secara simbolis, kita bisa bercermin

    melalui sosok Najib Mahfudz dengan karangan

    teaternya mengenai  Ashâbul Kah . Dalam kar-

    yanya ini, Najib ingin menyampaikan kepada

    masyarakat Arab khusunya para penguasa kon-

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    14/28

     

    14

    vensional, agar move on  dari masa lalunya

    dengan segala kejayaannya sehingga bisa ber-

    saing dengan masyarakat Barat dalam mem-

    bangun peradaban baru. Karena, seseorangbisa hanya bertahan dan berinteraksi dengan

    kehidupan jika ia memiliki relasi zaman yang

    mengikatnya. Yaitu dengan menyadari zaman

    di mana ia hidup.6 

    Setelah zaman kegelapan berlalu, liberalisme

    yang menjunjung nilai-nilai kebebasan individu

    mengambil alih dominasi gereja. Manusia

    terbebas dari ikatan-ikatan yang selama ini

    dianggap membelenggunya. Bahkan sampai

    pada batas pelepasan diri dari ikatan agama.

    Namun sebenarnya, manusia tak benar-benar

    terlepas dari ikatan-ikatan ini. Manusia tak bisa

    benar-benar menemukan kebebasan mutlak

    itu. Kebebasan mutlak hanya sebatas slogan, ia

    tak lebih dari susunan kebahasaan yang mate-

    ril. Masih kita temui berbagai macam aksi re

    volusi terhadap praktek-praktek kekuasaan

    yang dianggap mencekik dan membelenggu;

    baik belenggu ekonomi, sosial, ras dan lain

    sebagainya. Yang terjadi hanyalah pergeseran

    instrumen yang dipakai untuk memaksa,7

    un-

    tuk membungkam daya kreavitas dengan

    berbagai macam bentuknya yang ingin men-

    gaplikasikan 'polik' sebagaimana makna dasar

    yang dikandungnya. 

    Kreavitas sebagai Solusi Problemaka Sosial 

    Keka kreavitas ditunggangi oleh kekuasaan,

    hal ini dak hanya menyalahi kebebasan indi-vidu untuk mengekspresikan dan mengaktuali-

    sasikan identas dirinya dalam

    relasinya dengan fenomena sekitar. Kebebasan

    yang merupakan hak asasi kemanusiaan

    seseorang. Dalam waktu bersamaan, pem-

    bungkaman kreavitas sama halnya denganmenutup solusi bagi sejumlah problemaka

    sosial. Sesuai dengan denisi kreavitas yang

    ditawarkan oleh Chaplin. 

    Kemapanan realitas sering kali dipandang se-

    bagai sesuatu yang sudah semesnya. Tak ada

    atau bahkan, memang tak perlu dicarikan jalan

    guna merubahnya. Berbeda halnya dengan

    orang kreaf. Ia akan selalu berhasil

    menemukan wajah anomali yang bersemayam

    dalam kemapanan. Ia menyadari bahwa dalam

    mempertahankan posisinya, kemapanan selalu

    menggandeng kekuasaan dengan berbagai

    macam bentuknya. Otoritas kuasa akan

    mengambil perannya dalam memanipulasi

    realitas sehingga semuanya terlihat beres,

    nampak baik-baik saja. Dan di sinilah mata

    tajam kreavitas menemui urgensitasnya.

    Dengan proses kreasi, biasanya seseorang

    akan memutuskan mata rantai yang dianggap

    kuat dan masih relevan. Karenanya, diskon-

    nuitas menjadi dampak paling kentara darikreavitas. Seorang kreaf datang dengan

    pemahaman dan nilai-nilai baru yang me-

    nyontakkan orang-orang sekeliling. Tak jarang,

    hal-hal baru ini ditentang keras oleh orang-

    orang yang belum siap dengan adanya diskon-

    nuitas ini. Karena, perbaharuan bagaimana-

    pun itu selalu memberikan konsekuensi peru-

    bahan dalam pelbagai lini kehidupan yang

    mungkin tak memberikan keuntungan materil

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    15/28

     

    15 

    1 Al -Mu'jam al -Wasîth, Lembaga Bahasa Arab Republik

    Arab Mesir, cet. IV, hal. 44 

    2John Dewey, Freedom and Culture diyerjemahkan dalam

    bahasa Arab oleh Amin Mursi Qandil dengan judul al -

    Huriyyah wa ats-Tsaqâfah, Hai’ah al-Mishriyyah al-Ammah

    li al-Kitâb, hal. 13

    3Abdul Majid Shagir, as-Sulthah wa al -Ma'rifah, Haihah al-

    Mishriyyah al-Ammah li al

    -Kitâb, hal. 8

     

    4William James, The Meaning of Truth diterjemahkan oleh

    Ahmad Al-Anshari dengan judul Ma'nâ al -Haqîqah, hal. 20 

    5A. Khozin Afandi, Konsep Kekuasan Michel Foucault , hal.

    140 

    6Dr. Tsurayya Abdul Mun'im Judah, Dirâsât Târîkhiyyah wa

    Fanniyyah al -Maqâlah wa al -Qishah wa al -Masrahiyyah,

    hal. 148-153 

    7A. Khozin Afandi, op. cit., hal 142 

    8John Dewey, Freedom and Culture ,diyerjemahkan dalam

    bahasa Arab oleh Amin Mursi Qandil dengan judul al -

    Huriyyah wa ats-Tsaqâfah, Hai’ah al-Mishriyyah al-Ammah

    li al-Kitâb, op.cit . 

    bagi orang-orang ini.

    Dalam bingkai ini, kita bisa menafsiri sejumlah

    ketegangan antar masyarakat keka terjadi

    transformasi sosial. Misalnya saja, transforma-

    si dari masyarakat Jahiliyah menuju masyara-

    kat Islam, dari masyarakat badawi menuju

    masyarakat madani, dari masyarakat dogmas

    menuju masyarakat liberal, dari kesukuan

    menuju masyarakat nasional, dari masyarakat

    feodal menuju masyarakat modern kapitalis

    dan lain sebagainya. Menariknya, transforma-

    si ini, dengan kadar ketegangannya, selalu ber-

    hasil dilakukan dan akhirnya menjadi hal yang

    diterima oleh mayoritas. Walau dak bisa

    dinakan, kelompok-kelompok separas mi-

    noritas akan selalu bermunculan. 

    Setelah transformasi terlaksana, peran

    seorang kreaf belum berhen. Transformasi

    tak bisa dijadikan sebagai ukuran tercapainya

    tujuan dan dengan demikian perjuangan be-

    rakhir. Ia justru akan membuka lembaran

    problemaka-problemaka baru dan seper

    ini seterusnya. Karenanya kita bisa memaklumi

    kenapa John Dewey mempertanyakan dan

    mempermasalahkan mengenai kebebasan,

    sesuatu yang telah diperjuangkan olehmasyarakat Barat sejak abad kegelapan. Ter

    nyata, kebebasan yang sebelumnya merupa-

    kan tujuan yang diperjuangkan ma-maan,

    Dewey melihat, kini ia justru menjadi letak

    permasalahan masyarakatnya keka itu. Di

    mana dengan dalih kebebasan, orang-orang

    saling menyikut dan kehilangan batasan. Ia

    pun berusaha memberikan pemahaman lain

    mengenai kebebasan yang berkaitan erat

    dengan kemaslahatan kolekf.8 

    Epilog 

    Relasi tegang antara otoritas kuasa dan krea-

    vitas adalah hal yang akan selalu terjadi dan

    tak akan menemui akhirnya bagaimanapun

    kadar ketegangan antara keduanya. Manusia

    terlalu sering kalah dan lenyap di hadapan

    kuasa dengan power otoritaf represifnya.

    Penyimpangan-penyimpangan akan selalu

    terjadi. Maka, hal ini menuntut agar kreavitas

    harus selalu hadir di manapun dan kapanpun.

    Melalui daya nalar kreaf, seseorang dak

    hanya akan mengendusi kejanggalan dan men-

    ciptakan solusi. Ia dak hanya akan berorienta-

    si kepada realitas kekinian. Dengan kreavi-

    tasnya, ia juga akan menemukan hal-hal baru

    untuk membangun masa depan yang lebih

    baik bagi kemanusiaan seluruhnya. Wa Allâhu

     A'lam.

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    16/28

     

    16

    November tahun yang lalu, bulen PRESTâSI

    KSW genap pada edisi ke-seratus. Tak pelak

    dari seap kru berusaha memberikan yangspesial di edisi tersebut. Maka dibuatkanlah

    acara dialog interakf mengenai wacana

    Media(?) dengan menghadirkan pembicara

    dari penulis senior dari seap bulen yang ada

    di Masisir. Selain itu sesuai rapat redaksi kru

    PRESTâSI, mereka sepakat menambah

    halaman bulen dan cover warna, khusus

    spesial edisi 100. Otomas acara tersebut

    membutuhkan dana yang dak sedikit,

    sehingga mau dak mau kru PRESTâSI harus

    mencari sponsor buat mensukseskan acara

    tersebut. Kurang lebih ada lima sponsor yang

    menyokong acara ini, dan Griya Jateng tampil

    sebagai sponsor utama. Walaupun begitu dak

    terjadi benturan antara kedua belah pihak,

    semua berjalan layaknya kerjasama yang saling

    menguntungkan tanpa mencederai salah satu

    pihak. Sementara KSW dak membatasi apa

    yang menjadi tujuan bersama kru PRESTâSI.KSW percaya penuh dengan semua yang

    dilakukan oleh badan otonomnya tersebut,

    terlebih keka menyangkut kreavitas

    anggotanya. Mungkin seper inilah sedikit

    gambaran mengenai kreavitas individu atau

    kelompok dengan para penguasa-pemegang

    modal-  yang mengadakan kerjasama. 

    Berbicara mengenai kreavitas, dek-dek ini

    rasanya ada sesuatu yang membatasi dalamdunia kreaf individu maupun kelompok.

    Terlebih di ranah Masisir yang jamak kita

    ketahui, dalam berorganisasi –kekeluargaan

    khususnya—  yang menjadi wadah berkreasi

    anggotanya terkadang terbentur dengan

    masalah nansial. Seabrek agenda dan acara

    untuk menampung daya kreatas anggota

    dari sebuah organisasi dak jarang

    membutuhkan dana yang dak sedikit.

    Semisal, untuk mencetak buku dalam

    komunitas menulis, biasanya mereka membuat

    proposal yang dikirim ke pemegang modal

    besar. Tetapi keka sponsor meminta adanyatuntutan atau mencoba menyer kreavitas,

    maka di sinilah muncul problemaka satu

    belah pihak. Seakan kreavitas mereka

    dibatasi oleh permintaan sponsor. Namun

    semoga saja kalaupun terpaksa membuat

    proposal, idealisme suatu komunitas harus

    dak mudah tergoyahkan dengan limpahan

    dana dari sponsor. Sebab dalam kerja sama

    ada semacam perjanjian yang disepaka

    antara kedua belah pihak. 

    Idenkasi Kreavitas KSW 

    Melirik sebentar ke salah satu kekeluargaan di

    Masisir, KSW Mesir semisal. Organisasi

    kekeluargaan yang beraliasi Jawa Tengah dan

    Yogyakarta bisa penulis katakan sebagai

    organisasi yang kokoh dan berpegang teguh

    pada idealisme KSW sendiri. Dengan

    banyaknya warga, KSW dak membatasi dayakreaf seap warganya. KSW membebaskan

    warganya untuk melakukan apa aja sesuai

    dengan keinginan dan tujuannya. Bahkan KSW

    memfasilitasi sesuai dengan kecenderungan

    warganya. KSW sendiri menyokong kebutuhan

    seap warganya. Semua ini terlihat jelas jika

    kita datang ke KSW. KSW menyediakan hampir

    semua alat kesenian, mulai dari alat musik

    yang lengkap, entah band, hadrah, wayang dan

    perlengkapan pantomim. Selain alat kesenian,

    alat olahraga juga disiapkan dengan lengkap.

    Perlengkapan olahraga seper sepak bola, voli,

    basket, tarik tambang, tenis meja dan bulu

    tangkis tersimpan di ruang penyimpanan.

    Semua ini untuk menunjang kebutuhan

    anggotanya dalam hal kesenian maupun

    olahraga. 

    Tak hanya dalam bidang olahraga dan

    kesenian, sesuai dengan namanya, Kelompok

    KSW Tidak Membatasi Kreavitas Warganya 

    Oleh Mahfudh Wasim* 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    17/28

     

    17 

    Studi Walisongo juga memfasilitasi warganya

    dalam segi intelektualitas. KSW membuka

     jalan yang lebar bagi warganya yang ingin

    belajar menulis maupun mengkaji kitab.

    Sebagai contoh KSW mempunyai lahan untuk

    warganya belajar menulis di SMW (Sekolah

    Menulis Walisongo) bahkan yang belajar di

    SMW dak hanya anggota asli KSW,

    melainkan sampai dari luar KSW. Menulis

    berita, opini, cerpen dan resensi diajarkan

    dak hanya sekali pertemuan, biasanya

    sampai ga kali pertemuan dalam

    pembelajaran seap materi menulis, sesuai

    dengan silabus yang telah disiapkan oleh

    dewan guru SMW. Ada juga wadah

    pengaplikasian menulis dalam komunitasbulen PRESTâSI KSW. Sementara dalam

    memperdalam kajian suatu kitab, sejak awal

    tahun 2013 KSW membuka secara resmi

    kelompok studi yang disebut Walisongo Study

    Club atau WSC. Di dalamnya diajarkan cara

    membaca kitab, memahami, menyampaikan

    dan menuliskan ide pemikirannya dengan

    baik. Dimulai dengan menuliskan resensi

    kitab sampai tahap akhir menulis makalah

    yang kemudian dikaji bersama. Tentunya

    semua yang ada di KSW tanpa ada batasan

    maupun tekanan di seap kegiatan

    anggotanya. Semuanya dilakukan dengan

    landasan cinta tanpa ada paksaan dalam

    usaha menciptakan kreavitas mereka. 

    Selain semua kegiatan yang disediakan KSW

    seper di atas, tentunya dak semua warga

    KSW berkecimpung di dalamnya. Sebagian

    warganya juga banyak akf berkegiatan di

    luar KSW. Sependek pengetahuan penulis,

    banyak warga KSW yang ikut talaqqi  di masjid

    Al-Azhar, akf di PPMI, Senat, PCINU Mesir,

    PCIM Mesir maupun lembaga kajian atau

    kesenian di luar KSW. Selama kreavitas itu

    mewujud nyata, KSW sebagai organisasi

    kekeluargaan akan senanasa mendukung. 

    Manifestasi Kreavitas 

    Biasanya, buah kreavitas memang perlu

    ditempuh dengan ihwal yang dak mudah.

    Tidak jarang masalah nansial menghimpit,

    sehingga bekerja sama dengan pihak sponsor

    tak terelakkan. Masalah bisa saja terjadi

    keka tuntutan sponsor melebihi kadar

    kerjasama yang sewajarnya. Hal ini akhirnya

    menjadikan kreavitas terkekang atau

    kemungkinan kecil bisa terser oleh pihak

    sponsor. Suatu niat baik yang bisa menjadi

    kasus yang tanpa disadari semua menjadi

    terbatas. 

    Memang suatu batasan maupun tekanan

    terkadang lebih sering memberikan efek

    negaf bagi siapa saja yang merasakannya.

    Seper mendapat beban baru atau dapat

    sesuatu yang berbeda dalam ha nurani

    seseorang. Batasan itu bisa membuat orang

    berubah arah, dak menjadikannya

    konsisten. Hal seper ini juga merusak

    psikologis seseorang dalam berkreavitas.

    Maka sikap tegas di sini perlu digalakkan

    semata untuk menjaga orisinalitas suatu daya

    kreaf seseorang. Pun sikap tegas yang

    penulis maksud harus dengan menjaga eka

    dan sopan santun sesama manusia. 

    Dalam perjalanannya, keka berkreavitas

    dak terbentur dengan tuntutan pemegang

    modal atau KSW selaku otoritas ternggi

    semisal, maka hasil dari kreavitas tersebut

    murni buah kreaf insan yang berakar tanpa

    tekanan. Kurang lebih seper itu yang terjadi

    di KSW. Tahun 2012 buku berjudul “Kredo

    Pinggiran”  jadi saksi nyata dari kreavitas

    SMW. Banyaknya tro juara di bidang

    olahraga dan intelektualitas juga menjadisaksi bisu kreavitas warga KSW yang

    dihasilkan tanpa intervensi pihak manapun.

    Kebebasan bermusik atau bersholawat

    diaplikasikan warga KSW hampir seap bulan.

    Di dalamnya warga senang membuat

    kreavitas bermusik tanpa melupakan tugas

    utama mereka di bumi kinanah ini. Akhirnya

     jelaslah semua, jangan batasi kreavitas dan

    hormalah! 

    *Bendahara I KSW Mesir 2015-2016 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    18/28

     

    18

    Bapak Goenawan; 

    “ Saya dak menginginkan pendapat itu [konsep Khatuliswa] ada,

    kemungkinan pendapat itu ada karena saya sendiri merasa kalau saya

    belum bisa memuaskan semua pihak.”  

    KP: Apa pendapat Bapak tentang kreavitas di Masisir? Baik dari segi seni, budaya maupun

    pendidikan? 

    BG:  Menurut saya, Masisir dari sudut manapun sangatlah kreaf, karena dengan statusnya

    sebagai mahasiswa dengan agenda dan targetnya, tapi masih bisa berekspresi di berbagai

    bidang. Kreavitas ini akan semakin jelas terlihat keka ada event -event   yang bisa menjadi

    wadah mereka untuk mengekspresikan bakat yang mereka miliki secara penuh. Sedangkan un-

    tuk perkembangannya, sejauh pengamatan saya kreavitas ini mengalami pasang surut (dakstabil). Hal ini bisa dilihat sebagai dampak regenerasi yang dak berkesinambungan. Kalau kita

    melihat sekarang atau dulu banyak sekali potensi-potensi seni—baik musik, tari, dan panto-

    mim— berkualitas muncul, maka lain halnya dengan sekarang dan di masa yang akan datang,

    dimungkinkan ranah ini dak lagi cemerlang tapi justru berkembang di bidangnya yang lain,

    budaya misalnya. Tentu hal ini harus diansipasi dengan baik melalui regenerasi yang

    berkesinambungan. Pada dasarnya, keka kita berbicara tentang kreavitas, kuncinya hanya

    satu; siapin lahan bagi mereka untuk mengembangkan potensi dan meneruskan regenerasi.

    Potensi-wadah-regenerasi. 

    KP: Apakah menurut Bapak kreavitas mereka mencerminkan kebebasan mereka atau justru

    dibatasi oleh kekuasaan legal formal (organisasi, materi, polik)? 

    BG: Kalau di Masisir saya melihat ada dua kelompok;  pertama adalah kelompok yang secara

    total bebas mengekspresikan kreavitas mereka. Kelompok ini dak peduli dengan kekuasaan

    apapun. Kedua, adalah kelompok yang memiliki unsur-unsur ke arah sana. Terikat dan

    “berkepenngan”. Adapun keka kita melihat kreavitas yang ada dalam acara-acara HUT atau

    sejenisnya, adalah kreavitas “yang terarah”. Walaupun ada organisasi atau lembaga yang

    memberikan konsep sebagai batasan alur dan tema, namun hal ini dak membatasi bagaimana

    mereka mengekspresikannya. Konsep, tema dan alur yang ditentukan, justru membantu mereka

    dalam mengemas kreavitas yang dimiliki. Jadi walaupun jalan cerita ditentukan, tapi bagaima-

    na cara mereka mengemas kreavitas ini adalah pilihan mereka sendiri. Mereka bebas berek-spresi. 

    KP: Bagaimana pendapat Bapak tentang karya-karya intelektual di Masisir sendiri, seper ma-

    kalah dan bulen, apakah hal tersebut termasuk bentuk kreavitas atau dak? 

    BG: Kalau kita bicara tentang karya-karya intelektual di sini, tentu itu termasuk bentuk kreavi-

    tas. Karena tulisan-tulisan semacam itu dak akan terwujud kalau dak didasari dengan kreavi-

    tas. Tanpa kreavitas hal-hal semacam itu dak akan terwujud. 

    KP: Sebagai sesepuh KSW, bagaimana pendapat Bapak mengenai Khatuliswa dari tahun ke

    tahun? Apakah mengalami kemajuan atau seper apa? 

    BG: Khatuliswa pada prinsipnya adalah sebuah wadah bagi Masisir agar bisa mengeksplorasi

    bakat dan kreavitas mereka. Jadi ibarat tanaman, dengan Khatuliswa, seni musik mulai tum-

    Wawancara dengan Bapak Goenawan 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    19/28

     

    19 

    buh dari bibit-bibit yang dibina dan diasuh melalui event -event  yang ada. Karena sejauh penge-

    tahuan saya, ada kalanya sebuah lembaga atau rumah budaya hanya diminta output -nya oleh

    masyarakat, namun dak dipedulikan proses pembinaannya. Jadi yang dilihat itu lembaganya

    saja. Karena dia lembaga seni, tentu harus siap tampil kapan dan dimana saja. Sedangkan di sisi

    lain lembaga ini seolah “diterlantarkan” dan kurang asuhan. Sebab dari itu, saya itu pengen—

    dari Khatuliswa—kita bisa sama-sama menghidupkan, mengasuh kembali lembaga, rumah

    budaya yang ada agar bisa menjalankan fungsinya sebagai wadah penyalur bakat dan kreavitasteman-teman semua. 

    KP: Seper yang Bapak bilang tadi, bahwa Khatuliswa pada prinsipnya adalah wadah dan

    sarana untuk teman-teman Masisir agar dapat mengembangkan bakat dan kreavitasnya

    secara maksimal, terutama di bidang seni musik. Lalu, apa tanggapan Bapak mendengar kalau

    sebagian teman-teman Masisir ada yang beranggapan bahwa konsep yang ada, terbilang di-

    batasi, sehingga teman-teman dak bisa berparsipasi secara penuh? 

    BG: Saya peribadi dak ingin teman-teman Masisir beranggapan seper itu, apalagi membuat

    teman-teman kecewa. Dalam aran, kalau konsep Khatuliswa dianggap cenderung membatasi

    aspirasi dan kreavitas teman-teman semua, sebenarnya dak bermaksud demikian. Karena

    dari awal prinsipnya, Khatuliswa adalah sebagai wadah agar potensi-potensi bisa tereksplorasi

    secara maksimal. Tapi setelah semakin lama potensi ini semakin banyak bermunculan dan

    akhirnya membuat kita dak bisa menampung semua. Akhirnya, kita harus mengambil jalan

    lain, baik itu dengan bentuk “sekmen” atau “temak” sesuai gender musik. Sehingga kreavitas

    temen-temen di sini tetap tersalurkan walaupun secara giliran. 

    KP: Beberapa seni yang disebutkan salah satunya ada seni musik, Khatuliswa misalnya. Se-

    bagai sesepuh KSW bagaimana pendapat Bapak mengenai Khatuliswa itu sendiri, apakah

    mengalami perkembangan dari tahun ke tahun? 

    BG: Khatuliswa hanyalah salah satu wadah untuk para Masisir agar dapat mengeksplorkan

    bakat-bakat mereka yang terpendam. Yang bermula hanya tampil di kekeluargaan, kemudian

    mencoba untuk keluar–dari Masisir–, akhirnya step by step  Khatuliswa mengalami perkem-

    bangan meskipun hanya beberapa grup band saja. Dan ini dapat dilihat dari event -event  KMC

    dan Khatuliswa sendiri. 

    Sangat disayangkan juga, ada salah satu wadah seni di Masisir –Rumah Budaya Akar– yang ku-

    rang dimanfaatkan. Hal seper ini dapat memusnahkan regenerasi, karena minimnya peminat

    dalam bidang seni, musik khususnya. Akhir-akhir ini, banyak sekali grup band baru mulai ber-

    munculan, setelah mengetahui adanya wadah yang mengeksplorkan seni ini, dan ternyata han-

    ya beberapa saja yang terpilih untuk tampil. Walaupun begitu seharusnya mereka tetap harusmengupayakan agar dirinya menjadi yang terbaik dengan menekuni seni tersebut. 

    KP: Sebagian dari Masisir, ada yang kurang suka dengan konsep yang ada ( dibatasi, kurang

    bisa berparsipasi secara penuh), bagaimana pendapat bapak tentang hal ini?  

    BG:  Saya dak menginginkan pendapat itu ada, kemungkinan pendapat itu ada karena saya

    sendiri merasa kalau saya belum bisa memuaskan semua pihak. Tapi sedaknya langkah yang

    saya lakukan dari seapkali penampilan adalah mengkonsep Khatuliswa menjadi acara yang

    saya runkan seap bulannya (KMC), agar mereka dak nervous jika akan tampil di seap acara-

    acara besar nannya. Dengan begitu, wadah yang ada akan diperlebar agar para Masisir

    mendapatkan giliran mengekspresikan potensi masing-masing, mulai dari musik, biola sampai

    pembacaan puisi sekalipun. Konsep baru inilah yang akan saya pikirkan kedepannya, jika perlu

    akan diadakan sesuai dari bagian manajemen musik nannya. Selengkapnya, hal. 26 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    20/28

     

    20

    “  Bersama arus banjir tahunan pada musim

    semi, sungai Enguri menghanyutkan tanah dan

    batuan, dari kaukasus menuju laut Hitam.

    Menciptakan pulau- pulau kecil di sepanjang

    alirannya. Pulau- pulau ini adalah berkah bagi

     penduduk lokal yang meninggalkan tepi sungai

    lembab menuju ke tanah yang padat dan subur

    di pulau itu. Antara musim semi sampai musim

    gugur, seseorang bisa menanam jagung untuk

    memberi makan keluarganya dari musim

    dingin yang panjang. Hanya jika, alam mengiz-

    inkan.”  -Prolog Corn Island. 

    ** 

    Lima menit berlalu, hanya kesunyian yang

    mengalir dan para penonton masih berusaha

    membenarkan posisi duduk untuk mendapat-

    kan kenyamanan. Sepuluh menit kemudian,

    suasana hanya didominasi suara riuh air dan

    angin. Keadaan seper itu terus bertahan dan

    sesekali sepatu bot yang dikenakan pak tua

    ikut menghidupkan suasana.

    Dengan sebuah perahu yang biasa ia gunakan,

    pak tua (Ilyas Salman) itu membawa seorang

    gadis (Mariam Buturishvili) menuju sebuah

    pulau yang terbentuk akibat banjir. Tangan

    gadis itu mencengkeram sebuah boneka yang

    lusuh. Terlihat jelas masa kanak-kanak pada

    sorot matanya. Masa kanak-kanak pada gadis

    itu lambat laun lenyap bersamaan dengan

    kesehariannya di atas pulau. Hingga pada sua-

    tu hari, ia merasakan kejanggalan yang terjadi

    pada dirinya, kemudian boneka itu tak pernah

    dimainkannya lagi. Dalam tenggang waktu itu,

    dak ada dialog intens yang terjadi di antara

    sang gadis dan pak tua. 

    Sungguh, jika sebuah lm mengharuskan dialog

    intens terjadi di antara tokoh-tokoh yang

    memerankanya. Maka Corn Island dak pantas

    menyandang sebuah lm. Tapi, apakah

    demikian? Bagaimana jika visualisasi dari se-

    Dialog Bisu Oleh Darmono 

    Judul Film : Corn Island 

    Genre : Drama 

    Sutradara : Giorgi Ovashvili 

    Pemeran : Ilyas Salman, Mariam Buturishvili

    Tahun Rilis : 2014 

    Durasi :100 menit 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    21/28

     

    21 

    buah lm sudah cukup mewakili untuk penyam-

    paian cerita? Maka lm ini adalah jawaban dari

    pertanyaan di atas. 

    Dialog. Sedikit sekali dijumpai dialog intens

    yang keluar dari mulut pak tua dengan sang

    gadis. Mereka hanya berbicara singkat, selebi-

    hnya diam dan sibuk dengan pekerjaan masing-

    masing. Seiring berjalannya cerita, penonton

    akan mengetahui keduanya memiliki hubungan

    seorang kakek dengan cucu gadisnya. Mungkin

    akan terasa aneh keka mendapa hubungan

    seorang kakek dengan cucu tanpa diselipi dia-

    log intens di dalamnya.

    Akan tetapi, dari sisi

    itulah penonton diberi

    kebebasan untuk

    mengekpresikan, untuk

    memaknai ar kedeka-

    tan hubungan antara

    kakek dengan cucu lewat visualisasi yang telah

    diracik secara mantab oleh sang sutradara

    (Giorgi Ovashvili). Bisa disimpulkan, visualisasi

    adalah kekuatan dari lm ini. 

    Selain visualisasi yang matang, seng tempat

    lm ini juga disajikan secara fokus pada satu

    medan yang menjadi kanvas untuk pelukisan

    berbagai macam adegan. Dengan begitu, per-

    haan penonton akan benar-benar tertumpu

    pada satu medan itu. Selain menumpukan per-

    haan, seng tempat seper itu akan mem-

    berikan sensasi kenikmatan tersendiri bagi para

    penikmat lm. Karena kebanyakan lm diramu

    dengan berbagai seng tempat yang berbeda

    tata letaknya, kemudian berpindah dari satu

    tempat menuju tempat berikutnya dan se-

    terusnya hingga usai.

    Kenikmatan lain dari lm ini adalah, keunikan

    fragmen-fragmennya yang saling menguatkan

    tanpa ketergantungan pada dialog. Seper ke-

    ka aliran sungai menggerus tepian pulau, pak

    tua dak perlu menjelaskan pada si gadis apa

    yang harus mereka lakukan. Cerita tetap ber-

     jalan bisu. Fragmen demi fragmen dimunculkan

    tanpa dialog, sampai pada akhirnya penonton

    paham bahwa mere-

    ka membuat sema-

    cam penangkal om-

    bak. 

    Namun, tak semua

    fragmennya berjalan

    dengan apik. Ada

    beberapa bagian —menurut penulis—  yang

    kurang berhasil menyampaikan maksud dari

    penampilan adegan dalam fragmen tanpa dia-

    log itu. Meski begitu, lm ini tetap memenangi

    penghargaan Crystal Globe di Fesval Film In-

    ternaonal Karlovy Vary dan terpilih sebagai

    perwakilan Georgia untuk Film Berbahasa Asing

    Terbaik di Academy Awards ke-87.

    Dengan demikian, Corn Island yang bercerita

    tentang kehidupan dua orang manusia dalam

    kebisuannya, menjadi lm yang layak untuk

    ditonton. Selamat menonton! [] 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    22/28

     

    22

    Dalam perjalanan orang-orang sering terjebak

    dalam membuat keputusan ingin berisrahat

    dimana. Perdebatan lebih sering lagi menjebakorang-orang berlama-lama dalam

    memutuskan; ide-ide yang ditolak, usulan-

    usulan yang klise, tempat-tempat yang

    membosankan, perjalanan yang melelahkan,

    perut yang keroncongan, emosi yang meledak-

    ledak. Seap kali terperangkap dalam situasi

    itu, saya sering membuat-buat kesimpulan

    sendiri bahwa manusia bisa jadi terlalu malas

    menyebutkan keinginannya saat bersama

    orang lain, bahkan untuk sekedarmemikirkannya. Tapi paling rajin menolak

    seap masukan, yang mungkin memang,

    sangat dak tepat untuk diusulkan. 

    Prolog yang mungkin agak bertele-tele untuk

    sampai pada pembicaraan yang sebenarnya.

    Tapi sedaknya kita (memang) sedang

    berbincang seputar tempat-tempat yang patut

    disinggahi saat jalan- jalan, atau jalan- jalan ke

    tempat yang ingin dikunjungi, atau juga saat

     jalan- jalan menemukan tempat yang

    mendadadak ingin didatangi. Hanya saja,

    sungguhan, macam-macam kemungkinan

    barusan pernah saya alami dan salah satunya

    mengantarkan saya ke jalanan nostalgik khas

    belakang perumahan yang ramai turis serupa

    gang Prawirotaman di Jogja. Jalanan yang

    bagian kecil dari Zamalek ini (itu) dipenuhi

    macam-macam kafe, dari sepi sama sekali

    sampai terlalu ramai hingga harus mencaritempat nongkrong yang lain. Mungkin sedang

    beruntung, saya dan kawan-kawan berhasil—

    bahasa keren-nya—me-reservasi salah satu

    meja (serius, ada papan bertuliskan reserved  

    di atas meja yang diberikan kepada kami) di

    salah satu kafe yang menurut kami termasuk

    kategori ramai. Dan kami, atau hanya saya,

    mendadak merasa relijius dan teringat dosa-

    dosa sekaligus melupakan perihal duniawi

    melihat nama kafe tersebut; Kafe Su. 

    Lalu perasaan itu hilang sekeka saat berada di

    dalam, seper berada di ruang-ruang klasik

    yang ada di lm-lm dengan seng awal abad

    20-an. Sebenarnya saya ingin menyebut at

    Sherlock Holmes dalam adaptasi lm seritahun 2010-nya sebagai perumpamaan dan

     feeling yang paling tepat saat memasuki salah

    satu ruangan kafe tersebut; (sebagian) dinding

    (bercat) merah dan lampu yang temaram. Toh,

    pada akhinya saya memang menyebutkannya.

    Kemudian yang paling membuat kafe ini

    berbeda, bisa jadi sangat menarik atau dak

    sama sekali―tergantung kecenderungan

    untuk sendiri atau beramai-ramai seseorang―,

    berbuku-buku dipajang (tentu dak hanya

    sekedar pajangan saja) di rak kayu yang

    memanjang di separuh beberapa ruangan dan

    di lorong kafe.

    Mungkin hanya perasaan saja, tapi sudut

    peletakan buku-buku itu terkesan sangat

    tepat. Keka melihat sekeliling kita akan

    terpaku pada pajangan buku-buku yang cukup

    banyak untuk ruangan yang cukup kecil. Untuk

    penyuka buku, terlebih pembaca buku-buku, ia

    akan melompat begitu saja dan melihat-lihat

     jika ada buku yang ia sukai, kembali ke meja

    dengan satu-dua buku dan senyum yang lebar.

    Membuka-buka beberapa halamannya,

    terlihat antusias untuk beberapa menit dan

    kemudian menaruhnya lalu tenggelam dalam

    perbincangan yang mengasyikkan. Kecuali ia

    datang sendiri tanpa satupun gadget   yang

    menghambat proses membaca bukunya, bisa

     jadi ia akan―sedaknya―terjebak dalamkesulitan mencerna huruf -huruf itu ke dalam

    kepalanya. Bahkan untuk beberapa kelompok

    yang gemar mengabadikan momen, angle

    yang ajaib bertebaran untuk sekedar berfoto

    bersama. Atau, perpaduan antara lensa

    kamera yang memenuhi syarat, satu cangkir

    (yang secara elegan sangat kecil) espresso

    single  yang pekat, warna cheesecake yang

    kontras, dua buku bertumpuk (atau lebih) di

    sudut meja yang memperlihatkan judul- judul

    asing buku-buku itu, akng yang pas-pasan,

    berbuku-buku tersusun rapih di rak sebagai

    Membaca Buku-Buku Asing di Kafe Su 

    Oleh Fadhilah R. 

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    23/28

     

    23 

    latar belakang dan temaram yang mewah. Saya

    hanya mengatakan, bermacam-macam

    manusia tentu dak dilarang memasuki kafe se

    -sakral  ‘Su’. 

    Berbicara mengenai buku-buku dengan judul-

     judul asing, saya pernah berada di depan rak

    itu untuk beberapa saat, menit. Sebut saja,ensiklopedi, sains, sejarah, ksi, koleksi

    kategori-kategori yang rak itu miliki cukup

    lengkap. Saya seper berada di toko buku-

    buku bekas di daerah Aaba dalam versi lebih

    kecilnya. Saya mencari nama-nama novelis

    favorit (saya) di punggung-punggung buku-

    buku itu. Dengan sedikit berdebar, dalam jarak

    beberapa buku, saya membaca nama Stephen

    King dan segera melompat satu jengkal yang

    sangat pendek. Saya meraih novelnya yang

    berjudul Cujo. Tanpa berlama-lama lagi saya

    segera kembali ke meja dan bergabung dengan

    kawan-kawan untuk memamerkan novel

    temuan yang sudah lama saya cari meski

    mereka tampak dak peduli. Tidak masalah,

    saya tetap membuka halaman-halaman yang

    cukup tua itu. Tragedi pun terjadi. Huruf -huruf

    itu tersusun menjadi kalimat yang dak saya

    menger. Sama sekali. Bahasa Prancis yang

    saya pahami dak lebih dari sekedar menyapa

    ‘Ça va bien? ’ atau berlagak bertanya ‘Tu parles

     français? ’ lalu terdiam begitu saja. 

    Ya, setelah ditertawakan sebagian kawan

    (selebihnya menghina), saya sadar banyak

    buku-buku berbahasa Prancis di rak itu.

    Sebenarnya mengatakan asing, buku-buku di

    rak itu bagi kita tentu asing semua. Inggris,

    Arab dan Prancis, bisa jadi ada bahasa-bahasa

    yang lain. Juga dak mengherankan, dak barupula, kita akan menemukan buku yang kita

    sukai bahkan cari-cari dalam versi Bahasa

    Prancis. Karena Prancis merupakan bahasa

    yang penng di Mesir, sedaknya pernah,

    sebelum Bahasa Inggris menjadi lebih populer.

    Bagi (yang berlagak) turis seper kita, secara

    hakikat, buku-buku itu asing sama sekali. Di

    Indonesia tentu sudah banyak kafe dengan

    konsep buku-buku seper itu, yang pasnya

    buku-bukunya dak asing secara bahasa bagi

    kita. Atau, oke, katakanlah di Mesir juga ada

    kafe-kafe lain yang berkonsep demikian tapi

    saya belum mengetahuinya. Sedaknya untuk

    sebuah sensasi, membaca buku-buku

    (berbahasa) asing di kafe-kafe Mesir yang

    terlanjur terkenal (oleh Masisir) dengan syisa,

    kopi, teh, mentok pesan sahlab dan obrolan-

    obrolan khas ngafe, dak mengecewakan. Yah,

    begitu pula untuk narsisme.Selebihnya mengenai Kafe Su, bertolak

    belakang dengan namanya yang

    merepresentasi ke-zuhud -an, hanyalah

    seberapa banyak Anda mempersiapkan uang

    saku. Bisa jadi nama ‘Su’ dan konsep ruangan

    yang merupakan perpaduan nuansa gok,

    intelek serta merakyat   adalah daya tarik saja.

    Pengelolaannya dak jauh beda kapitalisnya

    dari kafe-kafe semacam Starbuck . Bisa jadi

    penng bisa jadi dak, tapi permbangkan ini,

    membaca buku itu penng, mencoba (belajar)

    membaca buku berbahasa asing untuk

    mahasiswa di luar negeri tentu menjadi sangat

    penng, nongkrong di kafe lumayan penng,

    lebih dari itu semua belajar dari pengalaman

    adalah luar biasa penng. Sedaknya bagi saya

    dan yang sependapat dengan saya, tentu saja.

    Membelanjakan uang saku lebih banyak untuk

    sebuah pengalaman dak terlalu berlebihan,

    bukan?[]

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    24/28

     

    24

    Kamu bercerita tentang hal ini kepadaku:

    tentang orang-orang yang naik ke gunung

    untuk mengambil bongkahan es dan kemudian

    membawanya turun untuk dipersembahkan

    kepada sang Raja. Kamu menceritakannya

    dengan ekspresi ini-adalah-sebuah-cerita-

    yang-hebat. Dan aku malas, untuk yang

    kesekian kalinya, untuk bertanya

    bagaimanakah cerita yang hebat menurutmu

    standarmu. Karna toh , kamu lagi-lagi tidak

    akan menghiraukannya.

    Orang-orang tadi, yang hidup di zaman ba-

    tu, tentu tidak mengenal adanya sebuah

    mesin yang menyerupai almari, yang mampu

    mengubah air menjadi es sebeku batu dan

    membuatnya amat dingin.

    “Lebih dingin dari tatapanmu,” bisikmu

    pelan.

    “Err  “ 

    Aku ingin protes dan kamu seolah-olah tid-

    ak mau peduli dengan apa yang akan aku

    katakan, lalu aku mengurungkan niatku dan

    kembali menyimakmu.

    Orang-orang itu, adalah budak-budak sang

    Raja yang gelar budaknya sudah diwariskan

    secara turun temurun dari para leluhur

    sampai kepada anak cucu mereka nanti.

    “Tentu bagimu ini terdengar amat bodoh.

    Tapi sebagaimana yang kamu tahu, aku tidak

    akan menyampaikannya kepadamu kalau ini

    hanya bualan.” 

    “Err “ Aku ingin mengatakan bahwa be-

    tapapun bodohnya cerita yang kamu bicara-

    kan, aku akan tetap mendengarnya. Tapi,

    kamu meletakkan telunjukmu di puncak

    bibirku.

    Baiklah, aku akan diam, batinku.

    “Aku tahu, kamu pasti ingin protes,

    bagaimana bisa perbudakan diwariskan turun

    temurun. Menjadi budak memang bukan sebuahtawaran yang menggiurkan. Tapi mereka

    semacam tidak memiliki pilihan lain.”

    Kamu menghela napas dan matamu tiba-tiba

    kosong.

    Jenis pilihan seperti apa yang membuat

    seseorang tidak memiliki pilihan lain?

    “Mungkin seperti aku. Aku selalu diberi

    pilihan tapi tidak pernah diberi kesem-

    patan untuk memilih. Mudahnya, jika mem-

    ilih itu kamu dibebaskan untuk menentukan

    mana yang kamu suka dan mana yang tidak

    kamu suka, atau begini, mana yang kamu

    suka dan mana yang lebih kamu suka. Tapi

    aku selalu diberi pilihan dua hal yangsama-sama tidak aku suka. Ya Tuhan, pili-

    han macam apa itu?” 

    Kamu menghela napas setelah mengomel be-

    gitu panjang.

    “Budak-budak itu juga begitu. Mereka

    diberi pilihan: menjadi budak atau

    dibunuh. Dua-duanya nggak  enak.” 

    Aku meletakkan tangan ku di atas tanganmu,

    mengusapnya pelan. Sejujurnya aku ingin

    mengatakan bahwa semua akan baik-baik sa-ja.

    “Tidak, aku tidak marah kepadamu. Aku

    tidak akan melemparmu, em… dengan gelas

    misalnya. Aku hanya terbawa suasana,”

    ucapmu.

    Kamu menegakkan punggungmu, membenahi po-

    sisi duduk.

    ”Mengenai hal bodoh tadi, aku setuju jika

    gelar bodoh itu dialamatkan kepada sang

    Raja. Bukankah aku pernah mengajakmumenonton film The Dictator ? Kalau kamu

    mengingat sosok Aladeen, maka seperti itu-

    lah gambaran sang Raja. Sebagian orang

    menyebutnya sebagai ketololan, dan orang-

    orang yang lebih santun akan menyebutnya

    konyol.” 

    Kamu menatap ke luar jendela.

    “Tentu saja itu bodoh. Meminta orang lain

    untuk mengambil es ke puncak gunung adalah

    suatu kebodohan. Tidakkah kamu berpikir,

    orang-orang yang mempunyai kekuasaan,

     Bukan Cerita yang Berakhir BahagiaOleh Muna Ni ’ amy  

  • 8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106

    25/28

     

    25 

    cenderung menginginkan hal-hal yang bodoh

    dan menyuruh orang untuk melakukan hal-hal

    yang sama bodohnya.” 

    Kamu menghayati kata demi kata yang kamu

    sampaikan, seolah ingin memberi kesan men-

    dalam di kalimat terakhirmu barusan.

    “Hari itu, sang Raja memanggil beberapabudak kepercayaannya;

    ‘Aku ingin sekali meminum sesuatu yang

    dapat membuat tenggorokanku beku.’ 

    ‘Air macam apa itu dan di mana kami dapat

    menemukannya, Yang Mulia?’ 

    ‘Kemarin, seorang saudagar Eropa berkata

    bahwa itu adalah air yang amat dingin,

    berwarna putih, dan bentuknya menyerupai

    kristal-kristal yang amat kecil. Di

    negerinya sana, air itu berceceran di jal-anan. Sayangnya di negeri kita, itu hanya

    bisa ditemukan di puncak gunung.’ 

    ‘Apa nama air itu, Yang Mulia?’ 

    ‘Mereka menyebutnya es.’ 

    Sebetulnya, mereka tahu bahwa yang Raja

    maksud adalah es. Hanya saja, demi mene-

    gakkan asas: Raja harus lebih tahu

    dibandingkan budak dan budak harus lebih

    tidak tahu dibandingkan Raja, maka mereka

    pura-pura bertanya supaya terlihat bo-

    doh.” 

    Kamu membenahi kacamatamu yang mulai melo-

    rot, ciri khas saat kamu mulai antusias

    menceritakan sesuatu.

    “Kamu tahu, dalam cerita-cerita kezali-

    man, pasti akan muncul seorang yang tidak

    memiliki kekuasaan, tapi memiliki ke-

    pandaian dan keberanian. Sayangnya, dalam

    cerita ini, hanya ada budak yang pandai

    tapi tidak memiliki keberanian.

    ‘Yang Mulia, bukankah es akan mencair

    jika terkena panas?’ 

    ‘Apa yang coba kamu bicarakan?’ 

    ‘Maksud saya, kemungkinan besar, saat

    sampai di sini es yang Anda bicarakan itu

    sudah meleleh dan menjadi air biasa, Yang

    Mulia.’ 

    ‘Kamu berani menentang perintahku?’ 

    ‘Maaf, Yang Mulia. Maksud saya ‘ 

    ‘Hentikan omong kosongmu! Bawakan untukku

    es dari puncak gunung. Jangan coba-coba

    menentang!’ 

    Begitulah. Sang Raja murka. Wajahnya merah

    padam, giginya gemeletuk menahan amarah.

    Sebetulnya, itu bukan jenis marah yang

    dapat membuatku takut. Andai waktu itu aku

    ada di sana, menjadi bagian dari para bu-dak tadi, kakiku tidak akan gemetar se-

    bagaimana halnya mereka. Tentu saja, dia

    yang marah, lantas berbicara kepadaku

    dengan bahasa paling sunyi jauh lebih

    menakutkan.” 

    Tiba-tiba sunyi. Kamu menatap lurus,

    seolah pandanganmu dapat menembus bahkan

    meruntuhkan tembok yang menghalangi

    penglihatanmu.

    “Baiklah. Aku harus menyelesaikanceritaku. Bukan saatnya membicarakan

    dia.” 

    Kamu seperti berbicara pada dirimu

    sendiri.

    “Dan budak yang pandai tapi tidak pem-

    berani itu menyesalkan pertanyaannya tadi.

    Karena saat Raja mengatakan ‘Jangan coba-

    coba menentang!’ maka maksudnya ‘Jangan

    sampai gagal atau kupenggal kalian. Berani

    -beraninya mengatakan omong kosong sepertiitu!’

    Waktu itu, siapapun tahu bahwa tidak akan

    ada seorangpun di antara mereka yang akan

    selamat dari pedang algojo. Mereka bisa

    melihat tidak lama lagi ikhtiar mereka

    akan berakhir secara prematur. Es yang

    akan mereka ambil nanti bakal mencair,

    bahkan sebelum mereka sampai di pertenga-

    han jalan.” 

    Kamu melihat ke luar pintu kaca, me-

    mandangi orang-orang yang memperlakukanmu

    seperti tonto