1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang di Kawasan...

22
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Fenomena Pemekaran Wilayah di Negara Berkembang (Kasus Empiris di Kawasan Tembalang) Pertambahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Laju pertumbuhan penduduk yang kian pesat dari tahun ke tahun membawa konsekuensi pada sebuah kota untuk melakukan pemekaran wilayah (perkembangan wilayah), akibat keterbatasan wilayah administratifnya. Kota dan wilayah negara-negara maju secara umum menunjukkan keteraturan dalam pemekaran wilayahnya, sehingga menghasilkan kenyamanan, baik bagi penduduk setempat maupun pendatang. Keteraturan tersebut muncul karena negara maju mampu mengelola pertumbuhan dan perkembangan kota dan wilayah dengan baik, disebabkan adanya dukungan faktor ekonomi, sosial, teknologi, dan tingkat kesadaran masyarakat untuk mewujudkan keteraturan sangat tinggi. Fenomena yang terjadi pada kota dan wilayah di negara-negara berkembang menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang dengan negara maju. Pola ketidakteraturan dan kesemrawutan yang menimbulkan kesan kumuh dan tidak sedap dipandang adalah hal yang sering ditemui di negara berkembang. Walaupun pembangunan di negara berkembang sebenarnya terus berjalan, tetapi hasil pembangunan terlalu lambat untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin

Transcript of 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang di Kawasan...

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Fenomena Pemekaran Wilayah di Negara Berkembang (Kasus Empiris

di Kawasan Tembalang)

Pertambahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti

oleh peningkatan kebutuhan ruang. Laju pertumbuhan penduduk yang kian pesat

dari tahun ke tahun membawa konsekuensi pada sebuah kota untuk melakukan

pemekaran wilayah (perkembangan wilayah), akibat keterbatasan wilayah

administratifnya.

Kota dan wilayah negara-negara maju secara umum menunjukkan

keteraturan dalam pemekaran wilayahnya, sehingga menghasilkan kenyamanan,

baik bagi penduduk setempat maupun pendatang. Keteraturan tersebut muncul

karena negara maju mampu mengelola pertumbuhan dan perkembangan kota dan

wilayah dengan baik, disebabkan adanya dukungan faktor ekonomi, sosial,

teknologi, dan tingkat kesadaran masyarakat untuk mewujudkan keteraturan

sangat tinggi.

Fenomena yang terjadi pada kota dan wilayah di negara-negara berkembang

menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang dengan negara maju. Pola

ketidakteraturan dan kesemrawutan yang menimbulkan kesan kumuh dan tidak

sedap dipandang adalah hal yang sering ditemui di negara berkembang. Walaupun

pembangunan di negara berkembang sebenarnya terus berjalan, tetapi hasil

pembangunan terlalu lambat untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin

2

besar jumlahnya, sehingga muncul berbagai permasalahan berikut ini (Daldjoeni,

1998):

a. Muncul permukiman-permukiman kumuh yang dihuni masyarakat dengan

tingkat pendapatan rendah. Munculnya permukiman kumuh ini karena

masyarakat tidak mampu membeli rumah yang harganya sangat mahal.

Akibatnya, keindahan kota tidak terlihat.

b. Muncul pusat-pusat kejahatan. Pusat-pusat kejahatan biasanya tersebar pada

daerah yang padat dan tidak tertata dengan baik.

c. Muncul paradoks, ada bangunan mentereng dengan gedung-gedung megah,

tetapi di sisi lain menghasilkan permukiman yang padat dan kumuh.

Kesenjangan ini berupa munculnya wilayah dengan kemajuan tinggi, tetapi di

sisi lain ada wilayah mengalami stagnasi atau “kemandegan”. Kesenjangan ini

muncul karena persebaran penduduk tidak merata yang menyebabkan proses

pembangunan tidak merata antar wilayah.

d. Muncul wilayah-wilayah yang menampakkan sebagai kawasan yang seolah-

olah tidak tersentuh proses pembangunan, yang dikenal sebagai daerah terisolir

atau terpencil.

Beberapa kota di Indonesia, telah melakukan perluasan wilayah menjadi

beberapa bagian, yang merupakan bagian wilayah kota (BWK) berbentuk

kecamatan atau bahkan telah tumbuh menjadi sebuah provinsi baru yang BWK-

nya berbentuk kota atau kabupaten. Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu

contoh daerah terpadat di Indonesia, pada awalnya membagi wilayahnya menjadi

empat bagian kota, kemudian pada tahun 2002 telah memekarkan wilayahnya

3

sampai ke Kepulauan Seribu yang berbentuk kabupaten. Data dari Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Provinsi DKI Jakarta,

pada bulan Juli 2010 Provinsi DKI Jakarta telah tumbuh menjadi enam BWK

dengan jumlah penduduk mencapai 8.525.109 jiwa.

Kota Semarang sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia juga

mengalami pemekaran wilayah. Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini pada tahun

2002 memiliki jumlah penduduk sebesar 1.350.005 jiwa (BPS Kota Semarang,

2003), dan beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006 menjadi 1.433.699

jiwa atau mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 1,01 persen (Sutarip, 2006).

Konsekuensinya, Kota Semarang diharuskan memekarkan wilayahnya, semula

hanya 9 kecamatan menjadi 16 kecamatan. Hasil sensus penduduk pada tahun

2011 menunjukkan bahwa Kota Semarang adalah kota terpadat di Provinsi Jawa

Tengah dengan jumlah penduduk 1.544.358 orang (BPS dan Bappeda Kota

Semarang, 2012).

Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu kota

yang saat ini dituntut untuk berkembang seperti kota-kota besar lain di Indonesia.

Perkembangan Kota Semarang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dalam bidang perdagangan, industri, pendidikan maupun kebudayaan yang

memiliki kecenderungan ke arah selatan kota. Hal ini disebabkan oleh kondisi

topografi kota Semarang yang memiliki daerah atas (Semarang atas) dan daerah

bawah (Semarang bawah).

Pemekaran wilayah yang terjadi di Kota Semarang sebagai bentuk antisipasi

laju pertumbuhan penduduk, ternyata berpengaruh terhadap dunia pendidikan.

4

Universitas Diponegoro sebagai salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang

yang semakin meningkat jumlah mahasiswanya dari tahun ke tahun, memiliki

keterbatasan lahan untuk memperluas wilayah kampus, terutama lahan yang

terletak di Semarang bawah, yaitu di daerah Pleburan. Sebagai solusi, UNDIP

memiliki kebijakan untuk membagi kegiatan perkuliahan di dua tempat, yaitu di

Semarang bawah (daerah Pleburan) dan Semarang atas, tepatnya di Kawasan

Tembalang.

Pemilihan Kawasan Tembalang sebagai lokasi kegiatan perkuliahan karena

peruntukan yang sesuai dengan tata ruang Kota Semarang, yaitu sebagai daerah

pengembangan pendidikan (Pemkot Semarang, 2011). Selain memiliki fungsi

utama sebagai daerah pengembangan pendidikan, dalam Perda Kota Semarang

Nomor 14 Tahun 2011 juga dinyatakan bahwa BWK VI dan BWK VII

merupakan daerah sub pusat pelayanan kota dan pusat lingkungan, yang

dilengkapi dengan sarana lingkungan perkotaan skala pelayanan BWK yang

meliputi sarana perdagangan dan jasa, sarana kesehatan, sarana peribadatan, dan

sarana pelayanan umum.

Kawasan Tembalang terletak di sebelah selatan Kota Semarang dengan jarak

+ 12 km dari pusat kota, mencakup dua kecamatan, yaitu sebagian Kecamatan

Tembalang dan sebagian Kecamatan Banyumanik (BWK VI dan BWK VII).

dengan ketinggian 200-250 meter dari permukaan laut dan mempunyai hawa

relatif sejuk sehingga sangat cocok untuk pengembangan fasilitas pendidikan,

perumahan, dan permukiman (Pemkot Semarang, 2000).

5

Kondisi awal Kawasan Tembalang sebelum tahun 1980 merupakan lahan

hijau berupa pertanian dan perkebunan penduduk yang berfungsi sebagai kawasan

konservasi sebagai daerah peresapan air. Terdapat beberapa anak sungai yang

mengalir di wilayah Tembalang, dengan manfaat sebagai sistem muara drainase

kawasan dan salah satu sumber air.

Areal persawahan dan perkebunan di Kawasan Tembalang, mulai berubah

menjadi lahan terbangun sejak dimulai pembangunan tahap awal kampus UNDIP,

yaitu pada tahun 1980-an (Samadikun, 2005). Pada dekade awal ini (1980-1990),

Pemerintah Kota Semarang juga sudah mulai membangun prasarana dan

sarana di daerah ini. Selain sudah ada rumah-rumah penduduk asli, sebuah

komplek perumahan sebagai tempat bermukim telah dibangun oleh Pemerintah

Kota Semarang, yaitu Perumahan Daerah (Perumda), sebagai perintis/embrio

munculnya kawasan perumahan yang lainnya.

Kegiatan pembangunan dan perkuliahan UNDIP pada dekade awal telah

menjadi generator pembangunan di Kawasan Tembalang. Daerah yang semula

rural (perdesaan) berangsur-angsur mulai tumbuh menjadi daerah sub urban (sub

kota/bagian wilayah kota).

Fasilitas pendukung kegiatan pendidikan seperti rumah kos (sewa kamar),

rental komputer, warung makan, fotokopi serta fasilitas lainnya juga banyak

bermunculan pada periode 1990-2000. Kemunculan berbagai fasilitas pendukung

yang sangat berperan penting bagi kehidupan mahasiswa tersebut,

perkembangannya dari tahun ke tahun menimbulkan pengaruh yang cukup besar

6

terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya, baik kondisi lingkungan abiotik, biotik,

maupun culture (budaya).

Perubahan yang paling mencolok tampak mulai tahun 1996, karena pada

tahun tersebut UNDIP mulai melakukan kegiatan yang sifatnya administratif

(kegiatan rektorat, dekanat, dan sebagainya) maupun akademik (perkuliahan, dan

sebagainya) di Kawasan Tembalang ini secara menyeluruh, terutama untuk

fakultas-fakultas eksakta, seperti Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, dan sebagainya. Fakultas non eksakta seperti Fakultas

ISIP, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, baru memulai kegiatan administrasi

dan perkuliahan di tahun 2010 (Samadikun, 2005).

Penelitian oleh Samadikun (2005) yang dilakukan secara in-depht interview,

menunjukkan sebanyak 89% responden menyatakan bahwa sejak ada kampus

UNDIP sudah terjadi perubahan di lingkungan tempat tinggal mereka. Perubahan

ini mencakup jaringan jalan, listrik, dan komunikasi yang sudah semakin baik

secara kualitas maupun kuantitas. Sarana perumahan dan perniagaan juga terus

berkembang dan tumbuh menjamur di sekitar kampus Tembalang.

Berkembangnya sarana perumahan dan perniagaan di sekitar kawasan

kampus, ditinjau dari sisi ekonomi merupakan hal yang positif, karena keberadaan

kampus dianggap sebagai generator pemicu munculnya kegiatan perekonomian di

sekitar kampus, yang dapat meningkatkan kondisi finansial masyarakat di

sekitarnya. Tetapi ditinjau dari sisi lingkungan, perkembangan sarana perumahan

dan perniagaan yang sedemikian cepat dan tidak terkontrol menyebabkan dampak

negatif.

7

Samadikun (2005) menyatakan bahwa aspek ekonomis yang melekat pada

perumahan di sekitar kampus, menyebabkan rumah mengalami perubahan

ataupun penambahan fungsi, semula hanya berfungsi sebagai rumah tinggal kini

menjadi rumah usaha. Sebagian besar rumah yang ada, sudah berfungsi ganda

sebagai rumah tinggal sekaligus tempat usaha (mixed use function). Munculnya

perubahan serta penambahan fungsi rumah menyebabkan terjadinya renovasi fisik

pada sebagian besar rumah di daerah Tembalang. Bentuk renovasi ini berupa

perluasan bangunan baik bertingkat maupun melebar ke samping, yang

menyebabkan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) untuk peresapan

air hujan.

Hasil penelitian Samadikun (2005) diperkuat oleh penelitian yang

dilakukan oleh Hartini dkk. (2008), yang melakukan digitasi terhadap citra

Quickbird dan IKONOS. Dari hasil digitasi ini, dapat diketahui telah terjadi

konversi RTH di Kecamatan Tembalang dalam kurun waktu lebih kurang lima

tahun (2003-2007). Pada tahun 2003, luas RTH adalah 2.736,84 hektar menjadi

2.488,73 hektar pada tahun 2007, sehingga luas RTH telah berkurang 248,11

hektar (9,07% ). Ada perbedaan/perubahan penggunaan lahan antara tahun 2003

sampai dengan tahun 2007, yaitu munculnya jenis penggunaan lahan yang baru.

Perbandingan/perubahan luas jenis penggunaan tanah sebagaimana disajikan

dalam Tabel 1.1 berikut.

8

Tabel 1.1 Perubahan Penggunaan Lahan 2003-2007

Jenis Penggunaan Luas (Ha) Perubahan

Tahun 2003 Tahun 2007 Luas (Ha) Persentase

Ruang Terbuka Hijau:

a. Fasilitas Olah Raga

b. Hutan

c. Jalur Hijau

d. Konservasi

e. Lapangan Tembak TNI AD

f. Makam

g. Pertanian

2.736,84

70,16

267,60

6,77

378,20

0

93,10

1.921,00

2.488,73

70,16

252,43

6,44

352,44

- 16,29

92,08

1.698,90

-248,11

0,00

-15,18

-0,33

-25,76

+16,29

-1,02

-222,11

9,07

0,00

5,67

4,73

6,81

100,00

1,10

11,56

Non Ruang Terbuka Hijau :

a. Perumahan

b. Lahan Terbuka

c. Lain-lain

1.317,72

17,46 73,21

1.395,75 182,91 77,85

+78,03

+165,44

+4,63

5,92

947,54

6,32

Sumber: Hartini dkk., 2008

Penelitian yang dilakukan oleh Budiati (2006) menyebutkan bahwa aktivitas

perubahan tata guna lahan di DAS Babon segmen hulu (Kecamatan Banyumanik)

dan tengah (Kecamatan Tembalang), telah menyebabkan terjadinya dampak

negatif di segmen hilir (Kecamatan Genuk dan Sayung), yaitu: perubahan

fluktuasi debit, peningkatan sedimentasi dan erosi, pendangkalan sungai dan

penyempitan aliran Sungai Babon, yang pada akhirnya menimbulkan dampak

terjadinya banjir di segmen hilir.

Berbagai permasalahan yang berkembang di Kawasan Tembalang, hingga

saat ini belum mendapatkan penanganan yang serius dari Pemerintah Kota

Semarang. Hasil penelitian dari Samadikun (2005), Budiati (2006), dan Hartini

dkk. (2008), adalah bukti nyata bahwa konversi lahan di kawasan ini telah

menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, yang berarti bahwa daya dukung

lingkungan (daya dukung lahan) di wilayah ini telah terlampaui. Daya dukung

lingkungan suatu wilayah menjadi faktor penting yang harus diperhatikan agar

9

proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berkelanjutan, dalam arti mampu

memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi

mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu setiap upaya

pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan haruslah

berwawasan lingkungan (Soemarwoto, 1994).

1.1.2 Infrastruktur Hijau

Associated General Contractors of America (AGCA, 1982) menyatakan

bahwa infrastruktur adalah sebuah sistem fasilitas publik, pembiayaannya dapat

berasal dari publik maupun swasta, yang disediakan untuk pelayanan berbagai

kebutuhan penting demi keberlanjutan standar kehidupan. Istilah infrastruktur ini

sangat identik dengan jalan raya, saluran drainase, jaringan listrik, dan

infrastruktur “abu-abu” lainnya, seperti rumah sakit, sekolah, serta berbagai

infrastruktur sosial. Kini, di era pemanasan global dan perubahan iklim, beberapa

orang (ahli) dan berbagai organisasi mulai membicarakan tipe infrastruktur yang

mengkritisi keberlanjutan dan pertumbuhan masyarakat, dikenal sebagai

infrastruktur hijau (green infrastructure).

Benedict dan MacMahon (2001) adalah tokoh yang mencetuskan

infrastruktur hijau untuk pertama kali. Menurut pendapat mereka, pengembangan

infrastruktur hijau dapat mendukung kehidupan masyarakat, menjaga proses

ekologis, keberlanjutan sumber daya air dan udara bersih, serta memberikan

sumbangan kepada kesehatan dan kenyamanan masyarakat.

10

Konsep infrastruktur hijau sejalan dengan “konsep keberlanjutan”

sebelumnya, yaitu sebuah konsep yang disampaikan secara resmi pada tahun 1987

oleh World Comission on Environment and Development (WCED) yang disebut

sebagai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep

ini dirumuskan dalam dokumen berjudul Our Common Future atau dikenal

dengan Bruntland Report, sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa

kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang

(Baiquni, 2002).

Infrastruktur hijau sebagian besar telah berhasil diterapkan di negara-

negara maju bila dibanding dengan negara yang masih berkembang. Salah satu

alasan diterapkannya konsep infrastruktur hijau ini adalah sebagai usaha antisipasi

terhadap perubahan lingkungan yang kian tidak menentu saat ini. Beberapa negara

maju Eropa yang telah menerapkan infrastruktur hijau ini di antaranya : Austria,

Portugal, Jerman, Croasia, Hongaria, Belanda, dan Yunani (European

Environmental Bureau, 2008). Kondisi perekonomian yang sudah relatif mapan,

komitmen yang kuat dari pemegang kebijakan, dan keterpaduan dari berbagai

pihak (pemerintah,swasta, maupun masyarakat) adalah faktor-faktor pendukung

yang memudahkan implementasi infrastruktur hijau di negara-negara maju

tersebut.

Cynthia Girling dari Sekolah Arsitektur dan Arsitektur Lansekap

Universitas British Columbia (2008) dalam tulisannya berjudul Green

Infrastructure in Calgary’s Mobility Corridors menyatakan bahwa untuk

merealisasikan sebuah proyek infrastruktur hijau yang bernama Proyek

11

imagineCalgary, dukungannya mencakup lebih dari 18 ribu penduduk, dan ini

berasal dari semua pihak (pemerintah,swasta, dan masyarakat umum).

Peningkatan peran dan keterlibatan masyarakat di Indonesia mulai

dikembangkan seiring dengan bergulirnya era desentralisasi dan demokratisasi

sejak tahun 1998. Era desentraliasi dan demokratisasi memberi kesempatan bagi

timbulnya sinergi pemerintah daerah dan masyarakat di bidang perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan termasuk di dalamnya pengelolaan lingkungan (Hadi,

2001). Permasalahan yang terjadi di Indonesia, pengelolaan lingkungan belum

dapat berjalan dengan baik, akibat belum terciptanya tata pemerintahan yang baik

(good governance). Dalam kelembagaan, institusi yang mengelola lingkungan

dipandang tidak penting (Hadi, 2001).

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan

Kawasan Tembalang akibat berkembangnya UNDIP. Walaupun berdampak

positif terhadap pertumbuhan infrastruktur di Kawasan Tembalang dan sekitarnya,

tetapi tidak sedikit dampak negatif yang dirasakan, terutama terhadap lingkungan.

Jumlah penduduk yang kian bertambah, turut memberikan andil dalam

peningkatan konversi lahan (lahan terbuka menjadi lahan terbangun) di kawasan

ini.

Dalam konteks lokal, konversi lahan telah menyebabkan terjadinya

degradasi lingkungan, yang berarti bahwa daya dukung lingkungan (daya dukung

lahan) di wilayah ini telah terlampaui. Dalam konteks regional, kondisi di

12

Tembalang telah menyebabkan terjadinya dampak negatif di segmen hilir

(Kecamatan Genuk dan Sayung).

Infrastruktur hijau, sebagai salah satu alternatif solusi konservasi lahan,

walaupun telah berhasil diterapkan di beberapa negara maju, tetapi belum terlihat

nyata di negara berkembang seperti Indonesia. Masalah kelembagaan, sering

menjadi kendala utama dalam penerapannya. Dipilihnya Tembalang sebagai

daerah penelitian, dianggap sebagai salah satu contoh riil bagian wilayah kota

(BWK) dengan perkembangan sangat cepat, tetapi kebijakan pemerintah ada

ternyata belum dapat mengantisipasi berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Berangkat dari beberapa hal yang telah dikemukakan, permasalahan utama

yang terjadi di Kawasan Tembalang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kawasan Tembalang yang semula daerah perkebunan/pertanian dan perdesaan,

dalam waktu begitu cepat (30 tahun terakhir) terjadi konversi lahan yang begitu

dahsyat; walaupun perencanaan dan pengendalian dari Pemerintah Kota

Semarang sudah ada, tetapi ternyata belum efektif dalam mengantisipasi kondisi

yang berkembang. Berdasarkan perumusan masalah tersebut dapat disusun

pertanyaan penelitian:

Bagaimana membangun sebuah model pengelolaan infrastruktur hijau dengan

mempertimbangkan kondisi daya dukung lahan (kemampuan lahan) dan kondisi

eksisting infrastruktur hijau beserta para stakeholder (pemangku kepentingan) di

Kawasan Tembalang?

13

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu hal-hal yang telah diuraikan di latar belakang dan perumusan

masalah, maka tujuan penelitan ini adalah :

1. Mengkaji kondisi daya dukung lahan (kemampuan lahan) dengan

mempertimbangkan faktor demografi penduduk.

2. Mengkaji kondisi eksisting infrastruktur hijau di Kawasan Tembalang

3. Menyusun model pengelolaan infrastruktur hijau di Kawasan Tembalang

dengan mempertimbangkan daya dukung lahan dan kondisi eksisting

infrastruktur hijau beserta para pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada

didalamnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi, baik berupa

pertimbangan maupun masukan terhadap perumusan kebijakan pengembangan

wilayah, khususnya pengembangan infrastruktur yang berbasiskan kondisi daya

dukung lahan di kawasan BWK (Bagian Wilayah Kota) yang di dalamnya

terdapat kawasan pendidikan.

Manfaat teoritik, penelitian ini diharapkan dapat lebih memperkaya

kaidah-kaidah ilmu lingkungan, terutama yang terkait dengan daya dukung lahan

dengan pertimbangan kondisi demografi penduduk, infrastruktur berkelanjutan,

dan juga membuka kesempatan bagi penelitian lanjutan untuk lebih

mengembangkan model yang dihasilkan dari penelitian ini.

14

1.5 Keaslian Penelitian

Beberapa studi dan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh para

peneliti serta terkait dengan penelitian peneliti, untuk dijadikan sebagai

pembanding dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Penelitian Peneliti

No. Nama Peneliti, Tahun,

Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. Grigg, N.S., 1994

Infrastructure

Management: U.S. And

Japanese Systems

Contrasted

Membandingkan sistem

pengelolaan infrastruktur di AS

dan Jepang dengan mengkaji

sistem pendekatan pengelolaan

infrastruktur di Jepang.

Studi banding dengan

observasi lapangan

Pembelajaran bagi Amerika

dari penerapan sistem

pengelolaan infrastruktur

Jepang :

Berinvestasi dlm infrastruktur

walau dilanda masalah

ekonomi; mengintegrasikan

pengambilan keputusan;

perbaikan koordinasi dan

kerjasama; menggalakkan

kerjasama sektor swasta-

publik; mempermudah

prosedur; efisiensi dan

demokratisasi dalam

pengambilan keputusan;

belajar dari sistem pengelolaan

pekerjaan umum di Jepang.

2. Choguill, Charles L, 1996.

Ten Steps to Sustainable

Infrastructure

Mengkaji perkembangan

infrastruktur, menyangkut

pelayanan dasar terhadap

masyarakat kota dalam hal

penyediaan air, pengelolaan

sanitasi, drainase, dan sampah

di negara berkembang.

Studi kasus dengan

review literatur

10 model prinsip sebagai cara

untuk memenuhi kebutuhan

lokal yang ramah lingkungan

dan berkelanjutan

3. Wright, D.W., 1996.

Infrastructure Planning

and Sustainable

Development

Mengkaji bagaimana

perencanaan dan pembangunan

kota;

Mengkaji penerapan metode

pada saat ini apakah sudah

cukup memadai untuk

pembangunan berkelanjutan;

Mengkaji bagaimana metode

pada saat ini dapat diubah

dalam rangka menghadapi

pembangunan berkelanjutan.

Studi kasus dengan

analisis kualitatif

Semua usaha perencanaan dan

pembangunan kota untuk

mencapai pembangunan

berkelanjutan membutuhkan

kerjasama sektor publik

maupun swasta;

Kerjasama yang penuh inovasi

dan efisiensi diperlukan untuk

menciptakan kesempatan

dalam rangka perlindungan

aset lingkungan dan

pertumbuhan ekonomi;

Perubahan falsafah oleh para

insinyur dalam pengaturan

kebijakan dan birokrat dapat

membantu sektor publik dan

privat untuk menghadapi

tantangan pembangunan

berkelanjutan.

15

4. Benedict, M.A., Allen, W.L.

dan McMahon, E.T., 2004

Advancing Strategic

Conservation In The

Commonwealth Of Virginia

Using a Green Infrastructure

Approach to Conserving and

Managing the

Commonwealth’s Natural

Areas, Working Landscapes,

Open Space, and Other

Critical Resources

Memberikan gambaran tentang

keuntungan menggunakan pendekatan infrastruktur hijau

untuk konservasi stratejik beserta

saran-saran dan rekomendasi untuk

melakukan perlindungan

sumberdaya alam yang bernilai dan

lansekap yang digunakan sebagai

lahan kerja.

Interview terhadap tokoh

kunci dan pihak-pihak terkait di negara bagian dan

analisis terhadap data

digital

Beberapa studi terhadap

pengembangan lahan dan konservasi di Virginia

menunjukkan bahwa pendekatan

yang sembarangan tidak efektif

dalam melindungi sumberdaya

alam dan budaya;

Terdapat banyak inisiatif

konservasi yang patut dipuji dalam

berbagai aktivitas skala lokal

maupun regional di negara bagian

Virginia;

Tantangan yang dihadapi adalah

mengatur hal-hal yang sudah berlangsung melalui pendekatan

yang sistematik, stratejik, dan

menyeluruh.

5. Rachmawati, R., Rijanta, R.,

dan Subanu, L.P., 2004.

Peranan Kampus sebagai Pemicu Urbanisasi Spasial di

Pinggiran Kota Yogyakarta.

Mengetahui peran kampus dlm menimbulkan terjadinya urbanisasi

spasial di pinggiran kota;

Mengetahui faktor-faktor yg mempengaruhi perbedaan tingkat

kemampuan kampus dalam

menimbulkan

trjadinya urbanisasi spasial.

Metode penelitian survei (Interview) dan analisis

data sekunder.

Keberadaan kampus menjadi magnit bagi urbanisasi spasial;

Kegiatan selain kampus dan

kecenderungan perkembangan kota menjadi faktor lain sebagai pemicu

urbanisasi spasial.

6. Senawi, 2006.

Analisis Kemampuan dan

Daya Dukung Lahan untuk

Penatagunaan Lahan Subdas Dengkeng DAS Bengawan

Solo

Mengetahui kemampuan dan daya

dukung lahan untuk penatagunaan lahan di Sub-DAS Dengkeng

Analisis kemampuan lahan

dilakukan secara matching per satuan lahan hasil

overlay peta kemiringan

lahan jenis tanah

Sub-DAS Dengkeng memiliki

enam kelas kemampuan lahan dan telah mengalami tekanan penduduk

dengan nilai daya dukung lahan

tahun 2004, 2007, dan 2012 mengalami penurunan.

7. Hartini, S., Harintaka, dan

Istarno, 2008.

Analisis Konversi Ruang

Terbuka Hijau Menjadi

Penggunaan Perumahan di

Kecamatan Tembalang Kota

Semarang

Menghitung sebaran RTH di Kec.

Tembalang, Kota Semarang dalam

kurun waktu 2003-2007; Menghitung konversi RTH ke

penggunaan perumahan di Kec.

Tembalang, Kota Semarang

periode 2003-2007;

Menghitung proyeksi konversi

RTH pada tahun 2010.

Analisis spasial dan non

spasial, didukung kajian

pustaka.

Konversi RTH di Kec. Tembalang

secara umum

9,07%,perumahan 2,68 %, tertinggi di Kel. Tembalang;

Luas RTH Kec.Tembalang tahun

2003 adalah 2.736,84 ha, menjadi

2.488,73 ha pada tahun

2007,terjadi penurunan 248,11 ha

(9,07%). Konversi RTH menjadi

pemukiman 73,43 ha (29,59%),

ruang terbuka 165.44 ha (66,68%),

lain-lain 4.63 ha (1,87%),4,61 ha (1,86%) tetap sebagai RTH;

Perkembangan kec. Tembalang

lebih cepat daripada kec. Banyumanik, Gunung Pati dan

Mijen.

8. Mansor, M., dan Said, I.,

2008.

Green Infrastructure Network

as Social Spaces for Well-

Being of Urban Residents in

Taiping, Malaysia

Melihat peran dari infrastruktur

hijau sebagai ruang sosial dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan penduduk kota di Taiping

Interview menggunakan

kuesioner dengan

pertanyaan terbuka dan tertutup

Karakteristik dan pengalaman

penduduk kota terhadap jaringan

hijau ternyata berakibat sangat progresif pada kondisi fisik,

kognitif, dan fungsi sosial dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan.

9. Mell, I.C., 2008.

Green Infrastructure: Concept

and Planning

Menguji beberapa penelitian yang

memiliki hubungan dengan ide-ide

yang mendukung perencanaan

infrastruktur hijau

Menilai dan me-review hal-

hal yang melatarbelakangi

konsep infrastruktur hijau

dan proyek-proyek yang

menerapkan konsep

tersebut

Penemuan dan pengembangan rencana

infrastruktur hijau di masa yang akan

datang dapat mengembangkan

pengutamaan profil.Melalui profil ini,

bukti-bukti dasar dan kriteria-kriteria

dapat dikembangkan sebagai solusi bagi

kesehatan, perubahan iklim, dan

regenerasi (keberlanjutan lingkungan).

Lanjutan Tabel 1.2

16

10. Metin, Sinem, 2008.

Using Green Infrastructure To

Shape The Urban

Environment The Case Study

Of The Trinity River Design

Guidelines, Dallas, TX

Menentukan identitas fisik koridor

Sungai Trinity sebagai taman kota 9 mil, jalur banjir, dan proyek

perbaikan transportasi yang

menjadi tonggak utama

transformasi Dallas pusat (TX)

menjadi sebuah daerah mixed-use

dan lingkungan transit-oriented.

Studi kasus, observasi,

dengan teknik rendering.

Adanya sebuah guideline sebagai

strategi untuk mewujudkan infrastruktur hijau dalam rangka

pembentukan kembali kota

sebagai lingkungan berkelanjutan.

11. Samadikun, B.P.,2014.

Pemodelan Pengelolaan Infrastruktur Hijau

Kasus: Kawasan Tembalang

Semarang

Mengkaji kondisi daya dukung

lahan di wilayah penelitian;

Mengkaji kondisi eksisting infrastruktur;

Menyusun model kelembagaan

infrastruktur hijau di wilayah penelitian.

Metode penelitian

observasi, dengan

wawancara menggunakan interview guide dan FGD.

Data dianalisis secara

kuantitatif dan kualitatif.

Diketahui daya dukung lahan di

wilayah penelitian;

Diketahui kondisi eksisting infrastruktur hijau;

Diketahui bentuk model

pengelolaan infrastruktur hijau di wilayah penelitian.

Topik penelitian ataupun studi pada Tabel 1.2 membahas mengenai

berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian peneliti baik secara langsung

maupun tidak langsung, yaitu pengelolaan infrastruktur, keterkaitan infrastruktur

dengan pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan infrastruktur, ruang terbuka

hijau, dan juga infrastruktur hijau.

Penelitian yang dilakukan oleh Grigg (1994), Choguill (1996), dan Wright

(1996) adalah penelitian dengan kajian utama infrastruktur. Grigg lebih

menitikberatkan pada pengelolaan infrastruktur, sedangkan Choguill dan Wright

menitikberatkan pada perencanaan infrastruktur di sebuah wilayah urban yang

terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

Grigg melakukan studi perbandingan sistem pengelolaan infrastruktur di

negara maju, yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dengan mengkaji sistem

pendekatan pengelolaan infrastruktur di Jepang. Banyak hal dari penerapan sistem

pengelolaan infrastruktur Jepang yang dapat diambil sebagai pembelajaran untuk

Amerika Serikat. Wright melakukan studinya juga pada negara maju, yaitu di

Amerika Serikat, dan menemukan bahwa semua usaha perencanaan dan

pembangunan kota untuk mencapai pembangunan berkelanjutan membutuhkan

Lanjutan Tabel 1.2

17

kerjasama sektor publik maupun swasta, yang harus dilakukan dengan penuh

inovasi dan efisiensi. Choguill (1996) melakukan studi di negara berkembang

(Kenya, Srilanka), dan menyarankan 10 model prinsip sebagai cara untuk

memenuhi kebutuhan lokal yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Benedict, Allen, dan McMahon (2004), Mansor dan Said (2008), Mell

(2008), serta Metin (2008) melakukan studi dengan kajian utama infrastruktur

hijau. Infrastruktur hijau ini adalah sebuah kerangka pemikiran baru yang sangat

strategis untuk mengkonservasi lahan yang dari tahun ke tahun terus mengalami

alihfungsi dan degradasi.

Benedict dkk. (2004) melakukan studinya di negara-negara

persemakmuran Virginia, dengan melakukan interview terhadap tokoh-tokoh

kunci dan pihak-pihak terkait di negara bagian Virginia dan melakukan analisis

terhadap data-data digital. Mereka menemukan bahwa pendekatan yang

sembarangan tidak efektif dalam melindungi sumberdaya alam dan budaya. Selain

itu di negara-negara bagian Virginia ternyata telah terdapat banyak inisiatif

konservasi yang patut mendapatkan pujian dan dapat dijadikan contoh dalam

berbagai aktivitas skala lokal maupun regional.

Mansor dan Said (2008) melakukan penelitian tentang infrastruktur hijau di

Kota Taiping Malaysia dengan melihat peran dari infrastruktur hijau sebagai

ruang sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan penduduk kota di Taiping.

Dengan teknik interview menggunakan kuesioner berisi pertanyaan terbuka dan

tertutup, Mansor dan Said menemukan kesimpulan bahwa karakteristik dan

pengalaman penduduk kota terhadap jaringan hijau ternyata berakibat sangat

18

progresif pada kondisi fisik, kognitif, dan fungsi sosial dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan penduduk Taiping Malaysia.

Mell, I.C. (2008) melakukan sebuah studi tentang konsep dan perencanaan

infrastruktur hijau dengan menguji beberapa penelitian yang memiliki hubungan

dengan ide-ide yang mendukung perencanaan infrastruktur hijau. Dari studinya,

Mell menyarankan untuk penemuan dan pengembangan rencana infrastruktur

hijau di masa yang akan datang dapat mengembangkan pengutamaan profil,

sehingga bukti-bukti dasar dan kriteria-kriteria dapat dikembangkan sebagai solusi

bagi kesehatan, perubahan iklim, dan regenerasi (keberlanjutan lingkungan).

Sebuah praktek perencanaan pembangunan dengan menerapkan

infrastruktur hijau, telah dilakukan dengan sangat baik oleh Metin pada tahun

2008. Mengambil studi kasus di koridor Sungai Trinity Dallas, dengan teknik

observasi dan rendering, Metin dapat menentukan identitas fisik koridor Sungai

Trinity sebagai taman kota 9 mil, jalur banjir, dan proyek perbaikan transportasi

yang menjadi tonggak utama transformasi Dallas pusat (TX) menjadi sebuah

daerah mixed-use dan lingkungan transit-oriented. Selain itu Metin berhasil

membuat sebuah guideline (pedoman) sebagai strategi untuk mewujudkan

infrastruktur hijau dalam rangka pembentukan kembali kota Dallas sebagai

lingkungan berkelanjutan.

Selain penelitian dengan topik bahasan utama infrastruktur, ada beberapa

penelitian lain yang juga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Beberapa penelitian terkait tersebut yaitu penelitian yang dilakukan Rachmawati

dkk. (2004), Senawi (2006), dan juga Hartini dkk. (2008).

19

Rachmawati dkk. menitikberatkan pada peran kampus dalam menimbulkan

terjadinya urbanisasi spasial di pinggiran kota dan mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi perbedaan tingkat kemampuan kampus dalam menimbulkan

terjadinya urbanisasi spasial. Dengan melakukan interview terhadap mahasiswa di

tiga kampus yang berbeda, didukung dengan analisis data sekunder, Rachmawati

menemukan bahwa keberadaan kampus menjadi magnit bagi urbanisasi spasial.

Selain itu ditemukan pula bahwa kegiatan selain kampus dan kecenderungan

perkembangan kota menjadi faktor lain sebagai pemicu urbanisasi spasial.

Senawi melakukan analisis terhadap kemampuan dan daya dukung lahan

untuk penatagunaan lahan di Sub-DAS Dengkeng. Dengan melakukan analisis

terhadap kemampuan lahan dilakukan secara matching per satuan lahan hasil

overlay, Senawi mendapatkan sebuah temuan bahwa Sub-DAS Dengkeng

memiliki enam kelas kemampuan lahan dan telah mengalami tekanan penduduk

dengan nilai daya dukung lahan yang terus menurun dari tahun ke tahun.

Hartini dkk. melakukan kajian terhadap sebaran RTH dan konversi RTH ke

penggunaan perumahan di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang dalam kurun

waktu 2003-2007. Selain itu juga dikaji proyeksi konversi RTH pada tahun 2010.

Dengan menggunakan analisis spasial dan non spasial, didukung kajian pustaka,

Hartini dkk. menemukan bahwa konversi RTH menjadi permukiman tertinggi

terjadi di Kelurahan Tembalang dan diketahui pula bahwa Perkembangan

Kecamatan Tembalang lebih cepat daripada Kecamatan Banyumanik, Gunung

Pati dan Mijen.

20

Berdasarkan perbandingan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti

terdahulu (nomor 1 – 10) dan penelitian peneliti (nomor 11), peneliti

berkeyakinan bahwa penelitian yang dilaksanakan di Kawasan Tembalang ini

adalah penelitian yang berbeda dari penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, baik mencakup jenis-jenis kajian yang dilakukan, metode penelitian

yang dilakukan dan hasil penelitian yang didapatkan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Materi

Materi pembahasan dalam penelitian ini secara garis besar adalah sebagai

berikut :

1. Daya dukung lingkungan wilayah penelitian, yang dinilai berdasarkan

besarnya daya dukung lahan di wilayah penelitian. Daya dukung lahan

dihitung dari kebutuhan lahan per kapita (ketersediaan lahan/ruang yang

dibutuhkan untuk beraktivitas) atau dihitung berdasarkan luasan lahan dibagi

dengan jumlah penduduk eksisting. Hasil perhitungan digunakan sebagai

acuan untuk menentukan ambang batas kawasan dengan menggunakan kriteria

yang dikemukakan Yeates (1980). Dalam penilaian daya dukung ini dengan

melihat perkembangan jumlah penduduk dalam 30 tahun terakhir untuk

melihat tren perubahannya.

2. Penilaian kondisi eksisting infrastruktur hijau dilakukan dengan mengadakan

observasi terhadap kondisi eksisting aset-aset infrastruktur untuk kemudian

dinilai berdasarkan Grey-green Continuum (rangkaian kesatuan hijau-kelabu).

21

Aspek ekonomi tidak turut dibahas dalam penelitian ini. Aset-aset yang dinilai

di antaranya:

a. transportasi, meliputi: kondisi jalan (jalan raya, jalan lingkungan),

ketersediaan transportasi publik, kemudahan aksessibilitas, dan

ketersediaan ruang terbuka hijau (jalur hijau) di sekitar jalan;

b. air bersih dan air limbah, meliputi: cara mendapatkan sumber air bersih,

kondisi drainase rumah tinggal, lingkungan, dan jalan raya;

c. pengelolaan sampah, meliputi: ketersediaan tempat sampah, proses

pemilahan sampah, kondisi tempat sampah, ketersediaan armada/petugas

pengangkut sampah;

d. bangunan, meliputi : kondisi bangunan, rasio lahan terbangun dan terbuka,

sempadan bangunan, ketersediaan pepohonan dan ruang terbuka hijau di

sekitar bangunan.

3. Penyusunan model pengelolaan infrastruktur hijau di wilayah penelitian,

dilakukan dengan melihat lembaga/organisasi/kelompok masyarakat yang

sudah ada, terutama yang terkait dengan kebijakan pengelolaan lingkungan di

kelurahan/kecamatan; untuk kemudian disusun secara lebih melembaga

kedalam sebuah struktur berbentuk model konsepsual .

1.6.2 Ruang Lingkup Spasial

Ruang lingkup wilayah studi didasarkan pada tingkat keterpengaruhan

daerah di Kawasan Tembalang yang masih dapat merasakan dampak dari adanya

kampus UNDIP Tembalang, khususnya beberapa kelurahan di Kecamatan

22

Tembalang (BWK VI) yaitu Kelurahan Tembalang dan Kelurahan Bulusan, serta

beberapa kelurahan di Kecamatan Banyumanik (BWK VII), yaitu Kelurahan

Sumurboto dan Kelurahan Pedalangan. Jika dapat dibuat sebuah pengandaian

Kawasan Kampus UNDIP adalah sebuah inti (pusat) dari sebuah magnet, maka

beberapa kelurahan di sekitar UNDIP adalah daerah yang masih dapat merasakan

efek dari magnet tersebut dengan radius sekitar dua kilometer (2 km).

Dasar pemilihan beberapa kelurahan tersebut dimaksudkan agar dapat

merepresentasikan permasalahan yang ada di Kawasan Tembalang secara

keseluruhan, terutama pertumbuhan kondisi infrastrukturnya sejak sebelum ada

kampus UNDIP hingga saat ini. Penjelasan lengkap akan diuraikan lebih lanjut

pada Bab III.