07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember...

download 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember 2013.pdf

of 4

Transcript of 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember...

  • 8/17/2019 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember 2013.pdf

    1/4

    97

    HASIL PENELITIAN

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

     Trauma merupakan penyebab utama

    kematian dan kecacatan di dunia. Tingkatkematian (mortality rate) kasus trauma lebih

    tinggi pada negara-negara berpenghasilan

    menengah ke bawah, hal ini berhubungan

    dengan penggunaan transportasi bermotor,

    kurang maksimalnya pembangunan jalan,

    dan sistem penanganan trauma yang

    terbatas. Secara statistik, lebih banyak yang

    berakhir dengan kecacatan baik sementara

    maupun permanen. Statistik gabungan

    kasus trauma akibat jatuh dan kecelakaan

    lalu lintas, mendapatkan angka antara

    1000-2600/100.000 jiwa per tahun pada

    negara-negara berpenghasilan menengah

    ke bawah. Di negara-negara berpenghasilan

    tinggi angka ini hanya sekitar 500/100.000 jiwa per tahun.1  Indonesia termasuk negara

    berkembang dengan jumlah penduduk

    miskin 28,59 juta orang (11,66 %) pada

    bulan September 2012 dan sebagian besar

    berpendidikan rendah.3  Menurut WHO

    (2007), di antara negara-negara se-Asia

     Tenggara, Indonesia ada di urutan pertama,

    dengan 37.438 kematian atau sekitar 16,2

    per 100.000 penduduk.4

    Fraktur merupakan kondisi yang banyak

    ditemui pada trauma muskuloskeletal.

    Berdasarkan Riskesdas (2007) penderita

    patah tulang sebanyak 43.808 kasus atau

    4,5% kasus cedera di Indonesia.5

      Sebagianbesar kasus ditangani oleh dokter umum,

    perawat, ataupun paramedis yang terbatas

    kemampuannya dan dengan fasilitas yang

    kurang memadai untuk penanganan awal.

    Pasien biasanya datang ke pusat pelayanan

    kesehatan rujukan sudah dalam keadaan

    fraktur ekstremitas dengan mal-united, un-

    united, infected, atau  mal-positioned.1  Di

    Indonesia, pasien trauma muskuloskeletal,

    terutama fraktur, kebanyakan masih memilih

    pengobatan patah tulang tradisional.6

    ABSTRAK

     Trauma merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Neglected fracture adalah fraktur dengan atau tanpa

    dislokasi yang tidak ditangani atau ditangani tidak semestinya, sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan penanganan atau kondisi

    yang lebih buruk, bahkan kecacatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui spektrum penderita neglected fracture  di RSUD dr.

    Abdoer Rahem pada periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013. Jenis penelitian ini observasional deskriptif. Semua penderita

    neglected fracture yang dioperasi di ruang OK Bedah Pusat RSUD dr. Abdoer Rahem dijadikan sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

     jumlah penderita neglected fracture  di RSUD dr. Abdoer Rahem sebanyak 26 orang. Dominasi penderita laki-laki, usia produktif, status

    ekonomi rendah dilihat dari kelas pelayanan II dan III, lokasi fraktur di femur, dan komplikasi malunion serta nonunion.

    Kata kunci: Neglected fracture, studi deskriptif observasional, kelas pelayanan, lokasi fraktur, komplikasi

    ABSTRACT

     Trauma is the primary cause of death and disabi lity in the world. Neglected fracture is a case of fracture which may, or may not be 

    accompanied by dislocation which is not treated or treated poorly that eventually leads to a late management or worse condition, or

    even a disability. This is an observational descriptive research to determine the spectrum of neglected fracture cases in RSUD dr. Abdoer

    Rahem between 1 January 2012 to 31 December 2013. All neglected fracture cases operated in RSUD dr. Abdoer Rahem were included as

    samples. There were 26 neglected fracture cases in the RSUD dr. Abdoer Rahem between 1 January 2012 to 31 December 2013, mostly male, in

    productive age, low-economical status indicated from the service-class of II and I II, most cases involve femur with malunion and nonunion as

    the most common complication. Adhinanda Gema Wahyudiputra, Haris Dwi Khoirur, Rizki Adrian Hakim, M Rosyid Narendra. Spectrum

    of Neglected Fracture Cases in RSUD dr. Abdoer Rahem, Januari 2012 - Desember 2013.

    Keywords: Neglected fracture, descriptive observational research, service-class, fracture location, complication

     Alamat korespondensi email: [email protected]

    Spektrum Penderita Neglected Fracture  

    di RSUD dr. Abdoer Rahem –Januari 2012 s/d Desember 2013

     Adhinanda Gema Wahyudiputra, Haris Dwi Khoirur,Rizki Adrian Hakim, M Rosyid Narendra

    RSUD dr. Abdoer Rahem, Situbondo, Jawa Timur, Indonesia

  • 8/17/2019 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember 2013.pdf

    2/4

    98

    HASIL PENELITIAN

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    Gambaran Pasien

    Dari 26 penderita neglected fracture, 20

    orang (76,92%) laki-laki dan 6 orang (23,08%)

    perempuan. Sebanyak 1 orang (3,85%) berusiakurang dari 24 tahun, 24 orang (92,5%) berusia

    dewasa atau produktif, dan 1 orang (3,85%)

    lanjut usia. Umur rata-rata penderita neglected

    fracture  adalah 36,38 tahun. Sebanyak 10

    orang (38,46%) masuk kelas I, 1 orang (3,85%)

    masuk pelayanan kelas 2, sisanya 15 orang

    (57,69%) masuk pelayanan kelas 3 ( Tabel 1 ).

    Dari 26 orang penderita tersebut, sebagian

    besar (69,23%) pasien mengalami neglected

    fracture  di ektremitas bawah, yaitu femur,

    tibia, dan fibula, sebanyak 30,76% pasien me-

    ngalami neglected fracture  pada ekstremitas

    atas. Perinciannya dapat dilihat di tabel 2.

    Sebanyak 12 orang (46,155%) mengalami

    komplikasi nonunion, 12 orang (46,155%)

    mengalami komplikasi malunion, dan 2

    orang (7,69%) mengalami komplikasi infeksi

    (Tabel 3).

    PEMBAHASAN

    Dari 26 orang penderita neglected fracture  di

    RSUD dr. Abdoer Rahem periode 1 Januari

    2012 hingga 31 Desember 2013, lebih

    banyak penderita berjenis kelamin laki-

    laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Aries,

    dkk. di mana pasien yang telah menjalani

    pengobatan oleh dukun patah tulang dan

    kembali lagi untuk berobat ke rumah sakit

    53,33% laki-laki dan 46,67% perempuan,10 

    pada penelitian Eze KC (2012) sebanyak  

    53,89% laki-laki,11  dan pada penelitian

    Dada A, et al . (2007) sebanyak   57% laki-laki.9

    Data Riskesdas (2007) juga menghasilkanprevalensi penderita patah tulang laki-laki

    lebih besar daripada perempuan.6 Penelitian

    Moesbar (2007) menunjukkan hasil yang

    sama, penderita neglected fracture  akibat

    kecelakaan didominasi laki-laki, yaitu 283

    pasien (70,57%).12 Hal ini dapat terjadi karena

    laki-laki secara umum bekerja dan memiliki

    mobilitas tinggi, sehingga lebih berisiko

    menderita trauma yang menyebabkan patah

    tulang, termasuk neglected fracture. Penelitian

    Donaldson, dkk. (1990) dengan jumlah sampel

     jauh lebih besar, yaitu 23.276, menunjukkan

    hasil serupa yang disebabkan oleh faktor-faktortertentu, antara lain: olahraga, industri, dan

    kecelakaan lalu lintas; sedangkan pada usia

    yang lebih tua didominasi oleh perempuan.13

    Pada penelitian ini terdapat dominasi pen-

    derita berusia 15-64 tahun atau usia produktif

    (92,5 %). Pada penelitian Aries, dkk. (2007)

    prevalensi penderita neglected fracture 

    terbesar pada umur di atas 40 tahun, yaitu

    sebesar 53,33%.10 Dominasi penderita berusia

    15-64 tahun ini sesuai data Riskesdas (2007),

    yaitu 28,2%.4  Hal ini dapat disebabkan karena

    Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi

    adalah fraktur dengan atau tanpa dislokasi

    yang tidak ditangani atau ditangani tidak

    semestinya, sehingga menghasilkan keadaanketerlambatan penanganan atau kondisi

    lebih buruk, bahkan kecacatan.2 Pasien-pasien

    trauma patah tulang di Indonesia kebanyakan

    masih memercayakan pengobatannya pada

    pengobatan patah tulang tradisional, karena

    dianggap lebih terjangkau dalam hal biaya

    dan jarak, dan menghindari tindakan bedah

    yang invasif .7  Pasien sering datang ke dokter

    bedah tulang setelah gagal di pengobatan

    patah tulang tradisional dengan keadaan

    patah tulang yang mengalami komplikasi.

    Pada penelitian di RSCM dan RS Fatmawati,

    Jakarta, Februari – April 1975, neglected fracture

    adalah penanganan patah tulang pada

    ekstremitas  (anggota gerak) yang salah oleh

    bone setter (dukun patah tulang).2  Lebih dari

    50% komplikasi pada pengobatan fraktur oleh

    traditional bone setter   (pengobat patah tulang

    tradisional) adalah malunion, 25% nonunion,

    sisanya delayed union, gangren, kekakuan

    sendi, Volksman’s  ischaemic contracture, dan

    tetanus. Hanya satu di antara 36 orang (2,8%)

    yang tidak memiliki keluhan dan puas dengan

    pengobatan patah tulang tradisional.8  Hasil

    pengobatan patah tulang tradisional sering

    kali buruk, bahkan disertai kecacatan.9

    Penelitian ini dilakukan mengingat di Indo-

    nesia data neglected fracture yang datang ke

    rumah sakit masih sedikit.

    METODOLOGI

    Penelitian ini menggunakan metode obser-

    vasional deskriptif untuk mengetahui

    spektrum penderita neglected fracture  di

    RSUD dr. Abdoer Rahem. Populasi penelitian

    ini adalah semua (total sampling) penderita

    neglected fracture  periode Januari 2012-

    Desember 2013 yang dioperasi di ruang

    Bedah Pusat RSU dr. Abdoer Rahem danmemiliki rekam medis yang tercatat di dalam

    sistem informasi manajemen RSUD dr. Abdoer

    Rahem, Situbondo, dengan jenis fraktur, jenis

    kelamin, usia, tingkat pendidikan, komplikasi,

    dan status ekonomi yang dilihat dari kelas

    pelayanan.

    HASIL 

    Berdasarkan data terdapat 26 pasien neglected

    fracture, terdiri dari 11 kasus (42,31%) pada

    tahun 2012 dan 15 kasus (57,69%) pada

    tahun 2013.

    Tabel 1.  Karakteristik Pasien Neglected Fracture  di RSUD

    dr. Abdoer Rahem, Situbondo, 1 Januari 2012 hingga 31

    Desember 2013

    Variabel

    Frekuensi

    absolut

    (orang)

    Proporsi

    Jumlah penderita

      Tahun 2012  Tahun 2013 1115 42,31 %57,69 %

    Jenis Kelamin

      Laki-laki

      Perempuan

    20

    6

    76,92%

    23,08%

    Usia

    0-14 tahun

    15-64 tahun

    ≥ 65 tahun

    1

    24

    1

    3,85%

    92,5 %

    3,85%

    Kelas Pelayanan

      I

      II

      III

    10

    1

    15

    38,46%

    3, 85%

    57, 69%

    Tabel 2. Distribusi dan Proporsi Lokasi Anatomis Fraktur

    Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo 1

    Januari 2012 hingga 31 Desember 2013

    Variabel

    (Lokasi Anatomis)

    Frekuensi

    absolut

    (orang)

    Proporsi

    Humerus 3 11,53 %

    Radius 2 7,69%

    Ulna 1 3,85%

    Radius dan ulna 2 7,69%

    Femur 10 38,46%

     Tibia 2 7,69%

     Tibia dan fibula 5 19,23%

    Digiti IV dan Vmanus

    1 3,85%

    Tabel 3. Distribusi dan Proporsi Pasien Neglected Fracture 

    dengan Komplikasi di RSUD dr. Abdoer Rahem, Situbondo,

    1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2013.

    Variabel

    Frekuensi

    absolut

    (orang)

    Proporsi

    Komplikasi Fraktur

    Nonunion

    Malunion

    Infeksi

    12

    12

    2

    46,155%

    46,155%

    7,69%

  • 8/17/2019 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember 2013.pdf

    3/4

    99

    HASIL PENELITIAN

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    usia 15-64 tahun merupakan usia produktif,

    sebagian besar bekerja dan memiliki mobilitas

    tinggi, sehingga meningkatkan risiko trauma.

    Kebanyakan penderita dirawat di kelas

    pelayanan III (57,69%) diasumsikan dengan

    status ekonomi lebih rendah. Pasien dengan

    status ekonomi rendah cenderung memilih

    atau menggunakan terapi yang mudah

    dicapai, murah, dan tidak invasif, yaitu

    ke dukun patah tulang.6  Green (1999)

    menyatakan bahwa pengobatan dengan

    biaya tinggi, keterjangkauan fasilitas, dan

    ahli yang terbatas tetap menjadi peng-

    halang utama pasien dengan status ekonomi

    rendah untuk berobat ke rumah sakit.14 

    Angka neglected fracture  yang cukup tinggi

    pada penderita kelas pelayanan I dapat

    disebabkan karena kultur masyarakat yang

    lebih memercayakan pengobatan patah

    tulang pada dukun patah tulang. Penelitian

    Nwachukwu (2011) menyatakan bahwa

    alasan pasien lebih memilih berobat ke

    dukun patah tulang karena lebih familiar  

    daripada pengobatan dokter bedah tulang.

    Bahkan, banyak yang menyarankan untuk

    tidak berobat ke dokter bedah tulang karena

    kebanyakan pasien kembali dalam keadaan

    kehilangan anggota tubuh atau terpasang

    logam dalam tubuhnya.15

    Sebanyak 18 orang (69,23%) pada penelitian

    ini mengalami fraktur ekstremitas bawah,

    di mana jumlah terbesar yaitu 10 orang

    menderita neglected fracture  di femur. Hal ini

    sesuai penelitian Aries, dkk. (2007) dengan

    persentase terbesar neglected fracture  di

    femur, yaitu 33,33%.10  Hal ini dapat terjadi

    karena efek disabilitas fraktur femur yang

    besar sehingga mendorong pasien yang

    gagal di dukun tulang untuk ke dokter. Hal ini

    sesuai penelitian Sanders, dkk. (2008) bahwa

    fraktur femur meninggalkan disabilitas yang

    besar, bahkan setelah operasi.16

    Pada penelitian ini 12 orang (46,155 %)

    mengalami komplikasi nonunion, 12 orang

    (46,155 %) mengalami komplikasi malunion,

    dan sisanya 2 orang (7,69%) mengalami

    komplikasi infeksi. Hal ini sesuai dengan

    penelitian Onuminya (2004) di Nigeria yang

    mendapatkan bahwa komplikasi yang sering

    terjadi pada pasien neglected fracture  setelah

    berobat di dukun tulang, yaitu nonunion,

    malunion, traumatic osteomyelitis, dan

    gangren kaki.17  Pada penelitian Dada, et al .

    di Nigeria (2011) komplikasi paling utama,

    yaitu malunion  dan nonunion  meliputi

    16,1% kasus.9  Hasil serupa pada penelitian

    OlaOlorun, dkk.(2001), di mana lebih dari

    50% komplikasi pengobatan fraktur oleh

    traditional bone setter   (pengobatan patah

    tulang tradisional) adalah malunion, 25%

    nonunion, sisanya delayed union, gangren,

    kekakuan sendi, Volksman’s  ischaemic

    contracture, dan tetanus.8

    Sebenarnya biaya terapi lebih awal di

    rumah sakit lebih rendah daripada di dukun

    patah tulang, hal tersebut ditemukan

    pada penelitian Dada, et al . (2011) bahwapengobatan oleh tenaga kesehatan ahli

    membutuhkan biaya lebih sedikit dari-

    pada di dukun patah tulang.9  Dapat di-

    asumsikan bahwa kepercayaan masyarakat,

    kurangnya pengetahuan, dan masalah biaya

    menyebabkan sebagian besar masyarakat

    Indonesia masih memilih dukun patah tulang

    sebagai pilihan pertama dalam mengobati

    patah tulang.  Beberapa penelitian di Afrika

    menyatakan perlunya pelatihan dan edukasi

    pada dukun patah tulang untuk mengurangi

    komplikasi. Eze KC (2012) menyatakan bahwa

    pendidikan serta pelatihan kepada dukunpatah tulang merupakan kunci mengurangi

    komplikasi dan komorbiditas.11  Hal yang

    sama disampaikan oleh Dada, et al . (2011)

    dan Nwachukwu (2011) bahwa perlu ada

    keterlibatan dukun patah tulang tradisional

    ke dalam sistem kesehatan, sehingga mereka

    dapat lebih terlatih dan terkontrol agar dapat

    meningkatkan kualitas pelayanan trauma

    muskuloskeletal.9,15  Penulis berpendapat

    bahwa hal tersebut bisa menjadi salah satu

    solusi untuk mengurangi kasus neglected

    fracture,  selain mengedukasi masyarakat

    mengenai pentingnya pengobatan patah

    tulang oleh tenaga kesehatan profesional.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Jumlah penderita neglected fracture  terutama

    laki-laki. Sebagian besar pada usia produktif

    (92,5%), dan menggunakan pelayanan kelas

    III (57,69%). Lokasi anatomis neglected fracture 

    sebagian besar di femur (38,46 %). Malunion 

    dan nonunion  merupakan komplikasi

    yang tersering ditemukan (masing-masing

    46,155%). Perlu penelitian lebih lanjut dengan

     jumlah sampel lebih banyak dan periode

    lebih lama agar dapat memperoleh spektrum

    penderita neglected fracture lebih baik.

    Penderita neglected fracture  dapat di-

    kurangi melalui peran serta pemerintah

    meningkatkan kesadaran masyarakat agar

    tertib dan berhati-hati berkendara; edukasi

    masyarakat tentang patah tulang dan

    neglected fracture, serta penanganan patah

    tulang oleh tenaga kesehatan profesional,

    dalam hal ini dokter bedah ortopedi.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Jain AK, Kumar S. Neglected musculosceletal injury. Ch.1: Neglected Musculoskeletal Injuries—Magnitude of Problem. Jaypee digital. 2011.

    2. Kawiyana KS, Reksoprodjo S. Neglected fracture in Cipto Mangunkusumo and Fatmawati hospital Jakarta. Maj. Orthopaedi Indon. 1985; 11(2):20-8.3. Badan Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik No 06/01/th.XVI, 2 Januari 2013.

    4. World Health Organization. Global health observatory data repository: Mortality road traffi c death 2007 [Internet]. 2011 [cited 2012 Jan 30]. Available from: www.who.int.en.

    5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. 2008 Desember.

    6. Handayani L, Suparto H, Suprapto A. Traditional system of medicine in Indonesia. In: Chaudhury RR, Rafei UM, eds. Traditional Medicine in Asia. WHO; 2001. p. 47-68.

    7. Notosiswoyo M. Research on traditional bone healing in Cimande. Jakarta: Center of Noninfectious Research and Development, National Institute of Health Research and Development,

    MOH, Republic of Indonesia; 1992.

    8. OlaOlorun DA, Oladiran IO, Adeniran A. Complication of fracture treatment by traditional bonesetter in southwest Nigeria. Farm Pract. 2001 (Dec);18(6):635-7.

    9. Dada AA, Yinusa W, dan Giwa SO. 2011. Review of the practice of traditional bone setting in Nigeria. Afr Health Sci. 2011 Juni;11(2):262-5.

    10. Aries MJ, Joosten H, Wegdam HJ, van der Geest S. Fracture treatment by bonesetters in central Ghana: Patients explain their choices and experiences. Trop.Med. Internat. Health

    2007;12(4):564-74.

    11. Eze KC. 2012. Complication and co-morbidities in radiograph of patients in traditional bone setters homes in Ogwa, Edo State, Nigeria : A community-based study. Eur J Radiol. 2012

    Sep;81(9):2323-8.

  • 8/17/2019 07_225Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem-Januari 2012 sd Desember 2013.pdf

    4/4

    100

    HASIL PENELITIAN

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    12. Moesbar N. Pengendara dan penumpang sepeda motor terbanyak mendapat patah tulang pada kecelakaan lalu lintas. Pidato Pengukuhan Guru besar USU. Medan: Universitas Sumatera

    Utara; 2007.

    13. Donaldson LJ, Cook A, Thomson RG. Incidence of fractures in geographically- defined population. J Epid Commun Health 1990;44:241-5.

    14. Green S. Orthopaedic surgeons: Inheritors of tradition. Clinical Orthopaedics and Related Research 1999;363: 258-63.

    15. Nwachukwu BU, Okwesili IC, Harris MB, Katz JN. Traditional bonesetters and contemporary orthopaedic fracture care in a developing nation: Historical aspects, contemporary status and

    future directions. The Open Orthopaedic J. 2011; 5:20-6.

    16. Sanders DW, Mackleod M, Charyk-Stewart T, Lydestad J, Domonkos A, Ttieszer C. Functional outcome and persistent disability after isolated fracture of the femur. Can J Surg.

    2008(Oct);51(5):366-70.

    17. Onuminya JE. The role of the traditional bonesetter in primary fracture care in Nigeria. S.Afr Med J. 2004(Aug);.94(8):652-8.