04_BAB I Pelayanan Publik
description
Transcript of 04_BAB I Pelayanan Publik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi dewasa ini salah satu tantangan besar yang dihadapi
oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah adalah bagaimana menampilkan
aparatur yang profesional, memiliki etos kerja yang tinggi, keunggulan kompetitif
dan kemampuan memegang teguh etika birokrasi dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dan memenuhi aspirasi masyarakat serta terbebas dari Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme (KKN).
Tantangan tersebut merupakan hal yang beralasan mengingat secara
empirik masyarakat di daerah menginginkan agar aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas-tugasnya dapat bekerja secara optimal yang akhirnya dapat
memberikan pelayanan yang terbaik terhadap masyarakat. (Drs. Agus Suryono,
MS : 1995).
Tumpuan dan harapan itu lebih tertuju pada aparatur pemerintah daerah
mengingat mereka merupakan wakil dari pemerintah pusat untuk menjalankan
roda pemerintahan. Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang baik
dituntut aparatur pemerintah yang profesional, hal ini merupakan prasyarat dalam
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan kualitas pelayanan yang akan diberikan
kepada masyarakat.
1
Pentingnya profesionalisme aparatur pemerintah sejalan dengan bunyi Pasal
3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang
menyatakan bahwa : “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintah dan pembangunan.
Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam
melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing-
masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai porsi, objek,
bersifat terus-menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka
waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Suit Almasdi, 2000 : 99).
Hal di atas dipertegas kembali oleh Thoha (2000:1) bahwa untuk
mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi, setiap organisasi mau
tidak mau harus adaptif terhadap perubahan organisasi. Birokrasi yang mampu
bersaing dimasa mendatang adalah birokrasi yang memiliki sumberdaya manusia
berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai keterampilan dan keahlian.
Salah satu harapan masyarakat (selaku konsumen pelayanan) adalah
menginginkan pelayanan yang adil dan merata. Bentuk pelayanan yang adil dan
merata, hanya dimungkinkan oleh kesiapan psikologis birokrat pemerintah yang
senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan sosial (social change) dan
dinamika masyarakat sebagai sasaran pelayanannya. Dalam konteks ini pelayanan
menjadi kewajiban dan tanggungjawab birokrasi dalam mengadopsi perubahan
2
dan kebutuhan sosial yang berdasarkan atas profesionalisme dan nilai-nilai
kemanusian.
Pembangunan suatu sistem pemerintahan yang layak dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain pemerintahan yang layak harus didasari oleh birokrasi
yang profesional. Birokrasi yang profesional adalah suatu pemerintahan yang
bersih, transparan (keterbukaan) dan bertanggungjawab. Pemerintahan kita
dirasakan belum memenuhi kriteria bersih, transparan dan bertanggungjawab
karena birokrasi pemerintahannya tidak profesional, dan tidak netral, seperti
misalnya masih banyaknya praktek-praktek KKN.
Kemudian muncul asumsi menarik yang dipertanyakan, apakah budaya
aparatur mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi kerja pelayanan
publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi? Jika
yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan status quo dalam
organisasi birokrasi. Namun, jika yang kedua muncul maka akan tercipta
perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. (Sondang P.
Siagian, 1995).
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang
nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam
organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota
organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi;
menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi;
3
menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi;
menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi
(birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi;
menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional
antara organisasi dan semua aparat terlibat di dalamnya; membantu menciptakan
stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku
sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku
para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan
tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu
membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi;
mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang
bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan
sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan
simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses dari kinerja organisasi (birokrasi)
tentu dipengaruhi oleh budaya dan budaya kerja aparatur atau pegawainya.
Keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Penilaian atas
kualitas pelayanan yang diberikan pada setiap aparatur cenderung beraneka ragam
karena mereka datang dari kelompok sosial, etnis, dan agama yang berlainan.
Hofstede mengatakan dalam analisisnya mengenai orang Indonesia, yang
mempunyai High Power Distance dan mempunyai low individualism. ini terjadi
4
dimana posisi seseorang sangat menentukan juga landasan agama sangat kuat
dalam menentukan sesuatu keputusan dibandingkan dengan negara barat.
Sedangkan Endang Purwanti mengatakan tentang Masyarakat Indonesia dan
kebudayaannya, dimana pada dasarnya merupakan tayangan besar dari kehidupan
bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada
masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan
standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan (Purwanti, Jurnal
Penelitan Universitas Muhamadiyah Malang).
Merujuk kepada pendapat E.B.Tylor (1871) bahwa kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, perlu nampaknya dikaitkan
dengan budaya aparatur pemerintah kecamatan. Hal ini penting karena ada
keterkaitan dan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dan pada akhirnya
mempengaruhi persepsi pelayanan masyarakat.
Sedikitnya ada lima dimensi yang berpengaruh terhadap mutu suatu
pelayanan sebagaimana diuraikan Kolter (1994) yaitu : Tengible (berwujud),
Reability (keandalan), Resvonsiveness (ketanggapan), Assurance
(jaminan/keyakinan) dan Emphaty (empati), ini pun memiliki keterkaitan dengan
persepsi pelayanan kunjungan dari masyarakat.
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
membnerikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka
5
mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena
senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki
keaneka ragaman kepentingan dan tujuan.
Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk
melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut,
seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pelayanan publik, proses pelaksanaannya selalu memakan waktu
yang cukup lama dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya
berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.
Padahal sejak era reformasi bergulir, pemerintah sudah berkomitmen untuk
melakukan sistem pelayanan publik yang lebih profesional, dan hal ini sudah
sering disampaikan pejabat daerah sebagai wujud kewajiban pemerintah yang
sekaligus sebagai hak masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari
peranan sumber daya manusia (Rachbini, 2002:198).
Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,
peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah
6
daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan
daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No.
32/2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan
sekaligus diberi tanggungjawab yang lebih besar untuk mempercepat laju
pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal itu, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah
mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun
kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu
perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan
fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam
kerangka azas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam
kerangka azas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, camat dalam menjalankan
tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada
bupati/walikota.
Kecamatan merupakan line office dari pemerintah daerah yang berhadapan
langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas membina desa/kelurahan
harus pula diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebagai
sebuah organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh
dinamika, kecamatan mengalami banyak masalah sebagai organisasi administratif.
Masalah yang dihadapi juga lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan
dengan masalah yang bersifat politik. Kompleksitas masalah yang dihadapi
berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat
7
heterogenitasnya (asal usul, pendidikan, umur, kemapuan ekonomi) banyaknya
desa/kelurahan bawahan.
Pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai di lingkungan organisasi
pemerintahan kecamatan pada dasarnya berlangsung dalam kondisi pegawai
sebagai manusia, suasana batin dan psikologis seorang pegawai sebagai individu
dalam masyarakat organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar
pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaannya. Suasana batin itu terlihat dalam
semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi
bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja.
Seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good governance,
tuntutan akan pelayanan publik yang berkualitas juga menjadi semakin besar.
Pemerintah merespon tuntutan ini dengan menetapkan tahun 2004 sebagai tahun
peningkatan pelayanan publik. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai
kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan, seperti misalnya pelayanan
prima dan standar pelayanan minimal. Akan tetapi perbaikan kualitas masih
belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Kondisi tersebut selaras dengan hasil penelitian Ismail Nurdin di
Pemerintah Kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota Jambi. Nurdin menilai,
proses pemberian layanan oleh aparat pemerintah seringkali terjebak pada
pandangan “etic”, yang mengutamakan pandangan keinginan mereka sendiri
daripada pandangan “emic”, yakni pandangan dari mereka yang menerima jasa
layanan pemerintah.
8
Karenanya, dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perilaku aparatur,
komunikasi birokrasi dan kualitas pelayanan publik dipersepsikan oleh
masyarakat masih berada pada taraf cukup. Dan ternyata faktor yang dominan
mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah perilaku aparatur dan komunikasi
birokrasi yang ditampilkan oleh aparatur maupun birokrasi di lingkungan
Pemerintah Kota Jambi khususnya aparatur kecamatan di lingkungan Kota Jambi.
Oleh karena itu Pemerintah Kota maupun Pemerintah Kecamatan perlu berupaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat melalui :
Sementara di Kabupaten Cianjur sendiri, dari 32 kecamatan yang ada,
hampir seluruhnya belum menerapkan budaya kerja yang baik. Akibatnya,
kualitas pelayanan kepada publik menjadi kurang maksimal. Karenanya,
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
kecamatan di Kabupaten Cianjur dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang
menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat (seperti
pelayanan pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan
Akta Kelahiran masih belum seperti yang diharapkan.
Hal tersebut diakibatkan oleh sejumlah faktor di lapangan. Budaya aparatur
kecamatan kerap mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Citra negatif tersebut sebagaimana dikemukakan Drs. H. Tohari Sastra, M.Si
(Kepala Bagian Pemerintah Pemkab Cianjur) disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain, Sumber Daya Manusia (SDM) aparat kecamatan masih relatif rendah,
9
fasilitas atau sarana dan prasarana yang ada, seperti komputer masih sangat
kurang, dan dana atau anggaran yang ada masih sangat minim.
Karenanya, masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan
budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh
dalam waktu panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap,
dan perilaku serta peradaban bangsa. Budaya aparatur pemerintah dapat diawali
dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja,
sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan.
Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi
pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhinya. Unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi
aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu
bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dianggap sebagai upaya baru
untuk mengkaji strategi yang diterapkan oleh aparatur kecamatan dalam
memberikan pelayanan publik melalui peningkatan budaya kerja aparatur
kecamatan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aparatur di tingkat
kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan.
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam
sebuah tesis yang berjudul, ”Pengaruh Budaya Aparat Kecamatan Terhadap
Persepsi Pelayanan Masyarakat Di Kabupaten Cianjur,”
10
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitiannya
dirumuskan sebagai berikut :
1. Seberapa besar pengaruh Power Distance (jarak kekuasaan) aparat
kecamatan terhadap pelayanan masyarakat?
2. Seberapa besar pengaruh Individualism/Collectivism (Individualisme/
Keloktivitas) aparat kecamatan terhadap pelayanan masyarakat ?
3. Seberapa besar pengaruh Masculinity/Femininiy (Maskulini/Feminim)
aparatur kecamatan terhadap pelayanan masyarakat?
4. Seberapa besar pengaruh Uncertanity Avoidance (Sikap yang
menghindari ketidak-pastain) aparat kecamatan terhadap pelayanan
masyarakat ?
5. Seberapa besar pengaruh Term Orientation (Orientasi waktu) aparat
kecamatan terhadap pelayanan masyarakat ?
1.3 Tujuan Penelitian
1 Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Power Distance (jarak
kekuasaan) aparat kecamatan terhadap pelayanan msyarakat.
2 Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Individualism/Collectivism
(Individualisme/Keloktivitas) yang berbeda di Kabupaten Cianjur.
3 Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan
aparatur kecamatan yang memiliki Masculinity/Femininiy
11
(Individualisme/Keloktivitas) aparat kecamatan terhadap pelayanan
masyarakat.
4 Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Uncertanity Avoidance
(Sikap yang menghindari ketidak-pastain) aparat kecamatan terhadap
pelayanan masyarakat..
5 Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Term Orientation
(Orientasi waktu) aparat kecamatan terhadap pelayanan masyarakat.
1.4Manfaat Penelitian
Terkait dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat :
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan dan telaahan, kajian dan analisa bagi pengembangan
teoritik dan konsep ilmiah yang memiliki relevansi dengan
profesionalisme aparatur pemerintah.
b. Sebagai sarana pembanding bagi dunia ilmu pengetahuan dalam
memperkaya informasi tentang pengaruh budaya terhadap kinerja,
motivasi, pengalaman kerja, dan sikap loyal.
c. Menambah khasanah pustaka studi Manajemen, khususnya tentang
kebijakan publik
12
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah di
Kabupaten Cianjur dalam upaya peningkatan kinerja aparat
pemerintahan di masa mendatang.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintahan kecamatan
khususnya lima kecamatan dengan penduduk terpadat dalam upaya
peningkatan kinerjanya di masa datang.
c. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dan saran-
saran pertimbangan yang bersifat praktis bagi Pemerintah Kecamatan di
Kabupaten Cianjur guna meningkatkan profesionalisme para
aparaturnya dalam melaksakan tugas dan fungsinya.
d. Sebagai pengembangan ilmu, untuk memperluas daya kritis dan
wawasan tentang budaya yang ada di Aparat Kecamatan di Kabupaten
Cianjur dan pengaruhnya pada persepsi pelayanan masyarakat.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan tesis ini sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pertama, menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan berisi tentang penelitian terdahulu, landasan teori yang
mencakup tentang manajemen/budaya kerja aparatur pemerintah, kerangka
pemikiran dan hipotesis.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai landasan filosofis atau alasan logis atas
pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini. Bab ini berisi identifikasi variable,
definisi operasional variable, populasi dan sample penelitian, sumber dan jenis
data, metode pengumpulan data, teknik analisa data, dan pengujian hipotesis.
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini memberikan gambaran jelas tetapi singkat dan padat tentang objek
penelitian atau tempat penelitian. Bab ini berisi tentang luas wilayah lima
kecamatan terpadat di Kab. Cianjur, jumlah aparatur kecamatan dan jumlah
penduduk, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan objek penelitian
BAB V HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang hasil penelitian, analisis hasil penelitian, uji
hipotesis dan pembahasan dari hasil penelitian.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan pernyataan singkat dan tepat
dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran berupa masukan-masukan untuk
pemecahan masalah kepada institusi tempat penelitian maupun saran bagi
penelitian selanjutnya.
14