dcoklad.files.wordpress.com file · Web viewSecara umum, konsepsi-konsepsi itu mencakup teori...
Transcript of dcoklad.files.wordpress.com file · Web viewSecara umum, konsepsi-konsepsi itu mencakup teori...
PERKEMBANGAN INDIVIDU
A. Teori-Teori Perkembangan
Deskripsi perkembangan dan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan
bervariasi menurut pendapat atau sudut pandang masing-masing pakar psikologi
perkembangan. Ada yang merumuskannya sebagai proses perubahan, ada pula yang
menyatakan sebagai pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Namun, jika dicermati, ber-
macam-macam pendapat ahli-ahli tersebut, maka pada hakikatnya perkembangan
mengandung makna perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (change over behavior),
suatu proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju, lebih dewasa. Pendapat atau
konsepsi tentang faktor perkembangan yang bermacam-macam itu berpangkal pada
pendirian masing-masing ahli. Secara umum, konsepsi-konsepsi itu mencakup teori
psikodinamika, teori yang berorientasi biologis, lingkungan, dan interaksionisme atau
teori kognitif Piaget (Thalib, 2005).
1. Teori Psikodinamika Sigmund Freud
Teori psikodinamika Sigmund Freud lebih dikenal dengan istilah teori
psikoanalitik. Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep belajar sosial. Freud sebagai
konseptor psikoanalitik, memandang bahwa seorang anak yang dilahirkan memiliki
dua kekuatan (energi) biologik, yaitu libido dan nafsu mati. Kedua kekuatan itu
menguasai semua orang, melalui proses konsentrasi energi psikis terhadap suatu
objek atau suatu person spesifik. Struktur anak pada waktu dilahirkan adalah das es
(id) yang mendorong anak untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Das es dalam
perkembangannya karena pengaruh lingkungan, menimbulkan struktur das ich / Ego
(aku) yang berfungsi sebagai penentu diri terhadap dunia luar maupun terhadap das
es sesuai dengan realita. Kemudian karena pengaruh lingkungan pula, termasuk
orang tua, terbentuklah das uber ich (super ego) yang berfungsi mengatur perilaku das
ich, dan tuntunan-tuntunan yang bersumber dari das es. Apabila das ich tidak berhasil
mengkompromikan tuntutan das es, dan uber ich, maka nafsu-nafsu yang berasal dari
das es ditekan secara tidak sadar. Hal ini berarti bahwa nafsu-nafsu tadi tidak
manifes, tetapi pengaruhnya masih ada secara laten. Seseorang dapat melakukan hal-
hal tertentu yang tidak diketahuinya sendiri alasannya. Kebenaran konsep ini tidak dapat
diuji secara empiris (Monks, 2002).
2. Teori yang Berorientasi Biologis
Teori yang menekankan faktor biologis menitikberatkan pengaruh faktor bawaan
atau keturunan, termasuk faktor bakat atau keadaan psikofisik yang dibawa sejak lahir.
Perkembangan bersifat endogen, artinya perkembangan itu tidak hanya secara spontan
saja, melainkan juga harus dimengerti sebagai pemekaran predisposisi yang sudah di-
tentukan secara biologis (genotype). Sebagai contoh, konsep biologis mengidentifikasi
perilaku agresi dan kekerasan berdasarkan mekanisme biologis yang spesifik. Pendekatan
ini berupaya menjelaskan secara fisiologis khususnya bagian-bagian spesifik otak dan
hormonal sebagai pemicu perilaku kekerasan. Menurut Tedeschi dan Felson (1994)
komposisi genetik individu menjadi predisposisi bentuk-bentuk perilaku khusus. Secara
normal individu memiliki 46 kromosom, yaitu kromosom XX untuk perempuan dan XY
untuk laki-laki. Abnormalitas kromosom XYY (kelebihan kromosom Y) akan berpengaruh
terhadap perilaku agresi. Individu yang memiliki kromosom XYY menunjukkan
karakteristik permasalahan perilaku pada masa kanak-kanak, sering mengisolasi diri dari
lingkungan sosial, sering terlibat perilaku kriminal, dan memiliki IQ yang rendah.
Dolen (1999) secara spesifik menjelaskan, bahwa secara biologis perbedaan laki-
laki dan perempuan terjadi sejak masa konsepsi yang ditandai dengan perbedaan
kromosom. Perempuan dengan kromosom XX dan laki-laki dengan kromosom XY.
Abnormalitas kromosom pada laki-laki dan perempuan akan memengaruhi terjadinya
deviasi dalam perkembangan, seperti kromosom ekstra X bagi perempuan, dalam banyak
kasus, menjadi terbelakang mental, dan kromosom ekstra Y bagi laki-laki akan
memengaruhi perilaku agresif.
Kelemahan relatif konsep yang berorientasi biologis tampak, misalnya, pada
hasil-hasil penelitian terhadap anak kembar identik yang dibesarkan dalam lingkungan
yang berbeda-beda, dan ternyata mengalami proses perkembangan yang berbeda-beda
pula. Perbedaan dalam perkembangan dua anak kembar identik tidak dapat diterangkan
melulu sebagai faktor bawaan.
3. Konsep yang Berorientasi Faktor Lingkungan
Konsep lingkungan adalah kelompok lingkungan yang mementingkan pengaruh
lingkungan terhadap perkembangan anak, termasuk konsep belajar dan konsep-konsep
mengenai sosialisasi yang bersifat sosiologis. Konsep belajar sosial mulai dikenal sejak
tahun 1930-an di Universitas Yale, ketika Clark Hull mengadakan seminar yang
membahas konsep ini. Pelopor konsep belajar sosial lainnya, termasuk O. H. Mowrer,
Neal Miller, John Dollar, Robert Sears, dan Leonard Doob berpartisipasi pada seminar
konsep belajar sosial.
Konsep belajar sosial memandang belajar sebagai suatu bentuk perubahan atas
perilaku seseorang dalam disposisi atau potensi yang bersifat relatif tetap dan tidak
disebabkan pertumbuhan. Menurut konsep ini, sesudah tahun-tahun pertama, potensi untuk
berperilaku tidak tergantung pada perubahan-perubahan spontan pada struktur diri
organisme, melainkan tergantung pada apa yang dipelajari dengan teknik-teknik yang
tepat. Ahli-ahli konsep belajar sosial sangat optimis dan percaya bahwa faktor utama
perkembangan bersumber dari pengalaman. Anak-anak memperoleh perilaku baru dan
memodifika perilaku-perilaku sebelumnya berdasr pengaruh lingkungan fisik dan
sosialnya. Perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi perilaku.
Bandura (1977) menegaskan bahwa belajar sesungguhnya bukan merupakan
suatu perbuatanyang mudah, kalkau tidak dapat dikatakan sesuatu yang sulit, jika orang
semata-mata menyandarkan diri dan tindakan mereka terhadap apa yang dimilikinya.
Namun, disadari bahwa pada umumnya perilaku individu dipelajari secara
observasional melalui model yakni mengamati bagaimana suatu perilaku baru
dibentuk, dan peristiwa ini kemudian menjadi informasi penting yang mengarahkan
perilaku. Asumsi dasar dari konsep dan penelitian-penelitian belajar observasional
adalah sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui
pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi
model.
Bandura (1977) menjelaskan bahwa belajar observasional mencakup 4 proses,
yaitu proses atensional, ritensi, reproduksi, dan motivasional. Pertama, proses atensional
yakni proses di mana individu tertarik untuk memerhatikan atau mengamati perilaku
model. Proses atensional ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik
yang dimilikinya. Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik, dan
berpengaruh bagi individu pengamat, akan lebih mudah mengundang perhatian
ketimbang model yang jarang tampil, tidak menarik, dan tidak memiliki pengaruh.
Kedua, proses ritensi yakni proses di mana individu pengamat menyimpan perilaku
model yang telah diamatinya melalui kode simbolik atau verbal maupun performansi
motorik. Perilaku model menjadi lebih bermakna apabila dilakukan pengkodean dalam
bentuk kata, simbol dan mengandung nilai fungsional bagi perilaku pengamat. Ketiga,
proses reproduksi yaitu individu pengamat mencoba mengungkap ulang perilaku mo-
del yang telah diamatinya. Reproduksi perilaku model pada awalnya bersifat kaku dan
kasar, tetapi dengan pengulangan yang intensif, secara berangsur-angsur individu
mengungkapkan perilaku itu sebagaimana perilaku model. Keempat, proses
motivasional dan penguatan. Perilaku yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh
individu pengamat, apabila individu pengamat kurang termotivasi atau kurang tertarik
untuk mengamati dan meniru perilaku model. Individu akan mengungkapkan atau
mencontoh perilaku model apabila model memiliki daya tank serta menimbulkan
penguatan (reinforcement). Jadi, Bandura berpendapat bahwa motivasi individu untuk
mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model menjadi lebih kuat apabila model
memiliki daya tank dan agresi yang dilakukannya tidak memperoleh efek negatif.
Sebaliknya, individu akan kurang termotivasi untuk meniru perilaku agresi model
apabila model tidak memiliki daya tank dan memperoleh respons negatif. Kelemahan
konsep ini adalah keterbatasannya dalam menjelaskan pengaruh pembawaan yang juga
relatif kuat dalam perkembangan seseorang. Hasil penelitian Chomsky (Miller, 1993)
mengungkapkan bahwa konsep belajar sosial tidak dapat menjelaskan perolehan suatu
keterampilan belajar yang kompleks. Dengan perkataan lain, konsep ini tidak dapat
menjelaskan perilaku yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan individual, seperti faktor
kepribadian dan perbedaan kemampuan belajar.
4. Teori Interaksionisme
Teori ini sering pula disebut teori perkembangan kognitif Piaget. Jean Piaget
(1896-1980), lahir di Neuchatel, Switzerland. Latar belakang kehidupan masa kecilnya
ditandai dengan karakteristik yang cerdas, energik, simpatik, mudah bergaul, serius
bekerja, tetapi memiliki temperamen neurotik. Ketika keluarganya bergolak karena peng-
alaman neurotik tersebut, maka timbullah minat Piaget untuk mempelajari konsep
psikoanalitik. Sebelumnya ia menaruh perhatian pada bidang-bidang yang luas, termasuk
mekanik, fauna, kelautan, dan fosilfosil. Bahkan publikasinya yang pertama adalah artikel
tentang burung pipit sebagai basil observasi pada suatu taman. Kemudian konflik antara
pengajaran religi dengan scientific yang ditekuninya merangsang dia untuk menelaah
ilmu-ilmu filsafat karya-karya filosofi kenamaan seperti Bergson, Kant, Comte, Durkheim,
William James, dan tokoh filsafat lainnya. Piaget kemudian menulis berbagai isu filsafat
(Miller, 1993).
Piaget melanjutkan studi formalnya pada tingkat doktoral dalam bidang ilmu
alam dengan tesis tentang kerang-kerangan. Kemudian sesudah mengunjungi
laboratorium psikologi di Zurich, ia mulai menggeluti pekerjaannya pada laboratorium
Alfred Binet di Paris, suatu laboratorium pencetus pertama tes inteligensi modern. Piaget
tidak setuju dengan penekanan Binet bahwa inteligensi sifatnya tetap dan bersifat bawaan,
dan mulai menjelajahi proses-proses berpikir tingkat tinggi. Dia memulai konsepnya
dengan melakukan observasi secara intensif pada subjek kelompok kecil, bahkan
observasinya awalnya dilakukan terhadap anaknya sendiri. Dia lebih tertarik kepada
bagaimana anakanak bisa mencapai konklusi-konklusi daripada apakah jawaban-
jawabannya benar. Selain menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan memeriksa benar atau
tidaknya jawaban-jawaban anak, Piaget meminta dan mengajak anak untuk menemukan
logika di batik jawaban-jawabannya.
Melalui pengamatan yang sungguh-sungguh terhadap anak-anaknya dan juga
terhadap anak-anak lainnya, is mulai mengkonstruksi konsepnya tentang
perkembangan kognitif.
Menurut Piaget, perkembangan adalah suatu proses perubahan sebagai hasil
dari proses belajar yang merupakan kombinasi atau interaksi dari pembelajaran,
pengalaman, dan kematangan. Konsep kognitif bermaksud memahami aktivitas
perilaku manusia seperti perhatian, rekognisi, pembuatan keputusan, pemecahan
masalah, pengetahuan konseptual, belajar, penalaran, prinsip-prinsip dan mekanisme
per - kembangan, inteligensi, interpretasi, atribusi, penilaian, memori dan imajinasi
(Bordwell, 1989; Feerick, 1995). Secara lebih khusus, konsep kognitif mengacu pada
tingkat aktivitas mental yang tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan
tindakan sosial dengan postulat yang sesunggguhnya, seperti persepsi, pikiran, intensi,
perencanaan, keterampilan, dan perasaan (Bordwell, 1989).
Konsep interaksionisme mementingkan perkembangan intelektual dan moral.
Piaget memandang perkembangan sebagai kelanjutan genesaembrio. Proses
perkembangan melalui stadium-stadium perkembangan dipengaruhi oleh bermacam-
macam faktor, termasuk faktor kematangan, pengalaman, transmisi sosial, dan
interaksi di antara semua faktorfaktor tersebut. Kematangan mengacu pada keadaan
biologis individu yang berinteraksi dengan faktor genetik dan keadaan lingkungan
sosial. Faktor kematangan juga berpengaruh terhadap aspirasi dan intensitas individu
dalam aktivitas belajar. Kondisi organ tubuh yang lemah dapat menurunkan kualitas
kognitif yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Pengalaman hidup
terhadap lingkungan sangat penting bagi siswa. Siswa membentuk rencana atau pola-
pola hidup melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman hidup sangat
membantu siswa dalam memahami pelajaran. Seorang guru dianjurkan untuk
meramu pembelajaran dengan baik berdasar perbedaan latar belakang pengalaman hidup
siswa. Untuk mengatasi keberagaman latar belakang pengalaman hidup siswa, maka
guru diharapkan menyiapkan contoh konkret, bertukar pengalaman dengan siswa
dan/atau menyertakan orang tua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Piaget
menyatakan bahwa pengalaman sosial juga merupakan faktor penting dalam
perkembangan. Tanpa pengalaman sosial, manusia akan mengalami keterbatasan dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman merupakan hasil kegiatan yang sangat berharga
bagi setiap individu, khususnya siswa atau pebelajar. Jika pembelajaran bermakna dan
transfer terjadi, maka siswa dapat membangun konsep secara aktif mengenai materi
yang sedang dipelajarinya. Pembelajaran perlu didesain sedemikian rupa dengan
menghadirkan pengalaman konkret terlebih dahulu, kemudian mengikutsertakan ide yang
lebih detail. Hafalan tidak dipentingkan, namun pemahaman terhadap apa yang
dipelajari. Untuk membantu siswa memperoleh pemahaman dari pengalaman konkret ke
abstrak, maka kemampuan membaca dan menulis merupakan hal penting. Siswa dalam
proses belajarnya mengalami hambatan dan kesuksesan. Berdasar hambatan dan
kesuksesan tersebut, individu akan memperoleh nilai yang dapat memberikan perubahan
sikap dan pola pikir.
Teori kognitif menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor personal
sebagai penentu perilaku kekerasan. Faktor-faktor personal termasuk cita-cita, harapan,
kepercayaan dan kemampuan kognitif dikembangkan dan dimodifikasi melalui pengaruh
faktor sosial. Piaget juga mementingkan aktivitas spontan karena adanya kemampuan untuk
menyesuaikan diri (adaptasi) melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi berarti
mendapatkan kesan-kesan baru berdasarkan pola penyesuaian yang sudah ada,
sedangkan akomodasi berarti penyesuaian diri untuk dapat bertindak sesuai dengan
situasi baru. Keterpaduan antara proses asimilasi dan akomodasi akan membentuk
kognitif individu. Asimilasi dan akomodasi juga diperlukan untuk membentuk
keseimbangan. Manusia senantiasa mencari keseimbangan dalam dunia ini melalui
konsep saling memahami dan pengertian satu sama lain. Untuk meraih suatu keseimbangan,
manusia berusaha untuk mengatur pengalaman hidup yang koheren melalui suatu rencana.
Organisasi adalah suatu proses membentuk suatu rencana atau pola. Rencana adalah suatu
sistem yang menjelaskan cara manusia berpikir tentang hidup. Rencana dibangun berdasar
tahapan-tahapan dalam berpikir. Dalam lingkungan sekolah, konsep, prinsip, dan prosedur
setiap pemahaman harus dikolaborasikan agar siswa dapat mempelajari dan mengenali
sebuah rencana yang dapat mereka terapkan dalam hidupnya.
B. Tahap-tahap Perkembangan
Perkembangan individu merupakan perubahan yang teratur, saling berkaitan
menuju suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih maju sesuai dengan tingkat
usia, potensi, kuantitas, dan kualitas rangsangan yang diperoleh anak dari lingkungannya.
Perkembangan individu terjadi secara berurutan artinya, tahap awal merupakan dasar
untuk perkembangan pada tahap berikutnya. Perkembangan individu tidak dapat
melompat-lompat (Nuryoto, 2003). Jadi, tahapan-tahapan pertumbuhan individu itu
harus berjalan sesuai dengan kodrat pertumbuhan manusia. Artinya, setiap individu harus
mengikuti tahapan tersebut. Adapun tahapan yang harus dilalui oleh setiap individu
dirumuskan oleh masing-masing ahli berdasarkan sudut pandangnya masing- masing.
Menurut Erickson (Wu, 2003) bayi yang baru lahir menunjukkan temperamen
dan kemampuan dasar yang bersifat individual. Artinya, setiap individu menunjukkan
perbedaan dan karakteristik pada setiap tahap perkembangan. Karakteristik perkembangan
itu disebut Erickson dengan istilah perbedaan krisis psikologis (psychological crisis) yang
harus diatasi individu sebelum dapat mengatasi krisis psikologis pada tahap berikutnya.
Jika seseorang mampu mengatasi krisis psikologis pada periode tertentu, masa bayi,
misalnya, maka ia akan sukses menjalani kehidupan pada tahap berikutnya. Sebaliknya,
bila individu gagal mengatasi krisis psikologis itu, maka ia akan mengalami gangguan
penyesuaian diri (maladaptive) dan isu-isu kehidupan pada tahap perkembangan
berikutnya. Menurut Erickson, sequence tahap tahap perkembangan itu bersifat alamiah
yang memerlukan intervensi perawatan (nurture). Erickson (Wu, 2003) membedakan
tahap perkembangan manusia atas 8 tahap, scbagaimana tampak dalam Tabel berikut :
Tabel 2.1
Tahap Perkembangan Erickson
Tahap Perkembangan Usia (Tahun)1. Masa Bayi 0- 12. Masa Kanak-kanak 1- 23. Masa Prasekolah 2- 64. Masa Sekolah 6- 125. Masa Remaja 12- 186. Masa Dewasa Awal 19- 407. Masa Dewasa 40- 658. Masa Tua > 65
Pertama, perkembangan pada masa bayi (infancy), yaitu usia 0-1 tahun.
Krisis yang timbul adalah kepercayaan vs. ketidakpercayaan, terutama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara deskriptif, pada awal tahun pertama kehidupan, bayi,
sangat tergantung pada dunia luar terutama kepada orang tua (ibu) atau pengasuhnya dalam
memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan fisik, kehangatan, dan afeksi. Jika kebutuhan-
kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara konsisten, dan mendapat respons positif dari orang
tua, bayi tidak hanya akan mengalami perkembangan kelekatan secara aman (secure at-
tachment) dengan orang tuanya, tetapi juga memperoleh pengalaman belajar tentang kepercayaan
(trust) terhadap lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, jika kebutuhan fisik dan psikologisnya tidak
terpenuhi, maka terjadi perkembangan mistrust terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya
secara kseluruhan.
Kedua, perkembangan pada masa prasekolah (toddler), yaitu masa usia 2-6 tahun,
terjadi krisis otonomi (independensi) vs. keragu-raguan atau rasa malu. Secara deskriptif, bayi
belajar berjalan, berbicara, menggunakan toilet, dan memperoleh keyakinan diri. Juga kontrol diri,
kepercayaan diri, dan konsep diri mulai berkembang pada tahap ini. Jika orang tua memberikan
peluang kepada anak untuk mengembangkan inisiatif dan memahami anak (menenteramkan
hati) ketika anak melakukan kesalahan, maka anak akan berkembang kepercayaan dirinya untuk
mengatasi masalahnya dan situasi masa depannya dalam memperoleh pilihan-pilihan hidup,
kontrol diri, dan independensi. Sebaliknya, jika orang tua overprotective atau menentang
tindakan independensi anak, maka akan berkembang perilaku negatif seperti perasaan malu
atau ragu-ragu tentang kemampuannya sendiri.
Ketiga, perkembangan pada masa kanak-kanak (early childhood), yaitu usia 2-6
tahun. Krisis yang terjadi adalah inisiatif vs. rasa bersalah (initiative vs. guilt). Secara
deskrptif, anak-anak menunjukkan kemampuan dan keterampilan motorik dan menjadi lebih
tertarik dalam interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka belajar mencapai
keseimbangan antara hasrat kebebasan dan tanggung jawab, belajar mengontrol impuls-
impuls dan fantasi kekanak-kanakan. Jika orang tua memberi harapan, tetapi konsisten
dalam disiplin, maka anak akan belajar menerima kesalahan, dan tidak dihinggapi perasaan-
negatif, seperti perasaan malu secara berlebihan. Sebaliknya, jika orang tua kurang
memahami anak, maka akan berkembang perasaan bersalah dan kurang percaya diri yang
berujung pada kesalahan independensi.
Keempat, perkembangan pada masa sekolah (elementary and middle school
years), yaitu usia 6-12 tahun. Krisis yang terjadi adalah kompetensi vs. rendah diri
(competence vs. inferiority). Secara deskriptif, sekolah atau belajar adalah peristiwa
penting. Anak belajar membuat keputusan, memperoleh keterampilan-keterampilan untuk
bidang-bidang pendidikan dan pekerjaan tertentu, serta pengembangan potensi dasar. Anak-anak
menunjukkan suatu era transisi antara lingkungan keluarga dan pergaulan dengan teman
sebaya. Jika anak-anak memperoleh rangsangan intelektual yang memadai, maka mereka
menjadi lebih produktif, dan sukses dalam mengembangkan potensinya. Sebaliknya, jika
tidak memperoleh kepuasan, maka mereka akan menunjukkan sikap rendah diri.
Kelima, perkembangan pada masa remaja (usia 12-18 tahun). Krisis yang
terjadi adalah identitas vs. kebingungan peran (identity vs. role confusion). Secara
deskriptif, remaja berfokus pada pertanyaan "siapa saya". Untuk sukses menjawab
pertanyaan ini, Erickson menyatakan remaja mesti bebas dari rasa konflik dalam berbagai
hal, adanya peluang untuk mengembangkan kepercayaan diri, independensi, kompetensi,
dan kontrol diri. Jika remaja bebas atau sukses dalam mengatasi konflik yang mungkin
terjadi, maka mereka akan sukses dalam tahap ini dan memperoleh identitas diri yang
kukuh, dan siap membuat perencanaan untuk masa depannya. Sebaliknya, jika gagal
mengatasi konflik dan identitas diri, maka remaja akan tenggelam dalam kebingungan,
tidak mampu membuat pilihan dan keputusan, khususnya tentang pekerjaan, orientasi
seksual, dan peran dalam kehidupan secara keseluruhan.
Keenam, masa dewasa (usia 19-40 tahun). Karakteristik pada periode ini
adalah keintiman vs. isolasi. (intimacy vs. isolation). Secara deskriptif pada tahap ini,
faktor penting adalah cinta dan kasih sayang dalam menjalin hubungan persahabatan.
Individu yang tidak sukses dalam mencapai keakraban cenderung terisolasi, diliputi
kekhawatiran dalam melakukan suatu komitmen, dan menunjukkan sifat tergantung.
Ketujuh, tahap dewasa pertengahan (usia 40-65 tahun). Krisis pada tahap ini
adalah kebangkitan dan stagnasi (generativity vs. stagnation). Erickson mendeskripsikan
bahwa generativitas mengacu pada kemampuan orang dewasa untuk melihat hal-hal di
luar dirinya. Sebagai contoh, membina keluarga melalui pengasuhan. Erickson menyatakan
bahwa orang-orang dewasa memerlukan kehadiran anakanak, sebagaimana hal anak-anak
memerlukan orang tua, dan tahap ini menggambarkan kebutuhan untuk menciptakan sesuatu
untuk warisan kehidupan masa depan. Orang yang sukses pada fase ini ditandai dengan
kesuksesan dalam membina rumah tangga dan keluarga, termasuk pengasuhan, atau
persiapan generasi selanjutnya. Kegagalan pada fase ini berarti kemungkinan individu
akan mengalami stagnasi pada kehidupan berikutnya, dan krisis terhadap diri sendiri.
Kedelapan, masa dewasa akhir (usia > 65 tahun). Krisis integritas vs. rasa putus
asa (integrity vs. despair important). Menurut Erickson pada usia ini seseorang akan
mencapai integritas yang ditandai dengan perannya dalam mewujudkan kehidupan yang
bahagia dan sejahtera, ada perasaan aman dan tenteram. Individu yang sukses pada fase
ini menunjukkan perasaan menyatu dengan dirinya dan orang lain, dan tidak takut
menghadapi kematian. Selanjutnya, Eickson menekankan faktor kesehatan sebagai salah
satu faktor utama dalam fase ini. Selanjutnya, Cole (dalam Nuryoto, 2003) membedakan
tahap-tahap perkembangan atas 12 kategori, sebagaimana tampak dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Tahapan Perkembangan Individu Masa Bayi-Masa Tua Akhir
No. Tahap Perkembangan Jenis kelamin Usia
1. Masa bayi 0 - 2 tahun
2. Masa kanak-kanak awal 2 - 6 tahun
3.Masa kanak-kanak
pertengahan
Perempuan
Laki-laki
6 - 11 tahun
6 - 13 tahun
4. Masa kanak-kanak akhirPerempuan
Laki-laki
11 - 13 tahun
13 - 15 tahun
5. Masa remaja awal Perempuan
Laki-laki
13 - 15 tahun
15 - 18 tahun
6. Masa remaja pertengahan Perempuan
Laki-laki
15 - 18 tahun
17 - 19 tahun
7. Masa remaja akhir Perempuan
Laki-laki
18 - 21 tahun
19 - 21 tahun8. Masa dewasa awal 21 - 35 tahun
9. Masa dewasa pertengahan 35 - 50 ahun
10. Masa dewasa akhir 50 - 65 tahun
11. Masa tua awal 65 - 75 tahun
12. Masa tua akhir > 75 tahun
Tahap perkembangan dalam Tabel 2.2. di atas menggambarkan bahwa terdapat
perbedaan irama perkembangan antara anak perempuan dan laki-laki mulai usia 6 hingga
21 tahun. Perempuan lebih awal memasuki masa remaja awal dibanding anak laki-laki.
Namun, memasuki usia dewasa hingga usia lanjut tampak bahwa anak perempuan dan laki-
laki menunjukkan persamaan dalam setiap fase per - kembangan.
Pakar psikologi perkembangan lainnya, Monks, et al. (2002) menggolong-golongkan
fase perkembangan atas 7 fase, sebagaimana tampak dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Tahapan Perkembangan Monks, et al.
No. Tahap Perkembangan Usia1. Masa bayi 0 - 2 tahun2. Masa kanak-kanak 2 - 6 tahun3. Masa sekolah 6 - 12 tahun4. Masa remaja 12 - 21 tahun5. Masa dewasa 21 - 50 tahun6. Masa tua 50 - 65 tahun7. Masa usia lanjut > 65
Tahap perkembangan dalam Tabel 2.3 di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan
individu berjalan secara berurutan. Artinya, seseorang yang masih berada pada usia sekolah
tidak dapat secara tiba-tiba meloncat ke masa dewasa. Demikian halnya, seseorang yang sudah
berusia lanjut tidak dapat kembali ke masa remaja. Pada setiap tahapan tersebut terdapat tugas
perkembangan yang harus diselesaikan. Penyelesaian tugas perkembangan itu sebaiknya
dilakukan tepat pada waktunya supaya tidak menghambat perkembangan tahap selanjutnya.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (Wadsworth, 1984; Eggen & Kaucbak,
1997) melalui 4 tahap atau periode perkembangan, yaitu (a) periode sensomotorik (usia 0-2
tahun), (b) periode pra-operasional (2-7 tahun), (c) periode operasional konkret (7-11 tahun),
dan (d) operasional formal (11-15 tahun). Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Tahap dan Karakteristik Perkembangan Piaget
Tahap Perkiraan Usia
Karakteristik UatmaSensomotorik 0 - 2 Tahun Inteligensi motorik, dunia di sini dan sekarang,
tidak ada bahasa, tidak ada pikiran pada tahap awal, tidak ada ide tentang realitas objektif.
Pra-operator 2 - 7 Tahun Kemampuan berbahasa lebih meningkat, berpikir egosentrik, berpikir simbolik, penalaran didominasi oleh persepsi, pemecahan masalah lebih intuitif daripada logis.
Operasi Konkret
7 - 11 Tahun Mampu berkonservasi, logika penggolongan dan relasi, pengertian akan angka, berkembangnya azas kebalikan dalam berpikir.
Operasi Formal 12 - Usia Dewasa
Generalisasi pemikiran yang lengkap, berpikir proporsional, kemampuan memecahkan masalah abstrak dan hipotesis, berkembangnya idealisme yang kuat, berpikir kombinasional.
Pada periode sensomotorik, bayi memahami dunianya dengan gerakan-gerakan
refleks dan secara bertahap membentuk suatu skema atau perilaku terorganisir, tidak ada
ide tentang realitas objektif, tidak ada bahasa, yang dominan adalah aksi-aksi fisik, dan
inteligensi motorik. Skema kognitif (cognitive script) tersebut bertindak sebagai acuan bagi
individu mengenai apa yang akan terjadi, bagaimana individu bereaksi dan bagaimana
memprediksi hasilnya.
Pada periode praoperasional, anak dapat menggunakan simbolsimbol, seperti
refleksi mental, kata-kata, dan penampilan fisik terhadap lingkungannya (objek dan
peristiwa-peristiwa). Mereka dapat menggunakan simbol-simbol dalam meningkatkan
model dan organisasi logis. Transisi dari tahap intuitif ke tahap operasi konkret ditandai
oleh pencapaian satu atau lebih konservasi. Konservasi berarti bahwa aspek-aspek
kuantitatif dari objek tidak berubah kecuali kalau sesuatu ditambahkan atau dikurangkan
daripadanya, meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam penampilannya. Misalnya,
bila anak dihadapkan kepada dua bola dari tanah liat yang sama besarnya, kemudian
masing-masing bola itu dimasukkan dalam acuan yang bulat dan panjang yang setelah
dikeluarkan, kembali diperlihatkan kepadanya. Anak dalam tahap pra-operasional yakin
bahwa bentuk yang terakhir yang lebih banyak tanah liatnya karena bendanya lebih
panjang. Ini merupakan suatu contoh dari ketidakmampuan berkonservasi.
Makna pencapaian konservasi tidak terletak pada berhentinya anak tertipu
oleh rupa benda tetapi pada kenyataan bahwa sekarang is telah mengembangkan aturan-
aturan logika dalam berpikirnya. Aturan-aturan ini memungkinkan anak mengatasi banyak
kekeliruan dalam berpikirnya selama masa pra-operasional. Aturan-aturan ini
membebaskan anak dari kepercayaan pada persepsi dan intuisi; sekarang anak dapat
memercayai logika. Degan kata lain, anak dapat memercayai operasi-operasi (proses berpikir
yang dipandu oleh aturanaturan logika) dan tidak lagi kepada pra-operasi.
Ada tiga aturan logis yang menjadi ciri operasi konkret, dan penting sekali
dalam pencapaian konservasi, yaitu identitas, revisibilitas, dan kompensasi. Identitas adalah
ide bahwa kuantitas sesuatu tidak berubah jika tidak ada sesuatu yang ditambahkan atau
dikurangkan. Reversibilitas adalah kesadaran bahwa setiap operasi dapat dilakukan dan bahwa
konsekuensi logis tertentu menyertai kemungkinan ini. Misalnya, tanah liat yang sudah diubah
menjadi bulat panjang, dikemba' likan bentuknya seperti semula. Kompensasi adalah suatu
hukum logika yang menetapkan bahwa beberapa operasi dapat dipadukan dengan berbagai cara
untuk mencapai hasil yang sama. Tanah liat yang diubah menjadi bulat panjang tadi tampak
memiliki bahan yang lebih banyak karena bentuknya lebih panjang, tetapi juga tampak
memiliki kekurangan karena lebih ramping; karena itu kedua dimensi itu berkompensasi satu
sama lain dan perubahan kuantitas tidak terjadi (kompensasi).
Periode operasional konkret ditandai dengan kemampuan membentuk berbagai
operasi mental, berpikir secara konkret. Anak sudah tiba pada pemahaman konsep
pengaturan serial-pengaturan menurut sequence. Piaget menunjukkan kurangnya kemampuan
mengatur secara serial bagi anak pada masa praoperasional; metode ini digunakan juga untuk
menunjukkan sudah dimilikinya kemampuan ini pada masa operasi konkret. Kepada anak
dihadapkan pada dua seri objek, misalnya, sekelompok boneka dan sekelompok tongkat,
masing-masing berbeda panjangnya sehingga objek-objek itu bisa diatur mulai dari yang
terpanjang sampai ukuran yang terpendek. Anak dalam tahap operasi konkret dengan
mudah dapat melakukannya, sedang anak dalam tahap intuitif biasanya tidak mampu
melakukannya.
Bilamana anak-anak mengerti klasifikasi dan mampu mengatur secara serial, maka
mereka dapat juga memahami konsep bilangan. Walaupun sebelum periode ini mereka mungkin
telah belajar bilangan clalam urutan yang memadai dan mereka mungkin tampak menghubungkan
kumpulankumpulan objek dengan bilangan-bilangan tertentu, konsepnya tentang bilangan belum
sempurna. Anak-anak harus memahami sifat-sifat ordinal (tata urutan atau rangkaian bilangan)
dan sifat-sifat kardinal (kuantitatif) bilangan; yang pertama berkenaan dengan konsep urutan serial,
yang kedua berkenaan dengan klasifikasi. Bilangan menyangkut golongan-golongan karena
menggambarkan kumpulan (kelas) besaran yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat (sifat
kardinal dari bilangan); bilangan menyangkut urutan serial karena tersusun dalam hubungan
dengan bilangan lainnya sebagai lebih besar atau lebih kecil (sifat ordinal dari bilangan).
Selanjutnya karakteristik pada periode operasi formal, termasuk operasi mental
tidak lagi terbatas pada objek konkret tetapi mereka dapat menerapkannya terhadap
pernyataan-pernyataan verbal dan logis, berkembangnya kemampuan berpikir hipotesis, dan
idealisrne yang kuat. Tahap operasional ditandai dengan kemampuan berpikir dalam
memecahkan masalah belajar yang bersifat abstrak secara sistematis dan generalis. Flavell
(dalam Eagen & Kaubak, 1997) mengidentifikasi tiga karakteristik utama tahap operasional
formal, yaitu (a) kemampuan berpikir abstrak, (b) kemampuan berpikir secara sistematis, dan
(c) kemampuan berpikir secara hipotetis dan deduktif.
C. Tugas-tugas Perkembangan Secara Umum
Pada dasarnya, perkembangan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang
lebih maju. Perubahan tersebut adalah perubahan psikofisik sebagai basil dari proses
pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses
belajar. Perkembangan fisik berkaitan dengan perubahan fisik, sedangkan perkembangan psikis
berkaitan dengan perkembangan sosial, emosional, intelektual, dan spiritual.
Pakar psikologi perkembangan Indonesia, Nuryoto (1994) menggolongkan fase-
fase kehidupan manusia atas 3 kategori utama, yaitu (a) masa progresif umur 0-25 tahun, (b)
masa statis umur 25-50 tahun, dan (c) masa regresif umur > 50 tahun. Pada masa progresif, individu
akan tumbuh dan berkembang dalam segi fisik, psikis, maupuri sosial dari kondisi yang sangat
sederhana menuju ke arah yang sempurna. Secara fisik tampak seorang bayi yang baru lahir belum
dapat melakukan sesuatu, kemudian tumbuh dan berkembang secara bertahap dan mampu
melakukan segala aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa progresif ini perubahan yang
dialami individu sangat menonjol dan diharapkan pada umur 25 tahun sudah mencapai tahap
kematangan. Artinya, secara fisik sudah mencapai ukuran dewasa, tinggi badannya tidak
akan bertambah, meskipun berat badannya kemungkinan masih bertambah atau menjadi lebih
gemuk mengikuti pola makan. Cara berpikir dan bertindak sudah tidak kekanak-kanakan,
tidak emosional, dan mau bertanggung jawab terhadap sikap yang dipilihnya. Pada masa ini
anak berusaha untuk mempersiapkan diri dan mencari, status dalam bermasyarakat, mulai
dari menentukan pilihan sekolah, dan menyelesaikan sekolahnya. Ber - dasar bekal
pendidikan yang dimiliki, anak berusaha memperoleh pekerjaan untuk mencari nafkah, dan
mempersiapkan kehidupan berkeluarga.
Pada masa statis individu telah mencapai kematangan perkembang - an secara
menyeluruh dan sempurna. Kondisi yang dimiliki itu akan dipertahankan hingga fase
berikutnya. Pada masa statis, seseorang biasanya telah bekerja dan mungkin juga sudah
berkeluarga sehingga tanggung jawabnya meningkat. Individu tersebut selain mengurus diri
sendiri juga mengurus keluarga serta tugas pekerjaannya. Individu berusaha untuk
meningkatkan dirinya sehingga prestasi kerja dan kariernya akan semakin meningkat. Pada
umumnya, seseorang yang berada pada akhir masa statis telah mencapai karier tertentu,
atau bahkan mungkin mendekati puncak karier yang didambakan.
Selanjutnya, usia 50 tahun merupakan terjadinya masa regresif. Pada tingkat
usia tersebut seseorang secara alami mulai mengalami kemunduran, khususnya kemampuan
fisik. Kemunduran fisik pada umumnya tidak terjadi secara drastis, sedangkan kemampuan
psikis bagi sebagian orang mungkin masih meningkat atau mungkin masih dipertahankan.
Hal ini dapat dijumpai bagi sebagian besar cendekiawan yang tampak makin tajam daya
analisisnya seiring dengan makin meningkatnya usia dan pengalaman mereka.
D. Tugas-tugas Perkembangan Masa Bayi dan Kanak-kanak
Berdasar prinsip dan tugas-tugas perkembangan yang berbedabeda pada setiap
tahap perkembangan, kiranya perlu pembahasan secara umum tugas-tugas perkembangan
sebelum usia taman kanakkanak. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman yang
lebih konkret tentang tugas-tugas perkembangan pada periode selanjutnya.
Monks, et al., (2002) menjelaskan bahwa pada waktu dilahirkan, pada umumnya
anak laki-laki lebih panjang dan lebih berat daripada wanita. Selama tahun pertama panjang
badan bertambah 1/3 bagian dan berat badan menjadi tiga kali berat semula. Proporsi badan
berubah dengan cepat terutama pada bagian kedua tahun pertama. Kaki tumbuh dengan sangat
cepat mulai minggu ke-8, lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan kepala. Kepala tumbuh
relatif lebih lambat dibanding dengan pertumbuhan badan sebagai suatu keseluruhan.
Meskipun demikian, besar tengkorak serta bentuk tengkorak berubah dengan jelas.
Perbandingan besar kepala dan badan berbeda antara anak dan orang dewasa. Besar kepala
pada waktu dilahirkan adalah seperempat besar seluruh badan, sedangkan pada orang dewasa
perbandingannya adalah 1/8. Perbedaan mengenai pertumbuhan fisik anak sangat besar pada
berbagai macam kultur, dan bangsa. Pada periode tahun pertama, bayi menunjukkan gerak-
gerak refleks. Proses perkembangan pada tahun pertama lebih banyak didominasi
pemasakan fisiologis.
Berdasar basil penelitian, Monks, et al., (2002) mengemukakan bahwa 7%
waktu bayi digunakan untuk makan, 1% untuk perilaku spontan, dan 88% untuk tidur.
Selain faktor hereditas, faktor-faktor dari luar baik sebelum, pada saat kelahiran, maupun
sesudah kelahiran sangat besar pengaruhnya terhadap proses perkembangan. Pola-pola
perilaku motorik pada anak semakin baik koordinasinya sejalan usia perkembangannya.
Anak yang baru dilahirkan sudah mempunyai aktivitas kinestetik, yaitu sudah mempunyai
penghayatan gerakan aktif, dan sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya, termasuk
perasaan, posisi tubuh, anggota-anggota badan, keseimbangan, dan gerakan memutar.
Menurut Bloom (Monks, et al., 2002), bila pada periode embrio (minggu ketiga sampai
minggu kedelapan) si ibu mendapat suatu peristiwa tertentu yang merugikan, dapat terjadi
gangguan-gangguan sentral atau mental pada janin yang ada dalam kandungan. Hal ini terjadi
karena pada periode ini terjadi perkembangan otak yang paling cepat. Faktor ini pula sehingga
gangguan pada kehamilan yang terjadi pada dua bulan yang pertama lebih banyak
menyebabkan gangguan-gangguan pada otak dibanding dengan gangguan yang terjadi pada
periode ketiga atau periode fetal. Bloom menunjuk pada perkembangan inteligensi yang cepat
dan intensif selama tahun-tahun pertama. Berdasarkan studi longitudinal, Bloom menemukan
bahwa pada umur satu tahun dicapai 20%, dan pada umur 17 tahun dicapai 100% perkembang-
an inteligensi. Selanjutnya pada umur 4 tahun tercapai 50% penalaran, dan pada umur 8 tahun
mencapai 80%. Sekalipun angka-angka tersebut bukan pencerminan realitas yang eksak, namun
dapat menjelaskan bahwa tahuntahun penghidupan pertama, dan tahun-tahun sekolah pertama
merupakan mata rantai yang penting dalam perkembangan inteligensi. Analisis semacam ini juga
menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan pada periode ini sangat penting. Hal ini berarti bahwa
kerusakan yang berat dapat terjadi bila anak tidak memperoleh kesempatan perkembangan
yang optimal.
Pola-pola perilaku motorik pada anak semakin baik kordinasinya sejalan usia
perkembangannya. Anak yang baru dilahirkan sudah mempunyai aktivitas kinestetik, yaitu sudah
mempunyai penghayatan gerakan aktif, dan sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya,
termasuk perasaan, posisi tubuh, anggota-anggota badan, keseimbangan, dan gerakan
memutar. Pada usia 2-3 bulan pada umumnya anak dapat duduk dengan bantuan, dan pada usia
7 bulan anak dapat duduk tanpa bantuan orang lain. Pada usia 8 bulan anak sudah dapat
merangkak, dan kebanyakan anak sudah dapat berdiri beberapa minggu sebelum mereka dapat
berjalan. Biasanya anak dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun, meskipun terdapat
variasi antara 9-15 bulan. Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses
yang sangat fundamental. Pada permulaan periode ini anak bisa duduk, berdiri, dan berjalan
dengan bantuan.
Berdasar tahap perkembangan, pencapaian tugas perkembangan pada masa bayi
merupakan kesuksesan dan kebahagiaan hidup pada masa itu, bahkan menjadi basis bagi
kesuksesan pencapaian tugas perkembangan pada periode selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan
mencapai tugas perkembangan berarti ketidakbahagiaan, dan kemungkinan tertundanya tugas-
tugas perkembangan pada periode taman kanak-kanak, atau periode perkembangan
selanjutnya.