sarafambarawa.files.wordpress.com€¦ · Web viewDokter yang melakukan praktik kedokteran pada...

35
JOURNAL READING ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (STUDI KASUS NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012 MAHKAMAH AGUNG) Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc Disusun Oleh: Ibnu Wadud Pujangga 1710221090 1

Transcript of sarafambarawa.files.wordpress.com€¦ · Web viewDokter yang melakukan praktik kedokteran pada...

JOURNAL READING

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN

PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK

(STUDI KASUS NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012

MAHKAMAH AGUNG)

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Dalam Menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter

Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc

Disusun Oleh:

Ibnu Wadud Pujangga

1710221090

KEPANITERAAN KLINIK SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

1

PERIODE 18 NOVEMBER - 22 DESEMBER 2018

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN INSTALASI SARAF

Journal Reading Dengan Judul :

Analisis Yuridis Terhadap Dokter Yang Melakukan Praktik Kedokteran Tanpa Memiliki Izin Praktik (Studi Kasus Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012

Mahkamah Agung)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Instalasi Saraf RSUD Ambarawa

Disusun Oleh

Ibnu Wadud Pujangga

171.0221.090

Mengetahui

Pembimbing

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc

2

KATA PENGANTAR

Puji dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat, serta

hidayah-Nya dalam penulisan journal reading ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah

kepada nabi Muhammad SAW dan keluarganya serta para sahabat sehingga tugas journal

reading yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Dokter Yang Melakukan Praktik

Kedokteran Tanpa Memiliki Izin Praktik (Studi Kasus Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012

Mahkamah Agung)” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.

Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc selaku pembimbing di kepaniteraan klinik Saraf

Dalam RSUD Ambarawa periode 18 november - 22 desember 2018.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus

ini, oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang

disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas pada

umumnya di masa yang akan datang.

Ambarawa, 29 November 2018

3

ANALISIS YURIDIS MENGENAI MENGENAI PENANGANAN PERKARA

TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN

TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (ANALISIS PUTUSAN NO.110

K/Pid.Sus/2012 MADIUN)

Syarifudin Sulung, SH., M.Hum.

Eka Putra, SH., M.Hum.

Agus Tripika Handayani

Saragih ABSTRAK

Dokter yang melakukan praktik kedokteran pada pasien haruslah memiliki surat

izin praktik sehingga dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibn dalam suatu

hubungan hukum pasien dan dokter yang berlaku dibawah kekuasaan hukum dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan

pertanyaan bagi penulis yang kemudiann diangkat menjadi rumusan permasalahan, yaitu

bagaimana hubungan antara pasien dengan dokter, bagaimana pengaturan hukum

mengenai perizinan praktik kedokteran di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhui

hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku yang tidak memiliki surat izin

praktik.

Metode yang digunakan penulis dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah

penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan

hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan studi hukum

kepustakaan. Metode yang digunakan dalam menganalisi data adalah analisis kualitatif.

Kesimpulan dari skripsi ini ialah pengaturan hukum mengenai perizinan praktik

kedokteran diatur pada Pasal 36 UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004 ,bahwa setiap

dokter yang melakukan praktik kedokteran harus memiliki surat izin praktik. Faktor-faktor

hakim menjatuhkan pidana bagi pelaku yaitu faktor yuridis, serta kebijakan hukum bagi

pelaku adalah kebijakan hukum pidana yaitu dengan menerapkan hukum pidana penjara

satu tahun enam bulan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU** Dosen Pembimbing I***Dosen Pembimbing II

4

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan proses perkembangan kesehatan

sehingga perkembangan kesehatan sangat diperlukan bagi permasalahan hukum

kesehatan.1

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum

akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup

tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal ini tidak terpenuhui, maka

mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.i2

Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap

dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal

yang keliru apabila menganggap pasien selalu tidak dapat mengambil keputusan karena ia

sedang sakit. Dalam pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan

keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan.

Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap

sama seperti orang sehat. Jadi secara hukum, pasien juga berhak mengambil keputusan

terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini

berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan

bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang

diperlukan.3

Pelanggaran terhadap kewajiban pasien dapat digunakan sebagai alasan pembelaan

diri dokter, manakala pelanggaran kewajiban itu menyebabkan salah diagnosis dokter dan

atau salah terapi. Misalnya, pelanggaran kewajiban memberi informasi yang lengkap dan

jujur. Jujur artinya benar sesuai dengan yng sebenarnya, tidak dikarang-karang, dan tidak

disembunyikan.

1 Ns.Ta’adi, Hukum Kesehatan Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta: 2013,halaman 1

2 Soerjono Soekanto,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1983, halaman 37

3Bahder Jhon Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT.Rineka Cipta, Jakarta:2005, halaman 31

3

Pelanggaran kewajiban pasien tersebut tidak serta merta dapat dijadikan alasan

pembelaan diri dokter. Masih harus diuji dan dilihat dari sifat dan keadaan serta kewajaran

yang berlaku. Keterangan pasien adakalanya tidak wajar. Dokter wajib menilai wajar dan

nyata keterangan pasien berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Dalam penilaian dokter bisa

terjadi kelalaian, apabila seharusnya dokter menilai keterangan pasien salah namun dokter

mempercayainya sebagai benar.

Sebaliknya, kesalahan doktertimbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak

sesuai, atau tidak memenuhui prosedur medis yang seharusnya dilakukan. Kesalahan

seperti ini kemungkinannya dapat terjadi karena faktor kesengajaan. Menurut

C.Berkhouwer dan L.D.Vortsman, suatu kesalahan dalam melakukan profesi bisa terjadi

karena faktor kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian.

Ketiga faktor ini bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengambil keputusan

atau menentukan penilaian, baik pada saat diagnosa maupun pada saat berlangsungnya

terapi terhadap pasien.4

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi Permasalahan dalam penulisan skripsi ini mengenai adalah

mengenai hal-hal berikut:

1. Bagaimana Pola Hubungan Antara Pasien Dengan Dokter?

2. Bagaimana Pengaturan HukumMengenai Perizinan Praktik Kedokteran di

Indonesia?

3. Bagaimana Penerapan Hukum Terhadap Dokter yang Melakukan Praktik

Kedokteran Tanpa Memiliki Surat Izin Praktek (Studi Kasus

Nomor.1110K/Pid.Sus.2012 Mahkamah Agung

4

II. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DENGAN DOKTER DAN

TANGGUNGJAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS

A. POLA HUBUNGAN ANTARA DOKTER-PASIEN

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung

sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat

superioritas dokter terhadappasien dalam bidang ilmu biomedis, hanya ada kegiatan pihak

dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna,

karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap yang lainnya.

Oleh karena hubungan anatara manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati

persamaan hak antara manusia.

a. Activyty-Passitivity

Activity-Passivity Relation pola ini berlaku hubungan dokter dengan pasien

selayaknya bapak dengan anaknya, yang dilandasi oleh asas kepercayaan (fiduciary

relationship), dimana ada anggapan bahwa seorang bapak tidak mungkin mencelakakan

anaknya, yang tahu akan keperluan anakanya. kekurangan dari pola ini adalah pada saat si

dokter berbuat keliru, lalai atau salah, maka pasien tidak bisa protes tidak punya hak untuk

mengeluh dan harus menerima hasil apapun. Pada pola ini hanya aspek medis yang

menjadi perjanjinnya.5

b. Guidance-Cooperation

Hubungan membimbing kerja sama, seperti halnya orangtua dengan remaja. Pola

ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau

penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta

kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama.

Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan,

namun mengharapkan kerja sama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau

anjuran dokter.

c. Mutual-Participation

Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat

dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya

seperti medical check-up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif

5http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/3842/06bab2_fadlillah_10040010005_skr_2014.pdf?sequence=6&isAllowed=y , diakses pada tanggal 2 Agustus 2017, pukul 09:36 WIB

5

berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien

dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien

dengan ganngguan mental tertentu. Hubungan antara dokter dan pasien, secara hukum

umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak. Dimulai dengan tanya jawab

(anamnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan, akhirnya

dokter menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu working

diagnosis atau diagnosis sementara,bisa juga merupakan diagnosa yang defenitif.

III. PENGATURAN HUKUM MENEGENAI PERIZINAN PRAKTIK

KEDOKTERAN DI INDONESIA

Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan

tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin ialah salah satu

instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk

mengemudikan tingkah laku masyarakat.

A. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.29 TAHUN2004

TENTANG PRAKTIK KEDDOKTERAN

Penyelenggaraan praktik kedokteran haruslah memiliki surat izin praktik yang diatur

dalam Pasal 36:6

“setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib

memiliki surat izin praktik”

Dalam Pasal 36 mewajibkan setiap dokter setiap dokter dan dokter gigi yang

melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik di Indonesia.

Semula kewajiban dokter adalah kewajiban hukum administrasi yang diangkat menjadi

kewajiban hukum pidana oleh sebab diberikan ancaman pidana.

Ketentuan mengenai SIP (Surat Izin Praktik) adalah:7

a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat

dimana praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan sebagaimana

diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29

Tahun 2004

6Lihat Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

7Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 137

6

b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat sebagaimana diatur dalam Pasal 37

ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004

c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik sebagaimana diatur dalam Pasal

37 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004

d. Untuk miliki SIP harus memenuhui tiga syarat sebagaimana diatur dalamPasal 38

ayat (1):8

1) Memiliki Surat Tanda Registrasi yang masih berlaku

2) Memiliki tempat praktik

3) Memiliki rekomendasi dari organisasi

e. Sip tetap berlaku sepanjang Pasal 38 ayat (2):9

1) Surat Tanda Registrasi masih berlaku

2) Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP

Dengan Sengaja Melakukan Praktik Kedokteran Tanpa Memiliki Surat Izin Praktik

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-undang No.29 Tahun

2004 tentang Praktek Kedokteran.10

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran

tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan

paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dari rumusan tersebut apabila dirinci, terdapat unsur-unsurnya.11 Unsur-unsur

objektif:

1. Pembuatnya:

a. Dokter

b. Dokter gigi

2. Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran.

3. Melawan hukum : tanpa memiliki Surat Izin Praktik.

Unsur subjektif:

1. Kesalahan : dengan sengaja

8 Lihat Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

9Lihat Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

10Lihat Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

11 Adami Chazawi,Op.Cit, halaman 138

7

B. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014

TENTANG TENAGA KESEHATAN

Pengaturan perizinan dalam UU Tenaga Kesehatan ini diatur dalam Pasal 46 yaitu:12

1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan

wajib memiliki izin.

2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP(surat izin

praktik).

3. SIP (surat izin praktik) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang

berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.

4. Untuk mendapatkan SIP (surat izin praktik) sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Tenaga Kesehatan harus memiliki

a. STR (surat tanda registrasi) yang masih berlaku

b. Rekomendasi dari organisasi profesi

c. Tempat praktik

5. SIP (surat izin praktik) sebagaimana di maksud pada ayat (2) masing-masing

berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat

6. SIP (surat izin praktik) masih berlaku sepanjang

a. STR (surat tanda registrasi) masih berlaku

b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP

7. Ketentuan ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaiamana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan

Menteri Pasal 8613

1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan

pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55

ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus

juta rupiah)

12 Lihat Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan13Lihat Pasal 86 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan

8

C. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 512/ MenKes/ Per /IV/

2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Bahwa sebagai pelaksana Pasal 38 ayat (3) “ketentuan lebih lanjut mengenai surat

izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri”. Dan pasal 43 “ketentuan lebih lanjut

mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri” dalam

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Keokteran. Telah diatur

penyelenggaraan praktik kedokteran dan dokter gigi dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.1419/MenKes/ Per/ 2005.

Bahwa dalam rangka memenuhui kebutuhan dalam penyelenggaraan praktik dokter

dan dokter gigi, perlu mengatur kembali Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Perizinan tenaga kesehatan diatur dalam: Pasal 2

1. Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib

memiliki SIP.

2. Untuk memperoleh SIP, dokter dan dokter gigi yang bersangkutan harus

mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

tempat praktik kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan

a. Fotokopi surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi

yang diterbitkab dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yang

masih berlaku.

b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan dari sarana

pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya.

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik.

d. Pas foto berwarna ukuran 4X6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3X4 sebanyak 2

(dua) lembar.

3. Dalam pengajuan permohonan SIP sebagaimana pada ayat (2) harus dinyatakan

secara tegas permintaan SIP untuk tempat praktik pertama, kedua dan ketiga.

4. Untuk memperoleh SIP kedua dan ketiga pada jam kerja, dokter dan dokter gigi

yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah harus

melampirkan surat izin dari pimpinan instansi/sarana pelayanan kesehatan

dimana dokter dan dokter gigi.

5. Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti contoh

sebagaimana tercantum dalam Formulir I peraturan ini.

9

Pasal 314

1. Dokter atau dokter gigi yang telah memenuhui persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2) diberikan SIP untuk 1 (satu) tempat praktik.

2. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang STR masih sesuai

dengan yang tercantum dalam SIP.

3. Bentuk format SIP dokter atau dokter gigi seperti contoh sebagaimana tercantum

pada Formulir II Peraturan ini.

Pasal 415

1. SIP dokter atau dokter gigi diberikan paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik,

baik pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik

perancangan.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota langsung memberikan SIP kepada

dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR ditempatkan di sarana pelayanan

kesehatan milik pemerintah setempat berdasarkan permohonan yang bersangkutan,

dan SIP di tempat tersebut sudah terhitung sebagai 1 (satu) tempat praktik.

3. SIP 3 (tiga) tempat praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada

dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota lain baik dari Provinsi yang sama maupun Provinsi

lain.

4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan SIP harus

mempertimbangkan kesimbangan antara jumlah dokter atau dokter gigi dengan

kebutuhan pelayanan kesehatan.

Pasal 516

1. SIP bagi dokter dan dokter gigi dapat berupa SIP dokter, SIP dokter gigi, SIP

dokter spesialis, SIP dokter gigi spesialis, SIP dokter spesialis konsultan dan SIP

dokter gigi spesialis konsultan.

2. Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik dokter, dokter gigi, dokter spesialis,

dokter gigi spesialis, dokter spesialis konsultan dan dokter gigi spesialis konsultan

berkaitan dengan pemberian SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai

dengan STR yang diberikan, ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan

pemberian SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan STR yang

diberikan, ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan mengikutsertakan

10

Organisasi Profesi, Kolegium Kedokteran dan Kolegium Kedokteran Gigi yang

terkait.

3. Dalam hal terdapat keperluan pelayanan medis di daerah, Konsil Kedokteran

Indonesia dapat menetapkan STR dokter spesialis atau STR dokter gigi spesialis,

berkompeten

15 Lihat Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/ Per/IV/ 2007.16Lihat Pasal 5 P eraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/ Per/IV/ 2007.

11

IV. ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENANGANAN PERKARA TERHADAP

DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI

IZIN PRAKTEK (ANALISIS PUTUSAN NOMOR.110K/Pid.Sus/2012

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penanganan Perkara Dokter yang

Melakukan Praktik Kedokteran Tanpa memiliki Izin

Dakwaan dalam Putusan No.1110 K/Pid.Sus/2012 berupa dakwaan Kumulatif sesuai

dengan bentuk formatnya yang memakai kata penghubung “dan”.

Adapun Terdakwa di dakwa oleh Penuntut Umum adalah sebagi berikut:

1. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 76 Undang-

undang RI No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran “setiap dokter atau

dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki

surat izin praktik sebagaimana diatur dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banayk Rp.100.000,000,00 (seratus

juta rupiah)”.

2. Perbuatan Terdakwa sebagaimana ditur dan diancam dalam Pasal 79 huruf C

UU.RI.No.29 Tahun 2004 tentang prakti kedokteran “ berupa dengan sengaja tidak

memenuhui kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,huruf

b,huruf c ,huruf d, huruf e.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tindak pidana yang telah dilakukan oleh

terdakwa ialah melakukan praktik kedokteran akan tetapi terdakwa tidak memiliki surat

izin praktik sehingga terdakwa dapat dikenakan pasal 76 Undang-undang RI No.29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran. 17

Pasal 76 terdapat unsur-unsur yaitu:

Unsur-unsur Objektif:

1) Pembuatnya

a) dokter

b) dokter gigi

17Lihat Pasal 76 Undang-undang RI No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

12

2) Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran

3) Melawan hukum: tanpa memiliki surat izin

praktik Unsur-unsur Subjektifnya:

1) Kesalahan: dengan sengaja

Dari unsur-unsur objektif maupun unsur subjektif dalam pasal ini, terdakwa telah

memenuhui semua unsur tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 76. Jadi benarlah jika

Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan menggunakan pasal tersebut.

2. Tuntutan

Pada pasal 1 butir 7 KUHAP18 tercantum defenisi penuntutan sebagai berikut:

“penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan.

Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 76 dan Pasal 79 Undang-

undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Pidana yang dikenakan kepada terdakwa harus memenuhui persyaratan yaitu

terpenuhuinya dua unsur pokok dari hukum pidana. Pertama, adanya suatu norma, yaitu

suatu larangan atau suruhan (kaidah). Kedua, adanya sanksi atas pelanggaran norma itu

berupa ancaman dengan hukum pidana.

Dengan adanya sanksi-sanksi pidana ini, norma-norma tersebut menjadi peraturan

hukum pidana.19

Dalam Pasal 76 dan 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran terdapat kedua unsur pokok tersebut yaitu norma dan sanksi.

Norma hukum pidana

1. Pasal 7620

Setiap dokter atau dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran harus

memiliki surat izin praktik

2. Pasal 79 huruf C21

18Lihat Pasal 1 butir 7 KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana)19Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT.Replika Aditama,

2003), halaman 1320Lihat Pasal 76 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

13

Setiap dokter atau dokter gigi harus memenuhui kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 yaitu:

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian

atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang dikeahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran

Sanksi Hukum Pidana

1. Pasal 76

Pidana penjara paling lama 3 Tahun atau denda paling banyak

Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah)

2. Pasal 79

Pidana kurungan 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah)

Dengan demikian tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum sudah memenuhui unsur pokok

hukum pidana, maka tuntutan tersebut benar adanya

3. Putusan

Bahwa judex facti (pengadilan Negeri) tidak mempertimbangkan fakta-fakta

hukum yang terungkap di persidangan secara untuh dan benar,sebab meskipun judex facti

sudah menyatakan terpenuhui unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan kesatu Pasal 76

Undang-undang Nomor :29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, namun judex facti

keliru dalam hal mengaitkan unsur-unsur dari Pasal 76 tersebut dengan “keadaan darurat”

padahal relevansinya karena kondisi pasien bukanlah dalam keadaan darurat, sebab

21Lihat Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

14

bukanlah Terdakwa telah melakukan pemeriksaan terhadap korban beberapa kali sebelum

dioperasi.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Terdakwa telah terbukti

melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu.

Bahwa terhadap dakwaan kedua Pasal 79 huruf c Undang-undang Nomor : 29

Tahun 2004, setelah dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di

persidangan ternyata dakwaan Kedua inipun telah terbukti dengan pertimbangan bahwa

pada tanggal 25 Oktober 2007 sekitar pikul 16.00 WIB, Terdakwa melakukan operasi

pengangkatan tumor pada usus besar bagian bawah terhadap pasien YOHANES TRI

HANDOKO, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Terdakwa selaku operator,

dibantu oleh ISMARDIANTORO selaku petugas yang menyiapkan alat-alat,

SUDARSONO selaku petugas administrasi.

Bahwa memperhatikan komposisi Tim tersebut, ternyata tindakan medis yang

dilakukan Terdakwa dengan melakukan operasi tidak sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP), sebagai berikut:

Pelaksanaan operasi besar harus dilakukan oleh tim dokter ahli, sedangkan dalam

operasi ini tidak dilakukan oleh tim dokter ahli,melainkan hanya dilakukan oleh Terdakwa

sendiri dengan dibantu oleh 4 (empat) orang perwat rumah sakit (Ahli Madya Kesehatan)

Terungkap dari tindakan operasi yang dilakukan oleh Tim Dokter ahli Rumah

Sakit RKZ Surabaya, telah menemukan benang jahitan warna hitam yang tertinggal pada

usus besar akibat operasi yang dilakukan oleh Terdakwa di Rumah Sakit DKT Madiun

pada tanggal 25 Oktober 2007 yang lalu, akibatnya Johanes Tri Handoko meninggal

dunia. Perbuatan Terdakwa merupakan conditio sine quanon dan mempunyai hubungan

kausal terhadap meninggalnya Johanes Tri Handoko.

Bahwa dengan demikian perbuatan Terdakwa memenuhui unsur-unsur dalam

dakwaan Kedua Pasal 79 huruf C Undang-undang Nomor : 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran.

15

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari keseluruhan bab yang ada dalam skripsi ini

adalah :

1. Pola hubungan antara dokter dengan pasien terdiri dari:

a. Activyty-Passitivity (Pola hubugan orangtua-anak), disini dokter seolah-olah dapat

sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien, dengan suatu

motivasi altruistis.

b. Guidance-Cooperation (Hubungan membimbing kerja sama), seperti halnya

orangtua dengan remaja.

c. Mutual-Participation Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia

memiliki martabat dan hak yang sama.

2. Pengaturan hukum mengenai Izin Praktik Kedokteran di Indonesia

a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran terdapat pada (Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 76, Pasal 79).

b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga

Kesehatan terdapat pada (Pasal 1 ayat 46, Pasal 86).

c. Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/Per/IV.2007 terdapat pada Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal

13.

3. Penerapan Hukum terhadap dokter yang melakukan praktik kedokteran tanpa memilki

surat izin praktik dalam studi kasus Nomor.1110/K.Pid.Sus/2012 di Madiun, yaitu:

a. Sebagaimana dalam kasus mengenai dokter yang melakukan praktik kedokteran

tanpa memilki surat izin praktik dalam studi kasus Nomor.1110/K.Pid.Sus/2012 di

Madiun Majelis Hakim menerapkan Pasal 76 UU.RI.No. 29 Tahun 2004 terhadap

terdakwa dan terdakwa telah memenuhui unsur pidana dalam pasal tersebut,

dengan sengaja melakukan tindakan operasi kepada korban yang seharusnya

tindakan operasi hanya dapat dilakukan oleh tim dokter ahli sedangkan terdakwa

tidak termasuk dalam tim dokter ahli.

b. Pasal 79 huruf C Junto Pasal 51 telah terbukti bahwa terdakwa melakukan operasi

pengangkutan tumor pada usus bagian bawah terhadap pasien jika kita merujuk

16

kewajiban dokter haruslah memeberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

prosedur operasional akan tetapi terdakwa tidak memenuhui standar operasional

tersebut.

B. SARAN

1. Hendaknya kepada setiap rumah sakit dalam menerima dokter sebagai tenaga

medis yang akan bekerja untuk mengobati dan menyelematkan pasien, terlebih

dahulu diperiksa surat izin praktik dan kebenaran setiap dokumen yang diserahkan

seperti ijazah lulusan dari kedokteran, dan dokumen lainnya, supaya bagi pasien

merasa aman dan nyaman saat berkonsultasi mengenai kesehatan kepada dokter,

dan dalam pengobatan dan pemulihan pasien.

2. Hendaknya para dokter meningkatkan ilmunya sesuai dengan kemajuan di bidang

teknologi kedokteran dan lebih berhati-hati lagi, serta berusaha semaksimal

mungkin sesuai dengan tingkat keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.

3. Dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap para pelaku dalam tingkat

pengadilan Negeri baik tindak pidana umum dan maupun kepada para pelaku

tindak pidana kesehatan, diharapkan hakim lebih bijaksana untuk

mempertimbangkan segala aspek dalam diri terdakwa maupun di luar terdakwa,

sehingga putusan hakim dapat mencerminkan keadilan bagi semua pihak.

17

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Nasution, Bahder Jhon. 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono. 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhui Penegakan

Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Ta’adi, N.S. 2013, Hukum Kesehatan Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran.

Prodjodikoro Wirjono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:

PT.Replika Aditama

Waluyo, Bambang. 1991, Penelitian Hukum Dalam Malpraktek, Jakarta: Sinar Grafika.

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Undan-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun Tahun 2014 Tentang

Tenaga Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No.512/ MenKes/ Per/ IV.2007

C. PUTUSAN

Putusan Pengadilan Negeri Kota Madiun No. 79/Pid.Sus/2011/PN.Kd.Mn.

Putusan Mahakamah Agung Republik Indonesia No. 1110K/Pid.Sus/2012/MA.

Penulis