saidnazulfiqar.files.wordpress.com  · Web viewDengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel...

47
MATERI AJAR OLEH: SY. LULU ASSAGAF, S.PSI

Transcript of saidnazulfiqar.files.wordpress.com  · Web viewDengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel...

MATERI AJAR

OLEH:

SY. LULU ASSAGAF, S.PSI

A. DEFENISI ISLAM

Kata ‘Islam’ berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘Damai’. Kedamaian akan menghantarkan seseorang untuk memperoleh keselamatan, sehingga makna Islam dapat diartikan dengan ‘Damai’ atau ‘Selamat. Selain kata ‘Islam’, kadang juga digunakan kata ‘Iman’.

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata,”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata,”Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang”.

Di antara dlalil yang digunakan oleh Imam Asy-Syafi’I adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:Artinya,” Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”, (QS. Al-Muddatsir: 35).

Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:Artinya,” Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enampuluh lebih cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan malu adalah sebagian dari iman”, (HR.Bukhari dan Muslim).

Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in, dan lainnya, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab kepada teman-temannya,” Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrullah.

B. PERBEDAAN ANTARA ISLAM DAN IMAN

Masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan;

1. Islam dan Iman adalah satu, yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al-Bukhari, Imam Muh. bin Nashir Al-Marwadzi, Imam Ibnu Mandah.

2. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Imam Az-Zuhri berkata,”Islam adalah kalimat atau ucapan, sedangkan iman adalah amal”. Abdul Malik Al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, apakah iman dan Islam berbeda?, beliau menjawab,”Ya”, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Hujarat: 14.

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Khattabi dan Ibnu Rajab menyebutkan bahwa apabila iman dan Islam disebut secara terpisah maka keduanya bermakna sama, namun bila disebutkan bersamaan maka keduanya terdapat perbedaan. Iman adalah pengakuan dan keyakinan hati dan pengamalannya sedangkan Islam adalah ketundukan yang tercermin dalam amal.

Berdasarkan beberapa perkataan Imam Syafi’i, maka beliau termasuk yang berpendapat iman dan Islam bermakna satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

C. POKOK-POKOK AJARAN ISLAMTerdapat tiga pokok ajaran islam, yaitu:

1. Tauhid; yang menyangkut tentang akidah atau keyakinan kepada Allah SWT2. Syariat; hukum-hukum yang mengantur hubungan antara seorang hamba dengan

Tuhannya. Hubungan antara sesama hamba. Dan hubungan antara hamba dengan makhluk Tuhan lainnya.

3. Akhlak; adab dan sopan santun.

D. BERSUCI DAN CARA BERSUCI

الـمتطهرين ويحب التوابين يحب الله إن“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang

bersuci” (Al-Baqarah:222).

Kata “Thaharah” (الطهارة) berarti bersih dan suci. Dalam istilah Syara’ berarti membersihkan kotoran dan menghilangkan najis yang ada pada tubuh, pakaian dan tempat dengan menggunakan air dan benda yang suci lagi bersih. Najis dapat berupa, Kotoran binatang dan manusia, air kencing binatang maupun manusia, air liur anjing, bangkai (kecuali bangkai binatang laut), tulang belulang, mazi, wadi, darah (haid,nifas,istihadhah), babi, minuman keras, dan seterusnya.

Cara bersuci dari najis dan kotoran itu berbeda-beda, ada yang cukup dengan melap atau membasuhnya yaitu air kencing bayi laki-laki yang mesih mengkonsumsi ASI dan belum memakan makanan jika terkena pakaian. Ada juga yang dihilangkan dengan mencuci, beristinja, berwudhu, mandi. Dan ada pula yang disucikan dengan tujuh kali mencuci dengan air dimana salah satunya menggunakan tanah yaitu air liur anjing (HR.Bukhari).

Kata bersuci juga dapat berarti membersihkan atau menghilangkan segala penyakit lahir maupun batin yang ada pada seluruh aggota tubuh. Menjaga mata, mulut, telinga, hidung, tangan, lidah, kaki serta dosa dan maksiat dari dalam diri, seperti emosi, dengki, iri hati, tamak, kikir, bangga diri (sombong), mencaci maki, menceritakan aib orang lain, berjanji dusta, fitnah, memakan harta yang bukan hak, kemusyrikan dan seterusnya, dengan cara banyak beristighfar (bertaubat) dan membaca doa :

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari segala keburukan di pendengaranku, penglihatanku, lidahku, hatiku, dan angan-anganku” (HR.Tirmizi, Nasai & Abu Daud)

Kunci dari segala ibadah adalah bersuci dan untuk memulai suatu ibadah di dalam islam haruslah dengan kondisi, niat dan cara-cara yang suci untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. Semua itu menunjukkan atas pentingnya kebersihan lahir dan batin setelah kalimat syahadat, sehingga para ahli fiqh baik dahulu maupun sekarang senantiasa memulai pembahasan mereka dengan bersuci, Rasulullah bersabda :

اإليمان شطر الطهور“Kesucian adalah sebagaian dari iman”.(HR.Muslim)

Adapun cara-cara bersuci dari hadats kecil maupun besar, akan dijelaskan di bawah ini :

a. Istinja

Secara bahasa, kata Istinja berarti memotong atau terlepas dan terbebas. Sedangkan menurut istilah, menghilangkan najis yang keluar dari Qubul dan dubur dengan air. Adapun kata Istijmaar yaitu menghilangkan kotoran dari tempat yang terkena najis dengan menggunakan batu atau daun maupun tisu (kecuali kotoran hewan dan tulang).

Adapun cara dan adab beristinja, yaitu :1. Mengucapkan Bismillah di saat masuk, dan membaca doa:

“ والخبائث الخبث من بك اعوذ ي إن .”أللهم

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari segala kotoran dan keburukan”

2. Mendahulukan kaki kiri di saat memasuki wc / kamar mandi.3. Jauh dari orang, sehingga tidak terdengar suara dan tercium bau.4. Tidak boleh membawa sesuatu yang bertuliskan Lafdzul jalaalah.5. Dilarang berbicara kecuali dharurat.6. Tidak boleh menghayal ataupun melamun.7. Tidak boleh membuang ludah sembarangan.8. Menutup aurat. Kecuali bila takut terkena najis maka dapat diangkat kainnya.9. Tidak boleh melihat kemaluan dan kotoran.10. Tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat kecuali terhalangi oleh tembok.11. Tidak boleh memegang atau membasuh kemaluan dengan tangan kanan.

بيمينه ح ويتمس كره ذ يمس فال الخالء أتي وإذا اإلناء في تتنفس فال كم احد شرب إذا“Jika seseorang diantara kalian yang minum maka janganlah bernafas di dalam bejana/gelas dan jika beristinja maka tidak boleh memegang kemaluan dan membasuhnya dengan tangan kanan”(HR.Bukhari).

12. Tidak diperbolehkan berzikir, kecuali dalam hati.13. Duduk berpangku di atas kaki kiri, namun tidak ada dalil shahih yang menerangkan

tentang hal ini.14. Membasuh kemaluan dan dubur pada bagian luar tanpa harus membasuh bagian

dalam atau memasukkan jari ke dalam kemaluan dan dubur. Karena hal itu sama saja dengan homo atau bersenang-senang dengan menggunakan tangan. Rasulullah bersabda:

لوطي فهو دبره في @ا شيئ خل أد من“Barangsiapa memasukkan sesuatu ke dalam duburnya maka dia telah menyerupai

homo (perbuatan kaum Luth)

بيدهم : يستمنون الذين أي حبالى وأيديهم يحشرون قوم@ا سمعت قال اس عب إبن عن

“Dari Ibnu Abbas ra berkata: saya telah mendengar bahwa diantara golongan orang-orang yang dibangkitkan pada hari kiamat dimana tangan mereka hamil yaitu

orang yang melakukan masturbasi dengan tangannya”.

بمذاكرهم يعبثون كانوا أمة@ الله ب عذ“Allah akan memerikan azab bagi orang-orang yang menyalahgunakan

kemaluanya”

يده ... : اكح الن منهم القيامة يوم إليهم ينظر ال سبعة“Tujuh golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat…diantaranya

yang nikah dengan tangannya”.

Secara kedokteran, memasukkan jari ke dalam dubur akan menghilangkan elastisitas atau menyebabkan kelonggaran pada lubang anus sehingga tidak dapat menahan tinja di saat ingin membuang hajat. Dan orang yang melakukannya akan menghilangkan cahaya dari wajahnya.

15. Di saat mencuci dubur, jari tengah tangan kiri lebih dimajukan dari jari-jari yang lain agar dapat masuk dengan mudah ke celah-celah al-warik (belahan pantat).

16. Berdehem di akhir buang air kecil dan besar untuk meyakinkan telah berakhir hajat. Namun menurut Ibnu Taimiyah bahwa hal ini bukanlah wajib ataupun sunnah karena hadisnya lemah bahkan dikategorikan sebagai bid’ah.

17. Setelah membasuh kemaluan, bacalah doa (di dalam hati) :

“ فاق الن من قلبي وطهر الفواحش عن فرجي حصن ”اللهم“Ya Allah, jagalah kemaluanku dari segala keburukan dan sucikanlah hatiku dari

segala kemunafikan”

18. Keluar dengan mendahulukan kaki kanan.19. Membaca doa setelah keluar kamar mandi :

“ وعافاني األذى ي عن أذهب ذي ال لله الحمد .”غفرانك“Dengan segala pengampunan-Mu, segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan

segala penyakit dan telah menyehatkanku”

b. Berwudhu

Kata “Wudhu” berarti bersih dan baik. Secara istilah berarti bentuk penyembahan diri kepada Allah SWT dengan membasuh bagian-bagian tubuh tertentu dengan cara tertentu. Tata cara berwudhu (rukun dan sunnah) yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah diriwayatkan dalam Al-Hadits adalah :

“Dari Usman Bin Affan ra berkata: bahwasanya Rasulullah SAW berdoa di bejana kemudian menuangkan air ke tangannya tiga kali dan mencucinya, kemudian memasukan tangannya mengambil air dengan tangan kanannya dari bejana kemudian berkumur-kumur dan menghirup air di hidung, kemudian beliau membasuh wajahnya tiga kali dan kedua tangannya

hingga ke siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kepalanya dan mencuci kedua tangannya hingga ke mata kaki, kemudian beliau bersabda: barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini dan shalat sunnah dua rakaat maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR.Bukhari).

Adapun cara berwudhu (rukun dan sunnah) adalah sebagai berikut :1. Niat (di dalam hati) bukan membaca di mulut. Adapun Niatnya :

“ تعالى لله األصغر الحدث لرفع الطهارة .”نويت“Aku berniat untuk bersuci dari hadas kecil karena Allah”

2. Disunnahkan untuk berdiri.3. Mendahulukan anggota tubuh bagian kanan. Sabada Nabi :

ه كل شأنه وفي وطهوره له وترج تنعله في التيمن يعجبه صم بي الن كان“Bahwa nabi SAW menyukai mendahulukan yang kanan baik di saat menggunakan

sandal, berjalan, bersuci dan seluruh perbuatannya”.4. Membasuh kedua tangan.5. Berkumur-kumur atau bersiwak.6. Menghirup / memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya.7. Membasuh muka8. Membasuh kedua tangan hingga siku.9. Membasuh kepala atau sebahagian kepala dan kedua telinga10. Membasuh kedua kaki.11. Tertib

Adapun doa yang dibaca pada saat berwudhu yaitu:

“ رزقي في لي وبارك اري د في لي ع ووس نبي ذ اغفرلي .”اللهم“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, luaskanlah kuburanku, dan berkahilah segala

rezkiku”

Sebagaian ulama berpendapat bahwa doa ini dibaca oleh Rasulullah SAW pada saat berwudhu, dan sebagian ulama berpendapat bahwa doa ini dibaca oleh Rasulullah ketika setelah selesai berwudhu.

Sebagain ulama yang meriwayatkan bahwa pada permulaan wudhu membaca doa:“ ا نور@ واإلسالم ا طهور@ الماء جعل الذي لله .”الحمد

“Segala puji bagi Allah swt yang telah menjadikan air ini suci dan islam itu cahaya”

Pada saat menghirupkan air di hidung membaca :

“ ة الجن برائحة أرحني .”اللهم“Ya Allah, ciumkanlah aku dengan bau surga”

Saat membasuh muka membaca :

“ وجوه وتسود وجوه تبيض يوم وجهي لي ض بي .”اللهم“Ya Allah, serikanlah wajahkau pada hari (Kiamat)dimana wajah-wajah ceria dan

sedih”

Pada saat membasuh kedua tangan membaca:

“ ا يسير@ @ا حساب وحاسبني بيميني كتابي أعطني .”اللهم“Ya Allah, berikanlah kitabku dengan tangan kanan dan mudahkanlah perhitunganku di

yaumil hisaab”

Pada saat membasuh kepala membaca:

“ ار الن من وبشرتي شعري م حر .”اللهم“Ya Allah, Haramkanlah api neraka atas rambut dan kulitku”

Pada saat membasuh kaki membaca:

“ يطان الش خطوات من بني جن .”اللهم“Ya allah, jauhkanlah langkah-langkahku dari langkah setan”

Namun menurut Yusuf Qardhawi bahwa hadis yang menerangkan tentang bacaan-bacaan ini lemah dan tidak ada dalil yang menunjukkan atasnya.

Setelah berwudhu disunnahkan membaca doa:

“ من واجعلني وابين الت من اجعلني اللهم الله رسول محمد@ا أن وأشهد الله إال إله ال أن أشهدالصالحين عبادك من واجعلني .”المتطهرين

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya, Ya Allah jadikanlah aku diantara orang-orang yang bertaubat, suci dan hamba-Mu yang Shalih”

c. Mandi Wajib

Hal-hal yang mewajibkan mandi adalah, Pertama: Keluarnya mani (junub), Kedua: Orang yang baru masuk islam baik kafir maupun yang murtad. Ketiga: Meninggal (mati), kecuali yang mati syahid. Keempat: Haid. Kelima: Nifas.

Adapun cara mandi (rukun dan sunnah) adalah sebagai berikut:

1. Niat (di dalam hati bukan dilafalkan):

“ تعالى لله علي فرض@ا ن البد جميع عن األكبر ث الحد لرفع الغسل .”نويت“Aku berniat mandi mengangkat hadas besar dari seluruh badan karena Allah”

2. Mencuci tangan sebanyak 3 (tiga) kali.3. Mencuci kemaluan dua atau tiga kali, sebagai mana hadits riwayat Maimunah.

4. Berwudhu seperti halnya wudhu sebelum melaksanakan shalat.5. Menuangkan air di kepala sambil menggosok agar sampai ke kulit kepala sebanyak

tiga kali, satu kali dibagian kanan, satu kali di bagian kiri dan satu kali di bagian tengah.

6. Mengalirkan air ke seluruh tubuh, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Maimunah ra.

7. Mencuci secara tiga kali setiap anggota tubuh. Namun menurut Ibnu Taimiyah dan sebagaian ulama bahwa hal ini tidak disyaratkan oleh Nabi.

8. Menggosok seluruh tubuh agar yakin bahwa air benar-benar sampai/mengena seluruh tubuh. Karena jika tidak menggosok maka air belum tentu akan mengena seluruh tubuh.

9. Dimulai dengan mendahulukan tubuh bagian kanan.10. Mencuci kaki setelah mandi pada tempat lain agar tidak mengena najis.11. Disunnahkan menutup aurat dengan kain.12. Irit dalam menggunakan air. Pada saat Wudhu menggunakan air 1 Mud (Menurut

Hanafiyah 1,032 liter, menurut Syafi’I Maliki dan hanbali : 0,687 liter). Dan untuk Mandi sebanyak 1 Shaa’ = (Menurut hanafi 3261.5 gram. Sedangkan selain Hanafi = 2172 gram).

d. Tayammum

Secara bahasa “Tayammum” berarti bermaksud dan secara istilah adalah bentuk penyembahan diri kepada Allah dengan maksud untuk bersuci dengan menyapu muka dan kedua tangan menggunakan debu pengganti dari air. Tayammum disyaratkan apabila telah masuk waktu shalat dan tidak adanya air untuk berwudhu.

Cara bertayammum adalah : Niat, menaruh tangan di atas debu, menepuk atau sedikit memukul tangan dengan tangan, menyapu muka, menyapu kedua tangan dengan cara tangan kiri menyeka/menyapu tangan kanan kemudian sebaliknya dan tertib.

E. SHALAT

Shalat berarti doa atau berkomunikasi dengan Allah SWT. Shalatnya seorang muslim merupakan derajat yang tertinggi dalam beribadah secara badaniyah dan ruhiyah dimana ia berhubungan langsung dengan Tuhannya penuh keimanan, keikhlasan, keihsanan menghadirkan-Nya di dalam hati, fikiran, dan Khusyu’. Rasulullah bersabda:

ه رب يناجى ه فإن يصلي كم أحد قام إذا

“Jika seseorang berdiri melaksanakan shalat maka sesungguhnya ia berkomunikasi dengan Allah” (Muttafaqun Alaih).

Adapun cara-cara (rukun dan sunnah) shalat dan bacaannya sebagai berikut:

1. Disunnahkan membaca Al-Mauidzatain (Surah An-Nas dan Al-Falaq)2. Mengarahkan pandangan ke tempat sujud, bukan melihat ke atas karena Rasulullah

SAW melarang untuk melihat ke atas. Dan di saat tunduk, dagu pun tidak boleh menyentuh dada.

3. Niat (di dalam hati, bukan diucapkan), contoh :

تعالى لله القبلة مستقبل ركعات ثالث المغرب فرض أصلي“Aku berniat melaksanakan shalat magrib tiga rakaat menghadap kiblat karena Allah”

4. Takbir yang artinya mengucapkan Allahu Akbar dan mengangkat kedua tangan setinggi bahu atau hingga ujung telinga dan meletakkan tangan kanan di atas kiri, bukan sekedar mengangkat tangan tanpa mengucapkan Allahu Akbar.

5. Membaca doa Iftitaf. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah tentang doa iftitah apa yang dibaca oleh Rasul, beliau menjawab :

“Ya Allah, Jauhkanlah diantara aku dan kesalahan seperti halnya Engkau menjauhkan antara timur dan barat, Ya Allah, sucikanlah aku dari segala kesalahan seperti halnya Engkau mensucikan baju putih dari kotoran, Ya Allah bersihkanlah segala kesalahanku dengan air dan es yang dingin” (HR.Bukhari dan Muslim).

Kadang pula Rasulullah membaca :

غيرك إله وال ك جد وتعلى اسمك وتبارك ك وبحمد اللهم سبحانك“Maha Suci Engkau Ya Allah dengan segala puji-pujian atas-Mu, dan keberkahan Asma-Mu, Kebesaran Anugerah-Mu dan tiada Tuhan selain Engkau”(HR.Abu daud dan Tirmizi).

Atau dengan membaca :

ونسكي تي صال إن المشركين من أنا وما مسلم@ا حنيف@ا واألرض ماوات الس فطر ذي لل وجهي وجهتالمسلمين من وأنا أمرت لك وبذ له شريك ال العالمين رب لله ومماتي ومحيايا

“Aku menghadapkan wajahku kepada Yang telah menciptakan langit dan bumi sebagai pegangan kebenaran bagi muslim, dan saya bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kepada Allah Tuhan semesta alam, tiada seorang pun yang menyekutukannya dan itulah yang telah diperintahkan padaku, dan saya termasuk orang-orang yang muslim”.

6. Membaca Ta’awwudz (A’uudzu billaahi minas-syaithaanir-rajiim) dan Basmalah (Bismillahi rahmaanir-rahiim).

7. Membaca Surah Al-Faatihah dengan perlahan karena Allah akan menjawab setiap ayat yang dibacanoleh mushalli.

8. Membaca (آمين) setelah membaca surah Al-Fatihah.9. Membaca salah satu surah dari al-Quran.10. Mengangkat kedua tangan sambil mengucapkan takbir kemudian ruku’. Kedua tangan

diletakkan di lutut, jari-jari terbuka, pundak dan kepala sama tinggi, kemudian membaca :

وبحمده العظيم ي رب سبحان“Maha suci Engkau Tuhanku yang Maha Agung dan segala Puji bagi-Nya”

(tiga kali).(HR.Abu Daud).

Atau membaca :

خشع ي رب أنت أسلمت ولك آمنت وبك ركعت لك اللهم اغفرلي اللهم ك وبحمد اللهم سبحانكأنت إال إله ال وفؤادي وبصري سمعي

“Maha Suci Engkau Ya Allah Ya Tuhan Kami dengan segala puja dan puji kepada-Mu ya Allah ampunilah dosa-dosaku. Ya Allah kepada-Mu aku ber-ruku’, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku berserah diri, yang telah mengkhusyu’kan pendengaranku, penglihatanku dan hatiku, Engkaulah Tuhanku tiada Tuhan selain Engkau” (HR.Bukhari & Muslim).

11. Mengangkat kepala sambil mengangkat kedua tangan dan membaca:

“ حمده لمن الله ”سمع“Semoga Allah mendengar siapa saja yang memuji-Nya”

(HR.Bukhari & Muslim).Dan setelah mengangkat tangan membaca :

الحمد لك نا رب“Ya Tuhan kami, bagimu segala puja dan puji” (HR.Bukhari & Muslim)

Atau membaca :

أهل ، بعد شيئ من شئت ما ء ومل مابينهما ء ومل األرض ء ومل ماوات الس ء مل الحمد لك نا ربذا ينفع وال منعت لما معطي وال أعطيت لما مانع ال عبد لك نا وكل العبد قاله ما أحق والمجد، ناء الث

الجد منك الجد“Ya Tuhan Kami, bagi-Mu segala puja dan puji seisi langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dan sepenuh apa-apa yang engkau kehendaki, pemilik segala puji dan kemuliaan yang paling benar dan pantas diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua menghambakan diri pada-Mu. Tiada yang dapat menghalangi atas apa yang Engkau berikan dan tiada yang dapat memberi atas apa yang Engkau larang dan tiada anugerah yang bermanfaat karena dari-Mu lah segala anugerah” (HR.Muslim & Abu Daud).

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri diantara perut dan dada.

12. Bertakbir untuk sujud tanpa mengangkat kedua tangan (HR.Bukhari & Abu Daud). Anggota tubuh yang terkena di saat sujud adalah kening, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung kaki. Dengan membaca :

ه وبحمد األعلي ي رب سبحان“Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi” 3x (HR.Ahmad, Abu Daud & Ibnu Majah)

Atau dengan membaca :

اغفرلي اللهم ك وبحمد نا رب اللهم وجهي ٬سبحانك سجد أسلمت ولك آمنت وبك ت سجد لك اللهم صوره فاأحسن وصوره خلقه ذي لل

“Maha Suci Engkau Ya Allah Ya Tuhan kami dengan segala puja dan puji bagi-Mu maka ampunilah dosa-dosaku. Ya Allah kepada-Mu aku bersujud dan kepada-Mu aku beriman

dan menyerahkan diri, aku sujudkan wajahku kepada Yang telah menciptakan dan membentuknya maka perbaikilah wajahku dengan sebaik-baik bentuk”.(HR.Bukhari & Muslim).

13. Duduk diantara dua sujud dengan cara duduk di atas kaki yang kiri dan kaki kanan berdiri tegak berpangku pada ujung telapak kaki dan kedua tangan berada di atas lutut. Dan membaca :

ي عن واعف وعافني ني واهد وارزقني واجبرني وارحمني اغفرلي اللهم“Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, bantulah aku, berikanlah rezki kepadaku, berikanlah aku petunjuk dan kesehatan dan maafkanlah aku” (HR.Tirmizi & Abu Daud).Di saat menjadi imam harus merubah bacaannya menjadi Allahummaghfir lanaa dan

seterusnya.

14. Kemudian sujud untuk yang kedua sama halnya dengan sujud yang pertama15. Bangkit dan berdiri untuk rakaat yang kedua dengan bertakbir berpangku pada lutut

tanpa duduk beristirahat (pendapat Imam Ahmad), sedangkan menurut imam Syafi’I disunnahkan duduk beristirahat sejenak kemudian berdiri berpangku pada tangan.

16. Pada rakaat kedua, mengerjakan seperti halnya pada rakaat pertama kecuali membaca iftitah.

17. Pada rakaat yang kedua duduk tasyahud seperti halnya duduk diantara dua sujud dan membaca tasyahhud awal :

علينا الم الس وبركاته الله ورحمة بي الن ها أي عليك الم الس لله بات الطي الصلوات المباركات ات حي التالله رسول محمد@ا أن وأشهد الله إال إله ال أن أشهد الصالحين الله عباد وعلى

“Segala hormat, keberkahan, shalawat dan segala kebaikan hanya untuk Allah, selamat atas engkau wahai baginda Nabi semoga senantiasa mendapat rahmat dan barakah dari Allah SWT, selamat kepada kami dan para hamba Allah yang shaleh, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul Allah”.(HR.Bukhari).

18. Berdiri dari Tasyahhud awal dengan mengangkat tangan seperti halnya pada takbiratul ihram. Sisa rakaat hanya dengan membaca surah Al-Fatihah saja tanpa surah yang lain, jika membaca surah yang lain pun tidak apa-apa sebagai mana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudariy.

19. Pada sujud akhir perbanyaklah doa, sebagaimana sabda Nabi :

الدعاء من فيه فأكثروا ساجد وهو ه رب من العبد يكون ما أقرب“seorang hamba akan sangat dekat dengan Tuhannya di saat ia sujud, maka perbanyaklah

berdoa”(HR.Muslim dan Abu Daud).

Doa yang biasa ditambahkan oleh Nabi pada sujud akhir setelah membaca :

اغفرلي اللهم ك وبحمد نا رب اللهم وجهي ٬سبحانك سجد أسلمت ولك آمنت وبك ت سجد لك اللهم صوره فاأحسن وصوره خلقه ذي لل

“Maha Suci Engkau Ya Allah Ya Tuhan kami dengan segala puja dan puji bagi-Mu maka ampunilah dosa-dosaku. Ya Allah kepada-Mu aku bersujud dan kepada-Mu aku beriman dan menyerahkan diri, aku sujudkan wajahku kepada Yang telah menciptakan dan membentuknya maka perbaikilah wajahku dengan sebaik-baik bentuk”.(HR.Bukhari & Muslim).

Adalah dengan membaca doa:

وعن ا نور@ سمعي وفي ا نور@ وجهي وفي ا نور@ بصري وفي ا نور@ لساني وفي ا نور@ قلبي في اجعل اللهما نور@ تحتي ومن ا نور@ فوقي ومن ا نور@ خلفي ومن ا نور@ ي يد بين ومن ا نور@ يساري وعن ا نور@ يمينيوأنت أمري في وإسراف نبي وذ خطيئتي اغفرلي اللهم ا نور@ لي واعظم ا نور@ نفسي في لي واجعل

مت قد ما اغفرلي اللهم ي عند ذلك كل ي وعمد وكسلي وهزلي ي جد اغفرلي اللهم ي من به أعلمأنت إال إله ال إلهي أنت أعلنت وما أسررت وما أخرت وما“Ya Allah jadikanlah hatiku sebagai cahaya, lidahku, mataku, wajahku, pendengaranku bercahaya, dari sebelah kanan dan kiri, depan, belakang, atas dan bawah bercahaya, jadikanlah diriku sebagai cahaya dan agungkanlah aku dengan cahaya. Ya Allah ampunilah segala kesalahnku, dosaku, dan hal yang berlebih-lebihan karena Engkaulah yang lebih mengetahui disbanding diriku. Ya Allah ampunilah keseriusan, canda tawa, senda gurau, kemalasan, dan kesengajaanku semua itu dariku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah aku perbuat maupun yang belum, dosa-dosa yang tidak kusadari maupun yang kusadar, Engkaulah Tuhanku dan tiada Tuhan selain engkau Ya Allah”.

20. Pada duduk tasyahhud akhir sedikit berbeda dengan yang pertama pada posisi duduk yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yang pertama; tegakkan kaki kanan dan kaki kiri keluar dari celah betis sebelah kanan dan duduk di atas tanah/lantai. Kedua; membentangkan kedua kaki, kaki kiri di bawah betis sebelah kanan sedikit keluar di bagian kanan. Ketiga; membentangkan kaki kanan dan kaki kiri berada diantara paha dan betis.Adapun doa yang dibaca setelah doa :

علينا الم الس وبركاته الله ورحمة بي الن ها أي عليك الم الس لله بات الطي الصلوات المباركات ات حي التالله رسول محمد@ا أن وأشهد الله إال إله ال أن أشهد الصالحين الله عباد وعلى

Adalah dengan menambahkan shalwat dan salam kepada Nabi:

نا د سي آل وعلى إبراهيم نا د سي على صليت كما محمد نا د سي آل وعلى محمد نا د سي علي صل اللهمآل وعلى إبراهيم نا د سي على باركت كما محمد نا د سي آل وعلى محمد نا د سي على وبارك إبراهيم

مجيد حميد ك إن العالمين في إبراهيم نا د سي“Ya Allah, bershalawatlah kepada baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya sebagaimana Engaku bershalawat kepada baginda Nabi Ibrahim dan keluarganya, berikanlah berkah-Mu kepada Nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkati Nabi Ibrahim dan keluarganya di seluruh alam, sesungguhnya Engkau maha pemuja dan Mulia”(HR.Bukhari & Muslim).

Kemudian menambahkan doa :

فتنة شر ومن والممات المحيا فتنة ومن القبر عذاب ومن م جهن عذاب من بك أعوذ ي إن اللهمجال الد يح من ٬المس مغفرة@ فاغفرلي أنت إال الذنوب يغفر وال ا كثير@ ظلم@ا نفسي ظلمت ي إن اللهم

حيم الر الغفور أنت ك إن وارحمني ك عند

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari siksa api neraka, siksa kubur, dan dari fitnah semasa hidup dan setelah mati serta aku berlindung dari fitnah dajjal. Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak mendzalimi diriku sendiri dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau Ya Allah, maka Ampunilah aku dengan segala pengampunan-Mu serta kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (HR.Bukhari dan Muslim).

21. Mengangkat jari telunjuk di saat mengucapkan “Illallah” dari syahadat, atau pada kalimat “Laa ilaaha”, atau pada setiap mengucapkan nama Allah, atau menggerakkan/memutar ke kanan dan kiri.

22. Salam kanan dan kiri dengan mengucapkan :

اللــــــــــــه ورحمة علـيكم ــــــالم الس“Semoga keselamatan dan rahmat Allah senantiasa bersama kalian”

23. Tertib

Sepantasnyalah bagi seorang yang melaksanakan shalat jika ingin berdoa kepada Allah SWT maka perbanyaklah berdoa sebelum salam setelah melengkapai bacaan tasyahhud dan apa yang telah diperintahkan oleh Nabi yaitu memohon perlindungan dari siksa neraka, kubur, fitnah di saat hidup dan mati juga dari fitnah dajjal. Ia boleh meminta segala kebaikan baik di dunia maupun di akherat.

F. ABORSI MENURUT HUKUM ISLAM

Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel

sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:

“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).

“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:

“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:

“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.

Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah Saw bersabda :

“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.

Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.

Rasulullah Saw telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya:

“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus.

Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

“Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”

“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.

G. BAYI TABUNG

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.

       Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk berbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.

        Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –antara sel sperma suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.

        Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :

“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :

 “Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)

       Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.

       Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

       Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

       Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu  pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.

       Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam.

       Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)

       Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)

       Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

Dr. Yusuf Qordowi

Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang disebut pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan sperma suami.

Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab agama akan menurunkan ayat tentang itu.

Apabila pencangkokan yang dilakukan itu bukan air suami, maka tidak diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang lebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang justru ditentang oleh syara' dan undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia

H. KB - DALAM PERSPEKTIF ISLAM

FATAWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH

Pertanyaan.Syaikh Abdul Azin bin Baz ditanya : Apa hukum KB ?

Jawaban.“Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan

dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat (dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)”.[Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.

Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :

Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.

Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh”. [Fatawa Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]

Pertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan,

yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?”

Jawaban.Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya. [Fatawa Mar'ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]

FATAWA LAJNAH AD-DAIMAH

Pertanyaan.Lajnah Daimah ditanya : “Apa hukum memakai pil-pil pencegah kehamilan untuk wanita-wanita yang sudah bersuami ?”

jawaban.Seorang istri tidak boleh menggunakan pil pencegah kehamilan karena takut banyak anak, atau karena harus memberikan tambahan belanja. Tetapi boleh menggunakannya untuk mencegah kehamilan dikarenakan.

Adanya penyakit yang membahayakan jika hamil Dia melahirkan dengan cara yang tidak normal bahkan harus melakukan operasi jika

melahirkan dan bahaya-bahaya lain yang serupa dengan hal tersebut.

Maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya mengkonsumsi pil pencegah hamil, kecuali jika ia mengetahui dari dokter spesialis bahwa mengkonsumsinya membahayakan si wanita dari sisi lain” [Fatawa Mar'ah Juz 2 hal 53]

FATAWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN

Pertanyaan.“Seorang ikhwan bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?”

Jawaban.Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari’atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israi.

Artinya : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra : 6]

Artinya : “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A'raf : 86]

Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :

Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.

Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]

Pertanyaan.“Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal kerika berjima tanpa sebab?”

Jawaban.Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

Artinya : “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat” [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil.

Artinya : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra' : 6]

Artinya : “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A'raf : 86]

Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab

kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya.

Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” [Hud : 6]

Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.

Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.

Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah pemakaiannya membahayakan atau tidak.

Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.

Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari’at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.

Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan ‘azal ketika berjima’ tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu.

Artinya : “Kami melakukan ‘azal sedangkan Al-Qur’an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam)” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam Al-hilyah 3/61-62]

Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber’azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber’azal terhadap

istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber’azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.

Berdasarkan keterangan ini maka ‘azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri”. [Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juj 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li'umumil Ummah]

I. TRANSPLANTASI   ORGAN

SOAL :Teknologi kedokteran modern mampu melakukan transplantasi organ. Secara faktual, hal ini sangat membantu pihak-pihak yang menderita sakit untuk bisa sembuh kembali dengan penggantian organnya yang sakit diganti dengan organ manusia lain yang sehat. Apakah hal demikian boleh dilakukan? 

JAWAB : Yang dimaksud dengan transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia –pada saat dia hidup, atau setelah mati– kepada manusia lain. Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut : 

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup : 

            Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk menyumbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal.           

Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya.           

Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu.             Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut.            Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberikan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman : 

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178) 

Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup                       

Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelang-sungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :  

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29) 

Allah SWT berfirman pula : 

“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151) 

            Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.” 

            Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : 

“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.” 

            Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menyebabkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata : 

“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.” 

            Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyumbangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan– merupakan substansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan  –yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya–  baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain.           

Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyumbang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedikitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka.           

Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab.           

Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” 

Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW : 

“Siapa saja yang mengaku-ngaku  (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.” 

            Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat li’an : 

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak

akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”   

2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal : 

            Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup.           

Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat.           

Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar mening-galnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya.           

Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya.

Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak men-cakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya.           

Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu

organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya.           

Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.            

Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : 

“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). 

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : 

“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !” 

Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : 

“Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !” 

            Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat.           

Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penga-niayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya

bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja.             

Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).” 

            Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriwayatkan dari Shafwan bin ‘Asaal RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda : 

“Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan janganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhianatan, dan membunuh anak-anak !” 

            Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penga-niayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’. 

Keadaan Darurat 

            Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang terpaksa –yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ?             

Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya.           

Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa –yang telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan

apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah –seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfirman : 

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam kea-daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya.” (QS. Al Baqarah : 173) 

Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman : 

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)  

            Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan –dengan jalan Qiyas– pada fakta transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ?           

Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas –yaitu transplantasi organ– harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan– baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat keumumannya atau kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masalah cabang.           

Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya.

Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi.            

Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya.

            Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal  yang harus diperhatikan :Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) –yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raajih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang –yakni transplantasi organ– telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi.           

Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan –seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** — kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.