©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah...

17
1 BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Kemajuan masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tiga puluh atau empat puluh tahun terakhir ini mengandung segi positip dan segi negatipnya bagi masyarakat pada dirinya dan bagi lingkungan hidup. Sebagai contoh tindakan yang ramah lingkungan dapat disebutkan di sini antara lain adanya jalur hijau di kota-kota besar, penanaman pepohonan di kota, menghutankan kembali lahan- lahan kosong atau gundul, menghemat penggunaan air dan sebagainya. Sebaliknya tindakan yang merusak alam atau lingkungan hidup contohnya adalah membuang sampah sembarangan sehingga pada musim hujan terjadi banjir di kota besar seperti Jakarta akibat selokan saluran air tersumbat. Air berwarna hitam dan kotor, tidak sehat. Hutan dimana-mana di kepulauan Indonesia dibabat dan terjadi erosi, sungai menjadi dangkal dan terjadi tanah longsor diberbagai tempat yang mendatangkan korban jiwa manusia. Lingkungan hidup di Indonesia telah menjadi rusak karena tindakan manusia. Hal itu sudah banyak ditulis dan dikabarkan di media cetak maupun media elektronik di Indonesia. Pada era tahun 2000-an telah tumbuh kesadaran dan usaha untuk meminimalisir dampak negatip kemajuan dan pembangunan. Timbul kesadaran yang menyatakan bahwa manusia juga bergantung pada lingkungan hidup yang baik dan yang sehat makin meningkat. Hal itu terwujud antara lain dengan tumbuhnya kesadaran untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal atau ©UKDW

Transcript of ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah...

Page 1: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang

Kemajuan masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tiga puluh atau

empat puluh tahun terakhir ini mengandung segi positip dan segi negatipnya bagi

masyarakat pada dirinya dan bagi lingkungan hidup. Sebagai contoh tindakan

yang ramah lingkungan dapat disebutkan di sini antara lain adanya jalur hijau di

kota-kota besar, penanaman pepohonan di kota, menghutankan kembali lahan-

lahan kosong atau gundul, menghemat penggunaan air dan sebagainya.

Sebaliknya tindakan yang merusak alam atau lingkungan hidup contohnya adalah

membuang sampah sembarangan sehingga pada musim hujan terjadi banjir di kota

besar seperti Jakarta akibat selokan saluran air tersumbat. Air berwarna hitam dan

kotor, tidak sehat. Hutan dimana-mana di kepulauan Indonesia dibabat dan terjadi

erosi, sungai menjadi dangkal dan terjadi tanah longsor diberbagai tempat yang

mendatangkan korban jiwa manusia. Lingkungan hidup di Indonesia telah

menjadi rusak karena tindakan manusia. Hal itu sudah banyak ditulis dan

dikabarkan di media cetak maupun media elektronik di Indonesia.

Pada era tahun 2000-an telah tumbuh kesadaran dan usaha untuk

meminimalisir dampak negatip kemajuan dan pembangunan. Timbul kesadaran

yang menyatakan bahwa manusia juga bergantung pada lingkungan hidup yang

baik dan yang sehat makin meningkat. Hal itu terwujud antara lain dengan

tumbuhnya kesadaran untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal atau

©UKDW

Page 2: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

2

local wisdom dan menghidupkannya secara terus-menerus dalam masyarakat.

Penelitian dan kajian mengenai ritual-ritual lokal dilakukan di sana-sini. Ritual

lokal warisan nenek-moyang bangsa Indonesia diyakini antara lain bermuatan

nilai-nilai kearifan lokal.

Damai dengan sesama manusia dan damai dengan alam atau lingkungan

hidup yang berpusat pada ritual lokal sudah selayaknya mendapatkan perhatian

yang proporsional. Dalam rangka itulah penulis tergerak untuk melakukan

penelitian terhadap ritual lokal Rasulan di desa Wiladeg, Gunung Kidul,

Yogyakarta.

Menurut pengamatan penulis, masyarakat desa Wiladeg bukan satu-

satunya yang masih melestarikan ritual rasulan. Ada beberapa desa lain di

kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta juga memiliki ritual serupa yang lazim

disebut Bersih Desa. Namun, rasulan di desa Wiladeg lebih dari sekedar bersih

desa sebagaimana dilaksanakan desa-desa lain di sekitarnya seperti desa

Bejiharjo, Kelor, Ngawis, Bendungan, bahkan desa-desa di kecamatan-kecamatan

lain. Desa-desa lain menyelenggarakan Bersih Desa hanya dalam waktu yang

singkat yaitu sehari semalam dan melibatkan hanya sedikit orang dan hanya

sedikit penduduk setempat saja. Namun tidak demikian dengan rasulan di desa

Wiladeg. Rasulan desa Wiladeg dapat dikatakan sebagai peristiwa yang

melibatkan banyak orang dan bersifat besar-besaran menurut ukuran masyarakat

desa. Pada waktu persiapan hingga hari H pelaksanaan rasulan memakan waktu

hingga beberapa minggu. Persiapan dan penyelenggaraannya juga melibatkan

seluruh penduduk desa : laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, muda-mudi

©UKDW

Page 3: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

3

desa, orang-tua, tokoh-tokoh agama (ulama), sesepuh desa, dan aparat pemerintah

atau pamong desa, bahkan para perantau atau pemudik. Penduduk dari luar desa

juga berduyun-duyun menghadirinya. Selain itu, perayaan rasulan juga dihadiri

para lurah dari desa-desa di sekitar Wiladeg, Camat, Bupati. Tokoh Kraton

Yogyakarta seperti Sri Paku Alam VIII sebagai patih atau wakil raja dan bahkan

raja Mataram, Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X juga hadir.

Masyarakat luas memberikan apresiasi terhadap ritual rasulan desa Wiladeg.

Ritual rasulan di desa Wiladeg mencakup 2 (dua) kegiatan utama yang

tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, yaitu (a) ritual Bersik kali Banteng

pada hari Jumat Legi1, dan (b) Rasulan pada hari Jumat Kliwon, yaitu empat belas

hari setelah ritual yang pertama. Ritual Rasulan dilaksanakan pada bulan Juli atau

Agustus, dipilih salah satu pada bulan yang mana di dalamnya terdapat hari Jumat

Legi dan Jumat Kliwon.

Kegiatan ritual Bersik kali Banteng adalah kegiatan warga masyarakat

membersihkan sumber mata air di kali (sungai) Banteng. Di sana ada sekitar

seratus bahkan lebih orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak,

remaja, pemuda bersama-sama dan beramai-ramai mengangkat lumpur dan

sampah dedaunan atau sampah-sampah lainnya dari pusat sumber mata air di kali

Banteng dan dari lokasi di sekitarnya lalu membuangnya atau membakarnya.

Setelah kegiatan membersihkan kali Banteng selesai, di tempat itu juga

dilaksanakan acara makan bersama atau kenduri. Menurut pengamatan penulis,

makanan yang disantap bersama-sama itu berasal dari sekitar lima-puluhan

1 ‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage,

Kliwon disebut ‘sepasar’.

©UKDW

Page 4: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

4

keluarga yang metok-ke2 ambengan

3. Dalam hal ini ada keluarga-keluarga yang

metokke ambengan lebih dari satu paket. Acara makan bersama atau kenduri itu

dilakukan secara berkelompok membentuk lingkaran dengan anggota masing-

masing sekitar 10 orang per kelompok. Mereka duduk lesehan atau duduk di tikar

dan berbaur satu dengan lainnya dan ambengannya diletakkan di tengah

lingkaran pada setiap kelompok kelompok. Sebelum makan dimulai, Bapak Lurah

lebih dulu memberikan sambutan berkaitan dengan maksud dan tujuan

dilaksanakannya kegiatan Bersik kali Banteng ini. Kemudian seorang sesepuh

adat yang dulu disebut ‘juru kunci kali’ memimpin ’ijab kabul’4 atau doa secara

adat secukupnya. Setelah ijab kabul secara adat selesai, diteruskan dengan doa

secara agama Islam yang dipimpin oleh seorang ulama Islam. Kemudian makan

bersama dimulai hingga selesai. Itulah ritual pertama sebagai bagian dari ritual

Rasulan. Mereka bergotong-royong membersihkan sumber mata air di kali

Banteng dan makan bersama setahun sekali di lingkungan kali Banteng.

Ritual kedua disebut dengan Rasulan yang dilaksanakan pada hari Jumat

Kliwon, yaitu dua minggu setelah ritual Bersik Kali Banteng. Selama dua minggu

itulah penduduk Wiladeg melakukan kegiatan bersih-bersih (Jawa : resik-resik)

yaitu membersihkan sampah, atau rerumputan di pekarangan rumah, memperbaiki

dan mengapur pagar halaman, dan mengecat dinding rumah. Kegiatan lainnya

2 ‘metok-ke’ adalah istilah lokal yang berarti ‘menghidangkan’ atau ‘menyajikan’. Wujudnya

adalah kupat yang berjumlah puluhan buah kupat atau lebih dan satu atau beberapa ingkung ayam

kampung (jago) dan gudangan atau urap. 3 ‘Ambengan’ adalah hidangan yang disajikan berupa ingkung ayam jantan, ketupat dan urap

sayuran. Hidangan tersebut diletakkan di dalam tampah (alat menampi) dengan daun pisang

sebagai alasnya. 4 ‘ijab kabul’ adalah semacam doa dengan menyebut jenis sesajian atau ambengan yang

disediakan dan mengucapkan maksud tujuan dari adanya ‘sesajian’ itu.

©UKDW

Page 5: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

5

adalah membuat dan menjemur krupuk atau rengginang dari beras ketan dan

makanan lainnya seperti lempeng dari tepung beras atau makanan ritualonal

lainnya.

Sementara itu di rumah para dukuh atau perangkat desa yang terendah, ada

kegiatan membuat 2 (dua) buah gunungan atau ancak yaitu ancak lanang (laki-

laki) dan ancak wedok (perempuan). Ancak lanang adalah ancak yang dibuat

secara bebas sesuai kreatifitas masing-masing pedukuhan, bisa berupa patung

pahlawan nasional, burung garuda, pesawat terbang, atau perahu. Sedangkan

ancak wedok dibuat pada satu hari sebelum hari ’H’. Bahan yang digunakan untuk

membuat ancak wedok adalah hasil bumi seperti padi, jagung, sayur-mayur dan

umbi-umbian. Karena desa Wiladeg terdiri dari 10 pedukuhan maka tepat pada

hari rasulan ada 10 pasang ancak yang berbeda-beda. Pada hari Rasulan, baik di

dalam ancak lanang maupun ancak wedok tersebut diisi ambengan. Jika pada

acara Bersik Kali Banteng dihidangkan ambengan yang berasal dari keluarga per

keluarga yang metokke, sementara ambengan di dalam gunungan (ancak)

merupakan ambengan pedukuhan, artinya adalah bahwa ambengan itu merupakan

hasil kebersamaan masyarakat di pedukuhan yang bersangkutan secara kolektif.

Setelah tiba pada hari ’H’ perayaan ritual rasulan, yaitu pada hari Jumat

Kliwon, masyarakat dari masing-masing pedukuhan mengusung 2 (dua) buah

ancak tersebut menuju pusat, yaitu lapangan desa. Yang menarik dan

menghasilkan kemeriahan adalah arak-arakan masyarakat pengusung dan

pengiring ancak beserta pasukan reyog ritualonal dengan segala bunyi-bunyiannya

ritualonal yang khas. Pada akhirnya terkumpullah 10 pasang ancak di lapangan

©UKDW

Page 6: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

6

desa dengan sepuluh grup reyog dan ribuan warga masyarakat. Dari lapangan desa

dilanjutkan kirab gunungan beserta reyognya masing-masing menuju halaman

balai desa yang berjarak sekitar 150 meter.

Kegiatan dan acara di Balai Desa meliputi : (a) Sambutan-sambutan dari

Lurah, Bupati, dan Tokoh Adat Kraton Yogyakarta; (b) Ijab kabul dan doa secara

Islam; (c) Beber reyog yaitu acara dimana setiap grup reyog unjuk kebolehan

secara bergantian. Acara terakhir dan penutup adalah (d) berebut isi gunungan,

sebuah acara yang dinantikan warga masyarakat. Sementara acara berebut isi

gunungan itu berlangsung, tamu-tamu khusus seperti Camat, Bupati dan KGPH

Hadi Kusumo (tokoh adat kraton Yogyakarta) beserta rombongan dan tamu-tamu

desa yang lainnya menikmati makan bersama atau kenduri di balai desa. Biasanya

acara di balai desa dimulai sejak pagi dan selesai pada sekitar jam 15.00. wib.

Pada malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di pendopo

balai desa. Dua tontonan yang disebut terakhir dibanjiri ribuan orang penonton.

Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa pada rasulan dua tahun

terakhir yaitu tahun 2009 tahun 2010 selama satu minggu sebelum hari ’H’ pada

setiap malam hari di pendopo balai desa diadakan berbagai macam atraksi atau

gelar budaya ritualonal. Gelar budaya ritualonal itu meliputi tari-tarian ritualonal,

wayang kulit oleh dalang cilik, karawitan, sinden cilik, campur sari dan ketoprak,

yang semuanya serba bernuansa.

Hal lain yang menarik adalah open house yang dilaksanakan oleh

penduduk Wiladeg. Pada hari H rasulan baik pada siang maupun malam hari

penduduk mengadakan open house. Mereka menerima siapa saja yang singgah di

©UKDW

Page 7: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

7

rumah penduduk, bisa teman-teman lama pada masa sekolah, atau teman-taman

sekolah sekarang, teman-teman kantor atau teman kerja, teman-teman pensiunan,

sanak-saudara, sanak-famili atau kerabat atau siapa saja yang berkenan singgah.

Mereka datang dari tempat dekat dan dari tempat jauh. Pada kesempatan ini para

perantau juga pulang mudik ke desa Wiladeg. Maka disengaja atau tidak sengaja

para pemudik punya kesempatan reuni .

Masih informasi dari warga masyarakat, konon biaya penyelenggaraan

rasulan desa Wiladeg tahun 2010 mencapai sekitar Rp.60 juta. Dana itu

bersumber dari iuran warga masyarakat. Penduduk kategori petani berkontribusi

Rp.30.000,- per kepala keluarga; penduduk yang berstatus pegawai negeri dan

yang setara dengan itu berkontribusi Rp.50.000,- per kepala keluarga. Dan dari

sumber-sumber lain yang berasal dari hasil usaha-usaha panitia pelaksana rasulan

antara lain baik dari para donatur maupun dari anggota keluarga penduduk

Wiladeg yang pulang mudik.

Bagi penduduk Wiladeg selain kewajiban berkontribusi dana kepada

panitia pelaksana rasulan tersebut, setiap keluarga juga mengalokasikan dana

dalam rangka rasulan itu mulai dari Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sampai

dengan jutaan rupiah. Dana itu untuk kebersihan dan kerapihan atau keelokan

rumah, untuk menyiapkan konsumsi atau hidangan menyambut siapa saja yang

singgah pada hari rasulan itu. Besaran biaya setiap keluarga berbeda-beda

tergantung dari jumlah tamu yang telah diprediksi akan berkunjung atau yang

singgah pada berlangsungnya ritual rasulan.

©UKDW

Page 8: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

8

Menurut pengalaman penulis selama tinggal di desa Wiladeg antara tahun

1970-an sampai dengan tahun 1980-an penulis mengetahui bahwa penduduk

Wiladeg menghormati dan mengasihi sesamanya dan lingkungannya.

Meskipun penyelenggaraan ritual rasulan menimbulkan penumpukan masa

dalam jumlah ribuan orang pada saat bersamaan namun demikian hal itu tidak

menimbulkan hal buruk seperti keributan, adu jotos, perkelahian dan sejenisnya.

Penyelenggaraan ritual rasulan tersebut berjalan aman, tertib dan menyenangkan.

Demikian gambaran tentang ritual rasulan desa Wiladeg yang penulis kenal atau

ketahui. Keadaan masyarakat desa Wiladeg dengan ritual rasulannya itu

sepertinya memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat yang nyaman,

tertib, aman, damai dan suka berbagi.

Masyarakat desa Wiladeg adalah bagian integral dari masyarakat majemuk

(plural) di Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya tentu sudah

memaklumi bahwa sejak bangsa Indonesia memasuki era reformasi mulai 1998

sampai sekarang di berbagai tempat telah terjadi banyak gejala melemahnya

ikatan (kohesi) sosial sampai dengan timbulnya peristiwa kekerasan dan konflik.

Eskalasi kekerasan dan konflik tersebut terjadi pada tingkat mikro, mezo maupun

makro dan menjadi masalah nasional. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya

merupakan konflik horizontal atau konflik antar sesama warga masyarakat ; dan

atau konflik vertikal yaitu konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Dampak

buruk dari konflik antara lain runtuhnya struktur dan kultur masyarakat yang telah

dibangun selama ini. Hal itu dapat kita ketahui baik dari berita di koran, majalah

maupun dari siaran televisi pada sekitar tahun 1998. Berita di media cetak dan

©UKDW

Page 9: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

9

media elektronik itu menyebutkan bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia

dipicu antara lain oleh perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar

Golongan). Konflik berbau SARA terjadi di Ambon, Maluku pada sekitar tahun

1998. Disusul tragedi / konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Kita juga tentu tidak

lupa pada tragedi Monas, Jakarta pada 16 Agustus 2010. Atau kekerasan kepada

penganut Islam Ahmadiyah di beberapa tempat di Tanah Air. Konflik ‘makam

mbah Priok’, di Tanjung Priok, Jakarta yang menelan sejumlah korban tewas ;

tragedi penusukan senjata tajam dan pemukulan terhadap warga gereja HKBP

Bekasi ketika korban sedang beribadah di gereja pada Minggu, 19 September

2010. Merebaknya peristiwa penutupan tempat-tempat ibadah oleh sekelompok

warga masyarakat. Konflik dan dan kekerasan tersebut bertolak-belakang dengan

ritual adat-istiadat gotong-royong dan kebersamaan di dalam masyarakat.

Tingkat kekerasan mulai dari lingkup kecil hingga lingkup yang besar

dengan terjadinya perang antar atau sesama manusia itu bisa dipicu oleh isu

SARA, karena masalah tanah, batas wilayah desa, kecamatan, kabupaten atau

karena kebijakan Pemerintah. Hampir dapat dipastikan bahwa akibat dari setiap

konflik adalah kerusakan, termasuk rusaknya tata-nilai luhur masyarakat

Indonesia.

Agar tidak menimbulkan kesan asal hantam kromo atau men-generalisasi

atau pukul rata seolah-olah semua warga masyarakat di wilayah Nusantara

Indonesia suka kekerasan, di sini penulis melakukan penelitian di komunitas

masyarakat Wiladeg yang memiliki ritual lokal. Penulis beranggapan bahwa

©UKDW

Page 10: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

10

ritual Rasulan masyarakat di desa Wiladeg adalah ritual yang menghasilkan

kondisi damai dalam masyarakat dan lingkungan hidup atau alam.

Melalui penelitian dan pengkajian tentang ritual lokal rasulan desa

Wiladeg ini, semoga makin menyemangati usaha-usaha membangun masyarakat

yang damai pada masa kini dan di masa yang akan datang.

1.2. Rumusan Masalah

Masyarakat desa Wiladeg adalah masyarakat yang dengan setia sejak

dahulu kala hingga sekarang pada setiap tahun selalu menyelenggarakan ritual

rasulan. Ritual rasulan masyarakat desa Wiladeg memuat nilai-nilai atau aspek-

aspek penting yang menyumbang terciptanya kondisi damai dalam masyarakat

setempat dan masyarakat di sekitarnya. Ritual lokal itu dapat digambarkan seperti

nyala lilin yang menerangi kegelapan; atau seperti setitik warna putih di atas

selembar kertas hitam. Artinya, bahwa di tengah merebaknya konflik dan

kekerasan di beberapa wilayah di negeri ini seperti di Ambon, Poso, dan Tanjung

Priok, menurut penulis masih ada suatu komunitas yang cinta damai, yaitu

masyarakat yang hidupnya justru berakar, tumbuh dan berkembang dan saling

menghidupi dengan nilai-nilai ritual lokalnya. Hal lain yang juga menarik untuk

diperhatikan lebih jauh adalah kenyataan bahwa ritual rasulan itu diminati dan

dirindukan bahkan diapresiasi oleh masyarakat setempat dan masyarakat dari luar

desa Wiladeg termasuk pejabat pemerintah dan tokoh adat kraton Yogyakarta.

Oleh sebab itu penulis merasa termotivasi untuk mempelajarinya lebih dalam

melalui penelitian.

©UKDW

Page 11: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

11

Untuk melakukan penelitian, penulis bertitik-tolak dari pertanyaan sebagai

penelitian berikut, yaitu : Pertama, apa sesungguhnya makna ritual Rasulan

tersebut baik bagi masyarakat Wiladeg sendiri maupun bagi orang-orang luar

daerah yang berpartisipasi / berkontribusi di dalam ritual rasulan itu? Kedua,

dalam hal apa ritual rasulan itu mempromosikan perdamaian?

Bertitik-tolak dari dua pertanyan dasar itu kemudian dilakukanlah

penelitian ini.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : Pertama, untuk

mengetahui secara lebih mendalam mengenai makna ritual rasulan baik bagi

masyarakat Wiladeg sendiri dan bagi orang-orang luar daerah yang berartisipasi /

berkontribusi di dalam ritual rasulan itu; dan yang kedua, untuk mengetahui

sejauh mana ritual rasulan tersebut mempromosikan, memperkenalkan,

mengembangkan, meng-kampanyekan perdamaian dalam masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian

Penulis bermaksud agar dari hasil penelitian ini masyarakat Wiladeg

khususnya dan masyarakat luas pada umumnya mengetahui bahwa ritual rasulan

itu bukan hanya sekedar ritual yang tanpa makna. Ritual rasulan desa Wiladeg

memiliki di dalamnya nilai-nilai kearifan lokal atau local wisdom yaitu nilai-nilai

perdamaian seperti makin kuatnya rasa kebersamaan dalam perbedaan. Tentu

nilai-nilai tersebut sangat relevan bagi masyarakat modern pada masa sekarang

©UKDW

Page 12: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

12

dan masa yang akan datang. Menurut penulis, sejarah dan realitas sosial

masyarakat desa Wiladeg adalah masyarakat yang cinta damai. Mereka telah

menjadi agen perdamaian. Secara langsung atau tidak langsung mereka

melakukan promosi perdamaian, ketika sejak dini warga masyarakat telah

diperkenalkan dan terlibat dalam penyelenggaraan ritual yang dimilikinya.

Dengan studi ini kiranya menjadi sumbangsih bagi masyarakat luas dan

lembaga pendidikan ilmiah agar dapat melakukan analisa yang lebih mendalam

atas ritual rasulan ini, dan menjadi sumbangsih bagi para pihak yang giat

melakukan perjuangan demi perdamaian.

1.5. Metode Penelitian

Tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data dalam

penelitian kualitatif adalah hal-ikhwal, peristiwa, manusia maupun situasi yang

dapat diobservasi dan dijadikan sumber informasi atas fokus penelitian yang

dimaksudkan. Sumber data dalam penelitian kualitatif berasal dari para nara-

sumber atau human resources dan dari non human resources yaitu dokumen

seperti kaset, photo dan lain-lain. Sumber-sumber data tersebut dipilih secara

purposive bertalian dengan purpose atau tujuan penelitian ini.

Berdasarkan hal tersebut maka sumber data penelitian ini adalah semua

peristiwa yang terjadi di dalam ritual rasulan dan hasil wawancara dengan para

pihak pemangku kepentingan pada hari Jumat Legi, 2 Juli 2010 dan Jumat Kliwon

tanggal 16 Juli 2010. Sumber lainnya adalah pengetahuan dan pengenalan penulis

yang pernah tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat desa antara tahun 1970-

©UKDW

Page 13: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

13

1980an. Dokumen lain tentang ritual rasulan desa Wiladeg belum pernah penulis

temukan hingga sekarang. Namun demikian ketiadaan dokumen tersebut dapat di

atasi dengan cara bahwa penulis terlibat dan terjun langsung dalam pelaksanaan

ritual rasulan desa Wiladeg. Penulis mengadakan pengamatan langsng dan

wawancara serta ikut merayakan ritual tersebut.

1.5.1. Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara (1) melakukan

pengamatan langsung (obeservasi) terhadap persiapan dan pelaksanaan ritual

rasulan. Penulis mengamati kehidupan masyarakat Wiladeg, peristiwa selama

rasulan berlangsung, simbol-sombol yang digunakan dalam rasulan, atraksi-

atraksi dalam ritual rasulan dan partisipasi masyarakat desa Wiladeg. (2)

Melakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam tersebut dilakukan

dengan para pihak pemangku kepentingan ritual rasulan yaitu Lurah Desa yang

sekaligus ketua adat setempat, dengan masyarakat desa Wiladeg kategori lanjut

usia (para sepuh), PNS, Petani, Tokoh-tokoh Agama, Pemuda, dan wawancara

dengan para perantau yang mudik pada hari H rasulan. Penulis melakukan

wawancara tersebut kira-kira dengan 5 - 7 orang pada setiap kategori. Selain

yang telah disebut, wawancara juga dilakukan dengan bupati dan tokoh adat

kraton Yogyakarta yang hadir pada hari H; serta beberapa orang luar daerah yaitu

para pengunjung yang datang dari desa atau tempat lain pada hari ‘H’ rasulan

tanggal 16 Juli 2010.

Pemilihan dan penentuan kelompok atau kategori narasumber tersebut

dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing dari mereka akan

©UKDW

Page 14: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

14

mewakili kelompoknya atau kategorinya, perannya dan fungsinya yang berbeda-

beda berkenaan dengan penyelenggaraan ritual rasulan itu. Diharapkan dari

kategori nara-sumber yang berbeda-beda itu akan diperoleh data yang bervariasi

dan lengkap berkenaan dengan ritual rasulan ini.

1.5.2. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan cara

mengolah serta mengintepretasikan data yang didapatkan baik dari pengamatan

(observasi) dan wawancara dengan memfokuskan pada penajaman makna dari

data tersebut. Dengan demikian untuk analisis data ini menggunakan langkah-

langkah sebagai berikut : (1). Merinci fokus masalah yang benar-benar menjadi

pusat perhatian untuk ditelaah secara mendalam. (2). Melacak, mencatat dan

mengorganisasikan setiap data yang relevan untuk masing-masing fokus masalah

yang ditelaah. (3). Menyatakan apa-apa yang telah dimengerti tentang masing-

masing fokus masalah dengan menggunakan bahasa kualitatif yang bersifat

deskriptif -interpretatif5 yaitu seperti yang dijelaskan pada bab III.

1.6. Kerangka Teoritis

Kerangka dan landasan teoritis yang dijadikan acuan penelitian ini adalah

teori perdamaian menurut Johan Galtung6, khususnya tentang teori Perdamaian

Positip dan pendapat Novri Susan serta Weileruny.

5 Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung : Tarsito 1992), p.29

6 Johan Galtung, dalam bukunya (terjemahan) STUDY PERDAMAIAN Perdamaian Dan Konflik,

Pembangunan Dan Peradaban, terjemahan : Asnawi dan Safrudin (Surabaya : Pustaka Eurika,

2003).

©UKDW

Page 15: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

15

Menurut Galtung perdamaian positip mensyaratkan terpenuhinya 4 faktor

pembentuknya yang secara keseluruhan meliputi (1). Perdamaian positip

langsung. (2). Perdamaian positip struktural. (3) Perdamaian positip kultural dan

(4). Perdamaian alam. Pada bagian ini juga ditambahkan pendapat pakar dalam

negeri agar studi ini makin lengkap yaitu pendapat Weileruny tentang damai dan

pendapat Novri Susan tentang perdamaian menyeluruh. Dua tokoh yang disebut

terakhir adalah pakar-pakar Indonesia yang menggeluti isu perdamaian.

Galtung berpendapat, bahwa usaha untuk mencapai tujuan perdamaian

positip harus dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan terhadap masyarakat

Wiloadeg, yaitu : (1). Pendekatan dari perspektif pelaku (aktor) yaitu Lurah

Wiladeg sebagai Pemangku Adat, para tokoh dan pemuka masyarakat Wiladeg,

para tokoh agama dan sesepuh desa Wiladeg, para poenyelenggara dan pengguna

ritual rasulan desa Wiladeg, dan (2). Pendekatan dari perspektif struktur atau

system desa Wiladeg. Dua pendekatan tersebut harus berkaitan secara langsung.

`Perdamaian langsung, perdamaian struktural, perdamaian kultural dan

perdamaian alam dapat menjadi kenyataan dan dialami oleh manusia dan

lingkungan hidup sangat tergantung pada dua hal yaitu sikap positip dan

apresiatip dari manusia pada dirinya kepada semua itu dan pada sistem atau

stuktur yang tersedia.

Penulis cukup yakin bahwa ritual rasulan masyarakat di desa Wiladeg

memenuhi kriteria teori perdamaian yang sangat bergantung pada peran pelaku

dan struktur masyarakat yang mendukung hal itu.

©UKDW

Page 16: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

16

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wiladeg, sebuah desa yang berjarak 3

KM dari ibu kota kecamatan yaitu Kecamatan Karang Mojo, 6 KM dari ibu kota

kabupaten yaitu Kabupaten Gunung Kidul, dan 45 KM dari ibu kota provinsi,

yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

1.8. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dan memperjelas pembahasan, maka tesis ini disusun

dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I (Pendahuluan) berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian meliputi tehnik pengambilan

data dan tehnik analisa data, kerangka teori dan kemudian lokasi penelitian dan

terakhir sistematika tesis.

Bab II berjudul “Konsep Perdamaian Positip Menurut Johan Galtung”.

Bab ini berisi pemaparan konsep perdamaian positip menurut Johan Galtung. Di

sini ditambahkan pendapat 2 orang sosiolog Indonesia yang mengikuti konsep

Johan Galtung yaitu Waileruny dan Novri Susan.

Bab III : Makna Ritual Rasulan Di Desa Wiladeg. Pada bagian awal dari

bab ini disajikan gambaran umum masyarakat desa Wiladeg, meliputi data

penduduk dan latar belakang pendidikannya, agama, mata pencaharian, dan nilai-

nilai kemanusiaan dan ritual lokal. Bagian kedua berisi makna ritual rasulan masa

kini yang di dalamnya akan diuraikan tentang makna ritual bersik kali Banteng,

dan makna ritual rasulan di pendopo balai desa. Bagian ketiga disajikan makna

©UKDW

Page 17: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/54110012/9aab...‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu . Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon disebut

17

simbol-simbol dalam ritual rasulan meliputi makna ambengan, gunungan,

pagelaran seni budaya ritualonal, kunjungan di rumah-rumah penduduk. Bagian

keempat berisi uraian tentang makna keterlibatan para pemangku kepentingan,

meliputi keterlibatan lurah sebagai pemangku adat, masyarakat setempat sebagai

penyelenggara ritual dan bagi pengguna ritual, ulama / tokoh / pemuka agama,

bupati Gunung Kidul dan terakhir keterlibatan tokoh adat kraton Yogyakarta.

Terakhir disajikan uraian tentang muatan damai atau perdamaian dalam ritual

rasulan menurut para nara sumber.

Bab IV berjudul Perdamaian Positip Dalam Ritual Rasulan Di Desa

Wiladeg. Bab ini berisi kajian tentang sejauh mana ritual rasulan mempromosikan

perdamaian.

Bab terakhir yaitu bab V berisi kesimpulan dan saran.

©UKDW