-Cerber-Kelas Dua Spesial Slasare to BUKUNE

23
-Gadis Itu Bernama Selly- Oleh Respina Selasari (realita 1) Hari ini… Amarah semakin menjadi bak raungan penguasa yang mati karena murka. Dalam hati ini ada kata bijak yang ingin disampaikan namun akhirnya berubah kembali menjadi batu tanpa ampunan. Beberapa anak laki-laki bertaburan di muka kelas. Dua anak saling berebut buku. Dua anak lainnya dengan rapi melipat tangannya di atas meja. Enam anak lainnya mengobrol kejadian kemarin. Tiga anak lain sibuk merapihkan poni mereka dengan sisir. Sisanya menempelkan wajah mereka di atas meja dan satu anak autis berteriak keras ketika bolpoinnya direbut paksa. Aku mendesah pasrah tanpa perlawanan. Hari ini terulang lagi seperti kemarin. Kenapa harus terjadi situasi ini. Otakku mencerna hebat namun tak jua menemukan jawaban. Kutarik bangku tempat dudukku. Pukul

description

true story

Transcript of -Cerber-Kelas Dua Spesial Slasare to BUKUNE

-Gadis Itu Bernama Selly-

-Gadis Itu Bernama Selly-

Oleh

Respina Selasari (realita 1)

Hari ini

Amarah semakin menjadi bak raungan penguasa yang mati karena murka. Dalam hati ini ada kata bijak yang ingin disampaikan namun akhirnya berubah kembali menjadi batu tanpa ampunan.

Beberapa anak laki-laki bertaburan di muka kelas. Dua anak saling berebut buku. Dua anak lainnya dengan rapi melipat tangannya di atas meja. Enam anak lainnya mengobrol kejadian kemarin. Tiga anak lain sibuk merapihkan poni mereka dengan sisir. Sisanya menempelkan wajah mereka di atas meja dan satu anak autis berteriak keras ketika bolpoinnya direbut paksa. Aku mendesah pasrah tanpa perlawanan.

Hari ini terulang lagi seperti kemarin. Kenapa harus terjadi situasi ini. Otakku mencerna hebat namun tak jua menemukan jawaban. Kutarik bangku tempat dudukku. Pukul setengah delapan masih terlihat segerombolan anak berlarian menuju kelas. Tak lama guru piket datang meminta parafku setelah itu menghilang lagi.

Kenapa Bu?

Maksudmu?

Ibu marah dengan kelas kami! seru satu anak perempuan berkulit putih serta berambut hitam lebat itu. Mata tajam menghakimiku. Tingkahnya dibuat sengaja. Dia mengibaskan rambut seraya tertawa lebar.

Ini kelas terburuk yang pernah Aku datangi ujarku.

Sama saja! tukasnya.

Dengan apa? tanyaku.

Dengan guru-guru lainnya. Menyerah di kelas ini. Sudahlah Bu, mereka tidak akan bisa terdiam barang sejenak. Meski penggaris itu patah Ibu pukulkan ke meja! Selly nama gadis itu. Matanya indah bagaikan lukisan kepedihan. Ada gembok yang terkunci rapat atas hidup. Gadis berusia empat belas tahun itu mengambarkannya dengan jelas.

Kerjakan tugasmu Selly

Ya..ya.. selalu seperti itu! komentarnya mengacuhkanku.

Bawa bukumu ke mejaku sekarang! perintahku melihat gelagatnya.

Santai Bu, akan Aku bawakan bukuku untukmu! Selly berjalan menuju tempat duduknya kemudian menaruh buku tugasnya di mejaku. Tanpa sampul yang rapih. Aku buka buku itu perlahan. Tulisannya sama sekali tak rapih. Banyak coretan diantara kalimat-kalimat yang dia tulis.

Kamu tidak pernah belajar!

Aku tidak suka belajar Bu. Mamaku memanggilkan guru les ke rumah. Aku kerjai dia sampai marah! celotehnya seraya menggelakkan tawanya lagi.

Ada yang lucu?

Ibu tidak suka tertawa?

Kadang jawabku singkat.

Guru lesku bukan Kevin Bu, seandainya dia Kevin! Aku mulai menarik perhatian anak ini rupannya sampai dia mengambil bangku. Duduklah dia kemudian sambil memainkan tasku.

Siapa Kevin?

Anak kelas tiga Bu, dia mantan pacarku. Kami putus karena dia selingkuh dengan temanku haha! bibirnya masih saja tertawa.

Hentikan tawamu! Itu bukan ekspresi yang sebenarnya darimu! Selly mulai menatapku geram.

Apa yang Ibu ketahui tentang Aku? Tentu saja tak ada jadi jangan menggertakku! balasnya marah. Aku tersenyum hambar.

Apa yang Ibu tertawakan! Ujarnya semakin marah.

Hei! Kenapa Kamu begitu terganggu dengan tawaku!

Tentu saja tidak Selly mulai berdiri. Dengan cepat aku sambar pergelangan tangannya. Dia terduduk kembali.

Kamu ingin bercerita kan? Aku menurunkan nada suaraku kemudian. Selly menunduk tak bereaksi. Ada yang ditahannya kini.

Tidak ada. Ibu tak akan mengerti! jawabnya berontak.

Aku bukan Kevin Selly. Jadi jangan Kau perlakukan Aku seperti dia! Aku juga bukan teman pengkhianatmu. Aku gurumu sekarang! Selly menatapku tajam. Bidikan amarah yang mulai memuncak.

Kenapa? Kau takut rahasiamu terbongkar! Hardikku.

Rahasia apa! Aku tak memiliki itu!

Tentu saja ada Selly. Matamu tak bisa berbohong untuk itu! Anak perempuan ini kemudian memainkan poninya yang tebal menutupi matanya yang mulai berkaca.

Aku tak ingin menangis!

Tak ada yang melarangmu Selly

Tapi Aku akan terlihat lemah untuk itu!

Kenapa dunia tidak adil Bu? Aku menghela napasku kemudian. Kepedihan yang sama ketika usiaku dua belas tahun lebih muda darinya saat itu. Mencari keadilan dengan membandingkan kehidupanku dengan yang lain. Amat pedih rasanya ketika tak sama dengan sebaya.

Apa yang tak adil Selly?

Teman-temanku mengkhianati Aku. Pacarku menelantarkan Aku. Mereka hanya mau berteman denganku ketika Aku punya uang Bu! butiran air matanya kemudian perlahan berjatuhan. Ku lihat sekeliling kelas mulai riuh menyaksikan Selly menangis. Tapi kuabaikan pandangan itu. Aku hanya ingin berfokus pada gadis muda penuh kepedihan ini.

Apa Ibu pernah merasakan seperti Aku?Aku terdiam barang sejenak. Selly andai kau tahu. Dulu aku adalah manusia yang berjalan sendiri. Membangun duniaku sendiri. Kau tahu Selly karena kesendirianku. Aku menciptakan tokoh khayalanku melalui tulisan agar aku tak sendirian.

Aku bahkan pernah dikhianati teman sebangkuku ketika seumurmu. Aku bahkan menyimpan dendam terdalam dari masa kanak-kanakku.

Ibu pasti tidak seperti Aku!

Aku tahu rasanya Selly. Percayalah semua itu pasti berlalu

Bagaimana Ibu bisa yakin?

Karena Aku gurumu! Aku menebarkan senyuman hangatku. Selly menghapus air matanya.

Aku percaya Ibu berbeda dengan yang lain

Dari mana Kau yakin?

Ibu ingat Dodo. Dia bukan murid yang rajin ketika masuk. Namun ketika Ibu memarahinya kemudian menghukumnya dia jadi berubah. Dodo jadi pandai di setiap mata pelajaran. Aku saksinya Aku mulai mengingat namanya Zaldi Erlando. Namun teman-teman sekelasnya memanggil dia dengan sebutan Dodo.

Anak laki-laki itu aku hukum untuk membawakan sebungkus permen. Ketika dia tidak bisa memberikan nilai delapan untuk ulangan semester lalu. Dan aku menghukumnya karena dia terus nakal di kelas. Kubagikan permen itu di kelasnya kemudian.

Bukan karena Aku tapi karena memang sebenarnya Zaldi anak yang pintar! jawabku kemudian.

Ibu ingat Alfian dan Irvan? Mereka juga berubah gara-gara Ibu! anak-anak itu kuhukum berdiri di muka kelas karena melawanku. Sebelumnya Alfian dan Irvan menatapku penuh dendam. Namun perlahan kutarik mereka ke dasar penyesalan. Setelah itu kuraih tangan mereka perlahan sampai mereka mengerti.

Aku menghukum mereka karena mereka sebenarnya bukan sengaja untuk belaku seperti itu. Tapi karena aku guru baru. Mereka ingin aku memperhatikan mereka. Sebelumnya mungkin mereka adalah korban dari miskinnya perhatian orang-orang.

Tidak Selly. Mereka ingin berubah karena mereka sendiri yang memutuskan bukan karena Aku

Ibu tahu. Semua guru memarahiku kadang bertanya padaku. Tapi mulutku terkunci untuk mereka

Aku percaya itu pilihanmu!

Apa suatu saat Aku pasti bahagia Bu?

Tentu saja. Bahagia itu pilihan Selly Kau tinggal meraihnya saja.

Aku! Belum sempat gadis malang ini berujar bel pelajaran telah berbunyi. Waktunya aku keluar dari kelas bermasalah itu.

Apa lihat-lihat bentak Selly menanggapi teman-teman sekelasnya yang tertawa geli. Gadis periang itu harus menangis di depan mejaku. Aku tersenyum tipis.

Kita akan bicara lagi nanti Ujarku menatapnya lembut. Tatapan Selly mulai manusiawi. Tidak seperti pertama kali aku datang. Gadis pintar itu memang tak hebat dalam bidang akademik. Namun dia hebat dalam membaca karakter orang yang menemuinya. Dia mempelajari sampai ke dasar matanya. Dia mampu membedakan mana orang yang bisa dia percaya dan kapan saatnya dia tutup mulut.

Inilah realita yang benar aku temui setelah aku mulai bernapas atas langkah yang liar. Napas bertahan dalam rimba kehidupan. Selepas kuliah hanya akan ada bertahan, berhenti atau maju. Itulah pilihan-pilihan yang ada. Harus dipilih tanpa tawar-menawar.

Masih sempat ku lihat sekejap senyuman tulus Selly yang masih memperhatikanku dari mulut pintu. Aku akan kembali Selly tunggu saja. Langkahku mulai menapaki kelas berikutnya. Entah apalagi yang akan aku temui dalam realitaku kini. (SI) (true story 2010)

Satu Anak Cemerlang-

Oleh

Respina Selasari (realita 2)

Aku mulai lagi menelan secangkir kebodohan yang sama. Waktu membuat aku terpenjara dari pintu hati. Aku akan melangkah dengan pasti, dengan atau tanpa sejoli di sampingku. Kau tahu teman rasanya ditinggalkan, kau tahu teman rasanya berbicara sendiri berlatar air mata. Kau tahu teman. Apakah kau tahu itu. Sakit rasanya hati ini. perih rasanya jiwa ini bahkan ada satu kata yang membuat semua orang yang merasakannya layak komputer Pentium satu yang hampir mati. Hampa, kata ini begitu menakutkan.

Bu kapan pulang? Alfian mulai dengan pertanyaan menyebalkannya. Aku menarik napas panjang dari lamunanku. Kemudian memberikan sedikit wajah tak bersahabat pada Alfian. Di kelas ini memang tak ada kehidupan untuk kegiatan belajar mengajar. Seperti kelas buangan. Dan lengkaplah penghuninya itu anak-anak jahil yang melompat kesana-kemari, berbuat ulah setiap detik. Bahkan aku ini bagian dari pajangan saja. Kusisir kelas dua spesial ini, tampak satu anak pintar yang haus akan materi. Satu anak diantara puluhan anak di kelas itu. Teddy namanya, cocok sekali seperti boneka Teddy bear yang manis dan baik hati.

Dia bagaikan teratai ditengah lumpur. Terselip satu anak berkarakter seperti itu untuk menghiasi ragam warna di kelas dua spesial ini. Matanya bening. Badannya kurus. Rambutnya ikal dan sawo matang warna kulitnya. Aku mulai membuka pelajaran.

Kumpulkan pekerjaan rumah kalian!

Buku saya hilang Bu!

Buku saya tertinggal Bu!

Belum selesai Bu!

Peer yang mana Bu? teriak mereka berhamburan. Aku sudah duga mereka akan bereaksi seperti itu. Dengan pasrah aku menjawab perkataan yang sama setiap kali aku memberikan peer untuk mereka.

Ya sudah kerjakan sekarang. Dan lanjutkan yang belum selesai! pandangan mataku tertahan di wajah Teddy. Anak ini sudah selesai mengerjakan peernya minggu lalu. Selalu jadi yang pertama dan satu-satunya anak yang aku koreksi hasil pekerjaannya. Teddy terdiam sambil membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia. Inilah wajah pendidikan Indonesia yang tertinggal kataku dalam hati. Satu anak pintar tertahan menunggu berpuluh anak yang masih berjalan santai dalam meraih pendidikan.

Teddy kemarilah!

Ya, Bu

Kerjakan teka-teki ini!

Baik, Buu.. satu jam berlalu Teddy telah selesai dengan tugasnya. Kali ini Teddy sedikit kesulitan dalam mengerjakan teka-teki itu nampaknya. Waktu satu jam yang dia pakai untuk menyelesaikannya. Padahal jika dia mengerjakan soal yang aku berikan hanya butuh waktu lima belas menit. Aku tersenyum tipis menatapnya. Kemudian tertawa geli ketika teman-teman Teddy hanya beberapa orang yang bisa mengumpulkan peer sekolah yang usang itu.

Bu tidak usah dikerjakan saja ya! Selly mulai membuka suara. Hari ini wajahnya sedikit kesal. Aku mengindahkan perkataannya.

Murid perwalian ibu menyebalkan!!! cetusnya lagi. Aku menatap Selly cepat. Anak ini mulai lagi dengan ketidaksukaannya terhadap sesuatu dan aku tahu apa maksud perkataan Selly.

Kenapa Selly?Kemarilah!!

Tidak mau!!! Lupakan saja! jawabnya kemudian dan mengambil posisi menulis sesuatu entah apapula yang sedang ditulisnya.

Sudah selesai Lucky? Tanyaku melihat Lucky yang tengah asyik mengobrol bersama Arly dan Ari teman satu ganknya.Belum Bu! jawabnya cepat. Lucky pandai sekali bermain gitar. Tubuhnya agak gemuk. Kulitnya berwana putih dan wajahnya tampan. Bahkan kabar burung yang aku dengar Lucky berpacaran dengan Puput anak kelas tiga. Dari sekian murid di kelas dua spesial, Lucky yang paling pintar untuk menunjukkan rasa hormatnya padaku. Meski tugasnya selalu telat dikumpulkannya tapi dia tahu kapan harus mengalihkan pandangan pada teman-temannya dan padaku.

Diantara ganknya Lucky paling rajin mengerjakan tugas. Arly yang paling menonjol sebagai ketua lebih sering bermain telepon genggam. Diam-diam aku juga tahu apa yang dilakukannya. Seingatku dia pernah serius mengerjakan tugas dari pelajaranku ketika membuat sebuah cerita legenda Danau Toba dan menggambar sebuah poster.

Kelas dua spesial ini memang unik. Dari sekian kelas yang aku datangi hanya disinilah terdapat riuhnya kehidupan. Kelas yang selalu membuat guru-guru menggelengkan kepala mereka setelah mengajar dan keluar dari kels itu. Sering juga guru-guru lain mengeluh dan berkata telah memarahi kelas dua spesial ini. Akupun pernah beberapa kali meledak di kelas ini.

Baiklah!! waktunya sudah habis. Besok kita lanjutkan lagi! aku menutup pembelajaran. Pukul 08.45 aku selesai melewati kelas dua spesial.

Dadah Ibu!!! Selly melambaikan tangan serta memberikan senyuman cerianya padaku. Sementara yang lain tak perduli dengan apapun. Masih sempat aku lihat dari kejauhan mereka berlarian mendatanggi kantin sekolah meski jam istirahat belum dimulai. Kantin sekolah yang lokasinya dekat dengan kelas dua spesial merupakan tempat favorite bagi mereka.

Ingatanku kembali pada Teddy. Anak cemerlang ini akan menjadi anak yang berpotensi suatu hari nanti. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya Teddy terdampar di kelas dua spesial ini. Tapi aku percaya Teddy menjalani takdir tuhan sehingga berada di kelas dua special ini. Langkahku akan kembali menulis tentang beberapa anak yang mengisi rasa hausku dalam lukisan kata.

Sebelum aku pulang masih sempat aku melihat Teddy di ruang guru. Dia membawa buku daftar hadir serta agenda kelas. Teddy meletakkannya di meja guru piket dengan rapih. Hari ini Teddy memang menunjukkan kesempurnaan prilakunya padaku. Dan semoga saja akan tetap seperti itu. Rendah hati dimanapun dia berada. (true story 2010)

-Kesungguhan Terakhir-

Oleh Respina Selasari (realita 3)

Aku mendengar ada keributan hari ini. Mataku terus mengamati. Tapi mulutku terkunci untuk mewawancarai. Di balik jendela ruang guru aku bias melihat kelima anak kelas dua spesial tengah berkumpul di dekat tiang bendera. Entah apa yang mereka lakukan. Anak-anak itu tak lain adalah Arly, Ari, Zaldi, Agung, Aldi dan Lucky.

Aku lihat wajah mereka begitu tegang. Mereka seperti membicarakan sesuatu. Aku bertemu Zaldi sebelum bel masuk berbunyi. Dan matanya sama sekali mengacuhkanku. Biasanya dia bereaksi. Kali ini ada masalah besar rupanya. Hati kecilku seolah berontak tanpa henti mengomandani untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Aku berlari menghampiri guru piket. Dia sumber informasi yang bisa aku temukan saat itu. Aku terdiam ketika dia mengatakan bahwa mereka ditangkap satpol PP karena kedapatan berada di luar sekolah saat jam pelajaran sekolah. Akibatnya sekolah harus kena imbasnya, bukan hanya itu saja dari salah satu tas mereka ditemukan alat untuk tawuran.

Aku tidak begitu paham di dalam tas siapa alat bernama gir itu ditemukan. Juga tidak begitu jelas siapa pemiliknya. Ada yang bilang itu hanya barang titipan. Ada yang bilang juga mereka memang berencana untuk menyerang sekolah lain. Ketika kutanya pada wali kelas mereka berita itupun simpang siur.

Satpol PP tidak mau tahu kabarnya mengenai alasan mereka karena jelas ada barang bukti. Meski demikian aku sadar anak-anak itu memang telah berbuat salah. Bagaimanapun juga mereka sudah berada di tempat yang seharusnya tidak mereka datangi. Saat itu mereka terjaring Lapangan sempur, Padahal seharusnya mereka berada disekolah pada jam itu.

Buuu, mana air minumnya saya haus!!! ujar Arly setelah bebarapa jam kemudian. Ketegangan di wajah merekapun sedikit mencair. Mereka tengah mengadakan latihan upacara untuk hari senin. Kali ini kelas dua spesial yang mendapatkan giliran menjadi petugas upacara. Aku hanya tersenyum kecil melihat kelima anak itu.

Pertama kalinya aku melihat kesungguhan di mata mereka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau mereka tahu akibat yang harus mereka terima karena kesalahan mereka. Apakah mungkin senyuman lelah ketika mereka mengadakan latihan upacara siang itu akan tetap ada.

Semoga ini jalan yang terbaik hatiku pilu seperti akan kehilangan mereka. Wajah-wajah jahil di kelas dua spesial.

Hei!! Tidak ikut rapat?? salah satu guru produktif membuyarkan lamunanku.

Aku sedang ada kelas jawabku menandakan masih ada jam mengajar saat itu.

Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu??

Benarkah!! Aku tidak menyadarinya. Mungkin karena hari ini panas sekali!! jawabku kemudian guru produktif itupun berlalu. Aku kembali menuju kelas satu di lantai dua. Masih kulihat kesungguhan Arly yang saat itu berlatih menjadi pemimpin upacara. Lucky yang menjadi petugas pembawa teks Pancasila. Agung yang menjadi pasukan pembawa bendera. Aku lupa Ari dan Zaldi saat itu bertugas sebagai apa.

Aku tak mampu lagi melihat mereka dengan reaksi yang gembira. Bel pulangpun berbunyi. Masih sempat kulihat wajah-wajah itu.

Buuu, Aku boleh ikut dong!! ujar Zaldi ketika meliha aku keluar dari gerbang sekolah.

Hati-hati Buu, jaga kesehatan!! sambung Arly. Meski aku tahu itu hanya sebuah sindiran dari mereka. Dan bukan sungguh-sungguh. Senin depan entah akan jadi seperti apa. Karena kenyataannya pihak sekolah telah memutuskan mengeluarkan tiga orang anak dan dua lainnya tidak naik kelas karena kesalahan mereka.

Aku tidak bisa melihat mereka menjadi petugas upacara senin lusa. Atau menebak reaksi apa yang akan mereka keluarkan ketika bertemu orang tua mereka di rumah. Karena saat keputusan itu terjadi mereka belum diberi tahu. Mereka tengah asyik berlatih untuk menunjukkan yang terbaik, mungkin mereka ingin menebus kesalahan mereka.

Andai ada kesempatan kedua mungkin mereka akan menjadi manusia baru lagi. Aku tak dapat membayangkan mereka nanti. Aku bahkan tidak tahu siapa yang akan dikeluarkan dan siapa yang tidak naik kelas saat itu. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. karena keputusan kepala sekolah adalah keputusan yang mutlak. Mungkin hanya mampu kupanjatkan doa saja untuk mereka supaya mendapatkan kesempatan kedua.

Melihat kesungguhan terakhir mereka. Aku belajar mamahami bagaimanapun seorang anak yang brutal sekalipun tentunya masih mempunyai tangung jawab. Anak-anak itu ingin menunjukkan yang terbaik untuk yang lainnya. Kesungguhan yang membuatku hatiku tergores. Karena tak akan ada lagi wajah-wajah itu di kelas dua special ini. Tapi aku berharap mereka akan belajar bagaimana rasa menerima. Belajar menghargai aturan yang ada. karena ketika mereka sudah melanggar aturan itu mereka mau tak mau harus mendapatkan sangsi. Bukankah di dunia in kita akan selau berada dilingkaran aturan. Dimanapun kita berada bahkan di rimba yang bebas sekalipun. Maka itulah kita pernah mendengar aturan rimba. Bahwa yang terkuat adalah yang menjadi penguasa.Hari ini aku merasa telah kalah. Kalah pada hati nuraniku sendiri. Aku meyakini diriku bahwa setiap kesalahan yang ada itu adalah tanggung jawab pribadi seseorang. Tugasku hanya mengingatkan saja. Karena mereka sudah memahami dengan benar bagaimana situasi dan kondisi sebenarnya. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku bangga karena mereka pernah hadir dalam lukisan kataku kali ini.

Maafkan aku karena tak bisa melindungi kalian. Maafkan aku karena hanya bisa memberikan seutas senyuman dan doa untuk kalian saja. Tunjukkan kalian bisa bangkit dari itu. Suatu saat nanti dan tunjukkanlah itu pada semua orang yang meremehkan kalian hari ini. Seperti yang kalian tunjukkan dalam latihan upacara hari ini lewat kesungguhan terakhir kalian. Semogaa..(true story 2010)