Balairung Spesial : Ruang Diskusi 2014

52
Pergulatan Diskusi Mahasiswa Masa Kini balkon Edisi Spesial Mahasiswa Baru 2014 www.balairungpress.com

description

 

Transcript of Balairung Spesial : Ruang Diskusi 2014

Page 1: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Pergulatan Diskusi Mahasiswa Masa Kini

balkonEdisi Spesial Mahasiswa Baru 2014

ww

w.b

ala

iru

ng

pre

ss.c

om

Page 2: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 3: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 4: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Senyuman itu terlihat lagi. Raut wajah ceria diiringi langkah tegap kembali menghiasi kampus kerakyatan. Mereka yang katanya calon intelektual muda, menjajaki langkah baru dengan embel-

embel “mahanya-siswa.” Ritual wajib berupa penyambutan pun disiapkan matang-matang. Merujuk dari tradisi, kami pun tidak ingin ketinggalan memberikan penyambutan ala kadarnya. Sebagai Badan Penerbitan Pers Mahasiswa, Balairung ingin menyambut para calon intelektual dengan sambutan yang sesuai dengan nafas perjuangan kami selama ini: Nafas Intelektualitas Mahasiswa. Balkon Spesial pun akhirnya dipilih sebagai sarana penyambutan kami.

Pada awalnya, pembentukan tim kreatif segera dilakukan. Masing-masing kreatif bertugas dan bertanggung jawab atas terbitnya Balkon Spesial sesuai tugasnya. Tim kreatif yang terdiri dari empat divisi—Redaksi, Riset, Produksi dan Artistik, Perusahaan— beserta seorang koordinator bergegas melakukan koordinasi. Mulai dari pembagian kerja hingga penggodokan tema beruntun kami lakukan.

Ada yang berbeda dengan Balkon Spesial kali ini. Ruang lingkup tema Balkon yang biasanya seputar kampus, kini diperluas melingkupi Yogjakarta. Ukurannya pun kami ubah lebih besar dari Balkon reguler biasa. Begitu juga dengan banyaknya eksemplar, jumlahnya kami lipat gandakan. Semua itu kami lakukan agar dapat memenuhi kebutuhan pembaca, sekaligus menjangkaunya sebanyak-banyaknya.

Melihat berbagai macam perubahan yang sudah dilakukan, kami semakin tertantang. Bagi Divisi Redaksi, reportase yang dilakukan harus mencakup wilayah yang lebih luas. Begitu juga Riset dengan jajak pendapatnya. Di sisi lain, ukuran Balkon Spesial yang diperbesar berimbas pada dapur perusahaan. Dana yang berlipat memaksa mereka keluar-masuk perusahaan mencari dana segar sebanyak-banyaknya. Sementara Divisi Produksi dan Artistik terus mengeksplorasi kreativitas agar produk yang anda genggam ini menjadi lebih sempurna.

Dalam edisi ini, kami coba mengangkat “ruang diskusi” sebagai bahasan tema. Eratnya hubungan antara diskusi dengan peningkatan kualitas mahasiswa menjadi salah satu alasan kami mengangkat tema ini. Terlebih lagi, seiring dengan bergeraknya zaman, diskusi kerap dipoles sedemikian rupa agar terlihat lebih menarik. Kita tidak dapat menafikan bahwa berawal dari diskusi, bisa muncul suatu gerakan yang besar. Berawal dari diskusi pula, muncul kelompok-kelompok intelektual sebagai penggerak kemajuan bangsa.

Tentunya produk yang anda genggam ini bukanlah sekedar ritual penyambutan basa-basi ala kadarnya. Niatnya, Balkon Spesial ini kami hadirkan sebagi pemandu segolangan “elite” yang didapuk sebagai agent of change. Sebab kami percaya, intelektual tidak bisa didapat hanya dengan duduk di ruang ber-ac dan menjadi beo. Intelektualitas terbentuk karena kesadaran diri untuk mencari dan membuka cakrawala nalar pikir kita. Inilah cara kami menyambut “mahanya-siswa” baru, bukan berupa serangkaian acara formalitas mewah bak perayaan kelulusan tanpa makna.

Akhrinya, selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja !!!

Lincak

Pembina Dr. Kuskridho Ambardi, M.A.

Pemimpin Umum Nindias Nur Khalika

Koordinator Balkon Spesial Wulan Hardiyati Pangestika

Tim Kreatif Dimas Sybli Muhammad Haikal, Arrijal Hanif, Bagus Zidni Ilman Nafi, Muhammad Sholikhin

Pemimpin Redaksi Khairul Arifin

Editor Nindias Nur Khalika, Khairul Arifin, Krisnia Rahmadhany, Nuresti Tristya Astarina, Ganesh Cintika Putri, Erni Maria Angreini, Deddy Setyadi, Mira tri Rahayu, Arifanny Faizal

Penulis Ratu Pandan Wangi, Muhammad Faisal Nur Ikhsan, Noibenia Gendrit Kharisma Ryzki, Thoriq Ziyad, Ahmad Yani Fathur R, Erbha Nur Fidya, Agdzhur Rinalsyam, Farras Muhammad, Ageng Prabandaru, Kevin Muhammad, Syauqy Uzhma Haris, Ervina Lutfikasari, Nur Isma Dewi, Catur Dwi Janati, Mayang Pramudita Y, Budi Triwibowo Yuli Widhiyanto, Surohman Nowianto, Tabita Kristofani Gunawan

Kepala Produksi dan Artistik Anugraheni Tri Hapsari

Redaktur Artistik Yesika Sinaga Tresia, Vincentia Trisna Yoelinda, Muhammad Nabil, Muhammad Syafiq Luthfi Nur, Nurrokhman

Fotografer Ryma Aulia Praharsiwi, Naufi Ulumun Nafi Ah, Nabila Alfariza, Aliftya Amarilisyariningtyas

Ilustrator Ahmadyo Sahlan, Aruni Hanin, Halvin Octriadi Utama, Hansel Pratama, Maria Wigati, Mutia Silviani Aflakhah

Layouter Adam Ardiansyah, Aldo Utama Ginting, Anggita Swestiana D, Syakirun Niam Mubarok

Kepala Riset Dias Prasongko

Editor Anis Putri Isnaeni, Rifky Afwakhoir, Nur Rosyid, Auviar Rizki, Mira Tri Rahayu

Penulis Bagus Zidni Ilman Nafi, Wulan Hardiyati Pangestika, Ni Wayan Diah Puspita Sari, Rizqi Prasetiawan, Iqbal Maulana, King Amil Hamzah AHS, Muhammad Aji Maulana

Pemimpin Perusahaan Ummi Khaltsum

Staf Perusahaan Muhammad Sholikhin, Salma Dewi Nugraheni, Kharizsa Imamara, Rina Setiawati, Raden Rara Evi Oktaviani Sandhi, Dzuvia Mughniy Arsaningsih, Anindhita Dewanti Nareswari

Alamat Redaksi, Sirkulasi, Iklan dan Promosi. Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281 Website : www.balairungpress.comEmail : [email protected]

Cover Ilustrasi dan konsep : Hansel Pratama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 4

Page 5: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Daftar Isi

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 20145

Page 6: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Isu

Dari mana awal mula perguruan tinggi muncul? Khasanah literatur klasik Eropa menunjuk pada

sebuah pusat pendidikan di Athena, Yunani, pada abad keempat sebelum masehi. Pendirian tempat itu diiringi dengan kisah masyhur sang pendirinya, Plato, tatkala hendak dijual ke pasar budak oleh penguasa tiran karena mengkritik sistem pemerintahannya. Sebelum ia benar-benar dijual, seorang kawan yang kebetulan mengetahui lantas

menebusnya. Atas tebusan kebebasan itu, Plato membeli sepetak lahan di dekat kuil Akademos. Kelak nama itu diabadikan sebagai nama kampus yang hingga saat ini banyak diadopsi sebagai nama perguruan tinggi: Akademia.

Melalui sekolah itu Plato hendak mewujudkan cita-citanya, yaitu mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan bagi anak muda yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Langkahnya ini terinspirasi dari gurunya, Socrates. Saat masih

hidup, gurunya tersebut mengajarkan kebijaksanaan dan etika kepada anak muda di Athena. Ia mengajarkan bahwa filsafat merupakan kebenaran objektif. Untuk membuktikan adanya kebenaran objektif, Socrates menggunakan metode yang bersifat praktis, yaitu melalui dialog dan tidak cepat puas pada satu kebenaran. Namun karena pemahaman yang diajarkannya bertentangan dengan paham filsafat yang berkembang saat itu—yang didominasi ajaran relativisme kaum Sofis—, Socrates harus meregang

Ruang Lapang

bagi Nalar Intelektual Ilustrasi : Balairung/Hanif

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 6

Page 7: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Isu

nyawa. Ia harus meminum racun karena dituduh merusak pemikiran kaum muda.

Pendirian Akademia ini pun merupakan bentuk penghormatan Plato terhadap Socrates karena gigih memperjuangkan gagasannya. Melalui kampus legendaris itu, ia menggugat sistem penguasa yang mengebiri sikap-sikap intelektual. Ilmu pengetahuan yang seharusnya muncul dari dialektika dan pergulatan akal harus berhadapan dan berkompromi dengan tajamnya pedang penguasa. Tak ayal, meski telah sembilan abad berdiri, Akademia harus ditutup, lagi-lagi karena bersinggungan dengan kepentingan penguasa.

Persinggungan antara kaum intelektual dengan penguasa juga terjadi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintah benar-benar mencengkeram urat nadi kehidupan warga negaranya. Mereka pangkas segala hal yang dianggap merongrong wibawa dan kuasa. Bentuknya bisa berupa aturan atau tindakan “pengamanan” ala punggawa militer.

Di masa itu, kita dapat melihat pemerintah dengan mudah menutup sebuah usaha penerbitan hanya karena tak sesuai dengan “standar” penguasa. Indonesia Raya, Detik, ataupun Tempo menjadi deretan surat kabar yang pernah merasakan kegarangannya. Keberadaan Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP) memungkinkan mereka memangkas konten-konten yang –menurut mereka—tak layak dibaca rakyat. Kebebasan pers terkungkung. Orang bicara sebatas pada hal-hal yang diperbolehkan saja. Dengan demikian, perdebatan di ruang publik layaknya suguhan cerita di panggung pertunjukan. Rakyat menjadi wayangnya sedangkan pemerintah berperan sebagai sang dalang.

Nasib sama juga terjadi pada akademisi. Gerak-gerik mahasiswa yang dianggap mengancam stabilitas pemerintah coba dibungkam. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) memaksa mahasiswa kembali berkutat dengan diktat dan beban SKS mata kuliah yang berat. Sejak saat itu, kampus mulai sepi. Tak ada lagi mimbar bebas dan silang pendapat membahas isu-isu yang sedang hangat. Jika pun ada, mereka hanya segolongan

minoritas. Ruang dialektika yang sedikit

itu pun masih harus dibatasi. Tak boleh membahas paham-paham yang “dilarang” apalagi mengorek keburukan penguasa. Jika tetap nekat, bisa saja ia (di)hilang(kan) dan hanya tinggal nama. Apalagi aparat rajin keluar masuk kampus berburu setan-setan gundul—yaitu istilah yang digunakan militer untuk menyebut aktivis mahasiswa yang gemar mengkritik pemerintah. Bagi rezim saat itu, tidak ada ruang kompromi atas keputusan yang telah ditetapkan. Lagaknya seperti Tuhan, menentukan tafsir tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Padahal esensi dari diskusi merupakan usaha pemenuhan kejernihan berpikir, yaitu mendedah suatu persoalan melalui silang pendapat.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, banyak orang bangga mengatakan bahwa negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi demokrasi. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang termaktub dalam Undang-undang Dasar dan Hak Asasi Manusia ditegakkan. Euforia ini kemudian menjalar pada gairah diskusi di lingkungan kampus. Isu-isu yang sebelumnya tabu untuk diperbincangkan di ruang publik sedikit demi sedikit mulai terbuka untuk diperdebatkan.

Saat ini kita bisa melihat banyak diskusi digelar di banyak tempat dengan tema yang beragam. Kita juga bisa melihat bagaimana forum-forum diskusi dijejali orang yang bergairah untuk mengkaji suatu persoalan. Tapi sayangnya, dari sekian banyak pendapat yang disampaikan, mengutip perkataan Masmiar Mangiang, banyak yang terasa hanya sekadar pengulangan. Pengulangan untuk apa yang sudah disuarakan oleh angkatan sebelumnya dan pengulangan atas apa yang biasa menjadi bahan pembicaraan cendekiawan. Ada kesan tradisi yang terbangun di kalangan mahasiswa saat ini hanya sekadar asyik mengkaji teori, menghafal, dan menampilkannya kembali ke dalam forum sebagai alasan dalam berargumen. Terkadang ia terjebak dengan konsep-konsep besar yang serba abstrak dan begitu sulit dicerna, apalagi dipahami oleh mereka

yang agak awam.Akibatnya forum diskusi hanya

diminati oleh orang-orang yang memang tertarik dengan isu yang dibahas. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah orang-orang yang rela menyisihkan waktunya untuk bersusah payah memeras otak mendedah suatu teori. Forum diskusi lantas menjelma menjadi ruang elite segolongan cendekiawan. Yang tak mampu ikut serta, lebih suka disibukkan dengan kegiatan komunitas yang mewadahi kegemaran mereka.

Tidak ada yang salah dengan pilihannya masing-masing. Tapi yang pasti mahasiswa perlu gusar menyandang status sebagai civitas academica. Status itu turun mewarisi semangat Akademia, yang mengingatkan kita bahwa perguruan tinggi pada dasarnya didirikan demi intelektual yang berasas pada dialektika dan kebebasan berpikir. Tindak tutur dan laku mahasiswa seharusnya mencerminkan sikap intelektual. Jika menyitir pendapat Edward W. Said, ia haruslah bisa meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Dalam hal ini, mereka berperan sebagai penjaga akal sehat masyarakat.

Atas dasar itu, kami percaya bahwa mahasiswa merupakan golongan orang-orang terdidik yang memiliki kecakapan nalar dan logika. Kami juga percaya bahwa mahasiswa merupakan bagian penting dalam suatu komunitas intelektual. Namun kita perlu kita ingat, bahwa kecakapan bernalar tidak datang begitu saja dari langit. Status itu tersemat ketika mahasiswa benar-benar mengolah nalar dan logikanya bukan sekadar untuk hal-hal remeh temeh. Manifestasi kecakapan itu bisa mewujud pada ruang-ruang diskusi yang mengakomodasi silang pendapat dan dialektika. Sebab lewat perdebatan, kita dapat melihat suatu permasalahan dengan pandangan yang lebih jernih. Tujuannya agar kita tak lagi terkungkung pada satu cara pandang usang atau terjebak pada dogma-dogma yang menyesatkan.

Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika! [Arifin]

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 20147

Page 8: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Potret Diskusi Mahasiswa Prareformasi

“Perkembangan sejarah Indonesia tak lepas dari kontribusi mahasiswa. Perjuangan mereka berawal dari diskusi dan

berakhir pada pergerakan di berbagai wilayah.”

Sebuah diskusi diselenggarakan di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1990-an. Diskusi yang

membahas tiga undang-undang politik ini dihadiri banyak peserta. “Saya bisa merasakan antusiasme dan kehausan mereka akan informasi,” ungkap Dr. Agus Suwignyo, M.A. Dosen Jurusan Sejarah UGM ini bercerita, pembicara diskusi sampai kewalahan menghadapi keaktifan para peserta. Namun sayang, diskusi tersebut dibubarkan begitu saja. Pembubaran ini diduga ada sangkut pautnya dengan intelijen. Meski demikian, mahasiswa saat itu tidak jera mengikuti diskusi. Hampir setiap kali diskusi diadakan, ruangan penuh dengan orang.

Jika dilihat lebih jauh, diskusi mahasiswa memberi pengaruh besar terhadap sejarah bangsa Indonesia. Budi

Utomo, organisasi pemuda yang menjadi perintis perjuangan kemerdekaan, lahir berkat budaya diskusi. Sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang merasa prihatin atas kondisi bangsa Indonesia pada abad 18 hingga 19. Keprihatinan ini umumnya bersumber dari keadaan sosial dan ekonomi di lingkungan sekitar.

Tak hanya mahasiswa STOVIA, Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Orde Lama pun merasakan keprihatinan yang sama. Pada masa itu, terjadi kenaikan harga bahan pokok serta bahan bakar minyak (BBM). Akibatnya, rakyat kecil semakin kesulitan dan banyak dari mereka yang kelaparan. Gie berkisah mengenai kondisi tersebut dalam bukunya, Catatan Seorang Demonstran: “Ketika aku tiba di ruang Senat terlihat suasana resah. Beberapa kelompok mahasiswa sedang

asyik berbicara secara serius -tetapi panas- tentang kenaikan harga bus”. Diskusi inilah yang memantik semangat mahasiswa untuk turun ke jalan dan menyuarakan pendapatnya.

“Dalam sejarah manapun, mahasiswa selalu dekat dengan perubahan sosial masyarakat,” jelas Agus. Ia menambahkan bahwa mahasiswa menjadi kelompok elit intelektual sekaligus perintis pergerakan. Peran-peran tersebut diawali dengan cara khas akademisi, yakni diskusi. “Seorang mahasiswa akan bersuara apabila melihat lingkungan sekitarnya tidak sejahtera,” tambahnya.

Agus menerangkan, ada kesadaran bahwa orang terdidik adalah seorang agen perubahan. “Terdapat semacam hukum universal, bahwa dari kalangan terdidik akan selalu muncul kelompok-kelompok kritis yang

Ilustrasi : Balairung/Mutia

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 8

Page 9: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

mencoba mengubah situasi,” ujarnya. Tumbangnya rezim Orde Baru juga tidak lepas dari kegiatan diskusi yang diselenggarakan mahasiswa. “Di Yogyakarta, kelompok diskusi aktif berjuang di dalam dan di luar kampus, baik secara terbuka maupun diam-diam,” terang Agus.

Aktivis pergerakan pada masa tersebut hampir seluruhnya terkonsentrasi di dalam kampus. Sahanudin Hamzah, yang pada saat itu ikut aktif mengikuti diskusi dan pergerakan mahasiswa, menuturkan bahwa setidaknya ada tiga perguruan tinggi di Yogyakarta yang aktif mengadakan diskusi. “Perguruan-perguruan tinggi tersebut antara lain UGM, UIN, dan UII,” sebut alumnus Fakultas Filsafat UGM ini. Ada beberapa organisasi mahasiswa ekstra kampus yang ikut mengadakan diskusi, tetapi jaringan mereka tidak sekuat jaringan di dalam kampus. “Hal itu masuk akal karena diskusi yang diadakan di luar kampus tidak memiliki perlindungan institusi,” jelas Agus.

Meski demikian, tidak berarti diskusi dapat dilaksanakan secara bebas. “Diskusi yang berkaitan dengan politik susah diselenggarakan,” terang Hamzah. Selain itu, tidak semua mahasiswa mau diajak berdiskusi. Bahkan ada yang tidak berani membahas isu mengenai biaya kuliah karena pada saat itu intelijen sudah masuk kampus. “Untuk menghindari pembubaran, tema diskusi yang berlangsung di kampus dibuat lebih umum,” tambahnya. Selain itu, strategi lain yang digunakan adalah berpindah-pindah tempat diskusi. Kegiatan berdiskusi pun sudah tidak mengenal tempat. “Terkadang diskusi terpaksa dilakukan di kos, bahkan di bioskop,” ujarnya.

Adanya aturan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang berlaku sejak 1978, menyebabkan ruang diskusi mahasiswa semakin terbatas. Peraturan ini melarang civitas academica untuk berpolitik. “Kampus diharapkan menjadi tempat belajar saja,” ujar Agus. Ia menjelaskan bahwa proses belajar mengajar di kampus tidak boleh bersentuhan dengan aspek

perubahan sosial di masyarakat. Diskusi hanya diperbolehkan apabila tema yang diajukan tidak berkaitan dengan politik dan isu-isu sensitif lainnya pada saat itu. “Sebab, diskusi dikhawatirkan dapat menimbulkan keresahan di masyarakat,” jelasnya.

Untuk menyebarkan bahan diskusi, mahasiswa memiliki strategi. Salah satunya adalah menyebarkan selebaran tentang politik di kampus-kampus. Topik yang diangkat menyangkut Hak Asasi Manusia, permasalahan di Timor-Timur, kasus tanah, dan sebagainya. Tidak ada identitas di selebaran-selebaran tersebut. “Dilihat dari topik selebaran, kemungkinan besar penulisnya adalah para aktivis klandestain atau gerakan bawah tanah,” duga Agus.

Cara lain yang digunakan untuk menyebar bahan diskusi adalah mendirikan Radio Mahasiswa. Pada masa itu, pemerintah sangat membatasi penyebaran berita di radio. “Untuk mengetahui perkembangan politik terbaru, orang-orang harus mendengarkan radio luar negeri seperti BBC,” terang Agus. Untuk mengatasi hal tersebut, maka mahasiswa Yogyakarta menggagas Radio Mahasiswa yang bermarkas di Karang Malang. Awalnya radio tersebut hanya menyiarkan banyolan tetapi lama-kelamaan banyolan tersebut menyinggung isu politik. Sayangnya radio itu harus digerebek oleh aparat.

“Aparat semakin represif menjelang tahun 1997 hingga 1998,” ujar Hamzah. Pembubaran diskusi pun semakin intensif. Jika pada mulanya hanya diskusi bertemakan isu-isu politik yang dibubarkan, selanjutnya diskusi-diskusi yang dianggap subversif dan meresahkan pun dilarang. Salah satunya adalah pembubaran diskusi serta penangkapan Bambang Isti Nugroho. “Ia ditahan karena menjadi pengisi sebuah acara bedah buku yang membahas karya Pramoedya Ananta Toer,” jelas Hamzah. Pada masa itu buku-buku Pram dianggap subversif oleh pemerintah karena dianggap secara implisit menyebarkan paham komunis.

Namun kondisi ini tidak berlangsung lama. “Semakin kuat mahasiswa ditekan

oleh rezim, semakin kuat pula tekad mereka untuk melakukan perubahan,” ujar Agus. Diskusi mahasiswa yang dilakukan secara kecil-kecilan akhirnya mengarah pada aksi besar. “Pada awalnya diskusi mahasiswa hanya berdampak sedikit, tetapi lama-kelamaan dapat memunculkan pergerakan,” jelas Agus. Puncaknya adalah ketika mahasiswa mulai turun ke jalan. Sehari sebelum pengunduran diri Soeharto, mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta melakukan aksi berjalan kaki dari berbagai arah menuju Alun-Alun Utara. Sekitar satu juta orang berkumpul dan mendengarkan pidato sultan mengenai kondisi saat itu. Akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. “Tiba-tiba Soeharto mengundurkan diri, hanya gara-gara mahasiswa” tambahnya.

Sayangnya, keberhasilan politik mahasiswa pada masa Orde Baru belum dijumpai pada masa sekarang. “Saya prihatin karena gerakan mahasiswa sekarang tidak berbentuk dan tidak punya isu,” terang Agus. Ia menjelaskan bahwa mahasiswa saat ini kurang peka menanggapi isu-isu sosial yang terjadi. “Saya jadi bertanya-tanya, apakah mahasiswa saat ini peduli pada perubahan yang terjadi di masyarakat?” ujar Agus.

“Saat ini hanya sebagian kecil mahasiswa yang peka terhadap lingkungan di sekitarnya,” ungkap Hendra Permana, Ketua Badan Keluarga Sejarah UGM. Ia juga menambahkan bahwa mahalnya biaya kuliah menyebabkan mahasiswa terlalu berorientasi pada kegiatan akademis. Hal ini menurutnya berakibat pada hilangnya kepekaan sosial di kalangan mahasiswa. Padahal, Hendra berpendapat bahwa mahasiswa membutuhkan penyeimbang antara kemampuan akademis dan kepekaaan sosial. “Diskusi memiliki peran penting untuk menyeimbangkan kedua hal tersebut” pungkasnya. [Pandan, Faisal, Gendrik]

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 20149

Page 10: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Pergulatan DiskusiMahasiswa Masa Kini

Seberkas sinar terpancar dari LCD proyektor di salah satu ruang Wisma Mahasiswa Aceh. Tampak di layar, sedang diputar

film mengenai reformasi 1998. Orang-orang yang berada dalam ruangan menyaksikan film dokumenter tersebut dengan saksama. Seusai pemutaran film, moderator memancing pendapat peserta. Lontaran argumen disertai timbal balik pendapat ikut mewarnai diskusi tersebut. Peserta terlihat antusias dan aktif menanggapi pembicaraan peserta yang lain. Meski kasak-kusuk di ruangan itu terdengar ramai, diskusi hanya dihadiri belasan orang saja. Diskusi yang diselenggarakan oleh forum Gusdurian ini merupakan acara rutin yang diadakan pada sabtu minggu-kedua tiap bulannya.

Sepinya peminat diskusi tak hanya dialami oleh Gusdurian saja. Dalam lingkup yang lebih kecil seperti universitas, peminatnya cenderung menurun. Misalnya diskusi yang diselenggarakan oleh Intelektual Muda Fisipol (IMF) UGM mengalami penurunan dan tidak banyak kemajuan dari tahun sebelumnya. Sama halnya dengan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik (Dema Fisipol) yang belum berhasil membudayakan diskusi di kampus Fisipol. Meski begitu, diskusi masih terus diperjuangkan oleh sebagian komunitas yang berada di Yogyakarta. Beberapa di antaranya adalah Komunitas Gusdurian, Social Movement Institue (SMI) dan Magister Administrasi Publik (MAP) Corner.

Eko Prasetyo, penggerak diskusi SMI mengakui pentingnya diskusi terutama sebagai transisi bagi mahasiswa baru. Dalam masa transisi SMA menuju perguruan tinggi, diskusi menjadi tempat belajar alternatif. Mahasiswa bisa bertukar gagasan dan mengetahui sejauh mana wacana yang sudah ditangkap. Sebab saat masih SMA, siswa lebih diarahkan oleh gurunya. Padahal menurut Eko, pendidikan kursus di SMA harus

bertransformasi menjadi pendidikan diskursus di perguruan tinggi. Pergaulan yang pada awalnya bersegmen menuju pergaulan yang lebih luas. “Sehingga, kemandirian berfikir dan sikap terhadap permasalahan harusnya menjadi semakin kritis,” simpul Eko.

Namun, menurut Eko di saat mahasiswa dituntut untuk kritis mereka justru mendapat tantangan dari media. Setelah reformasi, kebebasan media dibuka seluas mungkin. Akibatnya, informasi yang didapatkan oleh masyarakat, khususnya mahasiswa tidak terbatas. Menurut pria berkacamata ini, adanya liberalisasi ekonomi memicu kapitalisasi media. “Para pemilik media dengan bebas memberitakan sesuatu sesuai dengan ideologinya,” jelasnya. Ia menambahkan, bahwa iklan dan sponsor bebas masuk media tanpa intervensi pemerintah. Apalagi ketika musim kampanye, banyak politisi menggunakan media untuk menaikkan popularitasnya. “Parahnya, pemilik media ikut berpolitik dan menggunakan media sebagai alat politiknya,” tuturnya.

Ahmad Rizki Mardhatillah Umar, pegiat forum diskusi Lingkar Studi Bulaksumur mengatakan diskusi harusnya dapat menjawab kondisi saat ini. Dalam menghadapi media, diskusi bisa dijadikan pembuka untuk menjadikan mahasiswa lebih kritis. “Apalagi dalam mengkritisi informasi yang didapat dari media sosial,” tambahnya. Menurutnya, dengan mengikuti diskusi mahasiswa dapat memperoleh pencerahan dalam berpikir. “Diskusi tidak menyajikan semua informasi, tetapi yang terpenting diskusi mampu menyentil peserta untuk berpikir ulang tentang apa yang sedang terjadi,” jelas Umar. Ia menambahkan, sikap kritis tentu dibutuhkan agar mahasiswa dapat menjadi pribadi yang tidak mudah diperdaya orang lain.“Ini karena opini masyarakat sekarang banyak dibentuk oleh media,” ungkapnya.

Sependapat dengan Umar, Eko

menambahkan bahwa opini berbeda yang dibentuk oleh masing-masing media membuat mahasiswa memiliki pemahamannya sendiri. Parahnya lagi ketika berdiskusi mahasiswa menggunakan argumen media tanpa dilandasi teori. Menurut Umar, hal ini disebabkan sifat mahasiswa yang cenderung praktis. “Mahasiswa lebih tertarik diskusi berbasis isu bukannya diskusi tentang pemikiran dan epistimologi.”

Menurut Eko, hal ini berimplikasi pada sifat diskusi yang kurang kritis. Jawaban-jawaban diskusi tidak melalui militansi dan pergulatan intelektual yang panjang. Sehingga sikap kritis cenderung menurun karena jawaban diskusi yang ada hanya mengikuti yang sudah ada di lingkungan. “Mereka hanya mengutip pendapat orang lain tanpa diolah lagi,” tegas Eko.

Selain itu, Eko berpendapat

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 10

Page 11: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

“Pascareformasi kualitas diskusi mahasiswa menurun. Derasnya informasi dan beban akademik yang tinggi

menjadi penyebabnya.”

bahwa dalam sebuah diskusi posisi narasumber dan audien harusnya tidak egaliter. “Kedudukan narasumber dengan peserta merupakan bentuk sub-ordinat, mereka lebih tinggi dari peserta,” jelas Eko. Karena narasumber lebih tahu permasalahan, tugas peserta berusaha agar tingkat pengetahuannya sejajar dengan narasumber. Akan tetapi kebanyakan peserta hanya mendengarkan apa yang disampaikan narasumber tanpa terlebih dahulu memahami tema diskusi. Oleh karena itu, secara otomatis narasumber akan menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman pesertanya. “Kan itu sama saja menghilangkan potensi untuk memunculkan ide-ide menarik dalam diskusi,” terang Eko.

Menurut Eko, sikap ini disebabkan oleh budaya baru yang muncul di kalangan mahasiswa. Saat ini perilaku mahasiswa cenderung makin hedonis.

Hal ini diperkuat dengan menjamurnya tempat-tempat hiburan di sudut-sudut kota. Banyak pusat perbelanjaan yang menggusur ruang publik untuk belajar. Sehingga, mahasiswa cenderung tertarik menikmati hiburan yang ada.

Permasalahan ini ditambah dengan kampus yang tidak mendukung. “Dunia kampus saat ini tidak memberi mahasiswa ruang diskusi yang banyak,” ujar Eko. Mulai diterapkannya jam malam di kampus juga berpengaruh terhadap waktu diadakannya diskusi. “Dulu kita tidak ada aturan jam malam, sehingga mahasiswa bisa berdiskusi sepuasnya di dalam kampus,” terang Eko.

Sedikit berbeda dengan Eko, Umar justru mempermasalahkan beban akademik mahasiswa. “Karena beban akademik dan tingginya biaya perkuliahan, minat diskusi jadi turun dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya,” ungkap Umar. Hal itu karena waktu luang mahasiswa untuk mendalami ilmu di luar akademiknya dan mengikuti diskusi menjadi berkurang. Selain itu, tingginya biaya perkuliahan menuntut mahasiswa untuk cepat lulus dan mendapat pekerjaan. “Sehingga hal ini berdampak pada menurunnya kekritisan mahasiswa dalam menyikapi suatu wacana,” tegas Umar.

Kurangnya sikap kritis juga bisa disebabkan karena mahasiswa belum berani untuk berpendapat. Menurut Rizky Alif Alfian, Kepala Departemen Kajian Strategi Dema Fisipol UGM, dosen bisa turut andil untuk mendorong keberanian mahasiswa dalam berpendapat. “Tapi tergantung karakter tiap dosen, ada dosen yang lebih suka mahasiswanya aktif tapi ada juga yang hanya sekedar mengajar,” ungkap Alif.

Melihat problem yang ada, Alif mendukung usaha forum diskusi IMF dan Keluarga Mahasiswa NU yang menggalakkan budaya diskusi di kampus. Menurutnya hal ini sangat perlu untuk melengkapi tugas kampus membentuk nalar kritis mahasiswa. “Meski pesertanya minim, forum-forum tersebut sudah menyelenggarakan diskusi dengan konsisten,“ cerita Alif.

Lebih lanjut lagi, Alif mengatakan output diskusi yang baik adalah jalan pemikiran yang berubah. Sedangkan Eko, pegiat SMI, mensyaratkan keberhasilan diskusi lewat intelektualitas yang meningkat dan nalar kritis. Senada dengan Alif dan Eko, Umar mengatakan diskusi akan berhasil ketika wacana yang kita hadirkan mampu membuat mahasiswa berpikir ulang. Selanjutnya, mahasiswa membuat produk baru yang sederhana, baik berupa diskusi lagi di tempat lain atau dengan membuat tulisan. “Tidak penting seberapa besar jumlah pesertanya, asalkan proses interaksi dan elaborasi antar peserta tinggi,” tegasnya. [Thoriq, A. Yani, Erba]

Foto : Balairung/Alif

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201411

Page 12: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Ruang Rapat yang Jalan di Tempat

“Ruang diskusi kini memiliki jagat baru berupa media sosial. Ketiadaan sinerginya dengan ruang diskusi konvensional hanya

mampu menghadirkan stagnasi perubahan.”

Ilustrasi : Balairung/Halvin

Awal Juni 2010, seorang blogger bernama Khaled Said meninggal karena dianiaya oleh dua orang polisi di

Kota Alexandria, Mesir. Beberapa hari kemudian, Wael Ghonim, seorang eksekutif Google berkebangsaan Mesir,membuatakun Facebook bernama ‘We are all Khaled Said’. Hanya dalam waktu tiga bulan akun tersebut telah diikuti oleh 250 ribu pengguna Facebook. Dalam bukunya yang berjudul Revolution 2.0:The Power of the People Is Greater Than the People in Power: A Memoir, Ghonim menuliskan tentang bagaimana akun Facebook dapat mempelopori lahirnya gerakan Revolusi 25 Januari. Akun yang rutin mengadakan diskusi itu kemudian berhasil menggerakkan massa untuk melengserkan rezim otoriter Hosni Mubarak.

Fenomena yang terjadi di Mesir tersebut memperlihatkan bagaimana kini media sosial berguna sebagai ruang diskusi, bahkan mampu

menggerakan massa untuk meruntuhkan kepemimpinan yang tiran. Sebagai ruang diskusi, bentuk media sosial sendiri juga berubah-ubah dan mengalami pergeseran definisi seiring dengan perubahan zaman. “Sebelum era internet, media sosial dalam ilmu komunikasi didefinisikan sebagai media massa yang berupa surat kabar atau majalah,” ungkap Wisnu Martha Adiputra, S.IP, M.Si. Namun, media sosial kini didefinisikan sebagai media baru yang digunakan untuk berkomunikasi seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter. “Hal itu terjadi karena media-media tersebut dapat menyatukan komunikasi model massa dan komunikasi langsung,” jelas Dosen Ilmu Komunikasi UGM tersebut.

Media baru yang kini diartikan sebagai media sosial ini dapat menjamin kebutuhan masyrakat. Oleh karenanya menurut Wisnu, media sosial penggunaannya sangat signifikan. “Masyarakat kini juga membutuhkan media komunikasi yang praktis dan mudah diakses,” terangnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Faturrachman,

Dosen Fakultas Psikologi UGM. Dosen Psikologi Sosial dan Psikologi Komunikasi itu menjelaskan, bila dulu berdiskusi identik dengan bertatap muka langsung. Dengan hadirnya media internet, ruang diskusi memiliki potensi untuk hadir di media sosial. “Atau dalam dunia psikologi, lebih sering disebut CMC (computer media communication),” tambahnya.

Penggunaan media sosial sebagai salah satu sarana dalam berdiskusi juga dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu orang ingin mengekpresikan dirinya, serta ingin menutup diri. Hal itu dikarenakan saat berdiskusi di media sosial, orang bisa tidak melihat tujuan utama dari lawan berdiskusinya ketika menyampaikan informasi. Dari situ, timbullah mono expression atau ekspresi satu arah. “Dengan begitu, orang akan bebas mengekpresikan pendapatnya,” kata Faturrachman. Menurutnya, media sosial digunakan karena lebih mudah dalam menyampaikan argumen dan menyusun kata-kata. “Melalui teks kita juga bisa memanipulasi kata sehingga

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 12

Page 13: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Ruang Rapat yang Jalan di Tempat

ekspresi kita yang sebenarnya tidak akan tampak,” tambahnya.

Masalah yang sering muncul dalam penggunaan ruang diskusi di media sosial adalah sering terjadinya kesalahpahaman. Tommy Safarsyah, ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta, mengakui hal tersebut acap kali terjadi ketika sedang berdiskusi di media sosial. “Sering kali kita tidak mengetahui apa maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh lawan diskusi kita,” ungkap mahasiswa angkatan 2010 ini. Menurut Faturrachman, itu terjadi karena informasi diolah menjadi kata-kata. Pengolahan tersebut meyebabkan informasi banyak ditambah dan dikurangi oleh pemberi dan penerima informasi.“Kode itu kadang bisa menimbulkan terjadinya salah persepsi antara yang memberi dan menerimanya,” paparnya.

Permasalahan lain yang timbul adalah kualitas penggunaan media sosial sebagai ruang diskusi di Indonesia masih rendah karena penggunanya belum secara menyeluruh menguasai literasi media. Istilah literasi media sendiri secara bahasa diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. “Kita ini secara teknologi dan platform sudah ada, tetapi secara substansi masih jauh di belakang,” ujar Wisnu. Akibatnya, terjadi campur aduk informasi yang sifatnya privat dengan yang sifatnya publik. Masyarakat masih belum bisa membedakan mana yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi dan mana yang bukan.“Terkadang hal-hal publik yang semestinya disampaikan malah tidak muncul,” jelasnya.

Pemahaman literasi media yang cukup nantinya akan membuat pengguna media sosial lebih mengerti etika berdiskusi. Menurut Faturrachman, ruang diskusi di media sosial harus mempunyai etika tersendiri agar

jalannya diskusi lebih jelas. Ia juga menambahkan bahwa pokok persoalannya adalah etika dalam berinteraksi di media sosial belum terbentuk. “Kebanyakan orang sekarang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan ketika berkomunikasi di media sosial,” ujarnya.

Penggunaan media sosial yang beretika juga memerlukan regulasi sebagai bentuk nyatanya. Menurut Wisnu, ketiadaan regulasi juga menjadi hambatan besar bagi pengembangan kualitas ruang diskusi di media sosial. Contohnya adalah kasus Prita Mulyasari yang terjadi lima tahun lalu. Ia ditahan karena mengkritik sebuah institusi kesehatan swasta lewat surat pembaca di situs detik.com. Kritikan Prita, di mata hukum dianggap sebagai pencemaran nama baik. “Ini adalah hal yang ironis, karena dalam masyarakat yang demokratis kegiatan mengkritik adalah hal lumrah,” tutur Wisnu.

Di sisi lain, berkembangnya bentuk media sosial di era internet ternyata memberikan banyak manfaat terhadap kegiatan diskusi. Seperti yang diungkapkan oleh Antonius Sasongko WK, pelopor terbentuknya Kampung Cyber Yogyakarta. “Semenjak ada grup di Facebook, diskusi jadi lebih mudah terhubung dan praktis,” ungkapnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Heri Sutanto, ketua RT Kampung Cyber. Ruang diskusi di media sosial memudahkannya untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi secara cepat. Contohnya, penyebaran informasi kegiatan warga seperti kerja bakti, kerja sosial, dan olahraga bersama. “Ruang diskusi ini sangat efektif untuk hal-hal seperti itu,”paparnya.

Sementara itu Faturrachman berpendapat, meski memiliki banyak kelebihan, maraknya penggunaan ruang diskusi di media sosial tidak membuat ruang diskusi konvensional hilang. Dosen Psikologi itu menjelaskan,

memang akan ada penurunan kuantitas diskusi secara konvensional atau diskusi dengan tatap muka secara langsung. Namun, ruang diskusi konvensional tidak akan pernah hilang dan akan tetap ada hingga kapan pun. “Bagaimanapun juga, esensi kehidupan adalah pertemuan antar manusia secara langsung,” tegas Faturrachman.

Senada dengan pendapat Faturrachman, dari Wisnu memandang bahwa baik ruang diskusi di media sosial maupun konvensional seharusnya bisa saling mendukung. Di dunia maya, seseorang punya kesempatan besar untuk sebanyak mungkin membuat ruang diskusi. Kemudian, di dunia nyata diskusi dilakukan dengan lebih implementatif dan menjadi solusi atas suatu permasalahan. Contohnya, Kampung Cyber yang menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana bertukar pikiran. Mereka menggunakan media sosial sebagai sarana pendukung saja, agar tidak mengubah tatanan sosial dalam pergaulan sesama warga. Pertemuan atau forum warga secara tatap muka selalu diadakan setiap satu bulan sekali. “Kalau ingin mencapai kesepakatan untuk penyelesaian suatu masalah, kita masih menggunakan rapat rutin sebagai sarananya,” ujar Heri.

Walaupun fakta di lapangan menunjukan bahwa media sosial sebagai ruang diskusi tengah berkembang, Wisnu berpendapat bahwa ruang diskusi di media sosial memiliki masa depan yang sarat dengan ketidakpastian. Hal tersebut terjadi karena pemahaman masyarakat Indonesia terhadap aktivitas diskusi di media sosial masih sangat jauh dari kata baik. Padahal menurut Wisnu, seharusnya diskusi di media sosial bisa menghasilkan konvensi publik yang menguntungkan masyarakat. “Tanpa adanya pemahaman yang baik, maka diskusi di media sosial tidak akan menghasilkan perubahan yang menguntungkan masyarakat,” tandasnya. [Farras,Ageng,Aghzur]

Laporan Utama

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201413

Page 14: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Hiruk pikuk Jalan Teknik Utara sudah menjadi pemandangan yang biasa di pagi hari bagi para

mahasiswa atau warga di sekitarnya. Terlebih lagi pada pertengahan Mei 2012, sebuah aksi yang dimotori Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Shalahuddin UGM (JS) di depan gedung Sekolah Pascasarjana UGM menjadi pemandangan yang berbeda. Tidak seperti biasanya, kali ini bukan mahalnya biaya kuliah atau kurangnya fasilitas yang mereka kritisi, melainkan sebuah acara diskusi. “Tolak pemikiran feminis liberal!” tertulis dalam sebuah spanduk yang mereka bawa. Spanduk itu dialamatkan kepada Irshad Manji, penulis buku Allah, Liberty, and Love. Mulanya, aktivis asal Kanada ini akan menjadi pembicara dalam acara yang diadakan oleh Centre for Religious and

Crosscultural Studies UGM (CRCS). JS bersama ormas yang

mengatasnamakan Gerakan Jogja Peduli Moral Bangsa terus menyerukan penolakan terhadap acara tersebut. Berbagai alasan mereka kemukakan, mulai dari tuduhan penyebaran ajaran liberalisme yang mereka anggap sesat hingga penistaan terhadap agama. Bahkan, salah satu perwakilan JS meyakini kalau diskusi itu tidak lain adalah sebuah kedok promosi gaya hidup homoseks dan lesbian. Akhirnya, pihak CRCS terpaksa membatalkan acara bertajuk Wednesday Forum tersebut lantaran tidak mendapatkan izin keamanan dari UGM. “Kami tidak ingin keamanan tamu kami terancam,” ujar Wijayanti, Humas Ugm, kala itu terkait alasan pembatalan diskusi.

Selain CRCS UGM, kegiatan ini juga akan digelar oleh Lembaga

Kajian Sosial dan Islam (LKiS). Nahas bagi LKiS, kantornya di daerah Sorowajan menjadi target perusakan oleh sekelompok massa yang mengaku sebagai Laskar Islam. Tidak banyak yang tahu asal muasal mereka, sebab untuk mengenali wajah mereka saja sulit karena ditutupi helm. Mereka datang menutut pembubaran acara sembari menyebarkan selebaran yang mencantumkan nama Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI). Menyikapi kedatangannya, pihak panitia sejatinya telah menawarkan mereka untuk ikut berdiskusi bersama Irshad Manji. Namun ajakan tersbut tidak ditanggapi dengan baik. Para laskar justru memecahkan kaca dan merusak berbagai fasilitas yang ada di kantor LKiS, termasuk merobek sejumlah buku di perpustakaannya. Semakin malam, situasi semakin tak terkendali,

Pelik Perwujudan Toleransi dalam Diskusi Ilustrasi : Balairung/Hanif

Sisi Lain

“Sebab memiliki masyarakat yang beragam, pelarangan diskusi yang terjadi di Yogyakarta menimbulkan pertanyaan mengenai pemahaman konsep multikulturalisme”.

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 14

Page 15: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

anggota laskar mulai membabi-buta menyerang peserta diskusi agar membubarkan diri. Tidak hanya peserta, warga yang membantu mengevakuasi beberapa peserta ke bagian depan kantor pun ikut menjadi bulan-bulanan kelompok tersebut. Tercatat 7 korban luka yang segera dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Udara Harjo Lukito. Beruntung, Irshad Manji yang menjadi sasaran amuk massa, tidak mengalami kekerasan fisik pada malam itu.

Penyerangan kantor LKiS bukanlah kasus pelarangan kegiatan diskusi terakhir yang terjadi di Yogyakarta. Satu setengah tahun berselang, kecaman terhadap diskusi kembali terjadi. Pada medio November 2013, dua personil kepolisian mendatangi kantor RausyanFikr Institute di Jl. Kaliurang KM 5,7. Kepolisian mengabarkan adanya ancaman atas RausyanFikr yang dilayangkan oleh ormas Front Jihad Indonesia (FJI) mengenai acara As-Syuro yang mereka selenggarakan. Selain ancaman ini, berbagai kabar mulai bermunculan mengenai keberadaan RausyanFikr yang dituduh sebagai kantor pusat Syiah. Terkait ancaman ini, pihak RausyanFikr sempat meminta perlindungan kepada Kapolres Sleman dan kepala Kementrian Agama Sleman. Mengikuti himbauan mereka, RausyanFikr Institute terpaksa menghentikan seluruh kegiatan untuk sementara. Papan nama RausyanFikr yang dipajang di perpustakaan mereka pun diturunkan. Untuk beberapa lama, anggota RausyanFikr dihantui ketakutan akan penyerangan yang dapat terjadi kembali suatu waktu. Atas apa yang terjadi, Ustad Edi, Humas RausyanFikr Institute menyatakan kekecewaannya terhadap pihak kepolisian yang tidak melindungi kebebasan berdiskusi. “Seharusnya, pihak polisi dapat memberikan rasa aman bagi pihak yang ingin mengadakan acara seperti ini,” ujar Ustad Edi dengan raut wajah kecewa. Dalam kesempatan yang sama, Ustad Edi juga menyangkal tuduhan yang dialamatkan pada mereka. “RausyanFikr merupakan lembaga kajian filsafat islam dan tasawuf dengan anggota yang datang dari berbagai latar belakang keagamaan,” tegasnya.

Menanggapi Ustad Edi, Shabbarin Syakur, sekretaris jendral MMI justru menganggap kegiatan diskusi yang diselenggarakan RausyanFikr Institute hanyalah sebuah kedok. “Agenda utama mereka (RausyanFikr Institute, -red.) sebenarnya adalah menyebarkan ajaran sesat Syiah,” tukas Syakur. Selain MMI, Front Pembela Islam (FPI) juga meyakini tuduhan tersebut dan mengutuk penyebaran ajaran Syiah, khususnya di Yogyakarta. Di sisi lain, Ustad Komaruddin, pengurus bidang dakwah FPI menganggap Syiah sebagai musuh agama dan usaha penyebarannya harus dihentikan. “Tidak hanya Syiah, paham lain seperti pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme juga harus diberantas,” tanggap Ustad Komaruddin. Pun demikian, beliau berpendapat kalau kekerasan diperlukan dalam pelarangan diskusi meski harus tetap diawasi. “Kami hanya takut ada pihak-pihak yang ingin menyebarkan ajaran sesat seperti itu,” tambahnya.

Mengenai penyerangan kantor LKiS, Syakur merasa lembaga tersebut memang pantas mendapat perlakuan seperti itu. “LKiS memang kurang ajar, sudah kami tegur untuk membubarkan acara, mereka malah menantang,” tukas Syakur. Pria paruh baya ini pun berpendapat pihak LKiS sendiri yang telah memulai provokasi dan melakukan kekerasan, meski tidak secara fisik. “Jangan anda pikir kekerasan itu hanya dalam bentuk fisik, LKiS juga telah melakukan kekerasan dengan menghina agama saya!” Syakur naik pitam. Ia menyatakan bahwa MMI sebagai organisasi yang terbuka dan siap jika sewaktu-waktu diajak berdiskusi jika memang perihal yang diperbincangkan jelas dan bersifat konstruktif. “Kami tidak pernah melarang pihak manapun untuk berdiskusi, yang kami tentang adalah tema diskusinya, jika tidak ilmiah, untuk apa kita perbincangkan?” jelas Syakur.

Ditemui di Youth Study Center UGM, Derajad Sulistyo Widhyarto, dosen Sosiologi UGM memberikan pandangannya mengenai kejadian ini. Derajad mengungkapkan bahwa pelarangan yang terjadi pada kelompok tersebut karena mereka masih

dianggap sebagai kelompok minoritas. Keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas sendiri merupakan hal yang wajar dalam konteks masyarakat yang beragam. Namun, Derajad menyayangkan hubungan yang terjadi antara masyarakat mayoritas dan minoritas selama ini masih bersifat prosedural. “Harusnya dalam konsep multikulturalisme, hubungan yang terjadi antara kaum mayoritas dan minoritas bersifat substantif,” jelas Derajad. Substansi multikulturalisme yang demikian dapat dengan mudah dipahami di tingkat elite dan para kaum terpelajar. “Masyarakat awam akan sulit untuk memahami konsep multikulturalisme yang substantif, berbeda dengan kaum elit terpelajar,” Derajad berpendapat.

Selama ini, Derajad mengamati kondisi masyarakat Yogyakarta yang beragam menjadikan kota ini menjadi tempat yang tepat untuk menanamkan konsep multikulturalisme. Namun pada kenyataannya, masih ada pelarangan diskusi yang berakar pada masalah intoleransi di kota ini. “Hal ini dikarenakan masih ada pihak yang selalu mengusahakan konsolidasi dan penyebaran doktrin negatif terhadap kaum minoritas,” papar Derajad. Selain itu, Derajad menyayangkan kurangnya upaya untuk melakukan kegiatan diskusi lintas kelompok yang berguna untuk konsolidasi eksternal. “Dalam diskusi internal tidak akan terjadi banyak pertukaran pikiran yang menjadi esensi berdiskusi itu sendiri, berbeda dengan diskusi yang terbuka bagi banyak pihak,” tutur Derajad.

Derajad menyarankan dalam upaya penerapan konsep multikulturalisme, seharusnya tidak ada pelarangan terhadap kegiatan suatu kelompok. Selanjutnya, Derajad juga berpendapat kalau diskusi antar golongan adalah kegiatan yang harus dibudayakan untuk memperdalam pengertian dan toleransi antargolongan. “Diskusi antargolongan sangat bermanfaat bagi masyarakat awam agar tidak mudah dipengaruhi oleh informasi yang tidak jelas asalnya,” pungkas Derajad menutup perbincangan. [Kevin M., Syauqy Uzhma Haris]

Sisi Lain

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201415

Page 16: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

MenakarMinat DiskusiMahasiswa Yogyakarta

T ahun 1998 bangsa ini boleh bangga dengan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa membawa bangsa ini lepas

dari otoritarianisme Orde Baru. Sampai akhirnya mereka mengantarkan bangsa ini pada harapan nyata; Indonesia yang lebih demokratis. Pemilihan presiden dan kebebasan pers merupakan sebagian kecil implikasi keberhasilan pergerakan mahasiswa tahun 1998. Perlu diketahui, esensi dari keduanya ialah membuka ruang keterbukaan bagi siapa pun tanpa ada tendensi dari manapun. Keterbukaan adalah ruang pertemuan saling tukar menukar ide, gagasan, dan intelektualisme.

Perjuangan tersebut tentu bukan hal mudah dalam konstelasi politik ekonomi Indonesia waktu itu. Reformasi tidak akan lahir di Indonesia jika mahasiswa belum menumbuhkembangkan minat diskusi politik. Upaya itu sebagai bentuk antusiasme dan partisipasi aktif mahasiswa dalam membahas kebijakan pemerintah dan perubahan sosial politiknya. Sebelum tahun 1998, diskusi tersebut menjadi sebuah kegiatan yang dilarang melalui kebijakan “Normalisasi Kehidupan Kampus”. Pemerintah mengirimkan intel ke kampus dan memata-matai setiap pertemuan yang mencurigakan atas nama “stabilitas negara”. Akan tetapi, pencegahan tersebut tidak bertahan lama sampai pada tahun 1998. Mahasiswa akhirnya terdesak oleh fungsi mereka sebagai agent of social control dan agent of change. Berbagai kejanggalan, ketidakadilan sosial, dan kontrol yang ketat dari negara, nyatanya telah mendorong mahasiswa semakin giat membuat forum diskusi dan pertemuan untuk membicarakan keadaan genting tersebut. Forum diskusi mereka telah digerakkan satu tujuan yang sama,

yakni mencari kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul.

Dari sekelumit cerita di atas, disadari betapa besarnya peran diskusi dalam kehidupan sebagai warga negara. Banyak hal yang dapat diambil dari diskusi, di antaranya: meningkatkan kemampuan berpikir dalam mengatasi atau memecahkan masalah dalam suatu keterbukaan, menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, melatih berfikir secara logis saat menyampaikan argumentasi dalam diskusi, mengembangkan keberanian, dan percaya diri ketika berbicara di depan forum.

Lantas, bagaimana dengan minat diskusi mahasiswa di era sekarang dengan konteks perjuangan yang berbeda pada tahun 1998? Ketika mahasiswa sudah bergerak leluasa untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat? Apakah mahasiswa masih memiliki antusias untuk mengikuti diskusi meskipun tetap dihadapkan pada realita dan kewajiban mahasiswa sebagai pembelajar? Seberapa banyakkah dari mereka yang masih meluangkan waktunya di sela-sela kegiatan kuliah untuk mengikuti forum diskusi itu?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong dan melatar belakangi Balairung melakukan survei. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor apa yang paling dominan dalam mempengaruhi keaktifan dan antusiasme dalam diskusi mahasiswa di era sekarang. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan angket/kuisoner semi terbuka. Balairung menempatkan tiga faktor yang kemungkinan mempengaruhi minat diskusi dalam penelitian ini, yakni organisasi/komunitas, tugas kuliah dan perkembangan teknologi (gadget).

Selama Juni 2014, Balairung

“Minat Diskusi tumbuh dari kesadaran akan status dan peran mahasiswa”

Jajak Pendapat

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 16

Page 17: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

menyebarkan 352 kuesioner secara merata ke delapan perguruan tinggi di Yogyakarta, yaitu: Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN), Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Sanata Darma (USD), Universitas Pembangunan Negeri Veteran (UPN), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UTY). Masing-masing kampus dipilih 44 responden secara acak. Balairung memilih delapan kampus tersebut dengan pertimbangan semua universitas itu diharapkan dapat mewakili kampus-kampus di Yogyakarta. Alasan lain, universitas ini sebagai objek sampling yang mewakili tiga bagian wilayah dari Yogyakarta. Wilayah ujung Jalan Kaliurang diwakili oleh UII, bagian tengah oleh UGM, UNY, UIN dan USD. Bagian perbatasan Yogyakarta selatan oleh UTY dan UII. Pemilihan Universitas ini diharapkan dapat mewakili tiap wilayah di Yogyakarta.

Organisasi menjadi salah satu kegiatan yang melekat dengan kehidupan mahasiswa. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 71 persen responden menjawab mengikuti organisasi. Dari semua organisasi yang diikuti mahasiswa tersebut, sebagian besar mengaku telah memiliki wadah diskusinya masing-masing. Hanya 14 persen dari total responden yang mengaku tidak memiliki forum diskusi rutin. Dari data tersebut diperoleh informasi, intensitas mahasiswa di delapan universitas sampling saat ini masih mengembangkan forum diskusi, yaitu dengan paling sedikit melakukan diskusi sebanyak 1-2 kali per bulan melalui forum-forum diskusi formal. Hanya sekitar yaitu 14 persen responden yang tidak mengikuti forum diskusi secara rutin dengan alasan fokus dengan kegiatan perkuliahan.

Dalam konteks kegiatan perkuliahan, Balairung mendapatkan data analisis bahwa sebanyak 52 persen dari seluruh responden mengaku intensitas untuk mengikuti forum diskusi mereka terpengaruh oleh kegiatan perkuliahan,

khususnya tugas yang diberikan oleh dosen dengan intensitas satu sampai dua tugas dalam seminggu. Sisanya 48 persen total responden mengaku tidak terpengaruh oleh tugas dosen dan tetap mengikuti forum diskusi, baik yang melalui organisasi maupun diskusi yang diselenggarakan oleh lembaga/unit kegiatan mahasiswa di kampus. Hal itu menujukan bahwa masih ada antusiasme yang tinggi tanpa merasa dipengaruhi oleh kesibukannya sebagai pembelajar, yaitu mengerjakan tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa.

Sebelum melakukan penelitian, Balairung berasumsi bahwa intensitas mahasiswa dalam melakukan diskusi formal dewasa ini menurun karena dipengaruhi faktor perkembangan teknologi yang serba instan dan cenderung mendorong sikap individualisme. Di mana sikap individualisme merupakan resisten alami mahasiswa dalam mengembangkan forum diskusi yang notabene membutuhkan komunikasi dalam kelompok. Definisi teknologi yang kami maksud adalah gadget seperti smart phone dan laptop. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa teknologi inilah yang paling akrab dan memengaruhi banyak aspek keseharian mahasiswa sekarang.

Hasil survei mengatakan bahwa 88 persen responden atau sebanyak 310 mahasiswa mengaku memiliki gadget pribadi. Gadget tersebut dialokasikan penggunaannya dalam beberapa kegiatan, seperti: hiburan, komunikasi, penunjang perkuliahan dan lainnnya. Penggunaan terbanyak digunakan untuk komunikasi yakni sebesar 55 persen. Selanjutnya sebanyak 25 persen responden menggunakannya sebagai kebutuhan penunjang perkuliahan dengan jumlah intensitas penggunaan sebanyak 5-8 jam per hari. Terlepas dari kesalahan atau bias yang terjadi dalam proses penelitian, berdasarkan data yang diperoleh disimpulkan bahwa penggunaan gadget hanya memiliki pengaruh sedikit terhadap intensitas responden dalam mengikuti diskusi, yakni 23 persen. Hasil tersebut

menunjukan, ternyata ditemukan sebanyak 83 persen dari responden mengaku aktif mengikuti perkembangan isu sosial di masyarakat dengan memanfaatkan gadget mereka untuk menggali informasi yang kemudian diaktualisasikan dalam forum-forum diskusi. Sedangkan sisanya, 17 persen mengaku tidak tertarik mengikuti perkembangan isu sosial sehingga tidak mengaktualisasikan isu tersebut dalam forum diskusi. Simpulan tersebut dibuktikan oleh kapabilitas pengetahuan responden terhadap isu yang berkembang saat ini, yaitu diperoleh sebanyak 88 persen menjawab isu politik sedang menjadi trending topic dan sisanya 12% menjawab isu ekonomi dan olahraga.

Dari data secara keseluruhan, Balairung menyimpulkan bahwa di era modern ini mahasiswa masih menjunjung minat diskusi dan aktif mengaktualisasikannya sebagai suatu kebutuhan penting. Namun demikian, ditemukan sebanyak 18 persen dari total responden mengaku pihak kampus tidak mendorong secara maksimal adanya forum-forum diskusi. Angka ini cukup menjadi perhatian karena di era sekarang yang mana kebebasan pers dan diskusi menjadi aspek yang terus didorong. Maka, seharusnya pihak kampus mampu menjadi fasilitator penghidup forum-forum diskusi. Meskipun demikian, kesadaran mahasiswa itu sendiripun harus ditingkatkan. Membangkitkan semangat dan rasa suka kepada minat diskusi harus kembali digayangkan, agar tercipta produk diskusi keilmuan yang dapat bermanfaat bagi bangsa. Caranya adalah dengan mengadakan diskusi rutin antar mahasiswa, rektor dengan mahasiswa maupun menjadi mediator diskusi antara mahasiswa dengan cendekiawan/profesional dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Gambaran akan riset ini diharapakan dapat menjadi perhatian oleh mahasiswa baru, yang akan memasuki dunia perkuliahan. [King, Alan, Pras, Aji]

Jajak Pendapat

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201417

Page 18: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Info Grafis : Balairung/Aldo

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 18

Jajak Pendapat

Apakah anda mengikuti organisasi mahasiswa? Seberapa banyak dosen

memberikan anda tugas dalam seminggu?

Apakah tugas yang diberikan dosen mempengaruhi intensitas anda untuk

mengikuti forum diskusi?

Apakah anda memiliki gadget pribadi?

Apakah organisasi yang anda ikuti memiliki forum diskusi rutin?

Seberapa sering intensitas anda menggunakan gadget setiap hari?

Seberapa sering anda mengikuti forum diskusi dalam sebulan?

Anda lebih sering menggunakan gadget tersebut untuk apa?

Apakah intensitas penggunaan gadget anda mengurangi waktu mengikuti forum diskusi?

Apa alasannya?

Tidak(48%)

Iya(52%)

Iya(29%)

1-2/minggu

(16%)

3-4/minggu

(34%)

>4/minggu

(50%)

Iya

(88%)

Tidak(71%)

Tidak

(12%)

Tidak pernah (4%)

Hiburan (13%)

Tidak suka

0-4/hari

Fokus kuliah

4-8/hari

Lainnya

>8/hari1-2 kali/bulan (57%)

Komunikasi (55%)

3-4 kali/bulan (25%)

Menunjang perkuliahan (25%)

1-2 kali/bulan (57%)

>4 kali/bulan (14%)

Lainnya (7%)

>4 kali/bulan (14%)12%

32%

37%

41%

51%

27%

Iya

(14%)Tidak(86%)

(48%)

(52%)

YaTidak

Apakah anda mengikuti perkembangan isu-isu terkini dalam masyarakat?

Menurut anda, isu apa yang sedang hangat di masyarakat akhir ini?

Politik (88%)

Agama (6%)

Ekonomi (1%)

Lainnya (5%)

Apakah menurut anda forum diskusi itu penting?

Ya (95%)Tidak (5%)

Apakah kampus mendorong anda untuk mengikuti forum diskusi?

Tidak (28%)

Iya (72%)

Apakah anda mengalokasikan waktu sendiri untuk mengikuti forum diskusi?

Apa alasannya?

Iya

Ideologi

Tidak

Ekonomi Lainnya

65%

57%

35%

33%10%

Jajak pendapat dilakukan terhadap mahasiswa dari universitas berikut :

UGM UIIUNY UINISI UPNSADAR UTY

Page 19: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 20: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Cahaya remang lampu sorot meninggalkan suasana sepi di ruang konser Taman Budaya Yogyakarta. Puluhan

orang duduk melingkar mengelilingi panggung. Sementara itu, terdapat sebuah ranjang di atas hamparan karpet berwarna putih di tengah panggung. Seorang perempuan berambut hitam lurus terbujur kaku di atas ranjang. Seutas tali berwarna putih melayang di atasnya setinggi sekitar satu setengah meter. Lalu, muncul sesosok laki-laki dari balik bangku penonton. Ia naik ke panggung selanjutnya meraih tali tersebut dan melilitkan ke tubuhnya. Tak lama, lampu sorot padam berganti cahaya dari puluhan senter dari penonton yang mengelilingi panggung. Sebuah pementasan teater monolog dipadu sirkus kontemporer berjudul “Drop” baru saja dimulai.

Alkisah Odisseus, Raja Ithaka, meninggalkan kota usai memenangkan perang Troya. Akan tetapi Poseidon, si dewa laut, sakit hati karena selama perang Odisseus telah menghancurkan tembok Kota Troya yang dibangunnya. Ia lalu menghukum Odisseus dengan berbagai rintangan dalam perjalanan pulang ke Ithaka. Di tengah perjalanan, ia kembali berbuat kesalahan karena membutakan mata Polifemos, anak

Poseidon, sehingga membuat perjalanan pulangnya semakin lama.

Odisseus pun tak kunjung kembali selama hampir dua puluh tahun. Sedangkan Penelope dengan cemas menunggu dirinya pulang di Ithaka. Di tengah kesepiannya, Penelope hanya mampu mengisahkan segala keluh-kesah pada lembaran-lembaran surat. Ia menulis surat itu dengan penuh pengharapan sekalipun ia sadar surat itu tidak akan sampai di tangan suaminya. “Pulanglah, Odisseus. Pulanglah,” ujar Penelope dalam suratnya.

Ruangan gelap menyisakan cahaya lampu yang mengarah pada kedua pemain. Tetesan hujan pun turun membasahi panggung. Beberapa saat perempuan itu hanya diam, duduk terpaku di ranjangnya sambil meringkuk kedinginan. Ia kemudian bangkit lalu mengitari ranjang sembari diikuti tatapan tajam si lelaki.

“Telah aku sia-siakan harga diriku demi seseorang yang tak tahu membalas budi,” ujar perempuan itu dengan nada tinggi. Cerita kemudian beralih pada lakon Dido yang diliputi kegalauan karena ditinggalkan lelaki yang telah memperkosanya. Ia marah tetapi bingung harus menumpahkan kegusarannya pada siapa.

Dengan perasaan kalut, Dido

akhirnya menulis surat yang tak tahu harus ditujukan pada siapa. Sebuah surat yang berisi kemarahan seorang perempuan yang dikhianati dan dicampakkan oleh kekasihnya. “Aku berharap kau musnah dilanda samudra murka! Lihat! Betapa badai telah berpihak padaku!” teriak Dido kalap.

Alunan musik kemudian meninggi diiringi hujan yang turun semakin deras. Perempuan itu berlari kesetanan mengacak-acak seisi panggung. Sementara si lelaki berputar-putar dengan tali di udara.

Sesaat kemudian, musik yang semula terdengar kencang bersahutan dengan suara petir berganti menjadi alunan suara merdu. Hujan perlahan mereda dan sesaat kemudian panggung hening dalam kebekuan. Perempuan itu meninggalkan panggung. Tak lama ia kembali, berjalan mengitari ranjang, sementara si lelaki menguntit di belakangnya. Pementasan kembali berganti babak.

“Apapun isinya bacalah surat ini sampai akhir. Surat yang dikirimkan dariku, Phaedra, ibu tirimu,” ujar perempuan itu. Selanjutnya, kisah patah hati lagi-lagi ditampilkan melalui lakon Phaedra, seorang ibu yang mencintai anak tirinya secara membabi buta. Meski begitu, Phaedra hanya mampu

Narasi Perempuan Patah Hati

Empat kisah perempuan dalam mitologi Yunani ditampilkan

di atas panggung lewat teater monolog. Berpadu dengan sirkus

kontemporer, pementasan ini membawa cerita-cerita patah hati

yang menguras emosi.

Foto : Balairung/Naufi

Apresiasi

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 20

Page 21: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

menuangkan perasaannya lewat surat karena cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Phaedra menyimpan keinginan, suatu saat anak tirinya itu tahu bahwa ia sangat mengharap balasan cintanya. “Dengan berderai air mata aku memintamu membaca suratku sampai akhir, maka kau akan terbayang bagaimana deritaku,” ujar Phaedra.

Pementasan mencapai klimaks ketika memasuki lakon Ariadne. Terkisah Ariadne ditinggalkan di Pulau Naxos seusai membantu pemuda pujaannya, Theseus, membunuh Minotaur, kakaknya. Alih-alih membawa Ariadne ke Athena untuk dinikahi, Theseus malah meninggalkan perempuan itu di pulau yang tak berpenghuni. Ariadne murka. Ia berlari ke sana-kemari, melemparkan lembaran-lembaran surat cinta yang berisi kepedihannya. Ariadne merasa bodoh atas tindakannya sendiri. “Tak ada makhluk di dunia yang bisa menyakitiku lebih dari yang kau lakukan padaku!” teriaknya penuh amarah.

Kisah-kisah perempuan dalam mitologi Yunani itu ditampilkan dalam pementasan kelompok teater-sirkus asal Prancis, Rictus, pada Senin (9/6) malam. “Drop” yang berarti tetesan hujan merupakan persembahan kolaborasi sutradara David Bobee dengan aktris Sha Ine Febriyanti. Ine menampilkan monolog dari naskah yang ditulis berdasarkan Surat-Surat Cinta karya penyair Latin, Ovid, dan teks penulis kontemporer Prancis, Ronan Cheneau.

Pementasan teater monolog yang dimulai pukul 19.30 WIB tersebut menampilkan sesuatu yang berbeda. Di pergelaran ini, tidak hanya unsur sastra yang menonjol lewat kata-kata puitis dalam surat. Aksi akrobat yang mempertontonkan sirkus kontemporer dari Anthony Weiss juga menjadi sajian unik sepanjang pementasan. Gerakan-gerakannya seperti merespons setiap kalimat yang diucapkan Ine dalam monolog. Anthony cukup menggambarkan emosi sedih Ine lewat gerakan tubuh yang halus meliuk-liuk di udara. Sebaliknya, saat Ine berada dalam keadaan emosi, ia bergerak sangat leluasa, dinamis, dan cepat. Efek dramatisasi semakin diperkuat dengan

musik, suara gemuruh, tetesan hujan, serta tata lampu yang menjadi latar belakang pementasan.

Terbagi menjadi empat babak, pementasan tersebut merangkum kekecewaan perempuan terhadap sosok laki-laki yang dicintai. Berawal dari kisah Penelope yang sedih, penonton kemudian diajak merasakan kemarahan Dido yang ditinggal kekasihnya. Selanjutnya, kisah Phaedra yang pilu kembali ditampilkan dan ditutup dengan cerita penuh dendam Ariadne.

Dalam keseluruhan cerita “Drop”, kisah patah hati ditampilkan melalui surat-surat cinta. Surat itu diibaratkan sebagai usaha terakhir tokoh-tokoh perempuan untuk menjumpai kekasihnya yang telah pergi. Mereka seperti merasakan kehadiran lelaki yang pernah sangat dicintainya melalui surat-surat tersebut.

Selama tujuh puluh menit pertunjukkan, “Drop” mampu membius puluhan penonton ke dalam alur ceritanya yang menguras emosi. Komentar itu diungkapkan oleh Diva Indraswari, salah satu penonton. “Kita seolah bisa merasakan sakit hati yang dialami perempuan-perempuan dalam cerita itu,” ujar perempuan yang mengenakan jilbab ini. Diva juga mengungkapkan bahwa pentas monolog yang dipadu dengan aksi akrobat merupakan pertunjukan yang unik. Ia berharap kisah-kisah menyentuh hati dalam pentas yang unik seperti ini bisa semakin sering digelar di Yogyakarta.

Selain di Yogyakarta, “Drop” juga akan dipentaskan lewat tur di berbagai kota di Indonesia dan berakhir di

Perancis bulan Oktober mendatang. Sebelumnya, David yang juga menjadi direktur artistik Rictus ini sudah tercatat menghasilkan beberapa naskah, salah satunya “Warm”. Naskah yang sempat ditampilkan di pementasan berkonsep serupa di Jakarta tahun lalu ini menggambarkan kekuasaan perempuan saat menjalin hubungan cinta dengan laki-laki.

Berbeda dengan “Warm”, cerita “Drop” menampilkan sosok perempuan yang sangat bodoh dan lemah ketika jatuh cinta. Mereka seolah-olah lupa bahwa jatuh cinta dan patah hati adalah sebuah kesatuan. Seseorang yang memutuskan jatuh cinta seharusnya siap menanggung risiko untuk patah hati. Lewat pementasaan ini, perempuan diajak berpikir rasional agar tidak terbius perasaan cinta yang bodoh. Seorang perempuan harus menggunakan akal sehatnya ketika jatuh cinta. “Cinta yang tidak proporsional akan menjadi racun yang bisa membunuh kita sendiri,” komentar Ine dengan mimik serius.

Barangkali cinta yang buta yang juga akan membunuh Ariadne. Di akhir cerita, ia menyadari dirinya ditinggal sendirian. Ariadne menangis tersedu-sedu. “Theseus, kembalilah! Masih ada satu orang yang belum kau angkut dalam kapalmu!” teriaknya pada kapal-kapal yang telah berlayar. Akan tetapi suara Ariadne hilang ditelan angin yang menggiring kapal-kapal itu ke Athena. [Ervina,Tiwi]

Foto

: B

alai

rung

/Nau

fi

Apresiasi

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201421

Page 22: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

22Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014

Ruang....“Kita semakin sering menganggap “diskusi” adalah peristiwa biasa tapi diagungkan. Orang-orang berdiskusi mirip pameran diri, bersiasat menggunakan raga, pakaian, buku, tas, makanan, rokok, meja, kursi agar bertambah makna. Peristiwa-peristiwa di ruang diskusi ingin diakui sebagai peristiwa intelektual meski bisa digugat.”

Kolom Pakar

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014

Page 23: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Ruang-ruang terus bernama. Dulu, ruang memiliki pelbagai fungsi saat manusia berkehendak melangsungkan

peristiwa, bersesuaian raga dan waktu. Ruang tak pernah “mati” oleh sebutan demi pengenalan atau popularitas. Di ruang, manusia mengerti diri, Tuhan, suasana, benda saat mengalami untaian pertalian relasi. Ruang bisa mengandaikan keluasan atau kesempitan bergantung manusia menempatkan diri.

Ruang perlahan menjadi tema besar dalam kesejarahan manusia. Ruang bisa diartikan dengan pelbagai referensi: kota, desa, negara, rumah, jalan, bumi, langit. Ruang memuat kemungkinan-kemungkinan dinamai dan mendapat fungsi oleh manusia melalui peristiwa-peristiwa. Kita tak pernah bisa menetapkan pengertian absolut jika ruang selalu “diadakan” dan “dihilangkan” akibat perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, kultural.

Sekarang, ruang menjadi urusan pelik. Filosof, arsitek, seniman melakukan konstruksi makna atas ruang secara kompleks, tak tunduk oleh pembakuan-pembakuan. Ruang difungsikan berpijak ke pertimbangan-pertimbangan berlapis untuk memendarkan pengertian. Politikus, pengusaha, ulama, tentara pun memiliki modal-modal mengurusi ruang, berkaitan profesi dan misi. Mereka bisa berebutan pengertian, saling menampilkan dominasi pengertian, bertabrakan pengertian berdalih otoritas ilmu, estetika, etika, religiusitas.

Ruang pun mengabstrak dan gamblang. Perhitungan dengan angka dan kata selalu menimbulkan ambiguitas. Kesanggupan memilih pengertian ruang memungkinkan kita bergerak: masuk ke ruang atau keluar ruang. Kita bisa dimuat ruang. Kita pun memuat ruang. Urusan-urusan pelik perlahan digugat oleh kaum awam saat menginginkan ada penggamblangan meski tak gampang. Ungkapan-ungkapan mulai bermunculan berbarengan dengan agenda-agenda besar peradaban, di pelbagai negeri. Kita menerima dan mendapat pengertian: ruang publik, ruan pameran, ruang

diskusi, ruang ganti, ruang persalinan, ruang operasi. Ruang tak melulu luas atau fasilitas. Ruang adalah pengertian-pengertian yang tak rampung.

Di kalangan mahasiswa dan intelektual mulai mengenali ruang keren bernama ruang diskusi. Mereka tak sungkan melafalkan atau menulis ungkapan keren: ruang diskusi. Kesadaran untuk melakukan pertemuan dan pengungkapan pelbagai ide memerlukan ruang. Pertimbangan ruang menentukan pemaknaan atas peristiwa. Mereka sering mengatakan peristiwa bersama dengan ungkapan diskusi. Sangar! Ungkapan mengandung biografi dan intelektualitas. Ruang diskusi berarti ruang “sakral” dalam pergulatan ide, melibatkan sekian orang untuk sajian pendapat, argumentasi, konklusi. Di ruang diskusi, mereka merasa diri berilmu dan mengalami situasi “unik”.

Kita mengetahui bahwa ruang diskusi untuk kaum berilmu, kaum intelektual, kaum mahasiswa mulai mengalami pemewahan. Lihatlah, di pelbagai kampus atau institusi, keberadaan ruang diskusi meliputi kursi, meja, mesin pendingin, karpet, alat pengeras suara. Daftar bisa diperpanjang atau diperpendek bergantung kemampuan mengadakan ruang diskusi. Kita pun biasa menemukan ruang diskusi bernama agar mengingatkan ketokohan atau pancaran ide-ide. Ruang diskusi tentu dipahami secara ketat jika berkaitan dengan agenda-agenda akademik.

Ilmu memerlukan ruang, disahkan oleh kemauan orang “berdiskusi”. Kita semakin sering menganggap “diskusi” adalah peristiwa biasa tapi diagungkan. Orang-orang berdiskusi mirip pameran diri, bersiasat menggunakan raga, pakaian, buku, tas, makanan, rokok, meja, kursi agar bertambah makna. Peristiwa-peristiwa di ruang diskusi ingin diakui peristiwa intelektual meski bisa digugat. Orang-orang tak berdiskusi saat ada di ruang diskusi. Orang-orang mengacaukan diskusi sebagai ceramah. Orang diperbolehkan cuma memberi telinga. Sebutan diskusi menggantikan obrolan atau jagongan sebagai peristiwa tanpa tata cara resmi atau klaim-klaim intelektual. Ruang diskusi semakin

“angker”.Di rumah, diskusi tak bisa

diberlakukan secara serampangan. Kita biasa memberi sebutan obrolan, rerasan, jagongan, ngudarasa. Ruang tak harus resmi. Peristiwa di emperan, dapur, pendopo bisa berkemungkinan bermisi melampaui peristiwa di ruang-ruang diskusi. Tata cara memang tak tertib atau menggunakan ketentuan-ketentuan baku. Di rumah, diskusi sulit diakui saat raga, waktu, suasana, omongan bercampur menjadi “kenikmatan.” Kita tak menuduh “kenikmatan” adalah ejawantah intelektualitas. Anggapan sepele bisa diajukan saat peristiwa di rumah mengarah ke “pembiasaan” tanpa jadwal dan target.

Sekarang, kita berhak mengabaikan diskusi atau ruang diskusi. Orang-orang telanjur memberi predikat diri sebagai “peserta” diskusi, mengesankan ada pengakuan-pengakuan dari kehadiran. Kontribusi tak diperhitungkan. Kehadiran raga di ruang diskusi sudah meresmikan orang sebagai peserta. Ketentuan-ketentuan beraroma intelektual memicu peristiwa-peristiwa biasa dianggap tak berbobot. Obrolan, rerasan, jagongan, ngudarasa cuma dianggap peristiwa sosial tanpa kemungkinan dicap “berilmu.” Kita tak usah marah dengan bantahan-bantahan.

Ruang diskusi adalah sebutan. Beban pengertian sudah dirumuskan ribuan orang, dari masa ke masa. Kita diperkenankan menganut pengertian umum. Kita pun berhak menolak tanpa bualan-bualan dan argumentasi-argumentasi muluk. Ah, kita mulai jemu mengurusi diskusi dan ruang diskusi. Begitu. [Bandung Mawardi]

Foto

: Is

timew

a

27 Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014

Kolom Pakar

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201423

Page 24: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 25: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Potret

NASTEL?

Potret

Foto dan Teks : Ryma Aulia P. Arrijal Hanif

Salah satu warung makan yang tidak dapat dapat dipisahkan dengan kehidupan mahasiswa zaman sekarang adalah warung burjo. Disebut burjo dikarenakan pada awalnya warung tersebut hanya menjual satu menu makanan, yakni burjo, bubur kacang hijau. Seiring dengan berjalannya waktu, menu yang disediakan warung burjo semakin bervariasi, salah satunya adalah nasi telur. Nasi telur ala burjo adalah salah satu menu makanan warung burjo yang kini digandrungi oleh mahasiswa. Selain karena rasanya, harga yang cukup terjangkau oleh kantong mahasiswa pun mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa.

Lain warung burjo, lain juga sajian nasi telurnya. Setiap warung burjo memiliki ciri khas tersendiri saat menyajikan menu nasi telur. Terdapat warung burjo yang menyajikan nasi telur dengan komposisi nasi dan telur dadar. Tetapi ada juga warung burjo yang memberikan lauk tambahan berupa orek tempe atau dengan tambahan sayur. Bahkan, terdapat warung burjo yang menyajikan nasi telur komplit dengan berbagai tambahan menu seperti orek tempe, sayur dan mie. Tentunya, berbagai variasi nasi telur tersebut yang akan dijumpai oleh para mahasiswa yang singgah di warung burjo.

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201425

Page 26: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Potret Potret

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 26

Page 27: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

PotretPotret

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201427

Page 28: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 29: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

IKLAN

Page 30: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Seorang laki-laki setengah tua duduk di tengah ruang seluas 80 meter persegi. Sembari menyimpulkan kaki, ia

bersandar pada sebuah kursi kayu. Di sampingnya, terdapat empat kursi lain tertata melingkar mengelilingi meja kayu berbentuk lingkaran. Lukisan-lukisan berbagai ukuran tertempel di tembok mengelilingi ruangan itu. Tertata tidak rapi, atas bawah saling bertumbukan namun terlihat menawan. Setiap pojok lukisan terdapat goresan tanda tangan. Tanda tangan itu bertuliskan sebuah nama “Nasirun,” nama pria yang duduk di tengah ruang itu. Hari itu, Sabtu (21/6), bertempat di galeri yang beralamat di Perumahan Kalibayem, Jalan Wates, Yogyakarta, pria yang

mengenakan kaos dan celana pendek berwarna hitam itu menceritakan kisah hidupnya.

Nasirun lahir dari keluarga sederhana di daerah Cilacap. Orang tuanya bekerja sebagai buruh tani. Sejak kecil anak ke enam dari tujuh bersaudara ini terbiasa hidup dalam keprihatinan. Bapaknya meninggal dunia saat dia masih balita. “Ibu harus memenuhi kebutuhan kami sekeluarga sendirian,” cerita pria yang memiliki rambut sampai menutupi dada ini.

Menginjak usia delapan tahun, ibunya mendaftarkan dirinya ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah. Selama di bangku MI, ia sangat senang menggambar. Ia tuangkan kesenangannya dengan mencoret-

coret pelataran rumahnya. Meski harus berjalan delapan kilometer untuk mencapai sekolah, Nasirun tetap bersemangat. Hal ini ia buktikan dengan menjuarai Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) menggambar yang waktu itu. ”Sayang gambarnya sekarang sudah hilang karena tidak terdokumentasikan dengan baik,” papar putra dari Supiyah ini.

Pada tahun 1983 setelah menamatkan SMP, Nasirun memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta. Berbekal uang 70 ribu hasil menjual pintu, ia mendaftar ke Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), yang kini bernama Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Batik adalah jurusan yang diambilnya kala itu. Selama di SSRI ia tidak pernah

Beragam peristiwa yang telah ia alami terlalu sayang untuk dilupakan. Hal inilah yang membuat Nasirun mengabadikan

berbagai kejadian dalam hidupnya lewat lukisan.

Merekam Lika-Liku Kehidupan Lewat Lukisan Fo

to :

Bal

airu

ng/T

ama

Sosok

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 30

Page 31: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya. “Saya kerja di sawah nanam terong, nanam lombok untuk makan sehari-hari,” ungkap pria yang memiliki jenggot berkuncir ini.

Setelah lulus dari SSRI Nasirun tidak langsung melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah. Ia lebih memilih untuk belajar mengukir kayu terlebih dahulu. Setelah empat tahun belajar mengukir, Nasirun kemudian mempelajari sastra wayang, serta cara pembuatan wayang (nyungging) selama setahun. ”Saya belajar Sastra wayang pada Pak Kasidi dan nyungging pada Pak Sagiyo,” tuturnya.

Baru pada tahun 1991, Nasirun melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Ia masuk ke Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selama kuliah, ia tuangkan bakatnya dengan menggambar dompet, kartu ulang tahun, kartu lebaran dan kartu natal. Tak hanya itu, ia juga membuat batik, ukir-ukiran kayu serta berbagai kerajinan kulit. “Semua itu lalu saya jual di jalanan untuk mencukupi pendidikan dan kebutuhan hidup,” ungkapnya.

Kehidupan jalanan memang telah menghidupi Nasirun. Di jalanan pula ia menemukan titik balik dalam hidupnya. Suatu hari karyanya dibeli Pemilik Mirota Kampus. Kemudian lukisan itu dijual lagi kepada seorang turis Australia di Bali. Turis tersebut menganggap hasil karya Nasirun layak pamer, lantas membuatkannya pameran tunggal pada tahun 1994. Berkat pameran yang diselenggarakan di Bali itu, nama Nasirun mulai populer di dunia seni lukis Indonesia. “Oei Hong Djien, seorang kolektor lukisan, langsung memborong lukisan saya setelah pameran itu,” kenang bapak yang mempunyai tiga orang anak ini.

Pada tahun yang sama, Nasirun meraih gelar sarjananya. Kejadian unik terjadi ketika ia akan di wisuda. “Ibu saya nangis karena terlalu gembira,” ceritanya. Ibunya tidak tahu anaknya merantau untuk belajar, tiba-tiba diundang untuk menghadiri wisuda anaknya. “Ibu tidak merasa membiayai kuliah kok ini anaknya udah sarjana,” kenangnya sambil tersenyum

simpul. Nasirun memang tidak pernah memberitahu bahwa dirinya melanjutkan pendidikannya. Ini dilakukan karena ia tidak ingin menjadi beban untuk ibunya.

Bagi Nasirun, melukis memang sudah menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Lukisan-lukisannya telah menjadi catatan dalam perjalanan hidupnya. “Setiap momen harus kita catat atau hanya akan segera berlalu terbawa waktu,” cetus pengagum Ahmad Tohari ini. Alasan inilah yang membuatnya produktif dalam melukis. Hingga kini lebih dari 2000 lukisan telah berhasil ia buat.

Dari sekian banyak lukisan, tentu ada yang istimewa baginya. Lukisan berjudul “Nggayuh Buli-Buli” menjadi salah satunya. Melalui lukisan ini Nasirun menceritakan konflik di dalam keluarganya. Perbedaan latar belakang orang tuanya menjadi penyebab konflik itu. Ibunya berasal dari keluarga pramuria, berseberangan dengan bapaknya yang berasal dari kalangan agamis. ”Keluarga besar terasa sangat berjarak karena hal itu,” paparnya.

Ada juga Lukisan “Manasar” yang memiliki kisah tersendiri dalam hidup Nasirun. Lukisan yang ia buat pada tahun 1997 ini berkisah tentang kematian saudara perempuan ibunya yang meninggal bunuh diri. “Saya kurang tahu apa penyebabnya dulu,” paparnya. Ini menjadi pukulan berat bagi Nasirun karena kehilangan orang yang selalu mendukung serta membimbingnya.

Selain tentang perjalanan hidup, lukisan Nasirun juga terinspirasi dengan cerita dunia pewayangan. Kecintaanya berawal dari kebiasaan ibunya yang sering mendongengkan cerita pewayangan saat masih balita. ”Wayang menuturkan kehidupan kita di dunia dengan sangat indah,” jelas penggemar wayang itu. Banyak dari karyanya yang mengangkat dunia pewayangan. Lukisan “Mitos dan Legenda Alas Pasetran Gondo Mayit” merupakan salah satunya.

Melalui lukisan-lukisannya juga, Nasirun berhasil memenangkan beberapa penghargaan. Pada tahun 1997, Lukisan “Larut Dalam Warna” membawanya meraih penghargaan Philip Morris Art Award Indonesia.

Lukisannya dianggap mampu mewakili keadaan sosial politik masyarakat masa keruntuhan Orde Baru. Selain itu, berkat lukisan “Misteri Senja Kala”, koleksi di dalam lemarinya pun bertambah. Dengan lukisan yang menceritakan indahnya suasana senja ini, ia berhasil menyabet Affandie Price pada tahun 2000.

Kini keahliannnya dalam memainkan warna diatas kanvas membuat namanya dikenal hingga mancanegara. Adrian Campble Black salah satunya. Sejak pertama kali melihat lukisan Nasirun yang dipajang di Gerai Batik Miranda, staf kedutaan Inggris itu jatuh cinta. ”Ini sangat kreatif, unik, dan orisinil,” puji penikmat seni ini. Sekembalinya ke Inggris, ia ingin membawa pulang serta memperkenalkan karya Nasirun ke Inggris.

Sayangnya perjalanan karir Nasirun tak melulu indah. Ia pernah menjadi korban pembajakan. Sebanyak 20 lukisannya menjadi korban pembajakan dalam rentah 1997 sampai 2004. Salah satunya adalah lukisan “Misteri Randa Beser” yang memiliki nilai jual tinggi. Menyikapi masalah tersebut, ia tidak memperkarakannya ke ranah hukum. “Saya biarkan, anggap saja orang itu juga cari makan,” tutur pelukis yang memiliki nama panggilan santri ucul itu.

Keberhasilan Nasirun dalam membangun karir tidak membuatnya lupa diri. Untuk menghormati orang-orang yang telah berjasa baginya, Ia bangunkan museum Zakat Budaya yang beralamat di Perumahan Bayeman Permai, Kasihan, Bantul untuk memamerkan karya mereka. ”Terdapat 500 lukisan karya para senior saya”, tutur pemilik museum itu. Salah satu lukisan diantaranya adalah Lukisan ”Siteran” karya Wardoyo, dosennya sewaktu di ISI Yogyakarta.

Setelah berkarya selama puluhan tahun, Nasirun tidak ingin selamanya melukis. Kedepannya ia ingin menjadi seorang petani, sementara dunia seni hanya ia jadikan sebagai sambilan saja. “Saya ingin kembali ke fitrah saya seperti bapak dan ibu yang menghidupi dirinya dari sawah,” pungkasnya sambil mematikan rokok. [Budi, Surohman]

Sosok

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201431

Page 32: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Akhir dekade 1960an hingga 1970an menjadi periode yang mengguncangkan bagi disiplin ilmu sosial,

tak terkecuali Antropologi. Kajian ilmu sosial kurang kritis dalam membaca tata ekonomi dan politik saat itu. Contoh kasusnya adalah peristiwa tuntutan hak-hak kulit berwarna di AS, hak-hak golongan imigran di Inggris, serta revolusi kaum muda di Perancis, Inggris, dan AS (hlm.3). Kajian ilmu sosial tidak tuntas dalam mengupasnya. Walhasil, teori-teori saat itu hanya berujung pada jalan buntu tanpa titik temu.

Berangkat dari sana munculah kajian Antropologi Marxis. Kajian tersebut menerangkan bahwa Marxis menawarkan pisau baru dalam membahas berbagai permasalahan yang terjadi. Kajian Marxis yang dianggap sebagai teori usang dan lapuk termakan zaman terbantahkan dengan kemunculan Antropologi Marxis. Kemunculan

Antropologi Marxis menjadi wahana alternatif bagi para teoretikus sosial. Kajian ini menggugat tumpulnya teori Antropologi sebelumnya yang lebih berpijak pada positivisme1 dan fungsionalisme2.

Akan tetapi, kebanyakan orang menganggap bahwa Marxisme3 sama dengan Komunisme4. Praanggapan tersebut merupakan suatu pemikiran yang naif dan salah kaprah. Marxisme adalah perkara teoretis dan cara pandang karenanya ia harus ditempatkan dalam paradigma teoretis. Di lain sisi, Komunisme harus diambil dengan sudut pandang politik dan ideologis.

Berkenaan dengan itu, Buku Pengantar Pemikiran Tokoh-Tokoh Antropologi Marxis ini hadir atas dasar beberapa pertimbangan. Satu, rasa riskan penulis terhadap orang-orang yang cenderung menyamakan Marxisme dan Komunisme seperti yang disebutkan di atas. Kedua, buku ini muncul sebagai

rasa prihatin karena masih sangat sepi dan miskinnya kajian Antropologi Marxis di Indonesia. Alasan lain adalah untuk menutupi lubang yang ditinggalkan oleh Bapak Antropologi Indonesia, Prof. Koentjaraningrat. Lubang itu berkaitan dengan belum adanya karya tentang paparan tentang cabang teori maupun tokoh-tokoh Antropologi Marxis. (hlm.2)

Buku yang berbentuk bunga rampai ini ditulis oleh Dede Mulyanto, Dicky P. Ermandara, Stanley Khu, dan Fuad Abdul Ghani. Mereka adalah sivitas akademika dan sarjana Antropologi Universitas Padjajaran (Unpad). Dalam buku yang diterbitkan Marjin Kiri ini, Dede Mulyanto dan Stanley Khu menyumbangkan masing-masing dua tulisan. Sisanya, Dicky P. Ermandara dan Fuad berkontribusi masing-masing satu tulisan.

Dalam esai pertama, Dede Mulyanto berbicara tentang prinsip-prinsip pokok materialisme Marxis dalam perspektif Antropologi. Fokus kajian Marxis adalah materialisme5 dan objek kajian antropologi adalah masyarakat dan budaya. Berpijak dari prinsip tersebut, objek kajian Antropologi Marxis harus dipahami sebagai sebuah realitas material. Untuk itu, sebuah realitas material harusnya terbebas dari segala mistisisme, yakni ajaran yang menyatakan ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia seperti hal-hal gaib. Selain itu, ia juga mesti lepas dari belenggu vulgarisme, yang hanya memahami dari segi empiris tanpa menyelami esensi Marxis. Tulisan ini juga menjelaskan pengakuan atas dialektika yang memungkinkan materialisme Marxis untuk memahami realitas kemasyarakatan sebagai kebudayaan atau proses atau gerak. Pembahasan selanjutnya, Dede menyinggung tentang kode etik antropolog. Ia memaparkan bahwa kerja antropolog tidak akan jauh dari hiruk-pikuk akumulasi dan ekspansi kapitalisme.

Sementara itu, dalam tulisan keduanya, Dede Mulyanto menyoroti seorang tokoh Antropologi Prancis, yaitu Claude Meillassoux. Salah satunya mengulas pendapat Claude yang menentang peneliti Barat berhaluan kapitalis. Claude riskan kepada

Marxis Membaca Antropologi

“Marxisme hadir sebagai upaya penyegaran, penawaran sudut pandang baru atas gagalnya teori-teori lama yang

buta dan tuli membaca keadaan”

Foto : Balairung/Nabila

Rehal

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 32

Page 33: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

mereka yang meneliti masyarakat non-Barat namun masih menggunakan kaca mata kapitalis Barat. Claude menentang tempurung otak mereka yang cenderung memojokkan dan memprimitifkan masyarakat non-Barat dengan mengganggap masyarakat non-Barat bukanlah makhluk ekonomi. Dalam pandangannya, baik Barat maupun non-Barat mempunyai sistem ekonomi berbeda dan tidak bisa disamakan dengan sistem kapitalis Barat. Pendapat Claude hampir senada dengan Van Leur, sejarawan yang fokus pada kajian ekonomi dan sosiologi. Menurutnya, jaringan ekonomi di Asia terlebih dahulu ada dan bahkan lebih tua dari Barat. Sebagai contoh adalah jaringan Inter Asian Treat yaitu sistem yang menghubungkan pedagang-pedagang dari Nusantara, China, India, dan Semenanjung Arabia. Mereka melakukan pertukaran komoditas (barter) antara satu dengan lainnya. Inti dari esai ini adalah kritik terhadap ekonomi liberal yang cenderung menyengsarakan lewat sistem ekploitasi dan penguasaan moda produksi yang disetir segelintir orang.

Esai selanjutnya adalah dari Stanley Khu. Tulisan pertama, Stanley membahas tentang sumbangsih Michael Taussig tentang etnografi6 sebagai metode menggali informasi. Dalam kritik itu, ia ingin menekankan proses produksi pengetahuan yang dihasilkan dari studi etnografi. Ia ingin menegaskan sisi signifikansi etnografi dalam proses produksi pengetahuan. Metode penulisan yang digunakan Taussig mayoritas mengambil lebih banyak contoh kasus. Di antaranya ia meneliti peran mitos dan sihir dalam kekerasan kolonial pada orang Indian. Tulisan ini juga menyinggung tentang mimesis dan keliyanan ala Taussig. Menurutnya cara pandang para antropolog terhadap sesuatu akan selalu bergesekan dengan

penelitian antropolog lain. Hal inilah yang disebut keliyanan. Cara memahami sesuatu ini yang dikhawatirkan Taussig akan menimbulkan jarak (konflik) antar-antropolog. Maka ia memaparkan cara untuk mengintegrasikan sudut-sudut pandang para antropolog yang berbeda itu..

Tulisan Kedua, Stanley menjelaskan tentang pemikiran Marshall Sahlins dalam kajian Antropologi. Pertama adalah teori Sahlins tentang Raja Asing. Menurut Sahlins, penjajahan bangsa asing yang dilakukan kepada pribumi memberi manfaat dalam berbagai aspek. Manfaat itu semisal di sistem politik, pengelolaan ekonomi, dan membuka mata pribumi untuk menentang feodalisme dalam struktur sosial. Selanjutnya, Khu juga menyinggung pandangan Sahlins tentang sumbangsih Levi-Strauss kepada kajian Antropologi. Namun, pandangan tersebut lebih didasarkan pada rasa takzim Sahlins terhadap aliran yang dibawa Levi-Strauss.

Di sisi lain, Dicky P. Ermandara dalam esainya mengupas tentang pemikiran Maurice Godelier. Ia membahas tentang rumusan prinsip Maurice dalam penelitian Antropologi Ekonomi. Salah satunya adalah analisis ekonomi harus dilakukan dari aspek eksternal maupun internal. Yang dimaksud aspek eksternal meliputi kondisi biologis dan alat-alat pertanian untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kebutuhan internal yang dimaksud Maurice berupa kebutuhan-kebutuhan akan ekspresi simbolik seperti upacara adat dan proses penciptaan “uang” berlangsung. Esai ini menjelaskan bahwa aspek internal menekankan pada nilai “pemaknaan”. Ia juga berbicara tentang logika dan mengajak pembaca untuk tidak memandang sesuatu hanya dari segi realitas empiris7. Menurut Maurice, realitas empiris yang tampak

menyembunyikan realitas lain yang tidak tampak.

Bunga rampai terakhir ditulis oleh Fuad Abdul Gani. Ia mengulas tentang sisi Marxis Antropologi Levi-Strauss. Menurut Levi-Strauss aspek suprastruktur berupa ranah Antropologi. Namun yang paling penting adalah pemikiran Levi-Strauss tentang adanya sebuah model berupa langkah awal untuk meneliti. Hal ini harus dimengerti untuk dikonstruksi sebagai ikhtiar memahami objek kajian Antropologi.

Sasaran buku ini adalah para mahasiswa yang mempunyai niatan memperdalam Antropologi perspektif Marxis. Namun, terbentur kendala dengan miskinnya kajian serta literatur yang terbatas. Keunggulan buku ini ada pada bahan rujukan dan studi pustakanya yang mendalam. Cara penulis membangun argumen yang lugas dan tuntas menjadi nilai tambah buku ini. Ukurannya yang relatif kecil dan ringan akan tetapi isinya sangat berisi membuat poin positif bagi buku ini.

Sayangnya, sebagai buku pengantar bahasa yang digunakan cenderung berat sehingga pembaca harus membaca lebih dari satu kali untuk memahaminya. Selain itu, bagi orang awam teori-teori yang ada di dalamnya juga akan sukar untuk dipahami. Maka dari itu, disarankan untuk minimal punya dasar teori sebelum memahami Marxisme buku ini.

Secara umum buku ini memang tidak membahas pemikiran semua tokoh antropologi marxis. Namun, pemilihan pemikiran para tokoh di atas berdasarkan model baru yang ditawarkan oleh mereka yang berguna sebagai langkah awal penelitian antropolog. Buku ini menawarkan cara pandang baru dalam penelitian antropologi yang sekarang dalam keadaaan tidak peka saat membaca keadaan objek penelitian. [Bagus]

1Positivisme adalah aliran Filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. (llh.KBBI)2Fungsionalisme adalah teori yang menekankan bahwa unsure-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan menjadi satu kesatuan yang berfungsi; doktrin atau ajaran

yang menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional. (llh. KBBI)3Marxisme memandang hubungan orang-orang dalam masyarakat tergantung dari hubungan ekonomi. Marx membalikan filsafat idealisme Hegel menjadi materialisme historis yang memandang

bahwa manusia dalam masyarakat adalah keseluruhan hubungan-hubungan ekonomi, baik konsumsi atau produksi. Lebih dari itu, paham ini berasaskan materialisme historis yang mencari perbedaan pal-ing asasi dalam masyarakat di bidang hubungan pemilikan dan mengarah pada pertentangan kelas. Lihat Dr. R. Soejadi, S.H, S.U: Masyarakat Nasakom Baru: Yogyakarta: Paradigma: 2000 hlm.109-110

4Komunisme adalah ideologi yang mencita-citakan sistem masyarakat dimana sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama, kemudian pembagian produksi dilakukan berlandaskan bahwa setiap anggota masyarakat dapat memperoleh hasil bagian sesuai kebutuhan. Lihat David Thompson: Pemikiran-Pemikiran Politik: Jakarta: Aksara Persada: 1986 hlm.253

5Materialisme yakni pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. (llh. KBBI)

6Etnografi berasal dari kata “etnos” yang artinya suku-bangsa dan “graphien” artinya gambaran. Sehingga etnografi adalah penggambaran tentang suku-bangsa (komunitas etnik). Lihat Koentjaran-ingrat: Pengantar Ilmu Antropologi:Jakarta: Aksara Baru: 1979 hlm. 2

7Realitas empiris , sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan,percobaan, pengamatan yang telah dilakukan), sesuatu yang ditangkap oleh panca indera (hlm. 20)

Rehal

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201433

Page 34: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Mahasiswa selalu identik dengan kegiatan diskusi. Pada masa pengenalan

lingkungan kampus, para senior akan menekankan kepada mahasiswa baru pentingnya diskusi—di samping anjuran untuk peduli pada masyarakat. Anjuran diskusi ini kita terima begitu saja. Namun kita tak sempat lagi bertanya, mengapa mahasiswa harus berdiskusi? Apakah salah jika mahasiswa tidak suka berdiskusi?

Konon diskusi akan memantik nalar kritis. Namun, dalam usaha membangun nalar kritis tersebut, kita justru tidak mengkritisi apa itu konsep diskusi. Di sisi lain, hari ini kita seringkali menemukan mahasiswa yang resah.

Keresahan tersebut muncul karena ia merasa jumlah diskusi di lingkungan kampusnya sangat sedikit. Akhirnya, sedikitnya kegiatan diskusi seolah menjadi sebuah beban baginya.

Keresahan mahasiswa tersebut bisa jadi muncul bukan karena jumlah diskusi yang sungguh-sungguh sedikit. Keresahan tersebut muncul karena diskusi telah beralih format yang tidak disadari oleh mahasiswa. Ia masih saja terjebak pada kekakuan konsep bahwa diskusi berarti menggelar tikar, makan camilan dan bicara hal-hal rumit bersama seorang pemantik yang bicara dengan menggebu-gebu. Menurutnya diskusi hanya bisa disebut sebagai diskusi jika dilakukan dengan

cara yang demikian. Padahal, sebuah kegiatan seharusnya bisa disebut diskusi karena esensinya, bukan karena format kegiatannya. Jika nilai-nilai tujuan diskusi bisa dicapai sambil bermain layang-layang, misalnya, kenapa tidak?

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan apabila kita ingin mengetahui apakah ruang diskusi masih hidup. Pertama, kita harus mengecek terlebih dahulu apa karakter dari diskusi. Dengan demikian kita seharusnya bukan hanya menghitung berapa banyak mahasiswa yang kumpul di kampus untuk berdiskusi.

Kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan sebagai diskusi belum tentu bisa digolongkan sebagai sebuah

Sebuah Diskusi tentang Diskusi

Ilustrasi : Balairung/Alan

Opini

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 34

Page 35: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

diskusi. Suatu kegiatan tidak dapat dikatakan sebagai diskusi jika di sana tak ada ekspresi nilai-nilai diskusi. Sebaliknya, kegiatan yang tak diarahkan sebagai diskusi bisa jadi justru lebih mampu mengekspresikan nilai-nilai diskusi.

Sudut PandangDiskusi memiliki nalar yang mirip

dengan ruang publik. Sama seperti ruang publik, orang-orang yang terlibat dalam diskusi tengah membicarakan sesuatu secara bersama-sama. Menurut Hannah Arendt, sebuah masalah harus dibahas bersama-sama karena tiap orang pasti memiliki sudut pandang berbeda. Bicara bersama dan saling bertukar pandangan akan membuat orang yang terlibat dalam diskusi bisa memahami masalah secara lebih utuh. Hal tersebut dikarenakan masalah tersebut dilihat dari berbagai sisi. Misalnya, gambaran Merapi tentu akan jauh lebih utuh jika dilihat dari berbagai kabupaten yang mengelilinginya. Apalagi dengan bantuan satelit yang melihatnya dari atas dan siluman bumi dari bawah. Dengan cara demikian maka gambaran tersebut akan lebih utuh dibanding dengan perspektif orang yang hanya tinggal di Yogyakarta.

Kebenaran bukan milik satu orang yang dianggap mampu memahami realitas. Kebenaran justru terdiri dari akumulasi perspektif berbagai macam orang. Arendt menentang Plato yang menyebutkan bahwa kebenaran hanya menjadi milik para filsuf yang rajin merenung. Arendt ingin mengatakan bahwa tiap manusia berhak dan sanggup untuk memproduksi kebenaran. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan jika kita melakukannya bersama-sama sambil saling melengkapi dan mengoreksi sudut pandang satu sama lain.

Jika kita tarik pendapat Arendt, kita bisa menemukan setidaknya tiga poin penting. Pertama, diskusi dimulai karena ada keinginan yang kuat untuk mengetahui apa yang benar. Kedua, diskusi mensyaratkan kerelaan untuk menyatakan bahwa pendapat diri sendiri tak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pendapat diri sendiri tersebut harus dilengkapi serta dikoreksi oleh pendapat

orang lain. Ketiga, diskusi dilandasi atas keyakinan bahwa kita bisa melakukan hal besar dengan tangan sendiri, bukan dengan menggantungkan diri pada orang lain seperti calon presiden, pakar atau pengamat politik. Setidaknya, tiga poin inilah inti atau esensi dari semangat diskusi. Kegiatan diskusi bukan bertujuan melestarikan budaya pergerakan mahasiswa. Tujuan diskusi yang sebenarnya adalah mencari tahu tentang sesuatu seutuh mungkin.

AncamanJika kita ingin mengetahui apakah

kegiatan diskusi masih hidup atau tidak, kita harus memulainya dengan sebuah pertanyaan. Apakah nilai-nilai diskusi juga masih hidup dalam masyarakat kita? Kita tak dapat memungkiri bahwa nilai-nilai tersebut berada dalam keadaan yang terancam.

Pertama, keinginan untuk tahu apa yang sungguh terjadi telah memudar. Arus informasi yang terlalu cepat dan masif justru membuat kita terpisah dari realitas. Misalnya selama masa pemilu ini, tak terhitung berapa banyak orang yang menyebarluaskan dan memercayai berita fitnah. Mereka melakukan hal tersebut tanpa sempat dan mampu mengujinya lebih dulu. Di lain sisi, industrialisasi yang kuat membuat kita menjadi –meminjam istilah Herbert Marcuse—manusia satu dimensi yang tak mampu membedakan antara apa yang tampak benar dengan apa yang benar.

Kedua, kemauan kita untuk berdialog dengan orang yang asing semakin lemah. Kekerasan antaragama yang marak terjadi hari ini salah satunya lahir karena minimnya dialog antarkelompok. Akibatnya, pengetahuan satu kelompok tentang kelompok lain tidak dibangun di atas kondisi yang nyata, melainkan hanya berdasarkan perkiraan dan stereotip. Seringkali, sebelum berdialog dengan orang lain, kita sudah berpikir bahwa pandangan orang tersebut bermasalah. Padahal, pikiran tersebut hanya suatu perkiraan. Namun, hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita malas berdiskusi. Bukan karena diskusi menyita waktu, tetapi karena kita tidak merasa perlu

untuk mendengarkan pemikiran orang lain. Dari titik ini pulalah lahir klaim kebenaran atas pemikiran diri sendiri.

Ketiga, kita menghadapi apa yang disebut W.F. Wertheim sebagai hierarki kredibilitas. Dalam otak, kita secara a priori sudah menentukan siapa orang yang berhak memberi penjelasan soal hal ini dan hal itu. Misalnya, untuk bicara soal upah buruh, kita cenderung lebih mendengarkan kata-kata pakar dibandingkan dengan kata buruh itu sendiri. Padahal, kata-kata yang benar tidak ditentukan dari siapa yang mengatakan, melainkan dari apa yang dikatakan. Hal inilah yang dikritik oleh Arendt atas pemikiran Plato. Dalam konteks diskusi, hierarki kredibilitas menyebabkan orang-orang tak mau mengutarakan pendapatnya karena merasa dirinya tidak pantas. Sementara itu, orang lain yang dianggap lebih tahu dianggap lebih berhak memberi pendapat. Padahal, tiap manusia pada prinsipnya punya sudut pandangnya masing-masing dan bersifat saling melengkapi satu sama lain, tak peduli apapun profesinya.

Masalah-masalah di atas, jika kita rangkum, berkutat di seputar minimnya keinginan untuk mengetahui pendapat orang lain. Selain itu, minimnya keberanian untuk berpikir dan berpendapat pun juga menjadi faktor lainnya. Masalah-masalah tersebut mengancam nilai-nilai diskusi. Namun, belum tentu masalah-masalah tersebut sudah membunuh nilai-nilai itu.

Kembali ke pertanyaan yang kita ajukan di awal, apakah diskusi masih hidup hari ini? Tulisan ini tak berniat menjawabnya. Tulisan ini hanya ingin memulai diskusi tentang ada tidaknya diskusi hari ini. Namun, satu hal yang pasti, hidup tidaknya diskusi ditentukan oleh seberapa mampu kita mengejawantahkan nilai-nilai diskusi dalam format yang luwes. Hidupnya diskusi bukan ditentukan dengan melestarikan format diskusi tanpa memberi perhatian pada nilai-nilai dasarnya. Nilai-nilai diskusi memang terancam. Tetapi, nilai-nilai itu belum mati. Pertanyaannya kini adalah apakah kita mau membuat nilai-nilai itu terus hidup? [Alif]

Ilustrasi : Balairung/Alan

Opini

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201435

Page 36: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Banjir pada dasarwarsa tera-khir telah menjadi bencana yang tak pernah absen di Indonesia. Secara sederhana

banjir dapat diartikan air yang meren dam daratan dengan kuantitas dan skala yang besar. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Salah satunya adalah curah hujan yang tinggi sementara daya resap tanah kurang maksimal. Di perkotaan, drainase yang buruk bak menjadi jembatan terjadinya banjir. Gorong-gorong yang tersumbat tidak bisa menampung air yang akhir nya meluap ke permukaan. Selain itu bendungan atau kanal yang jebol juga turut menjadi faktor penyebab banjir.

Sementara di pedesaan, banjir biasanya terjadi karena sungai yang meluap. Hal itu terjadi akibat curah hujan konvektif, yaitu hujan yang disertai badai dan petir besar. Kemudian pelepasan mendadak endapan hulu yang terbentuk di belakang bendungan, tanah longsor, atau gletser pun turut memicu hadirnya banjir.

Kerugian yang diderita karena bencana banjir tidak main-main. Banjir menyebabkan kerugian moral maupun material. Dampak negatif yang ditimbul-kan banjir antara lain rusaknya infra-struktur dan terputusnya akses transpor-tasi. Di sektor kesehatan, banjir menjadi penyebab terganggunya ketersediaan air bersih dan merebaknya wabah penyakit

dikarenakan kondisi yang tidak higienis. Dalam kasus lain para petani seringkali merugi karena tanamannya gagal panen diterjang banjir. Banjir juga melahap harta benda berharga. Dia antaranya surat-surat berharga seperti ijazah dan akte tanah. Namun, kerugian material belumlah seberapa karena pada beberapa kasus banjir juga menelan korban jiwa.

Agar tidak terjadi banyak kerugian dan korban, perlu adanya sebuah sistem peringatan bencana. Semakin cepat peringatan itu maka semakin termini-malisir jumlah kerugian. Zaman dahulu orang menggunakan kentongan sebagai peringatan adanya bencana dan tanda bahaya. Akan tetapi, ternyata kentongan

Penanganan Dini Banjir dengan Integrasi Voip Berbasis Telemetri

“Seharusnya manusia sadar bahwa teknologi harus digunakan untuk kemudahan hidup manusia. Tak terkecuali dalam menghadapi bencana, kita harus mengerahkan segala potensi termasuk teknologi”

Foto : Istimewa

Iptek

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 36

Page 37: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

mempunyai kelemahan yaitu frekuensi kentongan tidak bisa mencapai lingkup yang luas. Hasilnya peringatan hanya terdengar di sekitar lingkup kentongan tersebut. Zaman terus berkembang. Memasuki zaman modern ini orang mengenal adanya pengeras suara serta Sirine. Alat-alat tersebut mengatasi kelemahan kentongan dalam perkara frekuensi. Akan tetapi, ternyata dua alat ini masih kurang karena ia hanya berlaku saat bencana datang tapi tidak bisa memberikan informasi bencana dan rinciannya. Walhasil, kedua alat ini pun masih dianggap kurang cekatan.

Seiring berjalannya waktu yang diiringi kemajuan teknologi, Seharusnya manusia sadar bahwa teknologi harus digunakan untuk kemudahan hidup ma-nusia. Tak terkecuali dalam menghadapi bencana, kita harus mengerahkan segala potensi termasuk teknologi. Semakin cepat kita dalam memperoleh informasi bencana semakin tanggap respon kita. Semakin tanggap dan cekatan respon kita maka kerugian dan korban dapat dikurangi.

Kiranya atas dasar itulah yang men-dorong Munawal Ulfiyanto, Mahasiswa S2 Program Studi Magister Teknologi Informasi Fakultas Teknik UGM. Ia melakukan tesis penelitian tentang pengembangan Prototipe VoIP Untuk Telemetri Sistem Peringantan Dini Ban-jir. Rancangan dasar itu berupa sistem yang terdiri dari beberapa alat. Alat-alat itu kemudian dielaborasi. Manfaat dari sistem ini adalah sebagai sarana peringatan dini banjir. Peneliti melaku-kan penelitian di Desa Sundak, Keca-matan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Hal tersebut didasari atas pertimbangan bahwa hampir setiap tahun Kecamatan Sidoharjo selalu direndam banjir. Selain karena wilayahnya yang berupa dataran rendah, area ini juga bertetangga dengan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Mungkung yang cukup besar. Kedua sungai itu sendiri ketika meluap kerap kali menimbulkan banjir. Hal tersebut membuat kawasan yang meliputi Sragen dan Solo itu harus punya sistem perin-gatan dini banjir tersendiri

Untuk membuat prototipe ini ada beberapa perangkat yang mesti dipenuhi. Pertama adalah Radio Data System

(RDS). Alat ini berfungsi untuk me- ngirim data informasi berupa peringatan bencana belum ataukah sudah terjadi. RDS menggunakan stasiun pemancar Frequency Modulation (FM) yang bergelombang pendek untuk mengirim data. Kedua adalah Telemetri. Telemetri adalah suatu alat yang berguna sebagai pengukuran jarak dengan skala jauh, yaitu dari satu titik ke titik lainnya. Titik disini maksudnya adalah adanya stasiun pengamat dan stasiun peringatan. Telemetri diletakan jauh di sekitar sungai atau tempat yang- diindikasi -sebagai pusat bencana. Ia mengukur panas, radia-si dan kecepatan serta akvititas di sekitar tempat tersebut. Perangkat ini juga mem-punyai peran sebagai transduser yang berfungsi merubah informasi ke bentuk lain kemudian merubahnya menjadi ben-tuk informasi lagi. Ketiga adalah Voice over Internet Protocol (VoIP). Alat ini berguna untuk mengirimkan komunikasi suara dengan dijembatani Internet. Kele-bihan dari VoIP adalah biaya perawatan yang relatif murah karena menggunakan jaringan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional(SLI). Lain lagi apabila menggunakan telepon Public Switched Telephone Network (PTSN) yang bia- yanya mahal. Hardware terakhir untuk memenuhi pembuatan prototipe VoIP peringatan dini banjir adalah Intranet. Alat ini adalah jaringan komputer pribadi yang menggunakan protokol internet untuk mengirim maupun berbagi data.

Cara kerja prototipe ini adalah dengan mengintegrasikan alat-alat terse-but dan peran stasiun peringatan sebagai pusat pengolah informasi. Diawali de- ngan stasiun pengamatan Kedung Gatot terletak di Desa Sundak yang mendeteksi tinggi muka air. Sensor yang secara otomatis mendeteksi potensi banjir akan menunjukkan sinyal tanda siaga melalui lampu untuk petugas di tempat. Lampu ini bermaksud sebagai tanda tingkatan parahnya bencana. Lampu hijau berarti sirine rendah, kuning menunjukan sirine sedang dan lampu merah untuk sirene tinggi . Yang mana tinggi rendahnya bu-nyi sirine itu menunjukan tingkat bahaya bencana.

Stasiun Kedung Gatot yang sudah dipasang telemetri akan mengirim-

kan informasi aktivitas sumber bencana ke pengolah informasi. Di dalam pen-golahan informasi inilah kemudian data diteruskan kepada pihak-pihak terkait. Di antaranya adalah bagian Kelurahan dan Pemerintah Desa maka digunakan alur transmisi informasi melalui tele-kontrol berbasis VoIP di mana stasiun informasi lainnya berdiri. Sementara itu untuk informasi skala Nasional dan Provinsi mencakup juga Search And Rescue (SAR), Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI), Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI), POSKO Kabupaten bahkan Camat dan Bupati menggunakan alur transmisi dari Pusat berupa sms gateway. Sistem ini merupakan pengiriman pesan yang melibatkan provider dengan internet. Sebelumnya nomer pihak-pihak terkait beserta providernya telah didata dan dimasukan ke dalam pusat informasi. Ke-mudian Pemerintah Desa mengumumkan kepada khalayak dengan menggunakan sirine besar dengan mempertimbang-kan level bencana. Harapannya dengan adanya sistem ini maka penanganan dan antisipasi bencana dapat dilakukan secara cepat dan tepat.

Namun sayang, prototipe ini belumlah sempurna. Masih ditemui kekurangan-kekurangan dalam dalam pengerjaannya. Diantaranya adalah ter-dapat waktu respon pada prototipe untuk pengecekan informasi dan pengiriman sms. Kemudian, sangat bergantungnya pada faktor operator seluler terutama saat proses sms gateway. Selain itu rentan terjadinya kerusakan perangkat dan keteledoran manusia sehingga diperlukan sistem back up. Dalam artian dibutuhkan perangkat serta sumber daya manusia cadangan. Mengingat kerja prototipe yang terdiri dari banyak komponen itu, maka jika salah satu komponen saja men-galami gangguan, efektifitas sistem ini akan terganggu bahkan sampai pada titik tidak berfungsi. Untuk itu harus diadakan penelitian lebih lanjut untuk menyem-purnakannya. Perlu adanya peran dan sokongan pihak pemerintah didalamnya. Mengingat bahwa banjir adalah masalah kita bersama maka sangat dibutuhkan kerja sama dan sama kerja dari segala elemen masyarakat serta pemerintah. [Wulan, Bagus]

“Seharusnya manusia sadar bahwa teknologi harus digunakan untuk kemudahan hidup manusia. Tak terkecuali dalam menghadapi bencana, kita harus mengerahkan segala potensi termasuk teknologi”

Foto : Istimewa

Iptek

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201437

Page 38: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Kedai Kopi dan Masyarakat Tanah Karo

Ruang publik merujuk pada ruang yang dapat diakses oleh semua orang untuk mengungkapkan pendapat

mengenai suatu tema yang relevan bagi masyarakat. Keberadaan ruang publik dapat dimaknai sebagai ruang demokratis karena memfasilitasi hubungan komunikasi antar masyarakat dan penguasa. Keterlibatan negara pada ruang publik sangat nyata terjadi pada rezim Orde Baru. Hampir di setiap ruang yang menjadi sarana perkumpulan warga sarat dengan penyisipan program – program pemerintah saat itu. Ruang publik yang tidak ingin membawa kepentingan negara di dalamnya akan dituduh sebagai sesuatu yang berbau komunis.

Berakhirnya Orde Baru yang melahirkan orde reformasi memunculkan media sebagai suatu harapan bagi terbentuknya ruang publik. Namun, keberadaan media saat ini jauh dari apa yang diharapkan. Saat ini, sebagian besar media dimiliki dan dikuasai para elite politik yang tidak lebih dari sekadar komodifikasi. Media juga digunakan sebagai tempat berjualan ide – ide yang memiliki tujuan utama menghasilkan uang melalui iklan. Kesan ruang publik pada media hampir hilang. Arti ruang publik sebagai tempat pembentukan wacana masyarakat kembali dipertanyakan.

Di Tanah Karo, Sumatera Utara, kedai kopi tampil sebagai sebuah ruang

publik simbolik yang telah menyatu menjadi sebuah tradisi unik. Dahulu, sebelum kedai kopi hadir, telah terdapat ruang publik yang dikenal dengan nama jambur. Orang – orang yang datang ke jambur biasanya disajikan minuman nira. Seiring modernisasi yang ditandai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Karo, jambur berganti menjadi kedai kopi. Kedai kopi kini selalu ramai dikunjungi oleh warga, terutama di sore hari ketika pulang bekerja. Mereka saling berbincang, tidak ada topik khusus yang dibahas. Diskusi bergulir begitu saja, tetapi kemudian menjelma menjadi sebuah perbincangan yang mendalam.

Kedai kopi menjadi tempat berkumpul masyarakat yang heterogen karena tidak memandang status masing – masing. Saat berada di kedai kopi

mereka menyetarakan diri dengan yang lain. Tidak jarang, warga yang bekerja pada dinas – dinas di perkotaan datang dan berbincang dengan penduduk. Pembicaraan yang terjadi bukan sekedar senda gurau. Biasanya berawal dari pembicaraan mengenai peningkatan kesejahteraan melalui pertanian yang umumnya seputar bibit tanaman, pupuk dan pemasaran hasil pertanian. Dari pembicaraan tersebut, dapat terjadi transaksi – transaksi antar warga, seperti saling membeli hasil pertanian dan membantu distribusinya.

Fenomena kedai kopi sebagai ruang diskusi publik di Tanah Karo diangkat oleh Milda Longgeita Pinem dalam tesisnya di bidang Ilmu Politik. Penelitian terhadap fenomena ini bertujuan untuk melihat proses diskusi yang terjadi di kedai kopi dan

Judul Tesis :Kedai Kopi Sebagai Ruang Publik

Simbolik : Terbentuknya Diskursus

Masyarakat Mengenai Pertanian di

Tanah Karo

Tahun :2009

Penulis :Milda Longgeita Pinem

Eureka

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 38

Page 39: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Kedai Kopi dan Masyarakat Tanah Karo

menemukan pengetahuan kultural masyarakat yang

berkaitan dengan ruang publik. Peneliti juga ingin menghadapkan diskursus yang terbentuk di dalam kedai kopi dengan diskursus negara. Peneliti mengharapkan adanya implikasi berupa pemahaman terhadap proses diskursus yang terjadi di kedai kopi dan adanya pemaknaan hubungan antara masyarakat dan negara. Pemaknaan hubungan yang dimaksud dilihat dari hubungan antara diskursus negara dan diskursus yang terbentuk di kedai kopi. Kedua diskursus tersebut diamati apakah saling berseberangan atau saling melengkapi.

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode penelitian deskriptif menyajikan data yang didapat

dari fenomena lapangan secara apa adanya. Peneliti mengumpulkan data melalui teknik observasi partisipasi dan wawancara. Observasi dilakukan secara intens dan proses perbincangan didokumentasikan melalui catatan deskriptif dan buku harian pengamatan lapangan. Sedangkan, wawancara dilakukan dengan orang – orang yang sering mengunjungi kedai kopi, pemilik kedai kopi, dan elite pemerintahan yang terkait dengan kebijakan pertanian.

Peneliti memilih metode penelitian kualitatif deskriptif untuk menghadirkan sebuah deskripsi yang detail dari fenomena yang tampak. Permasalahan gender menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi peneliti. Peneliti yang berjenis kelamin perempuan membutuhkan adaptasi dan negosiasi dalam melakukan penelitian di kedai kopi yang biasanya merupakan ruang laki – laki. Solusinya, peneliti memberitahukan identitasnya kepada pemilik kedai kopi dan beberapa orang yang sering mendatangi kedai kopi tersebut.

Dalam proses penelitian, peneliti membentuk pemahamannya terhadap proses diskursus yang terjadi dengan mencermati interaksi antar peserta yang heterogen. Interaksi tersebut dimulai dari mengenali kebutuhan masyarakat dalam bidang pertanian. Setelah itu, masyarakat dengan latar belakang yang berbeda menyampaikan argumen – argumennya sehingga terbentuk sebuah diskursus. Untuk memenuhi tujuan tesis yang lain, peneliti melihat diskursus yang dibentuk dari hasil diskusi masyarakat merupakan sebuah ‘tandingan’ bagi diskursus negara. Diskursus yang dibentuk di kedai kopi dianggap sebagai bentuk strategi perlawanan dari masyarakat.

Sebagai pembahasan awal, peneliti menjabarkan keadaan geografi lokasi penelitian, yakni di Kecamatan Juhar,

Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Masyarakat Tanah Karo sebagian besar mencari nafkah dengan bertani. Sedangkan kondisi geografisnya diapit oleh dua pegunungan. Selain itu, peneliti melakukan beberapa analisis mengenai proses diskursus yang terjadi di Kedai Kopi dengan sistem kekerabatan dan komunikasi dalam masyarakat Tanah Karo. Peneliti juga menjelaskan keberadaan kedai kopi sebagai suatu budaya yang mengakar dan relasi antara negara dan masyarakat yang dipandang sebagai sebuah romantisme. Di bagian tinjauan pustaka dan catatan akhir, peneliti juga memberikan teori yang berkaitan dengan strategi mempertahankan diri dalam sebuah diskusi sebagai pelengkap argumennya.

Kritik pada tesis ini adalah penggunaan kata ‘diskursus’ yang kurang familiar dan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Peneliti juga tidak menjelaskan maksud dari istilah ‘diskursus’ tersebut sehingga dapat membingungkan pembaca. Namun, penelitian semacam ini cukup menarik karena mengangkat fenomena unik masyarakat yang terkadang luput dari perhatian jaman. Adanya tradisi berdiskusi di kedai kopi merupakan hal yang patut diapresiasi di tengah munculnya rasa individualitas warga saat ini. Tesis ini juga dapat memperlihatkan bahwa kebijakan – kebijakan pemerintah tidak dapat sepenuhnya diterima oleh masyarakat dibandingkan hasil diskusi di kedai kopi. Hal ini dapat menjadi teguran kepada pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat bagi masyarakat. Kelebihan lain dari tesis ini adalah data yang digunakan mayoritas merupakan data primer. Peneliti juga dapat menjelaskan hasil penelitiannya secara detail di bagian pembahasan. [Dyah, Nailil]

“Kedai kopi biasanya identik dengan tempat nongkrong atau bersenda gurau. Di Tanah Karo, fungsi

kedai kopi lebih dari sekedar itu”

Ilustrasi : Balairung/Alan

Eureka

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201439

Page 40: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Pagi itu (17/6) Fakultas Hukum UGM terlihat ramai oleh sekerumunan wajah-wajah muda. Mereka terlihat

rapi dengan kemeja dan sepatu yang dipakainya. Beberapa di antaranya berjalan sambil mendekap sebuah papan di dadanya. Sebagian yang lain berjalan dengan membawa tempat pensil. Di dalam ruangan, terlihat kursi-kursi lipat tertata rapi dengan jarak yang diatur. Telah siap di dalamnya beberapa orang dengan tanda pengenal bertuliskan “pengawas”. Perlahan orang-orang mulai memasuki ruangan karena ujian SBMPTN akan segera dimulai.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang pergantian tahun ajaran baru, universitas-universitas di Indonesia kembali disibukkan dengan kegiatan penerimaan mahasiswa baru. Ujian seperti SBMPTN diselenggarakan sebagai seleksi bagi siswa-siswa lulusan sekolah menengah atas yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri. Dari sekian banyak universitas, UGM menjadi salah satu perguruan tinggi favorit yang menjadi pilihan lulusan SMA. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendaftar melalui

jalur SBMPTN pada tahun 2014 yang mencapai 70.882.

Akan tetapi dari sekian puluh ribu pendaftar yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia, sebagian besar pendaftar yang diterima di kampus ini berasal dari pulau Jawa. Misalnya jika merujuk pada data statistik dari Direktorat Akademik (DAA), pada 2012/2013, jumlah mahasiswa DIY, Jateng dan Jabar mencapai 2364 orang dari 3466 mahasiswa yang diterima jalur SNMPTN waktu itu. Jateng menjadi daerah yang paling tinggi dengan total 1072 orang.

Sementara itu, mahasiswa dari luar Jawa yang diterima jalur SNMPTN pada tahun 2012/2013 hanya berjumlah 638. Dari jumlah tersebut, beberapa daerah di kawasan pelosok Indonesia bahkan tak ada satu pun yang berkesempatan menuntut ilmu di UGM.

Ketimpangan jumlah mahasiswa tidak sejalan dengan identitas UGM sebagai Universitas Nasional. Padahal, beberapa kali Prof. Dr. Pratikno, Msc sebagai Rektor mengungkapkan bahwa ia ingin mewujudkan kampus sesuai dengan identitas itu. Menurutnya, universitas nasional dimaknai sebagai

universitas yang mengakomodasi mahasiswa dari seluruh wilayah Indonesia. Ia bercerita bahwa semangat ini dilandasi dengan tujuan didirikannya UGM waktu itu. “Dulu UGM didirikan mempunyai cita-cita untuk mengumpulkan pejuang muda dari seluruh Indonesia lalu membekalinya dengan ilmu pengetahuan” kata Pratikno.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, beberapa program dibuat, antara lain Afirmasi Pendidikan (ADIK) dari Dikti dan Penelusuran Bibit Unggul (PBU). ADIK adalah program pemerintah yang menyeleksi siswa berprestai dari daerah lalu diajukan ke universitas. Sedangkan PBU adalah program penelusuran siswa berprestasi baik dari segi akademis maupun non-akademis. “Semua program yang diadakan bertujuan menampung mahasiwa dari kawasan tedepan, tetinggal, dan terluar (3T),” kata Prof. Dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med. SC., Ph.D. selaku wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan.

Iwan menambahkan bahwa daerah 3T harus mendapat prioritas lebih. Sebab, memberi prioritas pada daerah-daerah tersebut telah tencantum dalam

Pemerataan Mahasiswa Sulit Terpenuhi

“Dulu UGM didirikan mempunyai cita-cita untuk mengumpulkan pejuang muda dari seluruh Indoenesia lalu membekalinya dengan ilmu pengetahuan” kata Pratikno.

Almamater

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 40

Page 41: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Undang-undang Perguruan Tinggi No. 12 tahun 2012 74 ayat 1. Pasal tersebut menjelaskan bahwa “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi.”

Namun hingga saat ini program yang telah dicanangkan belum bisa mewujudkan pemerataan mahasiswa di UGM. Menanggapi hal ini, Iwan berpendapat bahwa penyebabnya karena kualitas pendidikan di tiap daerah masih tidak seimbang. Konsekuensi dari ketidakseimbangan pendidikan tersebut, lanjut dia, menjadikan siswa dari daerah 3T sulit bersaing dengan pelajar yang berasal dari Jawa. “Selama belum ada standardisasi pendidikan di Indonesia, impian UGM menyamaratakan jumah mahasiswa per daerah masih sulit direalisasikan,” tambah Iwan.

Senada dengan Iwan, Pratikno juga berpendapat bahwa penyebab sulitnya lulusan SMA dari daerah 3T menjadi mahasiswa UGM adalah lambatnya peningkatan kualitas pendidikan di sana. Lambatnya peningkatan kualitas pendidikan, menurut Pratikno terjadi karena kurangnya fasilitas, sarana dan prasarana di daerah-daerah tersebut sehingga kemampuan akademiknya terbatas.

Hal tersebut dibenarkan oleh Yohanes Dogomo, mahasiswa UGM asal Kabupaten Nabire, Papua. Di sekolahnya dulu misalnya, hanya

terdapat satu LCD proyektor yang ada di ruang computer. Padahal menurut Pratikno alat yang sudah banyak di pasang di kelas-kelas di wilayah Jawa itu sangatlah efektif untuk menunjang pendidikan. Ia mencotohkan, seorang guru tidak perlu mengeluarjan waktu banyak untuk menulis di papan tulis, karena materi sudah ada dalam bentuk power point. “Dari hal-hal sepele itu kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan agar ketimpangan pendidikan bisa diatasi,” kata Pratikno. Kualiitas fasilitas, sarana dan prasarana itulah yang membuat Yohanes tertarik menuntut ilmu di Jawa. “Bila di dalam daerah, dosennya kurang, bahkan ada yang masih lulusan S1. Fasilitasnya juga kurang memadai,” tutur Yohanes.

Atas dasar itu, menyejajarkan kualitas lulusan SMA dari Jawa dengan luar Jawa dirasa kurang tepat. Untuk mewadahi hal itu, salah satu kebijakan yang dilakukan UGM adalah menambahkan faktor koleksi bagi pelajar dari daerah 3T. Faktor koleksi merupakan penambahan bobot nilai raport pada saat penerimaan mahasiswa baru. Penambahan nilai dilakukan karena adanya perbedaan kualitas pendidikan antara daerah Jawa dan luar Jawa. Pratikno menjelaskan, tujuan penambahan indeks nilai raport pada pendaftar 3T adalah agar mereka dapat bersaing dengan pendafatar dari Jawa. “Meski sudah ditambah, kadang nilai raport dan nilai ujian masuk mereka masih kalah dengan pelajar dari Jawa,” tutur Pratikno.

Meski demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan tersebut belum berjalan dengan baik. UGM pun mengambil langkah lain untuk bisa terus membantu kemajuan pendidikan di Indonesia. Salah satunya dengan membuat program Sit-In dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sit-In adalah program yang memungkinkan siswa SMA dapat mengikuti perkuliahan di fakultas-fakultas yang mereka inginkan di UGM. Sedangkan PJJ merupakan program pembelajaran jarak jauh menggunakan fasilitas internet yang bebas diakses orang. Selain itu, UGM juga mencanangkan program pertukaran pelajar antar daerah. Pertukaran pelajar tersebut memiliki metode yang sama dengan pertukaran pelajar ke luar negeri, tetapi dengan universitas di Indonesia. “Jadi, meskipun belum dapat menerima seluruh peminat dari Luar Pulau Jawa, tujuan awalnya tetap tercapai,” tambah Pratikno.

Di sisi lain, meski pemerataan belum terpenuhi, Yohanes berharap agar teman-temannya dari Papua dapat turut merasakan fasilitas pendidikan di UGM. “Universitas ini kan terkenal karena mutunya,” ungkap Yohanes dengan logat khas Papuanya. Dengan demikian, mereka dapat turut membangun daerahnya jika lulus dari universitas ini. “Semoga jumlah mahasiswa yang diterima UGM dari daerah Papua terus meningkat, agar ikut berpartisipasi dalam proses percepatan dan pembangunan di Papua,” pungkas Yohanes. [Catur, Mayang]

Almamater

Foto : Balairung/Ryma

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201441

Page 42: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

“Dari mana, Kek?” tanya Ito yang baru bangun tidur. Diliriknya jam. Pukul sembilan.

Kakek Samad menggeleng-gelengkan kepala. “Baru bangun, To? Kakek habis mengajari Murti.”

“Mengajari bangun pagi?” tebak Ito, lalu terkekeh. Ia memang tak percaya pada kemampuan-kemampuan semacam yang dimiliki kakeknya itu.

Ibu Ito sengaja menyuruh anaknya untuk menginap di rumah mertuanya, Kakek Samad. Siapa tahu Kakek Samad mau melakukan sesuatu untuk mengubah kebiasaan buruk cucunya. Kemampuan yang dimiliki oleh Kakek Samad selalu dapat membuat seseorang memiliki kebiasaan bangun pagi.

Waktu demi waktu berlalu. Seiring berlalunya waktu, Ito pun makin tergelitik untuk membuktikan kemampuan kakeknya.

“Pagi, Kek.”“Pagi, To. Kok tumben sudah

bangun?” tanya Kakek.“Ajari Ito bangun pagi, Kek,” pinta

Ito dengan agak malu, karena kakeknya tahu bahwa ia meragukannya.

Kakek Samad diam sejenak. “Ya sudah. Sekarang, pergilah ke rumah Pak Dodi. Itu, yang abu-abu di kanan jalan.”

Sesampainya di depan pagar, Ito menoleh pada kakeknya.

“Buka saja, To. Masuk saja. Kamu buka pintu rumahnya.”

Ito heran, tetapi tetap menuruti perintah kakeknya. Ito yakin kakeknya tahu benar apa yang diperintahkannya. Ia melintasi taman yang berbau segar sehabis disiram. Lalu ia membuka pintu rumah. Kini ia berada di ruang tamu. Napasnya tersengal-sengal.

***Napasnya tersengal-sengal. Sepatu

tergesa-gesa dipakainya, lalu ia pun melesat ke luar rumah setelah pamit

secara kilat.Di ujung gang, Dodi melihat seorang

gadis manis yang tampak lebih muda darinya, mengenakan seragam batik sekolah lain. Gadis itu terlihat lelah. Ia memeluk tas yang terlihat berat dengan posisi terbalik. Rupanya tas gadis itu robek dasarnya, dan pasti tadi buku-bukunya sempat jatuh berhamburan.

Selain rasa kasihan, sebersit rasa tertarik muncul di dada Dodi. Ingin ia mengajak berkenalan sekalian menolongnya. Atau menolongnya sekalian mengajak berkenalan. Entahlah, yang pasti Dodi merasa belum cukup percaya diri, apalagi saat itu penampilannya sungguh berantakan.

Esok paginya, Dodi mencoba berangkat lebih pagi. Sebelum kemarin, ia tak pernah bertemu gadis itu pada waktu ia berangkat, karena ia selalu berangkat mendekati jam masuk sekolah. Jadi menurutnya, gadis itu pasti berangkat lebih pagi darinya.

Di ujung gang, dilihatnya gadis itu berjalan ke arahnya. Berdebarlah hati Dodi. Lalu dilihatnya gadis itu berjalan melewati tempatnya berdiri. Dodi hanya berdiri di suatu titik yang tak mencolok, memandangi gadis itu hingga hilang dari pandangan. Senang hatinya. Itulah yang dilakukannya tiap pagi, hingga entah kapan.

***Esok paginya, Ito masih harus

belajar pada kakeknya. Bangun pagi masih sesulit biasanya bagi Ito. Namun rasa penasaran membuatnya lebih mudah membangun semangat. Ito merasa dirinya kembali seperti kanak-kanak yang tak sabar mengetahui kejutan kakeknya.

“Kek, nanti jadi mancing, kan?”“Jadi, To. Tapi kamu jangan lupa,

nanti bantu Kakek memperbaiki radio.”“Siap, Kek!” kata Ito sambil

mengacungkan jempol. Ia benar-benar merasa bersemangat.

“Nah, sekarang kamu masuk ke rumah Pak Ramli, yang pagarnya tinggi itu.”

Ito membuka pagar rumah Pak Ramli. Bau asap kendaraan tercium oleh Ito saat ia melintas di halaman yang luas. Begitu tiba di depan rumah besar itu, Ito memandangnya dengan takjub. Perlahan ia berjalan ke arah pintu, lalu membukanya. Tiba-tiba, ia sudah berada di atas tempat tidur, di dalam sebuah kamar yang kecil dan pengap.

*** “Kita nggak bakal kaya kalau kamu

hobi tidur, Ram. Apa kamu nggak mau pindah dari kamar kosmu yang kayak kandang ini?”

Ramli yang baru saja terjaga pun tergelitik untuk memikirkan kata-kata sahabatnya itu. Ia paham betul hasrat Ical untuk pindah ke tempat yang lebih baik. Ia juga mengerti bahwa Ical bukan tipe orang yang cukup percaya diri untuk berjuang sendirian meningkatkan taraf hidup. Intinya, sebagai sahabat, Ramli merasa ia harus menemani Ical menuju kesuksesan, menuju hidup yang layak dan sejahtera.

Ical tertarik pada pekerjaan yang ditawarkan Bu Win, seorang pemasok gorengan kantin sekolah dan warung pagi. Tentu saja pekerjaan itu mengharuskan Ramli dan Ical bekerja mulai pagi buta. “Habis kerja kita bisa langsung pergi kuliah,” kata Ical dengan gembira. Ramli pun tak punya alasan untuk menolak.

Setiap pagi mereka datang tepat waktu, kemudian langsung bergabung dengan dua karyawan yang sudah mulai bekerja. Pada hari-hari pertama, hal itu terasa wajar bagi Ramli dan Ical. Hingga suatu pagi, tak seperti biasa, mereka datang lebih awal dari dua karyawan

RITUAL BANGUN PAGI

Sastra

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 42

Page 43: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Illustrasi :Balairung/Mutia

besar daripada keinginannya mengejar rezeki. Mungkin besok kisah Pak Anto lebih menarik. Lagipula masih ada empat hari.

Ito tertegun. Ia pun tersadar bahwa catatan itu mengenai dirinya, mengenai pelajaran bangun paginya. Hatinya sedih, karena usaha kakeknya rasanya sia-sia. Ia pun terus membaca.

Hari VIIni hari terakhir, dan ia belum

tergerak untuk memiliki kebiasaan bangun pagi. Kalau besok harus kulakukan, demi masa depannya, akan kulakukan. Bila besok ia datang di atas pukul enam, mungkin kisah Kakek Samad akan lebih menggugah. [Tabita]

tersebut. Setelah memarkir motor, tiba-tiba terdengar suara memanggil. “Mas, karyawan baru, ya? Tolong mobil saya dipanaskan.”

Ramli pun segera menghampiri bapak yang memanggilnya untuk menerima kunci, kemudian beranjak memanasi mobil biru yang berada di seberang motornya.

“Nih buat tambah-tambah uang makan,” kata bapak itu, yang ternyata adalah suami Bu Win, sambil mengulurkan selembar lima ribuan.

Sejak hari itu, Ramli dan Ical berangkat lebih pagi, untuk bersaing dengan dua karyawan lainnya, menadah rezeki yang hampir tiap hari jatuh dari indahnya langit pagi.

***Selama enam hari, setiap Ito

habis memasuki rumah-rumah itu, Kakek bertanya, “Bagaimana?”

Ito selalu mengatakan bahwa ia terkesan, namun ia merasa bahwa apa yang membuat orang-orang itu mampu bangun pagi hingga masa tua mereka tak mampu menginspirasinya.

Di akhir pertemuan mereka pada hari keenam Kakek berkata, “Besok adalah hari ketujuh, hari tambahan. Kamu boleh bangun pukul berapa saja.”

Ito pun kegirangan. “Akhirnya! Sebentar lagi masa berguru yang menyiksa ini berakhir juga.”

Esoknya, Ito bangun pukul tujuh pagi. ‘Tidak terlalu pagi, tapi juga tidak terlalu siang,’ pikirnya.

Ia pun keluar kamar dan mencari kakeknya. Hatinya gembira. Rencananya, nanti siang ia akan makan besar bersama kakeknya, merayakan hari terakhir ia belajar.

Dicarinya Kakek di seluruh penjuru rumah, namun tak kunjung ditemuinya. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke kamar kakeknya. Terkejutlah ia, ketika didapatinya kakeknya sudah tergeletak di lantai. Lekas-lekas ia mencari tanda-tanda penyebab kematian di sekujur tubuh kakeknya dan di sekeliling tempat itu. Namun ia tak menemukannya.

Ia terduduk lemas. Rasa terkejut dan tak percaya mulai digantikan oleh rasa sesal dan kehilangan yang dalam.

***Malam itu Ito sulit tidur.

Tiba-tiba ada rasa penasaran yang mengganggunya. Ia pun meraih sebuah buku yang ditaruh di atas bufet, yang tadi siang diambilnya dari meja di dekat jasad kakeknya.

Hari IPelajaran dari Pak Dodi rupanya

belum berhasil. Ternyata ia tak terlalu peduli urusan asmara. Mungkin besok kisah Pak Ramli lebih menarik. Lagipula masih ada lima hari.

Hari IIPelajaran dari Pak Ramli rupanya

belum berhasil. Sifat malasnya lebih

Sastra

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201443

Page 44: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Catatan dari 1908Ia memandangi arloji mungil yang

melingkar di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Sudah sejam yang lalu ia menunggu teman-temannya di salah satu ruang belajar STOVIA. Tak beberapa lama, satu persatu teman-temannya datang. Tidak mau mengulur waktu, segera saja ia sampaikan gagasannya. Pemuda itu tidak ingin bangsa ini semakin jauh dan tertinggal dari peradaban. Ia berharap dalam waktu dekat ini akan segera berdiri organisasi modern. Organisasi ini yang kelak akan mengawal perubahan besar untuk bangsa.

Tak lama setelah pertemuan singkat itu, lahirlah organisasi yang sudah lama ia harapkan. Budi Oetomo, organisasi modern pertama yang lahir di Hindia ini resmi berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Beliaulah Dr. Wahidin Sudirohusodo, penggagas organisasi modern pertama di Indonesia.

Catatan dari 1928Sudah dua hari ini ia resah

membayangkan kongres esok. Pertemuan ini akan dihadiri oleh perwakilan pemuda dari seluruh HIndia atas inisiatif anggota Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Berhari-hari yang lalu ia memikirkan perihal apa saja yang ingin ia sampaikan tentang perubahan besar yang harus segera dimulai.

Menjelang penutupan kongres, ia menyampaikan ikrar sumpah pemuda yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari.

“Saudara saudara sekalian, sebelum menutup kongres besar hari ini, saya akan menyampaikan rumusan Sumpah Pemuda. Saya harap hari ini juga ikrar ini kita. Berikut isinya:

Kami putera puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami putera puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putera puteri Indonesia mengaku berbahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Terimakasih atas perhatian saudara sekalian, semoga sumpah ini mampu mengingatkan janji kita untuk memperbaiki negeri.

Catatan dari 1945Sudah tidak ragu-ragu lagi, Sukarni

dan kedua temannya ingin segera terbebas dari belenggu penjajah. Semalam ia mendengar langsung kabar dari radio, bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat pada sekutu. Pagi itu juga, mereka bertiga sepakat mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tak mudah bagi ketiga pemuda itu, sebab golongan tua tak mau begitu saja mengikuti permintaan mereka. Sepanjang hari itu Sukarni tidak berhenti berdebat dengan golongan tua. Meski demikian, Sukarno tidak terpengaruh. Ia masih berpikir untuk melagsungkan diskusi dengan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sampai sore harinya Sukarni tidak menyerah. Meskipun ia membiarkan golongan tua kembali ke Jakarta, ia meminta jaminan. Sukarni, sebagai perwakilan dari golongan muda, meminta sebelum pukul 12 siang esok hari proklasmasi kemerdekaan sudah harus dideklarasikan.

Catatan dari 1966Gie sudah siap membuka diskusi

sore ini. Ia dan teman-teman sudah tidak perlu menyiapkan tema diskusi. Mereka sudah sepakat menggunakan film yang mereka putar sebagai bahan bertukar pikiran.

“Filmnya berat, enggak ngerti!” Ujar Deni.

“Oke Den, lo duluan deh yang ngomentarin filmnya” Gie merespon perkataan Deni dengan sedikit tertawa.

“Kan gue udah bilang gue enggak ngerti filmnya. Lo bilang film perang, dar der dor-nya mana?” Deny

“ hahahaha ” Semua tertawa mendengar celetukan Deni.

“Gagasan utama film ini adalah menangkap ide-ide kemanusiaan dan latar belakang orang-orang yang hidupnya tinggal beberapa hari saja. Ini adalah heroisme tragis dari para penjajah Jepang. Jepang memandang

WZ

Interupsi

Cuplikan Pergerakan

Ilustrasi : Balairung/Hanif

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 44

Page 45: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

bunuh diri sebagai sifat ksatria. Kita lihat tokoh yang pertama, secara pribadi ia menolak kekejaman perang dan dengan sendirinya berpihak pada kemanusiaan. Tapi mengapa dia bersedia mati? Supaya perang lekas berakhir dan dia berharap pintu hati para pemimpin akan terketuk akan ketragisan perang.” Gie

Gie yakin menjadi mahasiswa kritis dan peduli dengan negaranya tidak harus menjadi aktivis organisasi ekstra-kampus. Mahasiswa hanya butuh meningkatkan kualitas diri dengan menjaga budaya diskusi dan tidak apatis. Menulis pun menjadi hal yang penting sebagai aktivitas intelektual, menurutnya.

Catatan dari 1978 Rizal sudah tidak tidur dua malam

ini. Bersama belasan pengurus Dewan Mahasiswa lainnya, Rizal menyiapkan peluncuran buku putih. Buku putih ini

merupakan bentuk protes mahasiswa yang menentang rezim orde baru. Ia dan kawan-kawannya geram melihat kelakuan pemerintah yang semena-mena.

Ia juga sering memergoki orang-orang militer bersenjata dengan semena-mena masuk kampus, lantas menahan para aktivis, mengintimidasi, dan menebar teror ketakutan agar mahasiswa tak lagi lantang melawan penguasa.

“Jangan pergi Zal, mereka masih mencarimu! Percayalah tinggal disini beberapa waktu lagi.” Rudi

“Nggak, aku ngga bisa diam saja dan terus bersembunyi. Pengecut itu namanya!” .

Rizal pergi dengan mengendap-endap sebelum subuh. Sebagai sahabat dan teman dekatnya, Rudi hanya berhasil menahannya tiga bulan ini.

Keresahan Rudi semakin menjadi. Sepulang dari kampus ia mendengar kabar bahwa Rizal telah ditangkap. Rudi sangat menyesal karena membiarkan Rizal pergi pagi itu.

Catatan dari 1998“Loe berangkat nggak?” Andi

“Berangkatlah, Loe juga kan?” Aziz

Mereka berjalan berdua menuju kampus pagi itu. Kegiatan hari ini diawali dengan mimbar bebas. Dilanjutkan pengibaran bendera setengah tiang yang diiringi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tidak ketinggalan orasi oleh dosen, karyawan dan sejumlah aktivis mahasiswa. Menjelang siang Matahari sudah di atas kepala, suasana menjadi semakin memanas karena kahadiran aparat militer. Meski demikian, Aziz meyakinkan Andi untuk tetap bertahan dan mengikuti rangkaian acara sampai selesai.

Aksi turun ke jalan pun tidak terhindarkan. Aziz memang sudah mendengar sebelumnya, Senat Mahasiswa sudah merencakan Long march demi menyuarakan aspirasi mereka. Long march sore itu berakhir dengan diiringi hujan lebat. Tiba-tiba saja seorang tak dikenal berteriak dan berkata-kata kotor ke arah peserta aksi.

Aziz menyaksikan beberapa mahasiswa terprovokasi karena mengira orang tersebut adalah aparat militer. Bentrok pun terjadi.

Malam itu Aziz berjalan dengan memapah Andi. Wajah Andi masih pucat karena peristiwa sore tadi. Ia melihat dengan mata kepalanya, Elang tertembak tepat dijantungnya.

Catatan hari iniHari ini Wahyu, Iben, Ian dan

Ajeng sepakat untuk berkumpul di kafe langganan mereka. Seperti biasa, mereka sudah menyiapkan tema diskusi untuk sore ini. Masing-masing dari mereka sudah menghadap laptop. Ditengah meja juga sudah tersedia setumpuk buku.

“Beginilah jawaban dari demokrasi, semua orang mau bersuara tapi suaranya kemana-mana” Ujar Wahyu.

“Kemana-mana gimana maksudnya?” Ian mengonfirmasi pernyataan Wahyu sambil membuka beranda facebook.

“Perhatiin deh, liat beranda facebook kamu, isinya komentar yang isinya ngga berdasar dan nggak jelas. Pembaca tidak mencari sumber lain. Ngga Cuma di facebook, media sosial lain juga seperti itu.” Terang Wahyu.

“Ditambah lagi media sekarang hanya berpihak pada kelompok tertentu. Berita-berita yang disajikan hanya terkesan memprovokasi” Tambah Iben.

“Setuju sama kalian, aku juga menjadi skeptis melihat demokrasi di negara kita. Mungkin ngga sih demokrasi yang selalu didengung-dengungkan itu akan terwujud?” Ajeng menimpali dengan pertanyaan yang cukup membauat mereka terdiam.

Sejenak mereka semua terdiam sambil menghadap laptop masing-masing. Sesekali mereka membuka buku-buku di atas meja.

tingtung…” Tiba-tiba terdengar pemberitahuan pesan facebook dari salah satu laptop. [Penginterupsi]

WZ

Interupsi

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201445

Page 46: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

STT/1986.3 Gagasan untuk membentuk

badan penerbitan mahasiswa berskala universitas sejak saat itu terus bergulir hingga tahun-tahun berikutnya. Kehendak para pegiat Balairung untuk menghidupkan api semangat “Napas Intelektualitas Mahasiswa” terus dilakukan sesuai dengan kondisi zamannya. Produk-produk terbitan Balairung pun berubah wajah sejalan dengan perubahan situasi yang terjadi.

21 Mei 1998. Penguasa Orde Baru akhirnya turun dari kursi kekuasaan setelah selama satu dekade (1990-1998) mengalami kemerosotan dalam berbagai hal. Sebelumnya, tuntutan masyarakat akan perubahan, tidak terkecuali mahasiswa, menggaung keras. Gerakan mahasiswa baik politis maupun kultural menyebar dan teriakan reformasi bergema di semua kampus.4 Demontrasi demi demostrasi dilakukan agar aspirasi terdengar akibat situasi yang kian membikin gerah. Akhir dari semua ini adalah tumbangnya rezim Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun. Fajar demokrasi pun menyongsong di depan mata.

Keadaan lalu mulai berubah. Pers umum yang tadinya “mati” kini mulai bangkit. Tidak hanya itu, situasi yang kian kondusif membuat banyak media baru berskala lokal dan nasional tumbuh. Di sisi lain, pers mahasiswa harus menerima kenyataan bahwa harus diadakan pembacaan ulang terhadap masa depan pers mahasiswa itu sendiri. Alasannya, pembaca terbitan pers mahasiswa sekarang memiliki lebih banyak pilihan untuk mengikuti perkembangan zaman. Berita yang dihasilkan oleh pers umum tidak kalah berani dengan apa yang ditulis para pegiat pers mahasiswa. Maka,

re-orientasi pun harus dilakukan agar pers mahasiswa tidak terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu.

Kekhawatiran itu kemudian coba dituntaskan di Sarasehan Pers Mahasiswa Se-Jawa-Bali yang menghadirkan Amir Effendi Siregar, Didik Supriyanto, dan Dailami.5 Tawaran yang mengemuka buat persma pasca 28 Mei 1998 adalah kembali menjadi community press dan menyeriusi untuk menjadi press of discourse. Hal ini dilandasi oleh pertimbangan kurang pentingnya peran pers mahasiswa pada gerakan penggulingan Soeharto serta pemikiran bahwa pers mahasiswa telah teralienasi dari komunitasnya sendiri.6

Situasi ini membuat pegiat Balairung mencoba cara baru agar tetap bertahan dengan terlebih dahulu menyapa pembaca di seputaran kampus. Langkah ini juga dilakukan agar semangat “Napas Intelektualitas Mahasiswa” yang tercermin dari hasil terbitan tidak kemudian padam. Tahun 1999, BALAIRUNG Koran terbit dengan bentuk fisik koran dinding berukuran A-2, montase sederhana, fotokopian, serta ditempel di dinding-dinding pengumuman 18 fakultas di UGM.7 Lalu, BALAIRUNG Koran mengalami perubahan menjadi BALKON. Portal berita yang dapat diakses kapan dan dimanapun juga dikembangkan. Selain itu, Majalah BALAIRUNG yang dari dulu terbit mulai dipersiapkan untuk menjadi Jurnal BALAIRUNG demi merespon tawaran untuk menjadi press of discourse.

Di usianya yang menginjak 29 tahun saat ini, Balairung hidup dengan menelurkan empat produk, yakni Majalah Balairung, Buletin Balkon, portal berita www.balairungpress.com,

Dapur

29 Oktober 1985. Kala itu, puluhan mahasiswa berkumpul di University Club menghadiri seminar pers mahasiswa

fakultas/jurusan se-UGM. Seminar tersebut diselenggarakan untuk membicarakan tiga hal, yakni membuat konsep pers mahasiswa yang ideal, merumuskan penerbitan mahasiswa berskala universitas, dan merangsang produktivitas penerbitan ilmiah tingkat fakultas/jurusan.1 Bahasan soal pembentukan penerbitan mahasiswa lingkup universitas mengerucut pada kesepakatan untuk membentuk penerbitan majalah. Bentuk majalah dipilih dengan alasan frekuensi produksinya yang tidak terlalu sering serta kemungkinan untuk membahas konten dengan lebih matang dan mendalam.

Seminar tersebut berakhir setelah menghasilkan persetujuan, salah satunya membentuk tim perumusan majalah yang diketuai oleh Abdul Hamid Dipopramono. Sedangkan anggota-anggota lainnya adalah Ana Nadhya Abrar, M. Thoriq, Agus Aman Santosa, dan Muhammad Alfaris. Tim itu selanjutnya mengemban tugas meneruskan hasil kesepatan seminar, di antaranya menentukan Balairung sebagai nama majalah.2 Prof. Dr. T. Jacob, rektor saat itu pun meresmikan Majalah BALAIRUNG beserta slogan “Napas Intelektualitas Mahasiswa” dan logo triplengkung. Edisi perdana Majalah BALAIRUNG terbit pada Januari 1986. Meski begitu, Majalah BALAIRUNG harus menerbitkan kembali edisi pertamanya setelah mendapatkan Surat Tanda Terdaftar (STT). Oleh karena itu, Majalah BALAIRUNG kembali diterbitkan setelah memperoleh SK Menpen RI No. 1039/Dirjen/PPG/

Penjaga Napas Intelektualitas Mahasiswa

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 46

Page 47: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

dan Jurnal Balairung. Perubahan produk dari tahun ke tahun yang disesuaikan dengan zaman serta kebutuhan menjadi tantangan bagi para pegiat Balairung. Di satu sisi, masing-masing produk tersebut menuntut sistem manajemennya masing-masing. Tidak dipungkiri, sistem manajemen antara satu produk dengan produk berbeda sama sekali. Di sisi lain, produk-produk tersebut harus tetap dikerjakan berpedoman pada slogan “Napas Intelektualitas Mahasiswa”. Sebab, Balairung bukan tempat orang bekerja mencari uang, bukan sebagai training centre guna menciptakan wartawan profesional, atau bukan pula turut ikut afiliasi politik pada kekuatan tertentu.8

Alhasil, produk-produk Balairung menjadi salah satu wadah guna mewujudkan semangat tersebut. Sebagai gambaran awal adalah Jurnal Balairung. Jurnal Balairung dibuat sebab Balairung ingin menghasilkan media yang membahas tuntas suatu pokok persoalan.9 Adapun persoalan yang dibahas dikaji menggunakan berbagai macam perspektif keilmuan. Meski berbau ilmiah, jurnal ini pun tetap tidak meninggalkan sisi jurnalistiknya. Di rubrik-rubrik jurnal, mulai tahun 2001 hingga sekarang, dua macam sistem pendekatan berusaha dikombinasikan dalam penggarapan isu, yaitu pendekatan jurnalistik dan pendekatan ilmiah.10 Pendekatan jurnalistik diterapkan dalam pengerjaan laporan jurnalistik oleh Divisi Redaksi (misalnya: laporan investigasi, wawancara mendalam, laporan pengamatan, dll). Sedangkan pendekatan

ilmiah dipraktikkan saat melakukan penelitian ilmiah oleh Divisi Riset (contohnya: polling, survei kepustakaan, riset antropologis, dll). Kompilasi artikel ilmiah dari para penulis tamu juga terdapat di dalam jurnal.

Produk lainnya seperti Buletin Balkon, Majalah Balairung, dan portal berita www.balairungpress.com pun tidak hanya dikerjakan dengan logika sederhana jurnalis. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan karena kerjaan wartawan juga serius. Seperti yang dikemukakan oleh Indi, ada kesamaan yang musti dimiliki baik wartawan maupun seorang doktor ilmu sosial: keluasan wawasan dan penguasaan metode penelitian sosial.11 Kesamaan ini tidak hanya berkaitan hdengan tugas mengumpulkan data tapi mengurai data yang diperoleh. Sebab, jurnalis akan mudah dikelabui gejala atau narasumber

jika tidak menguasainya. Di samping itu, wartawan juga bakal tergoda membolak-balikkan realitas sosiologis dan realitas psikologis andai tidak mempunyai pengetahuan yang memadai. Singkatnya, wartawan semestinya juga seorang intelektual. 12

Adapun slogan “Napas Intelektualitas Mahasiswa” hingga sekarang masih berusaha kami hidupkan, salah satunya lewat Balkon Spesial Mahasiswa Baru yang sedang Anda baca ini. Perjalanan untuk menjaganya tidaklah mudah –banyak halangan di sana-sini. Tetapi, usaha tersebut perlu dilakukan agar ilmu yang diperoleh tidak hanya usai setelah kelas kuliah selesai. Niat itu harus diteguhkan supaya fakta terus tersulut sehingga tetap menyala. Akhirnya, selamat datang mahasiswa baru di kampus yang biasa-biasa saja. [Nindias]

Dapur

1 “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal. 182.2 Ibid. Hal. 183.3 Ibid. Hal. 183.4 “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 34/Th. XVI/2001. Hal. 179.5 Op. Cit. “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 34/Th. XVI/2001 Hal. 181.6 Ibid. Hal. 181.7 Ibid. Hal. 181.8 “Dapur Balairung”, Majalah BALAIRUNG Nomor 7 1998. Hal. 39 “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal. 181.10 Op. Cit. “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal. 181.11 “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 38/Th. XIX/ 2005. Hal. 159.12 Ibid. Hal. 159.

Ilustrasi : Balairung/Maria

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 201447

Page 48: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Diskusi Masa Kini

Si Iyik

Ilustrasi : Balairung/Halvin

Ilustrasi : Balairung/Hanin

Komik & Si Iyik

Sudut :

+ Mahasiswa yang baik adalah yang menuruti semua ucapan kata dosen, mencari ilmu pun cukup di kelas saat ada mata kuliah.

- Mahasiswa apa burung beo di dalam sangkar?

+ Diskusi keilmuwan di luar jam mata kuliah tidak mempengaruhi nilai UAS.

-mau mencari ilmu apa mencari nilai?

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 48

Page 49: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Sejak awal kemunculannya, Toko Buku Diskon Togamas telah membuka cabang di beberapa tempat di Yogyakarta, yakni Jalan Affandi No. 5 Gejayan , Galeria Mall lantai 2, dan Jalan Suroto no 8 Kotabaru, yang baru buka akhir 2012 ini.

Togamas adalah salah satu toko buku yang menjual buku-buku dengan harga terjangkau. Setiap hari, Togamas memberikan diskon untuk setiap pembelian buku dan diskon sampai 30%. Di samping itu, Togamas memberikan fasilitas sampul gratis dan fasilitas BuGar (Buku Bergaransi), yaitu garansi buku selama dua hari setelah pembelian. Buku dapat ditukar atau dikembalikan jika buku yang sudah dibeli tersebut rusak. Tidak hanya itu, jika isi buku yang dibeli tidak sesuai harapan pembeli, buku tersebut juga bisa ditukar.

Togamas merupakan toko buku yang diperuntukkan khusus untuk mahasiswa. Togamas memiliki koleksi buku perguruan tinggi terlengkap guna memenuhi kebutuhan mahasiswa. Selain itu, Togamas cabang Jalan Gejayan menyediakan kafe dan ruang publik gratis. Acara seperti bedah buku, kuliah umum, pameran, garage sale, dan kegiatan yang berkaitan dengan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan dapat diselenggarakan di sana. Selebihnya, fasilitas lainnya yang tersedia adalah komputer informasi pencari buku, galeri seni, penitipan barang, mushalla, toilet, dan tempat parkir gratis. Hal ini sesuai dengan visi Togamas mengedepankan ilmu, seni, dan budaya guna menumbuhkan minat baca masyarakat Yogyakarta. [Rina, Evi]

Berburu Buku dan Menambah

Ilmu di Toko Buku Togamas

Advertorial

Page 50: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014

Ilust

rasi

: B

alai

rung

/Mar

ia

Gores

Balkon Spesial Mahasiswa Baru 2014 50

Page 51: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014
Page 52: Balairung Spesial : Ruang Diskusi  2014