Post on 07-Jan-2023
Demokrasi di Indonesia:
Pincangnya Sistem Check and Balances
di Tubuh Mahkamah Konstitusi
Nama : Nur Latifah
Hanum
NIM : 11010110110058
TTD :
Pendahuluan
Konsep demokrasi di Indonesia semakin tampak sejak era
reformasi. Amandemen terhadap UUD 1945 menjadi tonggak awal
perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Konsep
ketatanegaraan yang baru dinilai sebagai penerapan prinsip
demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu Demos
yang berarti rakyat, dan Kratos/Kratein yang berarti kekuasaan
atau berkuasa. Dengan demikian demokrasi dapat disimpulkan
sebagai rakyat berkuasa atau government by the people. Menurut H.
Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) Demokrasi adalah
bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan
itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan
merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur,
mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan
pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk
memerintah.1
Demokrasi pasca amandemen membawa konsekuensi terhadap
berbagai tatanan kenegaraan. Salah satunya adalah hubungan
antar lembaga negara. Sebelum adanya amandemen, hubungan antar
lembaga negara di Indonesia menggunakan sistem Distribution of
1 Haris Soche dalam Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli. www.beritaterhangat.com diakses pada tanggal 22 April 2013 pukul 16.30
1
Power(pembagian kekuasaan) namun setelah amandemen menggunakan
sistem Separation of Power(pemisahan kekuasaan). Sistem pemisahan
kekuasaan cenderung bersifat horisontal, yaitu bahwa kekuasaan
dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi.2
Hal ini memberikan konsekuensi tidak adanya lagi lembaga
tertinggi negara. Dengan demikian berarti semua lembaga negara
yang diatur dalam konstitusi memiliki kedudukan yang
sederajat.
Meskipun di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan, namun
Indonesia menerapkan sistem Check and Balances dalam membina
hubungan antar lembaga negara. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa melalui check and balances inilah diharapkan
adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi diantara
lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Melalui sistem
ini, diharapkan tidak akan ada lagi pemusatan kekuasaan pada
satu institusi negara. The central of a constitution is to create the
precondition for well-functioning democratic order. (Dengan penumpukan
kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan
yang lebih demokratik tidak mungkin diwujudkan dengan baik).3
Putusan MK No 005/PUU-IV/2006
Pada tahun 2006 publik digentarkan oleh Putusan MK No.
005/PUU-IV/2006 atas pengujian terhadap UU Nomor 22 Tahun
2004. Pengujian Undang-undang ini diajukan oleh tiga puluh
satu hakim MA. Pengajuan permohonan pengujian undang-undang
tersebut dikarenakan menurut para pemohon, hakim yang dapat
diawasi oleh Komisi Yudisial(KY) tidak termasuk Hakim Agung.
2 AM.Fatwa.Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945.( Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara,2009)Halaman 9.3 Nomensen Sinamo.Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Tentang Kelembagaan Negara.(Jakarta: Jala Permata Aksara),2010.Halaman 48.
2
Melalui pengujian undang-undang tersebut, nampaknya MK
memberikan putusan ultra petita atau kewenangan memberikan putusan
lebih dari yang diujikan. Pada putusan MK tersebut setidaknya
terdapat tiga pokok putusan, yaitu sebagai berikut:4
1. Menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam arti hakim
dalam UU Komisi Yudisial sudah benar dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
2. Pencakupan Hakim Konstitusi dalam arti hakim yang dapat
diawasi oleh KY adalah tidak benar dan bertentangan
dengan UUD 1945;
3. Beberapa pasal yang terkait dengan materi dan cara
pengawasan seluruhnya dibatalkan oleh MK.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kini KY tidak dapat
mengawasi hakim MK dan hakim MA. Namun dalam tulisan ini
penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan KY tidak
lagi dapat mengawasi hakim MK.
MK Versus KY
Mahkamah Konstitusi lahir setelah reformasi melalui UUD NRI
1945 sebagai salah satu kekuasaan kehakiman selain Mahkamah
Agung. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Salah satu prinsip negara hukum adalah
kekuasaan kehakiman yang adil dan tidak memihak. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka diatur pada pasal 24 Ayat (1) UUD NRI
1945. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang
menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, memiliki
beberapa kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 24C Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan tersebut adalah kewenangan
untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD, memutus sengketa
4 Moh Mahfud MD.Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. (Jakarta: Rajawali Press),2007.
3
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran parpol, serta memutus perselisihan
hasil pemilu. Putusan mengenai kewenangan-kewenangan tersebut
putusannya bersifat final. Putusan yang bersifat final
tersebut mengandung konsekuensi, apabila putusan sudah
dikeluarkan oleh MK, maka putusan tersebut mengikat menurut
Konstitusi.
Dalam hal putusan yang bersifat final inilah yang kiranya
membedakan dengan putusan MA yang masih dapat dilakukan upaya
hukum Peninjauan Kembali(PK) terhadap putusan yang dijatuhkan.
Menurut hemat penulis, tentu kewenangan untuk memberikan
putusan yang bersifat final menutup kemungkinan untuk
memberikan evaluasi terhadap kesalahan hakim dalam menjatuhkan
putusan.
Pada era reformasi UUD NRI 1945 juga melahirkan lembaga
negara bantu (auxiliary institusion) di bidang kekuasaan kehakiman.
Lembaga tersebut adalah lembaga Komisi Yudisial (KY). Dalam
amanat pasal 24 B UUD NRI 1945, KY merupakan lembaga negara
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
serta berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran,martabat serta perilaku hakim. Dalam konstitusi
sendiri, tidak ada perbedaan hakim mana yang dapat diawasi
oleh KY. Namun melalui Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, KY
tidak lagi dapat mengawasi hakim MK. Sebagaimana telah
dikemukakan diatas, bahwa dengan putusannya yang bersifat
final seharusnya ada lembaga lain yang mengawasi hakim-hakim
MK dalam menjalankan kewenangannya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa hakim MK sebagai manusia biasa tidak dapat lepas dari
kesalahan.
Menurut pertimbangan hakim dalam pengujian Undang-undang4
tersebut, disebutkan bahwa KY hanyalah supporting institusion atau
auxiliary institusion. Sehingga karena lembaga negara bantu, maka KY
bukan lembaga negara sejajar dengan lembaga negara lain. Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa KY tidak dapat melakukan
fungsi Check and Balances terhadap MA dan MK.5 Dalam hal teori
lembaga negara bantu, KY memang tidak sejajar dengan lembaga
negara lain seperti MA dan MK. Namun, berdasarkan konstitusi,
KY berada sejajar dengan lembaga negara lain. Apabila
mendapati kenyataan yang demikian, kita harus merujuk kepada
alasan masuknya pasal 24 B UUD NRI 1945 yang memasukkan KY
sebagai lembaga negara yang berfungsi melakukan pengawasan
terhadap hakim. Pengawasan hakim ini tidak dibatasi hakim mana
yang dapat diawasi.
Dalam Risalah Rapat PAH I MPR dimuat bahwa pada sidang ke-41
tanggal 8 Juni 2000 sudah diajukan gagasan bahwa "KY berfungsi
untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim agung" dan bahwa
pengawas yudisial ini "mengawasi tingkah laku hakim pada semua
tingkatan"6
Selain itu, apabila kita menelusuri kembali, ternyata Jimly
Asshiddiqiy sebelum memutus PUU tersebut, di tahun 2000
berpendapat bahwa:7
"...Artinya tugas pertama komisi ini adalah mengusulkan pengangkatan hakimagung dan tugas keduanya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat serta perilaku hakim. Karena tugas pertama dikaitkan denganhakim agung dan tugas kedua dengan hakim saja maka secara harfiah jelas sekaliartinya, yaitu KY bertugas menjaga(preventif) dan menegakkan(korektif danrepresif) kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku semua hakim diIndonesia. ...hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuranmartabat dan perilakunya mencakup hakim agung, pengadilan umum,pengadilan agama, pengadilan TUN, Pengadilan militer serta termasuk hakim
5 Ibid. Halaman 106.6 Ibid Halaman 127.7 Prof.Dr.Jimly Asshiddiqiy.Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia..(Jakarta:Sinar Grafika,2009)Halaman 207
5
konstitusi."
Dapat dikatakan putusan MK tersebut rancu secara hukum. Pasca
Putusan MK tersebut, kini Hakim MK disebut-sebut sebagai
manusia-manusia super power. Mahkamah Konstitusi dinilai sebagai
Mahkamah Tuhan yang dapat memutus perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya secara final tanpa pengawasan. Melihat fakta ini
tentu sistem check and balances di tubuh MK semakin dipertanyakan.
Sisi Kepincangan Check and Balances System di Tubuh MK
Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Negara
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum(rechstaat) bukan negara
yang berdasarkan kekuasaan(machtsstaat).8 Sebagai negara hukum,
maka mengandung konsekuensi bahwa seluruh tatanan harus
berdasarkan hukum. Konstitusi sebagai hukum dasar harus selalu
menjadi rujukan dalam menjalankan ketatanegaraan Indonesia.
Salah satu substansi konstitusi Indonesia sejak era reformasi
adalah adanya pemisahan lembaga negara. Dalam menjalankan
pemisahannya itu, dilakukan suatu fungsi pengawasan untuk
saling mengimbangi antara lembaga negara, yang sering disebut
dengan Check and Balances System. Sistem ini diselenggarakan guna
meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja lembaga negara
dalam rangka mewujudkan transparansi lembaga negara. Dengan
demikian diharapkan tidak adanya lagi pemusatan kekuasaan pada
satu cabang kekuasaan saja.
Dalam hal pengawasan hakim MK yang berada pada lembaga negara
pengawas konstitusi ini, tampaknya masih belum adanya sistem
check and balances yang efektif. Hal inilah kiranya yang
menggelitik penulis untuk menulis kepincangan sistem Check and
8 Lita Tyesta ALW. 2012.Ringkasan Disertasi: Menata Ulang Kerangka Hukum Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Menuju Negara Hukum Demokratis.
6
Balances di tubuh MK. Pemikiran ini muncul dikarenakan MK
merupakan lembaga negara yang memutus sengketa dengan putusan
yang final dan mengikat. Sehingga apabila putusan telah
dijatuhkan, tidak ada lagi upaya hukum untuk membatalkan
putusan tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengawasan kepada
hakim MK agar dalam memutus perkara benar-benar berdasarkan
pertimbangan yang matang. Selama ini telah diatur adanya
pengusulan hakim MK dari tiga lembaga negara sebagai wujud
saling mengimbangi. Meskipun demikian hingga saat ini belum
ada pengaturan mengenai pengawasan hakim MK oleh lembaga lain.
Melalui peraturan MK Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Pemberhentian Hakim Konstitusi telah dibentuk Majelis
Kehormatan MK yang memiliki wewenang dalam hal mengawasi hakim
MK. Namun dalam hemat penulis, Majelis Kehormatan ada pada
tubuh yang sama, yaitu MK. Hal ini tentu mengurangi
keobjektifannya dalam mengawasi perilaku hakim.
Majelis Kehormatan MK sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
Angka 7 PMK Nomor 4 Tahun 2012 merupakan perangkat yang
dibentuk MK untuk memantau, memeriksa, dan menegakkan kode
etik dan pedoman perilaku hakim. Dari pengertian tersebut,
dapat diketahui bahwa Majelis Kehormatan adalah dibentuk oleh
internal MK sendiri. Dalam kewenangannya Majelis Kehormatan
secara implisit berwenang mengawasi hakim MK. Oleh karena itu,
apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik maupun perilaku
yang tidak sesuai maka hakim MK wajib melakukan pembelaan di
depan Majelis Kehormatan. Hal ini rancu apabila kita melihat
perbandingan terhadap lembaga lain di Indonesia dalam
menjalankan fungsi Check and Balancesnya. Pada lembaga eksekutif,
apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau hal yang
dilarang oleh undang-undang, maka ia wajib bertanggungjawab7
kepada MPR sebagai perwujudan rakyat yang memilihnya. Hal ini
tentu mengindikasikan adanya hubungan saling mengimbangi dan
saling mengawasi antara Eksekutif dan Yudikatif. Namun lain
halnya dengan MK. Apabila Hakim MK melanggar kode etik atau
melakukan perbuatan yang tidak sesuai maka menurut peraturan
MK tersebut, MK hanya mempertanggungjawabkan kepada Majelis
Kehormatan. Dalam hemat penulis, hal ini merupakan sebuah
lingkaran di satu tubuh kekuasaan. Majelis Kehormatan yang
dibentuk oleh MK sendiri berwenang menilai dan mengawasi MK
serta berwenang menentukan bahwa hakim MK tersebut melanggar
hukum atau tidak. Apabila membandingkan dengan eksekutif
sebagaimana dituliskan diatas, seharusnya yang berwenang
menerima pertanggungjawaban hakim MK adalah lembaga yang
mengusulkan hakim tersebut.
Hakim MK yang terdiri dari sembilan orang diusulkan masing-
masing tiga orang oleh MA, Presiden dan DPR. Seharusnya, tiga
lembaga tersebutlah yang menerima pertanggungjawaban hakim.
Hal ini dikarenakan lembaga-lembaga tersebut pulalah yang
mengusulkan untuk menduduki jabatan hakim. Melalui pengawasan
oleh lembaga-lembaga itu diharapkan sistem check and balances tidak
hanya berlaku bagi pengusulan hakim MK saja. Namun lebih dari
itu sistem mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara
seharusnya juga dalam hal pengawasan dan pemberhentian hakim.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengawasan hakim MK ini masih
belum mencerminkan sistem Check and Balances. Sehingga dimungkinkan
adanya nepotisme dalam kelembagaan MK sendiri. Hal ini
dikarenakan masih memusatnya kekuasaan di tubuh MK. Dengan
demikian hal ini perlu menjadi renungan pemikiran bersama
dalam rangka menegakkan demokrasi di Indonesia. Apabila hal
ini masih dipertahankan, ditakutkan nantinya keberadaan MK8
yang dinilai sebagai lembaga yang super body, kekuasaannya makin
terpusat. MK sebagai The Guardian of Constitution seharusnya menjadi
pengawal munculnya demokrasi yang bermartabat di Indonesia.
Kesimpulan
Sistem Check and Balances antar lembaga negara menjadi hal yang
sangat penting dalam rangka penerapan sistem pemisahan
kekuasaan di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang
demokratis seharusnya mengupayakan menjadi negara
kesejahteraan bagi rakyatnya atau welfare state. Negara demokratis
yang mengedepankan kesejahteraan tentunya harus mampu
menerapkan prinsip saling mengawasi antar lembaga negara yang
ada.
Sejak era reformasi lembaga negara menempati kedudukan yang
sama. Tidak ada lagi lembaga negara tertinggi di Indonesia.
Hal ini menjadikan penting suatu pengawasan dan pengimbangan
diantara lembaga negara yang ada.
Atas amanah UUD NRI Tahun 1945, salah satu lembaga negara
baru di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam
menjalankan tugasnya, MK berwenang memberikan putusan yang
bersifat final dan mengikat. Oleh karena wewenangnya itu, maka
seharusnya ada lembaga negara lain yang mengawasi dan
mengimbangi peran lembaga tersebut. Dalam rangka pengusulan
anggotanya, sistem mengimbangi telah terpenuhi. Namun sejak
tahun 2006 fungsi pengawasan terhadap MK menjadi pincang. MK
mengeluarkan putusan bahwa KY tidak dapat mengawasi hakim MA
dan hakim MK. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada
lagi sistem pengawasan di tubuh MK.
Menjawab hal itu tahun 2012 muncul peraturan MK yang
memunculkan Majelis Kehormatan MK yang berwenang untuk
menerima pertanggungjawaban hakim MK serta berwenang menjaga9
perilaku hakim MK. Padahal majelis tersebut dibentuk oleh MK
sediri. Hal ini tentu memberikan gambaran mbuletnya pengawasan
di MK. Kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan semakin
besar.
Dalam hal ini, penulis mencoba memberikan solusi atas
permasalahan yang terjadi. Apabila putusan MK di tahun 2006
telah menghilangkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim MK
tentu putusan tersebut tidak dapat dicabut kembali.
Konsekuensinya adalah memberikan solusi untuk memunculkan
lembaga lain yang mengawasi hakim MK. Melalui tulisan ini,
penulis memberikan saran agar ketiga lembaga negara yang
mengusulkan hakim MK kembali turun tangan dalam pengawasan
hakim MK. Sehingga apabila terjadi hal-hal yang melanggar kode
etik maupun perbuatan yang tidak sesuai dapat dilakukan
penarikan kembali hakim MK oleh lembaga pengusul. Dengan
demikian, Majelis Kehormatan diharapkan hanya memberikan
praduga dan pertanggungjawabannya di depan tiga lembaga
pengusul. Hal ini dilakukan agar prinsip Check and Balances dapat
berjalan dengan baik. Sehingga hal ini dapat mengurangi
pemusatan kekuasaan dalam satu lembaga negara. Melalui
pengawasan inilah diharapkan MK kedepan dapat menjadi lembaga
penjaga konstitusi yang bersih, transparan, dan dapat
dipercaya. Hal ini diperlukan mengingat kewenangan MK yang
sangat mendasar bagi kehidupan bernegara di Indonesia.
10