Pincangnya Sistem Check and Balances di Tubuh MK

10
Demokrasi di Indonesia: Pincangnya Sistem Check and Balances di Tubuh Mahkamah Konstitusi Nama : Nur Latifah Hanum NIM : 11010110110058 TTD : Pendahuluan Konsep demokrasi di Indonesia semakin tampak sejak era reformasi. Amandemen terhadap UUD 1945 menjadi tonggak awal perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Konsep ketatanegaraan yang baru dinilai sebagai penerapan prinsip demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat, dan Kratos/Kratein yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Dengan demikian demokrasi dapat disimpulkan sebagai rakyat berkuasa atau government by the people. Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah. 1 Demokrasi pasca amandemen membawa konsekuensi terhadap berbagai tatanan kenegaraan. Salah satunya adalah hubungan antar lembaga negara. Sebelum adanya amandemen, hubungan antar lembaga negara di Indonesia menggunakan sistem Distribution of 1 Haris Soche dalam Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli. www.beritaterhangat.com diakses pada tanggal 22 April 2013 pukul 16.30 1

Transcript of Pincangnya Sistem Check and Balances di Tubuh MK

Demokrasi di Indonesia:

Pincangnya Sistem Check and Balances

di Tubuh Mahkamah Konstitusi

Nama : Nur Latifah

Hanum

NIM : 11010110110058

TTD :

Pendahuluan

Konsep demokrasi di Indonesia semakin tampak sejak era

reformasi. Amandemen terhadap UUD 1945 menjadi tonggak awal

perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Konsep

ketatanegaraan yang baru dinilai sebagai penerapan prinsip

demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu Demos

yang berarti rakyat, dan Kratos/Kratein yang berarti kekuasaan

atau berkuasa. Dengan demikian demokrasi dapat disimpulkan

sebagai rakyat berkuasa atau government by the people. Menurut H.

Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) Demokrasi adalah

bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan

itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan

merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur,

mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan

pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk

memerintah.1

Demokrasi pasca amandemen membawa konsekuensi terhadap

berbagai tatanan kenegaraan. Salah satunya adalah hubungan

antar lembaga negara. Sebelum adanya amandemen, hubungan antar

lembaga negara di Indonesia menggunakan sistem Distribution of

1 Haris Soche dalam Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli. www.beritaterhangat.com diakses pada tanggal 22 April 2013 pukul 16.30

1

Power(pembagian kekuasaan) namun setelah amandemen menggunakan

sistem Separation of Power(pemisahan kekuasaan). Sistem pemisahan

kekuasaan cenderung bersifat horisontal, yaitu bahwa kekuasaan

dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam

lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi.2

Hal ini memberikan konsekuensi tidak adanya lagi lembaga

tertinggi negara. Dengan demikian berarti semua lembaga negara

yang diatur dalam konstitusi memiliki kedudukan yang

sederajat.

Meskipun di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan, namun

Indonesia menerapkan sistem Check and Balances dalam membina

hubungan antar lembaga negara. Sebagaimana disebutkan

sebelumnya bahwa melalui check and balances inilah diharapkan

adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi diantara

lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Melalui sistem

ini, diharapkan tidak akan ada lagi pemusatan kekuasaan pada

satu institusi negara. The central of a constitution is to create the

precondition for well-functioning democratic order. (Dengan penumpukan

kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan

yang lebih demokratik tidak mungkin diwujudkan dengan baik).3

Putusan MK No 005/PUU-IV/2006

Pada tahun 2006 publik digentarkan oleh Putusan MK No.

005/PUU-IV/2006 atas pengujian terhadap UU Nomor 22 Tahun

2004. Pengujian Undang-undang ini diajukan oleh tiga puluh

satu hakim MA. Pengajuan permohonan pengujian undang-undang

tersebut dikarenakan menurut para pemohon, hakim yang dapat

diawasi oleh Komisi Yudisial(KY) tidak termasuk Hakim Agung.

2 AM.Fatwa.Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945.( Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara,2009)Halaman 9.3 Nomensen Sinamo.Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Tentang Kelembagaan Negara.(Jakarta: Jala Permata Aksara),2010.Halaman 48.

2

Melalui pengujian undang-undang tersebut, nampaknya MK

memberikan putusan ultra petita atau kewenangan memberikan putusan

lebih dari yang diujikan. Pada putusan MK tersebut setidaknya

terdapat tiga pokok putusan, yaitu sebagai berikut:4

1. Menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam arti hakim

dalam UU Komisi Yudisial sudah benar dan tidak

bertentangan dengan UUD 1945;

2. Pencakupan Hakim Konstitusi dalam arti hakim yang dapat

diawasi oleh KY adalah tidak benar dan bertentangan

dengan UUD 1945;

3. Beberapa pasal yang terkait dengan materi dan cara

pengawasan seluruhnya dibatalkan oleh MK.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kini KY tidak dapat

mengawasi hakim MK dan hakim MA. Namun dalam tulisan ini

penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan KY tidak

lagi dapat mengawasi hakim MK.

MK Versus KY

Mahkamah Konstitusi lahir setelah reformasi melalui UUD NRI

1945 sebagai salah satu kekuasaan kehakiman selain Mahkamah

Agung. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Salah satu prinsip negara hukum adalah

kekuasaan kehakiman yang adil dan tidak memihak. Kekuasaan

kehakiman yang merdeka diatur pada pasal 24 Ayat (1) UUD NRI

1945. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang

menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, memiliki

beberapa kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 24C Ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan tersebut adalah kewenangan

untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD, memutus sengketa

4 Moh Mahfud MD.Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. (Jakarta: Rajawali Press),2007.

3

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD, memutus pembubaran parpol, serta memutus perselisihan

hasil pemilu. Putusan mengenai kewenangan-kewenangan tersebut

putusannya bersifat final. Putusan yang bersifat final

tersebut mengandung konsekuensi, apabila putusan sudah

dikeluarkan oleh MK, maka putusan tersebut mengikat menurut

Konstitusi.

Dalam hal putusan yang bersifat final inilah yang kiranya

membedakan dengan putusan MA yang masih dapat dilakukan upaya

hukum Peninjauan Kembali(PK) terhadap putusan yang dijatuhkan.

Menurut hemat penulis, tentu kewenangan untuk memberikan

putusan yang bersifat final menutup kemungkinan untuk

memberikan evaluasi terhadap kesalahan hakim dalam menjatuhkan

putusan.

Pada era reformasi UUD NRI 1945 juga melahirkan lembaga

negara bantu (auxiliary institusion) di bidang kekuasaan kehakiman.

Lembaga tersebut adalah lembaga Komisi Yudisial (KY). Dalam

amanat pasal 24 B UUD NRI 1945, KY merupakan lembaga negara

mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung

serta berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran,martabat serta perilaku hakim. Dalam konstitusi

sendiri, tidak ada perbedaan hakim mana yang dapat diawasi

oleh KY. Namun melalui Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, KY

tidak lagi dapat mengawasi hakim MK. Sebagaimana telah

dikemukakan diatas, bahwa dengan putusannya yang bersifat

final seharusnya ada lembaga lain yang mengawasi hakim-hakim

MK dalam menjalankan kewenangannya. Tidak dapat dipungkiri

bahwa hakim MK sebagai manusia biasa tidak dapat lepas dari

kesalahan.

Menurut pertimbangan hakim dalam pengujian Undang-undang4

tersebut, disebutkan bahwa KY hanyalah supporting institusion atau

auxiliary institusion. Sehingga karena lembaga negara bantu, maka KY

bukan lembaga negara sejajar dengan lembaga negara lain. Hal

ini mengandung konsekuensi bahwa KY tidak dapat melakukan

fungsi Check and Balances terhadap MA dan MK.5 Dalam hal teori

lembaga negara bantu, KY memang tidak sejajar dengan lembaga

negara lain seperti MA dan MK. Namun, berdasarkan konstitusi,

KY berada sejajar dengan lembaga negara lain. Apabila

mendapati kenyataan yang demikian, kita harus merujuk kepada

alasan masuknya pasal 24 B UUD NRI 1945 yang memasukkan KY

sebagai lembaga negara yang berfungsi melakukan pengawasan

terhadap hakim. Pengawasan hakim ini tidak dibatasi hakim mana

yang dapat diawasi.

Dalam Risalah Rapat PAH I MPR dimuat bahwa pada sidang ke-41

tanggal 8 Juni 2000 sudah diajukan gagasan bahwa "KY berfungsi

untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim agung" dan bahwa

pengawas yudisial ini "mengawasi tingkah laku hakim pada semua

tingkatan"6

Selain itu, apabila kita menelusuri kembali, ternyata Jimly

Asshiddiqiy sebelum memutus PUU tersebut, di tahun 2000

berpendapat bahwa:7

"...Artinya tugas pertama komisi ini adalah mengusulkan pengangkatan hakimagung dan tugas keduanya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat serta perilaku hakim. Karena tugas pertama dikaitkan denganhakim agung dan tugas kedua dengan hakim saja maka secara harfiah jelas sekaliartinya, yaitu KY bertugas menjaga(preventif) dan menegakkan(korektif danrepresif) kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku semua hakim diIndonesia. ...hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuranmartabat dan perilakunya mencakup hakim agung, pengadilan umum,pengadilan agama, pengadilan TUN, Pengadilan militer serta termasuk hakim

5 Ibid. Halaman 106.6 Ibid Halaman 127.7 Prof.Dr.Jimly Asshiddiqiy.Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia..(Jakarta:Sinar Grafika,2009)Halaman 207

5

konstitusi."

Dapat dikatakan putusan MK tersebut rancu secara hukum. Pasca

Putusan MK tersebut, kini Hakim MK disebut-sebut sebagai

manusia-manusia super power. Mahkamah Konstitusi dinilai sebagai

Mahkamah Tuhan yang dapat memutus perkara-perkara yang menjadi

kewenangannya secara final tanpa pengawasan. Melihat fakta ini

tentu sistem check and balances di tubuh MK semakin dipertanyakan.

Sisi Kepincangan Check and Balances System di Tubuh MK

Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana

disebutkan dalam pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Negara

Indonesia adalah negara berdasarkan hukum(rechstaat) bukan negara

yang berdasarkan kekuasaan(machtsstaat).8 Sebagai negara hukum,

maka mengandung konsekuensi bahwa seluruh tatanan harus

berdasarkan hukum. Konstitusi sebagai hukum dasar harus selalu

menjadi rujukan dalam menjalankan ketatanegaraan Indonesia.

Salah satu substansi konstitusi Indonesia sejak era reformasi

adalah adanya pemisahan lembaga negara. Dalam menjalankan

pemisahannya itu, dilakukan suatu fungsi pengawasan untuk

saling mengimbangi antara lembaga negara, yang sering disebut

dengan Check and Balances System. Sistem ini diselenggarakan guna

meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja lembaga negara

dalam rangka mewujudkan transparansi lembaga negara. Dengan

demikian diharapkan tidak adanya lagi pemusatan kekuasaan pada

satu cabang kekuasaan saja.

Dalam hal pengawasan hakim MK yang berada pada lembaga negara

pengawas konstitusi ini, tampaknya masih belum adanya sistem

check and balances yang efektif. Hal inilah kiranya yang

menggelitik penulis untuk menulis kepincangan sistem Check and

8 Lita Tyesta ALW. 2012.Ringkasan Disertasi: Menata Ulang Kerangka Hukum Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Menuju Negara Hukum Demokratis.

6

Balances di tubuh MK. Pemikiran ini muncul dikarenakan MK

merupakan lembaga negara yang memutus sengketa dengan putusan

yang final dan mengikat. Sehingga apabila putusan telah

dijatuhkan, tidak ada lagi upaya hukum untuk membatalkan

putusan tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengawasan kepada

hakim MK agar dalam memutus perkara benar-benar berdasarkan

pertimbangan yang matang. Selama ini telah diatur adanya

pengusulan hakim MK dari tiga lembaga negara sebagai wujud

saling mengimbangi. Meskipun demikian hingga saat ini belum

ada pengaturan mengenai pengawasan hakim MK oleh lembaga lain.

Melalui peraturan MK Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Tata Cara

Pemberhentian Hakim Konstitusi telah dibentuk Majelis

Kehormatan MK yang memiliki wewenang dalam hal mengawasi hakim

MK. Namun dalam hemat penulis, Majelis Kehormatan ada pada

tubuh yang sama, yaitu MK. Hal ini tentu mengurangi

keobjektifannya dalam mengawasi perilaku hakim.

Majelis Kehormatan MK sebagaimana disebutkan dalam pasal 1

Angka 7 PMK Nomor 4 Tahun 2012 merupakan perangkat yang

dibentuk MK untuk memantau, memeriksa, dan menegakkan kode

etik dan pedoman perilaku hakim. Dari pengertian tersebut,

dapat diketahui bahwa Majelis Kehormatan adalah dibentuk oleh

internal MK sendiri. Dalam kewenangannya Majelis Kehormatan

secara implisit berwenang mengawasi hakim MK. Oleh karena itu,

apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik maupun perilaku

yang tidak sesuai maka hakim MK wajib melakukan pembelaan di

depan Majelis Kehormatan. Hal ini rancu apabila kita melihat

perbandingan terhadap lembaga lain di Indonesia dalam

menjalankan fungsi Check and Balancesnya. Pada lembaga eksekutif,

apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau hal yang

dilarang oleh undang-undang, maka ia wajib bertanggungjawab7

kepada MPR sebagai perwujudan rakyat yang memilihnya. Hal ini

tentu mengindikasikan adanya hubungan saling mengimbangi dan

saling mengawasi antara Eksekutif dan Yudikatif. Namun lain

halnya dengan MK. Apabila Hakim MK melanggar kode etik atau

melakukan perbuatan yang tidak sesuai maka menurut peraturan

MK tersebut, MK hanya mempertanggungjawabkan kepada Majelis

Kehormatan. Dalam hemat penulis, hal ini merupakan sebuah

lingkaran di satu tubuh kekuasaan. Majelis Kehormatan yang

dibentuk oleh MK sendiri berwenang menilai dan mengawasi MK

serta berwenang menentukan bahwa hakim MK tersebut melanggar

hukum atau tidak. Apabila membandingkan dengan eksekutif

sebagaimana dituliskan diatas, seharusnya yang berwenang

menerima pertanggungjawaban hakim MK adalah lembaga yang

mengusulkan hakim tersebut.

Hakim MK yang terdiri dari sembilan orang diusulkan masing-

masing tiga orang oleh MA, Presiden dan DPR. Seharusnya, tiga

lembaga tersebutlah yang menerima pertanggungjawaban hakim.

Hal ini dikarenakan lembaga-lembaga tersebut pulalah yang

mengusulkan untuk menduduki jabatan hakim. Melalui pengawasan

oleh lembaga-lembaga itu diharapkan sistem check and balances tidak

hanya berlaku bagi pengusulan hakim MK saja. Namun lebih dari

itu sistem mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara

seharusnya juga dalam hal pengawasan dan pemberhentian hakim.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengawasan hakim MK ini masih

belum mencerminkan sistem Check and Balances. Sehingga dimungkinkan

adanya nepotisme dalam kelembagaan MK sendiri. Hal ini

dikarenakan masih memusatnya kekuasaan di tubuh MK. Dengan

demikian hal ini perlu menjadi renungan pemikiran bersama

dalam rangka menegakkan demokrasi di Indonesia. Apabila hal

ini masih dipertahankan, ditakutkan nantinya keberadaan MK8

yang dinilai sebagai lembaga yang super body, kekuasaannya makin

terpusat. MK sebagai The Guardian of Constitution seharusnya menjadi

pengawal munculnya demokrasi yang bermartabat di Indonesia.

Kesimpulan

Sistem Check and Balances antar lembaga negara menjadi hal yang

sangat penting dalam rangka penerapan sistem pemisahan

kekuasaan di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang

demokratis seharusnya mengupayakan menjadi negara

kesejahteraan bagi rakyatnya atau welfare state. Negara demokratis

yang mengedepankan kesejahteraan tentunya harus mampu

menerapkan prinsip saling mengawasi antar lembaga negara yang

ada.

Sejak era reformasi lembaga negara menempati kedudukan yang

sama. Tidak ada lagi lembaga negara tertinggi di Indonesia.

Hal ini menjadikan penting suatu pengawasan dan pengimbangan

diantara lembaga negara yang ada.

Atas amanah UUD NRI Tahun 1945, salah satu lembaga negara

baru di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam

menjalankan tugasnya, MK berwenang memberikan putusan yang

bersifat final dan mengikat. Oleh karena wewenangnya itu, maka

seharusnya ada lembaga negara lain yang mengawasi dan

mengimbangi peran lembaga tersebut. Dalam rangka pengusulan

anggotanya, sistem mengimbangi telah terpenuhi. Namun sejak

tahun 2006 fungsi pengawasan terhadap MK menjadi pincang. MK

mengeluarkan putusan bahwa KY tidak dapat mengawasi hakim MA

dan hakim MK. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada

lagi sistem pengawasan di tubuh MK.

Menjawab hal itu tahun 2012 muncul peraturan MK yang

memunculkan Majelis Kehormatan MK yang berwenang untuk

menerima pertanggungjawaban hakim MK serta berwenang menjaga9

perilaku hakim MK. Padahal majelis tersebut dibentuk oleh MK

sediri. Hal ini tentu memberikan gambaran mbuletnya pengawasan

di MK. Kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan semakin

besar.

Dalam hal ini, penulis mencoba memberikan solusi atas

permasalahan yang terjadi. Apabila putusan MK di tahun 2006

telah menghilangkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim MK

tentu putusan tersebut tidak dapat dicabut kembali.

Konsekuensinya adalah memberikan solusi untuk memunculkan

lembaga lain yang mengawasi hakim MK. Melalui tulisan ini,

penulis memberikan saran agar ketiga lembaga negara yang

mengusulkan hakim MK kembali turun tangan dalam pengawasan

hakim MK. Sehingga apabila terjadi hal-hal yang melanggar kode

etik maupun perbuatan yang tidak sesuai dapat dilakukan

penarikan kembali hakim MK oleh lembaga pengusul. Dengan

demikian, Majelis Kehormatan diharapkan hanya memberikan

praduga dan pertanggungjawabannya di depan tiga lembaga

pengusul. Hal ini dilakukan agar prinsip Check and Balances dapat

berjalan dengan baik. Sehingga hal ini dapat mengurangi

pemusatan kekuasaan dalam satu lembaga negara. Melalui

pengawasan inilah diharapkan MK kedepan dapat menjadi lembaga

penjaga konstitusi yang bersih, transparan, dan dapat

dipercaya. Hal ini diperlukan mengingat kewenangan MK yang

sangat mendasar bagi kehidupan bernegara di Indonesia.

10