Post on 21-Mar-2023
PERUBAHAN LAHAN TAMBAK
DI KECAMATAN BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR
MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI MENENGAH
TAHUN 2010 DAN 2016
ABD. MALIK
G411 12 266
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
PERUBAHAN LAHAN TAMBAK
DI KECAMATAN BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR
MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI MENENGAH
TAHUN 2010 DAN 2016
ABD. MALIK
G111 12 266
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Teknologi Pertanian
Pada
Program Studi Keteknikan Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iv
Abd. Malik (G411 12 266), Perubahan Lahan Tambak di KecamatanBiringkanaya Kota Makassar Menggunakan Citra Satelit ResolusiMenengah Tahun 2010 dan 2016, Di bawah Bimbingan Ir. TotokPrawitosari, MS dan Dr. Ir. Sitti Nur Faridah, MP
ABSTRAK
Lahan tambak merupakan salah satu jenis dari lahan pertanian. Secara umum,tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakanuntuk memelihara bandeng, udang laut dan hewan air lainnya yang biasa hidup diair payau. Penerapan Sistem Informasi Geografis pada pengelolaan lahanpertanian pada saat ini sangat berkembang pesat. SIG terdiri dari perangkat kerasdan lunak serta pengguna (user) yang bekerja bersama-sama dalam menganalisisdata geografis penutupan lahan sehingga dapat menghasilkan informasi tata gunalahan pertanian berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memetakandan mengidentifikasi penyebaran lahan tambak dengan menggunakan citra satelitSPOT 4 tahun 2010 dan citra satelit landsat 8 tahun 2016 di KecamatanBiringkanaya Kota Makassar. Metode yang digunakan untuk perubahan lahantambak di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar yaitu dengan melakukanpengolahan data pada software pengolahan citra, salah satunya adalah softwareArcGIS. Pada software ini digunakan klasifikasi tidak terpantau dan klasifikasiterpantau dengan metode maximum likelihood classification dan melakukanoverlay. Luas lahan tambak yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra pada tahun2010 sebesar 329,17 ha, lahan bukan tambak sebesar 3.354,22 ha dan luas lahantambak pada tahun 2016 sebesar 200,2 ha, lahan bukan tambak sebesar 3.483,19ha. Perubahan lahan tambak di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar padatahun 2010 hingga 2016 yaitu lahan tambak yang tetap sebagai lahan tambaksebesar 168,8 ha (5%), lahan tambak menjadi lahan bukan tambak sebesar 160,37ha (4%), lahan bukan tambak menjadi lahan tambak sebesar 31,4 ha (1%) danlahan bukan tambak tetap sebagai lahan bukan tambak sebesar 3.322,82 ha (90%).
Kata Kunci : Lahan Tambak, Sistem Informasi Geografis, Citra Satelit ResolusiMenengah.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya, serta tidak lupa penulis kirim salam serta shalawat kepada
Nabiullah Muhammad SAW yang senantiasa bersama umatnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana di Departemen Teknologi Pertanian.
Selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada :
1. Ir. Totok Prawitosari, MS dan Dr. Ir. Siti Nur Faridah, MP selaku Dosen
Pembimbing yang senantiasa memberikan arahan selama pelaksanaan
penelitian sampai penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. H. Mahmud Achmad dan Dr. Ir. Daniel, M.Eng.Sc selaku Dosen
Penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi
ini.
3. Para Dosen Departemen Teknologi Pertanian Program Studi Keteknikan
Pertanian yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama
proses studi.
Akhirnya penulis berharap Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca di
Unhas khususnya Departemen Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2018
Penulis.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
membantu, baik bantuan dalam materi maupun non materi seperti :
1. Orang tua yang saya banggakan, ibunda Hasnah R dan almarhum ayahanda
Abd. Rasyid serta saudara-saudariku yang selalu menjadi motivasi dalam
melanjutkan pendidikan formal.
2. Balai Penginderaan Jauh LAPAN Kota Parepare yang memberikan sumbangsi
bahan dan arahan dalam penelitian ini.
3. Saudara(i) seperjuangan BAJAK 2012 yang selama ini telah memberi banyak
sumbangsi selama menempuh pendidikan tinggi ini serta memberikan banyak
saran ,bantuan sekaligus menjadi menyejuk saat penat dalam menyelesaikan
penelitian ini.
4. Saudara(i) yang terlingkup dalam Keluarga Mahasiswa Departemen Teknologi
Pertanian Universitas Hasanuddin (KMD TP UH) yang memberikan banyak
pembelajaran serta bantuan dan kerjasamanya dalam melancarkan penelitian
ini.
vii
RIWAYAT HIDUP
Abd. Malik biasa disapa dengan Malik, lahir di Kendari
pada tanggal 24 Desember 1992 yang merupakan anak keempat
dari sembilan bersaudara, pasangan bapak Abd. Rasyid dan Ibu
Hasnah R.
Jenjang Pendidikan formal yang pernah dilalui adalah :
1. Memulai pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 7 Makassar dan lanjut di SD
Negeri Baddoka Makassar pada tahun 1998 sampai tahun 2005.
2. Melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 32
Makassar pada tahun 2005 sampai tahun 2008.
3. Melanjutkan pendidikan sekolah menengah mtas di SMA Negeri Tapalang
Kab. Mamuju pada tahun 2008 sampai tahun 2011.
4. Melnjutkan pendidikan tinggi di Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun
2012 sampai tahun 2018.
Selama menempuh pendidikan di dunia kampus, penulis juga aktif
diorganisasi dalam kampus seperti :
1. Anggota Departemen Keprofesian Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian
Unhas (HIMATEPA UH) dan Anggota Komisi Pemilu Raya di BEM KEMA
FAPERTA UH Periode 2013-2014.
2. Koord. Departemen Hubungan Antar Lembaga Himpunan Mahasiswa
Teknologi Pertanian Unhas (HIMATEPA UH) Periode 2014-2015.
3. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian Unhas (HIMATEPA
UH) Periode 2015-2016.
4. Koord. Biro Pengaderan Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian Unhas
(HIMATEPA UH) dan Koord. Steering Commitee Pembinaan Awal Himpunan
Mahasiswa Teknologi Pertanian Unhas (HIMATEPA UH) Periode 2016-2017.
5. Anggota Komisi Pengembangan Komunitas Agro Industri di Dewan
Perwakilan Anggota Teknologi Pertanian Unhas (DPA TP UH ) dan Steering
Commitee Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Nasional di Ikatan
Mahasiswa Teknologi Pertanian Indonesia (IMTPI) Periode 2017-2018.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..........................................................................HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................ABSTRAK ..............................................................................................KATA PENGANTAR ...........................................................................UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................RIWAYAT HIDUP ...............................................................................DAFTAR ISI ..........................................................................................DAFTAR TABEL ..................................................................................DAFTAR GAMBAR .............................................................................DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................I. PENDAHULUAN .............................................................................
1.1 Latar Belakang .............................................................................1.2 Rumusan Masalah .......................................................................1.3 Tujuan dan Kegunaan ..................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................2.1 Lahan Tambak .............................................................................2.2 Perubahan Lahan .........................................................................2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ...............................................2.4 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ..........................................2.5 Citra (Image) ...............................................................................
2.5.1 Citra Landsat ...................................................................2.5.2 Citra SPOT ......................................................................
2.6 Interpretasi Citra ..........................................................................2.7 Klasifikasi ....................................................................................2.8 Global Positioning System (GPS) ...............................................2.9 Perangkat Lunak (Software) Pengolah Citra dan SIG..................
2.9.1 ArcView GIS ...................................................................2.9.2 ER Mapper ......................................................................
III. METODOLOGI ..............................................................................3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................3.2 Alat dan Bahan ............................................................................3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................
3.3.1 Pengumpulan Data ...........................................................3.3.2 Komposit Citra ................................................................3.3.3 Memotong (Cropping) ....................................................3.3.4 Koreksi Radiometrik .......................................................3.3.5 Koreksi Geometrik ..........................................................3.3.6 Pengambilan Lokasi Sampel (Training Area) .................3.3.7 Mengklasifikasi Training Area .......................................3.3.8 Validasi Data ...................................................................3.3.9 Analisis Keakuratan .........................................................3.3.10 Output ..............................................................................
3.4 Diagram Alir Penelitian ...............................................................VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ..............................................
iiiiivvviviiviiixxixii11223345679101214161616171818181818181919191919192021222323
ix
4.2 Klasifikasi Citra ...........................................................................4.3 Perubahan Penggunaan Lahan .....................................................
4.3.1 Penggunaan Lahan Tahun 2010 ......................................4.3.2 Penggunaan Lahan Tahun 2016 ......................................
4.4 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2016 .......................4.5 Validasi Akurasi Citra .................................................................4.6 Analisis Tingkat Akurasi Citra ....................................................
V. PENUTUP .........................................................................................5.1 Kesimpulan ..................................................................................5.2 Saran .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................LAMPIRAN ...........................................................................................
232424262835353737373840
x
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Landsat 8 Operational Landsat Imager (OLI) dan Thermal Infrared
Sensor (TIRS) .....................................................................................
Karakteristik dan Kemampuan dari Seri SPOT-4 ..............................
Tingkat Akurasi Citra .........................................................................
Hasil Klasifikasi Citra SPOT 4 Tahun 2010 .......................................
Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 Tahun 2016 ....................................
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan 2016 ........................
Perbandingan Luas Tambak Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik
dan Hasil Klasifikasi Citra ..................................................................
Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2016 ......................
Hasil Validasi Citra Tahun 2016 ........................................................
Akurasi Citra Tahun 2016 ..................................................................
10
11
21
24
26
28
29
30
35
35
xi
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Diagram Alir Penelitian .................................................................
Diagram Persentase Luas Lahan Tambak dan Lahan Bukan
Tambak Kecamatan Biringkanaya Tahun 2010 ............................
Peta Klasifikasi Kecamatan Biringkanaya Tahun 2010 ................
Diagram Persentase Luas Lahan Tambak dan Lahan Bukan
Tambak Kecamatan Biringkanaya Tahun 2016 ............................
Peta Klasifikasi Kecamatan Biringkanaya Tahun 2016 ................
Grafik Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan 2016 di Kecamatan
Biringkanaya .................................................................................
Peta Perubahan Lahan Tambak yang tetap Lahan Tambak pada
Tahun 2010-2016 ..........................................................................
Peta Perubahan Lahan Tambak menjadi Lahan Bukan Tambak
pada Tahun 2010-2016 ..................................................................
Peta Perubahan Lahan Bukan Tambak menjadi Lahan Tambak
pada Tahun 2010-2016 ..................................................................
Peta Perubahan Lahan Bukan Tambak yang tetap Lahan Bukan
Tambak pada Tahun 2010-2016 ....................................................
Peta Citra SPOT 4 Tahun 2010 .....................................................
Peta Citra Landsat 8 Tahun 2016 ..................................................
Peta Titik Validasi Lahan Bukan Tambak Dengan Menggunakan
Citra Landsat 8 Tahun 2016 ..........................................................
Peta Titik Validasi Lahan Tambak Dengan Menggunakan Citra
Landsat 8 Tahun 2016 ...................................................................
Peta Batas Administrasi Kecamatan Biringkanaya Kota
Makassar ........................................................................................
Pengambilan Titik .........................................................................
Lahan Bukan Tambak dan Lahan Tambak ....................................
22
24
25
26
27
28
31
32
33
34
48
49
50
51
52
53
53
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menghitung Akurasi Penggunaan Lahan .........................................
Titik Koordinat Validasi ...................................................................
Peta Citra Asli ..................................................................................
Peta Hasil Validasi ...........................................................................
Peta Batas Administrasi ...................................................................
Dokumentasi .....................................................................................
40
42
48
50
52
53
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan didefinisikan sebagai suatu kesatuan lingkungan fisik yang terdiri
dari tanah, tata air, iklim, vegetasi dan segala aktivitas manusia yang
mempengaruhi pengembangannya. Berdasarkan definisi tersebut lahan di bagi
berdasarkan tipologi penggunaannya secara umum seperti lahan pertanian, lahan
permukiman, lahan industri dan lain-lain. Lahan tambak merupakan salah satu
jenis dari lahan pertanian. Secara umum, Tambak merupakan kolam yang
dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng,
udang laut dan hewan air lainnya yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk
ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang. Kebutuhan
air tawar dipenuhi dari sungai yang bermuara di laut.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan
dan penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas
sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Pesisir merupakan wilayah yang
rentan terhadap perubahan, baik perubahan yang terjadi karena proses alami dan
perubahan karena campur tangan manusia. Kegiatan-kegiatan di kawasan pesisir
seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya (tambak), pelabuhan, pariwisata,
permukiman dan suaka alam dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan
geomorfologi kawasan pesisir. Konversi lahan dan pemanfaatan lahan di kawasan
pesisir menjadi salah satu penyebab utama terjadinya permasalahan pada kawasan
pesisir yang mempengaruhi penyimpangan tata guna lahan di kawasan tersebut.
Salah satu daerah yang memiliki lahan tambak yang telah mengalami alih
fungsi lahan yaitu Kecamatan Biringkanaya. Kecamatan Biringkanaya merupakan
kecamatan terluas diantara kecamatan-kecamatan lain yang ada di Kota Makassar,
luasnya 48,22 km2 atau sekitar 27,43% dari luas keseluruhan Kota Makassar dan
berbatasan langsung dengan Kabupaten Maros. Topografi wilayah kecamatan ini
mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian elevasi 1-19 m
di atas permukaan laut. Potensi sumberdaya alam yang ada di kecamatan ini
antara lain di sektor pertanian dan perikanan. Berdasarkan data BPS (2013), di
subsektor pertanian, luas lahan peruntukannya sebagai lahan sawah yakni 657 ha
2
dan lahan tegalan 284 ha. Subsektor perikanan darat, luas lahan peruntukan
sebagai tambak 479 ha dengan produksi 149,80 ton. Secara umum, Pantai
Kecamatan Biringkanaya sebagian besar merupakan pantai berlumpur dan
bervegetasi mangrove serta merupakan pantai yang landai. Hanya sebagian kecil
pantai ini tergolong cadas.
Perubahan lahan dapat di lihat dengan pendekatan menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG) untuk menambah informasi yang akan didapat, seperti
sistem input data peta yang baik. Pendekatan ini menerapkan teknologi berbasis
geospasial. SIG memiliki kemampuan untuk mempresentasikan unsur-unsur yang
terdapat di permukaan bumi dengan cara mengumpulkan, menyimpan,
memanipulasi, menganalisa dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam
(bereferensi geografis). Penerapan SIG dapat mengintegrasikan berbagai
karakterisik lingkungan wilayah pesisir baik secara spasial maupun deskriptif.
Berdasarkan uraian di atas dan potensi yang ada di kecamatan Biringkanaya,
maka perlu dilakukan penelitian dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) mengenai
perubahan lahan tambak di kecamatan Biringkanaya kota Makassar menggunakan
citra satelit resolusi menengah tahun 2010 dan 2016 untuk membuktikan kenyataan
yang ada dilapangan dengan hasil klasifikasi dari citra satelit.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Berapa persentase lahan tambak yang terkonversi menjadi lahan bukan
tambak dari Tahun 2010-2016 ?
2. Berapa persentase tingkat keakuratan klasifikasi citra satelit resolusi
menengah untuk perubahan lahan tambak di Kecamatan Biringkanaya
kota Makassar ?
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan dan mengidentifikasi
penyebaran lahan tambak dengan menggunakan citra satelit resolusi menengah di
kecamatan Biringkanaya kota Makassar pada tahun 2010 dan 2016.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai dasar informasi tentang
perubahan penggunaan lahan tambak yang telah terjadi di Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar pada tahun 2010 dan 2016.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Tambak
Lahan didefinisikan sebagai suatu kesatuan lingkungan fisik yang terdiri
dari tanah, tata air, iklim, vegetasi dan segala aktivitas manusia yang
mempengaruhi pengembangannya. Berdasarkan definisi tersebut lahan di bagi
berdasarkan tipologi penggunaannya secara umum seperti lahan pertanian, lahan
permukiman, lahan industri dan lain-lain. Hasil klasifikasi dan berdasarkan
karaketristik dan kesesuaian lahan dengan menggunakan penamaan dari sistem
tertentu disebut satuan lahan. Perubahan penggunaan lahan terjadi sebagai akibat
dari kebutuhan lahan yang terus meningkat diikuti perkembangan penduduk yang
tak terkendali. Dalam skala nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir,
setidaknya terdapat dua tren utama proses lahan yang menonjol, yakni proses
deforestasi dan urbanisasi- sub urbanisasi (Kitamura dan Rustiadi, 1997).
Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan,
dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang
terkontrol (UU No. 31/2004). Kegiatan-kegiatan yang umum termasuk di
dalamnya adalah budidaya ikan, budidaya udang, budidaya tiram dan budidaya
rumput laut (alga). Di Indonesia, budidaya perairan dilakukan melalui berbagai
sarana. Kegiatan budidaya yang paling umum dilakukan di kolam/empang,
tambak, tangki, karamba, serta karamba apung. Definisi tambak atau kolam
menurut Biggs et. al. (2005) adalah badan air yang berukuran 1 m2 hingga 2 ha
yang bersifat permanen atau musiman yang terbentuk secara alami atau buatan
manusia. Tambak atau kolam cenderung berada pada lahan dengan lapisan tanah
yang kurang porus. Istilah kolam biasanya digunakan untuk tambak yang terdapat
di daratan dengan air tawar, sedangkan tambak untuk air payau atau air asin.
Biggs et. al. (2005) menyebutkan salah satu fungsi tambak bagi ekosistem
perairan adalah terjadinya pengkayaan jenis biota air. Bertambahnya jenis biota
tersebut berasal dari pengenalan biota-biota yang dibudidayakan.
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat
wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik yang kering maupun yang terendam
air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat air laut seperti pasang surut, angin laut
4
dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan olek kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri et. al., 1996).
Ekosistem di wilayah pesisir menurut Saifullah (2002) diklasifikasikan
menjadi 2 tipe :
1. Pesisir yang terendam air secara musiman
Pesisir ini mencakup ekosistem literal yang terdiri atas pantai pasir dangkal,
pantai batu, pantai karang/terumbu karang, pantai lumpur, hutan lumpur, hutan
mangrove yang terdiri atas vegetasi terra rawa payau (salt marsh), hutan rawa
air tawar (rapat) dan hutan rawa gambut.
2. Pesisir tidak terendam
Pesisir ini mencakup formasi vegetasi pers-caprae berupa pantai pasir atau batu
karang, formasi vegetasi baringtonia berupa pantai karang atau batu yang
bertebing curam hingga mencapai ketinggian 50 m di atas permukaan laut.
Kriteria utama yang harus dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian
SIG bagi pengelolaan wilayah pesisir adalah sebagai berikut Saifullah (2002) :
1. Model dan struktur data yang digunakan dapat dipakai pada wilayah yang luas
dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi
2. Data spasial maupun non sapasial yang telah tersusun, dapat diperbaiki,
disimpan, dapat diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efisien
dan efektif.
3. Tersedianya peralatan dengan kemampuan analisis spasial untuk pemodelan
wilayah pesisir, yang dapat melakukan proses-proses analisis dan pemodelan
tersebut. Volume dan kapasitas dari SIG juga penting dipertimbangkan
terutama untuk proyek-proyek besar. Tetapi hal ini dapat ditanggulangi dengan
berbagai konfigurasi perangkat keras.
2.2 Perubahan Lahan
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spititual. Penggunaan lahan dapat ke dalam dua
golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan
5
pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air
dan komoditi yang diusahan dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan atau
tanaman yang terdapat atas lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian
dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industry, rekreasi,
pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2006).
Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting
untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan
permukaan bumi. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis penampakan
yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan
dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Dengan demikian,
pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan menjadi hal yang
penting untuk perencanaan lahan dan kegiatan pengelolaan tanah
(Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi
dalam pengalokasian sumber daya lahan darisatu penggunaan ke penggunaan
lainnya. Namun dalam kajian land economics, pengertiannya difokuskan pada
proses dialih gunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke
penggunaan non pertanian atau perkotaan. Perubahan guna lahan ini melibatkan
baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah
luar (Pierce, 1981).
Perubahan guna lahan adalah interaksi yang disebabkan oleh tiga
komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem pembangunan, sistem aktivitas
dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks perekonomian
aktivitas perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan
konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan
mendukung aktivitas produksi diatas. Sedangkan pada kegiatan konsurnsi
membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan
(Chapin, 1996).
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang
dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate,
6
memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang
bereferensi geografi. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk
memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan,
memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data-data yang berhubungan
dengan posisi-posisi di permukaan bumi. Data yang mempresentasikan dunia
nyata disajikan dalam bentuk-bentuk dan proses-proses yang direlasikan dengan
lokasi-lokasi geografi di permukaan bumi (Prahasta, 2002).
SIG juga merupakan manajemen data spasial (keruangan) dan non-spasial.
Data spasial mempunyai koordinat posisi lintang dan bujur, merupakan unsur-
unsur yang terlihat seperti jalan, sungai, area dan menunjukkan topologi (letak,
bentuk, luas dan batas). Data non-spasial (atribut) mempunyai variabel sesuai
dengan tema (jenis tanah, jenis penggunaan lahan) yang masing-masing diuraikan
lebih rinci dalam penjelasan kelas, nilai dan nama. Perbedaan yang nyata adalah
bahwa SIG difungsikan sebagai kerangka kerja matematis dari sistem pemetaan
tradisional (Prahasta, 2002).
Hubungan SIG dengan komponen-komponen penyusunnya, data yang
terkait terdiri dari (Prahasta, 2002) :
1. Data Input
Bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut
dari berbagai sumber, beranggung jawab dalam mengkonversi atau
mentransformasikan format-format data-data aslinya kedalam format yang
dapat digunakan oleh SIG
2. Data Output
Menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh sebagian basisdata baik
dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : tabel, grafik, peta dan
lain-lain
3. Data Manajemen
Mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut kedalam sebuah basisdata
sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit
4. Data Manipulasi dan Analisis
Menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG, melakukan manipulasi
dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
7
Tujuan utama SIG adalah untuk memproses data spasial. Dalam
memenuhi tujuan tersebut, SIG harus mampu untuk (Prahasta, 2002) :
1. Menciptakan abstraksi dijital dari data spasial (encode)
2. Menyimpan data spasial secara efektif (store)
3. Mampu diberikan tambahan informasi sebagai variabel data spasial (analyze)
4. Menampilkan hasil analisis dan menerangkan hubungan antara data spasial
dengan variabelnya (display).
2.4 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh adalah cara atau teknik utnuk memperoleh informasi
tentang objek daerah atau gejala yang didapat dengan analisis data yang diperoleh
melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek daerah atau fenomena yang
dikaji (Lillesand dan Kefer, 1990).
Secara umum penginderaan jauh menunjukkan pada aktifitas perekaman,
pengamatan dan penangkapan obyek atau peristiwa dari jarak jauh. Dalam
pengideraan jauh, sensor tidak langsung kontak dengan obyek yang diamati.
Informasi tersebut membutuhkan alat penghantar secara fisik untuk perjalanan
dari obyek ke sensor melalui medium. Dalam hal ini penginderaan jauh lebih
dibatasi pada suatu teknologi perolehan informasi permukaan bumi (laut dan
daratan) dan atmosfer dengan menggunakan sensor diatas platform airborne
(pesawat udara, balon udara) dan spaceborne (satelit, pesawat ruang angkasa)
(Barkey et.al., 2009).
Dalam penginderaan jauh, yang berfungsi sebagai sensor adalah kamera
yang terpasang pada platform dalam hal ini biasanya satelit atau pesawat terbang.
Sensor dan satelit yang berada di luar angkasa menangkap pancaran sinar
matahari yang dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi, merekamnya, dan
memproduksi data penginderaan jauh yang lazim disebut citra satelit. Apabila
yang dipakai adalah pesawat terbang, citra yang dihasilkan biasanya disebut foto
udara. (Ekadinata et.al., 2008).
2.5 Citra (Image)
Citra (image) merupakan representasi dua dimensi dari suatu objek di
dunia nyata. Khusus pada bidang remote sensing (dan pengolahan citra dijital),
8
citra merupakan gambaran sebagian permukaan bumi sebagaimana terlihat dari
ruang angkasa (satelit) atau dari udara (pesawat terbang). Citra ini dapat
diimplementasikan ke dalam dua bentuk umum: analog atau dijital. Foto udara
atau peta foto (hardcopy) adalah salah satu bentuk dari citra analog, sementara
citra-citra satelit yang merupakan data hasil rekaman sistem sensor-sensor (radar,
detector, radiometer, scanner, dan lain sejenisnya) hampir semuanya merupakan
bentuk citra dijital (Prahasta, 2008).
Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh
bisa dibedakan atas :
1. Resolusi spasial
Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang
bisa dibedakan dengan bentuk permukaan disekitarnya, atau sesuatu yang
ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk
mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu objek di bumi selain
mendeteksi (detectable) keberadaannya.
2. Resolusi spektral
Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif
terhadap sensor
3. Resolusi radiometrik
Merupakan ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi
(radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu objek oleh permukaan
bumi.
4. Resolusi Temporal
Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama
(revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT
26 hari dan lain sebagainya.
Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk
grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat
keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah
256 shade grayscale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih.
Untuk citra multispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai
dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-
9
masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan
untuk masing masing band dalam bentuk hitan putih maupun kombinasi 3 band
sekaligus, yang disebut color composites. Citra, sebagai dataset, bisa
dimanipulasi menggunakan algorithm (persamaan matematis). Manipulasi bisa
merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi
geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari
data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan secara
matematis untuk membuat composite dari beberapa dataset. Produk data ini,
disebut derived products, bisa dihasilkan dengan beberapa penghitungan
matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo et.al., 2003)
2.5.1 Citra Landsat
Sistem landsat diluncurkan pertama kali oleh NASA (The National
Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pada tanggal 22 Juli
1972 dengan nama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite). Wahana yang
digunakan untuk sensor ERTS-1 ini adalah satelit cuaca NIMBUS. Sesaat
sebelum peluncuran ERTS B yaitu pada tanggal 22 Januari 1975, NASA secara
resmi mengganti nama progran ERTS menjadi program Landsat untuk
membedakan dengan program satelit oceanografi sesaat yang telah direncanakan.
Oleh karena itu ERTS-1 diubah namanya menjadi landsat 1, ERTS B diubah
namanya menjadi Landsat 2. Sedangkan generasi selanjutnya yaitu Landsat 3
diluncurkan 5 Maret 1978 (Lillesand dan Kiefer 1990). Satelit Landsat merupakan
salah satu satelit yang bertujuan memantau sumber daya lahan yang
dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.
Resolusi spasial dari citra landsat cukup baik (30 m) dan kombinasi sensor
radiometriknya pun cukup tinggi. Di samping itu cakupan area per lembar
(scene)-nya cukup luas sehingga efisien untuk digunakan dalam aplikasi pemetaan
di area yang besar. Resolusi temporal landsat adalah 16 hari dan karena jangka
waktu pengoperasian yang cukup lama, Landsat memiliki kelengkapan data
historis amat baik (Ekadinata et.al., 2008).
Pemanfaatan citra Landsat telah banyak digunakan untuk beberapa
kegiatan survey maupun penelitian, antara lain geologi, pertambangan,
geomorfologi, hidrologi, dan kehutanan. Dalam setiap perekaman, citra landsat
10
mempunyai cakupan area 185 km x 185 km, sehingga aspek dari objek tertentu
yang cukup luas dapat diidentifikasikan tanpa menjelajah seluruh daerah yang
disurvei atau yang diteliti. Dengan demikian, metode ini dapat menghemat waktu
maupun biaya dalam pelaksanaannya dibanding cara konvensional atau survey
secara teristris di lapangan (Wahyunto, et.al.,1995).
Satelit Landsat 8 yang direncankaan durasi misi selama 5-10 tahun ini
dilengkapi dua sensor yang merupakan hasil pengembangan dari sensor yang
terdapat pada satelit-satelit pada program landsat sebelumnya. Kedua sensor
tersebut yaitu Sensor Operational Land Manager (OLI) yng terdiri dari 9 band
serta Sensor Thermal InfraRed Sensors (TIRS) yang terdiri dari 2 band
(Purwadhi, 2009).
Untuk sensor OLI yabg dibuat oleh Ball Aerospace, terdapat 2 band yang
baru terdapat pada satelit program landsat yaitu Deep Blue Coastal/Aerosol Band
(0.433-0.453 mikrometer) untuk deteksi wilayah pesisir serta Shortwave-InfraRed
Cirrus Band (1.360-1.390 mikrometer) untuk deteksi awan cirrus. Sedangkan sisa
7 band lainnya merupakan band yang sebelumnya juga telah terdapat pada sensor
satelit Landsat generasi sebelumnya. Untuk lebih detailnya, berikut ini daftar 9
band yang terdapat papa sensor OLI. Sedangkan untuk sensor TIRS yang dibuat
oleh NASA Goddard Soace Flight Center, akan terdapat dua band pada region
thermal yang mempunyai resolusi spasial 100 meter (Purwadhi, 2009).
Tabel 1. Landsat 8 Operational Landsat Imager (OLI) dan Thermal Infrared
Sensor (TIRS). Band Panjang gelombang Resolusi
Spasial
Kegunaan untuk pemetaan
Band 1- coastalaerosol 0,43-0,45 30 meter Studi pesisir dan aerosol
Band 2- blue 0,45-0,51 30 meter Pemetaan batimetri, membedakan tanah
Band 3- green 0,53-0,59 30 meter Menekankan vegetasi puncak, yang berguna
untuk menilai kekuatan tanaman
Band 4- red 0,64-0,67 30 meter Mendiskriminasikan lereng vegetasi
Band 5- Near Infrared (NIR) 0,85-0,88 30 meter Menekankan konten biomassa dan garis
pantai
Band 6- Short-wave Infrared
(SWIR) 1
1,57-1,65 30 meter Mendiskriminasikan kadar air dan vegetasi:
menembus awan tipis
Band 7- Short-wave Infrared
(SWIR) 2
2,11-2,29 30 meter Peningkatan kadar air tanah
dan vegetasi, penetrasi awan
tipis
Band 8- Panchromatic 0,50-0,68 15 meter Definisi gambar yang lebih tajam
Band 9- Cirrus 1,36-1,38 30 meter Peningkatan deteksi
kontaminasi awan cirrus
Band 10- TIRS 1 10,60-11,19 100 meter Pemetaan termal dan perkiraan kelembaban tanah
Band 11- TIRS 2 11,5-12,51 100 meter Peningkatan pemetaan dan perkiraan
kelembaban tanah
Sumber : Landsat.usgs.gov, 2017
11
2.5.2 Citra SPOT
Menurut Purwadhi (2009), SPOT (Satelite pour I’Observationdela terre)
merupakan sistem satelit observasi bumi milik Perancis. Sistem SPOT yang
dilengkapi dengan sistem penerima untuk pengendali satelit, sistem perograman,
dan sistem produksi citra. Sampai saat ini SPOT terdiri dari empat seri sistem
wahana, yaitu seri pertama SPOT 1, SPOT 2, dan SPOT 3, seri kedua SPOT 4,
seri ketiga SPOT 5.
1. Seri pertama adalah SPOT 1, SPOT 2, dan SPOT 3, yang didesain dengan
karakteristik identik, yaitu resolusi menengah, stereo, dan pengulangan orbit
yang fleksibel menggunakan empat instrument pada saluran pankromatik,
hijau, merah, dan inframerah dekat. SPOT 1 diluncurkan Februari 1986, SPOT
2 diluncurkan Januari 1990, SPOT 3 diluncurkan September 1993 yang
beroperasi hingga November 1996.
2. Seri kedua SPOT 4 diluncurkan Maret 1998, didesain dengan perbaikan kinerja,
menambahkan satu saluran/kanal (band) inframerah dekat dan instrument
vegetasi, sehingga terdapat enam instrument yaitu pankromatik, hijau, merah,
dua inframerah dekat, instrument vegetasi/saluran biru.
3. Seri ketiga SPOT 5 diluncurkan bulan Mei 2002. Sistem perekaman citra stereo
SPOT 5, dengan sudut pandang 200 dan tampilan (overlay) 50%. SPOT 5 telah
mengalami perombakan besar pada tingkat ketelitian.
Tabel 2. Karakteristik dan Kemampuan dari Seri SPOT-4
Saluran Spektral RESOLUSI SERI SPOT-4
HRVIR Instrumen Vegetasi
PA: 0,61- 0,68 µm (Pankromatik) 10 m
B0 : 0,43-0,47 µm (Saluran Biru) 1000 m
B1: 0,49-0,61 µm (Saluran Hijau) 20 m
B2: 0,61-0,68 µm (Saluran Merah) 20 m 1000 m
B3: 0,78-0,89 µm (Saluran NIR) 20 m 1000 m
B4: 1,58-1,75 µm (Saluran SWIR) 20 m 1000 m
Sudut Pandang (Fiel or View) 60 m 2.259 m
Resolusi Temporal (Standar) (hari) 26
Keterangan
HRVIR: High Resolution Visible to Near
Infrared
VINIR: Visible and Near Infrared (MS)
NIR: Near Infrared
PA: Pankromatik
B: Band (saluran/kanal)
MS: Multispektral (B1+B2+B3)
MX: Monokromatik (B4)
SWIR: Short Wave Infrared
Sumber : SPOT image, 2002
12
SPOT 6 merupakan salah satu satelit generasi terbaru dari keluarga satelit
SPOT yang dimiliki vendor Airbus Defence and Space (dulu bernama
ASTRIUM). SPOT 6 diluncurkan September 2012 di Satish DHawan Space
Center-India menggunakan kendaraan Polar Satelitte Launch Vehicle (PSLV).
Satelit ini menghasilkan data citra satelit dalam model pankromatik dengan
resolusi spasial 1.5 meter yang terdiri dari 1 band (band pankromatik) serta data
citra satelit dalam moda multispectral dengan resolusi spasial 6 meter yang terdiri
dari 4 band (band merah, hijau, biru dan inframerah dekat). SPOT 7 diluncurkan
pada Juni 2014. Yang menarik, SPOT 7 ini hampir mirip spesifikasinya dengan
satelit SPOT 6, sehingga boleh dikatakan satelit SPOT 7 ini kembaran dari satelit
SPOT 6 dengan usia lebih muda. Kemiripan antara satelit SPOT 6 dengan satelit
SPOT 7 dimulai dari posisi orbit yang sama, kedua satelit tersebut dapat merekam
area seluas 60 km x 60 km, dengan sekali sapuan perekaman, serta bagaimana
satelit SPOT 7 ini didesain untuk menghasilkan data citra satelit dalam moda
multispektral dengan resolusi spasial 6 meter (Purwadhi, 2009).
2.6 Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah proses pengkajian citra melalui proses identifikasi
dan penilaian mengenai objek yang tampak pada citra. Dengan kata lain,
interpretasi citra merupakan suatu proses pengenalan objek yang berupa gambar
(citra) untuk digunakan dalam disiplin ilmu tertentu seperti Geologi, Geografi,
Ekologi, Geodesi dan disiplin ilmu lainnya (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), tahapan kegiatan yang diperlukan
dalam pengenalan objek yang tergambar pada citra, yaitu :
1. Deteksi yaitu pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh
sensor.
2. Identifikasi yaitu mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan.
3. Analisis yaitu mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terperinci.
Pengenalan objek merupakan bagian penting dalam interpretasi citra.
Untuk itu, identitas dan jenis objek pada citra sangat diperlukan dalam analisis
pemecahan masalah. Karakteristik objek pada citra dapat digunakan untuk
mengenali objek yang dimaksud dengan unsur interpretasi. Menurut Lillesand dan
Kiefer (1990), unsur interpretasi yang dimaksud dalam hal ini adalah :
13
1. Rona dan Warna
Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer terhadap
suatu objek pada citra penginderaan jauh. Rona ialah tingkat kegelapan
atau tingkat kecerahan objek pada citra, sedangkan warna ialah wujud
yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih
sempit dari spektrum tampak.
2. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan
konfigurasi atau kerangka suatu objek sebagaimana terekam pada citra
penginderaan jauh.
3. Ukuran
Ukuran merupakan ciri objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi
lereng dan volume. Ukuran objek citra berupa skala.
4. Tekstur
Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur dinyatakan
dengan kasar, halus atau sedang. Contoh: hutan bertekstur kasar, belukar
bertekstur sedang, semak bertekstur halus.
5. Pola
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak
objek bentukan manusia dan beberapa objek alamiah. Contoh: perkebunan
karet atau kelapa sawit akan mudah dibedakan dengan hutan dengan pola
dan jarak tanam yang seragam.
6. Bayangan
Bayangan sering menjadi kunci pengenlan yang penting bagi beberapa
objek dengan karakteristik tertentu. Sebagai contoh, jika objek menara
diambil tepat dari atas, objek tersebut tersebut tidak dapat diindefikasi
secara langsung.
Interpretasi yang dilakukan dengan bantuan komputer, proses interpretasi
dimulai dari pengolahan citra (pra-pengolahan yang meliputi koreksi-koreksi
citra). Rekonstruksi citra penajaman citra hingga klasikasi objek, yaitu mendeteksi
kellas atau jenis objek pada citra, klasifikasi objek (Purwadhi, 2009).
Pra-pengolahan data atau pengolahan awal terdiri atas pansharpen, koreksi
geometrik, koreksi radiometrik. Pansharpen merupakan proses fusi antara citra
14
pankromatik (high-resolution) dengan citra multispektral (lowresolution), proses
ini dilakukan untuk memperoleh citra dengan kualitas high-resolution dan natural
colour image. Koreksi geometrik merupakan pembetulan posisi citra akibat
kesalahan geometrik. Koreksi geometrik yang bersifat internal disebabkan
konfigurasi sensornya, dan kesalahan eksternal karena perubahan ketinggian,
posisi, kecepatan wahana, gerak rotasi dan kelengkungan bumi. Koreksi
radiometrik merupakan pembetulan citra akibat kesalahan pergeseran nilai atau
derajat keabuan elemen gambar (pixel) pada citra yang disebabkan oleh kesalahan
sistem optik (Purwadhi, 2009).
Rekonstruksi citra yaitu perbaikan citra karena adanya gangguan pada nilai
digital citra yang sesungguhnya. Rekonstruksi citra juga disebut sebagai registrasi
citra, yaitu proses membuat posisi lokasi dari setiap pixel citra pada beberapa citra
yang saling cocok/sesuai satu sama lain (Purwadhi, 2009).
Penajaman citra bertujuan untuk peningkatan mutu citra agar dapat
digunakan pada tahap selanjutnya baik secara pengolahan digital maupun
interpretasi visual. Dan klasifikasi objek yaitu mengidentifikasi jenis objek pada
citra dan membagi dalam beberapa kelas berdasarkan spectral, spasial, dan pola
temporal citra. Klasifikasi ini terbagi atas dua, yaitu klasifikasi terpantau
(supervised classification) dan klasifikasi tak terpantau (unsupervised
clasification) (Purwadhi, 2009).
2.7 Klasifikasi
Klasifikasi diartikan sebagai proses pengelompokan pixel ke dalam kelas-
kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
(brightness value/BV atau digital number/DN) pixel yang bersangkutan
(Jaya, 2002).
Kegunaan klasifikasi dalam evaluasi dan pengelolaan lahan adalah untuk
mengumpulkan informasi, mengorganisasikan dan mengkomunikasikannya untuk
keperluan pengambilan keputusan. Banyak sekali informasi yang dibutuhkan
untuk keperluan ini, yang dapat dikelompokkan secara umum ke dalam dua tipe
yaitu kultural dan alami. Informasi kultural meliputi aspek sosial, ekonomi,
administratif dan aspek komoditi lahan. Informasi alami meliputi sumber daya
15
dasar yang menentukan kemampuan lahan itu sendiri untuk dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat (Prashasta, 2002).
Validasi lapangan (ground truth) yaitu pengukuran ketelitian hasil
pengukuran pada citra dengan kenyataan di lapangan. Hal ini dilakukan untuk
mengecek kebenaran hasil analisis, mencakup pengamatan keadaan lahan dan
jenis penggunaan lahan/vegetasi di sekitarnya. Cara pengukurannya dengan
menetukan posisi geografis lokasi pengamatan di peta (citra), kemudian mengukur
koordinat lokasi pengamatan di lapangan dengan menggunakan GPS (Global
Positioning System). Pekerjaan klasifikasi terkontrol tidak dapat dilepaskan dari
pemilihan daerah contoh (training area) untuk setiap kelas yang nantinya
dijadikan sebagai acuan dalam proses klasifikasi. Pemilihan daerah contoh tidak
dapat dilakukan secara sembarangan. Metode yang dilakukan harus mampu
memberikan daerah contoh yang seimbang. Prosedur yang digunakan adalah
dengan menentukan (separbility) antar kelas dan pemilihan daerah contoh
dilakukan dengan menggunakan cek terhadap variasi keterpisahan spektral kelas
(Prashasta, 2002).
Produser accuracy adalah tingkat akurasi pada klasifikasi penutupan
lahan. Sedangkan user accuracy adalah jumlah titik benar berbanding lurus
dengan jumlah titik keseluruhan pada klasifikasi. Pada produser accuracy terdapat
omission error sedangkan pada user accuracy terdapat commission error.
Omission error adalah persentase kesalahan pembacaan yang seharusnya adalah
kebenaran tetapi terbaca sebagai kesalahan pada area penutupan lahan. Sedangkan
commission error adalah persentase kesalahan pembacaan yang seharusnya
merupakan kesalahan tetapi terbaca sebagai kebenaran (Prashasta, 2002).
United State Geological Survey (USGS) (2002), memiliki kriteria sebagai
berikut:
1. tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan
jauh tidak kurang dari 85%
2. ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama
3. hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke
yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain
4. sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas
16
5. kategori harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup
lahannya
6. sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang
diperoleh pada waktu yang berbeda
7. kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat
diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan
8. pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan
9. harus dapat dimungkinkan untuk membandingkan dengan data penggunaan
lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan dating
10. lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.
2.8 Global Positioning System (GPS)
GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi dengan
menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Departemen Pertahanan
Keamanan Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan
kecepatan tiga dimensi dan informasi mengenai waktu secara kontinu. GPS terdiri
dari tiga segmen utama, segmen angkasa (space segmen) yang terdiri dari satelit-
satelit GPS, segmen sistem kontrol (control segment) yang terdiri dari stasion-
stasion pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment)
yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal
data GPS. Konsep dasar pada penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi
(pengikatan kebelakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara
simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui
(Pratomo, 2004).
2.9 Perangkat Lunak (Software) Pengolah Citra dan SIG
2.9.1 ArcView GIS
Kemampuan Arcview GIS pada berbagai serinya tidaklah
diragukan lagi. Arcview GIS adalah software yang dikeluarkan oleh ESRI
(Environmental Systems Research Institute). Perangkat lunak ini
memberikan fasilitas teknis yang berkaitan dengan pengelolaan data
spasial. Kemampuan grafis yang baik dan kemampuan teknis dalam
pengolahan data spasial tersebut memberikan kekuatan secara nyata pada
17
Arcview untuk melakukan analisis spasial. Kekuatan analisis inilah yang
pada akhirnya menjadikan Arcview banyak diterapkan dalam berbagai
pekerjaan, seperti analisis pemasaran, perencanaan wilayah dan tata ruang,
sistem informasi persil, pengendalian dampak lingkungan, bahkan untuk
keperluan militer (Budiyanto, 2010).
2.9.2 ER Mapper
ER Mapper adalah salah satu nama perangkat lunak pengolahan
citra dijital (geografis) yang sering digunakan di Indonesia dan di banyak
Negara lainnya. Perangkat lunak yang memiliki moto helping people
manage the earth dan menjadi proprietary Earth Resource Mapping Ltd.
ini sejak awalnya telah dilengkapi dengan lingkungan pengembangan (user
interface) yang menarik dan dikembangkan dengan menggunakan
pendekatan skema sistem pemrosesan citra dijital non-tradisional dengan
menciptakan konsep algorithm (Prahasta, 2008).
Dengan ER Mapper, kita dapat menyimpan pemrosesan citra dari
awal hingga akhir dalam sebuah algorithm dengan ukuran file yang kecil.
Dengan memisahkan penyimpanan file proses pengolahan dan hasilnya,
kita akan dapat menghemat isi hardisk. Untuk pengolahan citra resolusi
tinggi seperti IKONOS, QUICKBIRD, ALOS, AVIRIS, dan lain-lain, ER
Mapper mampu menanganinya (Putra, 2011).
18
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2017 - Agustus 2017 di
wilayah Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit komputer,
software pengolah data citra, Global Positioning System (GPS), dan software
pengolah data SIG.
Bahan yang digunakan adalah citra satelit landsat 8 Tahun 2016, citra
satelit SPOT 4 Tahun 2010 , serta data vektor berupa file shp Kecamatan
Biringkanaya, Kota Makassar.
3.3 Prosedur Penelitian
Adapun prosedur dalam penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut:
3.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah tahap pengumpulan data-data yang meliputi
pengadaan data yang akan digunakan dalam penelitian. Adapun data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data batas administrasi Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar (BPS, 2010)
2. Citra Satelit Landsat 8 tahun 2016 dan Citra Satelit SPOT 4 tahun 2010.
3. Peta Rupa Bumi Kota Makassar (Badan Informasi Geospasial, 2016).
4. Data luas lahan Kota Makassar (Kecamatan Biringkanaya dalam Angka, 2014).
3.3.2 Komposit Citra
Komposit citra yaitu menggabungkan 3 band yaitu red, green, dan blue
yang bertujuan untuk memudahkan identifikasi warna dari penggunaan lahan.
Untuk mengidentifikasi penggunaan lahan, digunakan band 6, 5 dan 4 pada citra
satelit landsat dan digunakan 4, 1 dan 3 pada citra satelit SPOT 4.
19
3.3.3 Memotong (Cropping)
Data citra cropping bertujuan untuk memotong citra sesuai dengan batas
daerah penelitian. Cropping citra ini menggunakan software ArcView GIS dengan
tetap memperhatikan cakupan citra yang dianalisis. Cakupan citra yang digunakan
diambil dari wilayah yang tercakup dalam ke-3 scene data yang akan diolah.
3.3.4 Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan pembetulan citra akibat kesalahan
radiometrik atau cacat radiometrik. Koreksi radiometrik ini bertujuan untuk
memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan warna asli.
3.3.5 Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik merupakan pembetulan mengenai posisi citra akibat
kesalahan geometrik. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan
titik kontrol yang dikenal dengan Ground Control Point (GCP).
3.3.6 Pengambilan Lokasi Sampel (Training Area)
Pengambilan lokasi sampel dilakukan pada lokasi yang teridentifikasi
sebagai tambak, dilanjutkan membuat analisis training area dengan cara
melakukan digitasi titik koordinat kedalam citra berdasarkan titik koordinat lokasi
sampel masing-masing.
3.3.7 Mengklasifikasi Training Area
Klasifikasi training area dilakukan berdasarkan pengelompokkan training
area yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga terbaca berdasarkan warna yang
telah ditetapkan.
3.3.8 Validasi Data
Validasi data adalah cara yang digunakan untuk mengetahui akurasi citra
dalam mengelompokkan objek yang teridentifikasi sebagai jenis-jenis penutupan
lahan yang sesuai fungsinya. Prosedur melakukan validasi data adalah sebagai
berikut:
1. Mencatat koordinat-koordinat lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai
kelas-kelas penggunaan yang dibutuhkan untuk hasil citra.
20
2. Mengecek lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai kelas-kelas
penggunaan yaitu lahan tambak dan lahan bukan tambak.
3. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan tambak dan
lahan bukan tambak serta terbukti sebagai lahan tambak dan lahan bukan
tambak.
4. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan tambak dan
lahan bukan tambak tetapi bukan lahan tambak dan lahan bukan tambak.
5. Mengulang poin (1) sampai (4) di atas untuk lokasi penggunaan lain.
3.3.9 Analisis Keakuratan
Analisis keakuratan digunakan untuk menghitung tingkat akurasi
klasifikasi terpantau. Persamaan yang digunakan adalah:
1. Prosedur menghitung User Accuracy
𝑈 =𝑧
𝑁𝐹𝑎𝑘𝑡𝑎 𝑥 100% ………………………………… (1)
Keterangan :
Z = Jumlah koordinat yang terbukti pada validasi
N Fakta = jumlah koordinat validasi
2. Prosedur menghitung Produser Accuracy
𝑃 =𝑧
𝑁𝐹𝑎𝑘𝑡𝑎 𝑥 100% ………………………………… (2)
Keterangan :
Z = Jumlah koordinat yang terbukti pada validasi
N Fakta = Jumlah koordinat setelah validasi
3. Prosedur menghitung Overal Accuracy
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑎𝑙 𝐴𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 =𝑋
𝑁 𝑥 100% ………………………………… (3)
Keterangan:
X = Jumlah total yang terbukti pada validasi
N = Jumlah total yang divalidasi
4. Menghitung Koefisien Persen Matriks
𝐾ℎ𝑎𝑡 =𝑁 ∑ 𝑥𝑖𝑖− ∑ (𝑋𝑖+ ∗ 𝑋+𝑖 ) 𝑟
𝑖=1𝑟𝑖=1
𝑁2− ∑ (𝑋𝑖+ ∗ 𝑋+𝑖 ) 𝑟𝑖=1
………………………………… (4)
21
Keterangan:
𝐾ℎ𝑎𝑡 = Koefisien Kappa
N = Jumlah sampel matriks
∑ 𝑥𝑖𝑖𝑟𝑖=1 = Perkalian dari penjumlahan diagonal matriks
∑ (𝑋𝑖+ ∗ 𝑋+𝑖 ) 𝑟𝑖=1 = perkalian dari penjumlahan antar baris kolom
Tabel 3. Tingkat Akurasi Citra
Jenis Lahan
Produser
Accuracy
(%)
Omnision
Error (%)
User
Accuracy
(%)
Commision
Error (%)
Tambak
Bukan Tambak
3.3.10 Output
Adapun output dari hasil penelitian ini adalah layout peta dasar
klasifikasi lahan tambak dan lahan bukan tambak yang terdapat di
Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar tahun 2010 dan 2016.
22
3.4 Diagram Alir Penelitian
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Mulai
Citra Satelit Landsat
Tahun 2010 dan 2016
Cropping
Koreksi Geometrik
Koreksi Radiometrik
Penentuan Training Area
Klasifikasi Citra
Validasi Data
Menghitung Akurasi
Layout Peta
Perubahan Lahan
Selesai
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119o 24’17,38” BT
dan 5o8’6,19” LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari
permukaan laut. Kondisi topografi daerah relatif mendatar dengan kemiringan 0-
5o ke arah Barat, diapit dua muara sungai yakni Sungai Tallo yang bermuara di
bagian Utara kota dan Sungai Jeneberang yang bermuara di Selatan kota. Total
luas daerah Kota Makassar kurang lebih 17.577 ha termasuk 11 pulau di Selat
Makassar dan luas wilayah perairan kurang lebih 100 km 2 (BPS, 2010).
Kecamatan Biringkanaya terdiri dari 7 kelurahan dengan luas wilayah
4822 ha. Secara administrasi luas setiap kelurahan yaitu kelurahan Paccerakkang
seluas 780 ha, kelurahan Daya 581 ha, Kelurahan Pai 541 ha, kelurahan Sudiang
Raya seluas 878 ha, kelurahan sudiang 1.349 ha, kelurahan Bulurokeng seluas 431
ha, dan kelurahan Untia seluas 289 ha (Biringkanaya Dalam Angka, 2014).
Kecamatan Biringkanaya merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kota
Makassar yang berbatasan dengan Kabupaten Maros di sebelah utara, Kabupaten
Maros di sebelah timur, Kecamatan Tamalanrea di sebelah selatan, dan
Kecamatan Tallo disebelah barat. Kecamatan Biringkanaya merupakan daerah
bukan pantai dengan topografi ketinggian antara permukaan laut. Menurut
jaraknya, letak masing-masing kelurahan ke ibukota Kecamatan berkisar 1 km
sampai dengan jarak 5-10 km (Biringkanaya Dalam Angka, 2014).
4.2 Klasifikasi Citra
Setelah proses pengolahan citra seperti koreksi geometrik untuk
memperbaiki nilai pergeseran bumi, koreksi radiometrik untuk memperbaiki nilai
piksel dari citra, melakukan pemotongan, serta melakukan identifikasi lahan
diperoleh hasil klasifikasi dengan menggunakan citra tahun 2010 dan 2016.
Klasifikasi penutupan lahan diperoleh melalui pengolahan citra menggunakan
sistem training area. Training area dilakukan dengan cara mendigitasi titik
koordinat pada citra berdasarkan titik koordinat lokasi pengambilan sampel.
Interpretasi pada penelitian ini di khususkan pada lahan tambak yang terdapat di
Kecamatan Biringkanaya di Kota Makassar.
24
Tambak
9%
Lahan bukan
Tambak
91%
Persentase Luas Lahan Tambak Tahun 2010
4.3 Perubahan Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 tahun 2010 dan citra landsat 8
tahun 2016 diperoleh hasil:
4.3.1 Penggunaan Lahan Tahun 2010
Pada proses interpretasi, citra SPOT 4 tahun 2010 menghasilkan
data penggunaan lahan di kecamatan Biringkanaya menjadi 2 kelas yaitu
lahan tambak dan lahan bukan tambak. Perbedaan luas penggunaan lahan
tahun 2010 pada kecamatan Biringkanaya dapat dilihat dari hasil koreksi
berupa persebaran warna tiap kelas tutupan dan penggunaan lahan.
Berdasarkan Berdasarkan Tabel 4. dan Gambar 2. hasil klasifikasi
Citra SPOT 4 tahun 2010, menunjukkan bahwa area terluas adalah lahan
bukan tambak, yang memiliki luas mencapai 3.354,22 ha. Dan
penggunnaan lahan kedua yaitu tambak dengan luas sebesar 329,17 ha.
Tabel 4. Hasil Klasifikasi Citra SPOT 4 Tahun 2010
No. Penggunaan Lahan Luas Area (ha) Persentase (%)
1. Tambak 329,17 9
2. Bukan Tambak 3.354,22 91
Total 3683,39 100
Gambar 2. Diagram persentase luas lahan tambak dan lahan bukan tambak
Kecamatan Biringkanaya tahun 2010
Peta hasil klasifikasi penggunaan lahan pada tahun 2010
kecamatan Biringkanaya disajikan pada Gambar 3.
26
4.3.2 Penggunaan Lahan Tahun 2016
Pada proses interpretasi, citra Landsat 8 tahun 2016 menghasilkan
data penggunaan lahan di kecamatan Biringkanaya menjadi 2 kelas yaitu
lahan tambak dan lahan bukan tambak. Perbedaan luas penggunaan lahan
tahun 2016 pada kecamatan Biringkanaya dapat dilihat dari hasil koreksi
berupa persebaran warna tiap kelas tutupan dan penggunaan lahan.
Berdasarkan Berdasarkan Tabel 5. dan Gambar 4. hasil klasifikasi
Citra Landsat 8 tahun 2016, menunjukkan bahwa area terluas adalah lahan
bukan tambak, yang memiliki luas mencapai 3.354,22 ha. Dan
penggunnaan lahan kedua yaitu tambak dengan luas sebesar 329,17 ha.
Tabel 5. Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 Tahun 2016
No. Penggunaan Lahan Luas Area (ha) Persentase (%)
1. Tambak 200,2 5
2. Bukan Tambak 3.483,19 95
Total 3683,39 100
Gambar 4. Diagram persentase luas lahan tambak dan lahan bukan
tambak Kecamatan Biringkanaya Tahun 2016
Peta hasil klasifikasi penggunaan lahan pada tahun 2016
kecamatan Biringkanaya disajikan pada gambar 5.
Tambak
5%
Lahan bukan
tambak
95%
Persentase Luas Lahan Tambak Tahun 2016
28
4.4 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2016
Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 tahun 2010 dan citra landsat 8
tahun 2016, menunjukkan bahwa selisih perubahan lahan tambak dan lahan bukan
tambak dapat dilihat pada tabel 6. berikut ini:
Tabel 6. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan 2016
No. Penggunaan
Lahan
Tahun 2010 Tahun 2016 Perubahan
Ha % Ha % Ha %
1. Tambak 329,17 9 200,2 5 - 128,97 4
2. Bukan Tambak 3.354,22 91 3.483,19 95 + 128,97 4
Total 3683,39 100 3683,39 100
Gambar 6. Grafik penggunaan lahan tahun 2010 dan 2016
di Kecamatan Biringkanaya
Pada Tabel 6. di atas, menunjukkan bahwa pada tahun 2010-2016, lahan
tambak menurun. Dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 luas tambak mencapai
329,17 ha dan menurun pada tahun 2016 sebesar 200,2 ha. Sedangkan lahan
bukan tambak mengalami peningkatan dari 3354,22 ha menjadi 3483,19 ha.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pada rentang waktu 6 tahun,
telah terjadi alih fungsi lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo (1989),
bahwa alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan
penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Tahun 2010 Tahun 2016
Tambak
Pemukiman
Luas
(ha)
Bukan Tambak
29
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut.Alih
fungsi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat
dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan
wilayah. Sebagian besar alih fungsi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya
ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis
dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi
lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan disekitarnya juga beralih fungsi
secara progresif. Pada Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar, perubahan alih
fungsi lahan terjadi disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk,
serta banyaknya kebutuhan untuk kegiatan non pertanian. Ini juga disebabkan
karena letak kecamatan Biringkanaya terletak pada daerah perkotaan sehingga
perubahan alih fungsi lahan meningkat sangat pesat.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Makassar Tahun 2013
(BPS, 2013) mencatat bahwa luas lahan tambak di Kecamatan Biringkanaya
seluas 479 ha. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7. di bawah ini.
Tabel 7. Perbandingan Luas Tambak Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik dan
Hasil Klasifikasi Citra
Penggunaan
Lahan
Tambak
Luas Lahan (ha)
Badan Pusat
Statistik Tahun
2013
Citra SPOT 4
Tahun 2010
Citra Landsat 8
Tahun 2016
Tambak 479 329,17 200,2
Selisih luas tambak antara data BPS 2013 dan hasil klasifikasi citra SPOT
4 tahun 2010 sebesar 149,83 ha dan antara data BPS 2013 dengan hasil klasifikasi
citra landsat 8 tahun 2016 sebesar 178,8 ha. Perbedaan ini disebabkan karena
penelitian ini menggunakan metode penginderaan jarak jauh (remote sensing),
sedangkan BPS yang langsung melakukan pengukuran di lapangan, sehingga
lahan tambak dapat teridentifikasi dengan baik dan jelas.
30
Tabel 8. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2016.
Perubahan Lahan Tahun 2016
Total Tambak (ha) Bukan Tambak (ha)
Tahun
2010
Tambak (ha) 168,8 160,37 329,17
Bukan Tambak (ha) 31,4 3.322,82 3.354,22
Total 200,2 3.483,19 3.683,39
Berdasarkan hasil overlay perubahan lahan tahun 2010 dan tahun 2016
menghasilkan perubahan warna dalam interpretasi citra sebagai berikut :
1. Lahan tambak yang tetap menjadi tambak sebesar 168,8 ha. Berikut adalah
Gambar 7., peta hasil overlay tambak yang tetap tambak pada tahun 2010-
2016 Kecamatan Biringkanaya.
2. Perubahan lahan tambak menjadi lahan bukan tambak pada hasil overlay
yaitu sebesar 160,37 ha. Berikut adalah gambar 8., peta hasil overlay lahan
tambak menjadi lahan bukan tambak pada tahun 2010-2016 Kecamatan
Biringkanaya.
3. Perubahan lahan bukan tambak menjadi lahan tambak pada hasil overlay
yaitu sebesar 31,4 ha. Berikut adalah gambar 9., peta hasil overlay lahan
bukan tambak menjadi lahan tambak pada tahun 2010-2016 Kecamatan
Biringkanaya.
4. Lahan bukan tambak yang tetap menjadi lahan bukan tambak sebesar
3.322,82 ha. Berikut adalah gambar 10., peta hasil overlay lahan bukan
tambak yang tetap lahan bukan tambak pada tahun 2010-2016 Kecamatan
Biringkanaya.
32
Gambar 8. Peta perubahan lahan tambak menjadi lahan bukan tambak pada tahun 2010-2016
PETA LAHAN TAMBAK MENJADI LAHAN BUKAN TAMBAK ANTARA TAHUN 2010 – 2016 DI KECAMATAN BIRINGKANAYA
KOTA MAKASSAR
33
Gambar 9. Peta perubahan lahan bukan tambak menjadi lahan tambak pada tahun 2010-2016
PETA LAHAN BUKAN TAMBAK MENJADI LAHAN TAMBAK ANTARA TAHUN 2010 – 2016 DI KECAMATAN BIRINGKANAYA
KOTA MAKASSAR
34
Gambar 10. Peta perubahan lahan bukan tambak yang tetap lahan bukan tambak pada tahun 2010-2016
PETA LAHAN BUKAN TAMBAK TETAP LAHAN BUKAN TAMBAK ANTARA TAHUN 2010 – 2016 DI KECAMATAN BIRINGKANAYA
KOTA MAKASSAR
35
4.5 Validasi Akurasi Citra
Dari pengamatan langsung di lapangan dengan membandingkan hasil klasifikasi
citra maka diperoleh hasil validasi pada tabel 9. dibawah ini :
Tabel 9. Hasil Validasi Citra Tahun 2016
Data Hasil
Klasifikasi
Data Acuan Lapangan Total
Area Tambak Bukan Tambak
Tambak 44 6 50
Bukan Tambak 5 45 50
Total 49 51 100
Dari hasil validasi citra dan pengamatan langsung di lapangan, jumlah titik yang
teridentifikasi sebagai lahan tambak adalah 44 titik dan titik yang terbaca sebagai lahan
bukan tambak yaitu terdiri dari 6 titik dari 50 titik acuan, sedangkan jumlah titik yang
teridentifikasi sebagai lahan bukan tambak yaitu 45 titik dan titik yang terbaca sebagai
lahan tambak yaitu terdiri dari 6 titik dari 50 titik acuan.
4.6 Analisis Tingkat Akurasi Citra
Dari hasil validasi citra dan perhitungan yang dilakukan, maka diperoleh
persentase producer accuracy (untuk mengetahui tingkat akurasi berdasarkan fakta
yang diperoleh di lapangan), ommission error (untuk mengetahui kesalahan yang terjadi
pada pembacaan citra dengan melihat kenyataan di lapangan), user accuracy (untuk
mengetahui tingkat akurasi berdasarkan hasil pembacaan citra), commission error
(untuk mengetahui kesalahan yang terjadi pada proses identifikasi citra yang dilakukan
pada perangkat lunak pengolah citra data raster dan vektor). Untuk masing-masing tiap
kelas penggunaan lahan sebagai berikut :
Tabel 10. Akurasi Citra Tahun 2016
Penggunaan
Lahan
Producer
Accuracy (%)
Ommission
Error (%)
User Accuracy
(%)
Commission
Error (%)
Tambak 89,79 10,21 88 12
Bukan Tambak 88,24 11,76 90 10
Tabel 10. di atas menunjukkan bahwa persentase tingkat akurasi setiap
penggunaan lahan bervariasi. Producer accuracy untuk penggunaan lahan tambak
sebesar 89,79%, user accuracy sebesar 88%. Pada lahan bukan tambak producer
accuracy sebesar 88,24% dan user accuracy sebesar 90%. Matriks kesalahan dapat
dilihat pada persentase ommission error dan commission error pada Tabel 12.
36
Ommision error untuk lahan tambak sebesar 10,21% sedangkan lahan bukan tambak
sebesar 11,76%. Commision error pada lahan tambak sebesar 12% dan pada lahan
bukan tambak sebesar 10%.
Nilai overall accuracy untuk tahun 2016 adalah sebesar 89%. Hal ini sesuai
dengan pendapat United State Geological Survey (USGS) (2002), bahwa tingkat
ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan atau penggunaan
lahan yang disusun yaitu tingkat ketelitian klasifikasi/interpretasi minimum dengan
menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85%. Kesalahan (error) yang sering
terjadi dalam penelitian ini adalah mengkategorikan lahan tambak sebagai lahan bukan
tambak atau sebaliknya lahan bukan tambak sebagai lahan tambak. Pada penelitian ini
citra digunakan itu tepat pada bulan kering, sehingga untuk membedakan piksel pada
tutupan lahan yang satu dengan yang lain harus benar-benar melakukan proses
klasifikasi sesuai dengan identifikasi warna yang ada pada citra. Sekitar 6 training area
yang teridentifikasi sebagai lahan tambak ternyata titik tersebut adalah lahan bukan
tambak dan 5 training area teridentifikasi sebagai lahan bukan tambak ternyata titik
tersebut adalah lahan tambak.
37
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Perubahan lahan di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar pada tahun 2010
hingga 2016 yaitu lahan tambak yang tetap sebagai lahan tambak sebesar 168,8
ha (5%), lahan tambak menjadi lahan bukan tambak sebesar 160,37 ha (4%),
lahan bukan tambak menjadi lahan tambak sebesar 31,4 ha (1%) dan lahan
bukan tambak tetap sebagai lahan bukan tambak sebesar 3.322,82 ha (90%).
2. Tingkat akurasi citra sebesar 78% dan nilai overall accuracy sebesar 89%.
5.2 Saran
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar baik
yang mengenai penggunaan lahan maupun penelitian lainnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Badan Informasi Geospasial. 2016. Peta Rupa Bumi. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Makassar Dalam Angka. Sulawesi Selatan.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kecanatab Biringkanaya Dalam Angka. Sulawesi Selatan.
Barkey R. A., A. Achmad, S. Rijal, A. S. Mahbub, A. S. Soma, dan A. B. Talebe. 2009.
Buku Ajar Sistem Informasi Spasial Kehutanan. Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin, Makassar. .
Biggs, J., P. Wlliams, P. Whitfield, P. Nicolet & A. Weatherby, 2005. 15 years of pond
assessment in Britain : Marine and Freshwater Wcosystems 15 : 693 – 714.
Budiyanto, Eko. 2010. Sistem Informasi Geografis dengan ArcView GIS. Penerbit
ANDI. Yogyakarta.
Chapin, F. S and Kaiser, Edward J, 1979. Urban Land Use Planning. University of
Illnois Press. Chicago.
Dahuri, R, R. Jakub, P, G Sapta, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradna Paramita. Jakarta.
Ekadinata A., S. Dewi, D. P. Hadi, D. K. Nugroho, dan F. Johana. 2008. Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya
Alam. World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia.
Ekadinata A., S. Dewi, D. P. Hadi, D. K. Nugroho, dan F. Johana. 2008. Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya
Alam. World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia.
Jaya. I.N.S. 2002. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan. Laboratorium
Inventarsisasi Hutan, Jurusan Manjemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Kitamura, T. and E. Rustiadi, 1997, Indonesia Model. Center for Global Environmental
Research. ISSN 1341-4356. CGER-1027-’97.
Lillesand, T. M dan F. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh Dan Penginterpretasian
Citra. Alih bahasa oleh R.Dulbahri, P. Suharsono.
Pierce, J. T. 1981. Conversion of Rular Land to Urban: A Canadian Profile dalam
Profesional Geografer. No. 33.
39
Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. SIG: Tutorial
ArcView. Penerbit Informatika: Bandung.
Prahasta, Eddy. 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan
Citra Dijital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Penerbit INFORMATIKA.
Bandung.
Pratomo, D. Guruh. 2004. Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Teknis Pengukuran dan
Pemetaan Kota. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Puntodewo, A., S. Dewi, J. Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Center for International Forestry Research.
Bogor
Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2009. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Univeritas Negeri Semarang.
Putra, E. Hardika. 2011. Penginderaan Jauh dengan ERMapper. Graha Ilmu. Jakarta.
Saifullah. 2002 Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu.
Usulan Thesis. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
USGS. 2002. Landsat 7 Science Data User Handbook.
Wahyunto, H. H. Djohar dan Marsoedi, D. S. 1995. Analisis Data Penginderaan Jauh
Untuk Mendukung Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Sawah di Daerah Jawa
Barat. hlm. 37-49. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1. Menghitung Akurasi Penggunaan Lahan
1. Menghitung User Accuracy
a. Tambak =44
50 𝑥 100%
= 88 %
b. Lahan bukan tambak =45
50 𝑥 100%
= 90 %
2. Menghitung Produser Accuracy
a. Tambak =44
49 𝑥 100%
= 89,79 %
b. Lahan bukan tambak =45
51 𝑥 100%
= 88,24 %
3. Menghitung Overal Accuracy
=89
100 𝑥 100%
= 89 %
4. Menghitung Koefisien Persen Matriks
𝐾ℎ𝑎𝑡 =100(89)−((50𝑥49)+(51𝑥50))
1002− ((50𝑥49)+(51𝑥50))
=8900−5000
10000−5000
=8900 − 5000
10000 − 5000
= 0,78
= 78 %
5. Menghitung Commision error dan Ommision Error
1. Commision error
a. Tambak = 100 % - 88 % = 12 %
41
b. Lahan bukan tambak = 100 % - 90 % = 10 %
2. Ommision Error
a. Tambak = 100 % - 89,79 % = 10,21 %
b. Lahan bukan tambak = 100 % - 88,24 % = 11,76 %
42
Lampiran 2. Titik Koordinat
Tabel 11. Titik Koordinat Validasi Lahan bukan Tambak
NO. Koordinat X Koordinat Y
1 119.484806 -5.066568
2 119.482973 -5.063559
3 119.481323 -5.064828
4 119.476127 -5.063549
5 119.472267 -5.068954
6 119.480486 -5.072150
7 119.480411 -5.069170
8 119.488999 -5.069197
9 119.491412 -5.068525
10 119.492778 -5.065392
11 119.492626 -5.068816
12 119.482932 -5.071175
13 119.486072 -5.074782
14 119.495780 -5.069460
15 119.489328 -5.072414
16 119.490370 -5.070851
17 119.486575 -5.070397
18 119.499092 -5.069077
19 119.501041 -5.069874
20 119.504993 -5.068842
21 119.496923 -5.109539
22 119.474094 -5.073204
23 119.473505 -5.070918
24 119.475595 -5.073993
25 119.514566 -5.065224
26 119.484448 -5.074084
27 119.487007 -5.071899
28 119.492881 -5.072230
29 119.498157 -5.072517
30 119.497469 -5.070820
31 119.509529 -5.071575
32 119.534925 -5.121897
33 119.536042 -5.122419
34 119.523762 -5.132846
35 119.524463 -5.134683
36 119.516172 -5.148564
37 119.514929 -5.127276
38 119.510765 -5.115451
39 119.515360 -5.078577
40 119.514445 -5.068858
43
Tabel 12. Titik Koordinat Validasi Lahan Tambak
NO. Koordinat X Koordinat Y
1 119.470855 -5.068871
2 119.476737 -5.066600
3 119.469790 -5.071256
4 119.470512 -5.069770
5 119.472414 -5.072311
6 119.476496 -5.074519
7 119.477432 -5.069860
8 119.484205 -5.069508
9 119.483850 -5.061263
10 119.482689 -5.067390
11 119.480219 -5.067349
12 119.471107 -5.068794
13 119.488457 -5.067212
14 119.483403 -5.073576
15 119.491288 -5.071065
16 119.489431 -5.064389
17 119.487770 -5.071448
18 119.494647 -5.064633
19 119.492384 -5.067569
20 119.494132 -5.069022
21 119.497956 -5.071214
22 119.506973 -5.068354
23 119.477890 -5.060167
24 119.504404 -5.071321
25 119.512829 -5.068451
26 119.510988 -5.074131
27 119.506430 -5.073063
28 119.515798 -5.127831
29 119.523767 -5.132072
NO. Koordinat X Koordinat Y
41 119.493525 -5.074787
42 119.505087 -5.074042
43 119.510654 -5.075518
44 119.486459 -5.073498
45 119.496824 -5.069280
46 119.502339 -5.069527
47 119.504023 -5.070301
48 119.505777 -5.070554
49 119.511014 -5.068831
50 119.515075 -5.063923
44
NO. Koordinat X Koordinat Y
30 119.534611 -5.121497
31 119.484714 -5.064494
32 119.486779 -5.061956
33 119.497234 -5.067248
34 119.479042 -5.059846
35 119.511437 -5.115677
36 119.476737 -5.071824
37 119.481362 -5.068921
38 119.487131 -5.069046
39 119.489598 -5.070739
40 119.493187 -5.065879
41 119.485259 -5.067311
42 119.472951 -5.073711
43 119.483275 -5.059828
44 119.490911 -5.066212
45 119.473015 -5.065863
46 119.490123 -5.069734
47 119.474112 -5.064870
48 119.473605 -5.067267
49 119.474427 -5.066682
50 119.475568 -5.065581
Tabel 13. Titik Koordinat Training Area
NO. Koordinat X Koordinat Y
1 119.474.231 -5.066.879
2 119.474.341 -5.066.797
3 119.474.548 -5.066.725
4 119.474.595 -5.066.617
5 119.474.512 -5.066.494
6 119.474.473 -5.066.168
7 119.473.918 -5.066.757
8 119.474.594 -5.066.803
9 119.475.170 -5.066.733
10 119.475.180 -5.066.762
11 119.475.086 -5.066.791
12 119.474.550 -5.066.886
13 119.474.497 -5.067.042
14 119.474.589 -5.067.097
15 119.475.098 -5.067.263
16 119.475.142 -5.067.260
17 119.475.381 -5.066.811
18 119.475.466 -5.066.844
45
NO. Koordinat X Koordinat Y
19 119.475.543 -5.066.657
20 119.475.352 -5.066.591
21 119.474.769 -5.066.634
22 119.474.609 -5.066.620
23 119.474.582 -5.066.699
24 119.474.345 -5.067.043
25 119.474.268 -5.067.027
26 119.474.145 -5.067.235
27 119.474.295 -5.067.385
28 119.474.411 -5.067.102
29 119.474.493 -5.067.088
30 119.474.419 -5.067.294
31 119.474.587 -5.067.391
32 119.474.703 -5.067.200
33 119.474.614 -5.067.136
34 119.474.273 -5.067.397
35 119.474.106 -5.067.247
36 119.474.043 -5.067.447
37 119.473.967 -5.067.743
38 119.474.012 -5.067.986
39 119.474.735 -5.067.197
40 119.474.622 -5.067.399
41 119.474.531 -5.067.565
42 119.474.487 -5.067.609
43 119.474.421 -5.067.688
44 119.474.327 -5.067.679
45 119.474.243 -5.067.883
46 119.474.275 -5.067.962
47 119.475.041 -5.067.821
48 119.475.141 -5.067.818
49 119.475.132 -5.067.686
50 119.475.179 -5.067.512
51 119.475.247 -5.067.339
52 119.475.213 -5.067.284
53 119.474.800 -5.067.235
54 119.474.570 -5.066.061
55 119.474.625 -5.066.535
56 119.474.678 -5.066.560
57 119.475.343 -5.066.524
58 119.475.611 -5.066.496
59 119.475.673 -5.066.476
60 119.476.145 -5.065.679
46
NO. Koordinat X Koordinat Y
61 119.476.174 -5.065.573
62 119.475.867 -5.065.080
63 119.475.010 -5.065.743
64 119.474.829 -5.065.827
65 119.476.037 -5.072.622
66 119.476.157 -5.072.654
67 119.477.195 -5.072.830
68 119.477.251 -5.072.763
69 119.477.271 -5.072.170
70 119.477.203 -5.072.166
71 119.476.084 -5.072.252
72 119.476.037 -5.072.571
73 119.476.016 -5.072.609
74 119.472.286 -5.070.013
75 119.472.035 -5.069.763
76 119.472.072 -5.069.700
77 119.472.008 -5.069.641
78 119.471.657 -5.069.374
79 119.471.602 -5.069.402
80 119.471.430 -5.069.294
81 119.471.024 -5.069.840
82 119.471.830 -5.070.594
83 119.471.958 -5.070.408
84 119.472.448 -5.066.090
85 119.472.836 -5.066.353
86 119.473.319 -5.065.550
87 119.473.157 -5.065.341
88 119.473.055 -5.065.253
89 119.472.318 -5.065.906
90 119.472.408 -5.065.982
91 119.481.787 -5.066.295
92 119.481.624 -5.066.928
93 119.481.507 -5.066.921
94 119.481.433 -5.067.029
95 119.481.375 -5.067.230
96 119.481.423 -5.067.371
97 119.482.120 -5.067.526
98 119.482.411 -5.066.292
99 119.482.119 -5.066.275
100 119.484.759 -5.068.085
101 119.485.967 -5.068.642
102 119.486.359 -5.067.756
47
NO. Koordinat X Koordinat Y
103 119.485.082 -5.067.133
104 119.485.014 -5.067.511
105 119.484.837 -5.067.958
106 119.475.584 -5.066.641
107 119.475.527 -5.066.767
108 119.475.413 -5.067.035
109 119.475.281 -5.067.299
110 119.475.354 -5.067.322
111 119.475.529 -5.067.339
112 119.475.898 -5.067.443
113 119.475.968 -5.067.274
114 119.476.410 -5.067.484
115 119.476.527 -5.067.586
116 119.476.585 -5.067.597
117 119.476.738 -5.067.404
118 119.476.792 -5.067.317
119 119.476.755 -5.067.267
120 119.476.628 -5.067.197
121 119.475.838 -5.066.806
122 119.475.743 -5.066.767
123 119.475.695 -5.066.727
124 119.475.652 -5.066.667
125 119.475.614 -5.066.580
126 119.476.057 -5.066.794
127 119.476.644 -5.067.064
128 119.476.669 -5.067.055
129 119.476.904 -5.066.555
130 119.477.202 -5.065.951
131 119.477.193 -5.065.910
132 119.477.123 -5.065.878
133 119.476.382 -5.065.775
134 119.476.108 -5.065.727
135 119.475.964 -5.065.996
136 119.475.848 -5.066.173
137 119.475.677 -5.066.454
138 119.475.638 -5.066.496
139 119.475.321 -5.066.901
140 119.475.245 -5.067.042
141 119.475.170 -5.067.204
142 119.475.266 -5.067.255
143 119.475.354 -5.067.093
144 119.475.431 -5.066.943
48
Lampiran 3. Peta Citra Asli
Gambar 11. Peta citra SPOT 4 tahun 2010
Sumber :
1. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
(LAPAN) Kota Pare-Pare
2. Indonesia Geospatial Portal
3. Badan Pusat Statistik
49
Gambar 12. Peta citra landsat 8 tahun 2016
Sumber :
1. USGS (United States Geological Survey) 2. Indonesia Geospatial Portal
3. Badan Pusat Statistik
50
Lampiran 4. Peta Hasil Validasi
Gambar 13. Peta ritik validasi lahan bukan tambak dengan menggunakan citra landsat 8 tahun 2016
PETA VALIDASI LAHAN BUKAN TAMBAK DI KECAMATAN BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR TAHUN2016
Validasi Lahan Bukan Tambak
Lahan Bukan Tambak
Lahan Tambak
Sumber : 1. Citra LANDSAT 8 Tahun 2016 2. Indonesia Geospatial Portal
51
Gambar 14. Peta titik validasi lahan tambak dengan menggunakan citra landsat 8 tahun 2016
Validasi Lahan Tambak
Lahan Bukan Tambak
Lahan Tambak
Sumber : 1. Citra LANDSAT 8 Tahun 2016 2. Indonesia Geospatial Portal
52
Lampiran 5. Peta Batas Administrasi
Gambar 15. Peta batas administrasi Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Sumber : 1. Indonesian Geospatial Portal 2. Badan Pusat Statistik