Post on 20-Jan-2023
i
MOTIVASI SOSIAL EKONOMI PETANI BERALIH
PEKERJAAN DARI SEKTOR PERTANIAN KE SEKTOR
INDUSTRI KERAJINAN MEBEL DI DESA SERENAN
KECAMATAN JUWIRING KABUPATEN KLATEN
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi : Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS
Diajukan oleh :
Ardianto Farhani
H 0404027
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Sebelas Maret Institutional Repository
ii
MOTIVASI SOSIAL EKONOMI PETANI BERALIH PEKERJAAN DARI
SEKTOR PERTANIAN KE SEKTOR INDUSTRI KERAJINAN MEBEL DI
DESA SERENAN KECAMATAN JUWIRING KABUPATEN KLATEN
Yang dipersiapkan dan disusun oleh
ARDIANTO FARHANI
H 0404027
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal: 18 Oktober 2009
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Ketua Anggota I Anggota II
Ir. Supanggyo, MP Agung Wibowo, SP., MSi Ir. Marcelinus Molo, MS., PhD
NIP. 19471007 198103 1 001 NIP. 19760226 200501 1 003 NIP. 19490320 197611 1 001
Surakarta, November 2009
Mengetahui
Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS
NIP. 19551217 198203 1 003
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan penelitian dengan judul
"Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten
Klaten".
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik materi maupun non materi. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang telah melimpahkan taufik serta hidayahnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini.
2. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta
3. Dr. Ir. Kusnandar, MSi, selaku Ketua Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Komisi Sarjana Jurusan/Program studi Penyuluhan dan komunikasi pertanian
yang telah menyetujui proposal penelitian ini
5. Bapak Ir. Supanggyo, MP selaku pembimbing utama, bapak Agung Wibowo,
SP, MSi dan bapak Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD selaku pembimbing
pendamping yang telah mengarahkan terselesainya penelitian ini
6. Perangkat Desa Serenan beserta masyarakat atas kesempatan yang diberikan
untuk melakukan penelitian, serta keramahan yang diberikan
7. Almarhum Bapak, Ibu, dan Adik-adikku tercinta yang telah memberikan
segenap kasih sayang, doa dan perhatiannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan studi dan penyusunan skripsi ini
8. Teman-teman tercinta yang telah memberikan banyak bantuan, dan
9. Semua pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu
penulis dalam menyusun skripsi ini
iv
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, masih
banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran maupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
berkenan membacanya.
Surakarta, November 2009
Penulis
v
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
RINGKASAN ................................................................................................. xii
SUMMARY .................................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pergeseran Budaya Agraris Ke Budaya Industri ............................. 6
2. Motivasi Sosial Ekonomi ................................................................. 13
3. Faktor Pembentuk Motivasi ............................................................. 19
B. Kerangka Berfikir ................................................................................ 24
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian ..................................................................... 29
B. Lokasi Penelitian ................................................................................. 29
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
1. Penentuan Populasi ........................................................................ 30
2. Penentuan Sampel ........................................................................... 30
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer ...................................................................................... 31
vi
2. Data Sekunder .................................................................................. 31
E. Metode Pengumpulan Data
1. Wawancara ...................................................................................... 31
2. Observasi ......................................................................................... 31
3. Dokumentasi .................................................................................... 31
F. Metode Analisis Data
1. Faktor Pembentuk Motivasi Dan Motivasi Sosial Ekonomi ............. 31
2. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Sosial Ekonomi ................................................................................. 32
3. Tingkat Signifikansi Hubungan Antara Faktor Pembentuk
Motivasi Dengan Motivasi Sosial Ekonomi ..................................... 32
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Lokasi Dan Topografi ......................................................................... 34
B. Keadaan Penduduk
1. Keadaan Penduduk Menurut Umur .................................................. 35
2. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin .................................... 36
3. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ............................ 37
4. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ............................. 38
C. Keadaan Pertanian ............................................................................... 39
D. Keadaan Industri Kerajinan Mebel
1. Sejarah Kerajinan Mebel Desa Serenan ......................................... 40
2. Produksi Kerajinan Mebel Desa Serenan ........................................ 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Transformasi Pekerjaan Dari Petani Ke Pengrajin Di Desa Serenan ... 44
B. Identitas Responden.............................................................................. 51
C. Faktor Pembentuk Motivasi ................................................................. 60
D. Motivasi Sosial Ekonomi Petani ......................................................... 63
vii
E. Hubungan Antara Faktor-Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Moti
vasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian
Ke Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan Kecamatan Ju
wiring Kabupaten Klaten
1. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berprestasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel ...................................................... 68
2. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berafiliasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel ...................................................... 72
3. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berkuasa Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel ..................................................... 76
4. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel ...................................................... 80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 85
B. Saran .................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Jumlah Pengrajin Mebel di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten 29
Tabel 2. Jumlah Petani Yang Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan
Juwiring Kabupaten Klaten .............................................................. 30
Tabel 3. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ........................................... 35
Tabel 4. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ........................................... 36
Tabel 5. Keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ............................ 37
Tabel 6. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ............................. 38
Tabel 7. Luas Lahan Pertanian di Desa Serenan ............................................ 39
Tabel 8. Identitas Responden Faktor Pembentuk Motivasi Sosial Ekonomi
Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten .............................................................................. 51
Tabel 9. Perbandingan Prosentase Pendapatan Rata-Rata Responden Dari
Sektor Pertanian Dan Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ............................................ 54
Tabel 10. Perubahan Pekerjaan Dari Petani ke Pengrajin Mebel di Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ............................ 57
Tabel 11. Macam Usaha Kerajinan Mebel Responden di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.......................................... 59
Tabel 12. Faktor Pembentuk Motivasi Petani Beralih Pekerjaan Dari
Sektor Pertanian ke Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ........................... 60
ix
Tabel 13. Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari
Sektor Pertanian ke Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ............................ 64
Tabel 14. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan
Motivasi Berprestasi Petani Beralih Pekerjaan ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel ............................................................... 68
Tabel 15. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan
Motivasi Berafiliasi Petani Beralih Pekerjaan ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel ................................................................ 72
Tabel 16. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan
Motivasi Berkuasa Petani Beralih Pekerjaan ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel ................................................................ 76
Tabel 17. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan
Motivasi Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel ................................................................. 80
x
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Kerangka Berpikir Hubungan Antara Faktor Pembentuk
Motivasi Dengan Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih
Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel Di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten............................................................... ........... 25
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Faktor Pembentuk Motivasi ........................................................ 92
Lampiran 2. Motivasi Sosial Ekonomi ............................................................ 96
Lamipran 3. Tabulasi Identitas Responden ...................................................... 101
Lampiran 4. Tabulasi Faktor Pembentuk Motivasi ......................................... 103
Lampiran 5. Tabulasi Motivasi Sosial Ekonomi .............................................. 104
Lampiran 6. Uji Korelasi NonParametrik Rank Spearman .............................. 105
Lampiran 7. Daftar Kuesioner.......................................................................... 109
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ..................................................................... 121
Lamipran 9. Peta Lokasi Penelitian ................................................................. 123
xii
RINGKASAN
Ardianto Farhani. H0404027. “Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih
Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa
Serenan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten“. Di bawah bimbingan Ir.
Supanggyo, MP dan Agung Wibowo, SP., MSi.
Motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke
sektor industri kerajinan mebel adalah dorongan dan keinginan petani untuk
memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi dengan beralih pekerjaan menjadi
pengrajin mebel. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) apa faktor-faktor
pembentuk motivasi sosial ekonomi petani; (2) bagaimana motivasi sosial
ekonomi petani; (3) bagaimanakah hubungan antara faktor-faktor pembentuk
motivasi dengan motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor
pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik
dengan teknik survei. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Desa
Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten dengan pertimbangan bahwa
Desa Serenan merupakan sentra kerajinan mebel di Kabupaten Klaten. Jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 33 responden. Jenis dan sumber data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode Pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan analisis statistik deskriptif, metode analisis data
yang digunakan untuk mengkaji faktor pembentuk motivasi sosial ekonomi petani
dan motivasi sosial ekonomi petani menggunakan median score, sedangkan
hubungan antara faktor pembentuk motivasi dengan motivasi sosial ekonomi
petani digunakan uji koefisien korelasi Rank Spearman (rs). Sedangkan uji
hipotesisinya menggunakan uji student t pada taraf signifikansi 95 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi sosial ekonomi petani
beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel adalah
untuk memenuhi kebutuhan berprestasi, berafiliasi dan berkuasa dalam kategori
tinggi (median skor 4) dan kebutuhan ekonomi dalam kategori sangat tinggi
(median skor 5). Faktor-faktor pembentuk motivasi dari dalam diri petani (faktor
internal) terdiri dari umur, tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, tingkat
pendapatan, dan kosmopolitan. Sedangkan faktor-faktor pembentuk motivasi dari
luar diri petani (faktor eksternal) terdiri dari lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah.
Dari uji analisis dapat diketahui bahwa motivasi berprestasi berhubungan
sangat signifikan dengan arah hubungan positif dengan tingkat pendapatan dan
kosmopolitan, berhubungan signifikan dengan arah hubungan positif dengan
lingkungan ekonomi. Motivasi berafiliasi berhubungan sangat signifikan dengan
arah hubungan positif dengan tingkat pendapatan dan berhubungan signifikan
dengan arah hubungan positif dengan kosmopolitan. Motivasi berkuasa
berhubungan signifikan dengan kosmopolitan dan motivasi ekonomi berhubungan
signifikan dengan lingkungan ekonomi dengan arah hubungan positif.
xiii
SUMMARY
Ardianto Farhani. H0404027. "Socio-Economic Motivation Works Farmers
Switch From Agriculture to Industry Sector Crafts Furniture In Serenan Village,
JUWIRING District, Klaten Regency". Under the guidance of Ir. Supanggyo, MP
and Agung Wibowo, SP., MSi.
Socio-economic motivation of farmers switching jobs from the agricultural sector
to the furniture industry is the drive and the desire of farmers to meet the social
and economic needs by moving jobs to furniture makers. This study aims to
examine (1) What factors shaping the socio-economic motivation of farmers; (2)
how the socio-economic motivation of farmers; (3) how the relationship between
the factors motivating the formation of social motivation of farmers switching
jobs the economy from the agricultural sector to sector furniture industry in the
Village District Serenan JUWIRING Klaten Regency.
Research method used is analytical descriptive method with survey techniques.
Location selected in this study is the Village District Serenan JUWIRING Klaten
District, with consideration that the Village is the center Serenan furniture in
Klaten regency. The number of samples in this study were 33 respondents. Types
and sources of data used are primary data and secondary data. Data collection
methods used were interviews, observation and documentation. Data collected
were analyzed with descriptive statistical analysis, data analysis methods used to
examine the factors shaping the socio-economic motivation of farmers and socio-
economic motivation of farmers to use the median score, while the relationship
between motivational factors shaping the socio-economic motivation of farmers to
use the test Spearman Rank correlation coefficient (rs ). While hipotesisinya test
using student t test at a significance level of 95%.
The results showed that socio-economic motivation of farmers switching jobs
from the agricultural sector to the furniture industry is to meet the needs of
achievement, affiliation and power in the high category (median score 4) and
economic needs in the category of very high (median score 5). Forming factors in
self-motivation of farmers (internal factors) consists of age, education level, area
of land ownership, income levels, and cosmopolitan. While forming factors
outside the self motivation of farmers (external factors) consists of the economic
environment and government policies.
Analysis of the test can be seen that achievement motivation was significantly
associated with the direction of a positive relationship with income level and
cosmopolitan, associated significantly with the direction of a positive relationship
with the economic environment. Affiliation motivation associated with the
significant positive relationship with income level and significantly associated
with the direction of a positive relationship with the cosmopolitan. Powerful
motivation significantly associated with the cosmopolitan and economic
motivations significantly associated with the economic environment with the
direction of positive relationships.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak munculnya krisis moneter tahun 1997, sektor riil terus terpuruk
dan secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan krisis sosial
dan politik. Menurut BPS 2001, pada tahun 1997 sampai dengan tahun 1999
angka pengangguran sebesar 4,68% meningkat menjadi 6,36%. Pada tahun
1996 sampai dengan tahun 1999, jumlah penduduk miskin 22,5 juta jiwa
(11,34%) meningkat menjadi dua kali lipat, bahkan lebih, yaitu sebesar 48,4
juta jiwa (23,5%). Kini setelah 10 tahun, menurut data BPS 2008 pada bulan
maret 2007 angka pengangguran sebesar 9,7 % dan jumlah penduduk miskin
sebesar 37,17 juta jiwa (16,58%). Angka pengangguran dari tahun ke tahun
semakin meningkat dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan. Mereka yang
tidak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran.
Implikasi krisis tersebut telah melemahkan daya saing bangsa
indonesia. Agenda terpenting saat ini adalah memulihkan kembali
perekonomian nasional dan mengembangkan melalui revitalisasi sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi yang berbasis pertumbuhan ekonomi yang
berbasis keunggulan kompetitif bangsa. Keunggulan kompetitif suatu bangsa
adalah membangun atas dasar keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa
tersebut.
Dengan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki, bangsa indonesia
dalam membangun industri harus mengedepankan industri berbasis
sumberdaya domestik terbarukan (renuable resources based industries), yaitu
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta
sumberdaya alam domestik lainnya. Hal ini berarti belajar dari pengalaman
masa lalu, dengan kenyataan bahwa pengembangan industri yang berbasis
bahan baku impor ternyata berada dalam posisi sangat lemah dan rawan ketika
terjadi perubahan nilai rupiah terhadap valuta asing. Industri kerajinan mebel
sebagai salah satu industri kerajinan yang menggunakan bahan baku hasil
hutan terbukti tidak banyak terpengaruh oleh perubahan nilai rupiah terhadap
1 1
valuta asing karena bahan baku utamanya yaitu kayu dapat dipenuhi dari
dalam negeri.
Tingkat pendapatan di sektor pertanian yang relatif rendah dan
keterbatasan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dipedesaan
menyebabkan masyarakat pedesaan khususnya petani mencari alternatif
pekerjaan yang lain di luar sektor pertanian. Menurut studi ILO tahun 1960
dalam Karsidi (2003) menemukan bahwa alasan orang-orang meninggalkan
pekerjaan pertanian karena dua masalah pokok sebagai faktor utama yaitu (1)
tingkat pendapatan di sektor pertanian yang sangat rendah dan (2) adanya
kesempatan kerja di luar sektor pertanian.
Munculnya industri di pedesaan membawa pergeseran dalam
masyarakat. Pergeseran dari masyarakat agraris menuju ke arah industri akan
membawa pergeseran dalam bidang ekonomi maupun sosial. Pergeseran di
bidang ekonomi pada masyarakat pengrajin ditandai dengan peningkatan
pendapatan dan tingkat pemenuhan kebutuhan para pengrajin (Dinar, 2002).
Menurut Schonberg dalam Hatta (1985) pergeseran di bidang sosial
disebabkan oleh perbedaan harta dan perbedaan kedudukan ekonomi sehingga
mengakibatkan perbedaan kelas sosial.
Proses beralihnya mata pekerjaan petani dari sektor pertanian ke sektor
industri kerajinan mebel di Desa Serenan sebenarnya sudah sejak lama dan
diawali dari usaha kerajinan rumah tangga yang dikerjakan secara sambilan
disamping pekerjaan utama sebagai petani. Bagi seorang petani yang semula
hidup dalam orientasi budaya agraris yang cenderung mendekati ciri-ciri
masyarakat tradisional, yang kemudian pindah pekerjaan baru di bidang
industri, harus mengadopsi perilaku-perilaku baru yang cenderung mendekati
ciri-ciri masyarakat modern. Hal ini merupakan suatu proses perubahan
perilaku yang biasanya perubahan perilaku tersebut digerakkan oleh beberapa
tujuan. Hal inilah yang menarik dan perlu diteliti motivasi yang menyebabkan
petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan
mebel.
B. Perumusan Masalah
Dalam kehidupan manusia selalu mengadakan bermacam-macam
aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan yang
dinamakan kerja. Bekerja mengandung arti melaksanakan suatu tugas yang
diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang
bersangkutan. Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja,
adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak terlepas dari berbagai
permasalahan.
Adapun permasalahan permasalahan-permasalahan yang terkait
dengan berpindahnya mata pekerjaan petani ke sektor industri kerajinan mebel
di Desa Serenan antara lain disebabkan oleh kurang adanya pembinaan dari
pemerintah terutama instansi yang terkait dengan pertanian, selain itu letak
geografis Desa Serenan yang jauh dari sumber mata air sering membuat petani
kesulitan mendapatkan air pada musim kemarau untuk mengairi sawah dan
kelebihan air pada musim hujan. Masalah teknis dan budidaya sering
mengakibatkan hasil yang diperoleh dari usahatani tidak lagi dapat digunakan
untuk mencukupi kebutuhan para petani, karena pada umumnya biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani lebih besar daripada hasil yang diperoleh.
Dari ketiga permasalahan tersebut diatas masalah utama yang
menyebabkan petani berpindah mata pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel di Desa Serenan adalah hasil yang yang diperoleh dari usahatani tidak
lagi dapat mencukupi kebutuhan para petani karena pada umumnya biaya
yang dikeluarkan untuk usahatani sangat besar dan tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh. Tingkat pendapatan di sektor pertanian yang rendah
merupakan faktor daya dorong (push factor). Selain adanya faktor pendorong,
perpindahan pekerjaan dari petani menjadi pengrajin juga disebabkan oleh
adanya faktor daya tarik (pull factor) yaitu adanya kesempatan kerja diluar
sektor pertanian dalam hal ini dengan adanya kebijakan pemerintah yang terus
mendorong untuk mengembangkan sektor industri termasuk industri kecil.
Bila seseorang ingin mengerjakan suatu pekerjaan, berarti setidak-
tidaknya ia telah mempunyai motif untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
sebaik mungkin. Beralihnya mata pekerjaan petani ke sektor industri kerajinan
mebel tentunya tidak terlepas dari adanya dorongan atau motivasi yang
melatarbelakanginya. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa sajakah faktor-faktor pembentuk motivasi sosial ekonomi petani
beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel
di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten ?
2. Apa sajakah motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor
pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan
Juwiring Kabupaten Klaten ?
3. Bagaimanakah hubungan antara faktor-faktor pembentuk motivasi dengan
motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke
sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian tentang motivasi sosial ekonomi beralih
pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel ini adalah :
1. Untuk mengkaji faktor-faktor pembentuk motivasi sosial ekonomi petani
beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel
di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.
2. Untuk mengkaji motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari
sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.
3. Untuk mengkaji hubungan antara faktor-faktor pembentuk motivasi
dengan motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor
pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan
Juwiring Kabupaten Klaten.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam :
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari proses belajar yang
harus ditempuh sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bagi pemerintah atau instansi, dari penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pembangunan secara keseluruhan.
3. Bagi peneliti lain, sebagai landasan dan bahan informasi untuk penelitian
sejenis di daerah lain serta dapat pula dipakai sebagai titik tolak untuk
melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas.
4. Bagi petani, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan
petani tentang industri kerajinan mebel dan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan apabila pada akhirnya nanti petani tertarik terjun di industri
kerajinan mebel.
I. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pergeseran Budaya Agraris Ke Budaya Industri
a. Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1979), manusia adalah mahluk yang
hidup dalam kolektif. Perbedaan asasi yang sangat dasar antara
kehidupan kolektif binatang dan kehidupan kolektif manusia, yaitu
bahwa sistem pembagian kerja, aktivitas kerjasama, serta berkomunikasi.
Dalam kehidupan kolektif binatang bersifat naluri, yaitu merupakan
suatu kemampuan yang telah terencana oleh alam dan terkandung dalam
gen jenis binatang yang bersangkutan, sedangkan sistem pembagian
kerja, aktivitas kerjasama, serta berkomunikasi dalam kehidupan kolektif
manusia bukan bersifat naluri. Hal ini disebabkan manusia mengevolusi
suatu otak yang khas. Otak manusia telah mengembangkan suatu
kemampuan yang biasa disebut akal.
Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan bahwa akal manusia
mampu membayangkan dirinya serta peristiwa-peristiwa yang mungkin
terjadi terhadap dirinya, sehingga dengan demikian manusia dapat
mengadakan pilihan serta seleksi terhadap berbagai alternatif dalam
tingkah lakunya untuk mencapai efektivitas yang optimal dalam
mempertahankan hidupnya.
Apabila ditemukan suatu tingkah laku yang efektif dalam hal
menanggulangi suatu masalah hidup, maka tingkah laku itu tentunya
diulanginya setiap kali masalah serupa itu timbul, kemudian orang
mengkomunikasikan pola tingkah laku tadi kepada individu-individu
lain dalam kolektif dan terutama kepada keturunannya, sehingga pola itu
menjadi mantap, menjadi suatu adat yang dilaksanakan oleh sebagian
besar warga kolektif itu. Dengan demikian banyak dari pola tingkah laku
manusia yang telah menjadi adat istiadat itu dijadikan milik dirinya
dengan belajar.
6 6
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan
mayarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1979).
b.Budaya agraris
Menurut Schonberg dalam Hatta (1985) sejak orang mulai
bertani, timbulah perubahan yang penting sekali pada produksi dan
penghidupan ekonomi. Manusia tidak lagi bergantung sama sekali pada
pemberian alam tentang hal makanan, melainkan ia sendiri menentukan
cara mengerjakan tanah dan memperbanyak hasil dengan pekerjaannya.
Menurut Mulyawidada (2005) pada umumnya atau kebanyakan
mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani. Menurut Scott dalam
Damsar (2002) masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat
solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang menekankan
tolong menolong, dan pemilikan bersama sumberdaya.
Perkembangan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri
dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan ciri-ciri sosiologis
masyarakat yang tradisional ke modern. Masyarakat agraris cenderung
mendekati ciri-ciri tradisional, sedangkan masyarakat industri cenderung
mendekati ciri-ciri masyarakat modern (Karsidi, 2003).
Menurut Inkeles dalam Karsidi (2003), ciri-ciri masyarakat
modern ditandai dengan : (1) adanya kesediaan menerima pengalaman-
pengalaman baru dan terbuka terhadap pembaharuan dan perubahan
yang terjadi, (2) bersifat demokratis terhadap keragaman sikap dan opini
orang lain, (3) orientasi pada masa kini dan masa depan, bukan ke masa
lalu, (4) selalu merencanakan kegiatannya dan terlibat dalam kegiatan
organisasi, (5) percaya terhadap kemampuan belajar untuk menguasai
alam dan bukan dikuasai oleh alam, (6) percaya bahwa dunia ini dapat
diperhitungkan, (7) sadar akan harga dirinya dan bisa menghargai orang
lain, (8) percaya terhadap kemampuan ilmu dan teknologi, (9) percaya
akan keadilan dalam pembagian, dan bahwa ganjaran adalah karena
7
prestasi bukan karena sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang tidak ada
hubungannya dengan tindakannya. Ciri-ciri yang bertentangan dengan di
atas adalah ciri masyarakat yang tradisional. Sifat yang khas dari
masyarakat petani akan berubah dengan berkembangnya sistem kapitalis
dan masyarakat industri.
c. Budaya industri
Menurut Daldjoeni (1997), Perubahan sosial selain tergantung
dari perkembangan dari masa lampau juga didorong oleh hasrat manusia
yang mengejar keinginannya untuk masa depan. Perkembangan adalah
suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat untuk selalu berubah.
Perubahan itu didorong oleh terjalinnya cita-cita manusia dalam situasi
sosial tertentu dengan sarana dan kemungkinan yang tersedia. Makin
besar pertambahan penduduk, makin jelas corak kekotaan suatu tempat.
Kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang
non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran.
Menurut Koentjaraningrat (1979) dalam masyarakat di mana
pengaruh industrialisasi sudah masuk mendalam, tampak bahwa fungsi
kesatuan kekerabatan yang sebelumnya penting dalam banyak sektor
kehidupan seseorang, biasanya mulai berkurang, dan bersamaan dengan
itu adat istiadat yang mengatur kehidupan kekerabatan sebagai kesatuan
mulai mengendor. Ikatan sosial berdasarkan tradisi menjadi lemah,
luntur atau menghilang. Dengan demikian perubahan-perubahan tersebut
mengubah ikatan antar manusia; begitu pula bentuk-bentuk kehidupan
dan pernyataannya serta sikap rohaninya.
d.Pergeseran budaya agraris menuju budaya industri
Menurut Schonberg dalam Hatta (1985) pada awalnya industri
bermula dari kerajinan tangan sebagai usaha sambilan yang dikerjakan di
rumah. Sebagian kecil penduduk yang produktif menjadi tukang yang
semata-mata menghasilkan barang-barang yang berpusat pada pertanian
dan pemeliharaan ternak. Satu corak yang teristimewa pada usaha
membuat barang-barang kerajinan itu adalah adanya pembagian
pekerjaan. Dengan adanya pembagian pekerjaan, teknik kerja bertambah
baik dan dapat dihasilkan barang-barang lebih banyak jumlah dan
macamnya. Sejak saat itulah industri muncul sebagai pokok tersendiri
lepas dari budaya agraris.
Proses penyempitan lahan garapan keluarga petani, telah
mengakibatkan teknologi budidaya pertanian tidak berkembang.
Disamping oleh daya tarik oleh bidang-bidang lain yang lebih
menjanjikan kesejahteraan, majunya cara berfikir sebagai hasil dari
pendidikan dan statisnya budidaya pertanian kita, menjadi penyebab
ditinggalkannya bidang pertanian oleh banyak generasi muda yang
produktif (Siswono, 2004).
Penurunan kesempatan kerja di bidang pertanian serta
pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi di pedesaan dengan
keterbatasan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tanaman
pangan, mendorong penduduk desa mencari alternatif pekerjaan lain
yang salah satunya di industri pedesaan (Ratna, 2007).
Transformasi mata pencaharian masyarakat dari pertanian ke
industri di daerah pedesaan ditandai oleh pendirian jenis-jenis industri
kecil dan atau industri rumah tangga dengan memanfaatkan sumber daya
alam yang ada (Mubyarto, 1985).
e. Transformasi pekerjaan dari petani ke pengrajin
Menurut Susanto dalam Karsidi (2003), manusia dalam suatu
proses sosial akan selalu dalam perubahan, penyesuaian dan
pembentukan diri dengan dunia sekitarnya sesuai dengan idenya. Dalam
hal ini termasuk para petani dan penduduk di pedesaan, mereka akan
selalu mengalami perubahan sebagai suatu proses sosial.
Sebagian besar penduduk di pedesaan bermata pencaharian
sebagai petani. Menurut Henry (1984) petani adalah penduduk yang
secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan
yang otonom tentang proses cocok tanam. Sedangkan menurut Mosher
dalam Mardikanto (2005) memberikan gambaran yang agak luas tentang
petani yakni :
1. Petani sebagai manusia. Seperti manusia lain, petani juga rasional.
Memiliki harapan-harapan, keinginan-keinginan dan kemauan untuk
hidup lebih baik.
2. Petani sebagai juru tani adalah petani yang melakukan kegiatan
bertani, yang memiliki pengalaman dan telah belajar dari
pengalamannya. Hasil belajar itu tercermin dari kebiasaan-kebiasaan
yang mereka terapkan dalam kegiatan bertani.
3. Petani sebagai pengelola usahatani. Selain sebagai manusia dan juru
tani, seorang petani umumnya juga pengelola atau manajer dari
usahataninya.
Samsudin (1982) membedakan pengertian antara petani dengan
buruh tani. Menurut Samsudin, petani adalah mereka yang untuk
sementara waktu atau tetap menguasai sebidang tanah pertanian,
menguasai sesuatu cabang usahatani atau beberapa cabang usaha tani
dan mengerjakan sendiri, baik dengan tenaga sendiri maupun tenaga
bayaran. Menguasai sebidang tanah dapat diartikan pula menyewa, bagi
hasil atau berupa memiliki tanah sendiri.
Di samping menggunakan tenaga sendiri ia dapat menggunakan
tenaga kerja yang disebut buruh tani. Buruh tani adalah pekerja yang
menjual tenaganya kepada usaha tani orang lain untuk mengusahakan
tanah pertanian. Di kenal buruh musiman dan buruh tetap.
Menurut Marzali dalam Karsidi (2003), setidaknya ada tiga
kategori petani. Kategori pertama, sebagian dari petani tersebut masih
hidup dengan cara pertanian yang sederhana sambil tetap
mempertahankan mata pencaharian hidup berburu dan meramu sebagai
sumber tambahan. Desa tempat mereka bermukim berpindah-pindah
dalam jangka waktu tertentu. Umumnya desa-desa tersebut terisolasi dari
kegiatan politik, ekonomi dan sosial yang terpusat di perkotaan.
Kategori petani yang kedua adalah petani yang menjalankan
usaha pertaniannya dengan peralatan modern seperti traktor dan huller,
dengan tujuan mencari keuntungan dan hasil pertaniannya dijual. Petani
dalam kategori ini sering disebut farmer (Scott, 1993).
Kategori petani yang ketiga yaitu para petani yang berada pada
tingkat perkembangan antara petani primitif dan petani farmer. Mereka
ini sering disebut peasant, yaitu berada pada tahap transisi antara jenis
pertama dan jenis kedua. Perbedaan pokok antara kategori kedua dan
ketiga terletak pada sifat usaha pertanian mereka. Petani peasant
mengolah tanah dengan tenaga keluarga sendiri untuk menghasilkan
bahan makanan bagi keperluan kehidupan sehari-hari keluarga petani
tersebut, dan karena itu sering disebut petani subsisten. Petani farmer,
sebaliknya, mengusahakan tanah pertanian mereka dengan bantuan
buruh tani dalam rangka untuk mencari keuntungan. Hasil produksi
pertanian mereka dijual ke pasar untuk memperoleh uang kontan.
Usahatani petani peasant adalah usahatani keluarga, sedangkan
usahatani petani farmer komersil (Wolf dalam Karsidi, 2003)
Dalam kehidupan manusia selalu mengadakan bermacam-macam
aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan
yang dinamakan kerja. Bekerja mengandung arti melaksanakan suatu
tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh
manusia yang bersangkutan. Faktor pendorong penting yang
menyebabkan manusia bekerja, adalah adanya kebutuhan yang harus
dipenuhi (As’ad, 1995).
Bila seseorang ingin mengerjakan suatu pekerjaan, berarti
setidak-tidaknya ia telah mempunyai motif untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut sebaik mungkin dengan mengatasi segala rintangan-
rintangannya. Motivasi bekerja seseorang terjadi bila :
1. Seseorang mendapatkan kesempatan bebas menggunakan imaginasi
dan akalnya dalam mengerjakan pekerjaan,
2. Ada kesempatan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit,
3. Ada dorongan mempelajari keterampilan-keterampilan baru,
4. Ada kesempatan promosi dan memperoleh gaji sebagai penghargaan
terhadap prestasi kerjannya (Cahyono, 1983).
Seseorang yang sangat termotivasi yaitu orang yang
melaksanakan upaya atau usaha untuk menunjang tujuan kerjanya
dimana dia bekerja. Seseorang yang tidak termotivasi hanya memberikan
upaya minimal dalam bekerja (Winardi, 2001).
Salah satu perubahan yang terjadi di pedesaan adalah perubahan
pekerjaan, yaitu pindahnya seseorang dari pekerjaan satu ke pekerjaan
yang lain. Fenomena yang terjadi dalam bidang perubahan pekerjaan
atau dapat disebut transformasi pekerjaan, yaitu adanya kecenderungan
berpindahnya orang yang semula bekerja di bidang pertanian kemudian
pindah ke bidang industri atau jasa (Karsidi, 2003).
Pekerjaan di bidang pertanian bersifat musiman mengakibatkan
pendapatan yang didapat tidak tetap sedangkan kebutuhan hidup
semakin meningkat, hal ini menyebabkan masyarakat pedesaan di
indonesia yang mayoritas penduduk masih menggeluti pertanian beralih
ke sektor industri terutama industri kecil (Tambunan, 1990).
Penawaran surplus tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor
pertanian tanaman pangan menempatkan peranan industri pedesaan
sebagai alat guna menciptakan lapangan kerja baru yang diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat desa (Sajogyo, 1990).
Pembangunan sektor industri di pedesaan mulai mendapat
perhatian dari pemerintah sejak Pelita II. Perhatian dari pemerintah yang
cukup jeli akan sangat mendukung pembangunan pedesaan. Semakin
menyempitnya areal pertanian di indonesia dan ledakan tenaga kerja
terdidik menambah pengangguran di pedesaan. Hal ini perlu upaya yang
mampu merangsang terciptanya peluang kerja non pertanian (rural non
farm employment) (Tadjoedin, 1995).
Sampai saat ini strategi yang sering dipakai untuk merangsang
bertambahnya peluang non pertanian adalah industri pedesaan
diharapkan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja sehingga
mampu mengurangi jumlah pengangguran di pedesaan. Menurut
Hozelitz, industri kecil di negara berkembang menduduki posisi antara
sektor pertanian tradisional ke sektor industri modern. Industri ini
bertahan berkat murahnya tenaga kerja buruh yang dipakainya serta
adanya bantuan dari pemerintah (M. Dawam, 1986).
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang
Usaha Kecil diuraikan bahwa usaha kecil mempunyai kedudukan,
potensi, dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan melalui
usaha kecil dapat memperluas lapangan kerja, memberikan pelayanan
yang luas kepada masyarakat, mewujudkan pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan
meningkatkan stabilitas nasional, khususnya di bidang ekonomi
(http://www.Theceli.com//).
Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin
sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan.
Karena sektor ini mempunyai nilai tukar (terms of trade) yang tinggi
dengan kemampuan untuk menghasilkan variasi produk yang sangat
beragam dan mampu memberikan manfaat yang tinggi kepada para
pemakainya (Dumairy, 1997).
2. Motivasi Sosial Ekonomi
Ahli-ahli psikologi berpendapat bahwa dalam diri individu ada
sesuatu yang menentukan perilaku, yang bekerja dengan cara tertentu
untuk mempengaruhi perilaku tersebut. Ada yang menyebut penentu
perilaku tersebut dengan istilah kebutuhan atau “need” dan ada yang
menyebutnya dengan istilah motif atau motivasi (Martaniah, 1984).
Motif berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau
to mov. Karena itu motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam
diri organisme yang mendorong untuk berbuat (Walgito, 2003).
Motivasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989)
diartikan sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk
melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu atau usaha yang dapat
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tertentu bergerak
melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya
atau mendapat kepuasan atas perbuatannya. Menurut Handoko (1992),
Dalam suatu motif umumnya terdapat dua unsur pokok yaitu unsur
dorongan atau kebutuhan dan unsur tujuan.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah kekuatan (dorongan, penggerak) yang mempengaruhi seseorang
untuk melakukan sesuatu tindakan agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.
Menurut Maslow (1994), orang mengalami lima tingkat
kebutuhan (five hierarchy of needs) yang berkaitan dengan motivasi
seseorang untuk melakukan sesuatu kebutuhan yang dinyatakan dalam
“Piramida Kebutuhan” yaitu : (1) kebutuhan fisik/Psychological needs
(Lapar dan haus); (2) kebutuhan akan rasa aman/Safety needs; (3)
kebutuhan sosial/Social needs (persahabatan dan kekerabatan); (4)
kebutuhan akan penghargaan/Esteem needs (baik dari diri sendiri, harga
diri, maupun dari orang lain); dan (5) Kebutuhan untuk mewujudkan
diri/Self actualization needs (mengembangkan dan mengungkapkan
potensi).
Menurut Maslow pemenuhan kebutuhan berjalan sesuai dengan
tingkatan-tingkatannya dalam Piramida Kebutuhan (As’ad, 1995). Teori
motivasi Maslow didasarkan atas tingkat kebutuhan-kebutuhan yang
disusun menurut prioritas kekuatannya. Maslow mengatakan bahwa
apabila kebutuhan-kebutuhan pada tingkat bawah telah dipenuhi, maka
kepuasan kebutuhan-kebutuhan ini menuntut kebutuhan-kebutuhan yang
lebih tinggi (Moekijat, 1981).
Menurut Mc Clelland (1974), dalam konsepnya mengenai
motivasi, dalam diri individu terdapat tiga kebutuhan pokok yang
mendorong tingkah lakunya. Konsep motivasi ini dikenal dengan “Social
Motives Theory”. Adapun kebutuhan yang dimaksudkan menurut teori
motif sosial ini, adalah :
1. Need for achievement
Merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses, yang diukur
berdasarkan standar kesempurnaan dalam diri seseorang. Kebutuhan
ini, berhubungan erat dengan pekerjaan, dan mengarahkan tingkah
laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu.
2. Need for Affiliation
Merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam
hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah
laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain.
3. Need for Power
Kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi terhadap orang
lain. Kebutuhan ini, menyebabkan orang yang bersangkutan tidak atau
kurang memperdulikan perasaan orang lain.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada kehidupan sehari-hari, ketiga
kebutuhan tersebut diatas, akan selalu muncul pada tingkah laku individu,
hanya saja kekuatannya tidak sama antara kebutuhan-kebutuhan itu pada
diri seseorang. Teori motivasi dari Mc Clelland bila dihubungkan dengan
teori motivasinya model Maslow maka arah motivasi model Mc Clelland
lebih menitikberatkan pada pemuasan kebutuhan yang bersifat sosial
(As’ad, 1995).
Motivasi bekerja tidak hanya berwujud kebutuhan ekonomis
yang bersifat materiil saja (misalnya berbentuk uang atau benda) tetapi
bisa juga berwujud respek/penghargaan dari lingkungan, prestise dan
status soial, yang semuanya merupakan bentuk ganjaran sosial yang
imateriil sifatnya (Kartono, 1992).
Menurut Lindgren dalam Ahmadi (1973), motif sosial adalah
motif yang dipelajari melalui kontak dengan orang lain. Sedangkan
menurut Martaniah (1984), mendefinisikan motif sosial sebagai motif
yang dipelajari dan tujuan yang ingin dicapainya mempunyai interaksi
dengan orang lain.
Menurut Gerungan (2004) motif sosial atau bisa disebut juga
sebagai motif sosiogenetis adalah motif-motif yang dipelajari orang dan
berasal dari lingkungan kebudayaaan tempat orang itu berada dan
berkembang. Motif sosiogenetis tidak berkembang dengan sendirinya
tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang-orang atau hasil
kebudayaan orang.
Teevan dan Smith dalam Martaniah (1984), menggolongkan
motif sosial menjadi 3 yaitu : motif berprestasi, motif berafiliasi, dan
motif berkuasa.
1. Motif Berprestasi
Menurut Murray dalam Martaniah (1984) menyatakan bahwa
motif berprestasi adalah dorongan untuk berprestasi yaitu dorongan
untuk mengatasi rintangan-rintangan dan memelihara kualitas kerja
yang tinggi, bersaing melalui usaha-usaha untuk melebihi perbuatan
yang lampau dan untuk mengungguli orang lain.
Sedangkan Lindgren dalam Martaniah (1984) menyatakan bahwa
orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi cenderung untuk
mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap diri sendiri, mempunyai
tanggung jawab dan mengharapkan hasil yang konkret dari kerjanya,
mendapatkan nilai yang baik.
McClelland dalam As’ad (1995), mengemukakan bahwa
kebutuhan akan prestasi yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang
merupakan refleksi dari dorongan rasa tanggung jawab untuk
memecahkan masalah. Kebutuhan untuk berprestasi adalah kebutuhan
untuk melakukan pekerjaan lebih baik daripada sebelumnya, selalu
berkeinginan mencapai prestasi yang lebih baik.
2. Motif Berafiliasi
Menurut Atkinson dalam Martaniah (1984) motif berafiliasi
adalah motif yang mendorong seseorang untuk berinteraksi dengan
oleh orang lain, terutama dengan kelompoknya, menyenangkan orang
lain dan mendapatkan afeksi dari orang lain, menunjukkan dan
memelihara sikap setia terhadap keluarga dan teman.
Menurut McClelland, kebutuhan ini merupakan kebutuhan akan
kehangatan dan sokongan dalam hubungan dengan orang lain.
Kebutuhan ini mengarahkan secara akrab dengan orang lain.
Kebutuhan ini dapat berupa jaminan keamanan, persahabatan,
kerjasama, rasa menjadi bagian dari suatu kelompok lainnya (As’ad,
1995).
3. Motif Berkuasa
Menurut Lindgren dalam Martaniah (1984) menggambarkan
motif untuk berkuasa sebagai suatu kebutuhan untuk mendominasi dan
untuk mengontrol. Sedangkan menurut McClelland dalam As’ad
(1995) motif berkuasa sebagai kebutuhan untuk menguasai dan
mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini, menyebabkan orang yang
bersangkutan tidak atau kurang memperdulikan perasaan orang lain.
Kekuasaan (power) dapat diartikan sebagai kemampuan
mempengaruhi (to influence) pihak lain dan melawan (to resist)
pengaruh pihak lain. Pengaruh berarti menggunakan power untuk
mengubah pihak lain ke arah yang diinginkan. Power sering pula
diartikan seberapa besar kontrol (the amount of control) yang
dilakukan, baik dalam kelompok maupun terhadap hasil dari pihak
lain (Walgito, 2006).
Selain motif sosial, menurut Gunawan (1993) secara umum
perpindahan tenaga kerja ke sektor non pertanian mempunyai motivasi
ekonomi. Menurut Hatta (1985) manusia senantiasa berada dalam
kekurang kemakmuran, itulah yang memaksa dia bertindak menurut motif
ekonomi, yaitu mencapai dengan alat yang ada untuk mendapatkan hasil
yang sebesar-besarnya.
Aspek terpenting dari bekerja ialah motivasi kerja, yaitu motivasi
untuk mendapatkan nilai-nilai ekonomis tertentu dalam wujud gaji,
honorarium, premi, bonus, kendaraan dan rumah dinas, dan lain-lain
(Kartono, 1994). Menurut Sarwoto (1981) kebutuhan ekonomi termasuk
dalam kebutuhan materiil yaitu kebutuhan yang langsung berhubungan
dengan eksistensi manusia, meliputi kebutuhan akan makan, pakaian dan
perumahan.
Menurut Rahayu dan Waluyo (2004) motif ekonomi terdiri dari
motif untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan motif untuk memperoleh
keuntungan. Motif untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah motif yang
dimiliki oleh setiap manusia secara pribadi. Dengan artian lain, motif di
sini berarti setiap dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
tumbuh dari dalam diri sendiri. Sedangkan motif untuk memperoleh
keuntungan adalah dorongan yang muncul dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan.
3. Faktor Pembentuk Motivasi
Menurut Siagian (1989) motivasi bersumber dari dalam diri
seseorang dan dari luar diri orang yang bersangkutan. Sumber motivasi
dari dalam diri seseorang dikenal dengan istilah motivasi internal dan
sumber motivasi dari luar diri orang yang bersangkutan dikenal dengan
istilah motivasi eksternal.
Menurut Doni (2004) faktor-faktor yang berhubungan dengan
motivasi terdiri dari faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik
terdiri dari umur, pengalaman berusahatani, pendidikan formal,
pendidikan non formal dan pendapatan usahatani. Sedangkan faktor
ektrinsik terdiri dari Lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi.
Hartatik (2004) menyatakan bahwa faktor pembentuk motivasi
berasal dari dalam diri petani (internal) yang terdiri dari umur, pendidikan
formal, pendidikan non formal, pengalaman, kosmopolitan dan luas lahan
sedangkan dari luar diri petani (eksternal) terdiri dari lingkungan sosial,
lingkungan ekonomi, dan kebijakan pemerintah.
Pada penelitian kali ini faktor pembentuk motivasi dari dalam
diri petani (internal) yang akan digunakan adalah terdiri dari umur,
tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, tingkat pendapatan dan
kosmopolitan.
1. Umur
Menurut Hernanto (1984), umur petani mempengaruhi
pengetahuan fisik (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan respon
terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usahataninya.
Mantra (1991) menyatakan bahwa kelompok umur 0-14 tahun
merupakan kelompok umur belum produktif, sedangkan umur 15-64
tahun merupakan kelompok umur produktif serta kelompok umur
lebih dari 65 tahun merupakan kelompok umur tidak produktif.
Umur mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis.
Artinya semakin tua umur seseorang diharapkan mampu menunjukkan
kematangan jiwa, semakin bijaksana, mampu berpikir rasional,
mampu mengendalikan emosional sehingga semakin tua umur
seseorang, kecenderungan untuk berpindah pekerjaan akan semakin
berkurang (Siagian, 1989).
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap motivasi seseorang
khususnya dalam tanggapan untuk menerima adanya inovasi.
Seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi akan lebih
mudah dalam menaggapi inovasi ataupun isu yang berkembang karena
seseorang lebih berpikiran rasional setelah mendapatkan ilmu-ilmu
yang didapat dari bangku sekolah (Kartasapoetra, 1994).
Menurut Slamet (1993) tingkat pendidikan responden
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok berpendidikan
rendah SD ke bawah, kelompok berpendidikan sedang SMP sampai
SLTA, dan berpendidikan tinggi yaitu mereka yang berpendidikan
diatas SLTA.
Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal akan
mempengaruhi cara berfikir yang diterapkan pada usahataninya yaitu
dalam rasionalitas usaha dan kemampuan memanfaatkan setiap
kegiatan ekonomi yang ada (Hernanto, 1984).
3. Luas Kepemilikan Lahan
Sempitnya lahan yang dikuasai petani berkaitan dengan budaya
warisan dimana satu bidang tanah harus dibagi-bagi sesuai dengan
jumlah orang yang menerima warisan, sehingga kebanyakan petani
hanya mempunyai sepetak tanah kecil saja (Khairuddin, 1992).
Kepemilikan tanah pertanian yang kecil disebabkan karena
adanya pembagian tanah yang tidak merata. Tekanan penduduk atas
tanah yang berat serta terbatasnya kesempatan kerja merupakan
pendorong yang kuat bagi penduduk untuk mencari pekerjaan, karena
hasil yang diperoleh sedikit sehingga pendapatan yang diterima masih
kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Sajogyo, 1992).
Menurut Hernanto (1984), penggolongan petani berdasarkan luas
tanahnya dibagi menjadi 4 yaitu :(1) Golongan petani luas (lebih dari
2 Ha), (2) Golongan petani sedang (0,5-2 Ha), (3) Golongan petani
sempit (0,5 Ha), (4) Golongan buruh tani tidak mempunyai tanah.
Perbedaan golongan petani berdasarkan luas tanah tersebut akan
berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatan.
Sedangkan Cahyono (1983) menggolongkan petani Jawa
berdasar luas garapan menjadi 3 golongan yaitu : (1) Petani gurem
untuk luas lahan sampai 0,5 Ha, (2) Petani menengah untuk luas lahan
0,5-1 Ha, (3) Petani luas untuk luas lahan diatas 1 Ha.
Petani yang menguasai lahan sawah yang luas akan memperoleh
hasil produksi yang besar dan begitu sebaliknya. Dalam hal ini, luas
sempitnya lahan sawah yang dikuasai petani akan sangat menentukan
besar kecilnya pendapatan ekonomi yang diperoleh. Luas lahan yang
diusahakan relatif sempit seringkali menjadi kendala untuk
mengusahakan secara lebih efisien. Dengan keadaan tersebut, petani
terpaksa melakukan kegiatan diluar usahataninya untuk memperoleh
tambahan pendapatan agar mencukupi kebutuhan keluarganya
(Mardikanto, 1993).
4. Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menunjang perekonomian keluarga. Tingkat pendapatan merupakan
salah satu indikasi sosial ekonomi seseorang yang sangat dipengaruhi
oleh sumberdaya dan kemampuan dalam diri individu. Jenis pekerjaan
dan tingkat pengeluaran seseorang juga menentukan tingkat
kesejahteraan dalam status sosial seseorang (Soekartawi, 1988).
Besarnya pendapatan akan menunjukkan tingkat sosial
ekonominya dalam masyarakat. Keputusan seseorang dalam memilih
pekerjaan akan sangat dipengaruhi oleh sumberdaya dan kemampuan
dalam diri individu (Mubyarto, 1985).
Pendapatan petani biasanya dialokasikan untuk kegiatan
produktif (biaya produksi periode selanjutnya), kegiatan konsumtif
(pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan pajak-pajak),
investasi serta tabungan (Hernanto, 1984).
Menurut Cahyono (1983) mengatakan bahwa sempitnya lahan
pertanian akan berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Rendahnya
pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian akan mendorong petani
untuk mencari pekerjaan lain.
5. Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (keluarga dan kerabat). Kosmopolitan
dicirikan oleh frekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan oleh
petani keluar daerah, frekwensi mengakses informasi (Mardikanto,
1996). Sedangkan menurut Karsidi (2004) tingkat kosmopolitansi
pengrajin industri kecil dicirikan oleh keikutsertaan dalam organisasi
sosial, kontak dengan penyuluh industri dan jenis kursus industri yang
pernah diikuti.
Rogers (1985), menyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan
seseorang dicirikan dengan kebiasaan mengadakan perjalanan keluar,
sering membaca publikasi-publikasi yang bukan lokal.
Masyarakat yang relatif kosmopolit adopsi inovasi akan lebih
cepat, tapi yang lebih tertutup akan berlangsung sangat lamban
karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup
(Mardikanto, 1996).
Faktor pembentuk motivasi dari luar diri petani (eksternal) yang
akan digunakan adalah terdiri dari lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah.
1. Lingkungan Ekonomi
Lingkungan ekonomi merupakan kondisi finansial yang
mendukung seseorang untuk melakukan suatu perubahan (Maslow,
1992). Menurut Soekartawi (1987) lingkungan ekonomi merupakan
kekuatan ekonomi finansial yang ada disekitar seseorang diantaranya
lembaga pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan
pemberian kredit bagi seseorang.
Mardikanto (1996) mengemukakan bahwa lingkungan ekonomi
terdiri dari : (1) lembaga perkreditan yang harus menyediakan kredit
bagi para petani kecil, (2) produsen dan penyalur sarana produksi/
peralatan tanaman, (3) pedagang serta lembaga pemasaran yang lain
dan (4) pengusaha/ industri pengolahan hasil pertanian.
2. Kebijakan Pemerintah
Dalam bahasa Inggris policy menunjukkan pada masalah yang
berhubungan dengan publik dan administrasi pemerintah (Purwasito,
2001). Sedangkan menurut Jayadinata (1986) kebijakan atau policy
yaitu pemilihan rencana yang baik untuk pelaksanaan yang meliputi
pengetahuan mengenai maksud dan ceritera untuk menelaah alternatif-
alternatif rencana.
Kebijakan tentang perlindungan usaha kecil di Indonesia diatur di
dalam Undang-undang republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang
usaha kecil. Menurut undang-undang usaha kecil, tanggung jawab
pemberdayaan usaha kecil tidak hanya pada pemerintah saja, tetapi
juga dunia usaha dan masyarakat. Pemberdayaan tersebut dilakukan
melalui empat metode, yaitu penciptaan iklim usaha, pembinaan dan
pengembangan, pembiayaan, serta kemitraan (http://www.Theceli.
com//).
B. Kerangka Berfikir
Aktivitas individu untuk memenuhi tujuan yang diinginkan selalu ada
suatu motif yang mendasarinya. Faktor yang mempengaruhi motivasi dapat
bersumber dari diri petani sendiri yang disebut motivasi internal dan
bersumber dari luar atau lingkungannya yang disebut motivasi eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi motivasi petani beralih pekerjaan dari
sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel adalah umur, tingkat
pendidikan, luas kepemilikan lahan, tingkat pendapatan dan kosmopolitan.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah.
Motif petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri
kerajinan mebel adalah motif sosial dan motif ekonomi. Motif sosial yaitu
motif yang dipelajari melalui kontak atau berinteraksi dengan orang lain.
Motif sosial terdiri dari motif berprestasi, motif berafiliasi dan motif berkuasa.
Sedangkan motif ekonomi adalah motif untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dan motif untuk memperoleh keuntungan.
Faktor pembentuk motivasi baik faktor internal maupun faktor
eksternal berhubungan dengan motivasi sosial ekonomi. Faktor pembentuk
motivasi akan mempengaruhi petani untuk beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel, baik beralih pekerjaan sebagian yaitu masih menempatkan
pekerjaan industri sebagai pekerjaan sambilan disamping pekerjaan utama
sebagai petani maupun beralih pekerjaan secara keseluruhan yaitu
menempatkan pekerjaan di sektor industri sebagai pekerjaan utama.
Beralihnya pekerjaan petani ke sektor industri kerajinan mebel tidak terlepas
dari motivasi sosial ekonomi. Secara sistematis hubungan antara faktor
pembentuk motivasi dengan motivasi sosial ekonomi dapat dilihat dalam
kerangka berfikir sebagai berikut:
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 1. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian
Ke Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan, Kecamatan
Juwiring, Kabupaten Klaten.
C. Hipotesis
Berdasarkan pada perumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka
berpikir yang telah diuraikan, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai
berikut : “Diduga ada hubungan signifikan antara faktor pembentuk motivasi
dengan motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian
ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten”.
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Faktor pembentuk motivasi
a. Umur adalah usia responden saat penelitian dilakukan, dinyatakan
dalam tahun. Diukur dengan skala ordinal.
Faktor Pembentuk Motivasi :
Faktor Internal :
1. Umur
2. Tingkat Pendidikan
3. Luas kepemilikan lahan
4. Tingkat pendapatan
5. Kosmopolitan
Faktor Eksternal :
1. Lingkungan Ekonomi
2. Kebijakan Pemerintah
Motivasi Sosial Ekonomi
Petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan
mebel:
1. Motif Sosial
a. Motif berprestasi
b. Motif berafiliasi
c. Motif berkuasa
2. Motif Ekonomi
Petani beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel
Sebagian
Keseluruhan
b. Tingkat Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi dibangku
sekolah yang telah diselesaikan oleh responden. Diukur dengan skala
ordinal.
c. Luas Pemilikan Lahan adalah luas lahan yang dimiliki responden
untuk berusahatani pada saat penelitian dilakukan dinyatakan dalam
hektar (Ha). Diukur dengan skala ordinal.
d. Tingkat Pendapatan merupakan pendapatan yang diperoleh responden
dari kerajinan mebel per bulan. Diukur dengan skala ordinal.
e. Kekosmopolitan adalah tingkat hubungan dengan dunia luar diluar
sistem sosialnya sendiri (keluarga dan kerabat). Kosmopolitan
dinyatakan melalui frekwensi perjalanan yang dilakukan responden ke
luar daerah atau desa, frekwensi mengakses informasi dalam
hubungannya dengan industri mebel, jenis kursus industri yang
diterima, keikutsertaan dalam organisasi sosial dan kontak dengan
penyuluh industri. Diukur dengan skala ordinal.
f. Lingkungan Ekonomi merupakan kondisi finansial yang mendukung
seseorang untuk melakukan suatu perubahan. Lingkungan ekonomi
terdiri dari : perkreditan, produsen dan penyalur sarana
produksi/peralatan dan jaminan pasar. Diukur dengan skala ordinal.
g. Kebijakan Pemerintah merupakan segala hal yang diberikan
pemerintah dalam rangka pemberdayaan industri mebel yang meliputi:
penciptaan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan,
serta kemitraan. Diukur dengan skala ordinal.
(Pengukuran variabel terlampir)
2. Motivasi sosial ekonomi
a. Motivasi Berprestasi yaitu suatu kekuatan yang mendorong responden
untuk memperoleh hasil yang terbaik. Indikator : Dorongan untuk
berhasil dalam pekerjaan, Dorongan untuk memelihara kualitas kerja,
Dorongan untuk melebihi perbuatan sukses di masa lampau, Dorongan
untuk mengungguli perbuatan orang lain yang telah sukses dan
dorongan untuk meningkatkan status sosialnya dalam masyarakat.
Indikator-indikator dari motivasi berprestasi ini diukur dengan skala
ordinal.
b. Motivasi Berafiliasi yaitu suatu kekuatan yang mendorong responden
untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Indikator :
Dorongan untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain
maupun dengan pihak-pihak terkait (pemerintah/swasta), Dorongan
untuk menyenangkan keluarga, kerabat maupun orang lain, Dorongan
untuk mendapatkan afeksi (kasih sayang) dari keluarga, kerabat
maupun orang lain. Indikator-indikator dari motivasi berafiliasi ini
diukur dengan skala ordinal.
c. Motivasi Berkuasa yaitu suatu kekuatan yang mendorong responden
untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu
masyarakat dan untuk mengontrol orang lain. Indikator : Dorongan
untuk menguasai dan mengontrol anggota keluarga, kerabat maupun
orang lain, Keinginan memperkerjakan orang lain, Keinginan untuk
memperoleh dukungan baik dari anggota keluarga, kerabat maupun
orang lain. Indikator-indikator dari motivasi berkuasa ini diukur
dengan skala ordinal.
d. Motivasi Ekonomi yaitu suatu kekuatan yang mendorong responden
beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel untuk memenuhi
kebutuhan sendiri dan untuk memperoleh keuntungan.ekonomi.
Indikator : Dorongan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, Dorongan
untuk memperoleh tambahan penghasilan, Dorongan untuk
mempunyai tabungan di hari tua dan masa sekarang. Indikator-
indikator dari motivasi ekonomi ini diukur dengan skala ordinal.
(Pengukuran variabel terlampir)
I. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
diskriptif analitik. Metode diskriptif yaitu metode penelitian yang bertujuan
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
diteliti. Sedangkan metode analitik adalah analisa yang bertujuan untuk
menguji hipotesa-hipotesa dan mengadakan intepretasi yang lebih dalam
tentang hubungan antara faktor-faktor yang diteliti (Nasir, 1999).
Penelitian ini menggunakan teknik survei yang menurut Singarimbun
dan Efendi (1995) penelitian survei adalah penelitian dengan cara mengambil
sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat
pengumpul data.
B. Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja), yaitu
dengan cara memilih daerah penelitian berdasarkan ciri-ciri atau alasan yang
dipandang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti
(Singarimbun dan Effendy, 1995).
Lokasi penelitian dipilih di Desa Serenan Kecamatan Juwiring dengan
pertimbangan bahwa Desa Serenan merupakan salah satu desa di Kecamatan
Juwiring yang mempunyai jumlah pengrajin mebel paling banyak dibanding
desa yang lain. Hal ini dapat diketahui dari tabel berikut:
Tabel 1. Jumlah Pengrajin Mebel di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Desa Jumlah Pengrajin Mebel
1.
2.
3.
Tlogorandu
Gondangsari
Serenan
417
190
986
Jumlah 1.593
Sumber : Data monografi Desa Tlogorandu, Gondangsari dan Serenan tahun
2008
37
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
1. Penentuan Populasi
Populasi merupakan keseluruhan individu, keadaan atau gejala yang
dijadikan obyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah petani
yang beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan,
Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten. Populasi terdiri dari unit-unit
populasi, yaitu satuan terkecil yang menjadi anggota populasi (Mardikanto,
2001). Unit-populasi dalam penelitian ini adalah petani yang beralih
pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa
Serenan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten baik yang beralih
sebagian maupun yang beralih keseluruhan.
2. Penentuan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara Sensus
yakni semua unit-populasi diambil sebagai sumber data atau informan
(Mardikanto, 2001). Sampel dalam penelitian ini adalah petani yang beralih
pekerjaan dari sector pertanian ke sektor industri mebel baik yang beralih
sebagian yaitu sebanyak 22 orang dan yang beralih keseluruhan yaitu 11
orang. Adapun jumlah petani yang beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel adalah 33 orang yaitu sebagai berikut :
Tabel 2. Jumlah Petani Yang Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan
Juwiring Kabupaten Klaten
No Dukuh
Jumlah
Petani
Jumlah Petani Yang Beralih
Pekerjaan
Sebagian Keseluruhan
1. Badran 25 2 3
2.
Widoro
Mulyo 7 1 -
3. Picis 5 - -
4. Mutihan 3 - -
5. Mojosawit 9 - -
6. Nambangan 12 2 2
7. Sortanan 10 1 2
8. Ngepringan 215 16 4
Jumlah 286 22 11
Sumber : Diolah dari data monografi Desa Serenan tahun 2008 dan Wawancara
dengan Sekdes, Kadus Desa Serenan.
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan
responden berdasarkan pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan yang
meliputi identitas responden, faktor pembentuk motivasi dan motivasi
petani.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi yang ada
hubungannya dengan penelitian yang meliputi keadaan alam, keadaan
penduduk dan keadaan pertanian.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara yaitu metode pengumpulan data dimana peneliti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu kepada
responden untuk memperoleh informasi yang diharapkan. Dalam hal ini
peneliti melakukan wawancara langsung dengan petani responden
menggunakan quisioner yang telah disiapkan.
2. Observasi
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti di lapangan, yang meliputi pengamatan daerah
penelitian dan pencatatan informasi yang diberikan oleh para petugas dan
petani di daerah penelitian.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan pengambilan data yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen dari lembaga atau instansi, yang meliputi data
monografi daerah dan data petani.
F. Metode Analisis Data
1. Faktor pembentuk motivasi dan motivasi sosial ekonomi
Untuk mengkaji faktor-faktor pembentuk motivasi menggunakan
median score dan untuk mengkaji tingkat motivasi sosial ekonomi
menggunakan median score karena menurut Mardikanto (2001) bila skala
yang digunakan adalah skala ordinal maka untuk mengetahui pusat-pusat
kecenderungan adalah pada nilai tengah atau median.
2. Hubungan antara faktor pembentuk motivasi dengan motivasi sosial
ekonomi
Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pembentuk
motivasi dengan motivasi sosial ekonomi petani digunakan uji korelasi
jenjang Spearman (Rank Spearman) dimana menurut Siegel (1994) rumus
rank spearman adalah sebagai berikut :
NN
dirs
3
26
1
Keterangan :
rs : Koefisien korelasi rank spearman
N : Banyaknya Sampel
di : Selisih antara ranking
3. Tingkat signifikansi hubungan antara faktor pembentuk motivasi dengan
motivasi sosial ekonomi
Untuk menguji tingkat signifikansi hubungan antara faktor
pembentuk motivasi dengan motivasi sosial ekonomi petani beralih
pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri Kerajinan Mebel
digunakan uji t student (dengan taraf signifikansi 95 %) menggunakan
program SPSS 12.0 For Windows, karena sampel yang diambil lebih dari
10 (N>10) maka digunakan rumus :
rs
Nrst
2
1
2
Keterangan :
N : jumlah petani sampel
rs : koefisien korelasi rank spearman
Kriteria pengambilan keputusan :
1. Jika t hitung < t tabel ( α = 0,05 ) maka Ho diterima berarti tidak ada
hubungan yang signifikan antara Faktor Pembentuk Motivasi dengan
Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor
Pertanian Ke Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan,
Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten.
2. Jika t hitung ≥ t tabel ( α = 0,05 ) maka Ho ditolak berarti ada hubungan
yang signifikan antara Faktor Pembentuk Motivasi dengan Motivasi
Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan, Kecamatan
Juwiring, Kabupaten Klaten.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Lokasi dan Topografi
Desa Serenan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten mempunyai
luas wilayah 1,342.760 Ha. Desa Serenan terbagi dalam 8 dukuh yaitu :
Badran, Widoro Mulyo, Picis, Mutihan, Mojosawit, Nambangan, Sortanan dan
Ngepringan. Desa Serenan mempunyai orbitrasi sebagai berikut : Jarak antara
pusat pemerintahan desa dengan pusat pemerintahan kecamatan adalah 8 Km.
Jarak dari ibukota kabupaten adalah 28 Km. Jarak dari ibukota Propinsi Jawa
Tengah adalah 100 Km. Dan jarak dari ibukota negara adalah 700 Km. Secara
administratif batas-batas Desa Serenan adalah sebagai berikut :
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Taji, Kecamatan Juwiring,
Kabupaten Klaten dengan tanda batas Sungai Pusur
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bulakan, Kecamatan Sukoharjo,
Kabupaten Sukoharjo dengan tanda batas Sungai Bengawan Solo
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gondangsari, Kecamatan
Juwiring, Kabupaten Klaten dengan tanda batas jalan desa
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tlogorandu, Kecamatan Juwiring,
Kabupaten Klaten dengan tanda batas jalan dan tanggul desa
Desa Serenan termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian 115
meter dari permukaan laut, dengan jenis tanah regosol yaitu jenis tanah yang
berasal dari bahan induk abu dan pasir vulkan intermedier. Mempunyai curah
hujan 110 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 280C. Keberadaan Desa
Serenan terletak pada daerah pertemuan dua aliran sungai, yaitu Sungai
Bengawan Solo yang bermata air dari Gunung Gajah Mungkur Kabupaten
Wonogiri dengan Sungai Dengkeng yang bermata air dari Gunung Merapi.
Muara pertemuan tersebut terletak di sebelah ujung selatan Desa Serenan.
B. Keadaan Penduduk
1. Keadaan Penduduk menurut Umur
Pengetahuan mengenai keadaan penduduk menurut umur
bermanfaat dalam menentukan besarnya beban tanggungan bagi usia
produktif terhadap penghidupan seluruh keluarganya. Menurut Mantra
(1991), bahwa kelompok penduduk 0-14 tahun dianggap belum produktif
secara ekonomis, kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai
kelompok produktif dan kelompok penduduk umur 65 tahun ke atas
sebagai kelompok penduduk yang tidak produktif. Berikut data keadaan
penduduk menurut umur di Desa Serenan :
Tabel 3. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Komposisi Penduduk Jumlah Prosentase (%)
1. 00-09 tahun 2.342 58,02
2. 10-14 tahun 123 3,05
3. 15-19 tahun 290 7,19
4. 20-26 tahun 425 10,53
5. 27-40 tahun 351 8,7
6. 41-56 tahun 244 6,05
7.
8.
57 tahun ke atas
Usia tidak produktif
Total
135
126
4.036
3,34
3,12
100
Sumber : Diolah dari Data Monografi Desa Serenan Tahun 2008
Mengacu pada Tabel 3, diketahui bahwa proporsi terbesar usia
penduduk di Desa Serenan adalah pada rentang usia 0 – 09 tahun yakni
2.342 dengan prosentase 58,02% dan usia tersebut menunjukkan usia yang
belum produktif. Adanya jumlah penduduk belum produktif yang tinggi
menjadi tanggungan bagi kelompok penduduk produktif yaitu dengan
mengeluarkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
belum produktif tersebut. Hal itu perlu diimbangi dengan ketersediaan
lapangan kerja yang memadai. Rendahnya kemampuan pertanian dalam
penyerapan tenaga kerja dan kecilnya pendapatan yang diperoleh dari
pertanian menyebabkan terjadinya pengangguran dan rendahnya
pendapatan masyarakat pedesaan. Untuk itu maka perlu terbukanya
peluang kerja non pertanian dan salah satunya adalah industri kecil di
pedesaan.
Mengacu pada Tabel 5 bahwa besarnya Angka Beban Tanggungan
(ABT) atau “Dependency Ratio”. ABT merupakan perbandingan antara
jumlah penduduk dalam kelompok umur non produktif dengan jumlah
penduduk produktif, dihitung dengan rumus :
Dependency ratio =oduktifPenduduk
produktifnonPenduduk
Pr x 100
= 1445
2591 x 100
= 179,3 179
ABT penduduk di Desa Serenan adalah 179, artinya bahwa setiap
100 orang penduduk usia produktif menanggung 179 orang penduduk usia
belum produktif dan usia tidak produktif. Hal ini berarti kesejahteraan
masyarakat di Desa Serenan masih belum dapat terjamin, karena
pendapatan yang diperoleh oleh penduduk golongan produktif banyak
yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang tidak
produktif dan belum produktif.
2. Keadaan Penduduk menurut Jenis Kelamin
Keadaan penduduk menurut jenis kelamin di Desa Serenan dapat
dilihat dalam tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Penduduk Jumlah Prosentase (%)
1. Laki-laki 2.015 49,92
2. Perempuan 2.021 50,01
Total 4.036 100
Sumber : Monografi Desa Serenan Tahun 2008
Tabel 4 menggambarkan bahwa, jumlah penduduk menurut jenis
kelamin di Desa Serenan menunjukkan jumlah yang seimbang yaitu
penduduk laki-laki sebesar 49,92 persen dan penduduk perempuan
50,01 persen. Dengan keadaan penduduk Desa Serenan yang berjenis
kelamin laki-laki sebesar 49,92 persen diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian maupun dalam
industri kecil di Desa Serenan. Selain itu, berdasarkan Tabel 6 dapat pula
diketahui sex ratio di Desa Serenan. Sex ratio merupakan perbandingan
antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, dengan rumus :
Sex ratio = PerempuanPenduduk
lakiLakiPenduduk
x 100
= 2021
2015 x 100 = 99.7 100
Sex ratio di Desa Serenan adalah 100, artinya setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 100 penduduk laki-laki di Desa Serenan. Hal ini
berarti Desa Serenan mempunyai jumlah penduduk laki-laki dan
perempuan yang relatif seimbang.
3. Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana yang mempengaruhi kualitas
masyarakat dan mampu menunjang pembangunan termasuk pembangunan
pertanian dan industri. Berikut keadaan penduduk menurut tingkat
pendidikan di Desa Serenan dapat disajikan pada tabel 5 sebagai berikut :
Tabel 5. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase (%)
1. Tidak/belum sekolah 798 19,77
2. Tamatan Taman Kanak-kanak 84 2,081
3. Tamatan Sekolah Dasar 1.599 39,62
4. Tamatan SMP/SLTP 858 21,26
5. Tamatan SMA/SLTA 633 15,68
6. Akademi (D1-D3) 48 1,189
7. Sarjana (S1-S3)
Total
16
4.036
0,396
100
Sumber : Diolah dari Data Monografi Desa Serenan Tahun 2008
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan yang
terbanyak di Desa Serenan adalah tamatan SD, hal ini disebabkan
masyarakat di Desa Serenan didominasi oleh anak-anak yang masih
sekolah dan orang tua yang tidak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi diakibatkan kurangnya fasilitas dan biaya. Namun
kenyataannya di Desa Serenan tidak sedikit pula yang telah mengenyam
dunia pendidikan sampai jenjang SLTP dan SLTA, hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat di Desa Serenan sudah melaksanakan program
pendidikan sembilan tahun bahkan sudah banyak ke jenjang yang lebih
tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan penduduk dalam mengenyam
pendidikan sudah cukup baik atau tingkat pendidikannya tergolong
sedang. Dengan tingkat pendidikan yang relatif sedang maka kemampuan
penduduk untuk menyerap informasi serta menerima hal-hal baru terutama
dalam bidang industri dan pertanian akan cenderung cukup cepat sehingga
mampu memberikan kontribusi terhadap laju pembangunan.
4. Keadaan Penduduk menurut Mata Pencaharian
Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Desa Serenan
dapat dicermati pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase (%)
1. Pegawai Negeri Sipil 24 1,537
2. ABRI 2 0,128
3. Karyawan Swasta 120 7,687
4. Wiraswasta/Pedagang 65 4,163
5. Tani 286 18,32
6. Pertukangan 978 62,65
7.
8.
Buruh Tani
Pensiunan
Total
81
5
1.561
5,188
0,320
100
Sumber: Monografi Desa Serenan Tahun 2008
Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa sebagian besar mata
pencaharian penduduk Desa Serenan adalah bekerja dalam bidang
pertukangan, dalam hal ini sebagai pengrajin industri mebel. Hal ini
dikarenakan penduduk Desa Serenan merupakan daerah industri kerajinan
mebel yang sudah dilakukan secara turun temurun. Selain dari industri
mebel, mata pencaharian terbanyak kedua penduduk Desa Serenan adalah
sebagai petani, baik sebagai petani pemilik (pemilik penggarap dan
pemilik non penggarap) maupun sebagai petani non pemilik (petani
penyewa dan buruh tani).
C. Keadaan Pertanian
Luas desa Serenan adalah 134,2760 Ha, sebagian besar merupakan
tanah sawah. Untuk mengetahui besarnya penggunaan lahan pertanian di Desa
Serenan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 7. Luas Lahan Pertanian di Desa Serenan
No Jenis Lahan Pertanian Luas Lahan (Ha) Prosentase (%)
1. Sawah irigasi teknis 21 17,19
2. Sawah irigasi ½ teknis 47 38,47
3. Sawah irigasi sederhana 20 16,37
4. Pekarangan 34,1500 27,96
Total 122,15 100
Sumber : Monografi Desa Serenan Tahun 2008
Dari tabel 7 menunjukkan luas lahan pertanian di Desa Serenan yaitu
122,15 Ha yang terdiri dari tanah sawah seluas 88 Ha dan pekarangan seluas
34,1500 Ha. Penggunaan lahan untuk persawahan lebih besar bila
dibandingkan dengan penggunaan untuk pekarangan atau untuk pertanian
lahan kering seperti ladang atau tegalan karena Desa Serenan terletak pada
dataran rendah yang cukup mendapatkan air sepanjang tahun sehingga
memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman padi. Pola pertanian yang
dijalankan oleh petani yaitu pola pertanian lahan basah (sawah) dengan masa
tanam 4 bulan sekali tiap tahunnya. Petani di Desa Serenan lebih tertarik
membudidayakan tanaman padi karena lebih mudah memasarkannya dan
pendapatan yang diterima lebih besar bila dibandingkan dengan menanam
palawija.
Komoditas utama pertanian di Desa Serenan adalah tanaman padi yaitu
seluas 88 Ha dengan produktivitas 4 ton/Ha per musim tanam. Sedangkan
tanah pekarangannya biasanya ditanami tanaman buah-buahan seperti
mangga, jambu dan pisang. Biasanya hasil buah-buahan dari pekarangan tidak
dijual, tetapi digunakan sendiri untuk mencukupi kebutuhan petani. Selain dari
pertanian penduduk Desa Serenan juga memelihara ternak. Binatang ternak
yang dipelihara yaitu ayam, itik, kambing, domba dan sapi. Ternak yang
dipelihara biasanya sebagai pekerjaan sambilan disamping pekerjaan sebagai
petani dan pengrajin mebel.
Jumlah petani di Desa Serenan sebanyak 286 petani, yang terbanyak
adalah di dukuh Ngepringan yaitu 215 orang dan sisanya terdapat di dukuh
Serenan sebanyak 71 orang. Sedangkan buruh tani sebanyak 81 orang dan
semuanya terdapat di dukuh Ngepringan. Di desa Serenan terdapat 2
kelompok tani dan 1 GAPOKTAN (gabungan kelompok tani). Kelompok tani
tersebut yaitu Krida 1 yang berdiri tahun 1977 dengan jumlah anggota 84
orang dan Krida 2 yang berdiri pada tahun yang sama dan dengan jumlah
anggota sebanyak 85 orang. Sedangkan GAPOKTAN berdiri tahun 2006
dengan anggota 153 orang yang merupakan gabungan dari kelompok tani
Krida 1 dan Krida 2. Anggota kelompok tani biasanya terdiri dari petani yang
memiliki sawah di desa Serenan. Sedangkan petani yang memiliki sawah di
luar desa Serenan tidak bisa menjadi anggota kelompok tani.
D. Keadaan Industri Kerajinan Mebel
1. Sejarah Kerajinan Mebel Desa Serenan
Menurut mitos yang dipercaya oleh penduduk Desa Serenan,
bahwa sebelum desa tersebut dinamakan Serenan, desa itu dikenal dengan
nama Matamo. Menurut cerita, dulu raja Mataram, Surakarta Hadiningrat
Kanjeng Sinuwun Susuhunan Pakubuwono X (sekitar tahun 1890an)
berkenan mengunjungi kerajinan seni ukir yang terdapat di desa Matamo
dengan menyusuri Sungai Bengawan Solo. Dan selama perjalanan, Raja
Surakarta sempat beristirahat di beberapa dukuh yang terdapat di Desa
Matamo. Dukuh pertama yang menjadi tempat peristirahatan raja adalah
dukuh yang sekarang bernama Dukuh Mojosawit karena pada waktu itu
raja sedang memakai pakaian kawitan.
Perjalanan dilanjutkan ke suatu dukuh dimana raja mengadakan
syukuran atau surtanan, kemudian dukuh tersebut dinamakan Dukuh
Sortanan. Setelah itu menuju suatu desa yang jalur lalu lintasnya
menggunakan tambang sehingga dukuh tersebut diberi nama Dukuh
Nambangan. Kemudian raja melanjutkan perjalanan menuju arah selatan,
di situ raja menggunakan uang picis atau talen. Untuk mengingatnya maka
dukuh tersebut diberi nama Dukuh Picis.
Setelah memberi nama dukuh Picis, raja Surakarta melanjutkan
perjalanan dan meningalkan Picis. Setelah itu raja berkenan mendarat lagi
untuk membersihkan hati atau pikiran-pikiran yang mengganggu. Desa
tempat berhenti tersebut akhirnya diberi nama Dukuh Mutihan.
Karena kelima dukuh tersebut telah menjadi tempat istirahat, maka
desa itu dinamakan Serenan yang berarti desa dimana raja dan rombongan
beristirahat. Desa Matamo kini lebih dikenal dengan nama Desa Serenan.
Dalam menikmati istirahat di Desa Serenan itu, raja melihat dua orang
laki-laki yaitu Pak Suko dan Pak Subo yang sedang mengukir kayu. Pak
Suko dan Pak Subo akhirnya dipanggil raja surakarta untuk diminta
mengukir kebutuhan keraton.
Pada suatu saat Keraton Kasunanan Surakarta kedatangan tamu
dari Jepang. Tamu tersebut tertarik pada sebuah ”canthik perahu” di
Taman Sriwedari yang konon bernama Rojo Molo. Ketika canthik tersebut
akan dihadiahkan kepada tamu tersebut, yang terjadi adalah tak
seorangpun yang mampu mengangkat dan memindahkan canthik itu dari
tempatnya. Maka sinuwun memerintahkan untuk memanggil Pak Suko dan
Pak Subo untuk menghadap raja dan diminta untuk membuat canthik yang
mirip dengan canthik Rojo Molo. Karena keterampilan yang dimiliki oleh
Pak Suko dan Pak Subo maka selesailah seperti canthik Rojo Molo. Dan
untuk membalas budi Pak Suko dan Pak Subo Sinuwun bersabda bahwa
anak cucunya dapat mengukir tanpa harus sekolah dan semua keperluan
mebel istana dipesan dari serenan. Bahkan seiring dengan perkembangan
jaman, Serenan kini dapat dikatakan sebagai pusat mebel untuk wilayah
Kabupaten Klaten dan produksinya kini mampu menembus pasaran
internasional.
2. Produksi Kerajinan Mebel Desa Serenan
Hingga tahun 1970an kerajinan kayu di desa ini masih
menggunakan bahan baku dari kayu jati dengan produksi sangat
sederhana, seperti: meja, kursi, dan mebelair lainnya yang masih sangat
sederhana. Alat-alat yang digunakan semuanya serba manual tradisional
seperti : pasah, gergaji dorong, gergaji sentheng, gobel, gergaji puter,
pasah undhuk panjang dan pendek, pahat, bor. Produksi dari alat-alat
sederhana tersebutpun hanya mampu memasok bagi kebutuhan lokal untuk
kepentingan masyarakat desa sekitar dan kota terdekatnya seperti
Delanggu, Klaten dan Solo.
Baru mulai pada awal tahun 1980an produk-produk kerajinan Desa
Serenan mulai dikenal oleh masyarakat secara luas di kota-kota besar
seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya melalui orang-orang asal Solo dan
sekitar Klaten dengan cara pemanggilan para pemahat dan pengrajin kayu
asal Desa Serenan ke kota tersebut untuk membuat alat-alat rumah tangga.
Dari situlah maka produk-produk kerajinan kayu Serenan dikenal dari
rumah ke rumah di kota-kota tersebut.
Pada sekitar tahun 1998 seiring dengan meningkatnya permintaan
mebel, pengrajin mebel di Desa Serenan mulai menggunakan alat produksi
yang modern. Dengan adanya peralatan yang modern dalam suatu usaha
atau kegiatan akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas produksi.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam proses produksi mebel di Desa
Serenan antara lain : pasah listrik, bor listrik, amplas listrik, oklok listrik,
tatah listrik, gergaji listrik, lem plastik, dan oven (pengering kayu).
Penggunaan alat-alat tersebut sangat mendukung peingkatan produksi
massal. Dengan demikian order atau permintaan yang ada dapat dipenuhi,
karena proses produksi hanya memakan waktu yang relatif singkat dengan
kualitas produksi yang baik.
Bahan baku yang banyak digunakan dalam usaha industri kerajinan
mebel antara lain kayu mahoni, kayu jati, sono keling, kayu nangka dan
kayu akasia. Karena mahalnya harga kayu jati dan sono keling, sekarang
ini banyak digunakan kayu mahoni. Disamping harganya lebih murah,
penyediaan kayu mahoni jumlahnya lebih banyak dan mudah diperoleh.
Pengadaan bahan baku ini dapat diperoleh dari daerah-daerah di Jawa
Tengah seperti Magelang dan Salatiga.
Hingga tahun 2008, telah terdapat 978 unit usaha di Desa Serenan
yang tersebar di 8 dukuh. Penduduk yang paling dominan pekerjaanya
sebagai pengrajin kayu adalah Serenan (merupakan awal dimulainya) dan
Ngepringan (sebagai perluasan). Kini, istilah ”Kerajinan Serenan” tidak
saja terbatas secara geografik bertempat di desa serenan, tetapi juga bagi
yang telah menyebar ke desa-desa lain, tetapi karena produksinya sejenis
atau merupakan turunan ”Kerajinan Serenan”, maka disebut juga
Kerajinan Serenan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Transformasi Pekerjaan Dari Petani Ke Pengrajin Di Desa Serenan
Secara historis, penduduk di Desa Serenan adalah mempunyai latar
belakang pekerjaan sebagai petani dan buruh tani yang terlibat pola kerja
ekonomi pertanian tradisional sebelum beralih profesi sebagai pengrajin mebel
kayu. Jika dicermati lebih lanjut, perkembangan pengrajin kayu di Desa
Serenan dapat dipilahkan atas 3 generasi, yaitu :
Generasi pertama, adalah perintis pengrajin kayu atau tukang ukir.
Latar belakang mereka adalah petani dan buruh tani, yang hampir jarang dapat
panen padi karena masa lalu desa ini adalah merupakan wilayah luapan banjir
air sungai bengawan solo. Adanya peneguhan dari ucapan raja pada waktu itu
kemudian mereka menekuni sebagai tukang ukir atau pengrajin kayu.
Termasuk dalam generasi ini adalah mereka yang berusaha sebagai pengrajin
sampai dengan sekitar tahun 1970an.
Generasi kedua, adalah pengrajin penerus. Latar belakang mereka
adalah petani dan buruh tani. Bagi generasi ini pada awalnya menempatkan
pekerjaan pengrajin sebagai pekerjaaan sambilan, tetapi karena sampai tahun
1984 banjir air Bengawan Solo masih sering menjadi pengganggu tanaman
mereka, maka selain menjadi buruh tani di daerah lain, pada saat-saat
senggang tertentu mereka menjadi pengrajin kayu keliling atau tukang ukir ke
kota atau daerah lainnya. Bagi mereka ini, menjadi pengrajin kayu atau tukang
ukir merupakan jawaban atas ketidakpastian pendapatan dari pekerjaan
bertani, meskipun bertani sendiri tidak mereka tinggalkan. Pada saat Sungai
Bengawan Solo dilakukan rehabilitasi (penanggulan) yang selesai pada tahun
1989, maka kegiatan pertanian menjadi marak kembali, sungguhpun sebatas
pada bertani dengan pertanian non teknis. Banyak pengrajin keliling tersebut
kemudian memilih menetap di desanya dengan menggarap sawahnya, tanpa
meninggalkan kepintarannya sebagai pengrajin kayu. Di sela-sela kegiatan
pertanian tersebut, mereka memproduksi barang-barang perabot rumah tangga
seperti almari, meja, kursi dan sejenisnya. Dari generasi kedua ini
memunculkan dua kelompok usaha, yaitu mereka yang hanya terus sebagai
produsen kayu (baik pengrajin maupun buruh) dan pedagang pengumpul.
Pengalaman mereka bepergian ke kota menjadikannya mengetahui peluang
besar kerajinan kayu. Generasi inilah yang saat ini banyak melakukan kegiatan
industri kecil di Desa Serenan tersebut, yaitu berusia sekitar 40 tahun ke atas.
Di antara mereka ada yang kemudian sepenuhnya hanya sebagai pengrajin,
dan sebagian yang lain masih bekerja sambilan sebagai petani. Latar belakang
pendidikan formal mereka pada umumnya SD dan sebagian kecil SLTP.
Generasi ketiga, adalah kelompok pengrajin atau pengrajin pengumpul
yang tidak lagi berlatar belakang petani. Umumnya orang tua mereka adalah
petani, berasal dari desa tersebut dengan latar belakang pendidikan umumnya
SLTP serta Perguruan Tinggi. Usia mereka umumnya di bawah 40 tahun. Jadi,
kalaulah mereka mengenal pekerjaan pertanian, hanyalah sebatas membantu
orang tua mereka waktu masih belum dewasa. Karena latar belakang mereka
tersebut, beberapa di antara mereka yang sukses sebagai pengrajin, hasil
usahanya dibelikan sawah tetapi tidak untuk dikerjakan sendiri. Membeli
sawah hanya untuk menaikkan status sosial, yaitu sebagai pemilik sawah.
Mereka membeli sawah dapat dikatakan sebagai sikap berjaga-jaga atas
ketidakpastian dari usaha kerajinan. Ini menunjukkan bahwa keterikatan
mereka terhadap pertanian masih cukup besar.
Dari pengamatan di daerah penelitian yaitu di Desa Serenan, pengrajin
industri mebel kayu dapat digolongkan menjadi tiga: (1) pengrajin pengusaha,
(2) pengrajin, dan (3) buruh pengrajin.
Pertama, pengrajin pengusaha (pedagang pengumpul) adalah pengrajin
besar yang sudah berpengalaman dengan kecukupan modal tertentu bagi
usahanya. Mereka telah menjalin hubungan kerja dengan pengusaha lain,
seperti eksportir dan toko mebel. Pekerjaan mereka dikenal sebagai produsen
barang-barang ”halus” dengan kontrol kualitas dari pemesannya. Pada
umumnya mereka membuat atau mengumpulkan produk barang keperluan
ekspor, dan bahkan ada diantara mereka yang telah memasarkan sendiri
produk-produknya melalui membuka show room.
Kedua, pengrajin adalah mereka yang berusaha dalam industri kecil,
baik sebagai pekerja sendiri maupun dibantu oleh buruh. Pengrajin pekerja
sendiri melakukan pekerjaan kerajinan yang relatif terbatas bahkan sampai
memasarkan sendiri secara keliling dari desa ke desa lain. Mereka ini
umumnya disebut pengrajin tradisional. Pengrajin dengan dibantu pekerja atau
buruh adalah pengrajin yang usahanya relatif besar, dan pada umumnya
melakukan ”subkontrak pekerjaan produk tertentu” dari pengrajin pengusaha
atau pengumpul atau melayani pemasaran konsumen tertentu.
Ketiga, buruh pengrajin adalah tenaga kerja yang dibayar oleh pemilik
pekerjaan (dalam hal ini oleh pengrajin), baik sebagai buruh harian atau buruh
borongan. Buruh harian menerima upah seminggu sekali pada setiap akhir
minggunya, penghitungan upahnya yaitu per hari. Sedangkan buruh borongan
penghitungan upahnya yaitu per unit barang yang telah selesai ia produksi.
Proses menjadi buruh hampir dipastikan melalui proses magang, sehingga
dikenal istilah ”buruh magang”. Buruh magang ini disebut buruh walaupun
upahnya sangat minim, bahkan kadang tidak dibayar, kecuali hanya diberi
makan dan tempat tinggal bagi buruh yang berasal dari luar daerah.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa terjadinya transformasi pekerjaan
dari petani ke pengrajin industri kecil dalam suatu desa yang semula
merupakan desa pertanian, telah mengarah pada terbentuknya kondisi yang
tidak saja terjadinya diferensiasi sosial tetapi juga terjadinya stratifikasi sosial.
Diferensiasi sosial adalah pengelompokkan masyarakat dimana
anggota masyarakat yang berbeda kelompok memiliki hak, kewajiban, dan
peranan yang sama dalam masyarakat. Diferensiasi sosial yang terjadi, dari
yang semula pekerjaan yang dikenal oleh anggota masyarakat hanyalah petani
atau buruh tani, pegawai dan penganggur, misalnya, kini telah bertambah
dengan adanya kelompok sosial lain yaitu pengrajin.
Terjadinya transformasi pekerjaan dari petani ke pengrajin, telah
memperjelas munculnya stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah perbedaan
masyarakat dalam kelas-kelas yang bertingkat atau hierarkis dimana
pembedaan jenjang atau tingkatan berakibat pada perbedaan hak, kewajiban,
status, dan peranannya dalam masyarakat. Stratifikasi sosial yang terjadi
(setidaknya dalam kelas pekerja industri kecil), yaitu: adanya kelas buruh,
kelas pengrajin dan kelas pedagang pengumpul atau pengusaha. Ketiga
pelapisan tersebut sekaligus membedakan status sosial di antara mereka.
Dari pengamatan di lapangan tampaknya pengrajin secara keseluruhan
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan petani. Kepemilikan barang seperti
mobil, TV, rumah yang permanen, dan lainnya yang lebih banyak dimiliki
oleh pengrajin, misalnya, menjadi ukuran bagi cara pandang masyarakat
membandingkan dua pekerjaan ini. Sungguhpun demikian, ada juga pengrajin
yang berhasil (dari yang semula berasal dari bekas buruh tani = non pemilik
lahan) berusaha membeli sawah untuk dimilikinya. Dengan kenyataan bahwa
kemudian yang bersangkutan tidak mengerjakan sendiri sawah itu, mungkin
secara sosiologis dapat dimaknai untuk menyamakan status sosialnya dengan
pengrajin bekas pemilik lahan. Kenyataan itu juga sebagai tanda bahwa
tingkat keterikatan mereka dengan pertanian masih sangat tinggi.
Transformasi pekerjaan dari petani ke pengrajin industri kecil, juga
telah mengakibatkan terjadinya proses mobilitas sosial, baik vertikal maupun
horisontal. Mobilitas vertikal adalah perpindahan status sosial seseorang atau
kelompok kedalam lapisan sosial yang berbeda atau tidak sederajat dimana
terjadi perubahan derajat kedudukan seseorang atau sekelompok orang.
Sedangkan Mobilitas horisontal adalah perpindahan status sosial seseorang
atau sekelompok orang kedalam lapisan sosial yang sama atau sederajat
dimana tidak terjadi perubahan derajat kedudukan seseorang atau sekelompok
orang. Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses mereka menjadi
buruh, pengrajin, dan pengrajin pengusaha.
Karena terbatasnya pekerjaan di pertanian, buruh tani pindah atau
bekerja sambilan sebagi buruh di industri kecil. Ini adalah contoh dari
mobilitas horisontal. Mereka yang sebagai buruh umumnya tidak memiliki
lahan sawah atau tegalan, atau karena terbatasnya jumlah upah sebagai buruh
tani mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin. Dengan demikian
pekerjaan buruh industri kecil bagi mereka adalah sebagai pekerjaan utama.
Adapun bagi buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian,
mereka hanya bekerja sambilan sebagai buruh dan fungsi pekerjaannya
hanyalah penambahan pendapatan. Istilah yang sering diungkapkan oleh
mereka adalah ”nasinya dari sawah dan lauknya dari industri”. Dalam kasus
ini sebenarnya merupakan proses mobilitas sosial yang vertikal ”ke bawah”,
karena kemudian menjadi pekerja dari orang lain. Namun jika bekerja
sambilan ini dilihat sebagi ”proses belajar” untuk kemudian menjadi
pengrajin, maka disebut mobilitas vertikal ”ke atas”.
Bagi pengrajin (sering disebut ”juragan kecil”), umumnya masih
bekerja sambil bertani. Kalaulah mereka tidak bertani, tanah-tanah mereka
digarap buruh atau disewakan kepada petani lain. Bagi pengrajin pengusaha
umumnya tidak lagi mempunyai lahan pertanian, karena lahan mereka sudah
dijual untuk modal usaha bagi pengembangan usaha industri kecil. Mereka
begitu yakin tergantung atau menggantungkan hidupnya pada industri kecil,
karena pengalaman mereka telah menunjukkan hasil yang sangat
menggembirakan untuk jaminan hidup bagi keluarganya. Kalaulah mereka
memiliki lahan pertanian (pada umumnya dibeli setelah menjadi pengrajin)
dan atau fungsi lahan yang masih ada tersebut sebagai ”tabungan” atau barang
investasi bagi pengembangan usahanya. Orang-orang seperti ini menjadi
”teladan” dan ”model” bagi lingkungannya, dan dalam kenyataanya mereka
dipandang memiliki status sosial yang lebih tinggi.
Dari penjelasan diatas, kalaulah mereka belum dapat disebut sebagai
komunitas industri, maka setidaknya proses menuju kesana sedang terjadi.
Sebagai masyarakat yang sedang dalam proses transisi, Desa Serenan belum
memiliki sistem nilai yang secara tipologis jelas. Nilai-nilai baru telah
berkembang sejajar dengan perubahan dan perkembangan ekonomi
masyarakat. Akan tetapi nilai-nilai lama yang bersifat tradisional belum
memudar sama sekali. Kepentingan pribadi misalnya telah mendapat nilai
yang lebih tinggi tetapi nilai komunalisme juga masih mendapatkan
penghargaan dari masyarakat.
Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan,
masyarakata Desa Serenan senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang
dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta
berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang
merupakan ruh modal sosial antara lain sikap yang partisipatif, saling tukar
kebaikan, saling percaya mempercayai, tindakan proaktif dan diperkuat oleh
nilai-nilai dan norma yang mendukungnya.
Masyarakat Desa Serenan selalu berhubungan sosial dengan
masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling
berdampingan dan dilakukan atas prinsisp kesukarelaan (voluntary), kesamaan
(equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Melalui kelompok
pengrajin mebel misalnya. Kelompok tersebut dibangun atas dasar kesamaan
orientasi dan tujuan anggota-anggotanya dan dikelola dengan organisasi yang
lebih modern sehingga menyebabkan tingkat partisipasi anggotanya tinggi dan
memiliki rentang jaringan yang luas. Hal ini akan banyak menghadirkan
dampak positif baik bagi kemajuan kelompok pengrajin mebel itu sendiri
maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat Desa Serenan pada
umumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Serenan senantiasa
diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu
kelompok atau antar kelompok dalam nuansa altruisme (semangat untuk
membantu dan mementingkan kepentingan orang lain) sebagai suatu bentuk
kepuasan sosial. Kepuasan sosial hanya dapat dirasakan oleh pengrajin jika ia
mampu menyelaraskan perilakunya dengan sistem nilai yang melingkupinya.
Sehingga perilaku tersebut menjadi bermakna bagi pelakunya dan mendapat
pengakuan dari masyarakat sebagai perilaku yang diharapkan. Perilaku
pengrajin yang ditujukan untuk mendapatkan kepuasan sosial terutama
nampak dari perilaku memanfaatkan pendapatannya sebagai hasil dari
pekerjaanya. Pendapatan pengrajin tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan pribadi saja, tetapi juga dialokasikan untuk
memenuhi kewajiban sosial yang berada di luar kepentingan ekonomis.
Bentuk kewajiban sosial yang paling menonjol di Desa Serenan adalah dengan
memberikan bantuan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga, saling
memberikan sumbangan kepada kerabat, tetangga dan orang-orang di luar
desa yang dikenal yang sedang melangsungkan hajat tertentu, seperti pesta
perkawinan. Kemampuan memenuhi kewajiban sosial seperti sumbangan ini
akan memberikan perasaan berhasil dan kepuasan.
Dalam kesehariannya masyarakat Desa Serenan juga menunjukkan
perilaku yang proaktif. Perilaku proaktif dapat dilihat melalui tindakan-
tindakan yang paling sederhana sampai yang berdimensi luas. Bergotong
royong membersihkan lingkungan, melakukan inisiatif untuk menjaga
keamanan bersama merupakan tindakan yang sederhana dimana di dalamnya
terkandung semangat keaktifan dan kepedulian. Inisiatif untuk mengunjungi
keluarga, teman, mencari informasi yang dapat memperkaya ide, pengetahuan
dan beragam bentuk inisiatif individu merupakan wujud tindakan proaktif
yang berdimensi luas.
Rasa saling percaya mempercayai antar pengrajin terbangun atas
hubungan yang selama ini mereka lakukan. Rasa saling percaya ini akan
dengan mudah terbangun dan dengan mudah pula dapat hilang apabila dalam
diri individu tidak lagi mau melaksanakan aturan-aturan kolektif dalam
hubungan sosialnya seperti misalnya norma untuk tidak mencurangi orang
lain. Nilai-nilai kebersamaan, tenggang rasa, penghormatan, kompetisi,
pencapaian, dan kejujuran merupakan ciri yang sangat menonjol dari
masyarakat Desa Serenan, sehingga masyarakat di Desa Serenan tersebut
cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju.
B. Identitas Responden
Tabel 8. Identitas Responden Faktor Pembentuk Motivasi Sosial Ekonomi
Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten
Klaten
No Variabel Kriteria Skor Jumlah
(orang)
Prosentase
(%)
Median
1 Umur 60-64 tahun
45-59 tahun
30-44 tahun
15-29 tahun
<15 tahun
5
4
3
2
1
Total
5
20
8
0
0
33
15,5
60,6
24,2
0
0
100
4
2 Tingkat
Pendidikan
Tamat Sarjana
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tdk Tamat SD
5
4
3
2
1
Total
0
3
6
14
10
33
0
9,09
18,1
42,4
30,3
100
2
3 Luas
Pemilikan
Lahan
>2 Ha
>1-2 Ha
0,5-1 Ha
<0,5 Ha
Tdk Mempunyai
5
4
3
2
1
Total
0
2
3
28
0
33
0
6,06
9,09
84,8
0
100
2
4 Tingkat
Pendapatan
>30 Juta/bulan
> 20-30 Juta/bulan
>10-20 Juta/bulan
1-10 Juta/bulan
<1 Juta/bulan
5
4
3
2
1
Total
6
1
1
23
2
33
18,1
3,03
3,03
69,6
6,06
100
2
5 Kosmopolitan Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
0
0
5
28
0
33
0
0
15,1
84,8
0
100
2
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Identitas responden memberikan gambaran secara umum mengenai
kondisi sosial ekonomi responden di daerah penelitian. Identitas responden
terdiri dari faktor pembentuk motivasi dari dalam diri petani (internal) yang
meliputi umur, tingkat pendidikan, luas pemilikan lahan, tingkat pendapatan,
dan kosmopolitan.
1. Umur
Umur petani mempengaruhi pengetahuan fisik (kognitif, afektif,
psikomotorik). Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa umur responden
termasuk dalam kategori umur 45-59 tahun (median skor 4) sebanyak 20
responden (60,6%) dan termasuk dalam kelompok umur produktif (15-64
tahun). Dari ke 33 orang responden, mereka beralih pekerjaan dari petani
ke pengrajin industri mebel pada waktu mereka berumur antara 20-45
tahun.
Petani beralih pekerjaan pada umur produktif (15-64 tahun) karena
pada umur ini kemampuan kognitif (kemampuan otak untuk berfikir),
Kemampuan afektif (kemampuan mengambil sikap untuk merespon hal-
hal baru), dan kemampuan psikomotorik (kemampuan untuk bertindak
dengan suatu tingkah laku) masih sangat baik. Pada umur produktif ini
seseorang akan lebih berani mengambil resiko terhadap usaha yang
dijalankannya. Sedangkan semakin tua umur seseorang, seseorang akan
lebih menunjukkan kematangan jiwa, semakin bijaksana, mampu berfikir
rasional, mampu mengendalikan emosi sehingga semakin tua umur
seseorang, kecenderungan untuk berpindah pekerjaan akan semakin
berkurang.
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan Merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan suatu usaha. Dengan diperolehnya pendidikan
yang cukup maka seseorang akan mampu mengadopsi ilmu dan teknologi
secara baik. Seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi akan
lebih mudah dalam menanggapi inovasi ataupun isu yang berkembang
karena seseorang lebih berpikiran rasional setelah mendapatkan ilmu-ilmu
yang didapat dari bangku sekolah.
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
responden termasuk dalam kategori tamat SD (median skor 2) sebanyak 14
responden (42,4%) dari keseluruhan responden. Sedangkan terbanyak
kedua adalah responden yang tidak tamat SD sebanyak 10 orang
responden (30,3%), tamat SLTP sebanyak 6 orang responden (18,1%) dan
responden yang berpendidikan SLTA sebanyak 3 orang responden
(9,09%). Jumlah responden yang berpendidikan SD dan yang tidak tamat
SD menempati jumlah terbanyak karena mereka menganggap pendidikan
dari bangku sekolah tidak terlalu penting, mereka lebih mementingkan
bagaimana caranya mencari uang.
Tingkat pendidikan formal berkaitan langsung dengan
pembentukan pengetahuan pengrajin tentang industri kecil. Walaupun
bukan berarti yang berpendidikan rendah tidak mungkin berhasil dalam
usahanya. Berdasarkan pengamatan di daerah penelitian tidak sedikit pula
pengrajin yang berhasil dalam usahanya hanya memiliki pendidikan tidak
tamat SD dan tamat SD, hal ini disebabkan karena dalam proses
penyebaran keahlian mereka tidak didapat dari bangku sekolah tetapi
berlangsung secara turun temurun yaitu melalui proses magang kepada
pengrajin pendahulu.
Implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan formal mayoritas
pengrajin mebel di Desa Serenan akan berakibat pada lambatnya proses
suatu inovasi itu dapat diadopsi oleh pengrajin. Kemampuan pengrajin
untuk menanggapi suatu inovasi akan lebih sulit karena pengrajin kurang
dapat berpikiran secara rasional.
3. Luas Pemilikan Lahan
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa luas kepemilikan lahan
berada dalam kategori <0,5 Ha (median skor 2) sebanyak 28 orang
responden (84,8%) dari keseluruhan responden. Sedangkan responden
yang memiliki lahan 0,5-1 Ha sebanyak 3 orang responden (9,09%) dan
yang memiliki lahan >1-2 Ha sebanyak 2 orang responden (6,06%).
Berdasar pengamatan di lokasi penelitian mayoritas petani
memiliki lahan seluas <0,5 Ha, dengan keadaan tersebut petani terpaksa
melakukan kegiatan di luar usahataninya untuk memperoleh tambahan
penghasilan yaitu salah satunya dengan beralih pekerjaan ke sektor
industri kerajinan mebel karena petani yang menguasai lahan sawah yang
sempit akan memperoleh hasil produksi yang kecil dan begitu sebaliknya.
Dalam hal ini, luas sempitnya lahan sawah yang dikuasai petani akan
sangat menentukan besar kecilnya pendapatan ekonomi yang diperoleh.
4. Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa pendapatan responden
berada dalam kategori 1 juta-10 juta (median skor 2) sebanyak 23 orang
(69,6%). Pendapatan tersebut adalah pendapatan yang diperoleh dari
industri mebel per bulan. Walaupun pendapatan dari industri mebel
tersebut tergolong rendah namun pendapatan dari industri mebel tersebut
masih lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari sektor
pertanian per bulan yaitu yang hanya berkisar Rp 500.000,00-Rp
2.000.000,00. Untuk lebih jelasnya mengenai perbandingan prosentase
pendapatan rata-rata responden dari sektor pertanian dan industri kerajinan
mebel di Desa Serenan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten dapat
dilihat dalam tabel 9 berikut ini :
Tabel 9. Perbandingan Prosentase Pendapatan Rata-Rata Responden dari
Sektor Pertanian dan Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.
No Sumber pendapatan
responden
Pendapatan rata-rata
responden per bulan
Prosentase
(%)
1. Sektor Pertanian Rp 821.969 4,59
2. Sektor industri mebel
Total
Rp 17.090.909
Rp 17.912.878
95,41
100
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa pendapatan rata-rata
responden per bulan dari sektor pertanian sebesar Rp 821.969 dan
menyumbang 4,59% dari seluruh pendapatan responden. Hal ini jauh lebih
kecil apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata responden per
bulan dari industri mebel yaitu sebesar Rp 17.090.909 dan menyumbang
lebih dari separuh pendapatan rata-rata responden per bulan yaitu sebesar
95,41%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin
industri kerajinan mebel telah menjadi pekerjaan utama responden karena
menyumbang pendapatan terbesar.
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menunjang perekonomian keluarga. Rendahnya pendapatan yang
diperoleh dari hasil pertanian akan mendorong petani untuk mencari
pekerjaan lain, salah satunya ke sektor industri kerajinan mebel.
Rendahnya pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian disebabkan
karena masalah teknis, ekonomi, dan sosial. Masalah teknis yang ada yaitu
sistem budidaya tanaman pangan (padi) belum dilakukan secara optimal.
Masalah ekonomi yaitu harga komoditas pertanian relatif fluktuatif dan
cenderung rendah. Sedangkan masalah sosial adalah orientasi petani dalam
mengelola usahatani masih subsisten belum berorientasi agribisnis.
5. Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (keluarga dan kerabat). Tingkat kosmopolitansi
pengrajin industri kecil dicirikan oleh frekwensi perjalanan ke luar daerah,
frekwensi mengakses informasi, jenis kursus industri yang diterima,
keikutsertaan dalam organisasi sosial dan kontak dengan penyuluh
industri.
Salah satu sumber informasi bagi pengrajin untuk pertimbangannya
mengembangkan usaha yaitu diperoleh dari kontak dengan dunia luar,
melalui bepergian ke luar desa. Semakin banyak orang bepergian keluar
desa dan mengetahui lingkungan yang lebih luas, diasumsikan yang
bersangkutan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
mereka yang jarang bepergian. Semakin banyak mereka pergi, semakin
banyak pula kemungkinan yang dilihatnya sehingga terdapat banyak
perbandingan untuk kemungkinan ditiru. Orang yang demikian ini berarti
mobilitasnya tinggi. Pada umumnya orang yang sering melakukan
pekerjaan ke luar desanya cenderung kosmopolit atau berpandangan luas,
karena dapat mempertimbangkan apa yang terjadi di sekitarnya dengan
lingkungan yang lebih beragam dan luas.
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa tingkat kosmopolitan
responden termasuk dalam kategori rendah (median skor 2) sebanyak 28
orang responden (84,8%) dari keseluruhan responden. Berdasarkan
penelitian, frekwensi responden melakukan perjalanan ke luar daerah rata-
rata adalah 1-3 kali/bulan yaitu untuk mengirim barang, mencari order
(pesanan), dan mencari kayu untuk bahan baku mebel. Rendahnya tingkat
kosmopolitansi responden disebabkan karena dalam pengiriman barang,
pengrajin tidak selalu ikut mengirim barang karena biasanya disalurkan
lewat pedagang perantara atau perusahaan importir (khusus untuk barang-
barang kerajinan yang diekspor). Sedangkan untuk barang-barang pesanan
dalam propinsi biasanya diantar oleh orang suruhan, walupun terkadang
pengrajin ikut juga mengirim sampai ke rumah pemesan. Demikian juga
dalam mencari order, kebanyakan order datang sendiri ke tempat pengrajin
besar lewat faximile. Apabila kondisi pasar sedang ramai dan order banyak
biasanya pengrajin besar membagi order tersebut dengan para pengrajin
kecil di sekitarnya. Dalam hal mencari bahan baku kayu biasanya hanya
pengrajin besarlah yang mendatangkan kayu dari luar daerah (seperti
Magelang, Ungaran, dan Wonogiri), itupun kalau order sedang banyak.
Sedangkan bagi pengrajin kecil biasanya membeli kayu dari pedagang
kayu eceran di desa.
Frekwensi responden mengakses informasi adalah 1-3 kali/bulan.
Sumber informasi yang diakses oleh responden berasal dari masyarakat
sekitar dalam hal ini pengrajin besar dan perangkat desa, dari perusahaan,
dan dari pemerintah. Informasi yang diperoleh oleh responden biasanya
mengenai permodalan, produksi, dan pemasaran. Informasi tersebut sangat
membantu untuk kelangsungan usaha industri kerajinan mebel. Akses
informasi tentang industri kecil juga di dapatkan dari mengikuti kursus,
yang dimaksud disini adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh suatu
instansi atau lembaga baik pemerintah maupun swasta. Dari informasi
yang di dapat dari responden, jenis pelatihan yang pernah didapat adalah
pelatihan manajemen dan kewirausahaan serta pelatihan keuangan. Rata-
rata mereka mengikuti satu macam kursus industri.
Salah satu bentuk kosmopolitansi adalah berpartisipasinya
seseorang dalam suatu organisasi sosial, yaitu sebagai lambang tidak
terisolasinya seseorang dari suatu kelompok. Dalam kasus berorganisasi,
maka orang yang menjadi pengurus organisasilah yang dapat disebut
kosmopolit dibandingkan kalau orang hanya sebagai anggota saja. Dari ke
33 orang responden, hanya 9 orang yang memiliki kesadaran untuk ikut
serta dalam organisasi sosial dan ada keinginan untuk menjadi pengurus.
Pada umumnya jenis organisasi yang mereka ikuti antara lain : koperasi,
pengurus RW/RT dan organisasi keagamaan.
Kosmopolitan yang terakhir adalah kontak dengan penyuluh
industri, baik petugas pemerintah dari Dinas Perindustrian dan
Perdagangan maupun dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
dalam pengembangan industri kecil dan teknologi pedesaan. Dari 33 orang
responden, hanya 10 orang responden yang pernah melakukan kontak
dengan penyuluh. Hal ini dikarenakan pada industri mebel peranan
pendidikan magang lebih penting daripada penyuluhan yang diberikan
oleh pihak luar. Saluran komunikasi lebih banyak di dominasi oleh
pengrajin senior yang berfungsi sebagai ”komunikan” daripada
penyuluhan langsung kepada seluruh pengrajin. Para penyuluh lebih
banyak berkomunikasi dengan orang-orang kunci (pengrajin yang
mempunyai pengaruh).
Untuk lebih jelasnya mengenai proses perubahan pekerjaan dari
sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel dapat dilihat pada tabel
10 sebagai berikut :
Tabel 10. Perubahan Pekerjaan Responden Dari Petani ke Pengrajin Mebel
di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Tahun Pengalaman Jumlah orang Prosentase
(%)
1. 1974-1989 19-34 tahun 10 30,30
2. 1990-1998 10-18 tahun 23 69,69
Jumlah 33 100
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui bahwa sebanyak 10 orang
responden (30,30%) beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor
industri kerajinan mebel pada periode tahun 1974-1989. Sedangkan 23
orang responden (69,69) beralih pekerjaan pada periode tahun 1990-1998.
Responden yang beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri
mebel pada periode tahun 1974-1989 lebih disebabkan karena pada
periode tahun tersebut luapan air sungai Bengawan Solo masih sering
mengganggu lahan pertanian sehingga petani jarang sekali dapat panen.
Bagi mereka ini, menjadi pengrajin kayu atau tukang ukir merupakan
jawaban atas ketidakpastian pendapatan dari pekerjaan bertani, meskipun
bertani sendiri tidak mereka tinggalkan. Pada saat Sungai Bengawan Solo
dilakukan rehabilitasi (penanggulan) yang selesai pada tahun 1989, maka
kegiatan pertanian menjadi marak kembali. Pada umumnya mereka
memproduksi mebel hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal karena
kerajinan mebel yang mereka jalankan belum begitu banyak dikenal orang
hal ini disebabkan karena belum begitu banyak publikasi.
Sedangkan responden yang beralih pekerjaan dari sektor pertanian
ke sektor industri kerajinan mebel pada periode tahun 1990-1998 lebih
banyak daripada periode tahun 1974-1989. Hal ini di sebabkan karena
pada pada periode tahun 1990-1998 kerajinan mebel Desa Serenan mulai
banyak dikenal orang dari luar daerah bahkan sampai ke luar negeri
sebagai akibat publikasi yang dilakukan oleh pemerintah (Disperindagkop)
sehingga mengakibatkan order/pesanan mebel melimpah. Hal ini
mendorong banyak petani untuk beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke
sektor industri kerajinan mebel karena hasil yang diperoleh dari industri
mebel lebih menjanjikan.
Pengrajin yang beralih pekerjaan pada periode tahun 1974-1989
memiliki pengalaman bekerja di sektor industri kerajinan mebel selama
19-34 tahun. Sedangkan pengrajin yang beralih pekerjaan pada periode
tahun 1990-1989 memiliki pengalaman bekerja di sektor industri kerajinan
mebel selama 10-18 tahun. Berdasarkan pengamatan dilapangan pengrajin
yang lebih banyak memiliki pengalaman bekerja di sektor industri
kerajinan mebel umumnya lebih sukses dan sering dijadikan sebagai
tempat untuk magang/ngenger bagi mereka yang akan terjun di industri
kerajinan mebel. Hal ini menjadikan mereka sebagai pengrajin
berpengaruh di desanya karena selain dapat berguna untuk orang lain juga
dapat sebagai contoh sukses bagi pengrajin yang lain.
Tabel 11. Macam Usaha Kerajinan Mebel Responden di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Macam usaha kerajinan Jumlah orang Prosentase
(%)
1. Ukir kayu 1 3,03
2. Perabot rumah tangga 28 84,84
3. Ukir kayu dan perabot rumah
tangga
4 12,12
Jumlah 33 100
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui bahwa responden paling
banyak mengusahakan kerajinan perabot rumah tangga (28 orang atau
84,84%) seperti almari, meja, dan kursi. Pengrajin yang mengusahakan
ukir kayu dan perabot rumah tangga sebanyak 4 orang (12,12%).
Sedangkan responden yang mengusahakan ukir kayu sebanyak 1 orang
(3,03%).
Responden lebih banyak yang mengusahakan kerajinan perabot
rumah tangga karena saat ini permintaan pasar akan barang kerajinan
perabot rumah tangga seperti almari, meja, dan kursi cukup tinggi.
Sedangkan sedikitnya responden yang mengusahakan kerajinan ukir kayu
disebabkan karena permintaan pasar yang kurang begitu tinggi. Selain itu
tidak semua pengrajin mampu menjadi pengrajin ukir kayu karena
dibutuhkan keahlian khusus dan untuk mempelajarinya diperlukan waktu
yang lama.
C. Faktor Pembentuk Motivasi
Faktor pembentuk motivasi terdiri dari faktor dari luar diri petani
(ekternal) yang terdiri dari lingkungan ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 12 sebagai berikut :
Tabel 12. Faktor Pembentuk Motivasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor
Pertanian ke Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Variabel Kriteria Skor Jumlah
(orang)
Prosentase
(%)
Median
1. Lingkungan
Ekonomi
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
0
24
7
2
0
33
0
72,7
21,2
6,06
0
100
4
2. Kebijakan
Pemerintah
Ada kebijakan
dengan
menjanjikan
insentif
Ada kebijakan
dengan
penyuluhan
Ada kebijakan
tanpa penyuluhan
Ada kebijakan tapi
tidak jelas
sanksinya
Tidak ada
kebijakan
5
4
3
2
1
Total
0
7
0
14
12
33
0
21,2
0
42,4
36,3
100
2
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
1. Lingkungan Ekonomi
Lingkungan ekonomi merupakan kondisi finansial yang
mendukung seseorang untuk melakukan suatu perubahan. Lingkungan
ekonomi merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi
responden untuk beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel.
Lingkungan ekonomi terdiri dari perkreditan, penyalur sarana produksi,
dan jaminan pasar. Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa
lingkungan ekonomi responden berada dalam kategori tinggi (median skor
4) sebanyak 24 responden (72,7%). Dari ke 33 orang responden mereka
menggunakan bermacam-macam sumber kredit. Pada umumnya responden
menggunakan 1 sampai 2 macam sumber kredit. Sumber kredit tersebut
antara lain adalah dari lembaga keuangan perbankan (BRI dan BPR) dari
lembaga keuangan non perbankan (toko saprodi dan Koperasi), dari
pemerintah (Disperindagkop), dan dari perusahaan swasta.
Prosedur peminjamannya untuk lembaga keuangan perbankan
menggunakan agunan surat berharga, sedangkan untuk sumber kredit
lainnya cukup dengan KTP. Bagi responden yang meminjam kredit dari
toko saprodi biasanya malah tanpa menggunakan syarat apapun, hal ini
disebabkan karena pemilik toko biasanya sudah percaya terhadap si
peminjam karena sudah sering membeli peralatan dari toko saprodinya.
Bunga peminjaman kreditnya dari perbankan tergolong rendah
(bunga <1% per bulan). Hal ini meringankan beban responden untuk
mengembalikan uang pinjaman karena responden tidak terlalu terbebani
dengan bunga yang rendah. Malahan untuk lembaga keuangan selain bank
biasanya tanpa bunga sedikitpun. Dengan adanya berbagai macam
lembaga perkreditan tersebut sangat membantu responden untuk
memperlancar usaha mebel karena dapat menambah modal usaha.
Dari ke 33 orang responden kebanyakan peralatan mereka
menggunakan peralatan dari toko saprodi yang ada di sekitar tempat
tinggal responden karena peralatan yang dijual di toko saprodi tersebut
bisa dibilang lengkap. Sedangkan untuk peralatan yang tidak tersedia di
toko saprodi biasanya responden harus mencari ke luar daerah yaitu ke
kota-kota terdekat seperti Solo dan Klaten. Keberadaan toko saprodi
sangat membantu responden karena memudahkan responden untuk
mendapatkan peralatan guna memperlancar usaha mebel yang dijalankan.
Jaminan pasar industri mebel tergolong cukup baik, hal ini dapat
diketahui dari mudahnya pemasaran dikarenakan biasanya barang sudah
ada yang memesan. Pangsa pasar industri mebel cukup luas karena minat
konsumen tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga tidak sedikit
yang berasal dari luar negeri yaitu Australia dan negara-negara di Eropa.
Biasanya banyak pembeli baik lokal maupun orang asing banyak yang
berminat dan langsung datang ke rumah pengrajin. Hal ini karena
gencarnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengrajin. Selain
dipasarkan sendiri di rumah dengan membuka Galery atau Show room.
Tidak sedikit pula pengrajin yang memasarkan mebel melalui perusahaan,
baik lokal maupun perusahaan importir (khusus untuk barang yang akan
dikirim ke luar negeri). Banyaknya orang yang berminat terhadap barang-
barang hasil kerajinan mebel menyebabkan order/pesanan bertambah
sehingga lambat laun pendapatan yang diperoleh pengrajin dari industri
mebel meningkat. Hal ini menyebabkan banyak petani pada akhirnya
beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel karena tingkat harga
rata-rata hasil kerajinan mebel lebih tinggi apabila di bandingkan dengan
harga hasil usahatani.
2. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan tentang perlindungan usaha kecil di Indonesia diatur di
dalam undang-undang republik indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang
usaha kecil. Pemberdayaan usaha kecil dilakukan melaui empat metode,
yaitu penciptaan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan,
serta kemitraan. Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah berada dalam kategori rendah (median skor 2) sebanyak 14
orang (42,4%).
Selama ini kebijakan yang diberikan pemerintah kurang dapat
membantu pengrajin karena kebijakan yang diberikan tidak jelas
sanksinya. Kebijakan yang diberikan pemerintah antara lain mengenai
pembinaan dan pengembangan, serta pembiayaan. Dalam hal pembinaan
dan pengembangan, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda
Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPPM UNS
mengadakan pelatihan pembuatan handicraft dari limbah kayu. Pada
awalnya pelatihan ini banyak peminatnya, akan tetapi pada akhirnya usaha
ini berhenti karena tidak adanya tindak lanjut dari pemerintah. Selain
pembinaan dan pengembangan, pemerintah juga melakukan pembiayaan.
Sebenarnya pembiayaan yang dilakukan pemerintah ini cukup baik, tetapi
karena tidak adanya sosialisasi kepada semua pengrajin maka tidak semua
pengrajin mengetahui dan mendapat kredit. Hanya pengrajin berpengaruh
saja yang mendapatkan kredit tersebut. Inilah agaknya yang menyebabkan
kebijakan pemerintah yang ada kurang dapat memacu lebih
berkembangnya industri kerajinan mebel di desa Serenan.
D. Motivasi Sosial Ekonomi Petani
Seperti yang telah dijelaskan dimuka, secara historis penduduk di Desa
Serenan adalah mempunyai latar belakang pekerjaan sebagai petani dan buruh
tani yang terlibat pola kerja ekonomi pertanian tradisional sebelum beralih
profesi sebagai pengrajin mebel kayu. Pada awalnya petani di Desa Serenan
hampir jarang dapat panen padi karena masa lalu desa ini adalah merupakan
wilayah luapan banjir air Sungai Bengawan Solo. Adanya peneguhan dari
ucapan raja pada waktu itu kemudian mereka menekuni sebagai tukang ukir
atau pengrajin kayu. Bagi mereka, menjadi pengrajin kayu atau tukang ukir
merupakan jawaban atas ketidakpastian pendapatan dari pekerjaan bertani,
meskipun bertani sendiri tidak mereka tinggalkan.
Beralihnya mata pekerjaan penduduk Desa Serenan dari yang semula
bertani kemudian beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
tentunya tidak terlepas dari adanya dorongan atau motivasi yang
melatarbelakanginya. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri
seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu karena ingin
mencapai tujuan yang dikehendakinya. Dalam penelitian ini motivasi yang
akan diteliti terdiri dari motivasi sosial (motivasi berprestasi, motivasi
berafiliasi, motivasi berkuasa) dan motivasi ekonomi.
Untuk lebih jelasnya mengenai motivasi sosial ekonomi petani beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan dapat dilihat di
tabel 13 sebagai berikut :
Tabel 13. Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor
Pertanian ke Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan
Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
No Variabel Kriteria Skor Jumlah
(orang)
Prosentase
(%)
Median
1 Motivasi
Berprestasi
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
10
18
4
0
0
33
30,3
54,5
12,1
0
0
100
4
2 Motivasi
Berafiliasi
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
15
4
14
0
0
33
45,4
12,1
42,4
0
0
100
4
3 Motivasi
Berkuasa
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
16
10
7
0
0
33
48,4
30,3
21,2
0
0
100
4
4 Motivasi
Ekonomi
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
5
4
3
2
1
Total
22
10
1
0
0
33
66,6
30,3
3,03
0
0
100
5
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
1. Motivasi Berprestasi
Motif berprestasi adalah dorongan untuk berprestasi yaitu
dorongan untuk melakukan pekerjaan lebih baik daripada sebelumnya, dan
selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih baik. Berdasarkan tabel
13 dapat diketahui bahwa motivasi berprestasi petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel berada dalam kategori tinggi (median skor
4) yaitu sebanyak 18 orang (54,5%).
Hal ini berarti bahwa petani beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel mempunyai keinginan yang besar untuk dapat berhasil
dalam pekerjaan dan dapat membuka lapangan pekerjaan, mempunyai
keinginan untuk meningkatkan kualitas kerja agar lebih baik sehingga
perbuatan yang dilakukan sekarang dapat lebih baik daripada perbuatan
yang dilakukan di masa lampau sewaktu masih menjadi petani. Selain itu
responden juga mempunyai keinginan untuk mengungguli orang lain
dalam hal keberhasilan dan pendapatan yang diperoleh dari industri
kerajinan mebel dikarenakan adanya dorongan yang tinggi untuk mencapai
status sosial yang lebih baik daripada status sosial sebelumnya.
Kebutuhan individu untuk berprestasi yang tinggi sangat
mempengaruhi perkembangan suatu usaha bisnisnya. Karena dengan
kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi ini memungkinkan seorang
pengusaha mempunyai inisiatif yang tinggi, mau mengeksplorasi, dan
secara kesinambungan mengadakan riset terhadap lingkungannya guna
menemukan cara-cara yang baru (inovasi baru) untuk diterapkan dalam
usahanya.
2. Motivasi Berafiliasi
Motif berafiliasi adalah motif yang mendorong seseorang untuk
berinteraksi dengan keluarga, masyarakat sekitar maupun dengan orang
lain. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa motivasi berafiliasi
petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel berada dalam
kategori tinggi (median skor 4).
Hal ini berarti bahwa ada keinginan yang besar pada diri responden
untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan pihak pemerintah dan pihak
swasta dalam hal industri kerajinan mebel agar industri kerajinan mebel
yang diusahakan dapat lebih berkembang. Interaksi dan kerjasama ini
diwujudkan dalam pembinaan, pengembangan dan pemberian kredit oleh
pemerintah serta dalam hal pemasaran produk mebel dengan perusahaan
lokal maupun dengan importir mebel.
Selain itu petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel mempunyai dorongan untuk menyenangkan anggota keluarga, hal
ini dikarenakan sewaktu menjadi petani pendapatan yang diterima
responden dari berusahatani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Setelah beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
maka pendapatan yang diperoleh responden lebih besar dan dapat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan (seperti hiburan dan barang mewah) yang
selama ini tidak dapat mereka penuhi. Sehingga anggota keluarga akan
semakin memberikan kasih sayang kepada responden. Kasih sayang
tersebut dapat di wujudkan dengan pemberian perhatian dari anggota
keluarga terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
responden seputar industri mebel, sehingga diharapkan dapat mengurangi
beban responden.
3. Motivasi Berkuasa
Motif berkuasa adalah dorongan untuk menguasai dan untuk
mengontrol orang lain. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa
motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel berada dalam kategori tinggi (median skor 4).
Hal ini berarti ada keinginan yang besar dalam diri responden
untuk menguasai dan mengontrol anggota keluarga, kerabat dan orang lain
dengan jalan memperkerjakan mereka, karena dengan begitu diharapkan
orang lain mau mengakui keberadaannya serta mau menghargai atau
menghormati dirinya di lingkungannya baik lingkungan keluarga,
masyarakat maupun tempat dimana petani berada. Hal ini di sebabkan
karena sewaktu menjadi petani, responden kurang mendapat pengakuan
dari masyarakat dikarenakan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat
hanya kepada orang-orang yang berhasil dan yang dapat memberikan
manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Setelah masyarakat tersebut mau
mengakui dan menghargai keberadaanya, diharapkan mereka juga mau
memberikan dukungannya kepada responden. Dengan dukungan
masyarakat tersebut diharapkan usaha mebel yang diusahakan oleh
responden dapat berhasil.
4. Motivasi Ekonomi
Manusia di dalam kehidupan ini senantiasa berada dalam kekurang
kemakmuran, itulah yang mendorong manusia untuk bertindak menurut
motif ekonomi, yaitu mencapai dengan alat yang ada untuk mendapatkan
hasil yang sebesar-besarnya. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa
motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel berada dalam kategori sangat tinggi (median skor 5) sebanyak 22
orang (66,6%).
Hal ini berarti bahwa ada keinginan yang sangat besar dalam diri
responden untuk selalu bisa memenuhi kebutuhan pokok (makanan,
pakaian dan perumahan), kebutuhan sekunder (kesehatan, pendidikan),
dan kebutuhan tersier (hiburan dan barang mewah). Hal ini dikarenakan
sewaktu masih menjadi petani, responden hanya bisa memenuhi kebutuhan
pokok saja, sedangkan untuk kebutuhan yang lainnya terpaksa
menghutang karena pendapatan yang diperoleh dari usahatani relatif kecil.
Responden beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
bukan hanya untuk memperoleh tambahan penghasilan saja, tetapi juga
ingin memperoleh penghasilan yang tinggi agar dapat memenuhi juga
kebutuhan yang lain selain kebutuhan pokok seperti kebutuhan sekunder
dan tersier. Dengan pendapatan yang tinggi responden berharap agar tidak
menghutang lagi dan kalau bisa responden dapat memiliki tabungan di hari
tua dan tabungan untuk masa sekarang. Fungsi tabungan ini tidak lain
adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat insidental. Hal ini mereka rasa perlu dan akan
sangat membantu karena apabila mereka tidak lagi bekerja di sektor
industri kerajinan mebel, mereka tidak repot lagi untuk memenuhi
kebutuhan. Responden juga memiliki kesadaran untuk tidak mau
merepotkan anak maupun saudara yang nantinya di hari tua akan
menanggung mereka, hal ini diwujudkan responden dalam bentuk
kepemilikan tabungan yang diperuntukkan untuk hari tua yang diharapkan
dapat turut menopang kehidupan.
E. Hubungan Antara Faktor-Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten
1. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berprestasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel
Tabel 14. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berprestasi Petani Beralih Pekerjaan ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel
No Faktor Pembentuk
Motivasi
Motivasi Berprestasi Ket
rs t hit t tab α
1. Umur 0,112 0,627 2,021 0,05 NS
2. Tingkat pendidikan 0,076 0,424 2,021 0,05 NS
3. Luas pemilikan lahan 0,279 1,617 2,021 0,05 NS
4. Tingkat pendapatan 0,721** 5,793 2,021 0,05 SS
5. Kosmopolitan 0,432** 2,666 2,021 0,05 SS
6.
7.
Lingkungan ekonomi
Kebijakan pemerintah
0,367*
0,042
2,196
0,234
2,021
2,021
0,05
0,05
S
NS
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Keterangan : SS : Sangat Signifikan S : Signifikan NS : Non Signifikan
a. Umur
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa umur petani dengan
motivasi berprestasi petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,112 dengan arah
hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,627) lebih kecil daripada t
tabel (2,021). Hal ini berarti umur petani tidak mempengaruhi motivasi
berprestasi, ini dikarenakan baik umur tua maupun muda sama-sama
menginginkan untuk meraih prestasi yaitu ingin meraih keberhasilan
dalam berusaha di industri kerajinan mebel.
b. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
petani dengan motivasi berprestasi petani dalam beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,076 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,424)
lebih kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat pendidikan petani tidak mempengaruhi
motivasi berprestasi, ini dikarenakan sebagian besar responden
memiliki keinginan untuk mencapai prestasi yang terbaik dalam
hidupnya dan untuk mencapainya, responden akan selalu berusaha
untuk meningkatkan kualitas kerja dengan mengikuti kursus
keterampilan atau penyuluhan. Ini berarti keterampilan yang diperoleh
responden berasal dari luar bangku sekolah.
c. Luas Pemilikan Lahan
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa luas lahan yang
dimiliki petani dengan motivasi berprestasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,279 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t
hitung (1,617) lebih kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti luas lahan yang dimiliki petani tidak
mempengaruhi motivasi berprestasi. Hal ini dikarenakan baik petani
yang memiliki lahan sempit maupun yang memiliki lahan luas sama-
sama menginginkan untuk meraih prestasi kerja yang sangat baik dan
memuaskan agar mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari
masyarakat.
d. Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan
petani dari industri kerajinan mebel dengan motivasi berprestasi petani
dalam beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
menunjukkan hubungan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,721** dengan arah hubungan
positif, dengan nilai t hitung (5,793) lebih besar daripada t tabel
(2,021).
Hal ini berarti tingkat pendapatan petani dari sektor industri
kerajinan mebel sangat mempengaruhi motivasi berprestasi. Karena
dengan pendapatan yang semakin meningkat, akhirnya petani mampu
memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga dapat dikatakan hidupnya
makmur tidak kekurangan. Hal itu merupakan suatu prestasi bagi
seseorang, yang menumbuhkan sikap bangga atas prestasi yang telah
diraihnya sehingga dengan semakin besar pendapatan yang diterima
maka dorongan untuk berhasil dalam pekerjaan akan semakin besar.
e. Kosmopolitan
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa tingkat
kosmopolitan petani dengan motivasi berprestasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,432* dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung
(2,666) lebih besar daripada t tabel (2,021). Hal ini berarti tingkat
kosmopolitan petani mempengaruhi motivasi berprestasi.
Semakin sering petani bepergian ke luar daerah atau desa baik
itu dalam rangka mengikuti pelatihan atau hal lain yang ada
hubungannya dengan industri kerajinan mebel, mereka akan melihat
berbagai macam hal dan akan lebih banyak hal yang bisa
dipertimbangkan sehingga dapat mendorong petani untuk mencari
inovasi dan kreasi baru dalam rangka meningkatkan kualitas produk-
produk kerajinan mebelnya, yang pada akhirnya usaha mebel yang
dijalankan dapat semakin berkembang.
f. Lingkungan Ekonomi
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa lingkungan
ekonomi petani dengan motivasi berprestasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,367* dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung
(2,196) lebih besar daripada t tabel (2,021). Hal ini berarti lingkungan
ekonomi petani mempengaruhi motivasi berprestasi.
Dengan adanya lembaga perkreditan yang memberikan kredit
dengan bunga yang rendah dan dengan prosedur peminjaman yang
mudah menyebabkan petani akan semakin terdorong untuk berusaha di
sektor industri kerajinan mebel karena adanya bantuan modal finansial
untuk berusaha. Mudahnya mendapatkan dan lengkapnya peralatan
yang dijual oleh toko saprodi akan memacu keinginan berusaha petani
sehingga akan berdampak pada kualitas dan kuantitas produk yang
dihasilkan. Dengan adanya kualitas produk yang baik menyebabkan
jaminan pasar industri kerajinan mebel semakin terbuka. Berbagai hal
itulah yang akhirnya menyebabkan prestasi kerja petani meningkat
menjadi lebih baik.
g. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah dengan motivasi berprestasi petani dalam beralih pekerjaan
ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,042 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,234) lebih
kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti bahwa dengan ada atau tidaknya kebijakan dari
pemerintah tidak akan menghalangi petani untuk meningkatkan
kualitas kerja untuk mencapai hasil yang terbaik, karena setiap orang
mempunyai keinginan untuk berprestasi yaitu sukses dan berhasil
dalam pekerjaan. Pemberdayaan dari pemerintah lebih ditujukan untuk
memperlancar usaha kerajinan mebel.
2. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berafiliasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor
Industri Kerajinan Mebel
Tabel 15. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berafiliasi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel
No Faktor Pembentuk
Motivasi
Motivasi Berafiliasi Ket
rs t hit t tab α
1. Umur 0,065 0,362 2,021 0,05 NS
2. Tingkat pendidikan 0,038 0,211 2,021 0,05 NS
3. Luas pemilikan lahan 0,063 0,351 2,021 0,05 NS
4. Tingkat pendapatan 0,460** 2,850 2,021 0,05 SS
5. Kosmopolitan 0,439* 2,720 2,021 0,05 S
6.
7.
Lingkungan ekonomi
Kebijakan pemerintah
0,155
0,126
0,873
0,707
2,021
2,021
0,05
0,05
NS
NS
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Keterangan : SS : Sangat Signifikan S : Signifikan NS : Non Signifikan
a. Umur
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa umur petani dengan
motivasi berafiliasi petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,065 dengan arah
hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,362) lebih kecil daripada t
tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat umur petani tidak mempengaruhi motivasi
berprestasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan berafiliasi merupakan salah
satu kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi sebagai makhluk
sosial tanpa memandang banyak sedikitnya umur.
b. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
petani dengan motivasi berafiliasi petani dalam beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,038 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,211) lebih
kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat pendidikan petani tidak mempengaruhi
motivasi berafiliasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan berafiliasi adalah
dorongan untuk bersosialisasi dan bekerjasama, baik dengan
pemerintah, swasta atau orang lain tanpa memandang tinggi rendahnya
pendidikan seseorang.
c. Luas Pemilikan Lahan
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa luas lahan yang
dimiliki oleh petani dengan motivasi berafiliasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,063 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t
hitung (0,351) lebih kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti luas lahan yang dimiliki oleh petani tidak
mempengaruhi motivasi berafiliasi. Hal ini dikarenakan luas sempitnya
lahan sawah dan pekarangan yang dimiliki petani akan sangat
menentukan besar kecilnya produksi dan pendapatan ekonomi yang
diperoleh. Sedangkan kebutuhan berafiliasi merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi oleh seseorang tanpa memandang luas atau
sempitnya lahan yang dimiliki.
d. Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan
petani dari sektor industri kerajinan mebel dengan motivasi berafiliasi
petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
menunjukkan hubungan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,460** dengan arah hubungan
positif, dengan nilai t hitung (2,850) lebih besar daripada t tabel
(2,021).
Hal ini berarti tingkat pendapatan petani sangat mempengaruhi
motivasi berafiliasi. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh maka
akan semakin kuat dorongan petani untuk bekerja sebagai pengrajin.
Untuk dapat berhasil dan memperoleh pendapatan yang tinggi
pengrajin memerlukan bantuan orang lain baik dengan
memperkerjakannya sebagai pekerja atau sebagai relasi usaha. Untuk
itu semua, pengrajin harus membuka kesempatan bergaul dan
bekerjasama dengan orang lain.
e. Kosmopolitan
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa tingkat
kosmopolitan petani dengan motivasi berafiliasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,439* dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung
(2,720) lebih besar daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat kosmopolitan petani mempengaruhi
motivasi berafiliasi. Petani yang sering melakukan perjalanan ke luar
daerah baik untuk memasarkan produk, mengikuti pameran, dan
mencari kayu, disana akan bertemu dengan banyak orang atau relasi
usaha yang dapat membantu untuk saling bertukar informasi mengenai
industri kerajinan mebel.
f. Lingkungan Ekonomi
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa lingkungan
ekonomi petani dengan motivasi berafiliasi petani dalam beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,155 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t
hitung (0,873) lebih kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti bahwa lingkungan ekonomi petani tidak
mempengaruhi motivasi berafiliasi. Lingkungan ekonomi yang berupa
lembaga perkreditan, toko saprodi dan jaminan pasar akan sangat
membantu kelancaran suatu usaha. Sedangkan motif berafiliasi adalah
kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang harus saling
berhubungan dan tidak dapat lepas dari orang lain walaupun
lingkungan ekonomi yang ada mendukung atau tidak mendukung.
g. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan tabel 15 dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah dengan motivasi berafiliasi petani dalam beralih pekerjaan
ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,126 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,707) lebih
kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti kebijakan pemerintah tidak mempengaruhi
motivasi berafiliasi petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel. Sehingga ada atau tidaknya kebijakan dari pemerintah
yang berupa pemberdayaan mengenai industri kerajinan mebel tidak
akan menghambat petani untuk melakukan hubungan dengan
masyarakat, karena pemberdayaan dari pemerintah tersebut lebih
ditujukan untuk memperlancar usaha kerajinan mebel yang dijalankan
petani.
3. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi Berkuasa
Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel
Tabel 16. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Berkuasa Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel
No Faktor Pembentuk
Motivasi
Motivasi Berkuasa Ket
rs t hit t tab α
1. Umur -0,028 -0,155 2,021 0,05 NS
2. Tingkat pendidikan 0,061 0,340 2,021 0,05 NS
3. Luas pemilikan lahan 0,233 1,334 2,021 0,05 NS
4. Tingkat pendapatan 0,299 1,744 2,021 0,05 NS
5. Kosmopolitan 0,409* 2,495 2,021 0,05 S
6.
7.
Lingkungan ekonomi
Kebijakan pemerintah
0,031
0,272
0,172
1,573
2,021
2,021
0,05
0,05
NS
NS
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Keterangan : S : Signifikan NS : Non Signifikan
a. Umur
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa umur petani dengan
motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,028 dengan arah
hubungan negatif, dengan nilai t hitung (-0,155) lebih kecil daripada t
tabel (2,021).
Nilai koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan terbalik
antara umur petani dengan motivasi berkuasa. Semakin tua umur
seseorang semakin rendah motivasi berkuasa karena semakin tua umur
seseorang akan menunjukkan kedewasaan psikologis sehingga
keinginan untuk menguasai dan mengontrol orang lain akan semakin
kecil.
b. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
petani dengan motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke sektor
industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,061
dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,340) lebih kecil
daripada t tabel (2,021). Hal ini berarti tingkat pendidikan petani tidak
mempengaruhi motivasi berkuasa.
Hal ini dikarenakan baik petani yang berpendidikan tinggi
maupun yang berpendidikan rendah sama-sama memiliki motivasi
yang tinggi untuk berkuasa, ini karena ada keinginan yang besar dalam
diri petani untuk mempengaruhi, menguasai, dan mengontrol keluarga,
kerabat, tetangga, pengrajin lain, dan lain-lain karena diharapkan orang
lain mau mengakui keberadaannya serta mau menghargai atau
menghormati dirinya di lingkungannya baik lingkungan keluarga,
masyarakat maupun tempat dimana petani berada.
c. Luas Pemilikan Lahan
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa luas lahan petani
dengan motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,233 dengan arah
hubungan positif, dengan nilai t hitung (1,334) lebih kecil daripada t
tabel (2,021). Hal ini berarti luas atau sempitnya lahan yang dimiliki
petani tidak mempengaruhi motivasi berkuasa.
Hal ini dikarenakan luas atau sempitnya lahan mempengaruhi
banyaknya produksi dan besar kecilnya pendapatan yang diperoleh
petani Sedangkan motivasi berkuasa adalah dorongan untuk
mempengaruhi, menguasai dan mengontrol orang lain tanpa
memandang luas atau sempitnya lahan yang dimiliki karena baik
petani yang memiliki lahan yang luas ataupun yang memiliki lahan
sempit sama-sama memiliki motivasi yang tinggi untuk berkuasa.
d. Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan
petani dari sektor industri kerajinan mebel dengan motivasi berkuasa
petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,299 dengan arah hubungan
positif, dengan nilai t hitung (1,744) lebih kecil daripada t tabel
(2,021). Hal ini berarti tingkat pendapatan petani tidak mempengaruhi
motivasi berkuasa.
Hal ini dikarenakan motivasi berkuasa adalah dorongan untuk
mempengaruhi, menguasai dan mengontrol orang lain dan dilakukan
bukan hanya untuk meraih pendapatan saja, tetapi juga agar petani
diakui keberadaannya serta dihargai dan dihormati di lingkungan
dimana petani berada.
e. Kosmopolitan
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa tingkat
kosmopolitan petani dengan motivasi berkuasa petani beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan
yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,409* dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung
(2,495) lebih besar daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat kosmopolitan petani mempengaruhi
motivasi berkuasa. Hal ini dikarenakan semakin sering petani
melakukan perjalanan ke luar daerah untuk mengirim barang, mencari
kayu, dan mengikuti pameran serta mengikuti penyuluhan, kursus dan
berkumpul dalam organisasi sosial maka semakin banyak teman dan
relasi sehingga kecenderungan untuk mempengaruhi orang lain akan
semakin besar.
f. Lingkungan Ekonomi
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa lingkungan
ekonomi petani dengan motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,031 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,172) lebih
kecil daripada t tabel (2,021). Hal ini berarti lingkungan ekonomi
petani tidak mempengaruhi motivasi berkuasa.
Hal ini dikarenakan motivasi berkuasa terjadi karena adanya
hubungan dengan orang lain walaupun lingkungan ekonomi yang ada
mendukung atau tidak mendukung, ini karena fitrah manusia sebagai
mahkluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain
sehingga harus saling berhubungan. Dengan saling berhubungan
tersebut orang akan saling mempengaruhi satu sama lainnya, sehingga
cepat atau lambat orang dapat mengontrol orang lain dan dapat
menguasainya.
g. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah dengan motivasi berkuasa petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,272 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (1,573) lebih
kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti kebijakan pemerintah tidak mempengaruhi
motivasi berkuasa. Sehingga dengan ada atau tidaknya kebijakan dari
pemerintah maka tidak akan menghambat petani untuk mempengaruhi,
mengontrol dan menguasai orang lain karena pada dasarnya motif
berkuasa adalah bagian dari motif sosial dimana setiap manusia pasti
akan mengalaminya dalam hubungannya dengan orang lain.
4. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi Ekonomi
Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri
Kerajinan Mebel
Tabel 17. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Motivasi Dengan Motivasi
Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian ke
Sektor Industri Kerajinan Mebel
No Faktor Pembentuk
Motivasi
Motivasi Ekonomi Ket
rs t hit t tab α
1. Umur -0,092 -0,514 2,021 0,05 NS
2. Tingkat pendidikan -0,080 -0,446 2,021 0,05 NS
3. Luas pemilikan lahan -0,017 -0,094 2,021 0,05 NS
4. Tingkat pendapatan 0,167 0,943 2,021 0,05 NS
5. Kosmopolitan 0,124 0,695 2,021 0,05 NS
6.
7.
Lingkungan ekonomi
Kebijakan pemerintah
0,432*
0,092
2,666
0,5144
2,021
2,021
0,05
0,05
S
NS
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Keterangan : S : Signifikan NS : Non Signifikan
a. Umur
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa umur petani dengan
motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan
mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,092 dengan arah
hubungan negatif, dengan nilai t hitung (-0,514) lebih kecil daripada t
tabel (2,021).
Nilai koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan terbalik
antara umur petani dengan motivasi ekonomi. Semakin tua umur
seseorang maka semakin rendah motivasi ekonomi. Karena umur yang
semakin tua cenderung tidak memiliki keinginan yang lebih untuk
mencoba hal-hal baru demi untuk memperbaiki kesejahteraan hidup
mereka. Hal ini disebabkan semakin tua umur seseorang pengetahuan
fisik dan respon terhadap hal-hal baru semakin berkurang.
b. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
petani dengan motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke sektor
industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,080
dengan arah hubungan negatif, dengan nilai t hitung (-0,446) lebih
kecil daripada t tabel (2,021). Nilai koefisien korelasi negatif
menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat pendidikan petani
dengan motivasi ekonomi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka motivasi
ekonomi akan semakin rendah. Begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi
motif ekonomi maka tingkat pendidikan akan semakin rendah. Hal ini
dikarenakan lebih mudahnya memperoleh pendapatan dari industri
mebel petani akan semakin terdorong untuk berpindah pekerjaan.
Untuk itu maka diperlukan keterampilan, dan keterampilan itu
diperoleh dari luar bangku sekolah sehingga lebih banyak petani yang
mengikuti pendidikan diluar bangku sekolah. Hal itu menyebabkan
pendidikan dari bangku sekolah terabaikan sehingga petani tidak dapat
menyelesaikan pendidikan dibangku sekolah samapai ke jenjang yang
lebih tinggi.
c. Luas Pemilikan Lahan
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa luas lahan petani
dengan motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke sektor industri
kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,017 dengan arah
hubungan positif, dengan nilai t hitung (-0,094) lebih kecil daripada t
tabel (2,021). Nilai koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan
yang terbalik antara luas kepemilikan lahan dengan motivasi ekonomi.
Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani, maka motivasi
ekonomi akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan lahan yang luas
akan menyebabkan produksi yang lebih banyak sehingga pendapatan
yang diperoleh petani akan semakin besar. Dengan pendapatan yang
besar, petani dapat mensejahterakan keluarganya, sehingga dengan
pendapatan yang diperoleh tersebut petani akan merasa cukup dan
keinginan untuk mencari tambahan pendapatan akan semakin
berkurang.
d. Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan
petani dari sektor industri kerajinan mebel dengan motivasi ekonomi
petani dalam beralih pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,167 dengan arah hubungan
positif, dengan nilai t hitung (0,943) lebih kecil daripada t tabel
(2,021). Hal ini berarti tingkat pendapatan petani tidak mempengaruhi
motivasi ekonomi.
Hal ini dikarenakan tidak semua petani yang beralih pekerjaan
ke sektor industri kerajinan mebel didorong oleh keinginan untuk
mendapatkan pendapatan yang tinggi guna mencukupi kebutuhan
ekonomi rumah tangga saja, tetapi ada juga mereka yang beralih
pekerjaan ke sektor industri kerajinan mebel karena ikut-ikutan orang
lain atau ajakan orang lain, mengubah status sosial, dan karena adanya
peneguhan hati karena mitos.
e. Kosmopolitan
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa tingkat
kosmopolitan petani dengan motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan
ke sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,124 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,695)
lebih kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti tingkat kosmopolitan petani tidak mempengaruhi
motivasi ekonomi. Karena sumber informasi yang selama ini petani
akses baik dari media cetak maupun elektronik bukan karena mereka
ingin menumbuhkan motivasi ekonominya, karena hanya sebatas
karena keingintahuan mereka terhadap berita-berita yang dimuat oleh
media tersebut dan agar tidak dianggap tidak mengikuti
perkembangan.
f. Lingkungan Ekonomi
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa lingkungan
ekonomi petani dengan motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,432* dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (2,666)
lebih kecil daripada t tabel (2,021). Hal ini berarti lingkungan ekonomi
petani mempengaruhi motivasi ekonomi.
Hal ini dikarenakan dengan tersedianya sumber kredit, toko
saprodi dan jaminan pasar akan membuat usaha mebel yang dijalankan
dapat berjalan lancar sehingga pendapatan yang diperoleh dapat
meningkat. Dan pada akhirnya kecenderungan petani untuk dapat
memenuhi kebutuhan (primer, sekunder, tersier) dan mempunyai
tabungan baik untuk masa sekarang maupun hari tua akan semakin
besar.
g. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah dengan motivasi ekonomi petani beralih pekerjaan ke
sektor industri kerajinan mebel menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,092 dengan arah hubungan positif, dengan nilai t hitung (0,514) lebih
kecil daripada t tabel (2,021).
Hal ini berarti kebijakan pemerintah tidak mempengaruhi
motivasi ekonomi. Hal ini dikarenakan dengan ada atau tidaknya
kebijakan yang diberikan pemerintah tidak akan menghalangi petani
untuk memenuhi kebutuhan, mencari tambahan penghasilan dan
mempunyai tabungan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor pembentuk motivasi yang ada dalam diri responden
(faktor internal) adalah umur, tingkat pendidikan, luas pemilikan lahan,
tingkat pendapatan, dan kosmopolitan. Sedangkan faktor dari luar diri
responden (fakor eksternal) adalah lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah.
2. Motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian
ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan adalah motivasi
berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi berkuasa dalam kategori
tinggi (median skor 4) dan motivasi ekonomi berada dalam kategori
sangat tinggi (median skor 5).
3. Hubungan antara faktor-faktor pembentuk motivasi dengan motivasi
sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor
industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut :
a. Motivasi berprestasi berhubungan sangat signifikan dengan arah
hubungan positif dengan tingkat pendapatan, berhubungan
signifikan dengan arah hubungan positif dengan kosmopolitan dan
lingkungan ekonomi.
b. Motivasi berafiliasi berhubungan sangat signifikan dengan arah
hubungan positif dengan tingkat pendapatan, dan berhubungan
signifikan dengan arah hubungan positif dengan kosmopolitan.
c. Motivasi berkuasa berhubungan signifikan dengan kosmopolitan
dengan arah hubungan positif.
d. Motivasi ekonomi berhubungan signifikan dengan lingkungan
ekonomi dengan arah hubungan positif.
B. Saran
1. Motivasi petani yang terdiri dari motivasi berprestasi, motivasi
berafiliasi, motivasi berkuasa sebaiknya perlu lebih ditingkatkan lagi
agar usaha industri kerajinan mebel yang dijalankan dapat lebih
berhasil dan berkembang.
2. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pengrajin masih banyak
memerlukan bimbingan dari pemerintah, oleh karena itu diharapkan
bagi dinas yang terkait (Disperindagkop) lebih meningkatkan perhatian
dan pembinaanya dengan mengoptimalkan dan membuka lebih luas
lagi :
a. Kesempatan pengrajin untuk mengikuti penyuluhan industri kecil,
magang, dan kursus-kursus keterampilan.
b. Kesempatan pengrajin untuk memperoleh bantuan permodalan.
c. Jaringan pemasaran produk-produk kerajinan mebel di dalam
negeri. Antara lain dengan mendirikan suatu pasar khusus yang
menjual produk-produk kerajinan mebel pengrajin di Desa Serenan
agar lebih menarik minat konsumen untuk berkunjung dan supaya
dapat memotivasi para pengrajin agar semakin meningkatkan
kualitas produk kerajinan mebelnya sehingga produk kerajinan
mebel pengrajin di Desa Serenan dapat bersaing di pasaran.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, M. 1995. Psikologi Industri. Liberty. Yogyakarta.
BPS. 2001. “Laporan Perekonomian Indonesia 2000” dalam Sumardjo, Pertanian
Mandiri : Pandangan Strategis Para Pakar Untuk Kemajuan Pertanian
Indonesia hal. 197. Bogor : Penebar Swadaya.
___. 2008. “Harmonisasikan Program Penanggulangan Kemiskinan” dalam
Sujana Royat, http//www.nackvision.com/glitter/.
Cahyono, B.T. 1983. Masalah Petani Gurem. Liberty. Yogyakarta.
________________. Manajemen Industri Kecil. Liberty. Yogyakarta.
Desita L, Ratna. 2007. Motivasi Petani Beralih Mata Pencaharian Ke Sektor
Industri Kerajinan Logam Di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo
Kabupaten Boyolali. UNS Press. Surakarta.
Daldjoeni. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung.
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Rajawali Pers. Jakarta.
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Dwi A, Dinar. 2002. Pengelolaan Pendapatan Buruh Usia Remaja Dalam Rangka
Pemenuhan Kebutuhan Keluarga. UNS Press. Surakarta.
Effendi, Tadjoedin N. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. PT Refika Aditama. Bandung.
Gunawan, Memed dan Zulham. 1993. Migrasi Desa Kota Dalam Kaitannya
dengan Penyediaan Tenaga Kerja Pertanian dan Kesempatan Ekonomi
Desa Kota. PAE. Bogor.
Handoko. 1992. Daya Penggerak Tingkah Laku. Kanisius. Yogyakarta.
Hartatik, R.I. 2004. Motivasi Petani Dalam Budidaya Jeruk Pamelo Di
Kabupaten Magetan. UNS Press. Surakarta.
Hatta, M. 1985. Pengantar Ke Jalan Ekonomi Sosiologi. Inti Idayu Press. Jakarta.
Henry, A.L. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. CV Rajawali.
Jakarta.
Hernanto, F. 1984. Petani Kecil, Potensi dan Tantangan Pembangunan. Ganesha
Bandung.
Inkeles, Alex. 1994. “Modernisasi Manusia Dalam Modernisasi Dinamika
Pertumbuhan” dalam Karsidi, Dari Petani Ke Pengrajin : Sebuah Studi
Transformasi Pekerjaan hal. 35. Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta.
International Labour Organization (ILO). 1960. “Why Labour Leaves the Land,
Comparative Study of The Movement of Labour of Agriculture” dalam
84
Karsidi, Dari Petani Ke Pengrajin : Sebuah Studi Transformasi Pekerjaan
hal. 31. Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta.
Presiden RI. 1995. Undang-undang RI Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
http://www.Theceli.com/dokumen/produk/1995/uu9-1995.htm.
Jayadinata, J.T. 1986. Tata Guna Lahan Dalam Perencanaan Pedesaan,
Perkotaan dan Wilayah. ITB. Bandung.
Karsidi, Ravik. 2003. Dari Petani Ke Pengrajin : Sebuah Studi Transformasi
Pekerjaan. Pustaka Cakra Surakarta. Surakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknik Penyuluhan Pertanian. Bina Aksara. Jakarta.
Kartono, Kartini. 1992. Pemimpin Dan Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo.
Jakarta.
Kartono, Kartini. 1994. Psikologi Sosial Untuk Manajemen, Perusahaan dan
Industri. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
KBBI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat. Liberty. Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta.
Lindgren, H.C. 1973. “An introduction to social psychology” dalam Ahmadi,
Psikologi Sosial hal. 192. Jakarta : Rineka Cipta.
Mantra, I.B. 1991. Pengantar Studi Demografi. Nur Cahaya. Yogyakarta.
Mardikanto, Totok. 1993. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.
_______________. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Departemen
Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
_______________. 2001. Prosedur Penelitian Penyuluhan Pembangunan. Prima
Theresia Pressindo. Surakarta.
_______________. 2005. Metoda Dan Teknik Penyuluhan Pertanian. UNS Press.
Surakarta.
Martaniah, Sri M. 1984. Motif Sosial Remaja Suku Jawa Dan Keturunan Cina Di
Beberapa SMA Yogyakarta. UGM Press. Yogyakarta.
Marzali, Amri. 1993. “Perhutanan Sosial, Suatu Tinjauan Dari Perspektif
Pengembangan Lembaga” dalam Karsidi, Dari Petani Ke Pengrajin :
Sebuah Studi Transformasi Pekerjaan hal. 27. Surakarta. Pustaka Cakra
Surakarta.
Maslow, A.H, et al. 1992. Motivasi dan Perilaku. Dahara Prize. Semarang.
Maslow, Abraham H. 1994. Motivasi dan Kepribadian : Teori Motivasi dengan
Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia. PT Pustaka Binaman
Pressindo. Bandung.
85
Mubyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. PPFE UGM.
Yogyakarta.
Mulyawidada, Sutapa. 2005. Ilmu Sosial Dasar Dan Ilmu Budaya Dasar. UNS
Press. Surakarta.
Moekijat. 1981. Motivasi Dan Pengembangan Manajemen. Alumni. Bandung.
Nasir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Purwasito, A. 2001. Perspektif Kebijakan Publik Dalam Otonomi Daerah.
Political Laboratory for supporting for governance. UNS. Surakarta.
Rahardjo, M. Dawam. 1986. Transformasi Pertanian dan Kesempatan Kerja. UI
Press. Jakarta.
Rahayu, Wiji dan Waluyo. 2004. Ekonomi. CV. Sahabat. Klaten.
Rogers, E.M. 1985. Komunikasi Pembangunan. LP3S. Jakarta.
Sajogyo dan Mangara Tambunan. 1990. Industialisasi Pedesaan. Pusat Studi
Pembangunan IPB. Bogor.
Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. 1992. Sosiologi Pedesaan. UGM Press.
Yogyakarta.
Samsudin S. 1982. Dasar-Dasar Penyuluhan Dan Modernisasi Pertanian.
Angkasa Offset. Bandung.
Sarwoto. 1981. Dasar-Dasar Organisasi Dan Manajemen. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Scott, James C. 1976. “The Moral Economy of the Peasant” dalam Damsar,
Sosiologi Ekonomi hal. 74. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Schonberg, G. Fr. von.1885. “Handbuck der PolitischenOekonomie” dalam
Hatta, Pengantar Ke Jalan Ekonomi Sosiologi hal. 31. Jakarta : Inti Idayu
Press.
Siagian, S.P.1989. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Bina Aksara. Jakarta.
Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Singarimbun, M dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES
Indonesia. Jakarta.
Slamet, Y. 1993. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. UNS Press.
Surakarta.
Soekartawi. 1987. Prinsip-Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press.
Jakarta.
86
Subagio, Doni. 2004. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Petani
Mengunakan Pupuk NPK Di Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten.
UNS Press. Surakarta.
Susanto, Astrid S. 1978. “Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial” dalam
Karsidi, Dari Petani Ke Pengrajin : Sebuah Studi Transformasi Pekerjaan
hal. 26. Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta.
Tambunan, Mangara. 1990. Industrialisasi Pedesaan Dalam Perekonomian. Pusat
Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Teevan R.C. and Smith, B.D. 1984. “Motivasion” dalam Martaniah, Motif Sosial
Remaja Suku Jawa Dan Keturunan Cina Di Beberapa SMA Yogyakarta
hal 15. Yogyakarta : UGM Press.
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. CV. ANDI. Yogyakarta.
Walgito, Bimo. 2006. Psikologi Kelompok. CV. ANDI. Yogyakarta.
Winardi, J. 2001. Motivasi dan Pemotivasian Dalam Manajemen. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Wolf, Eric R. 1966. “Petani, Suatu Tinjauan Antropologis” dalam Karsidi, Dari
Petani Ke Pengrajin : Sebuah Studi Transformasi Pekerjaan hal. 28.
Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta.
Yudo H, Siswono. 2004. Pertanian Mandiri : Pandangan Strategis Para Pakar
Untuk Kemajuan Pertanian Indonesia. Penebar Swadaya. Bogor.
87