Post on 28-Feb-2023
Tugas Individu
Dosen pembimbing: Dr. Nurhidayah, S.Kep., Ns., M.Kes., MARS.
MANAJEMEN KEPERAWATAN “Nosocomial Infection”
Oleh:
F I T R I A N I
70300111023
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala inayah dan
kenikmatan yang senantiasa dicurahkan-Nya pada penulis berupa kesehatan, kekuatan,
serta kesempatan sehingga makalah ini dapat selesai dengan semestinya. Tidak lupa
penulis kirimkan shalawat dan salam beriringan dengan ucapan terima kasih yang
tiada terhingga kepada Baginda Rasulullah SAW karena atas segala pengorbanan yang
telah dilakukannya beserta para sahabat, sehingga kini kita mampu mengkaji alam ini
lebih tinggi dari gunung tertinggi, lebih dalam dari lautan terdalam, serta lebih jauh
dari batas pandangan mata.
Adapun tulisan ilmiah iniberisikan materi tentang “Infeksi
Nosokomal“ yang bertujuan sebagai bahan bacaan, semoga dapat bermanfaat bagi
yang membacanya. Dalam makalah ini, penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dalam penulisannya. Oleh karena itu, mohon kiranya kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pembimbing dan pembaca guna untuk kesempurnaan
pada pembuatan makalah penulis selanjutnya.
Makassar, Januari 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Infeksi Nosokomial 4
B. Etiologi Infeksi Nosokomial 5
C. Faktor Resiko Infeksi Nosokomial 8
D. Penilaian Infeksi Nosokomial 9
E. Cara Penularan Infeksi Nosokomial 10
F. Pencegahan Infeksi Nosokomial 11
BAB III RANGKUMAN 15
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN SOAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan juga merupakan sumber
dari berbagai penyakit, yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang
berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berembang di lingkungan
rumah sakit, seperti udara, air, lantai, makanan, dan benda-benda peralatan medis
maupun non medis. Jadi infeksi yang mengenai seseorang dan infeksi tersebut
diakibatkan pengaruh dari lingkungan rumah sakit disebut infeksi nosokomial
(Nugraheni, 2012).
Infeksi nosokomial merupakan masalah perawatan kesehatan yang
penting di seluruh dunia. Terjadinya infeksi nosokomial menimbulkan beberapa
masalah, yaitu peningkatan angka kesakitan dan kematian, penambahan hari
perawatan, peningkatan biaya perawatan dan ketidakpuasan, baik pasien maupun
keluarganya (Herpan, 2012).
Infeksi nosokomial dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat
dengan angka prevalensi 3,0 - 20,7 % dan angka insidensi 5 – 10 %. Ini
menggambarkan dengan jelas bahwa infeksi yang diperoleh di rumah sakit
menigkatkan angka kesakitan dan kematian yang ditambah dengan meningkatnya
beban perekonomian (Samuel dkk, 2010).
Angka kejadian infeksi nosokomial meningkat cepat dengan angka
infeksi per 100 pasien yang dirawat di rumah sakit dan paling banyak di unit luka
bakar dan di ICU bedah (Surgical ICU) dengan resiko sedang di Medical ICU. Dan
resiko rendah di Unit Perawatan Jantung (Coronary Care Unit) (Parrillo, 2013).
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-
penyakit infeksi masih menjadi penyebab utamanya. Presentase infeksi
nososkomial di rumah sakit di seluruh dunia mencapai 9 % (variasi 3-21 %) atau
lebih 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia mendapatkan infeksi
nosokomial. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO tahun 2006
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara di Eropa,
Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi
nosokomial, khususnya di Asia Tenggara sebanyak l0% (Ristiawan dkk, 2013).
Di Indonesia yaitu di 10 RSU pendidikan, infeksi nosokomial
cukup tinggi yaitu 6-16% dengan rata-rata 9,8% pada tahun 2010. Infeksi
nosokomial paling umum terjadi adalah infeksi luka operasi( ILO). Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa angka kejadian ILO pada rumah sakit di
Indonesia bervariasi antara 2-18% dari keseluruhan prosedur pembedahan
(Nugraheni dkk, 2012).
Menurunnya standar pelayanan perawatan merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Salah satu infeksi yang paling
sering terjadi adalah plebitis pada pasien yang mendapat terapi infus. Kejadian ini
merupakan salah satu indikator adanya infeksi akibat kesalahan pemasangan atau
pemasangan infus yang tidak sesuai protap terutama masalah teknik septik-aseptik.
Olehnya itu, perawat sebagai salah satu pemberi layanan kesehatan harus memiliki
pengetahuan dan kompetensi mengenai protokol pelaksanaan dan implementasi
untuk mencegah terjadinya komplikasi karenap engetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam mambentuk tindakan seseorang
(Mada dkk, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian infeksi nosokomial ?
2. Apa etiologi infeksi nosokomial ?
3. Apa faktor resiko infeksi nosokomial ?
4. Bagaimana penilaian infeksi nosokomial ?
5. Bagaimana cara penularan infeksi nosokomial ?
6. Bagaimana pencegahan infeksi nosokomial ?
C. Tujuan Penulisan
1. Utuk mengetahui pengertian infeksi nosokomial.
2. Utuk mengetahui etiologi infeksi nosokomial.
3. Utuk mengetahui faktor resiko infeksi nosokomial.
4. Untuk mengetahui penilaian infeksi nosokomial.
5. Utuk mengetahui cara penularan infeksi nosokomial.
6. Utuk mengetahui pencegahan infeksi nosokomial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Infeksi Nososkomial
Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium yang berarti rumah
sakit. Jadi kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit”, sementara
kata infeksi artinya terkena hama penyakit. Jadi, infeksi nosokomial (Hospital
Acquired Infection/Nosocomial Infection) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit
atau ketika penderita itu dirawat di rumah sakit. Infeksi ini baru timbul
sekurang-kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan
infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya. (Nugraheni dkk, 2012).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit atau di
fasilitas kesehatan lainnya. Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, nosos yang
artinya “penyakit”, dan komeo artinya “merawat”. Infeksi nosokomial didapatkan
selama pengobatan medis. Meskipun banyak nfeksi yang terjadi pada pasien,
infeksi didapatkan pada saat bekerja oleh pelayan kesehatan juga termasuk infeksi
nosokomial (Black, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh P. Malacarne, dkk di 125
ICU Italia, dari total 34.472 pasien yang ditelitinya. Terdapat 12,6 % pasien yang
mengalami infeksi nosokomial dengan angka tertinggi di ICU. Pada 3148 pasien,
satu atau lebih infeksi dilaporkan diperoleh di ruang ICU dengan total insiden
9,1 % dan angka kematian berturut-turut di ICU dan rumah sakit adalah 27,2 %
dan 35, 1 %. Di luar dari infeksi yang berhubungan dengan peralatan, pneumonia
karena pemasangan ventilator menjadi diagnosa yang paling sering (8,9 %/1000
days on ventilator). Kateter-berhubungan dengan infeksi aliran darah dilaporkan
dengan insiden rendah (1,9/1000 central venous catheter days). Hampir 20 % dari
lebih 5000 mikroorganisme yang diisolasi diklasifikasikan sebagai multi-drug resistant,
Staphylococcus aureus dilaporkan sebagai patogen resisten methicilin (Malacarne
dkk, 2010).
Menurut Deni Ristiawan dkk dalam penelitiannya yang berjudul
“Hubungan Antara Lama Perawatan dan Penyakit yang Menyertai dengan
Terjadinya Infeksi Nosokomial di RSI Sultan Hadlirin Jepara”, terdapat hubungan
lama perawatan dan penyakit penyerta dengan terjadinya infeksi nosokomial (di
RSI Sultan Hadlirin Jepara). Sebagian besar lama perawatan dalam kategori lebih
lama yaitu sebanyak 19 orang (52,8%), sebagian besar penyakit penyerta beresiko
sebanyak 20 orang (55,6%), sebagian besar terjadi infeksi nosokomial yaitu
sebanyak 19 orang (52,8%) (Ristiawan dkk, 2013).
Infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih (ISK),
infeksi luka operasi (ILO), pneumonia, infeksi aliran darah primer (IADP), sepsis
klinis (clinical sepsis), infeksi sendi dan bursa, infeksi ruang diskus, infeksi
intrakranial, meningitis atau ventrikulittis, mata (selain conjungtivitis), telinga
mastoid, infeksi saluran napas bagian atas (ISPA), gastroenteritis, infeksi traktus
digestivus, hepatitis, intra-abdominal, necrotizing enterocolitis, endometritis,
episiotomi, infekdi jaringan lunak, infeksi lain pada saluran reproduksi, infeksi
ulkus dekubitus, desseminated infection, infeksi luka bakar, kulit, mastitis, omphalitis,
pustolosis pada anak, dan infeksi pada sirkumsisi neonatus (Ibrahim, 2011).
B. Etiologi Infeksi Nosokomial
1. Agen Infeksi
Semua organisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi
yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu
penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang
normal (Ibrahim, 2011).
Infeksi nosokomial dapat menjadi eksogen ataupun endogen. Infeksi
eksogen disebabkan oleh organisme yang masuk ke tubuh pasien yang berasal
dari lingkungan. Organisme dapat berasal dari paien lain, pemberi pelayanan
kesehatan, atau pengunjung. Mereka juga dapat masuk ke tubuh pasien melalui
serangga (semut, kecoak, lalat) dari peralatan rumah sakit/fomite (toilet, tempat
sampah) ke pasien. Objek mati lainnya, seperti perlengkapan yang digunakan
pada terapi pernapasan atau intravena, kateter, peralatan kamar mandi dan
sabun, dan sistem penyediaan air, juga dapat menjadi sumber infeksi eksogen.
Beberapa infeksi nososkomial telah ditangani dengan desinfektan seperti
quartenary ammonium. Infeksi endogen disebabkan oleh oportunisflora normal
pasien. Opportunistik adalah yang menyebabkan infeksi jika pasien mempunyai
resistensi yang rendah terhadap mikroorganisme atau jika flora normal
berperang melawan patogen dimatikan oleh antibiotik (Black, 2012).
Meskipun virus, jamur dan parasit dikenal sebagi sumber infeksi
nosokomial, agen bakteri tetap dikenal menajdi penyebab paling umum dalam
memnyebabkan infeksi nosokomial (Samuel, 2010).
Terdapat 90 % infeksi nosokomial disebabkan oleh bakteri, dimana
mycobacterial, virus, jamur atau protozoa penyebab umum yang kurang
terlibat dalam menyebabkan infeksi nosokomial. Bakteri yang paling umum
menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari Staphylococcus (S.) aureus,
Streptococcus spp., Bacillus cereus, Acinetobacter spp., coagulase negatif
sthaphylococci, enterococci, Pseudomonas (P.) aeuginosa, Legionella dan anggota
famili Enterobacteriaceae seperti Eschericia (E.) coli, Proteus mirabilis, Salmonella
spp., Serratia marcesens dan Klebsiella pneumoniae. Tetapi yang paling sering
dilaporkan, patogen nosokomial adalah E.coli, S.aureus, ienterococci, dan
P.aeruginosa (Bereket dkk, 2012).
Gambar 1. Agen penyebab infeksi nosokomial
2. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon
tubuh pasien dalam hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit
yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan
immunosupresan dan steroid serta intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk
melakukan diagnosa dan terapi (Ibrahim, 2011).
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi
tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita
penyakit kronis. Keadaan ini akan emningkatkan toleransi tubuh terhadap
infeksi dari kuman yang semuala bersifat oportunistik. Obat-obatan yang
bersifat imunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Selain itu, peningkatan infeksi nosokomial juga sesuai dengan umur dimana
pada usia > 65 tahun kejadian infeksi tiga kali lebih sering terjadi dariapada usia
muda (Ibrahim, 2011).
C. Faktor Resiko Infeksi Nosokomial
Menurut Hasbi Ibrahim (2011), penularan infeksi nosokomial sama
dengan infeksi pada umumnya, dipengaruhi oleh tiga faktor utama:
1. Sumber penularan mikroorganisme penyebab
2. Tuan rumah suseptibel
3. Cara penularan mikroorganisme
Di rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, sumber
penularan infeksi adalah penderita dan petugas tempat pelayanan tersebut. Tuan
rumah (host) bisa penderita yang sakit parah, orang-orang tanpa gejala tetapi dalam
masa inkubasi atau dalam window period dari suatu penyakit, atau orang-orang yang
karier kronik dari satu mikroba penyebab infeksi. Sumber infeksi lain adalah flora
endogen penderita sendiri atau dari benda-benda di lingkungan penderita
termasuk obat-obatan, dan alat kedokteran dan devices yang terkontaminasi
(Ibrahim, 2011).
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dapat dilihat berbagai macam
ancaman terhadap kesehatan. Sedangkan dalam sudut pandang islam, sangat
ditekankan pentingnya pemeliharaan kesehatan. Quraish Shihab (1994) dalam
bukunya “Membumikan Al-Qur’an” menjelaskan bahwa tuhan memang telah
menetapkan takdir manusia, namun tidak berarti manusia harus pasrah pada
takdirnya. Dalam bingkai takdir tersebut terdapat berbagai pilihan bagi manusia,
dan manuisia bebas memilih sepanjang ia masih tetap dalam bingkai tersebut.
Demikian halnya dengan takdir sakit, sehat dan ajal, manusia tetap diwajibkan
berusaha menjaga kesehatan agar ia dapat berumur panjang dan melakukan
banyaka pengabdian dalam kehidupannya, baik kepada sesama maupun kepada
Tuhannya.
Pendapat Quraish Shihab tentang kewajiban menjaga kesehatan tersebut
sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 286:
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
D. Penilaian Infeksi Nosokomial
Menurut Hasbi Ibrahim (2011), infeksi nosokomial disebut juga dengan
“Hospital Acquared Infection” apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut:
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-
tanda klinik dari infeksi tersebut
2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam inkubasi dari infeksi tersebut
3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak
mulai dirawat
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
Menurut Hasbi Ibrahim (2011), ada keadaan khusus dimana infeksi
dianggap bukan nosokomial, bila:
1. Infeksi yang ada hubungannya dengan penyakit atau kelanjutan dari infeksi
yang sudah ada pada saat masuk rumah sakit, kecuali bila ditemukan bakteri
atau gejala-gejala yang jelas membuktikan bahwa ini infeksi baru
2. Pada anak kecil, infeksi yang diketahui atau dibuktikan menular lewat plasenta
(misalnya: toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, atau sifilis) dan terjadi
sebelum 48 jam kelahiran.
Selain itu, ada dua keadaan yang dianggap bukan infeksi, yaitu:
1. Adanya kolonisasi, yaitu adanya bakteri (pada kulit, mukosa, luka terbuka,
atau dalam sekret) tetapi tidak ada tanda-tanda yang membuktikan adanya
infeksi
2. Inflamasi, yaitu keadaan yang terjadi akibat reaksi jaringan terhadap cedera
(injury) atau stimulasi oleh zat-zat non-infektious misalnya bahan kimia
(Ibrahim, 2011).
E. Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross
Infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain
di rumah sakit secara langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu
disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu
jaringan ke jaringan lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu
disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidka bernyawa
yang berada di lingkungan rumah sakit (Ibrahim, 2011).
Menurut James H Hughes dkk dalam Hasbi Ibrahim (2011), ada empat
cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak langsung antara pasien dan
personil yang merawat atau menjaga pasien. Seterusnya, kontak tidak langsung
ketika objek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan menjadi
kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka
pasca operasi. Selain itu, penularan cara droplet infection dimana kuman dapat
mencapai ke udara (air borne) dan penularan melalui hewan/serangga yang
membawa kuman.
Menurut Samuel dkk (2010), mikroorganisme ditransmisikan di rumah
sakit oleh beberapa cara dan beberapa mikroorganisme mungkin ditransmisikan
oleh lebih dari satu cara. Terdapat lima cara utama penularan termasuk kontak,
droplet, udara, peralatan umum dan vector borne.
Gambar 2. Cara penularan infeksi nosokomial
F. Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pencegahan infeksi nosokomial adalah tanggungjawab semua individu
dan pemberi pelayanan kesehatan. Dan setiap orang harus bekerja sama termasuk
mengurangi risiko infeksi untuk pasien dan staf . Meskipun, tidak semua infeksi
dapat dihindari, tetapi banyak infeksi yang dapat dicegah. Pengawasan infeksi
nosokomial meruapakan bagian penting dalam pengendalian infeksi dan telah
banyak diteapkan di seluruh dunia sebagai langkah awal pencegahan. Namun,
untuk mengurangi tingkat infeksi perfawatan kesehatan tergantung pada beberapa
faktor. Baru-baru ini, banyak penekanan telah ditempatkan pada prosedur yg
terkait dengan staf, terutama mengenai kebersihan tangan. Selain itu, lingkungan
juga merupakan komponen penting di antara semua strategi pencegahan infeksi
(Bereket dkk, 2012).
Sering mencuci tangan tetap merupakan pencegahan yang paling penting
dalam pengendalian infeksi nososkomial. Sarung tangan, baju, dan masker
memiliki peran dalam pencegahan infeksi. Tetapi, sering digunakan dengan tidak
tepat, meningkatkan biaya layanan yang tidak perlu. Banyak yang tampak marah
ketika praktik kebersihan buruk mereka terekspose dan tersinggung ketika
dianggap sebagai penyebar mikroorganisme di antara pasien, yang menempatkan
kesusahan pada pengendalian infeksi (Bereket dkk, 2012).
Menurut Hasbi Ibrahim (2011), pencegahan dari infeksi nosokomial ini
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang
termasuk:
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
desinfektan
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang
cukup, dan vaksinasi
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat pelabagi pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah
infeksi nosokomial. Antaranya adalah dekontaminasi tangan dimana transmisi
penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga higiene dari tangan.
Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya
alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya
pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama.
Penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau
pemeriksaan pada pasien dengan yang dirawat di rumah sakit (Ibrahim, 2011).
Menurut Simonsen dalam Ibrahim dkk (2011), lebih dari 50 % injeksi
yang dilakukan di negara berkembang tidak aman, contohnya adalh jarum, tabung
atau keduanya yang dipakai secara berulang-ulang. Untuk mencegah penyebaran
infeksi melalui jarum suntik maka diperlukan penggunaan jarum yang steril dan
penggunaan alat suntik yang disposabel. Masker digunakan sebagai pelindung
terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Sarung tangan, sebaiknya
digunakan terutama ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine.
Sarung tangan harus selalu diganti untuk setiap pasiennya, baju khusus juga harus
dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama melakukan suatu tindakan
untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urine, dan feses.
Penyebaran dari infeksi nososkomial juga dapat diceagh dengan
membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk
penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis dan SARS yang
mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, seperti HIV
serta pasien yag mempunyai resistensi rendah seperti leukimia juga perlu diidolasi
agar terhindar dari infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi
udara yang menuju keluar (Ibrahim, 2011).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan infeksi nososkomial luka
operasi adalah haru smelakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum
pasien masuk/dirawat di rumah sakit yaitu dengan perbaikan keadaan pasien,
misalnya gizi. Sebelum operasi, pasien operasi dilakukan dengan benar sesuai
dengan prosedur, misalnya pasien harus puasa dan desinfeksi daerah operasi. Pada
waktu operasi, semua petugas harus mematuhi peraturan kamar operasi yaitu
bekerja sesuai SOP (Standard Operating Procedure) yaitu dengan perhatikan
waktu/lama operasi. Seterusnya, pasca operasi harus diperhatikan perawatan alat-
alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infuse, dan lain-lain
(Ibrahim, 2011).
Prinsip utama prosedur kewaspadaan umum dalam pencegahan
infeksi nososkomial adalah menjaga hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi
peralatan. Kegiatan prinsip tersebut dijabarkan menjadi liam kegiatan pokok yaitu
cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya
pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan
infeksius lain, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk emncegah perlukaan, pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
(Ibrahim, 2011).
BAB III
RANGKUMAN
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit atau di
fasilitas kesehatan lainnya. Infeksi ini baru timbul sekurang-kurangnya dalam waktu
3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya.
Infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih (ISK), infeksi luka
operasi (ILO), pneumonia, infeksi aliran darah primer (IADP), sepsis klinis (clinical
sepsis),dll.
Semua organisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme
yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection). Tetapi yang paling sering dilaporkan, patogen
nosokomial adalah E.coli, S.aureus, ienterococci, dan P.aeruginosa.
Selain itu, faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan
respon tubuh pasien terhadap terjadinya infeksi nosokomial adalah umur, status
imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang
menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroidusia muda dan usia tua
berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi.
Terdapat lima cara utama penularan infeksi nosokomial, diantaranya
kontak, droplet, udara, peralatan umum dan vector borne. Untuk mencegah
penularan infeksi nosokomial, beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan
membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan desinfektan.
Mengontrol resiko penularan dari lingkungan. Melindungi pasien dengan penggunaan
antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi. Serta membatasi resiko
infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
DAFTAR PUSTAKA
Bereket, dkk. 2012. “Update on Bacterial Nosocomial Infections”. European Review for
Medical and Pharmacological Sciences 16: h. 1039-1044.
Black, Jacquelyn G. 2012. Microbiology Principles and Explorations 8th Edition. Wiley.
Herpan, Yuniar Wardani. 2012. “Analisis Kinerja Perawat dalam Pengendalian
Infeksi Nosokomial di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta”. Kes
Mas 6, no.3: h. 174-189.
Ibrahim, Hasbi. 2011.Analisis Pelaksanaan Kewaspadaan Standar Terhadap Penyakit Infeksi
Nosokomial. Makassar: Alauddin University Press.
Mada, Marlin Daido, dkk. 2013. “Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Infeksi
Nosokomial dengan Penerapan Prinsip Steril pada Pemasangan Infus di RS
Kristen Lenden Moripa Sumba Barat”. Medika Respati 8, no.1: h. 1-12.
Malacarne, dkk. 2010. “Epidemiology of Nosocomial Infection in 125 Italian
Intensive Care Units”. Minerva Medica 78, no.1: hal. 13-23.
Nugraheni, Ratna, dkk. 2012. “Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro Kabupaten
Wonosobo”.Media Kesehatan Masyarakat Indonesia 11, no.1: h. 94-100.
Parrillo, Joseph E dan Dellinger, R Phillip. 2013. Critical Care Medicine: Principles of
Diagnosis and Management in Adult.
Ristiawan, Deni, dkk. 2013. “Hubungan Antara Lama Perawatan dan Penyakit yang
Menyertai dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial di RSI Sultan Hadlirin
Jepara”. JIKK 4, no.1: h. 10-15.
Samuel, S.O, dkk. 2010. “Nosocomial Infections and the Challenges of Control in
Developing Countries”. African Journal of Clinical and Experimental Microbiology
11, no.2: h. 102-109.
CONTOH SOAL STUDI KASUS
1. Karena akhir-akhir ini kasus infeksi nosokomial meningkat, kepala ruangan
menghimbau para perawat untuk meningkatkan kesterilan dalam memberikan
tindakan keperawatan. Selain itu, pengunjung juga dihimbau agar tidak kontak
langsung dengan pasien jika belum mencuci tangan. Selain kontak langsung,
bagaimana infeksi nosokomial bisa menular ?
a. Common vehicle
b. Droplet
c. Air borne
d. Vektor
e. Semuanya benar
2. Seorang pasien mendatangi Rumah Sakit X dengan keluhan pandangan
berkunang-kunang, nyeri di bagian leher, mual dan terkadang muntah. Kesadaran
menurun. Pada malam hari, suhu tubuh pasien meningkat hingga kejang. Anak
pasien yang kebetulan mahasiswa keperawatan salah satu perguruan tinggi
menyangka kalau ayahnya mengalami kejang karena infeksi nosokomial. Namun
perawat yang bertugas mengatakan bahwa itu bukanlah infeksi nosokomial. Apa
yang mendasari jawaban perawat tersebut ?
a. Kejang tersebut timbul dalam kurung waktu kurang dari 3x24 jam sejak dirawat
b. Perawat merasa telah memberikan tindakan secara steril
c. Pada saat mulai dirawat, tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi
tersebut
d. A dan B benar
e. A dan C benar
3. Ny.G usia 68 tahun dirawat dengan diagnosa penyakit hipertensi. An.J dirawat
dengan diagnosa penyakit gastroenteritis. Tn. L usia 41 tahun dirawat dengan
diagnosa penyakit gastritis. Ketiga pasien dirawat di bangsal umum. Terlepas dari
faktor eksternal, pasien manakah yang lebih beasar ptensi kemungkinan terkena
infeksi nosokomial?
a. An. J
b. Tn. L
c. Ny.G
d. An.J dan Tn.L
e. An.J dan Ny.G
4. An.E masuk rumah sakit karena gastroenteritis. An.E lalu ditempatkan di bangsal
umum. Seorang perawat hendak memasangkan infus. Untuk mencegah terjadinya
infeksi tambahan, apa yang harus dilakukan oleh perawat tersebut ?
a. Memakai hand gloves
b. Menggunakan spoit disposible
c. Pemberian nutrisi yang cukup
d. A dan B benar
e. Semua benar
5. Tn. A, usia 43 tahun masuk rumah sakit karena DHF. Setelah tiga hari dirawat,
Tn.A sudah tampak sehat. Namun, tangan Tn.A mengalami plebitis karena efek
pemasangan infus. Manakah tindakan perawat yang seharusnya ?
a. Membiarkan infus terpasang di tempat semula
b. Memasang infus di tangan yang satunya
c. Memberikan anti piretik
d. Memberikan kompres pada tangan yang mengalami plebitis
e. Melepaskan infus sampai plebitis sembuh
6. Setelah menjalani operasi sectio saecaria, Ny.E dianjurkan untuk memperhatikan
pola makannya. Selain itu, perawat dianjurkan untuk mampu mengenali faktor-
faktor yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi luka operasi. Apa
saja yang bukan faktor termasuk tersebut ?
a. Diabetes melitus
b. Malnutrisi
c. Obesitas
d. Mual muntah
e. Pemakaian kortikosteroid
7. Setelah melakukan supervisi, ditemukan beberapa kasus infeksi nosokomial pasca
pembedahan. Segera kepala ruangan mengajak pada perawat-perawatnya untuk
melakukan beberapa tindakan pengendalian infeksi. Berikut ini tindakan
pencegahan infeksi adalah....
a. Untuk luka kotor atau infeki, kulit jangan ditutup primer
b. Jika terlihat cairan keluar dari luka, lakukan pewarnaan gram dan biakan
c. Petugas tidak boleh menyentuh luka secara langsung dengan tangan, kecuali
memakai hand gloves
d. Benar semua
e. Salah semua
8. infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh di rumah sakit atau pelayanan
kesehatan lainnya. Berikut ini keadaanyang dimana infeksi dianggap bukan
nosokomial adalah ..
a. infeksi yang dibuktikan menular lewat plasenta (rubella, toxoplasmosis dll)
b. adanya kolonisasi
c. inflamasi
d. infeksi dengan tanda-tandanya muncul > 3x24 jam sejak dirawat
e. infeksi residual dari infeksi sebelumnya
9. salah satu media penularan infeksi nosokomial di rumah sakit adalah peralatan
rumah sakit. Olehnya itu perlu dilakukan pengelolaan alat-alat kesehatan untuk
menjamin alat tersebut dalam kondisi steril. Berikut ini yang bukan tindakan
pensterilan peralatan rumah sakit adalah...
a. dekontaminasi
b. pencucian
c. mengangin-anginkan
d. DTT
e. Pemanasan
10. An. H usia 3 tahun dibawa oleh orang tuanya ke RS. Belum ditanya masalahnya
sudah terlihat si anak mengalami luka bakar di tubuhnya, tetapi tampaknya sudah
pada taraf penyembuhan. Terlihat kulit baru yang sudah tumbuh dengan warna
bopeng. An. H dibawa ke RS bukan karena luka bakarnya, tetapi karena penyakit
lainnya, yaitu berak cair. Si anak baru saja pulang dari RS lain, dirawat karena luka
bakar selama 15 hari, dan dinyatakan boleh berobat jalan. Tetapi setelah sampai di
rumah, si anak mengalami sakit diare. Sampai di rumah siang hari sampai malam
hari berak cairnya tidak berhenti-berhenti. Si anak dalam keadaan dehidrasi dan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran An. H disebabkan oleh....
a. Hipoperfusi jaringan serebral karena penuruna volume vaskular
b. Penekanan pada pusat vital dan kesadaran di otak
c. Penurunan fungsi hemodinamikdan kelelahan jantung
d. Adanya mekanisme deuresis pada kerusakan jaringan ginjal.