1 FAKTOR PREDISPOSISI INFEKSI SALURAN ...

11
1 FAKTOR PREDISPOSISI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DESA LAMPASEH KOTA BANDA ACEH PREDISPOSING FACTORS ACUTE RESPIRATORY TRACT INFECTIONS (ARI) IN CHILDREN IN THE VILLAGE CITY LAMPASEHBANDA ACEH Novita Dewi 1 ; Sufriani 2 1 Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2 Bagian Keilmuan Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh e-mail: [email protected] ; [email protected] ABSTRAK Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit yang mudah menular dan masih merupakan masalah kesehatan yang penting, karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), Aceh menduduki urutan ISPA tertinggi ke-3 dari semua provinsi di Indonesia.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor predisposisi ISPA status gizi, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, kebiasaaan merokok anggota keluarga, polusi udara dalam ruangan dan manajemen sampah di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh 2016. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 16 21 Agustus 2016. Jenis penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang berjumlah 247 ibu dengan jumlah sampel sebanyak 71 responden. Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Alat ukur kuesioner dengan metode wawancara terpimpin. Hasil penelitian diketahui bahwa yang menjadi faktor predisposisi ISPA di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016 yaitu pendidikan ibu berada pada tingkat pendidikan rendah (47,9%), kebiasaan merokok anggota keluarga berada pada kategori tinggi (53,5%) dan polusi udara dalam ruangan berada pada kategori tinggi (83%). Adapun gambaran status gizi balita berada pada kategori baik (97,2%), pendapatan keluarga berada pada kategori tinggi (53,5%), dan manajemen sampah berada pada kategori baik (66,2%). Diharapkan kader puskesmas dan kader kesehatan dapat mengurangi kejadian ISPA pada balita dengan melakukan penyuluhan tentang bahaya perilaku merokok anggota keluarga pada balita dan pentingnya ventilasi rumah terutama dapur serta melakukan kunjungan ke rumah (Home Visit). Kata Kunci : ISPA, Balita, Faktor Predisposisi ABSTRACT Acute Respiratory Infections (ARI) is a contagious disease and is still an important health problem, because the cause of death of infants and toddlers are quite high. Data from the Health Research (Riskesdas, 2013), ISPA Aceh ranks 3rd highest of all provinces in Indonesia. Aim of this study is to describe the predisposing factors ISPA nutritional status, family income, maternal education, smoking habits member family, indoor air pollution and waste management in the village of Banda Aceh Lampaseh 2016. Data collection was performed on 16 to 21 August 2016. Descriptive research with cross sectional design. The population of this research is all mothers who have children numbering 247 mothers with a total sample of 71 respondents. The sampling technique purposive sampling method. Questionnaire measuring instrument with guided interview method. The survey results revealed that predispose Lampaseh ISPA in the village of Banda Aceh in 2016 that maternal education is at a low level of education (47.9%), smoking habits of family members at the high category (53.5%) and air pollution rooms at the high category (83%). The picture nutritional status of children are in good category (97.2%), family income at the high category (53.5%), and waste management are in good category (66.2%). Expected cadre of health centers and health workers can reduce the incidence of ARI in infants with doing counseling about the dangers of smoking behavior of family members in infants and the importance of home ventilation, especially kitchens and home visits. Keywords : ARI, Toddlers, Predisposing Factors

Transcript of 1 FAKTOR PREDISPOSISI INFEKSI SALURAN ...

1

FAKTOR PREDISPOSISI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DESA LAMPASEH KOTA BANDA ACEH

PREDISPOSING FACTORS ACUTE RESPIRATORY TRACT INFECTIONS (ARI) IN CHILDREN IN THE VILLAGE CITY LAMPASEHBANDA ACEH

Novita Dewi1; Sufriani2

1 Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2 Bagian Keilmuan Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

e-mail: [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit yang mudah menular dan masih merupakan masalah kesehatan yang penting, karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), Aceh menduduki urutan ISPA tertinggi ke-3 dari semua provinsi di Indonesia.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor predisposisi ISPA status gizi, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, kebiasaaan merokok anggota keluarga, polusi udara dalam ruangan dan manajemen sampah di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh 2016. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 16 – 21 Agustus 2016. Jenis penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang berjumlah 247 ibu dengan jumlah sampel sebanyak 71 responden. Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Alat ukur kuesioner dengan metode wawancara terpimpin. Hasil penelitian diketahui bahwa yang menjadi faktor predisposisi ISPA di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016 yaitu pendidikan ibu berada pada tingkat pendidikan rendah (47,9%), kebiasaan merokok anggota keluarga berada pada kategori tinggi (53,5%) dan polusi udara dalam ruangan berada pada kategori tinggi (83%). Adapun gambaran status gizi balita berada pada kategori baik (97,2%), pendapatan keluarga berada pada kategori tinggi (53,5%), dan manajemen sampah berada pada kategori baik (66,2%). Diharapkan kader puskesmas dan kader kesehatan dapat mengurangi kejadian ISPA pada balita dengan melakukan penyuluhan tentang bahaya perilaku merokok anggota keluarga pada balita dan pentingnya ventilasi rumah terutama dapur serta melakukan kunjungan ke rumah (Home Visit).

Kata Kunci : ISPA, Balita, Faktor Predisposisi

ABSTRACT

Acute Respiratory Infections (ARI) is a contagious disease and is still an important health problem, because the cause of death of infants and toddlers are quite high. Data from the Health Research (Riskesdas, 2013), ISPA Aceh ranks 3rd highest of all provinces in Indonesia. Aim of this study is to describe the predisposing factors ISPA nutritional status, family income, maternal education, smoking habits member family, indoor air pollution and waste management in the village of Banda Aceh Lampaseh 2016. Data collection was performed on 16 to 21 August 2016. Descriptive research with cross sectional design. The population of this research is all mothers who have children numbering 247 mothers with a total sample of 71 respondents. The sampling technique purposive sampling method. Questionnaire measuring instrument with guided interview method. The survey results revealed that predispose Lampaseh ISPA in the village of Banda Aceh in 2016 that maternal education is at a low level of education (47.9%), smoking habits of family members at the high category (53.5%) and air pollution rooms at the high category (83%). The picture nutritional status of children are in good category (97.2%), family income at the high category (53.5%), and waste management are in good category (66.2%). Expected cadre of health centers and health workers can reduce the incidence of ARI in infants with doing counseling about the dangers of smoking behavior of family members in infants and the importance of home ventilation, especially kitchens and home visits.

Keywords : ARI, Toddlers, Predisposing Factors

2

PENDAHULUAN Masa balita merupakan periode

penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Oleh karenanya, masa ini sering disebut golden age atau masa keemasan. Balita adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih sangat rentan terhadap penyakit (Prabowo, 2012). Masalah kesehatan balita merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yan saat ini terjadi di Indonesia. Infeksi pernafasan merupakan penyakit akut yang paling banyak terjadi pada anak-anak (Wong, 2009). Insiden menurut kelompok balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Ruden et al Bulettin WHO 2008). Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita, dan berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA, ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI,2008). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdss, 2013) didapatkan Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%) dan Kalimantan Tengah (32,7%). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2014, menurut umur,

period prevalence penumonia tertinggi terjadi pada kelompok balita. Dari daftar 10 penyakit rawat inap dan rawat jalan di Puskesmas Provinsi Aceh tahun 2012, ISPA menjadi peringkat pertama dari kasus yang lain (Dinkes Aceh, 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi ISPA, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut WHO tahun 2008, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita, diantaranya yaitu status gizi, pendapatan, polusi udara dalam ruangan, sanitasi rumah, kepadatan hunian, manajemen sampah, pendidikan dan kebiasaan merokok anggota keluarga. Setiap faktor ini menjadi sumber pajanan yang menjadi ancaman bagi kelompok usia yang beresiko, khususnya balita (WHO, 2008). Dari pengambilan data awal di Puskesmas Lampaseh didapatkan data dalam 4 bulan terakhir (bulan Januari sampai bulan April tahun 2016), didapatkan data 5 penyakit terbesar yang sering dialami masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lampaseh antara lain ISPA, hipertensi, disepsia, common cold dan diabetes melitus. Menurut laporan bulanan Puskemas Lampaseh, penyakit ISPA sering menduduki urutan pertama data 10 besar penyakit di 4 bulan terakhir juga persentase kasus ISPA di Desa Lampaseh meningkat secara signifikan dibandingkan desa yang lain dimana di desa yang lain jumlah kasus tetap bahkan ada yang menurun. Melihat fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Predisposisi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016”.

3

METODE Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif, dengan desain penelitian cross sectional study. Pengumpulan data kuesioner dengan wawancara terpimpin. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh yang berjumlah 247 ibu. Purposive Sampling berjumlah 71 orang (Notoatmodjo, 2010).

HASIL Data Demografi Responden Tabel 1. Data Demografi Responden

No Data demografi

Frekuensi Persentase

1. Usia a. Remaja

(17-25 tahun)

b. Dewasa awal (26-35 tahun)

c. Dewasa akhir (36-45 tahun)

3

57

11

4,2

80,3

15,5

Total 71 100 2. .

Pekerjaan a. IRT b. Wiraswasta c. PNS

45 20 6

63,4 28,2 8,5

Total 71 100

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa responden terbanyak berada pada usia 26-35 tahun yaitu 57 (80,3%) dan sebagian besar responden merupakan IRT 45 (63,4%).

Tabel 2. Faktor Prediposisi Status Gizi No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Gizi Baik 69 97,2 2 Gizi Kurang 2 2,8

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 2 dapat menggambarkan bahwa status gizi balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada pada kategori status baik sebanyak 69 balita (97,2%).

Tabel 3. Faktor Predisposisi Pendapatan No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Tinggi 38 53,5 2 Rendah 33 46,5

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 3 dapat menggambarkan bahwa pendapatan keluarga di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada pada kategori pendapatan tinggi sebanyak 38 orang (53,5%).

Tabel 4. Faktor Predisposisi Polusi dalam Ruangan No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Tinggi 51 71,8 2 Rendah 20 28,2

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat menggambarkan bahwa sebagian besar di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada dalam kategori polusi udara dalam ruangan yang tinggi sebanyak 51 rumah (71,8%).

Tabel 5. Faktor Predisposisi Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Tinggi 47 66,2 2 Rendah 24 33,8

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat menggambarkan bahwa kebiasaan merokok anggota keluarga di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada

4

dalam kategori tinggi yaitu sebanyak (66,2%).

Tabel 6. Faktor Predisposisi Pendidikan Ibu No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Rendah 34 47,9 2 Menengah 26 36,6 3. Tinggi 11 15,5

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat menggambarkan bahwa tingkat pendidikan ibu di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada dalam kategori tingkat pendidikan rendah (47,9%).

Tabel 7. Faktor Predisposisi Manajemen Sampah No. Kategori Frekuensi Persentase 1 Kurang Baik 34 47,9 2 Baik 37 52,1

Total 71 100.0

Berdasarkan tabel 7 dapat menggambarkan bahwa manajemen sampah di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada dalam kategori baik (52,1%).

PEMBAHASAN Gambaran Faktor Predisposisi Status Gizi Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Sebagian besar balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada pada kategori status gizi baik (97,2%). Gizi dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi (Wiryo, 2002). Status

gizi yang buruk dapat mempermudah balita terkena infeksi. ISPA dapat mudah terjadi pada balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang (Depkes, 2004) karena faktor daya tahan yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA bahkan serangannya lebih lama. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi (Prabu, 2009).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Agrina, Suyanto dan Arneliwati (2014) yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo terkait hubungan status gizi dengan kejadian ISPA yang dilakukan pada 262 responden, terdapat 49 balita dengan status gizi baik tidak pernah menderita ISPA (20,7%) dan terdapat 11 balita dengan status gizi baik pernah menderita ISPA (44,0%). Adapun hasil hubungan status gizi dan kejadian ISPA (P value = 0,017).

Balita dengan status gizi baik cenderung tidak mengalami ISPA dibandingkan status gizi kurang. Balita dengan status gizi kurang akan beresiko terkena ISPA 0,3 kali dibandingkan anak dengan status gizi baik. Balita yang memiliki gizi baik akan memiliki daya tahan tubuh yang kuat untuk menangkal berbagai macam penyakit tidak terkecuali penyakit ISPA.

Hasil ini juga didukung oleh penelitian Nasution (2009) yang dilakukan di Kelurahan Pulo Gadung Jakarta pada 103 responden, terdapat 16 balita dengan status gizi cukup-lebih tidak pernah menderita ISPA (60%) dan terdapat 24 balita dengan status gizi baik pernah menderita ISPA (40,0%). Status gizi dan kejadian ISPA memiliki

5

hubungan dengan kejadian ISPA (P value = 0,672).

Status gizi balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh adalah kategori gizi baik yang menunjukkan bahwa status gizi balita tidak menjadi faktor predisposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016.

Gambaran Faktor Predisposisi Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Kebiasaan merokok anggota keluarga di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh berada dalam kategori tinggi. Rokok merupakan zat adiktif yang memiliki kandungan kurang lebih 4000 elemen, dimana 200 elemen di dalamnya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama berbahaya pada rokok antara lain tar, nikotin, dan karbonmonoksida. Dampak rokok tidak hanya mengancam kesehatan si perokok tetapi juga orang disekitarnya atau disebut perokok pasif (Jaya, 2009).

Efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh perokok disebut asap utama dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tara dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar asap samping dibandingkan kadar asap utama (Umami, 2010).

Adanya anggota keluarga di dalam rumah menjadikan balita sebagian perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah balita yang terdapat anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang tidak terdapat anggota keluarga yang tidak merokok didalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam satu keluarga cukup tinggi (Rahmayatul, 2013).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Milo (2015) hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita yang dilakukan pada 51 responden, terdapat 12 balita (54,5%) yang terkena ISPA yang orangtuanya merupakan perokok berat, 5 balita (35,7%) yang terkena ISPA yang orangtuanya merupakan perokok ringan dengan hasil hubungan kebiasaan merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA dengan (P value = 0,002)

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Trisnawati dan Juwarni (2012) yang dilakukan pada 51 responden, terdapat 10 balita (76,5%) yang terkena ISPA yang orangtuanya merupakan perokok ringan, 41 balita (80,4%) yang terkena ISPA yang orangtuanya merupakan perokok berat. Perilaku merokok orangtua memiliki hubungan dengan kejadian ISPA (P value = 0,000 (<0,05).

Kebiasaan merokok anggota keluarga menjadi faktor predisposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016. Peneliti berasumsi dikarenakan sebagian besar ada anggota keluarga yang merokok yaitu ayah balita (74,6%) dan sering merokok dekat dengan balita (67,6%).

6

Gambaran Faktor Predisposisi Pendapatan Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Sebagian besar pendapatan keluarga di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh dalam kategori pendapatan tinggi.

Salah satu penyebab utama masalah kesehatan anak di Indonesia menurut FKUI dalam Sulistyoningsih (2011) adalah keadaan sosial/ekonomi/budaya masyarakat yang kurang memadai. Kondisi ekonomi keluarga sangat berpengaruh pada kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi, mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai juga menciptakan kondisi lingkungan yang sehat.

Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistyoningsih (2011) terkait hubungan ISPA pada balita dengan sosial ekonomi yang dilakukan pada 76 responden menunjukkan bahwa pada kelompok balita dengan ISPA, proporsi ibu yang memiliki sosial ekonomi kurang (82,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ibu dengan sosial ekonomi cukup (34,1%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat sosial ekonomi dengan penyakit ISPA (P value = 0,000).

Hasil penelitian ini juga di dukung oleh Nasution (2009) terkait hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita yang dilakukan pada 103 responden, terdapat 18 balita (42,9%) yang terkena ISPA yang pendapatan keluarganya menengah-tinggi, 24 balita (57,1%) yang terkena ISPA yang pendapatan keluarganya rendah. Pendapatan keluarga memiliki

hubungan dengan kejadian ISPA dengan (P value = 0,672).

Perolehan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa pendapatan keluarga di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh sebagian besar adalah kategori tinggi (53,5%) walaupun ibu balita sebagian besar merupakan IRT namun ayah balita bekerja dan berpendapatan ≥

Rp.2.118.500,- per bulan. Pendapatan keluarga tidak menjadi faktor prediposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016.

Gambaran Faktor Predisposisi Pendidikan Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Sebagian besar ibu balita menempuh pendidikan terakhir dalam pendidikan dasar yaitu SD atau SMP (34%). Pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dalam bersikap hidup yang bersih dan sehat serta sikap dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada disekitarnya. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan akan berpengaruh kepada pemahaman mengenai kesehatan, termasuk kesehatan balita dan keluarga (Notoadmodjo, 2007).

Nasution (2009) dalam penelitian mengatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dengan kejadian ISPA pada balita dari 103 responden, terdapat 11 balita (26,2%) yang terkena ISPA yang tingkat

7

pendidikan orangtuanya tinggi, 31 balita (73,8%) yang terkena ISPA yang tingkat pendidikan orangtuanya rendah. Tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan kejadian ISPA dengan (P value = 0,122).

Hasil penelitian ini juga di dukung oleh Sulistyoningsih (2011) yang dilakukan pada 76 responden didapatkan hasil bahwa pada kelompok balita ISPA dengan proporsi ibu yang memiliki pendidikan rendah sebanyak (77,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ibu dengan pendidikan tinggi (14,3%) dan cukup (50,0%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan ISPA pada balita (p value = 0,00).

Tingkat pendidikan ibu balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh sebagian besar adalah kategori rendah (47,9%) yang menunjukkan bahwa pendidikan ibu menjadi faktor predisposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016.

Gambaran Faktor Predisposisi Polusi Udara Dalam Ruangan Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Sebagian besar didalam rumah yang ada balita di Desa Lampaseh Kota banda Aceh terdapat polusi udara yang tinggi (71,8%). Pengaruh buruknya ventilasi adalah kurangnya kadar O2 dan bertambahnya kadar CO2, adanya pengap, suhu udara ruangan naik dan kelembaban udara bertambah. Efek dari polusi udara ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas, sehingga benda asing termasuk virus, bakteri dan mikroorganisme lainnya tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan. Hal inilah yang akan memudahkan terjadinya penularan penyakit ISPA. Ventilasi

merupakan tempat daur ulang udara yaitu tempatnya udara masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk penghawaan di dalam rumah yakni ventilasi memiliki luas minimal 10% dari luas rumah (WHO, 2007). Hasil penelitian yang didapatkan bahwa dapur yang tidak memiliki ventilasi udara dengan persentase (83,1%) dan dapur tidak memiliki jendela dengan persentase (62%).

Asap yang dikeluarkan dari pembakaran mengandung banyak gas pencemar dan partikel-partikel yang beresiko terhadap kesehatan terutama balita. Dengan demikian tetap dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kadar partikulat di dalam rumah dengan cara mengganti bahan bakar memasak dengan yang tidak menimbulkan pencemaran udara dalam rumah atau sisa pembakarnya dapat keluar dari dalam rumah melalui ventilasi ruangan sehingga bahan pencemar dapur dapat lebih banyak keluar (WHO, 2007).

Asap pembakaran mengandung berbagai partikel dan kandungan zat kimia seperti timbel, besi, mangan, arsen, kadmium yang dapat menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan sehingga mudah mengalami infeksi. Partikel di udara jika masuk melalui saluran pernapasan akan mengakibatkan rusaknya sel epitel dan silianya sehingga benda asing atau partikel yang masuk tidak dapat dikeluarkan. Rumah yang tidak dilengkapi dengan ventilasi dapur dan letak dapur berdekatan dengan tempat tidur balita dapat meningkatkan keterpaparan asap kayu bakar dengan konsentrasi tinggi (WHO, 2007).

Rosdiana dan Hermawati (2013) dalam penelitiannya pada 45 responden menunjukkan bahwa terdapat hubungan

8

yang signifikan antara kejadian ISPA pada balita dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar memasak seperti kayu bakar atau sejenisnya daripada balita memasak seperti gas/minyak tanah (p =0,007).

Polusi udara dalam ruangan di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016 dalam kategori tinggi (71,8%). Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara dalam ruangan menjadi faktor prediposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016. Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar responden tidak menggunakan minyak tanah atau kayu bakar untuk memasak dan beralih menggunakan gas. Walaupun demikian, setiap memasak pasti mengeluarkan asap dari uap atau asap hasil penggorengan makanan yang di masak dan sebagian besar responden tidak memiliki jendela dapur (62%) dan tidak memiliki ventilasi dapur (81,7%) untuk pertukaran udara.

Gambaran Faktor Predisposisi Manajemen Sampah Pada Penyebab ISPA Pada Balita Di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016

Sebagian besar manajemen sampah yang dilakukan oleh ibu balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016 dikelola dengan baik (52,1%). Manajemen sampah yang dilakukan kebanyakan dengan kategori baik karena sebagian besar sampah rumah tangga diambil oleh petugas kebersihan. Namun sebagian lainnya ada yang dibakar di sekitar rumah terutama sampah daun-daun kering. Sebanyak (50,7%) ada membakar sampah hasil rumah tangganya dan sebanyak (49,3%) tidak membakar sampah karena diangkut petugas kebersihan. Sampah yang membusuk

dapat menimbulkan bau dan menyebabkan kesulitan untuk bernapas. Sebanyak 54 responden (76,1%) tidak menyimpan sampah didalam rumah sampai membusuk dan menimbulkan bau.

Menurut Nasution (2009), membakar sampah berbahaya mengingat sampah terdiri dari berbagai jenis komposisi. Pembakaran sampah plastik dapat mengurai sianida yang sangat beracun dan berbahaya tidak hanya bagi sistem pernafasan melainkan bagi seluruh organ vital tubuh. Pembakaran sampah kertas dan kayu dapat menyebabkan polutan karbon yang mengiritasi sistem pernapasan. Membakar sampah juga dapat menurunkan kualitas udara di daerah itu. Hasil yang didapatkan dari penelitian ada responden yang mengaku tidak membakar sampah (49,3%) disekitar rumah namun ada asap pembakaran sampah dari tetangga yang masuk kedalam rumah dan juga (95,8%) responden tidak menutup jendela dan pintu bila ada pembakaran sampah disekitar rumah.

Menurut Ahmadi (2015), faktor pencetus utama kasus ISPA di Indonesia termasuk polusi udara seperti asap pembakaran sampah masuk ke dalam rumah dan kebiasaan membakar sampah hasil rumah tangga. Begitu manusia terpapar partikulat asap pembakaran sampah, langsung terjadi iritasi pada mukosa saluran pernapasan dan kelopak mata. Partikulat karbon hasil pembakaran sampah kertas dan daun berukuran di bawah 50 mikron sehingga tidak dapat tersaring bulu hidung dan langsung masuk dan mengendap dan terakumulasi pada daerah bronkhi serta alveoli sehingga menimbulkan gangguan pernapasan.

9

Partikulat pembakaran sampah yang masuk ke saluran nafas menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan terhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran nafas. Kemudian terjadi peningkatan produksi lendir akibat iritasi partikulat, produksi lendir menyebabkan penyempitan saluran napas. Sel pembunuh bakteri di saluran nafas rusak, terjadi pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel sehingga saluran pernapasan menyempit. Akhirnya silia dan lapisan sel sealput lendir lepas. Akibatnya terjadi kesulitan bernafas sehingga benda asing termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan sehingga infeksi tambahan semakin mudah terjadi (Mukono, 2000).

Hasil penelitian ini didukung oleh Rosdiana dan Hermawati (2013) pada 45 responden menunjukkan bahwa ada hubungan antara sarana sanitasi dengan kejadian ISPA pada balita yang signifkan (p = 0,029).

Manajemen sampah di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh dalam kategori baik (52,1%) yang menunjukkan bahwa manajemen sampah menjadi faktor predisposisi ISPA pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016. Peneliti berasumsi manajemen sampah baik ini dikarenakan sebagian besar sampah rumah tangga responden diangkut dan cepat diambil oleh petugas kebersihan sehingga sampah tidak membusuk dan menimbulkan bau di sekitar rumah.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan yang telah diuraikan dan kesimpulan yang didapatkan bahwa faktor predisposisi penyebab ISPA di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh tahun 2016 yaitu pendidikan ibu, kebiasaan merokok anggota keluarga, dan polusi udara dalam ruangan. Mengenai gambaran faktor-faktor predisposisi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh Tahun 2016 adalah sebagai berikut : 1. Gambaran faktor predisposisi status

gizi pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam kategori baik sebanyak 69 balita (97,2%).

2. Gambaran faktor predisposisi kebiasaan merokok anggota keluarga pada balita di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam kategori tinggi sebanyak 47 orang (66,2%).

3. Gambaran faktor predisposisi pendapatan keluarga pada balita di desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam kategori pendapatan tinggi sebanyak 38 orang (53,5%).

4. Gambaran faktor predisposisi pendidikan ibu di desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam tingkat pendidikan rendah sebanyak 34 orang (47,9%)

5. Gambaran faktor predisposisi polusi udara dalam ruangan pada balita di desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam kategori tinggi sebanyak 51 rumah (71,8%).

6. Gambaran faktor predisposisi manajemen sampah di Desa Lampaseh Kota Banda Aceh yaitu dalam kategori baik sebanyak 37 responden (52,1%).

10

REFERENSI

Agrina, Suyanto & Arneliwati. (2014). Analisa Aspek Balita Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Rumah: Jurnal diunduh dari http://ejournal.umm.ac.id/ondex.php/keperawatan/article/view/2340 (28 Juli 2016)

Ahmadi, U.F. (2005). Manajemen

Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Kompas

Jaya, M. (2009). Pembunuh Berbahaya

itu Bernama Asap Rokok. Yogyakarta:Riz’Ma

Milo, Ismanto & Kallo (2015). Hubungan

Kebiasaaan Merokok Di Dalam Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di Puskesmas Sario Kota Manado: Jurnal vol. 3 No. 2

Mukono, H.J. (1997).

Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press

Nasution K, (2009).Infeksi Saluran

Napas Akut (ISPA) pada Balita di Daerah Urban Jakarta: Jurnal Sari Pediatri. Vol.11.No.4

Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi

Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Rahmayatul, F. (2013) Hubungan

Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita ;Jakarta

Trisnawati, Y &Juwarni. (2012).

Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga 2012. Jurnal Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto

Umami, R.M (2010). Perancangan dan

pembuatan alat pengendali asap rokok berbasis mikrokontroler

Prabu, P (2009). Faktor Resiko ISPA

pada Balita. Diakses darihttp://putraprabu.wordpress.com/2009/01/15/faktor-resiko-ispa-pada-balita/.

Prabowo, S. (2012). Penyakit Yang

Paling Umum Pada Anak. Majalah Kesehatan. (Online) http://majalahkesehatan.com/penyakit-yang-paling-umum-pada-anak-bag-1/ Diakses 22 Mei 2016.

Riskesdas. (2013). Laporan Nasional

Riskesdas 2013. Jakarta: DepKes RI

Soetjiningsih. (2001). Tumbuh Kembang Anak.Bandung: Alfabeta

11

WHO. (2007). Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pandemi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.http://www.who.int/csr/resources/publications/