Post on 09-Jan-2023
1
IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS
HAK MILIK ATAU HAK GUNA BANGUNAN UNTUK RUMAH SUSUN
BAGI WARGA NEGARA ASING
Muhammad Fathony
Email: thonyftw@yahoo.co.id
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lego Karjoko
Email: lkarjoko63@yahoo.co.id
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This article aims to determine and analize the legal implications of the making of
the property transfer right to freehold title or building right title for the foreigner.
Moreover, this research aims to determine and analyze the basic concepts of
horizontal segregation in the legislation on the issue of flats for foreigners. This
research is conducted as a doctrinal or normative research. This research uses a
legal approach. Technique of legal matter analysis of this research is deductive
and using syllogistic method to get legal material in this research. This research
concludes that the application of the horizontal segregation for legal and
regulations principle of freehold title and building right title, especially for the
flats, is not consistent. It can lead problem of flats ownership for foreigners.
Regulation that states foreginers only can have building right title makes the
transfer certificate of freehold title or building right title for foreginers, especially
flats, that is legalized by land title registrars is null and void.
Key words : flats; foreigner; horizontal segregation principle
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum
pembuatan akta pemindahan hak atas hak milik atau hak guna bangunan untuk
rumah susun bagi warga negara asing. Selain itu juga untuk mengetahui dan
menganalisis konsep asas pemisahan horizontal dalam peraturan perundang-
undangan mengenai rumah susun bagi warga negara asing. Penelitian ini
merupakan penelitian hukum doktrinal atau normatif yang bersifat perspektif dan
terapan. Pendekatan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan
pendekatan undang-undang. Tehnik analisa bahan hukum dalam penelitian ini
bersifat deduksi dan menggunakan metode silogisme guna memperoleh bahan
hukum dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian hukum ini, dapat
disimpulkan bahwa penerapan asas pemisahan horizontal dalam peraturan
2
perundang-undangan hukum pertanahan khususnya rumah susun tidak konsisten,
sehingga menyebabkan permasalahan kepemilikan rumah susun bagi warga
negara asing. Dimana dalam peraturan pertanahan di Indonesia, warga negara
asing hanya boleh memiliki rumah susun di atas tanah hak pakai sehingga hal ini
menyebabkan pembuatan akta pemindahan hak atas hak milik atau hak guna
bangunan untuk rumah susun bagi warga negara asing secara langsung yang
dilakukan oleh pejabat pembuat akta tanah berakibat batal demi hukum.
Kata kunci : Rumah Susun; Warga Negara Asing; Asas Pemisahan Horizontal
A. Pendahuluan
Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin
meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah tempat tinggal yang
tersedia tidak berimbang dengan jumlah kebutuhan dari orang yang
memerlukan rumah tempat tinggal. Dalam upaya meningkatkan daya guna dan
hasil guna tanah yang jumlahnya terbatas tersebut, terutama bagi
pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan
tanah terutama didaerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu adanya
pengaturan, penataan, dan penggunaan atas tanah, sehingga bermanfaat bagi
masyarakat banyak. Apalagi jika dihubungkan dengan hak asasi, maka tempat
tinggal (perumahan dan pemukiman) merupakan hak bagi setiap orang,
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Kebutuhan dasar tersebut wajib dihormati, dilindungi, ditegakkan, dan
dimajukan oleh Pemerintah (Rosmidi, Mimi, dan Imam Koeswahyono, 2010:
12).
Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian tidak hanya dirasakan oleh
Warga Negara Indonesia saja, namun Warga Negara Asing yang berada di
Indonesia terutama yang mempunyai hubungan kerjasama dengan Indonesia.
Kondisi tersebut membawa implikasi yuridis berkaitan dengan penguasaan
dan pemilikan hak atas tanah oleh orang asing yang bekerja di Indonesia.
Pembangunan rumah susun adalah suatu cara yang sangat bagus untuk
memecahkan masalah kebutuhan dari perumahan dan pemukiman pada lokasi
yang padat, terutama daerah perkotaan yang jumlah penduduknya selalu
meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas. Pembangunan rumah
susun tentunya juga dapat mengakibatkan terbukanya ruang kota menjadi
3
lebih lega dan dalam hal ini juga membantu adanya peremajaan kota, sehingga
makin hari maka daerah kumuh berkurang dan selanjutnya menjadi daerah
yang rapi, bersih, dan teratur (Adrian Sutedi, 2010: 162).
Rumah Susun merupakan model perumahan yang baru di Indonesia.
Zaman dahulu Indonesia mengenal 3 (tiga) pola sistem pengadaan perumahan
kota antara lain (Adrian Sutedi, 2010: 2-3) :
1. Perumahan yang dibangun oleh pihak swasta, bermutu baik, mahal,
dan diperuntukkan penduduk yang berpenghasilan tinggi, utamanya
untuk golongan Eropa dan Timur Asing.
2. Perumahan yang pengadaannya untuk dipakai sendiri, baik pribadi
maupun oleh badan usaha. Termasuk didalamnya adalah perumahan-
perumahan pegawai negeri, karyawan swasta, dan lain-lain.
3. Perumahan Kampung. Perumahan dikampung adalah perumahan
masyarakat pribumi yang jumlahnya mencapai dua pertiga dari rumah
yang ada. (Ina Budhiarti Supyan, 2016: 89)
Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menggunakan
asas pemisahan horizontal yang memecahkan tanah dari benda-henda lain
yang melekat pada tanah tersebut. Sehingga dengan demikian rumah terpisah
dari pemilikan tanah dan dengan ini diharapkan dapat menjangkau pemasaran
rumah kepada warga negara asing. Untuk itu perlu dikaji secara lebih
mendalam tentang kemungkinan diterapkannya asas pemisahan horizontal
secara konsisten terhadap tanah dan bangunan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU RUSUN)
merupakan dasar hukum yang tegas dalam penyelenggaraan rumah susun
dengan berdasarkan asas kesejahteraan, keadilan dan pemerataan,
kenasionalan, keterjangkauan dan kemudahan, keefisienan dan manfaat,
kemandirian dan kebersamaan, kemitraan, keserasian dan keseimbangan,
keterpaduaan, kesehatan, kelestarian dan berkelanjutan, keselamatan,
kenyamanan dan kemudahan serta keamanan, ketertiban dan keteraturan.
Undang- undang rumah susun memberi kewenangan yang luas kepada
pemerintah di bidang penyelenggaraan rumah susun dan memberi
4
kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk melakukan penyelenggaraan
rumah susun di daerah sesuai dengan kewenangannya. (MJ.Widijatmoko,
2017)
Seiring berkembangnya zaman, ketertarikan Warga Negara Asing terhadap
Indonesia untuk berinvestasi atau bertempat tinggal di Indonesia semakin
meningkat, maka perlu adanya kepastian hukum untuk Warga Negara Asing
atas kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia. Berkaitan
dengan perkembangan tersebut, Pemerintah Indonesia telah merumuskan
kebijaksanaan baru dibidang perumahan atau tempat tinggal yaitu dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
Berkedudukan di Indonesia, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia.
Dalam peraturan tersebut ternyata asas pemisahan horizontal tidak secara
konsisten diterapkan, sehingga masih menyebabkan ketidak jelasan status
kepemilikan rumah susun bagi Warga Negara Asing, yang menyebutkan
bahwa Warga Negara Asing dapat memiliki Rumah Susun yang dibangun
diatas tanah Hak Pakai, sehingga patut dipertanyakan penggunaan asas
pemisahan horizontal pada Hukum Pertanahan di Negara ini, yang pada
kenyataannya yang membutuhkan tempat tinggal bukan hanya Warga Negara
Indonesia saja melainkan juga Warga Negara Asing yang berkedudukan di
Indonesia untuk jangka waktu tertentu.
Menurut hukum Indonesia, orang asing dapat memiliki properti dengan
status Hak Pakai. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh warga negara atau tanah milik
orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
(Megalia Sara Poeloe, 2014 : 28). Karena pemanfaatan tanah salah satunya
adalah pendirian dan pemilikan rumah, termasuk kepemilikan satuan rumah
5
susun, maka dapat disimpulkan bahwa orang asing yang berkedudukan di
Indonesia dapat memiliki hunian di atas tanah Hak Pakai. (Syamsu Thamrin,
2016: 291)
Secara umum, penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing yang
berkedudukan di Indonesia diatur dalam Pasal 42 dan 45 UUPA yang diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Bagi Warga
Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia hanya dapat diberikan Hak
Pakai. (Maria S.W, 2007: 7)
Hak Pakai diberikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Undang
undang No. 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, jangka waktunya adalah selama 25 tahun dan
sesudahnya dapat diperpanjang kembali selama 20 tahun. Tetapi dengan
berkembangnya jaman, jangka waktu Hak Pakai di usulkan untuk
diperpanjang menjadi 70 tahun. Seperti halnya di negara lain seperti
Singapura, kepemilikan tanah dengan status Hak Pakai, jangka waktunya
hingga mencapai 80 tahun, begitupun juga di Malaysia hingga 70 tahun.
(Mahendra Adinegara, 2017)
Terkait dengan perolehan Hak yang diperbolehkan oleh Warga Negara
Asing hanyalah Hak Pakai, ada persoalan hukum berkenaan dengan
berlakunya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian,
Pelepasan Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau
Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia yang harus
dipahami secara utuh yaitu, Diperbolehkannya peralihan rumah tapak
(tunggal) di atas Hak Milik atau Hak Guna Bangunan dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun langsung kepada Warga Negara Asing (WNA) dengan
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah Lelang, yang
kemudian diikuti : (Nurhasan Ismail, 2017: 12)
1. Pendaftaran peralihan Hak atas tanah tersebut
6
2. Pernyataan pelepasan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan oleh Warga
Negara Asing kepada Negara
3. Permohonan dan pemberian Hak Pakai
Persoalan hukum yang muncul adalah pembolehan dilakukan peralihan
Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang diatasnya terdapat rumah tapak
(tunggal) langsung atau Rumah Susun kepada Warga Negara Asing (WNA)
dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah lelang. Dengan
ditandatanganinya Akta Jual Beli atau Tukar Menukar atau Hibah oleh para
pihak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah Lelang, maka
Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun beralih kepada Warga Negara Asing (WNA).
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang diatas, maka
penulis mengkaji bagaimana konsep asas pemisahan horizontal dalam
peraturan perundang-undangan mengenai rumah susun bagi Warga Negara
Asing.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal atau
normatif. Metode penelitian normatif dalam hal ini adalah Penelitian hukum
(legal research) menurut Peter Mahmud Marzuki adalah menemukan
kebenaran koherensi, yaitu adanya aturan-aturan hukum sesuai norma hukum
dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan
prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum
(bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. (Peter Mahmud
Marzuki, 2015: 47)
Tujuan dari penelitian hokum ini adalah memberikan preskripsi apa yang
seyogyanya dilakukan, bukan memberikan kebenaran hipotesis. Dalam
penelitian hukum ini menggunakan Pendekatan Undang-Undang (statute
approach), yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti.
Jenis dan Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tehnik analisa bahan
7
hukum dalam penelitian ini adalah bersifat deduksi dan menggunakan metode
silogisme guna memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini. Metode
deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan
premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion. (Peter Mahmud Marzuki, 2015: 89)
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai
status hukum dari tanah dimana rumah tersebut didirikan. Demikian juga
apabila rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah
susun yang seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum
mengenai hak penguasaan tanah dimana apartemen tersebut didirikan harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah
susun. Hal ini dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah
susun bukanlah hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Boedi Harsono,
2003: 348)
Dalam Hukum Pertanahan di Indonesia, menganut adanya asas pemisahan
horizontal, yang diadopsi dari Hukum Adat dan oleh karena Hukum Adat
dijadikan sumber utama dan hukum pelengkap Hukum Agraria Nasional,
maka UUPA-pun mempergunakan asas pemisahan horizontal. Dijadikannya
hukum adat sebagai sumber hukum tanah nasional secara tegas dicantumkan
dalam Penjelasan Umum III (1) UUPA, yaitu :
“…Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum
adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam
Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”.
8
Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pokok
Agraria yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air,
dan ruang angkasa ialah hukum adat, yang bunyinya :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dan dengan perturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA) membedakan hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh
orang perorangan dan badan hukum berdasarkan statusnya. Dalam Pasal 21
UUPA dinyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat
mempunyai Hak Milik (HM). Sedangkan bagi Warga Negara Asing (WNA)
dan badan hukum asing hanya dapat memiliki Hak Pakai. Hal tersebut
terdapat dalam Pasal 42 UUPA.
Selain diatur di dalam UUPA, pengaturan mengenai pemilikan rumah
tempat tinggal oleh WNA ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan
perundang-undangan terkait lainnya, diantaranya diantaranya Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 103
Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Istilah Warga Negara Asing sendiri dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 disebutkan bahwa Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah
orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaanya memberikan
manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.
9
Sedangkan Kepemilikan Rumah Susun oleh Warga Negara Asing diatur
dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015, yang
menyebutkan bahwa :
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:
1. Rumah Tunggal di atas tanah :
a. Hak Pakai; atau
b. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian
pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
2. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
Dalam Peraturan tersebut, penerapan Asas Pemisahan Horizontal tidak
secara konsisten diterapkan, karena dalam peraturan mengenai Rumah Susun
tersebut menganut asas perlekatan vertikal juga sebagaimana dianut oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), karena dalam sertifikat satuan
rumah susun tersebut selalu dicantumkan hak atas tanahnya. Dengan demikian
ruinah susun yang mungkin diberikan kepada orang asing juga hanya dapat
bagi rumah susun yang terletak diatas Hak Pakai pula
Dengan Sistem yang demikian ini, hanya rumah di atas Hak Pakai saja
yang mungkin dapat diberikan kepada orang asing tersebut, lainnya pemberian
Hak Pakai atas tanah berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 40 Tabun 1996 adalah 25 tahun yang dapat diperpanjang selama 25
tahun dan menurut ketentuan Pasal 45 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 dapat
diperbarui lagi 20 tahun (Pasal 45 ayat (2) PP No 40 Tahun 1996) jadi total
jangka waktu yang dapat diberikan adalah 70 tahun. Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan tersebut, orang asing dapat memiliki rumah baik secara
vertikal (rumah susun) maupun horizontal (single unit) hanya di atas tanah
Hak Pakai yang lamanya ditentukan yaitu 70 tahun. Ketentuan yang demikian
10
ini, kurang menarik minat orang asing untuk tinggal di Indonesia yang hal ini
sangat berpengaruh bagi iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan
berdampak bagi perekonomian nasional.
Terhadap persoalan ini perlu mendapat perhatian, pengkajian dan
penelitian. Sementara Djuhaendah Hasan berpendapat bahwa persoalan ini
dapat diselesaikan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 UUPA.
Ketentuan Pasal 5 UUPA menggunakan asas pemisahan horizontal yang
memisahkan tanah dari benda-benda lain yang melekat pada tanah tersebut.
Schingga dengan demikian rumah terpisah dan pemilikan tanah dan dengan ini
diharapkan dapat menjangkau pemasaran rumah kepada masyarakat asing.
Untuk itu perlu dikaji secara lebih mendalam tentang kemungkinan
diterapkannya asas pemisahan horizontal secara konsisten terhadap tanah dan
bangunan. Lebih khusus lagi kemungkinann penerapan asas pemisahan
horizontal dalam pcmbangunan rumah susun sehingga dapat memecahkan
persoalan di atas.
Untuk menganalisis permasalahan ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan
yaitu Undang-Undang Rumah Susun (UURS), Undang-Undang. Perumahan
dan Permukiman (UUPP) dan UUPA. Karena ketiga UU ini sangat berkaitan.
Hal ini dapat dilihat antara lain tentang pembangunan rumah susun perumahan
yang harus dikaitkan dengan hak atas tanah (Pasal 46 ayat (1) UURS). Bahkan
dalam UUPP terdapat satu ketentuan (Pasal 11) yang mengatur tentang
pemindahan hak milik atas rumah. Untuk itu perlu ditelaah tentang asas
pemisahan horizontal yang terdapat dalam UUPA/Hukum Tanah, karena hal
ini sangat menentukan dalam menyelesaikan masalah pembangunan rumah
susun di Indonesia dan kemungkinan pemilikan rumah/rumah susun bagi
orang. asing. Disamping itu juga perlu dikaji sistem Condominium yang
diterapkan dalam pembangunan rumah susun saat ini (UU Nomor 20 Tahun
2011) dan kemungkinannya diterapkan sistem yang lain yaitu sistem strata
title. Penelaahan terhadap asas dan sistem ini sangat penting karena asas
hukum itu adalah fondasi dari sistem hukum positif. Sehingga penerapan asas
11
secara konsisten akan mempengaruhi sistem hukum yang dianut. Bahkan
menurut Bruggink asas hukum itu mengemban fungsi Ganda sebagai fondasi
dari sistem hukum dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum.
(Bruggink, 2001: 133)
Senada dengan pendapat Bruggink, Harjono menyatakan bahwa
dasar/fondasi dari sistem hukum yang mempunyai fungsi sebagai norma
pemberi nilai atau singkatnya sistem hukum dibangun (secara substantif) atas
dasar nilai-nilai yang tekandung dalam asas hukum. Dengan adanva hubungan
fungsional tersebut jelas bahwa asas hukum mempengaruhi penerapan norma
hukum, dalam arti luas asas hukum digunakan dasar penguji apakah
penerapan hukum tersebut benar atau salah.(Harjono : 21)
Karl larenz (Richtiges recht, Grundzuge einer Rechtsethik, 1979 208)
menjelaskan asas hukum sebagai berikut: (Bruggink, 2001:121)
“Rechtsprinzipien sindleitende Gedanken einer (moglichen oder
bestehenden) rechtlichen Regelung, die selbst noch keine der 'Anwendung'
faehige Regel sind, aber in solche umgeselzt werden konnen.”
Asas hukum adalah gagasan yang membimbing dalam pengaturan
hukum (yang mungkin ada atau yang sudah ada), yang dirinya sendiri
bukan merupakan aturan yang dapat diterapkan, tetapi yang dapat diubah
menjadi demikian. (Terjemahan, Arief Sidharta, Refleksi tentang hukum
hlm. 121)
Bruggink sendiri berpendapat bahwa asas hukum adalah kaidah yang
memuat ukuran (kriteria) nilai. Asas hukum itu berfungsi sebagai meta kaidah
terhadap kaidah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan
hukum dan dengan itu wilayah penerapan aturan tersebut. Untuk itu
penelaahan terhadap asas hukum yang terdapat dalam UUPA/Hukum
Pertanahan dan sistem hukum yang dianut dalam UURS/UUPP menjadi
demikian relevan. Penelaahan terhadap asas yang terdapat dalam hukum tanah
menjadi penting karena status bangunan rumah susun sangat bergantung pada
12
hak atas tanah (Pasal 46 ayat (1) UURS). Salah satu aspek yang terpenting
dalam Hukum Tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda lain
yang melekat padanva. Status hubungan ini sangat penting karena sangat
berpengaruh terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah clan
benda lain yang melekat pada tanah, didalam Hukum Tanah dikenal ada dua
asas yang satu sama lain bertentangan yaitu yang dikenal dengan asas
perlekatan Vertikal (Verticale Accessie Beginsel) dan asas Pemisahan
Horizontal (Horizontals Scheiding Beginsel).
Mariam Darus Radrulzaman berpendapat Tanah dan bangunan (rumah
susun dan perumahan) adalah Benda dan pengaturannya dari aspek
keperdataan berada dalam sistem Hukum Benda yang dapat dikhususkan lagi
dalam subsistem Hukum Agraria dan subsistem Hukum Bangunan. Seperti
diketahui dengan berlakunya UUPA Buku II BW sepanjang yang mengenai
bumi, air serta kekayaan dan yang terkandung didalamrnya dinyatakan tidak
berlaku lagi kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek. Akibat dari
ketentuan ini terdapat ketidakpastian hukum di dalam penerapannya. Sehingga
rumah susun, perumahan pertokoan dan bangunan perkantoran merupakan
benda yang memiliki status yang mengambang. Suatu saat bangunan .itu
menyatu dengan hak atas tanah tetapi pada saat lain ia terpisah dengan tanah
Penerapan Asas Pemisahan Horizontal yang dianut oleh UUPA sccara
konsisten akan sangat berpengaruh pada pengaturan terhadap bangunan atau
rumah. Karena bangunan terpisah dengan tanah, maka bangunan atau rumah
dapat disertifikatkan secara terpisah. Apabila bangunan atau rumah telah
disertifikatkan secara terpisah dari tanahnya maka dalam hal tersebut; pemilik
bangunan bersertifikat dapat tetap mempunyai hak untuk mempertahankan
bangunan tersebut, dalam kedudukan yang sama dengan pemilik tanah.
Manfaat lain dari penerapan asas pemisahan horizontal adalah berkaitan
dengan upaya perolehan dana. Bagi negara yang sedang membangun masalah
yang sangat penting adalah tersedianya dana yang cukup untuk dapat berperan
13
serta di dalam pembangunan. Dengan penerapan Asas Pemisahan Horizontal
di mana rumah atau bangunan atau tanaman dianggap terpisah dari tanahnya,
maka dapat diharapkan bagi mereka yang tidak memiliki tanah untuk dapat,
menjaminkan rumah atau bangunan atau tanaman itu tanpa tanahnya.
Dalam hukum tanah khususnya berkaitan dengan pembangunan gedung,
konsep hukum adat tanah yang memisahkan pemilikan tanah dari bangunan,
dapat kiranya memberikan jalan keluar pada masalah-masalah yang kini
timbul dalam pembangunan gedung di atas tanah milik orang lain. Penerapan
Asas pemisahan Horizontal secara konsisten dapat menyelesaikan masalah
pemasaran rumah bagi Orang Asing, karena dengan demikian orang asing
dapat memiliki rumah tanpa memiliki tanahnya dengan pembatasan tertentu
dan ini tidak bertentangan dengan ketentuan UUPA.
D. Simpulan
Konsep Asas Pemisahan Horizontal dalam Peraturan Perundang-undangan
tentang Rumah Susun saat ini belum secara konsisten diterapkan, khususnya
terkait kepemilikan rumah susun oleh warga asing. Konsekuensi dari
diterapkannya asas ini dalam pembangunan rumah susun adalah pendirian
bangunan atau rumah tidak perlu dikaitkan dengan pemilikan atas tanahnya.
Penerapan asas secara konsisten dapat menyelesaikan permasalahan
pertanahan pada umumnya dan rumah pada khususnya. Konsistensi dalam
penggunaan asas sangat punting karena asas adalah Fondasi dari hukum
positif.
E. Saran
Perlu adanya pembaharuan peraturan tentang rumah susun diatur oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, yang
tidak perlu mengkaitkan satuan rumah susun pada hak atas tanahnya, sehingga
warga negara asing mendapatkan kepastian hukum terhadap kepemilikan
satuan rumah susun.
14
F. Daftar Pustaka
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Rumah Susun dan Apartemen. Jakarta : Sinar
Grafika
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta :
Djambatan
J.H. Bruggink. Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan Arief Sidharta. Bandung
: Citra Aditya Bhakti
Maria S.W. Sumardjono. 2007. Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta
Bangunan. Jakarta : Kompas
Rosmidi, Mimi dan Imam Koeswahyono. 2010. Konsepsi Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun dalam Hukum Agraria. Malang : Setara Press
Ina Budhiarti Supyan. Februari 2016. “Perlindungan Hukum Bagi Penghuni
Satuan Rumah Susun Dibidang Pengelolaan Rumah Susun Di Bandung
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Rumah Susun”. artikel pada Jurnal Wawasan Hukum. Vol.34. No.1
Megalia Sarah Poeloe. Juli 2014. “Status Hak Kepemilikan Properti Bagi
Orang Asing”. artikel pada Jurnal Lex et Socieatatis Vol.2. No.6
Syamsu Thamrin. Juni 2016. “Aspek-Aspek Yuridis Pemilikan Satuan Rumah
Susun Oleh Orang Asing Di Indonesia”. artikel pada Jurnal Lex Librum
Vol.II. No.2
Harjono. Tanpa Tahun. Makalah “Penelitian Hukum Pada Kajian Hukum
Murni”
Nurhasan Ismail. 2017. “Kepastian Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Rumah (Tapak dan Susun) Komersial”, Makalah disampaikan pada
Prosiding Seminar Nasional Kepastian Dan Perlindungan Hukum
Terhadap Pembeli Rumah Susun Komersial di Indonesia. Yogyakarta
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional
Nomor 29 Tahun 2016
15
Mahendra Adinegara, “Artikel Ilmiah Ketentuan Orang Asing Dalam
Memiliki Properti di Indonesia”, terdapat dalam alamat
http://bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/2011/07/22/ketentuan-
orang-asing-dalammemiliki-properti-di-Indonesia/, diakses pada 12 Mei
2017
M.J.Widijatmoko, Artikel Ilmiah Rumah Susun Ambruk, Hak Kepemilikan Otomatis
Hapus,http://medianotaris.com/rumah_susun_ambruk_hak_kepemilikan_otomati
s_hapus_berita216.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2017