IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA PEMINDAHAN HAK ...

15
1 IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS HAK MILIK ATAU HAK GUNA BANGUNAN UNTUK RUMAH SUSUN BAGI WARGA NEGARA ASING Muhammad Fathony Email: [email protected] Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Lego Karjoko Email: [email protected] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This article aims to determine and analize the legal implications of the making of the property transfer right to freehold title or building right title for the foreigner. Moreover, this research aims to determine and analyze the basic concepts of horizontal segregation in the legislation on the issue of flats for foreigners. This research is conducted as a doctrinal or normative research. This research uses a legal approach. Technique of legal matter analysis of this research is deductive and using syllogistic method to get legal material in this research. This research concludes that the application of the horizontal segregation for legal and regulations principle of freehold title and building right title , especially for the flats, is not consistent. It can lead problem of flats ownership for foreigners. Regulation that states foreginers only can have building right title makes the transfer certificate of freehold title or building right title for foreginers, especially flats, that is legalized by land title registrars is null and void. Key words : flats; foreigner; horizontal segregation principle Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum pembuatan akta pemindahan hak atas hak milik atau hak guna bangunan untuk rumah susun bagi warga negara asing. Selain itu juga untuk mengetahui dan menganalisis konsep asas pemisahan horizontal dalam peraturan perundang- undangan mengenai rumah susun bagi warga negara asing. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau normatif yang bersifat perspektif dan terapan. Pendekatan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Tehnik analisa bahan hukum dalam penelitian ini bersifat deduksi dan menggunakan metode silogisme guna memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian hukum ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan asas pemisahan horizontal dalam peraturan

Transcript of IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA PEMINDAHAN HAK ...

1

IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS

HAK MILIK ATAU HAK GUNA BANGUNAN UNTUK RUMAH SUSUN

BAGI WARGA NEGARA ASING

Muhammad Fathony

Email: [email protected]

Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lego Karjoko

Email: [email protected]

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

This article aims to determine and analize the legal implications of the making of

the property transfer right to freehold title or building right title for the foreigner.

Moreover, this research aims to determine and analyze the basic concepts of

horizontal segregation in the legislation on the issue of flats for foreigners. This

research is conducted as a doctrinal or normative research. This research uses a

legal approach. Technique of legal matter analysis of this research is deductive

and using syllogistic method to get legal material in this research. This research

concludes that the application of the horizontal segregation for legal and

regulations principle of freehold title and building right title, especially for the

flats, is not consistent. It can lead problem of flats ownership for foreigners.

Regulation that states foreginers only can have building right title makes the

transfer certificate of freehold title or building right title for foreginers, especially

flats, that is legalized by land title registrars is null and void.

Key words : flats; foreigner; horizontal segregation principle

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum

pembuatan akta pemindahan hak atas hak milik atau hak guna bangunan untuk

rumah susun bagi warga negara asing. Selain itu juga untuk mengetahui dan

menganalisis konsep asas pemisahan horizontal dalam peraturan perundang-

undangan mengenai rumah susun bagi warga negara asing. Penelitian ini

merupakan penelitian hukum doktrinal atau normatif yang bersifat perspektif dan

terapan. Pendekatan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan

pendekatan undang-undang. Tehnik analisa bahan hukum dalam penelitian ini

bersifat deduksi dan menggunakan metode silogisme guna memperoleh bahan

hukum dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian hukum ini, dapat

disimpulkan bahwa penerapan asas pemisahan horizontal dalam peraturan

2

perundang-undangan hukum pertanahan khususnya rumah susun tidak konsisten,

sehingga menyebabkan permasalahan kepemilikan rumah susun bagi warga

negara asing. Dimana dalam peraturan pertanahan di Indonesia, warga negara

asing hanya boleh memiliki rumah susun di atas tanah hak pakai sehingga hal ini

menyebabkan pembuatan akta pemindahan hak atas hak milik atau hak guna

bangunan untuk rumah susun bagi warga negara asing secara langsung yang

dilakukan oleh pejabat pembuat akta tanah berakibat batal demi hukum.

Kata kunci : Rumah Susun; Warga Negara Asing; Asas Pemisahan Horizontal

A. Pendahuluan

Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin

meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah tempat tinggal yang

tersedia tidak berimbang dengan jumlah kebutuhan dari orang yang

memerlukan rumah tempat tinggal. Dalam upaya meningkatkan daya guna dan

hasil guna tanah yang jumlahnya terbatas tersebut, terutama bagi

pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan

tanah terutama didaerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu adanya

pengaturan, penataan, dan penggunaan atas tanah, sehingga bermanfaat bagi

masyarakat banyak. Apalagi jika dihubungkan dengan hak asasi, maka tempat

tinggal (perumahan dan pemukiman) merupakan hak bagi setiap orang,

sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Kebutuhan dasar tersebut wajib dihormati, dilindungi, ditegakkan, dan

dimajukan oleh Pemerintah (Rosmidi, Mimi, dan Imam Koeswahyono, 2010:

12).

Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian tidak hanya dirasakan oleh

Warga Negara Indonesia saja, namun Warga Negara Asing yang berada di

Indonesia terutama yang mempunyai hubungan kerjasama dengan Indonesia.

Kondisi tersebut membawa implikasi yuridis berkaitan dengan penguasaan

dan pemilikan hak atas tanah oleh orang asing yang bekerja di Indonesia.

Pembangunan rumah susun adalah suatu cara yang sangat bagus untuk

memecahkan masalah kebutuhan dari perumahan dan pemukiman pada lokasi

yang padat, terutama daerah perkotaan yang jumlah penduduknya selalu

meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas. Pembangunan rumah

susun tentunya juga dapat mengakibatkan terbukanya ruang kota menjadi

3

lebih lega dan dalam hal ini juga membantu adanya peremajaan kota, sehingga

makin hari maka daerah kumuh berkurang dan selanjutnya menjadi daerah

yang rapi, bersih, dan teratur (Adrian Sutedi, 2010: 162).

Rumah Susun merupakan model perumahan yang baru di Indonesia.

Zaman dahulu Indonesia mengenal 3 (tiga) pola sistem pengadaan perumahan

kota antara lain (Adrian Sutedi, 2010: 2-3) :

1. Perumahan yang dibangun oleh pihak swasta, bermutu baik, mahal,

dan diperuntukkan penduduk yang berpenghasilan tinggi, utamanya

untuk golongan Eropa dan Timur Asing.

2. Perumahan yang pengadaannya untuk dipakai sendiri, baik pribadi

maupun oleh badan usaha. Termasuk didalamnya adalah perumahan-

perumahan pegawai negeri, karyawan swasta, dan lain-lain.

3. Perumahan Kampung. Perumahan dikampung adalah perumahan

masyarakat pribumi yang jumlahnya mencapai dua pertiga dari rumah

yang ada. (Ina Budhiarti Supyan, 2016: 89)

Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menggunakan

asas pemisahan horizontal yang memecahkan tanah dari benda-henda lain

yang melekat pada tanah tersebut. Sehingga dengan demikian rumah terpisah

dari pemilikan tanah dan dengan ini diharapkan dapat menjangkau pemasaran

rumah kepada warga negara asing. Untuk itu perlu dikaji secara lebih

mendalam tentang kemungkinan diterapkannya asas pemisahan horizontal

secara konsisten terhadap tanah dan bangunan.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU RUSUN)

merupakan dasar hukum yang tegas dalam penyelenggaraan rumah susun

dengan berdasarkan asas kesejahteraan, keadilan dan pemerataan,

kenasionalan, keterjangkauan dan kemudahan, keefisienan dan manfaat,

kemandirian dan kebersamaan, kemitraan, keserasian dan keseimbangan,

keterpaduaan, kesehatan, kelestarian dan berkelanjutan, keselamatan,

kenyamanan dan kemudahan serta keamanan, ketertiban dan keteraturan.

Undang- undang rumah susun memberi kewenangan yang luas kepada

pemerintah di bidang penyelenggaraan rumah susun dan memberi

4

kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk melakukan penyelenggaraan

rumah susun di daerah sesuai dengan kewenangannya. (MJ.Widijatmoko,

2017)

Seiring berkembangnya zaman, ketertarikan Warga Negara Asing terhadap

Indonesia untuk berinvestasi atau bertempat tinggal di Indonesia semakin

meningkat, maka perlu adanya kepastian hukum untuk Warga Negara Asing

atas kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia. Berkaitan

dengan perkembangan tersebut, Pemerintah Indonesia telah merumuskan

kebijaksanaan baru dibidang perumahan atau tempat tinggal yaitu dengan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang

Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang

Berkedudukan di Indonesia, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah

Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di

Indonesia.

Dalam peraturan tersebut ternyata asas pemisahan horizontal tidak secara

konsisten diterapkan, sehingga masih menyebabkan ketidak jelasan status

kepemilikan rumah susun bagi Warga Negara Asing, yang menyebutkan

bahwa Warga Negara Asing dapat memiliki Rumah Susun yang dibangun

diatas tanah Hak Pakai, sehingga patut dipertanyakan penggunaan asas

pemisahan horizontal pada Hukum Pertanahan di Negara ini, yang pada

kenyataannya yang membutuhkan tempat tinggal bukan hanya Warga Negara

Indonesia saja melainkan juga Warga Negara Asing yang berkedudukan di

Indonesia untuk jangka waktu tertentu.

Menurut hukum Indonesia, orang asing dapat memiliki properti dengan

status Hak Pakai. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut

hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh warga negara atau tanah milik

orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya

(Megalia Sara Poeloe, 2014 : 28). Karena pemanfaatan tanah salah satunya

adalah pendirian dan pemilikan rumah, termasuk kepemilikan satuan rumah

5

susun, maka dapat disimpulkan bahwa orang asing yang berkedudukan di

Indonesia dapat memiliki hunian di atas tanah Hak Pakai. (Syamsu Thamrin,

2016: 291)

Secara umum, penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing yang

berkedudukan di Indonesia diatur dalam Pasal 42 dan 45 UUPA yang diatur

lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Bagi Warga

Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia hanya dapat diberikan Hak

Pakai. (Maria S.W, 2007: 7)

Hak Pakai diberikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Undang

undang No. 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

dan Hak Pakai Atas Tanah, jangka waktunya adalah selama 25 tahun dan

sesudahnya dapat diperpanjang kembali selama 20 tahun. Tetapi dengan

berkembangnya jaman, jangka waktu Hak Pakai di usulkan untuk

diperpanjang menjadi 70 tahun. Seperti halnya di negara lain seperti

Singapura, kepemilikan tanah dengan status Hak Pakai, jangka waktunya

hingga mencapai 80 tahun, begitupun juga di Malaysia hingga 70 tahun.

(Mahendra Adinegara, 2017)

Terkait dengan perolehan Hak yang diperbolehkan oleh Warga Negara

Asing hanyalah Hak Pakai, ada persoalan hukum berkenaan dengan

berlakunya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian,

Pelepasan Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau

Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia yang harus

dipahami secara utuh yaitu, Diperbolehkannya peralihan rumah tapak

(tunggal) di atas Hak Milik atau Hak Guna Bangunan dan Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun langsung kepada Warga Negara Asing (WNA) dengan

Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah Lelang, yang

kemudian diikuti : (Nurhasan Ismail, 2017: 12)

1. Pendaftaran peralihan Hak atas tanah tersebut

6

2. Pernyataan pelepasan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan oleh Warga

Negara Asing kepada Negara

3. Permohonan dan pemberian Hak Pakai

Persoalan hukum yang muncul adalah pembolehan dilakukan peralihan

Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang diatasnya terdapat rumah tapak

(tunggal) langsung atau Rumah Susun kepada Warga Negara Asing (WNA)

dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah lelang. Dengan

ditandatanganinya Akta Jual Beli atau Tukar Menukar atau Hibah oleh para

pihak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Risalah Lelang, maka

Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau Hak Milik atas Satuan Rumah

Susun beralih kepada Warga Negara Asing (WNA).

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang diatas, maka

penulis mengkaji bagaimana konsep asas pemisahan horizontal dalam

peraturan perundang-undangan mengenai rumah susun bagi Warga Negara

Asing.

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal atau

normatif. Metode penelitian normatif dalam hal ini adalah Penelitian hukum

(legal research) menurut Peter Mahmud Marzuki adalah menemukan

kebenaran koherensi, yaitu adanya aturan-aturan hukum sesuai norma hukum

dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan

prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum

(bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. (Peter Mahmud

Marzuki, 2015: 47)

Tujuan dari penelitian hokum ini adalah memberikan preskripsi apa yang

seyogyanya dilakukan, bukan memberikan kebenaran hipotesis. Dalam

penelitian hukum ini menggunakan Pendekatan Undang-Undang (statute

approach), yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti.

Jenis dan Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tehnik analisa bahan

7

hukum dalam penelitian ini adalah bersifat deduksi dan menggunakan metode

silogisme guna memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini. Metode

deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan

premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion. (Peter Mahmud Marzuki, 2015: 89)

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai

status hukum dari tanah dimana rumah tersebut didirikan. Demikian juga

apabila rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah

susun yang seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum

mengenai hak penguasaan tanah dimana apartemen tersebut didirikan harus

sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah

susun. Hal ini dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah

susun bukanlah hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Boedi Harsono,

2003: 348)

Dalam Hukum Pertanahan di Indonesia, menganut adanya asas pemisahan

horizontal, yang diadopsi dari Hukum Adat dan oleh karena Hukum Adat

dijadikan sumber utama dan hukum pelengkap Hukum Agraria Nasional,

maka UUPA-pun mempergunakan asas pemisahan horizontal. Dijadikannya

hukum adat sebagai sumber hukum tanah nasional secara tegas dicantumkan

dalam Penjelasan Umum III (1) UUPA, yaitu :

“…Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum

adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada

ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang

disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam

Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,

serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”.

8

Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pokok

Agraria yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air,

dan ruang angkasa ialah hukum adat, yang bunyinya :

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-

undang ini dan dengan perturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria (UUPA) membedakan hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh

orang perorangan dan badan hukum berdasarkan statusnya. Dalam Pasal 21

UUPA dinyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat

mempunyai Hak Milik (HM). Sedangkan bagi Warga Negara Asing (WNA)

dan badan hukum asing hanya dapat memiliki Hak Pakai. Hal tersebut

terdapat dalam Pasal 42 UUPA.

Selain diatur di dalam UUPA, pengaturan mengenai pemilikan rumah

tempat tinggal oleh WNA ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan

perundang-undangan terkait lainnya, diantaranya diantaranya Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 103

Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh

Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

Istilah Warga Negara Asing sendiri dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 disebutkan bahwa Orang Asing yang

Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah

orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaanya memberikan

manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.

9

Sedangkan Kepemilikan Rumah Susun oleh Warga Negara Asing diatur

dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015, yang

menyebutkan bahwa :

Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:

1. Rumah Tunggal di atas tanah :

a. Hak Pakai; atau

b. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian

pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

2. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.

Dalam Peraturan tersebut, penerapan Asas Pemisahan Horizontal tidak

secara konsisten diterapkan, karena dalam peraturan mengenai Rumah Susun

tersebut menganut asas perlekatan vertikal juga sebagaimana dianut oleh

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), karena dalam sertifikat satuan

rumah susun tersebut selalu dicantumkan hak atas tanahnya. Dengan demikian

ruinah susun yang mungkin diberikan kepada orang asing juga hanya dapat

bagi rumah susun yang terletak diatas Hak Pakai pula

Dengan Sistem yang demikian ini, hanya rumah di atas Hak Pakai saja

yang mungkin dapat diberikan kepada orang asing tersebut, lainnya pemberian

Hak Pakai atas tanah berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 40 Tabun 1996 adalah 25 tahun yang dapat diperpanjang selama 25

tahun dan menurut ketentuan Pasal 45 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 dapat

diperbarui lagi 20 tahun (Pasal 45 ayat (2) PP No 40 Tahun 1996) jadi total

jangka waktu yang dapat diberikan adalah 70 tahun. Dengan demikian,

berdasarkan ketentuan tersebut, orang asing dapat memiliki rumah baik secara

vertikal (rumah susun) maupun horizontal (single unit) hanya di atas tanah

Hak Pakai yang lamanya ditentukan yaitu 70 tahun. Ketentuan yang demikian

10

ini, kurang menarik minat orang asing untuk tinggal di Indonesia yang hal ini

sangat berpengaruh bagi iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan

berdampak bagi perekonomian nasional.

Terhadap persoalan ini perlu mendapat perhatian, pengkajian dan

penelitian. Sementara Djuhaendah Hasan berpendapat bahwa persoalan ini

dapat diselesaikan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 UUPA.

Ketentuan Pasal 5 UUPA menggunakan asas pemisahan horizontal yang

memisahkan tanah dari benda-benda lain yang melekat pada tanah tersebut.

Schingga dengan demikian rumah terpisah dan pemilikan tanah dan dengan ini

diharapkan dapat menjangkau pemasaran rumah kepada masyarakat asing.

Untuk itu perlu dikaji secara lebih mendalam tentang kemungkinan

diterapkannya asas pemisahan horizontal secara konsisten terhadap tanah dan

bangunan. Lebih khusus lagi kemungkinann penerapan asas pemisahan

horizontal dalam pcmbangunan rumah susun sehingga dapat memecahkan

persoalan di atas.

Untuk menganalisis permasalahan ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan

yaitu Undang-Undang Rumah Susun (UURS), Undang-Undang. Perumahan

dan Permukiman (UUPP) dan UUPA. Karena ketiga UU ini sangat berkaitan.

Hal ini dapat dilihat antara lain tentang pembangunan rumah susun perumahan

yang harus dikaitkan dengan hak atas tanah (Pasal 46 ayat (1) UURS). Bahkan

dalam UUPP terdapat satu ketentuan (Pasal 11) yang mengatur tentang

pemindahan hak milik atas rumah. Untuk itu perlu ditelaah tentang asas

pemisahan horizontal yang terdapat dalam UUPA/Hukum Tanah, karena hal

ini sangat menentukan dalam menyelesaikan masalah pembangunan rumah

susun di Indonesia dan kemungkinan pemilikan rumah/rumah susun bagi

orang. asing. Disamping itu juga perlu dikaji sistem Condominium yang

diterapkan dalam pembangunan rumah susun saat ini (UU Nomor 20 Tahun

2011) dan kemungkinannya diterapkan sistem yang lain yaitu sistem strata

title. Penelaahan terhadap asas dan sistem ini sangat penting karena asas

hukum itu adalah fondasi dari sistem hukum positif. Sehingga penerapan asas

11

secara konsisten akan mempengaruhi sistem hukum yang dianut. Bahkan

menurut Bruggink asas hukum itu mengemban fungsi Ganda sebagai fondasi

dari sistem hukum dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum.

(Bruggink, 2001: 133)

Senada dengan pendapat Bruggink, Harjono menyatakan bahwa

dasar/fondasi dari sistem hukum yang mempunyai fungsi sebagai norma

pemberi nilai atau singkatnya sistem hukum dibangun (secara substantif) atas

dasar nilai-nilai yang tekandung dalam asas hukum. Dengan adanva hubungan

fungsional tersebut jelas bahwa asas hukum mempengaruhi penerapan norma

hukum, dalam arti luas asas hukum digunakan dasar penguji apakah

penerapan hukum tersebut benar atau salah.(Harjono : 21)

Karl larenz (Richtiges recht, Grundzuge einer Rechtsethik, 1979 208)

menjelaskan asas hukum sebagai berikut: (Bruggink, 2001:121)

“Rechtsprinzipien sindleitende Gedanken einer (moglichen oder

bestehenden) rechtlichen Regelung, die selbst noch keine der 'Anwendung'

faehige Regel sind, aber in solche umgeselzt werden konnen.”

Asas hukum adalah gagasan yang membimbing dalam pengaturan

hukum (yang mungkin ada atau yang sudah ada), yang dirinya sendiri

bukan merupakan aturan yang dapat diterapkan, tetapi yang dapat diubah

menjadi demikian. (Terjemahan, Arief Sidharta, Refleksi tentang hukum

hlm. 121)

Bruggink sendiri berpendapat bahwa asas hukum adalah kaidah yang

memuat ukuran (kriteria) nilai. Asas hukum itu berfungsi sebagai meta kaidah

terhadap kaidah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan

hukum dan dengan itu wilayah penerapan aturan tersebut. Untuk itu

penelaahan terhadap asas hukum yang terdapat dalam UUPA/Hukum

Pertanahan dan sistem hukum yang dianut dalam UURS/UUPP menjadi

demikian relevan. Penelaahan terhadap asas yang terdapat dalam hukum tanah

menjadi penting karena status bangunan rumah susun sangat bergantung pada

12

hak atas tanah (Pasal 46 ayat (1) UURS). Salah satu aspek yang terpenting

dalam Hukum Tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda lain

yang melekat padanva. Status hubungan ini sangat penting karena sangat

berpengaruh terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah clan

benda lain yang melekat pada tanah, didalam Hukum Tanah dikenal ada dua

asas yang satu sama lain bertentangan yaitu yang dikenal dengan asas

perlekatan Vertikal (Verticale Accessie Beginsel) dan asas Pemisahan

Horizontal (Horizontals Scheiding Beginsel).

Mariam Darus Radrulzaman berpendapat Tanah dan bangunan (rumah

susun dan perumahan) adalah Benda dan pengaturannya dari aspek

keperdataan berada dalam sistem Hukum Benda yang dapat dikhususkan lagi

dalam subsistem Hukum Agraria dan subsistem Hukum Bangunan. Seperti

diketahui dengan berlakunya UUPA Buku II BW sepanjang yang mengenai

bumi, air serta kekayaan dan yang terkandung didalamrnya dinyatakan tidak

berlaku lagi kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek. Akibat dari

ketentuan ini terdapat ketidakpastian hukum di dalam penerapannya. Sehingga

rumah susun, perumahan pertokoan dan bangunan perkantoran merupakan

benda yang memiliki status yang mengambang. Suatu saat bangunan .itu

menyatu dengan hak atas tanah tetapi pada saat lain ia terpisah dengan tanah

Penerapan Asas Pemisahan Horizontal yang dianut oleh UUPA sccara

konsisten akan sangat berpengaruh pada pengaturan terhadap bangunan atau

rumah. Karena bangunan terpisah dengan tanah, maka bangunan atau rumah

dapat disertifikatkan secara terpisah. Apabila bangunan atau rumah telah

disertifikatkan secara terpisah dari tanahnya maka dalam hal tersebut; pemilik

bangunan bersertifikat dapat tetap mempunyai hak untuk mempertahankan

bangunan tersebut, dalam kedudukan yang sama dengan pemilik tanah.

Manfaat lain dari penerapan asas pemisahan horizontal adalah berkaitan

dengan upaya perolehan dana. Bagi negara yang sedang membangun masalah

yang sangat penting adalah tersedianya dana yang cukup untuk dapat berperan

13

serta di dalam pembangunan. Dengan penerapan Asas Pemisahan Horizontal

di mana rumah atau bangunan atau tanaman dianggap terpisah dari tanahnya,

maka dapat diharapkan bagi mereka yang tidak memiliki tanah untuk dapat,

menjaminkan rumah atau bangunan atau tanaman itu tanpa tanahnya.

Dalam hukum tanah khususnya berkaitan dengan pembangunan gedung,

konsep hukum adat tanah yang memisahkan pemilikan tanah dari bangunan,

dapat kiranya memberikan jalan keluar pada masalah-masalah yang kini

timbul dalam pembangunan gedung di atas tanah milik orang lain. Penerapan

Asas pemisahan Horizontal secara konsisten dapat menyelesaikan masalah

pemasaran rumah bagi Orang Asing, karena dengan demikian orang asing

dapat memiliki rumah tanpa memiliki tanahnya dengan pembatasan tertentu

dan ini tidak bertentangan dengan ketentuan UUPA.

D. Simpulan

Konsep Asas Pemisahan Horizontal dalam Peraturan Perundang-undangan

tentang Rumah Susun saat ini belum secara konsisten diterapkan, khususnya

terkait kepemilikan rumah susun oleh warga asing. Konsekuensi dari

diterapkannya asas ini dalam pembangunan rumah susun adalah pendirian

bangunan atau rumah tidak perlu dikaitkan dengan pemilikan atas tanahnya.

Penerapan asas secara konsisten dapat menyelesaikan permasalahan

pertanahan pada umumnya dan rumah pada khususnya. Konsistensi dalam

penggunaan asas sangat punting karena asas adalah Fondasi dari hukum

positif.

E. Saran

Perlu adanya pembaharuan peraturan tentang rumah susun diatur oleh

Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, yang

tidak perlu mengkaitkan satuan rumah susun pada hak atas tanahnya, sehingga

warga negara asing mendapatkan kepastian hukum terhadap kepemilikan

satuan rumah susun.

14

F. Daftar Pustaka

Adrian Sutedi. 2010. Hukum Rumah Susun dan Apartemen. Jakarta : Sinar

Grafika

Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta :

Djambatan

J.H. Bruggink. Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan Arief Sidharta. Bandung

: Citra Aditya Bhakti

Maria S.W. Sumardjono. 2007. Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta

Bangunan. Jakarta : Kompas

Rosmidi, Mimi dan Imam Koeswahyono. 2010. Konsepsi Hak Milik atas

Satuan Rumah Susun dalam Hukum Agraria. Malang : Setara Press

Ina Budhiarti Supyan. Februari 2016. “Perlindungan Hukum Bagi Penghuni

Satuan Rumah Susun Dibidang Pengelolaan Rumah Susun Di Bandung

Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang

Rumah Susun”. artikel pada Jurnal Wawasan Hukum. Vol.34. No.1

Megalia Sarah Poeloe. Juli 2014. “Status Hak Kepemilikan Properti Bagi

Orang Asing”. artikel pada Jurnal Lex et Socieatatis Vol.2. No.6

Syamsu Thamrin. Juni 2016. “Aspek-Aspek Yuridis Pemilikan Satuan Rumah

Susun Oleh Orang Asing Di Indonesia”. artikel pada Jurnal Lex Librum

Vol.II. No.2

Harjono. Tanpa Tahun. Makalah “Penelitian Hukum Pada Kajian Hukum

Murni”

Nurhasan Ismail. 2017. “Kepastian Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Rumah (Tapak dan Susun) Komersial”, Makalah disampaikan pada

Prosiding Seminar Nasional Kepastian Dan Perlindungan Hukum

Terhadap Pembeli Rumah Susun Komersial di Indonesia. Yogyakarta

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

Nomor 29 Tahun 2016

15

Mahendra Adinegara, “Artikel Ilmiah Ketentuan Orang Asing Dalam

Memiliki Properti di Indonesia”, terdapat dalam alamat

http://bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/2011/07/22/ketentuan-

orang-asing-dalammemiliki-properti-di-Indonesia/, diakses pada 12 Mei

2017

M.J.Widijatmoko, Artikel Ilmiah Rumah Susun Ambruk, Hak Kepemilikan Otomatis

Hapus,http://medianotaris.com/rumah_susun_ambruk_hak_kepemilikan_otomati

s_hapus_berita216.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2017