Post on 01-Feb-2023
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikoriza
Mikoriza berasal dari kata miko = mykes (cendawan) dan riza yang berarti
akar tanaman. Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar
tanaman tingkat tinggi dengan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza
pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman bernaman Frank pada tanggal 17
April 1885 (Sagala et al. 2013). Mikoriza merupakan suatu kelompok jamur tanah
biotroph obligat yang tidak dapat melestarikan pertumbuhan dan reproduksinya
bila terpisah dengan tanaman inang. Mikoriza termasuk kedalam kelas
Glomeromikota yang memiliki ciri berbeda dibandingkan dengan kerabat
dekatnya dari kelas Askomikota, Basidiomikota ataupun kelas lainnya
(Simanungkalit et al., 2006). Mikoriza termasuk dalam ordo Glomales dan terdiri
dari dua Subordo yaitu Glomineae dan Gigasporineae. Subordo Glomineae dibagi
dalam dua famili yaitu Glomaceae dan Acaulosporaceae, sedangkan
Gigasporineae terdiri atas dua genus yaitu Gigaspora dan Scutellospora kedua
genus tersebut dapat dibedakan atas bentuk sporanya (Musfal, 2010).
Assosiasi tanaman dengan mikoriza merupakan suatu interaksi simbiosis
mutualisme yang sangat umum terjadi, mikoriza dapat bersimbiosis dengan
sekitar 90% tanaman inang (host). Tanaman inang tersebut dapat berupa tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan dan tanaman pakan. Simbiosis yang
terjadi antara mikoriza dan tanaman adalah mikoriza masuk ke dalam korteks akar
dan mengembangkan miselium ekstraradikal sampai keluar menembus korteks
menjangkau daerah sekitaran akar tanaman. Miselium “ektraradical” dapat
menyerap air dan usur hara yang tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman karena
air dan unsur hara tersebut dalam bentuk ion atau dalam konsentrasi yang sangat
rendah seperti phosphor dan amonium. Simbiosis antara mikoriza dan tanaman
merupakan strategi adaptif untuk meningkatkan kemampuan tanaman menyerap
unsur hara dan air khususnya di ekosistem lahan kering dan semi-kering (arid)
(Barea et al., 2011).
Simbiosis yang terjadi antara tanaman dan mikoriza adalah tanaman
mendapat hara dari tanah dalam jumlah yang lebih banyak sedangkan mikoriza
mendapatkan senyawa organik essensial dari tanaman. Keuntungan lain yang
5
diperoleh tanaman adalah meningkatkan toleransi terhadap kekurangan air,
pertumbuhan tanaman lebih baik, menghasilkan senyawa yang mendorong
pertumbuhan tanaman seperti auxin, sitokinin dan giberalin. Selain itu tanaman
juga lebih tahan terhadap penyakit dan memperbaiki struktur tanah (Warouw dan
Kainde, 2010).
Mikoriza dapat ditemui pada berbagai tipe ekosistem dan berbagai
tanaman, simbiosis mikoriza dapat ditemui pada tanah masam di dataran rendah,
ekosistem pegunungan rendah di hulu DAS, ekosistem lahan terdegradasi, hutan
alam dan ekosistem hutan pantai. Adapun jenis tanaman yang diketahui telah
berasosiasi dengan mikoriza adalah durian, rambutan, bisbul, kayu kuku, kentang,
tomat dan lain lain (Husna et al., 2014).
Mikoriza berdasarkan cara diperolehnya ada dua yaitu mikofer dan
indigenous. Mikoriza indigenous merupakan mikoriza yang ditemukan berasosiasi
dengan perakaran tanaman secara alami tanpa campur tangan manusia dalam
proses infeksi awal antara mikoriza dengan tanaman inang. Mikoriza indigenous
memiliki potensi yang tinggi untuk membentuk infeksi yang ekstensif karena
mengenali tanaman inangnya selain itu mikoriza indigenous juga memiliki sifat
toleransi yang tinggi terhadap cekaman di lingkungannya. Mikoriza mikofer
merupakan mikoriza yang keberadaanya atas campur tangan manusia, mikoriza
mikofer bersimbiosis dengan akar tanaman inang dengan cara inokulasi
(Nurhidayati et al. 2011).
2.2 Jenis Jenis Mikoriza
Jenis mikoriza dibedakan berdasarkan perbedaan struktur tubuh dan cara
infeksi terhadap tanaman inangnya (host). Menurut Barea et al., (2011) mikoriza
terbagi menjadi tiga jenis yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektendomikoriza.
Ektomikoriza memiliki selubung atau mantel disekitar perakaran tanaman,
misellium menembus sel-sel akar membentuk “hartig net tapi” tidak membentuk
penetrasi intraseluler, ektomikoriza bersimbiosis dengan 3% tanaman vascular
terutama pohon hutan atau tahunan. Endomikoriza menginfeksi korteks dan
masuk ke sel akar baik secara interseluler maupun intraseluler. Beberapa jenis
endomikoriza adalah spesies Ericaceae atau Orchidaceae, mikoriza arbuskula
6
(MA) merupakan jenis mikoriza yang paling banyak ditemukan dan paling banyak
bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman. Ektendomikoriza merupakan jamur
yang memiliki karakteristik dari kedua jenis jamur ektomikoriza dan
endomikoriza. Sedangkan menurut Prasetya (2006) terdapat dua kelompok jenis
mikoriza yaitu ektomikoriza dan endomikoriza saja. Berikut jenis-jenis mikoriza
yang dibedakan berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi pada tanaman inang.
2.2.1 Ektomikoriza
Ektomikoriza merupakan jenis jamur yang memiliki jaringan hifa yang
tidak masuk sampai ke dalam sel korteks tanaman inang namun hanya
berkembang diantara sel tersebut membentuk mantel pada permukaan akar
(Musfal, 2010). Ektomikoriza dapat diperbanyak tanpa menggunakan tanaman
inang. Menurut Prasetya (2006) pembentuk ektomikoriza terdiri atas tiga
kelompok besar yaitu Basidiomycetes, Gasteromycetes dan Ascomycetes
(Gambar 1).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Pembentuk ektomikoriza (a) Basidiomycetes, (b) Gasteromycetes, (c)
Ascomycetes (Prasetya, 2006).
2.2.2 Endomikoriza
Ciri utama yang membedakan endomikoriza dan ektomikoriza adalah
struktur dan beberapa sistem yang terbentuk. Struktur endomikoriza memiliki ciri-
ciri sebagai berikut; (1) dijumpai penetrasi miselia yang halus di dalam korteks,
(2) terbentuk vesikel sebagai tempat cadangan nutrisi didalam korteks kecuali dari
genus Gigaspora dan Scutelospora (3) pembentukan spora di luar akar dan
sebagian di dalam akar, (4) dijumpai semacam kumpulan hifa di dalam sel akar
sebagai tempat pemindahan (transfer) nutrisi yang disebut arbuskular, (4)
kenampakan adanya endomikoriza hanya dapat dilihat dengan jelas di bawah
mikroskop dengan teknik pewarnaan khusus/ staining (Prasetya 2006).
Kelompok-kelompok jamur pembentuk endomikoriza (VAM) meliputi kelas
7
Phycomycetes dan Endoginaceae. Berikut merupakan kelompok genus
endomikoriza yaitu:
1) Gigaspora
Menurut Warouw dan Kainde (2010) menyebutkan bahwa Gigaspora
berbentuk bulat dengan spora memiliki pelekat yang mengembang hingga
berbentuk bulat atau biasa disebut “bulbous suspensor” yang menjadi ciri khas
dari Gigaspora (Gambar 2).
Proses perkembangan spora Gigaspora tidak langsung dari hifa (Subtending
hyphae) membulat yang dinamakan “bulbuous suspensor”, di atas “bulbuous
suspensor” ini timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan
mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora. Spora ini disebut
azygospora. Gigaspora dihasilkan secara tunggal di dalam tanah dan ukurannya
besar. Gigaspora tidak memiliki dinding perkecambahan dan tidak membentuk
struktur vesikula di dalam akar melainkan hanya terdapat arbuskula dan hifa
(Puspitasari et al. 2012).
Gambar 2. Spora Gigaspora perbesaran 400 kali (Suamba et al. 2014)
2) Glomus
Genus Glomus proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa yang
membesar sampai ukuran maksimum dan terbentuk spora, karena sporanya
berasal dari perkembangan hifa maka disebut “chlamydospore”, kadang hifa
bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk “chlamydospora: dan membentuk
“sporocarp” pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah
sekat. Spora berbentuk bulat sampai bulat lonjong dengan dinding spora terdiri
atas lebih dari satu lapis. Spora Glomus dapat ditemukan dalam bentuk tunggal
8
ataupun agregat lepas. Glomus memiliki dinding spora mulai dari kuning bening
sampai coklat kemerahan, permukaan dinding spora relatif halus dan memiliki
dinding spora yang tipis. Namun, masing-masing spesies memiliki cici-ciri
tersendiri. Spora yang ditemukan ada yang melekat dengan hifa dan adapula yang
tidak (Puspitasari et al. 2012).
Warna Glomus biasanya hyaline, agak putih, kuning, kuning terang,
kecokelatan, coklat gelap dan gelap (Gambar 3). Berukuran antara 80-120 μm x
75-120 μm atau 90-140 μm x 70-130 μm. Struktur dinding spora tiga lapisan (L1,
L2 dan L3). Lapisan luar (L1) tipis, hialin. Lapisan tengah (L2) mengendur
seiring bertambahnya usia, berwarna jerami pucat sampai ochraceous biasanya
berukuran 4-13 μm (INVAM, 2017). Glomus merupakan genus yang memiliki
penyebaran yang sangat luas. Genus Glomus dapat dijumpai pada berbagai tipe
lahan.
3) Acaulospora
Acaulospora kuning hingga cokelat, berukuran sekitar 42-99 μm x 42-70 μm
dan 55-85 μm. Memiliki bentuk bulat hingga lonjong (Gambar 3). Proses
perkembangan Acaulopsora berawal dari ujung hifa (Subtending hyphae) yang
membesar seperti spora yang disebut “hyphal terminus”, diantara hyphal terminus
dan subtending hyphae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin
membesar dan terbentuk spora.
(a) (b)
Gambar 3. Spora Mikoriza (a) Glomus perbesaran 200 kali (b) Acaulospora
perbesaran 400 kali (Suamba et al. 2014).
9
Perkembangan “hyphal terminus” akan rusak dan isinya akan masuk ke spora.
Rusaknya “hyphal terminus” akan meninggalkan lubang kecil yang disebut
“cycatric”. Acaulospora memiliki dinding spora yang relatif tebal dan beberapa
spesies ada yang berwarna orange kemerahan (Puspitasari et al. 2012).
Endomikoriza biasa disebut sebagai VAM (Vesicular Arbuscular
Mycorrhizas) karena endomikoriza membentuk arbuscules, hifa dan vesicules
yang mampu menginfeksi jaringan korteks akar (Brundet et al., 1996). Identifikasi
endomikoriza dilakukan dengan mengamati bentuk morfologi dari spora
endomikoriza yang meliputi ukuran spora, bentuk, warna spora dan kenampakan
dinding sel dari endomikoriza tersebut (Douds dan Millner, 1999).
Siklus hidup mikoriza arbuskular ada tiga tahapan yaitu, tahap pertama
penetapan simbiosis, melibatkan propagule, inang tanaman, penetrasi akar dan
arbuskula, pada tahap ini energi yang digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan mikoriza arbuskular berasal dari fotosintat tanaman demikian pula
sebaliknya mikoriza arbuskular memberikan nutrisi dan air sebagai bahan dasar
fotosintesis. Tahap kedua pertumbuhan dan perkembangan melibatkan hifa
eksternal, internal dan ekstraradikal secara keseluruhan meningkatkan biomassa
mikoriza arbuskular. Perkembangan hifa berfungsi sebagai saluran meluas secara
radikal selanjutnya terjadi perkembangan arbuskular yang berperan untuk
mengambil nutrient dari tanaman dan vesikula berperan untuk penyimpanan lipid.
Tahap ketiga adalah tahap perbanyakan yang melibatkan struktur reproduktif
yaitu pembentukan spora (Chalimah et al., 2007).
1.2.3 Ektendomikoriza
Ektendomikoriza merupakan mikoriza yang memiliki sifat perpaduan antara
endomikoriza dan ektomikoriza. Pada akar yang terinfeksi ektendomikoriza
terdapat mantel atau tidak ada mantel, membentuk hartig net dan hifa masuk ke
dalam sel (Sastrahidayat, 2010).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Mikoriza
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan mikoriza
biasanya lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman juga cocok untuk
perkembangan mikoriza (Musfal, 2010). Faktor lingkungan yang berpengaruh
10
terhadap perkembangan mikoriza terbagi menjadi dua yaitu faktor abiotik dan
faktor biotik yang meliputi iklim, cahaya, suhu, kesuburan tanah dan pH
sedangkan faktor biotik meliputi tanaman inang yang bersimbiosis dengan
mikoriza (Sastrahidayat, 2010).
2.3.1 Iklim
Pada musim penghujan ketersediaan air di lahan cukup tinggi hingga tanah
mengalami jenuh air. Pada tanah yang tergenang air menyebabkan kondisi
anaerob, kondisi seperti ini akan menghambat perkembangan mikoriza sebab
mikoriza bersifat aerobik. Mikoriza akan membantu tanaman memperoleh air
dengan cara memperluas bidang penyerapan akar dan membentuk hifa yang dapat
menjangkau air yang tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman (Muis et al. 2014).
2.3.2 Cahaya
Intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap kolonisasi dan sporulasi
mikoriza. Intensitas matahari yang tinggi dan kesuburan tanah yang rendah akan
mempertinggi perkembangan dan jumlah mikoriza di hutan hujan tropis di Sri
Lanka (Shukla et al., 2009).
2.3.3 Suhu
Sebagian besar cendawan pembentuk mikoriza membutuhkan suhu
optimum untuk pembentukan dan kelangsungan hidup mikoriza. Glomus
ditemukan pada rambut akar pohon bitti, tanjung dan kecrutan pada suhu udara30-
32.6°C, kelembaban udara 58-78% dan kelembaban tanah 40-72% (Ura’ et al.
2015). Suhu udara yang terbaik untuk perkembangan mikoriza arbuskular (MA)
adalah sekitar 30°C, untuk kolonisasi miselium pada permukaan akar 28°-34°C
serta untuk sporulasi dan perkembangan vesikel pada suhu 35°C (Sastrahidayat,
2010).
2.3.4 Kesuburan tanah
Unsur-unsur di dalam tanah yang paling berpengaruh terhadap mikoriza
adalah unsur hara P, tanah yang mengandung unsur P yang tinggi diketahui dapat
menurunkan kolonisasi mikoriza, pembentukan simbiosis mikoriza arbuskula
mencapai maksimum jika kadar P tersedia dalam tanah tidak lebih besar dari 50
ppm. Semakin tinggi kandungan P dalam tanah maka kolonisasi mikoriza semakin
11
menurun sebaliknya jika kandungan P di dalam tanah rendah maka perkembangan
mikoriza di dalam tanah tersebut semakin tinggi (Simamora et al. 2015).
Kandungan N yang tinggi juga berpengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan mikoriza. Efek tersebut berhubungan dengan tingkat N yang
tersedia. Jumlah N yang terlarut akan menentukan aktivitas mikoriza di dalam
tanah (Sastrahidayat, 2010). Selain itu perkembangan mikoriza juga dipengaruhi
oleh kandungan bahan organik, struktur tanah dan kadar air. Tingginya kandungan
air yang ada di dalam tanah akan mempengaruhi kadar oksigen dalam tanah,
penurunan konsentrasi oksigen dapat menghambat perkecambahan spora mikoriza
dan kolonisasi akar (Setiadi dan Arif 2011).
2.3.5 pH
Mikoriza memiliki sifat acidophilic (dapat hidup dalam kondisi masam).
Setiap jamur mikoriza memerlukan pH optimum yang berbeda untuk
perkembangannya. Glomus ditemukan di hutan kota Tamalanrea dengan pH tanah
4.4-5.8 (Ura’ et al. 2015). Mikoriza dapat hidup dengan baik pada pH masam dan
mampu menghasilkan asam-asam organik yang membebaskan P terfiksasi
(Ristiyanti et al. 2014). Dapat disimpulkan bahwa pH berpengaruh terhadap
keberadaan mikoriza.
2.3.6 Tanaman inang
Perkembangan mikoriza juga dipengaruhi oleh jenis tanaman inang (host)
yang bersimbiosis dengan mikoriza. Tanaman dengan akar besar lebih bergantung
pada mikoriza dibandingkan pada tanaman dengan sistem akar yang memiliki
rambut akar banyak dan panjang. Ketergantungan mikoriza relatif berbeda pada
antara spesies tanaman atau bahkan antar varietas (Simanungkalit et al., 2006).
Tanaman yang memiliki tipe perakaran magnoloid (kasar dan berbulu akar sedikit
atau tidak berbulu akar) lebih peka terhadap infeksi mikoriza dibandingkan
dengan tanaman yang tipe perakarannya graminoid/halus dan memiliki bulu akar
yang halus (Sastrahidayat, 2010).
Umur tanaman juga mempengaruhi keberadaan mikoriza di tanah serta
kolonisasinya pada akar tanaman. Jumlah spora mikoriza terbanyak dijumpai pada
akar rizosfer kelapa sawit umur 7 tahun (107.40 spora/100 g tanah) dibandingkan
dengan jumlah spora mikoriza pada kelapa sawit umur 2-3 bulan (45.80 spora/100
12
g tanah), 2 tahun jumlah spora (60.92 spora/100 g tanah), dan kelapa sawit umur >
10 tahun jumlah spora 67.20 spora/100 g tanah (Arman et al. 2015).
Mikoriza dapat bersimbiosis dengan berbagai tanaman inang di berbagai
lokasi. Beberapa jenis tanaman seperti Vitex pubescent Vahl., Theobroma cacao
L., Paraserianthes falcataria dan Pericopsis mooniana yang terletak di Sulawesi
Tenggara diketahui telah bersimbiosis dengan mikoriza (Husna et al., 2014)
2.4 Hubungan Mikoriza dengan Sifat Kimia Tanah
Cendawan mikoriza memiliki struktur hifa yang menjalar keluar di dalam
tanah, hifa tersebut meluas di dalam tanah melampaui jauh jarak yang dapat
dicapai oleh rambut akar. Ketika fosfat disekitar rambut akar sudah terkuras maka
hifa membantu menyerap fosfat di tempat-tempat yang tidak dapat lagi dijangkau
rambut akar seperti pada (Gambar 4). P diangkut melalui hifa eksternal dalam
bentuk polifosfat. Adanya granul polifosfat dalam vakuola hifa telah dibuktikan
dalam penelitian menggunakan mikroskop electron (Simanungkalit et al., 2006).
Tanaman yang terinfeksi mikoriza mampu menyerap unsur P yang lebih
tinggi dibandingkan tanaman yang tidak terinfeksi. Tingginya serapan P oleh
tanaman yang terinfeksi mikoriza disebabkan hifa mikoriza dari jenis CMA
mampu mengeluarkan enzim fosfatase sehingga P yang terikat di dalam tanah
akan terlarut dan tersedia bagi tanaman. Tanaman jagung pada tanah inceptisol
menunjukkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jagung
yang tidak diberi mikoriza (Musfal, 2010).
Gambar 4. Skema penyerapan P oleh mikoriza (Simanungkalit et al., 2006)
Cendawan mikoriza dalam korteks primer
stele
Rambut akar
akar tanah
Hifa dalam
tanah
Ion PO4 yg
diabsorbsi dari
tanah
Zona
pengurangan
13
Mikoriza mampu meningkatkan pH tanah dan memperbaiki tingkat
kesuburan tanah. Hal ini dikarenakan adanya aktifitas dan metabolisme mikoriza
yang menghasilkan serta melepaskan senyawa-senyawa organik yang mampu
mengikat kation-kation logam dalam kompleks jerapan penyebab kemasaman
tanah sehingga pH meningkat (Nurmasyitah et al. 2013).
2.5 Sistem Agroforestri
Agroforestri atau wanatani adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan
teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada
satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu,
palem, bambu dll) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau
ikan yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Sistem
agroforestri merupakan pengelolaan lahan terpadu dan berkelanjutan untuk
meningkatkan produksi tanaman pertanian ataupun kehutanan (Hairiah et al.
2003).
Sistem agroforestri memiliki dampak posistif dalam ekosistem yaitu
penerapan agroforestri dapat menjaga diversitas/keanekaragaman tetap tinggi
namun disisi lain sistem agroforestri memiliki dampak negatif bagi antar
komponen agroforestri misal dengan adanya persaingan dalam penggunaan unsur
hara dan tumbuhan bawah (understory) yang kurang mendapatkan cahaya
matahari karena ternaungi oleh pohon- pohon lainnya (Shukla et al., 2009). Tipe
agroforestri adalah sebagai berikut:
a. Sistem agroforestri sederhana
Sistem agroforestri sederhana merupakan sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman
semusim. Bentuk agroforestri sederhana yang paling umum dijumpai di jawa
adalah tumpangsari yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial
dan PT Perhutani. Salah satu contoh sistem agroforestri sederhana ini adalah
campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim
misalnya menanam kopi pada hutan pinus di daerah Ngantang, Malang (Hairiah et
al. 2003).
14
b. Sistem agroforestri kompleks
Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian yang
melibatkan banyak jenis pepohonan baik yang sengaja ditanam atau yang tumbuh
secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam
ekosistem yang menyerupai hutan. Penciri utama dari sistem agroforestri
kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip
dengan ekosistem hutan alami maupun hutan sekunder sehingga sistem ini juga
disebut sebagai agroforest (Hairiah et al. 2003).
2.6 Hubungan Sistem Agroforestri Pinus dan Kopi Terhadap
Keanekaragaman Mikoriza
Kopi termasuk kelompok tanaman yang memerlukan cahaya matahari
tidak penuh sehingga ditanam dalam sistem campuran (agroforestri) baik dalam
sistem agroforestri sederhana hingga agroforestri kompleks (multistrata) yang
menyerupai hutan. Budidaya kopi membutuhkan pohon naungan untuk
mendukung perkembangan dan pertumbuhan kopi (Sobari et al. 2012).
Agroforestri kopi berperan dalam konservasi tanah, air, penambahan unsur
hara, menjaga iklim mikro tetap stabil dan mempertahankan keanekaragaman
hayati termasuk mikoriza arbuskular. Jumlah spora jamur mikoriza arbuskular
meningkat dua kali lipat pada sistem agroforestri kopi tumpangsari dengan
tanaman Grevillea robusta dibandingkan dengan pertanaman kopi monokultur
(Supriadi dan Dibyo, 2015).
Agroforestri sederhana yang lainnya adalah sistem tumpangsari tanaman
pinus dan tanaman pertanian semisal buncis, cabai, kembang kol dan kopi. Dalam
penelitian Oktaviani dan Batoro (2017) sistem tumpangsari (agroforestri
sederhana) tanaman pinus di Tumpang menyebutkan bahwa tanaman pinus
biasanya tumbuh pada kisaran pH 4.5-5.5, pH tanah menggambarkan tingkat
ketersediaan unsur hara dan menentukan keberadaan mikroorganisme tanah
semisal mikoriza.
Mikoriza yang berasosiasi dengan akar tanaman pinus bermanfaat dalam
membantu akar tanaman pinus dalam menyerap unsur hara Phospor, Kalium dan
Nitrogen dari dalam tanah. Hal ini dapat meminimalkan input pemupukan pada
tanaman pinus dan tanaman kehutanan yang lainnya (Hardiatmi, 2008).