ii. tinjauan pustaka
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of ii. tinjauan pustaka
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kunir Putih
Kunir putih atau kunir mangga merupakan tanaman semak berumur tahunan
yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Benggala hingga India. Tingginya mencapai
50-75 cm. Daun kunir mangga berwarna hijau, berbentuk seperti mata lembing,
bulat lonjong di bagian ujung dan pangkalnya. Panjang daun antara 30-45 cm
dengan lebar 7,5-12,5 cm. Bunga bertandan muncul di bagian ujung batang.
Panjang tandan bunga dapat mencapai 15 cm atau lebih (Muhlisah, 1999).
Adapun klasifikasi tanaman kunir putih adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma mangga Val.
Umbi yang dihasilkan adalah umbi batang. Rimpang kunir mangga berbentuk
bulat, renyah dan mudah dipatahkan. Kulitnya dipenuhi semacam akar serabut
yang halus hingga menyerupai rambut. Percabangan rimpang banyak dan rimpang
utamanya keras. Bila rimpang dibelah tampak daging buah yang berwarna
5
kekuning-kuningan di bagian luar dan putih di bagian tengah yang dapat dilihat
pada Gambar 1. Rimpang kunir mangga berbau aromatis seperti mangga yang
sudah matang. Rasanya pun agak mirip mangga sehingga masyarakat
menyebutnya kunir mangga (Muhlisah, 1999). Komposisi kimia kunir putih dapat
disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Rimpang kunir putih
Tabel 1. Komposisi kimia kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g
Komponen Kunir putih Bubuk kunir putih
Energi
Air (g)
Protein
Lemak (g)
Total karbohidrat (g)
Serat kasar (g)
Abu (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
Besi (mg)
Tiamin (mg)
Riboflavin (mg)
349,00
13,10
6,30
5,10
69,40
2,60
-
0,15
0,28
0,03
3,30
18,60
0,03
0,05
390
5,80
8,60
8,90
69,90
6,90
6,80
0,20
0,26
0,01
2,50
47,50
0,09
0,19
Sumber : Lukman, 1984 dalam Pujimulyani, 2010
Menurut Hariana (2006) dalam Rahmawati (2015), kandungan senyawa
kimia kunir putih berupa tannin, kurkumin, amilum, gul, minyak atsiri, damar,
6
saponin, flavonoid dan protein yang dapat menghambat perkembangbiakan sel
kanker. Kunir putih mengandung senyawa antioksidan, diantaranya kalkon, flavon
flavanon yang cenderung larut dalam air (Lajis, 2007; Suryani, 2009 dalam
Ariviani et al., 2013). Ekstrak air kunir putih memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi sehingga mampu menekan radikal bebas (Pujimulyani dkk., 2004).
Sehingga kunir putih memiliki khasiat sebagai penurun demam, penguat lambung,
mengatasi kanker, menambah nafsu makan, balur sakit perut, pengurangan lemak
perut, mengobati gatal-gatal, obat masuk angin atau kembung (Muhlisah, 1999).
Bubuk Kunir Putih
Bubuk kunir putih merupakan salah satu jenis serbuk simplisia yang banyak
digunakan sebagai obat herbal. Serbuk adalah sediaan obat tradisional berupa
butiran homogen dengan deraiat halus yang cocok; bahan bakunya berupa
simplisia sediaan galenik, atau campurannya (Anonim, 1994). Serbuk Simplisia
adalah sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang
sesuai, terbuat dari simplisia atau campuran dengan ekstrak yang cara
penggunaannya diseduh dengan air panas (Anonim, 2014).
Serbuk simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potongan-potongan halus
simplisia yang sudah dikeringkan melalui proses pembuatan serbuk dengan suatu
alat tanpa menyebabkan kerusakan atau kehilangan kandungan kimia yang
dibutuhkan dan diayak hingga diperoleh serbuk. Derajat kehalusan serbuk
simplisia untuk pembuatan ektrak merupakan simplisia halus dengan nomor
pengayak 60 dengan lebar nominal lobang 0,105 mm, garis tengahnya 0,064, dan
7
ukurannya ukuran 250 µm (Anonim, 2008). Cara pembuatan bubuk kunir putih
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir pembuatan bubuk kunir putih
Serbuk dari simplisia memiliki beberapa persyaratan yaitu (1) Kadar air
tidak lebih dari 10%; (2) Angka lempeng total tidak lebih dari 103; (3) Angka
kapang dan khamir tidak lebih dari 104; (4) Mikroba patogen negatif; (5)
Aflatoksin tidak lebih dari 30 bpj; (6) Serbuk dengan bahan baku simplisia
dilarang ditambah bahan pengawet (Anonim, 1994).
Bubuk kunir putih dapat digunakan sebagai filler (bahan pengisi) karena
mampu meningkatkan sifat alir produk. Bahan pengisi atau filler merupakan
bahan tambahan pada proses pengolahan pangan. Menurut Gennaro (1995) bahan
pengisi adalah zat inert yang ditambahkan pada tablet agar diperoleh bobot tablet
Kunir putih
Pencucian
Perajangan
Sortasi
Pengeringan
Bubuk kunir putih
Penggilingan
8
yang rasional saat dicetak. Bahan pengisi ditambahan jika jumlah zat aktif sedikit
atau sulit dikempa. Penambahan bahan pengisi ke dalam ekstrak kental perlu
dilakukan untuk menjaga agar komponen aktif di dalam ekstrak tidak mengalami
kerusakan ketika dilakukan pengeringan ekstrak pada suhu tinggi. Selain itu
penambahan bahan pengisi juga dapat mempercepat proses pengeringan
(Sembiring dan Rizal, 2011). Beberapa bahan pengisi yang sering digunakan
yakni sukrosa, laktosa, amilum, kaolin kalsium karbonat, dekstrosa, manitol,
selulosa dan sorbitol (Banker dan Anderson, 1986). Beberapa kriteria yang harus
dipenuhi bahan pengisi yakni (1) ketersediannya cukup banyak (2) tidak beracun
(3) harga murah (4) bersifat netral atau inert secara fisiologis dan (5) stabil secara
fisik dan kimia.
B. Antioksidan
Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif yang berperan penting
dalam patofisiologi terjadinya proses menua dan beberapa penyakit degeneratif.
Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi menjadi dua macam, yaitu antioksidan
alami dan antioksidan sintetis (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Antioksidan
alami dapat diperoleh dari ekstrak bagian tanaman rempah-rempah atau tanaman
obat-obatan seperti akar, batang, daun, bunga dan biji. Senyawa yang berperan
senyawa antioksidan di dalam ekstrak adalah fenol, amina aromatik, vitamin C,
tokoferol, vitamin E, flavonoid dan lain sebagainya (Sukardi, 2003). Sedangkan
antioksidan sintetis merupakan antioksidan buatan yang memiliki kemampuan
untuk menangkap radikal bebas. Contoh antioksidan sintetis adalah butil hidroksi
9
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), ester dari asam galat, misalnya gallate
propil (Sayuti dan Yenrina, 2015).
Menurut Sayuti dan Yenrina (2015), antioksidan terbagi menjadi 3 golongan
berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya antara lain:
1. Antioksidan primer bekerja untuk mencegah pembentukan radikal baru, yaitu
mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak
negatifnya. Contoh antioksidan primer adalah Superoksidase dismutase
(SOD), Glutation peroksidase (GPx) dan katalase.
2. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang bertindak
sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi
berantai. Antioksidan sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam,
penangkap oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi senyawa non radikal,
penyerap radiasi UV atau deaktivasi singlet oksigen. Contoh antioksidan
sekunder adalah vitamin E dan C, β-karoten dan isoflavon
3. Antioksidan tersier bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang
disebabkan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim
yang memperbaiki DNA dan metionin sulfida reduktase (Putra, 2008 dan
Anonim, 2008 dalam Sayuti dan Yenrina, 2015).
1. Senyawa Antioksidan
Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi. Antioksidan bekerja
10
dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksigen
sehingga aktivitas senyawa pengoksidasi dapat dihambat (Winarsi, 2007). Adapun
senyawa aktif yang besifat sebagai antioksidan antara lain, yaitu:
1) Vitamin E
Menurut Nimse dan Pal (2015), vitamin E atau α-tocopherol (Gambar 3)
adalah antioksidan yang larut dalam lemak dan berfungsi sebagai 'pemutus rantai'
selama peroksidasi lipid pada membran sel dan berbagai partikel lipid termasuk
low-density lipoprotein (LDL).
Gambar 3. Struktur kimia vitamin E
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
Vitamin E berfungsi memotong radikal lipid peroxyl (LOO) dan mengakhiri
reaksi rantai peroksidasi lipid, reaksi ditunjukkan sebagai berikut :
LOO˙ + α-tocopherol – OH → LOOH + α-tocopherol – O˙
Radikal tokoferoksil yang dihasilkan relatif stabil dan dalam keadaan normal,
tidak cukup reaktif untuk memulai peroksidasi lipid itu sendiri, yang merupakan
kriteria penting dari antioksidan yang baik. Vitamin E memberikan efek
antioksidan dengan peredam radikal peroksil lipid dalam sistem in vivo serta in
vitro. Vitamin E bukanlah peredam dari radikal -OH dan alkoxyl (
-OR) yang
efisien secara in vivo.
11
2) Vitamin C
Menurut Nimse dan Pal (2015), vitamin C atau asam askorbat, adalah
antioksidan yang larut dalam air. Selain itu, vitamin C meregenerasi vitamin E
dalam membran sel dalam kombinasi dengan GSH atau senyawa yang mampu
menyumbangkan pengurangan setara. Mekanisme vitamin C berubah menjadi
radikal askorbat (Gambar 4) dengan jalan menyumbangkan elektron kepada
radikal lipid untuk mengakhiri reaksi berantai peroksidasi. Pasangan radikal
askorbat bereaksi dengan cepat untuk menghasilkan satu molekul askorbat dan
satu molekul dehidroaskorbat. Dehidroaskorbat tidak memiliki kapasitas
antioksidan. Oleh karena itu, dehidroaskorbat diubah kembali menjadi askorbat
dengan penambahan dua elektron. Tahap terakhir dari penambahan dua elektron
ke dehidroaskorbat telah diusulkan untuk dilakukan oleh oksidoreduktase.
Gambar 4. Mekanisme penghambatan radikal bebas oleh vitamin C
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
3) Karotenoid
Menurut Nimse dan Pal (2015), karotenoid termasuk di antara fitonutrien
yang larut dalam lemak. Likopen dan β-karoten adalah karotenoid yang menonjol
12
di antara 600 senyawa yang berbeda. Karotenoid terkenal sebagai peredam radikal
peroksil yang lebih efisien dibandingkan dengan ROS lainnya. Radikal peroksil
yang dihasilkan dalam proses peroksidasi lipid dapat merusak lipid pada dinding
sel. Peredaman radikal peroksil oleh karotenoid dapat mengganggu urutan reaksi
dan mencegah kerusakan pada lipid sel. Rantai alkil panjang tidak jenuh dalam
karotenoid menyebabkan sifat karotenoid sangat lipofilik. Karotenoid diketahui
memainkan peran penting dalam perlindungan membran seluler dan lipoprotein
terhadap ROS karena aktivitas peredaman radikal peroksil. Karotenoid bereaksi
radikal peroksil untuk membentuk produk karbon yang berpusat pada karbon
yang stabil.
Likopen adalah antioksidan paling ampuh yang secara alami ada dalam
banyak buah dan sayuran. Tingginya jumlah ikatan rangkap dua terkonjugasi di
likopen menyebabkan likopen mampu meredamkan oksigen singlet. Likopen
memiliki kemampuan peredaman oksigen singlet yang kuat dibandingkan dengan
α-tokoferol 1 atau β-karoten (Nimse dan Pal, 2015).
β-karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yang dapat ditemukan
pada buah-buahan berwarna hijau tua atau kuning tua (seperti wortel). Sebagian β-
karoten diubah menjadi vitamin A yang keduanya dapat bertindak sebagai
antioksidan di dalam tubuh (Tapan, 2005). β-karoten banyak dikonsumsi sebagai
suplemen karena memiliki berbagai manfaat antara lain untuk kesehatan mata,
mencegah penyakit kanker, meningkatkan daya tahan tubuh melalui peningkatan
komunikasi antarsel, mengurangi risiko terjadinya stroke, dan memberikan efek
13
analgetik serta antiinflamasi (Kasih, 2008). Struktur kimia β-karoten disajikan
pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia β-karoten
Sumber : Fennema (2008)
Beta karoten memiliki nama kimia (all-E)-1,1'-(3,7,12,16-
tetramethyl1,3,5,7,9,11,13,15,17-octadecanonaene-1,18-diyl) bis (2,6,6-
trimethylcyclohexene). Beta karoten mengandung tidak kurang dari 96,0 % dan
tidak lebih dari 101,0% rumus molekul C40H56 dengan bobot molekul 536,87
g/mol serta titik leleh antara 176o dan 182
o yang disertai dekomposisi. Senyawa
ini harus disimpan dalam kemasan tertutup rapat dan terlindung dari cahaya
karena mudah terdegradasi oleh oksidan serta cahaya (Anonim, 2006). Beta
karoten yang termasuk dalam golongan karotenoid memiliki sifat larut dalam
minyak, kloroform, benzena, karbon disulfida, aseton, dan petroleum eter; tidak
larut dalam air, etanol, dan metanol dingin; peka terhadap oksidasi, autooksidasi,
dan cahaya; serta memiliki ketahanan panas dalam keadaan vakum (Meyer, 1966
dalam Gunawan, 2009).
Beta karoten dengan pembatasan tertentu dapat memainkan peran donor atom
hidrogen untuk radikal peroksil yang menimbulkan radikal kation. Diperkirakan
yang terakhir ini relatif stabil karena delokalisasi elektron tidak berpasangan
dalam polyene terkonjugasi. β-karoten bereaksi dengan radikal lipid peroksil pada
konsentrasi oksigen rendah menghasilkan pembentukan karoteneperoksida non-
14
radikal. Molekul oksigen akan terikat dengan karoten-radikal, dan aduk yang
terbentuk selanjutnya berinteraksi dengan molekul lain dari karoten yang
memproduksi, karoten epoksida dan senyawa karbonil karoten (Polumbryk et al.,
2013). Reaksi β-karoten dengan radikal peroksil dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Reaksi β-karoten dengan radikal peroksil
Sumber : (Polumbryk et al., 2013)
4) Kurkumin
Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen warna
kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk golongan
fenolik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut dalam
pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada
suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi
basa dengan pH diatas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk
samping berupa trans-6- (4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil) -2,4- diokso-5-heksenal
(mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara dengan adanya
cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat, aldehid ferulat,
asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat dkk, 2008). Struktur kimia kurkuminoid
15
yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin
ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-
demetoksikurkumin
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
Kurkumin menunjukkan aktivitas antioksidan yang luar biasa, dan telah
ditemukan sebagai peredam radikal bebas yang sangat baik. Kurkumin memiliki
kemampuan antioksidan yang sebanding dengan vitamin E. Aktivitas radikal
bebas dari kurkumin berkorelasi dengan gugus OH fenolik dan gugus CH2 dari
bagian β-diketon. Radikal bebas dapat mengalami transfer elektron atau atom H
abstrak dari salah satu dari dua situs ini. Namun, radiolisis denyut dan metode
biokimia lainnya dikreditkan aktivitas antioksidan kurkumin ke grup OH fenolik
(Nimse dan Pal, 2015).
16
.
Gambar 8. Mekanisme penghambatan radikal bebas oleh kurkumin yang diinisiasi
oleh gugus fenolik
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
Gambar 8 menunjukkan mekanisme otoksidasi kurkumin yang diprakarsai
oleh abstraksi hidrogen dari salah satu gugus hidroksil fenolik. Radikal fenoksil
bergerak ke dalam rantai karbon meninggalkan kuinon methida yang akhirnya
dipadamkan oleh molekul air. Radikal methida melakukan 5-ekso-siklisasi dengan
17
ikatan ganda memberikan cincin siklopentadione dan menghasilkan radikal
berpusat karbon (Nimse dan Pal, 2015).
Reaksi kurkumin dengan oksigen molekuler (O2) menghasilkan radikal
peroksil. Radikal peroksil kemudian direduksi menjadi hidroperoksida dengan
mengabstraksi atom hidrogen dari molekul kurkumin lainnya, menyebarkan reaksi
berantai autoksidasi. Selanjutnya, hydroperoxide kehilangan air dan menata
kembali ke dalam spiro-epoxide. Hidrolisis epoksida oleh kelompok hidroksil (air
yang diturunkan) menghasilkan pembentukan produk akhir bicyclopentadione.
Telah ditemukan bahwa kompleks tembaga kurkumin (curcumin-Cu (II))
menunjukkan aktivitas SOD yang menjanjikan, dengan peningkatan khasiat
antioksidan (Nimse dan Pal, 2015).
5) Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang terbesar
(Harbone, 1987). Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pasti
ditemukan pada setiap telah ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Struktur umum
untuk flavonoid dapat terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur umum flavonoid
Sumber : Kumar dan Pendey (2013)
18
Ketahanan oksidasi dapat dibedakan dari adanya gugus hidroksil pada rantai
C3 (Robinson,1995). Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid (Harbone, 1987). Flavonoid merupakan senyawa
pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim
maupun non enzim (Robinson,1995). Pada tumbuhan flavonoid ini berfungsi
sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, antimikroba dan antivirus
(Robinson,1995). Flavonoid dapat dijadikan obat tradisional karena flavonoid
dapat bekerja sebagai inhibitor pernafasan, menghambat aldoreduktase,
monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase dan lipooksigenase
(Robinson,1995).
Flavonoid terbukti mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat
yaitu sebagai antioksidan yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping
sel darah, merangsang pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan
melebarkan pembuluh darah (vasorelaction) dan juga menghambat pertumbuhan
sel kanker (Winarsi, 2007).
Mekanisme aksi antioksidan dapat mencakup (1) supresi pembentukan ROS
baik oleh inhibisi enzim atau oleh elemen pengkelat yang terlibat dalam generasi
radikal bebas; (2) pengikatan ROS; dan (3) peningkatan regulasi atau
perlindungan pertahanan antioksidan. Tindakan flavonoid melibatkan sebagian
besar mekanisme yang disebutkan di atas. Beberapa efek yang dimediasi oleh
flavonoid mungkin merupakan hasil gabungan dari aktivitas pengikatan radikal
dan interaksi dengan fungsi enzim. Flavonoid menghambat enzim yang terlibat
dalam pembentukan ROS, seperti mikrosomal monooxygenase, glutathione S-
19
transferase, mitochondrial succinoxidase, NADH oxidase, dan sebagainya (Kumar
dan Pendey, 2013).
Gambar 10. Reaksi penghambatan radikal bebas oleh flavonoid
(a) Pengikatan ROS oleh flavonoid; (b) Pengikatan logam
Sumber : Kumar dan Pendey (2013)
Peroksidasi lipid adalah konsekuensi umum dari stres oksidatif. Flavonoid
melindungi lipid dari kerusakan oksidatif dengan berbagai mekanisme. Ion logam
bebas meningkatkan pembentukan ROS dengan mereduksi hidrogen peroksida
sehingga menyebabkan pembentukan radikal hidroksil yang sangat reaktif.
Adanya flavonoid yang menyebabkan potensi redoks lebih rendah (Fl-OH) secara
termodinamik mampu mengurangi radikal bebas yang sangat mengoksidasi
(potensi redoks dalam kisaran 2.13-1.0 V) seperti superoksida, peroksil, alkoksil,
dan radikal hidroksil oleh sumbangan atom hidrogen (Gambar 10(a)). Kapasitas
flavonoid untuk kelasi ion logam (besi, tembaga, dll) juga mampu menghambat
radikal bebas. Quercetin dikenal karena sifat iron-chelating dan penstabil-besi.
Hal ini terjadi karena adanya pengikatan logam pada posisi tertentu dari cincin
20
pada struktur flavonoid yang berbeda (Kumar dan Pendey, 2013). Pengikatan
logam oleh flavonoid ditunjukkan pada Gambar 10 (b).
2. Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kandungan lipid,
konsentrasi antioksidan, suhu, tekanan oksigen, dan komponen kimia dari
makanan secara umum seperti protein dan air. Proses penghambatan antioksidan
berbeda-beda tergantung struktur kimia dan variasi mekanisme (Sayuti dan
Yenrina, 2015).
Menurut Ketaren (1986) dalam Sayuti dan Yenrina (2015), mekanisme
antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada
radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam
mekanisme reaksi yaitu:
1. Pelepasan hidrogen dari antioksidan
2. Pelepasan elektron dari antioksidan
3. Addisi asam lemak ke cicin aromatik pada antioksidan
4. Pembentuk senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari
antioksidan.
Penentuan aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan pengujian
antioksidan yang ada pada suatu bahan. Adapun metode pengujian antioksidan
yang dapat dilakukan, diantaranya yaitu metode DPPH dan fenol total.
1) DPPH (1,1-diphenyl-2- picrylhydrazil)
21
Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan adalah dengan menggunakan radikal bebas DPPH. Pengukuran
antioksidan dengan metode DPPH adalah metode pengukuran antioksidan yang
sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti halnya metode
lain (Sayuti dan Yenrina, 2015).
Pada metode ini, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan
bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazin yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazin akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua
menjadi warna merah muda atau kuning pucat dan bisa diamati dan dilihat
menggunakan spektrofotometer sehingga aktivitas peredam radikal bebas oleh
sampel dapat dilihat (Molyneux, 2004).
Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan
suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang
517 nm dengan warna violet gelap. Penangkap radikal bebas menyebabkan
elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna
sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005). Reaksi radikal
DPPH dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 11.
22
Gambar 11. Reaksi radikal DPPH dengan antioksidan
Sumber : Windono et. al. (2001) dalam Sayuti dan Yenrina (2015)
2) Fenol Total
Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi dan reduksi
kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi
Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari
asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air,
natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan
bromin (Folin dan Ciocalteu, 1944).
Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah oksidasi gugus fenolik hidroksil.
Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali), mereduksi asam heteropoli
menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten (Mo-W). Fenolat hanya terdapat
pada larutan basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan produknya tidak stabil pada
kondisi basa. Selama reaksi belangsung, gugus fenolik-hidroksil bereaksi dengan
pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat
berwarna biru dengan struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan
23
spektrofotometer. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan
konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa
fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli
sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Singleton dan Rossi, 1965).
Gambar 12. Reaksi senyawa fenol dengan pereaksi Folin-Ciocalteu
Sumber : Anonim (2011)
C. Ekstraksi dan Proses Selama Pemasakan
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan atau pemisahan komponen zat aktif suatu
simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan komponen-komponen bioaktif suatu bahan (Harborne, 1987).
Menurut Anonim (2000), metode ekstraksi dengan pelarut dibagi menjadi 2
cara yaitu :
1) Cara dingin
a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
24
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1- 5 kali bahan.
2) Cara panas
a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.
d. lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-
98°C) selama waktu tertentu (15 - 20 menit ).
25
e. Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (~30°C) dan temperatur
sampai titik didih air.
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih
yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor
utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah selektivitas,
kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah
lingkungan dan keamanan (Anonim, 2000).
Ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat kepolaran zat dalam pelarut
saat ekstraksi. Senyawa polar hanya akan larut pada pelarut polar, seperti etanol,
metanol dan air. Sedangkan senyawa non-polar hanya akan larut pada pelarut non-
polar, seperti eter, kloroform dan n-heksana (Mukhriani, 2014).
Salah satu pelarut polar yang banyak digunakan untuk melarutkan zat kimia
adalah air. Air adalah senyawa kimia dengan rumus kimia H2O (Gambar 13),
artinya satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara
kovalen pada satu atom oksigen. Air mempunyai sifat tidak berwarna, tidak
berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu tekanan 100 kPa (1 bar) dan
suhu 273,15 K (0oC). Air termasuk dalam pelarut polar sehingga mampu
mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin,
gula, asam amino dan glikosida (Harbornne, 1987).
26
Gambar 13. Struktur kimia air
Semakin tinggi suhu dan lama waktu ekstraksi maka semakin besar
kandungan fenol yang terekstrak. Sesuai dengan Tambun dkk. (2016), ektraksi
pada suhu 60oC dengan waktu 9 jam memiliki kandungan fenol yang lebih banyak
dibanding perlakuan lain.
2. Proses Selama Pemasakan
Salah satu proses pengolahan bahan pangan adalah menggunakan pemanasan.
Pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan dikenal dengan proses
pemasakan. Proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100oC atau lebih
dengan tujuan utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak, aroma yang lebih
baik, tekstur yang lebih lunak, untuk membunuh mikrobia dan menginaktifkan
semua enzim. Pemasakan dapat dilakukan dengan perebusan dan pengukusan
(boiling dan steaming pada suhu 100oC), broiling (pemanggangan daging), baking
(pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan
minyak) dengan suhu antara 150o-300
oC (Winarno, 2004; Wardayati, 2012;
Sumiati, 2008 dalam Sundari dan dkk., 2015).
27
Proses pemasakan menyebabkan terjadi perubahan baik secara fisik maupun
kimia. Perubahan secara fisik yang terjadi selama pemasakan dapat digolongkan
dalam beberapa parameter antara lain:
1. Penyusutan Volume
Penurunan nilai rendeman ini erat kaitannya dengan kandungan air yang
terdapat dalam bahan. Semakin lama pemanasan dan menggunakan suhu yang
tinggi, kandungan air pada bahan akan semakin menurun sehingga berat bahan
akan mengalami penurunan yang di akibatkan kehilangan air pada saat
pengeringan (Winarti dkk. 2011).
2. Peningkatan daya serap air
Semakin lama pengeringan maka daya serap air bubuk cincau hitam instan
semakin meningkat. Peningkatan daya serap air disebabkan oleh bahan yang
terlalu kering dapat menyerap air di sekitar lingkungan akan semakin banyak
sehingga dapat menyebabkan daya serap air meningkat (Siregar dkk., 2017).
Hector (2004) yang menyatakan bahwa semakin kering suatu produk maka
kemampuan produk tersebut untuk menyerap air menjadi lebih banyak apabila
dibandingkan produk yang lembab.
Peningkatan daya serap air disebabkan oleh adanya pati yang telah
tergelatinisasi selama proses pengeringan (Asgar dan Mushadad, 2008).
Gelatinisasi meningkatkan daya serap air karena terputusnya ikatan hidrogen
antarmolekul pati sehingga air lebih mudah masuk ke dalam molekul pati
(Santosa et al. 1998).
28
3. Warna
Perubahan warna yang terjadi selama pemasakan cenderung menimbulkan
warna yang lebih gelap yang diakibatkan oleh reaksi mailard. Hal ini terjadi
karena, reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil
dekomposisi lemak yang ada di dalam produk sehingga menghasilkan
melanoidin berwarna coklat gelap (Winarno, 1986).
Selain itu, pemanasan juga dapat menurunkan warna alami yang ada dalam
suatu bahan, khususnya karoten. Menurut Wahyuni dan Widjanarko (2008),
kandungan karoten akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan
lama waktu pemasakan. Hal ini disebabkankan karena karoten terdegradasi
akibat proses oksidasi pada suhu tinggi yang menyebabkan struktur karoten
tidak stabil. Preedy (2012) menyatakan bahwa karotenoid akan berubah
menjadi Z-isomer yang masih belum menyebabkan perubahan warna. Ketika
oksidasi berlanjut maka akan terbentuk senyawa volatil dan degradasi
senyawa karoten menjadi aldehid dan keton dengan berat molekul yang lebih
rendah.
Menurut Belitz et al. (2009) stabilitas karoten berkaitan dengan keberadaan
ikatan rangkap dan ikatan tidak jenuh dalam struktur molekul karoten. Ikatan
rangkap pada rantai hidrokarbon karoten berada dalam bentuk trans. Struktur
karoten dapat mengalami isomerisasi termal selama pemasakan menjadi
bentuk cis. Senyawa karoten dalam bentuk cis memiliki stabilitas rendah dari
trans yang mengakibatkan senyawa tersebut mudah teroksidasi pada kondisi
29
perlakuan pamanasan. Karoten paling tidak stabil dibandingkan dengan
golongan pigmen yang lain seperti klorofil dan flavonoid.
Proses pemasakan juga dapat menyebabkan perubahan kimia yang
diantaranya, yaitu :
1. Denaturasi protein dan inaktivasi enzim
Pemanasan diatas suhu 60˚C yang dilakukan terhadap suatu bahan pangan
dapat menyebabkan protein pada bahan pangan terdenaturasi (Danur, 1993).
Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya (Winarno, 1986). Hal
tersebut yang menyebabkan terjadinya koagulasi.
Menurut Winarno (1986), enzim-enzim yang gugus prostetiknya terdiri dari
protein akan kehilangan aktivitasnya sehingga tidak berfungsi lagi sebagai
enzim yang aktif.
2. Peningkatan antioksidan
Penelitian Gokcen (2016) menunjukkan kandungan fenolik buah kurma
tertinggi ada pada perlakuan microwave, diduga suhu tinggi selama perlakuan
microwave menyebabkan kerusakan sel yang lebih besar dan mengarah pada
pelepasan senyawa fenolik. Shaimaa et al. (2016) menambahkan bahwa
pendidihan dapat meningkatkan kandungan fenolik total cabe karena
pemasakan mampu menonaktifkan enzim oksidase polifenol dan mengarah
pada penghambatan degradasi polifenol.
30
D. Analisa Proksimat
Analisa proksimat merupakan pengujian kimiawi untuk mengetahui
kandungan nutrien suatu bahan baku pakan atau pakan. Metode analisa proksimat
pertama kali dikembangkan oleh Henneberg dan Stohman pada tahun 1860 di
sebuah laboratorium penelitian di Weende, Jerman (Hartadi et al., 1997).
Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode
umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan,
tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan
hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung nilai total digestible nutrient
(TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu
bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya
tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara tepat, tidak
dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan
(Suparjo, 2010).
Analisa proksimat yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya :
1. Air
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan
berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis).
Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan,
karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan
pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet
bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,
kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan
31
pada bahan pangan. Kadar air setiap bahan berbeda tergantung pada kelembaban
suatu bahan. Semakin lembab tekstur suatu bahan, maka akan semakin tinggi
persentase kadar air yang terkandung di dalamnya (Winarno, 2004).
Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven biasa atau Thermogravimetri
yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan 20 pemanasan pada
suhu 105oC. Penimbangan bahan dengan berat konstan yang berarti semua air
sudah diuapkan dan cara ini relatif mudah dan murah. Percepatan penguapan air
serta menghindari terjadinya reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat
dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Bahan yang telah
mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan dengan suhu kurang lebih 105oC dapat
mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan bahan. Suatu bahan yang
telah mengalami pengeringan lebih bersifat hidroskopis dari pada bahan asalnya.
Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan telah
ditempatkan dalam ruangan tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau
desikator yang telah diberizat penyerapan air. Penyerapan air atau uap ini dapat
menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, kalium klorida, kalium
hidroksida, kalium sulfat atau bariumoksida. Silika gel yang digunakan sering
diberi warna guna memudahkan bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau
belum, jika sudah jenuh akan berwarna merah muda, dan bila dipanaskan menjadi
kering berwarna biru (Sudarmadji, 2007).
Penentuan kadar air dengan menggunakan metode oven menurut Sudarmadji
(2007) memiliki beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut: 1 Bahan lain
disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya
32
alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. 2 Dapat terjadi reaksi selama
pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap. Contohnya gula
mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi. 3 Bahan
yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah
dipanaskan.
2. Abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang
terdapat pada suatu bahan pangan (Astuti, 2012). Abu adalah zat anorganik sisa
hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya
tergantung pada macam bahan. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat berupa dua macam garam yaitu
garam organik dan anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam mallat,
oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk
garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat dan nitrat (Sudarmadji,1984).
Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan komponen
yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam mineral) yang tetap
tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Nurilmala, 2006).
Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya.
Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan oleh kandungan
mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat dipengaruhi oleh
proses demineralisasi pada saat pembuatan (Sudarmaji, 1989).
Menurut Irawati (2008) penentuan kadar abu dapat digunakan untuk berbagai
tujuan yaitu sebagai berikut:
33
1) Menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
2) Mengetahui jenis bahan yang digunakan
3) Menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.
4) Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang
tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau
kotoran lain.
3. Protein
Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung
menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein dan 2) secara tidak
langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan
(Sudarmadji, 1989).
Sejak abad ke-19, metode kjeldahl telah dikenal dan diterima secara universal
sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk makanan dan
produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode kjeldahl
merupakan metode tidak langsung yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan
yang disebut protein kasar (Estiasih dkk., 2012).
Prinsip metode kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen tersebut mengalami oksidasi dan dikonversi menjadi ammonia dan
bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan
basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam
dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi. Kadar protein pada
analisa proksimat bahan pangan pada umunya mengacu pada istilah protein kasar.
Protein kasar memiliki pengertian banyaknya kandungan nitrogen (N) yang
34
terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25. Protein kasar terdiri dari
protein dan nitrogen bukan protein (NPN) (Cherney, 2000).
Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan
untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk
pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis.
Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang
terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan
relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah,
pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi
kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel
(Chang, 1998).
4. Lemak
Cherney (2000) melaporkan bahwa lemak kasar terdiri dari lemak dan
pigmen. Zat-zat nutrien yang bersifat larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E
dan K diduga terhitung sebagai lemak kasar. Pigmen yang sering terekstrak pada
analisa lemak kasar seperti klorofil atau xanthophil. Analisa lemak kasar pada
umumnya menggunakan senyawa eter sebagai bahan pelarutnya, maka dari itu
analisa lemak kasar juga sering disebut sebagai ether extract.
Penentuan kadar minyak atau lemak suatu bahan dapat dilakukan dengan alat
ekstraktor Soxhlet. Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan cara ekstraksi yang
efisien, karena pelarut yang digunakan dapat diperoleh kembali. Dalam penentuan
kadar minyak atau lemak, bahan yang diuji harus cukup kering, karena jika masih
35
basah selain memperlambat proses ekstraksi, air dapat turun ke dalam labu dan
akan mempengaruhi dalam perhitungan (Sudarmadji, 1984).
5. Karbohidrat
Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan
perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak.
Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung kadar
karbohidrat dengan metode by difference.
E. Analisa Warna
Warna merupakan sebuah nama yang muncul atas segala aktivitas pada retina
mata. Selain itu, warna adalah salah satu mutu yang penting dalam penerimaan
makanan oleh konsumen. Panjang gelombang warna yang bisa ditangkap mata
berkisar antara 380 – 780 nanometer dan panjang gelombang ini menentukan sifat
warna. Warna juga berarti interpretasi otak dari campuran warna primer, yaitu
merah, hijau dan biru dengan komposisi tertentu (Rosimari, 2006).
Klasifikasi warna paling penting adalah sistem CIE (Commision International
de l’eclairage). Sistem lain yang digunakan untuk mendiskripsikan warna
makanan antara lain sistem Munsell,Hunter,Lovibond (de Man,1999).
Sistem Lovibond banyak digunakan untuk penentuan warna sayuran minyak.
Metode ini melibatkan perbandingan visual cahaya yang ditransmisikan melalui
kuvet kaca yang diisi dengan minyak di satu sisi bidang inspeksi; di sisi lain, filter
kaca berwarna ditempatkan di antara sumber cahaya dan pengamat. Ketika warna
pada setiap sisi bidang dicocokkan, nilai nominal filter digunakan untuk
36
menentukan warna bahan. Empat seri filter digunakan adalah filter merah, kuning,
biru, dan abu-abu. Filter abu-abu digunakan untuk menyelaraskan intensitas
ketika mengukur sampel dengan chroma intens (kemurnian warna) dan digunakan
dalam jalur cahaya melalui sampel. Peningkatan intensitas filter merah, kuning,
dan biru ditempatkan di jalur cahaya sampai kecocokan dengan sampel diperoleh
(de Man, 1999).
F. Hipotesis
Penambahan bubuk kunir putih sebagai filler pada ekstrak bubuk kunir putih
diduga berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan kadar fenol total.