ii. tinjauan pustaka

33
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kunir Putih Kunir putih atau kunir mangga merupakan tanaman semak berumur tahunan yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Benggala hingga India. Tingginya mencapai 50-75 cm. Daun kunir mangga berwarna hijau, berbentuk seperti mata lembing, bulat lonjong di bagian ujung dan pangkalnya. Panjang daun antara 30-45 cm dengan lebar 7,5-12,5 cm. Bunga bertandan muncul di bagian ujung batang. Panjang tandan bunga dapat mencapai 15 cm atau lebih (Muhlisah, 1999). Adapun klasifikasi tanaman kunir putih adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma mangga Val. Umbi yang dihasilkan adalah umbi batang. Rimpang kunir mangga berbentuk bulat, renyah dan mudah dipatahkan. Kulitnya dipenuhi semacam akar serabut yang halus hingga menyerupai rambut. Percabangan rimpang banyak dan rimpang utamanya keras. Bila rimpang dibelah tampak daging buah yang berwarna

Transcript of ii. tinjauan pustaka

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kunir Putih

Kunir putih atau kunir mangga merupakan tanaman semak berumur tahunan

yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Benggala hingga India. Tingginya mencapai

50-75 cm. Daun kunir mangga berwarna hijau, berbentuk seperti mata lembing,

bulat lonjong di bagian ujung dan pangkalnya. Panjang daun antara 30-45 cm

dengan lebar 7,5-12,5 cm. Bunga bertandan muncul di bagian ujung batang.

Panjang tandan bunga dapat mencapai 15 cm atau lebih (Muhlisah, 1999).

Adapun klasifikasi tanaman kunir putih adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma mangga Val.

Umbi yang dihasilkan adalah umbi batang. Rimpang kunir mangga berbentuk

bulat, renyah dan mudah dipatahkan. Kulitnya dipenuhi semacam akar serabut

yang halus hingga menyerupai rambut. Percabangan rimpang banyak dan rimpang

utamanya keras. Bila rimpang dibelah tampak daging buah yang berwarna

5

kekuning-kuningan di bagian luar dan putih di bagian tengah yang dapat dilihat

pada Gambar 1. Rimpang kunir mangga berbau aromatis seperti mangga yang

sudah matang. Rasanya pun agak mirip mangga sehingga masyarakat

menyebutnya kunir mangga (Muhlisah, 1999). Komposisi kimia kunir putih dapat

disajikan pada Tabel 1.

Gambar 1. Rimpang kunir putih

Tabel 1. Komposisi kimia kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g

Komponen Kunir putih Bubuk kunir putih

Energi

Air (g)

Protein

Lemak (g)

Total karbohidrat (g)

Serat kasar (g)

Abu (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Natrium (mg)

Kalium (mg)

Besi (mg)

Tiamin (mg)

Riboflavin (mg)

349,00

13,10

6,30

5,10

69,40

2,60

-

0,15

0,28

0,03

3,30

18,60

0,03

0,05

390

5,80

8,60

8,90

69,90

6,90

6,80

0,20

0,26

0,01

2,50

47,50

0,09

0,19

Sumber : Lukman, 1984 dalam Pujimulyani, 2010

Menurut Hariana (2006) dalam Rahmawati (2015), kandungan senyawa

kimia kunir putih berupa tannin, kurkumin, amilum, gul, minyak atsiri, damar,

6

saponin, flavonoid dan protein yang dapat menghambat perkembangbiakan sel

kanker. Kunir putih mengandung senyawa antioksidan, diantaranya kalkon, flavon

flavanon yang cenderung larut dalam air (Lajis, 2007; Suryani, 2009 dalam

Ariviani et al., 2013). Ekstrak air kunir putih memiliki aktivitas antioksidan yang

tinggi sehingga mampu menekan radikal bebas (Pujimulyani dkk., 2004).

Sehingga kunir putih memiliki khasiat sebagai penurun demam, penguat lambung,

mengatasi kanker, menambah nafsu makan, balur sakit perut, pengurangan lemak

perut, mengobati gatal-gatal, obat masuk angin atau kembung (Muhlisah, 1999).

Bubuk Kunir Putih

Bubuk kunir putih merupakan salah satu jenis serbuk simplisia yang banyak

digunakan sebagai obat herbal. Serbuk adalah sediaan obat tradisional berupa

butiran homogen dengan deraiat halus yang cocok; bahan bakunya berupa

simplisia sediaan galenik, atau campurannya (Anonim, 1994). Serbuk Simplisia

adalah sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang

sesuai, terbuat dari simplisia atau campuran dengan ekstrak yang cara

penggunaannya diseduh dengan air panas (Anonim, 2014).

Serbuk simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potongan-potongan halus

simplisia yang sudah dikeringkan melalui proses pembuatan serbuk dengan suatu

alat tanpa menyebabkan kerusakan atau kehilangan kandungan kimia yang

dibutuhkan dan diayak hingga diperoleh serbuk. Derajat kehalusan serbuk

simplisia untuk pembuatan ektrak merupakan simplisia halus dengan nomor

pengayak 60 dengan lebar nominal lobang 0,105 mm, garis tengahnya 0,064, dan

7

ukurannya ukuran 250 µm (Anonim, 2008). Cara pembuatan bubuk kunir putih

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir pembuatan bubuk kunir putih

Serbuk dari simplisia memiliki beberapa persyaratan yaitu (1) Kadar air

tidak lebih dari 10%; (2) Angka lempeng total tidak lebih dari 103; (3) Angka

kapang dan khamir tidak lebih dari 104; (4) Mikroba patogen negatif; (5)

Aflatoksin tidak lebih dari 30 bpj; (6) Serbuk dengan bahan baku simplisia

dilarang ditambah bahan pengawet (Anonim, 1994).

Bubuk kunir putih dapat digunakan sebagai filler (bahan pengisi) karena

mampu meningkatkan sifat alir produk. Bahan pengisi atau filler merupakan

bahan tambahan pada proses pengolahan pangan. Menurut Gennaro (1995) bahan

pengisi adalah zat inert yang ditambahkan pada tablet agar diperoleh bobot tablet

Kunir putih

Pencucian

Perajangan

Sortasi

Pengeringan

Bubuk kunir putih

Penggilingan

8

yang rasional saat dicetak. Bahan pengisi ditambahan jika jumlah zat aktif sedikit

atau sulit dikempa. Penambahan bahan pengisi ke dalam ekstrak kental perlu

dilakukan untuk menjaga agar komponen aktif di dalam ekstrak tidak mengalami

kerusakan ketika dilakukan pengeringan ekstrak pada suhu tinggi. Selain itu

penambahan bahan pengisi juga dapat mempercepat proses pengeringan

(Sembiring dan Rizal, 2011). Beberapa bahan pengisi yang sering digunakan

yakni sukrosa, laktosa, amilum, kaolin kalsium karbonat, dekstrosa, manitol,

selulosa dan sorbitol (Banker dan Anderson, 1986). Beberapa kriteria yang harus

dipenuhi bahan pengisi yakni (1) ketersediannya cukup banyak (2) tidak beracun

(3) harga murah (4) bersifat netral atau inert secara fisiologis dan (5) stabil secara

fisik dan kimia.

B. Antioksidan

Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif yang berperan penting

dalam patofisiologi terjadinya proses menua dan beberapa penyakit degeneratif.

Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi menjadi dua macam, yaitu antioksidan

alami dan antioksidan sintetis (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Antioksidan

alami dapat diperoleh dari ekstrak bagian tanaman rempah-rempah atau tanaman

obat-obatan seperti akar, batang, daun, bunga dan biji. Senyawa yang berperan

senyawa antioksidan di dalam ekstrak adalah fenol, amina aromatik, vitamin C,

tokoferol, vitamin E, flavonoid dan lain sebagainya (Sukardi, 2003). Sedangkan

antioksidan sintetis merupakan antioksidan buatan yang memiliki kemampuan

untuk menangkap radikal bebas. Contoh antioksidan sintetis adalah butil hidroksi

9

anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), ester dari asam galat, misalnya gallate

propil (Sayuti dan Yenrina, 2015).

Menurut Sayuti dan Yenrina (2015), antioksidan terbagi menjadi 3 golongan

berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya antara lain:

1. Antioksidan primer bekerja untuk mencegah pembentukan radikal baru, yaitu

mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak

negatifnya. Contoh antioksidan primer adalah Superoksidase dismutase

(SOD), Glutation peroksidase (GPx) dan katalase.

2. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang bertindak

sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi

berantai. Antioksidan sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam,

penangkap oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi senyawa non radikal,

penyerap radiasi UV atau deaktivasi singlet oksigen. Contoh antioksidan

sekunder adalah vitamin E dan C, β-karoten dan isoflavon

3. Antioksidan tersier bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang

disebabkan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim

yang memperbaiki DNA dan metionin sulfida reduktase (Putra, 2008 dan

Anonim, 2008 dalam Sayuti dan Yenrina, 2015).

1. Senyawa Antioksidan

Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron atau reduktan.

Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi

berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi. Antioksidan bekerja

10

dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksigen

sehingga aktivitas senyawa pengoksidasi dapat dihambat (Winarsi, 2007). Adapun

senyawa aktif yang besifat sebagai antioksidan antara lain, yaitu:

1) Vitamin E

Menurut Nimse dan Pal (2015), vitamin E atau α-tocopherol (Gambar 3)

adalah antioksidan yang larut dalam lemak dan berfungsi sebagai 'pemutus rantai'

selama peroksidasi lipid pada membran sel dan berbagai partikel lipid termasuk

low-density lipoprotein (LDL).

Gambar 3. Struktur kimia vitamin E

Sumber : Nimse dan Pal (2015)

Vitamin E berfungsi memotong radikal lipid peroxyl (LOO) dan mengakhiri

reaksi rantai peroksidasi lipid, reaksi ditunjukkan sebagai berikut :

LOO˙ + α-tocopherol – OH → LOOH + α-tocopherol – O˙

Radikal tokoferoksil yang dihasilkan relatif stabil dan dalam keadaan normal,

tidak cukup reaktif untuk memulai peroksidasi lipid itu sendiri, yang merupakan

kriteria penting dari antioksidan yang baik. Vitamin E memberikan efek

antioksidan dengan peredam radikal peroksil lipid dalam sistem in vivo serta in

vitro. Vitamin E bukanlah peredam dari radikal -OH dan alkoxyl (

-OR) yang

efisien secara in vivo.

11

2) Vitamin C

Menurut Nimse dan Pal (2015), vitamin C atau asam askorbat, adalah

antioksidan yang larut dalam air. Selain itu, vitamin C meregenerasi vitamin E

dalam membran sel dalam kombinasi dengan GSH atau senyawa yang mampu

menyumbangkan pengurangan setara. Mekanisme vitamin C berubah menjadi

radikal askorbat (Gambar 4) dengan jalan menyumbangkan elektron kepada

radikal lipid untuk mengakhiri reaksi berantai peroksidasi. Pasangan radikal

askorbat bereaksi dengan cepat untuk menghasilkan satu molekul askorbat dan

satu molekul dehidroaskorbat. Dehidroaskorbat tidak memiliki kapasitas

antioksidan. Oleh karena itu, dehidroaskorbat diubah kembali menjadi askorbat

dengan penambahan dua elektron. Tahap terakhir dari penambahan dua elektron

ke dehidroaskorbat telah diusulkan untuk dilakukan oleh oksidoreduktase.

Gambar 4. Mekanisme penghambatan radikal bebas oleh vitamin C

Sumber : Nimse dan Pal (2015)

3) Karotenoid

Menurut Nimse dan Pal (2015), karotenoid termasuk di antara fitonutrien

yang larut dalam lemak. Likopen dan β-karoten adalah karotenoid yang menonjol

12

di antara 600 senyawa yang berbeda. Karotenoid terkenal sebagai peredam radikal

peroksil yang lebih efisien dibandingkan dengan ROS lainnya. Radikal peroksil

yang dihasilkan dalam proses peroksidasi lipid dapat merusak lipid pada dinding

sel. Peredaman radikal peroksil oleh karotenoid dapat mengganggu urutan reaksi

dan mencegah kerusakan pada lipid sel. Rantai alkil panjang tidak jenuh dalam

karotenoid menyebabkan sifat karotenoid sangat lipofilik. Karotenoid diketahui

memainkan peran penting dalam perlindungan membran seluler dan lipoprotein

terhadap ROS karena aktivitas peredaman radikal peroksil. Karotenoid bereaksi

radikal peroksil untuk membentuk produk karbon yang berpusat pada karbon

yang stabil.

Likopen adalah antioksidan paling ampuh yang secara alami ada dalam

banyak buah dan sayuran. Tingginya jumlah ikatan rangkap dua terkonjugasi di

likopen menyebabkan likopen mampu meredamkan oksigen singlet. Likopen

memiliki kemampuan peredaman oksigen singlet yang kuat dibandingkan dengan

α-tokoferol 1 atau β-karoten (Nimse dan Pal, 2015).

β-karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yang dapat ditemukan

pada buah-buahan berwarna hijau tua atau kuning tua (seperti wortel). Sebagian β-

karoten diubah menjadi vitamin A yang keduanya dapat bertindak sebagai

antioksidan di dalam tubuh (Tapan, 2005). β-karoten banyak dikonsumsi sebagai

suplemen karena memiliki berbagai manfaat antara lain untuk kesehatan mata,

mencegah penyakit kanker, meningkatkan daya tahan tubuh melalui peningkatan

komunikasi antarsel, mengurangi risiko terjadinya stroke, dan memberikan efek

13

analgetik serta antiinflamasi (Kasih, 2008). Struktur kimia β-karoten disajikan

pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kimia β-karoten

Sumber : Fennema (2008)

Beta karoten memiliki nama kimia (all-E)-1,1'-(3,7,12,16-

tetramethyl1,3,5,7,9,11,13,15,17-octadecanonaene-1,18-diyl) bis (2,6,6-

trimethylcyclohexene). Beta karoten mengandung tidak kurang dari 96,0 % dan

tidak lebih dari 101,0% rumus molekul C40H56 dengan bobot molekul 536,87

g/mol serta titik leleh antara 176o dan 182

o yang disertai dekomposisi. Senyawa

ini harus disimpan dalam kemasan tertutup rapat dan terlindung dari cahaya

karena mudah terdegradasi oleh oksidan serta cahaya (Anonim, 2006). Beta

karoten yang termasuk dalam golongan karotenoid memiliki sifat larut dalam

minyak, kloroform, benzena, karbon disulfida, aseton, dan petroleum eter; tidak

larut dalam air, etanol, dan metanol dingin; peka terhadap oksidasi, autooksidasi,

dan cahaya; serta memiliki ketahanan panas dalam keadaan vakum (Meyer, 1966

dalam Gunawan, 2009).

Beta karoten dengan pembatasan tertentu dapat memainkan peran donor atom

hidrogen untuk radikal peroksil yang menimbulkan radikal kation. Diperkirakan

yang terakhir ini relatif stabil karena delokalisasi elektron tidak berpasangan

dalam polyene terkonjugasi. β-karoten bereaksi dengan radikal lipid peroksil pada

konsentrasi oksigen rendah menghasilkan pembentukan karoteneperoksida non-

14

radikal. Molekul oksigen akan terikat dengan karoten-radikal, dan aduk yang

terbentuk selanjutnya berinteraksi dengan molekul lain dari karoten yang

memproduksi, karoten epoksida dan senyawa karbonil karoten (Polumbryk et al.,

2013). Reaksi β-karoten dengan radikal peroksil dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Reaksi β-karoten dengan radikal peroksil

Sumber : (Polumbryk et al., 2013)

4) Kurkumin

Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen warna

kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk golongan

fenolik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut dalam

pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada

suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi

basa dengan pH diatas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk

samping berupa trans-6- (4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil) -2,4- diokso-5-heksenal

(mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara dengan adanya

cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat, aldehid ferulat,

asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat dkk, 2008). Struktur kimia kurkuminoid

15

yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin

ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-

demetoksikurkumin

Sumber : Nimse dan Pal (2015)

Kurkumin menunjukkan aktivitas antioksidan yang luar biasa, dan telah

ditemukan sebagai peredam radikal bebas yang sangat baik. Kurkumin memiliki

kemampuan antioksidan yang sebanding dengan vitamin E. Aktivitas radikal

bebas dari kurkumin berkorelasi dengan gugus OH fenolik dan gugus CH2 dari

bagian β-diketon. Radikal bebas dapat mengalami transfer elektron atau atom H

abstrak dari salah satu dari dua situs ini. Namun, radiolisis denyut dan metode

biokimia lainnya dikreditkan aktivitas antioksidan kurkumin ke grup OH fenolik

(Nimse dan Pal, 2015).

16

.

Gambar 8. Mekanisme penghambatan radikal bebas oleh kurkumin yang diinisiasi

oleh gugus fenolik

Sumber : Nimse dan Pal (2015)

Gambar 8 menunjukkan mekanisme otoksidasi kurkumin yang diprakarsai

oleh abstraksi hidrogen dari salah satu gugus hidroksil fenolik. Radikal fenoksil

bergerak ke dalam rantai karbon meninggalkan kuinon methida yang akhirnya

dipadamkan oleh molekul air. Radikal methida melakukan 5-ekso-siklisasi dengan

17

ikatan ganda memberikan cincin siklopentadione dan menghasilkan radikal

berpusat karbon (Nimse dan Pal, 2015).

Reaksi kurkumin dengan oksigen molekuler (O2) menghasilkan radikal

peroksil. Radikal peroksil kemudian direduksi menjadi hidroperoksida dengan

mengabstraksi atom hidrogen dari molekul kurkumin lainnya, menyebarkan reaksi

berantai autoksidasi. Selanjutnya, hydroperoxide kehilangan air dan menata

kembali ke dalam spiro-epoxide. Hidrolisis epoksida oleh kelompok hidroksil (air

yang diturunkan) menghasilkan pembentukan produk akhir bicyclopentadione.

Telah ditemukan bahwa kompleks tembaga kurkumin (curcumin-Cu (II))

menunjukkan aktivitas SOD yang menjanjikan, dengan peningkatan khasiat

antioksidan (Nimse dan Pal, 2015).

5) Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang terbesar

(Harbone, 1987). Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pasti

ditemukan pada setiap telah ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Struktur umum

untuk flavonoid dapat terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Struktur umum flavonoid

Sumber : Kumar dan Pendey (2013)

18

Ketahanan oksidasi dapat dibedakan dari adanya gugus hidroksil pada rantai

C3 (Robinson,1995). Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai

glikosida dan aglikon flavonoid (Harbone, 1987). Flavonoid merupakan senyawa

pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim

maupun non enzim (Robinson,1995). Pada tumbuhan flavonoid ini berfungsi

sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, antimikroba dan antivirus

(Robinson,1995). Flavonoid dapat dijadikan obat tradisional karena flavonoid

dapat bekerja sebagai inhibitor pernafasan, menghambat aldoreduktase,

monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase dan lipooksigenase

(Robinson,1995).

Flavonoid terbukti mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat

yaitu sebagai antioksidan yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping

sel darah, merangsang pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan

melebarkan pembuluh darah (vasorelaction) dan juga menghambat pertumbuhan

sel kanker (Winarsi, 2007).

Mekanisme aksi antioksidan dapat mencakup (1) supresi pembentukan ROS

baik oleh inhibisi enzim atau oleh elemen pengkelat yang terlibat dalam generasi

radikal bebas; (2) pengikatan ROS; dan (3) peningkatan regulasi atau

perlindungan pertahanan antioksidan. Tindakan flavonoid melibatkan sebagian

besar mekanisme yang disebutkan di atas. Beberapa efek yang dimediasi oleh

flavonoid mungkin merupakan hasil gabungan dari aktivitas pengikatan radikal

dan interaksi dengan fungsi enzim. Flavonoid menghambat enzim yang terlibat

dalam pembentukan ROS, seperti mikrosomal monooxygenase, glutathione S-

19

transferase, mitochondrial succinoxidase, NADH oxidase, dan sebagainya (Kumar

dan Pendey, 2013).

Gambar 10. Reaksi penghambatan radikal bebas oleh flavonoid

(a) Pengikatan ROS oleh flavonoid; (b) Pengikatan logam

Sumber : Kumar dan Pendey (2013)

Peroksidasi lipid adalah konsekuensi umum dari stres oksidatif. Flavonoid

melindungi lipid dari kerusakan oksidatif dengan berbagai mekanisme. Ion logam

bebas meningkatkan pembentukan ROS dengan mereduksi hidrogen peroksida

sehingga menyebabkan pembentukan radikal hidroksil yang sangat reaktif.

Adanya flavonoid yang menyebabkan potensi redoks lebih rendah (Fl-OH) secara

termodinamik mampu mengurangi radikal bebas yang sangat mengoksidasi

(potensi redoks dalam kisaran 2.13-1.0 V) seperti superoksida, peroksil, alkoksil,

dan radikal hidroksil oleh sumbangan atom hidrogen (Gambar 10(a)). Kapasitas

flavonoid untuk kelasi ion logam (besi, tembaga, dll) juga mampu menghambat

radikal bebas. Quercetin dikenal karena sifat iron-chelating dan penstabil-besi.

Hal ini terjadi karena adanya pengikatan logam pada posisi tertentu dari cincin

20

pada struktur flavonoid yang berbeda (Kumar dan Pendey, 2013). Pengikatan

logam oleh flavonoid ditunjukkan pada Gambar 10 (b).

2. Aktivitas Antioksidan

Aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kandungan lipid,

konsentrasi antioksidan, suhu, tekanan oksigen, dan komponen kimia dari

makanan secara umum seperti protein dan air. Proses penghambatan antioksidan

berbeda-beda tergantung struktur kimia dan variasi mekanisme (Sayuti dan

Yenrina, 2015).

Menurut Ketaren (1986) dalam Sayuti dan Yenrina (2015), mekanisme

antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada

radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam

mekanisme reaksi yaitu:

1. Pelepasan hidrogen dari antioksidan

2. Pelepasan elektron dari antioksidan

3. Addisi asam lemak ke cicin aromatik pada antioksidan

4. Pembentuk senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari

antioksidan.

Penentuan aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan pengujian

antioksidan yang ada pada suatu bahan. Adapun metode pengujian antioksidan

yang dapat dilakukan, diantaranya yaitu metode DPPH dan fenol total.

1) DPPH (1,1-diphenyl-2- picrylhydrazil)

21

Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas

antioksidan adalah dengan menggunakan radikal bebas DPPH. Pengukuran

antioksidan dengan metode DPPH adalah metode pengukuran antioksidan yang

sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti halnya metode

lain (Sayuti dan Yenrina, 2015).

Pada metode ini, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan

bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1-

diphenyl-2-picrylhydrazin yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1-

diphenyl-2-picrylhydrazin akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua

menjadi warna merah muda atau kuning pucat dan bisa diamati dan dilihat

menggunakan spektrofotometer sehingga aktivitas peredam radikal bebas oleh

sampel dapat dilihat (Molyneux, 2004).

Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan

suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang

517 nm dengan warna violet gelap. Penangkap radikal bebas menyebabkan

elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna

sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005). Reaksi radikal

DPPH dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 11.

22

Gambar 11. Reaksi radikal DPPH dengan antioksidan

Sumber : Windono et. al. (2001) dalam Sayuti dan Yenrina (2015)

2) Fenol Total

Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi dan reduksi

kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi

Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari

asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air,

natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan

bromin (Folin dan Ciocalteu, 1944).

Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah oksidasi gugus fenolik hidroksil.

Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali), mereduksi asam heteropoli

menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten (Mo-W). Fenolat hanya terdapat

pada larutan basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan produknya tidak stabil pada

kondisi basa. Selama reaksi belangsung, gugus fenolik-hidroksil bereaksi dengan

pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat

berwarna biru dengan struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan

23

spektrofotometer. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan

konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa

fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli

sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Singleton dan Rossi, 1965).

Gambar 12. Reaksi senyawa fenol dengan pereaksi Folin-Ciocalteu

Sumber : Anonim (2011)

C. Ekstraksi dan Proses Selama Pemasakan

1. Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan atau pemisahan komponen zat aktif suatu

simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk

mendapatkan komponen-komponen bioaktif suatu bahan (Harborne, 1987).

Menurut Anonim (2000), metode ekstraksi dengan pelarut dibagi menjadi 2

cara yaitu :

1) Cara dingin

a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan

prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi

kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).

24

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak

(perkolat) yang jumlahnya 1- 5 kali bahan.

2) Cara panas

a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi sempurna.

b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara

umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.

d. lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-

98°C) selama waktu tertentu (15 - 20 menit ).

25

e. Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (~30°C) dan temperatur

sampai titik didih air.

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan

demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih

yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor

utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah selektivitas,

kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah

lingkungan dan keamanan (Anonim, 2000).

Ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat kepolaran zat dalam pelarut

saat ekstraksi. Senyawa polar hanya akan larut pada pelarut polar, seperti etanol,

metanol dan air. Sedangkan senyawa non-polar hanya akan larut pada pelarut non-

polar, seperti eter, kloroform dan n-heksana (Mukhriani, 2014).

Salah satu pelarut polar yang banyak digunakan untuk melarutkan zat kimia

adalah air. Air adalah senyawa kimia dengan rumus kimia H2O (Gambar 13),

artinya satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara

kovalen pada satu atom oksigen. Air mempunyai sifat tidak berwarna, tidak

berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu tekanan 100 kPa (1 bar) dan

suhu 273,15 K (0oC). Air termasuk dalam pelarut polar sehingga mampu

mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin,

gula, asam amino dan glikosida (Harbornne, 1987).

26

Gambar 13. Struktur kimia air

Semakin tinggi suhu dan lama waktu ekstraksi maka semakin besar

kandungan fenol yang terekstrak. Sesuai dengan Tambun dkk. (2016), ektraksi

pada suhu 60oC dengan waktu 9 jam memiliki kandungan fenol yang lebih banyak

dibanding perlakuan lain.

2. Proses Selama Pemasakan

Salah satu proses pengolahan bahan pangan adalah menggunakan pemanasan.

Pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan dikenal dengan proses

pemasakan. Proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100oC atau lebih

dengan tujuan utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak, aroma yang lebih

baik, tekstur yang lebih lunak, untuk membunuh mikrobia dan menginaktifkan

semua enzim. Pemasakan dapat dilakukan dengan perebusan dan pengukusan

(boiling dan steaming pada suhu 100oC), broiling (pemanggangan daging), baking

(pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan

minyak) dengan suhu antara 150o-300

oC (Winarno, 2004; Wardayati, 2012;

Sumiati, 2008 dalam Sundari dan dkk., 2015).

27

Proses pemasakan menyebabkan terjadi perubahan baik secara fisik maupun

kimia. Perubahan secara fisik yang terjadi selama pemasakan dapat digolongkan

dalam beberapa parameter antara lain:

1. Penyusutan Volume

Penurunan nilai rendeman ini erat kaitannya dengan kandungan air yang

terdapat dalam bahan. Semakin lama pemanasan dan menggunakan suhu yang

tinggi, kandungan air pada bahan akan semakin menurun sehingga berat bahan

akan mengalami penurunan yang di akibatkan kehilangan air pada saat

pengeringan (Winarti dkk. 2011).

2. Peningkatan daya serap air

Semakin lama pengeringan maka daya serap air bubuk cincau hitam instan

semakin meningkat. Peningkatan daya serap air disebabkan oleh bahan yang

terlalu kering dapat menyerap air di sekitar lingkungan akan semakin banyak

sehingga dapat menyebabkan daya serap air meningkat (Siregar dkk., 2017).

Hector (2004) yang menyatakan bahwa semakin kering suatu produk maka

kemampuan produk tersebut untuk menyerap air menjadi lebih banyak apabila

dibandingkan produk yang lembab.

Peningkatan daya serap air disebabkan oleh adanya pati yang telah

tergelatinisasi selama proses pengeringan (Asgar dan Mushadad, 2008).

Gelatinisasi meningkatkan daya serap air karena terputusnya ikatan hidrogen

antarmolekul pati sehingga air lebih mudah masuk ke dalam molekul pati

(Santosa et al. 1998).

28

3. Warna

Perubahan warna yang terjadi selama pemasakan cenderung menimbulkan

warna yang lebih gelap yang diakibatkan oleh reaksi mailard. Hal ini terjadi

karena, reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil

dekomposisi lemak yang ada di dalam produk sehingga menghasilkan

melanoidin berwarna coklat gelap (Winarno, 1986).

Selain itu, pemanasan juga dapat menurunkan warna alami yang ada dalam

suatu bahan, khususnya karoten. Menurut Wahyuni dan Widjanarko (2008),

kandungan karoten akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan

lama waktu pemasakan. Hal ini disebabkankan karena karoten terdegradasi

akibat proses oksidasi pada suhu tinggi yang menyebabkan struktur karoten

tidak stabil. Preedy (2012) menyatakan bahwa karotenoid akan berubah

menjadi Z-isomer yang masih belum menyebabkan perubahan warna. Ketika

oksidasi berlanjut maka akan terbentuk senyawa volatil dan degradasi

senyawa karoten menjadi aldehid dan keton dengan berat molekul yang lebih

rendah.

Menurut Belitz et al. (2009) stabilitas karoten berkaitan dengan keberadaan

ikatan rangkap dan ikatan tidak jenuh dalam struktur molekul karoten. Ikatan

rangkap pada rantai hidrokarbon karoten berada dalam bentuk trans. Struktur

karoten dapat mengalami isomerisasi termal selama pemasakan menjadi

bentuk cis. Senyawa karoten dalam bentuk cis memiliki stabilitas rendah dari

trans yang mengakibatkan senyawa tersebut mudah teroksidasi pada kondisi

29

perlakuan pamanasan. Karoten paling tidak stabil dibandingkan dengan

golongan pigmen yang lain seperti klorofil dan flavonoid.

Proses pemasakan juga dapat menyebabkan perubahan kimia yang

diantaranya, yaitu :

1. Denaturasi protein dan inaktivasi enzim

Pemanasan diatas suhu 60˚C yang dilakukan terhadap suatu bahan pangan

dapat menyebabkan protein pada bahan pangan terdenaturasi (Danur, 1993).

Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya (Winarno, 1986). Hal

tersebut yang menyebabkan terjadinya koagulasi.

Menurut Winarno (1986), enzim-enzim yang gugus prostetiknya terdiri dari

protein akan kehilangan aktivitasnya sehingga tidak berfungsi lagi sebagai

enzim yang aktif.

2. Peningkatan antioksidan

Penelitian Gokcen (2016) menunjukkan kandungan fenolik buah kurma

tertinggi ada pada perlakuan microwave, diduga suhu tinggi selama perlakuan

microwave menyebabkan kerusakan sel yang lebih besar dan mengarah pada

pelepasan senyawa fenolik. Shaimaa et al. (2016) menambahkan bahwa

pendidihan dapat meningkatkan kandungan fenolik total cabe karena

pemasakan mampu menonaktifkan enzim oksidase polifenol dan mengarah

pada penghambatan degradasi polifenol.

30

D. Analisa Proksimat

Analisa proksimat merupakan pengujian kimiawi untuk mengetahui

kandungan nutrien suatu bahan baku pakan atau pakan. Metode analisa proksimat

pertama kali dikembangkan oleh Henneberg dan Stohman pada tahun 1860 di

sebuah laboratorium penelitian di Weende, Jerman (Hartadi et al., 1997).

Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode

umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan,

tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan

hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung nilai total digestible nutrient

(TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu

bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya

tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara tepat, tidak

dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan

(Suparjo, 2010).

Analisa proksimat yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya :

1. Air

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan

berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis).

Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan,

karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan

pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet

bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,

kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan

31

pada bahan pangan. Kadar air setiap bahan berbeda tergantung pada kelembaban

suatu bahan. Semakin lembab tekstur suatu bahan, maka akan semakin tinggi

persentase kadar air yang terkandung di dalamnya (Winarno, 2004).

Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven biasa atau Thermogravimetri

yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan 20 pemanasan pada

suhu 105oC. Penimbangan bahan dengan berat konstan yang berarti semua air

sudah diuapkan dan cara ini relatif mudah dan murah. Percepatan penguapan air

serta menghindari terjadinya reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat

dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Bahan yang telah

mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan dengan suhu kurang lebih 105oC dapat

mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan bahan. Suatu bahan yang

telah mengalami pengeringan lebih bersifat hidroskopis dari pada bahan asalnya.

Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan telah

ditempatkan dalam ruangan tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau

desikator yang telah diberizat penyerapan air. Penyerapan air atau uap ini dapat

menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, kalium klorida, kalium

hidroksida, kalium sulfat atau bariumoksida. Silika gel yang digunakan sering

diberi warna guna memudahkan bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau

belum, jika sudah jenuh akan berwarna merah muda, dan bila dipanaskan menjadi

kering berwarna biru (Sudarmadji, 2007).

Penentuan kadar air dengan menggunakan metode oven menurut Sudarmadji

(2007) memiliki beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut: 1 Bahan lain

disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya

32

alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. 2 Dapat terjadi reaksi selama

pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap. Contohnya gula

mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi. 3 Bahan

yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah

dipanaskan.

2. Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang

terdapat pada suatu bahan pangan (Astuti, 2012). Abu adalah zat anorganik sisa

hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya

tergantung pada macam bahan. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral.

Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat berupa dua macam garam yaitu

garam organik dan anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam mallat,

oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk

garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat dan nitrat (Sudarmadji,1984).

Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan komponen

yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam mineral) yang tetap

tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Nurilmala, 2006).

Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya.

Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan oleh kandungan

mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat dipengaruhi oleh

proses demineralisasi pada saat pembuatan (Sudarmaji, 1989).

Menurut Irawati (2008) penentuan kadar abu dapat digunakan untuk berbagai

tujuan yaitu sebagai berikut:

33

1) Menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan

2) Mengetahui jenis bahan yang digunakan

3) Menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.

4) Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang

tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau

kotoran lain.

3. Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung

menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein dan 2) secara tidak

langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan

(Sudarmadji, 1989).

Sejak abad ke-19, metode kjeldahl telah dikenal dan diterima secara universal

sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk makanan dan

produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode kjeldahl

merupakan metode tidak langsung yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan

yang disebut protein kasar (Estiasih dkk., 2012).

Prinsip metode kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung

nitrogen tersebut mengalami oksidasi dan dikonversi menjadi ammonia dan

bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan

basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam

dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi. Kadar protein pada

analisa proksimat bahan pangan pada umunya mengacu pada istilah protein kasar.

Protein kasar memiliki pengertian banyaknya kandungan nitrogen (N) yang

34

terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25. Protein kasar terdiri dari

protein dan nitrogen bukan protein (NPN) (Cherney, 2000).

Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan

untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk

pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis.

Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang

terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan

relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah,

pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi

kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel

(Chang, 1998).

4. Lemak

Cherney (2000) melaporkan bahwa lemak kasar terdiri dari lemak dan

pigmen. Zat-zat nutrien yang bersifat larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E

dan K diduga terhitung sebagai lemak kasar. Pigmen yang sering terekstrak pada

analisa lemak kasar seperti klorofil atau xanthophil. Analisa lemak kasar pada

umumnya menggunakan senyawa eter sebagai bahan pelarutnya, maka dari itu

analisa lemak kasar juga sering disebut sebagai ether extract.

Penentuan kadar minyak atau lemak suatu bahan dapat dilakukan dengan alat

ekstraktor Soxhlet. Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan cara ekstraksi yang

efisien, karena pelarut yang digunakan dapat diperoleh kembali. Dalam penentuan

kadar minyak atau lemak, bahan yang diuji harus cukup kering, karena jika masih

35

basah selain memperlambat proses ekstraksi, air dapat turun ke dalam labu dan

akan mempengaruhi dalam perhitungan (Sudarmadji, 1984).

5. Karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan

perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak.

Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung kadar

karbohidrat dengan metode by difference.

E. Analisa Warna

Warna merupakan sebuah nama yang muncul atas segala aktivitas pada retina

mata. Selain itu, warna adalah salah satu mutu yang penting dalam penerimaan

makanan oleh konsumen. Panjang gelombang warna yang bisa ditangkap mata

berkisar antara 380 – 780 nanometer dan panjang gelombang ini menentukan sifat

warna. Warna juga berarti interpretasi otak dari campuran warna primer, yaitu

merah, hijau dan biru dengan komposisi tertentu (Rosimari, 2006).

Klasifikasi warna paling penting adalah sistem CIE (Commision International

de l’eclairage). Sistem lain yang digunakan untuk mendiskripsikan warna

makanan antara lain sistem Munsell,Hunter,Lovibond (de Man,1999).

Sistem Lovibond banyak digunakan untuk penentuan warna sayuran minyak.

Metode ini melibatkan perbandingan visual cahaya yang ditransmisikan melalui

kuvet kaca yang diisi dengan minyak di satu sisi bidang inspeksi; di sisi lain, filter

kaca berwarna ditempatkan di antara sumber cahaya dan pengamat. Ketika warna

pada setiap sisi bidang dicocokkan, nilai nominal filter digunakan untuk

36

menentukan warna bahan. Empat seri filter digunakan adalah filter merah, kuning,

biru, dan abu-abu. Filter abu-abu digunakan untuk menyelaraskan intensitas

ketika mengukur sampel dengan chroma intens (kemurnian warna) dan digunakan

dalam jalur cahaya melalui sampel. Peningkatan intensitas filter merah, kuning,

dan biru ditempatkan di jalur cahaya sampai kecocokan dengan sampel diperoleh

(de Man, 1999).

F. Hipotesis

Penambahan bubuk kunir putih sebagai filler pada ekstrak bubuk kunir putih

diduga berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan kadar fenol total.