Post on 22-Feb-2023
ETNOLINGUISTIK
UNGKAPAN TRADISIONAL JAWA
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Etnolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Wakit Abdullah, M. Hum.
Oleh
Chintya Kusumawardhani (C0111009)
Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni
Rupa
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan yang merupakan kompleks nilai-nilai dan gagasan
manusia terhadap lingkungan. Kehidupan manusia di suatu selalu
berusaha mengadaptasikan dan melawan keadaan lingkungan. Oleh
sebab itu kebudayaan juga merupakan usaha manusia untuk merubah
alam lingkungannya. Suatu perubahan kebudayaan (cultural change)
cepat atau lambat, sangat tergantung dengan manusia sebagai
pendukungnya. Perubahan tersebut tergantung dengan sikap
masyarakat terhadap kebudayaan itu dan bagaimana cara masyarakat
menanggapi kebudayaan. Makin cinta dan merasa kebudayaan itu
menjadi miliknya sendiri, makin bertanggung jawablah terhadap
kebudayaan itu. Sehingga kebudayaan itu dapat hidupp dan
berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Akan tetapi
masyarakat di dalam menciptakan kebudayaannya tersebut sebenarnya
merupakan hasil dua proses. Proses pertama terjadi sebagai akibat
hubungan manusia dengan lingkungannya. Di dalam proses tersebut
manusia cenderung untuk selalu menyesuaikan (adaptasi) dengan
cara memberi tanggapan secara aktif dalam waktu yang relatif
lama. Akhirnya terciptalah suatu kebudayaan. Proses yang ke dua
yaitu bagaimana manusia itu mengembangkan kebudayaannya. Di dalam
proses ini, menyangkut kemampuan manusia berpikir secara
metaforik; yaitu kemampuan manusia untuk memperluas atau
mempersempit interpretasi arti lambang-lambang. Oleh sebab itu
dikatakan, bahwa kebudayaan itu tidak lain adalah suatu pemahaman
terhadap lambang-lambang yang dapat diwariskan dari generasi ke
generasi, sebagai suatu media sosial. Salah satu lambang yang
dipergunakan sebagai media sosial tadi dapat dikemukakan di sini
ialah ungkapan tradisional. Ungkapan berkembang di dalam
masyarakat secara oral atau lisan, artinya berkembang dari mulut
ke mulut. Biasanya ungkapan ini dipergunakan sebagai suatu cara,
bagaimana orang Jawa menyampaiakn norma-normanya dengan tidak
secara langsung. Norma-norma ini dipergunakan sebagai sistem
dalam proses sosialisasi dan sistem pengendalian sosial yang efe
suatu prinsip keselarasan yang meliputi ketenangan dan
keteraturan yang telah dinyatakan dalam suatu semboyan tata
tentrem keta raharja
. Jika diterjemahkan secara harafiah berbunyi teratur, damai,
makmur, nasib baik. Khusus kata teratur sebenarnya memberi
pernyataan kesanggupan untuk memberi kehidupan, memelihara suatu
kerapian yang sempurna. Orang Jawa yakin bahwa dengan
mempertahankan hal tersebut akan terhindar dari kekacauan tidak
akan terjadi. Ungkapan tradisional Jawa sebagai suatu media,
sudah barang tentu mempunyai nilai yang baik dan tidak baik. Di
sini ungkapan yang mempunyai nilai tidak baik berlaku sangat
relatif, berhubungan dengan ruang waktu berlakunya. Nilai yang
baik dijadikan pegangan sedangkan yang tidak baik dikesampingkan.
Nilai yang mengandung fungsi pokok sebagai penegak norma sosial
yang dipergunakan untuk pegangan perilaku masyarakat. Makna yang
ada dalam ungkapan tradisional yang dimiliki orang Jawa bersifat
metafora dan ada yang secara wajar atau lugu, semuanya dapat
diperlajari dengan seksama sehingga dapat dipergunakan untuk
melihat aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu
peneliti memilih ungkapan tradisional Jawa sebagai topik
pembahasan.
B. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan supaya tidak terlalu luas, perlu
dijelaskan objek kajian. Dalam penelitian ini, penulis membatasi
pada ungkapan tradisional masyarakat Jawa pada keluarga Daniel
Murtopo, Danukusuman, Serengan, Solo dalam makna leksikal, makna
kultural dan fungsi. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan
penelitian dan mempermudah dalam menganalisis.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka
permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana makna leksikal dan makna kultural dalam ungkapan
tradisional masyarakat Jawa? 2. Bagaimana fungsi ungkapan
tradisional masyarakat Jawa?
D. Tujuan Penelitian
1.Mendeskripsikan maknal leksikal dan makna kultural ungkapan
tradisional masyarakat Jawa. 2.Mendeskripsikan fungsi ungkapann
tradisional masyarakat Jawa.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Etnolinguistik
Istilah etnolinguistik berasal dari kata etimologi yang berarti
ilmu yang mempelajari tentang suku-suku dan linguistik yang
berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian
manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9), yang
lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa
dilakukan oleh para ahli etnologi dengan pendekatan linguistik
(Shri Ahimsa, 1997:3).
Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah
(1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan
masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan,
bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang
linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap
kebahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang
sangat menonjol ialah masalah relavitas bahasa. Relativitas
bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang
menentukan pandangan dunianya melalui ketegori gramatikal dan
klasifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi
bersama kebudayaan (Hari murti Kridalaksana, 1983:145). Menurut
Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik
yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa,
klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial
dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan
lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan
praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat.
B. Ungkapan Tradisional
Menurut KBBI ungkapan tradisional adalah kalimat perkataan yang
tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang
sesuai dengan sikap dan cara berpikir serta bertindak yang
selalu berpegang teguh pada norma, adat dan kebiasaan yang turun
temurun dalam sekelompok masyarakat.
C. Makna
Pengertian sense ‘makna’ dalam semantik dibedakan dalam
meaning ‘arti’. Sense ‘makna’ adalah pertautan yang ada diantara
unsur -unsur bahasa itu sendiri. Mengkaji dan memberikan makna
suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan
dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda
dari kata-kata lain. Sedangkan meaning ‘arti’ menyangkut makna
kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat
dalam kamus sebagai leksikon. Makna erat kaitannya dengan
semantik, oleh karena itu istilah ungkapan tradisional Jawa akan
dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural.
1. Makna leksikal
Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem atau
makna kata yang berdiri sendiri, baik dalam bentuk leksem
atau berimbuhan. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:133)
menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur
bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain, makna
leksikal ini mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari
penggunaannya atau konteksnya. Sedangkan menurut Fatimah
Djajasudarma (1993:13) makna leksikl adalah makna kata-kata
yang dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk tuturan maupun
dalam bentuk kata dasar.
2. Makna kultural
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat
dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999:3)
Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.
Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada
sesuatu. Simbol adalah objek atau peristiwa yang merujuk pada
sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita
rasakan. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nama
orang Jawa pada mahasiswa bidang Linguistik Sastra Daerah
angkatan 2011. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa makna
kultumurti Kridalaksana, 1983:145). Menurut Wakit Abdullah
(2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh
perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa,
wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan
budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan
lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan
praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat sekitar.
D. FUNGSI
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik leawat
tulisan, lisan ataupu gerakan (bahasa isyarat) dengan tujuan
menyampaikan maksud hati atau kemampuan kepada lawan bicaranya.
Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat dan sekaligus mudah
membaurkan dirinya dengan segaa bentuk masyarakat. Bahasa
menunjukkan cerimanan pribadi seseorang. Karakter, watak atau
pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia
ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun,
sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi
penuturnya berbudi. Bahasa memang memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual sosial dan emosional. Bahasa dalam
ungkapan tradisional Jawa memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi
nasehat (ajaran, dorongan) dan larangan dalam masyarakat.
1. Nasihat
Nasihat adalah suatu didikan yang diberikan berdasarkan
kebenaran dengan maksud untuk menegur dan membangun seseorang
dengan tujuan yang baik. Nasehat selalu bersifat mendidik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasihat berarti (1)
ajaran atau pelajaran baik; ujaran petunjuk, peringatan,
teguran yang baik. (2) amanat yang terkandung dalam suatu cerita
2. Larangan
Larangan adalah perintah atau aturan yang melarang suatu
perbuatan karena berbagai faktor yang melatar belakangi. Salah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik
yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara
menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian
mencakup kesatuan dan keserangkaian proses penentuang kerangka
pikir, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik
pengumpulan data, klasifikasi dan teknik analisi data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji ungkapan tradisional
Jawa adalah penilitian deskriptif kualitatif. Ditegaskan oleh
Edi Subroto bahwa penelitian kualitatif terutama yang dipakai
untuk meneliti ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Maksud dari
penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena
yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta
hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angga
atau koefisien tentang hubungan antara variable. Dalam penelitian
ini data yang dikumpulkan berbentuk kalimat bukan angka. Selain
itu penelitian kualitatif lebih mengutamakan proses dari pada
hasil. Metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak
didesain atau dirancang melalu prosedur statistik oleh karena itu
penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan
yang diperoleh dari sumber data tertulis yang berwujud kata-kata,
kalimat-kalimat atau bentuk yang lain, selanjutnya dikerjakan
dengan cermat sehingga menghasilkan penafsiran yang kuat dan
objektif.
B. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 6), data dalam
penelitian ini berupa data lisan tentang ungkapan tradisional
Jawa. Sumber data adalah si penghasil atau pencipta bahasa yang
sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang
dimaksud, biasanya disebut narasumber. Sumber data lisan didapat
dari keluarga Daniel Murtopo, kelurahan Danukusuman, kecamatan
Serengan, Surakarta.
C. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Adapun alat bantu
penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-ex, buku catatan,
sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer dan flashdisk.
D. Populasi
Populasi adalah objek penelitian yang pada umunya merupakan
keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto,
1992: 32). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua
kalimat yang memuat tentang ungkapan tradisional Jawa.
E. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek
penelitian secara langsung yang mewakili populasi atau mewakili
populasi secara keseluruhan(Edi Subroto, 1992: 32). Pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunakan
purposive sampling yaitu pengambilan sampel secara selektif dan
benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian
berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1992: 25). Sampel data
dalam penelitian ini adalah kalimat yang mengandung ungkapan
tradisional Jawa pada sumber data.
F. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, menganalisi dan menjelaskan
fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dasar dan teknik
lanjutan. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik
wawancara, yaitu bertanya kepada narasumber untuk memperoleh data
(Edi Subroto, 1992: 42). Kemudian teknik lanjutannya adalah
teknik sadap dan teknik catat. Adapun langkah-langkahnya adalah
pertama, peneliti mewawancara narasumber yang dapat dijadikan
data. Setelah itu peneliti menyadap sumber data yang dapat
dijadikan data tersebut. Selanjutnya teknik catat yakni berupa
pencatatan data pada buku catatan berupa kalimat yang mengandung
ungkapan tradisional.
G. Klasifikasi Data
Dalam penelitian ini setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan
klasifikasi data berdasarkan karakteristik yang sama mengenai
fungsi dan makna.
1. Makna terdiri dari :
a.Makna leksikal
b.Makna kultural
2. Fungsi yang terdiri dari :
a.Nasihat dalam bersosialisasi/bergaul
b. Nasihat dalam etika moral
c.Nasihat dalam menjalani hidup
H. Metode Analisis Data
Metode analisis data ini merupakan upaya peneliti menangani
langsung masalah yang terkandung pada data. Dalam menganalisis
data penulis menggunakan metode padan. 1. Metode Padan Metode
padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan
identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu di
luar bahasa (Sudaryanto, 1992: 13). Metode padan dibedakan atas
lima sub jenis berdasarkan macam alat penentunya, antara lain
sebagai berikut :
a.Metode padan referensial dengan penentunya kenyataan yang
ditunjuk bahasa atau sebagai referen bahasa.
b.Metode padan fonetis artikulasi dengan alat penentunya oragna
bicara atau pembentu bahasa. c.Metode padan translasional dengan
penentuk bahasa atau langue lain.
d.Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan.
e.Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra wicara.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan
referensial dan metode padan pragmatis. Penelitian ini analisis
data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan
memepertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan
ungkapan tradisional Jawa. Metode ini digunakan untuk
menganalisis fungsi dan makna ungkapan tradhisional jawa.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Makna Leksikal dan Makna Kultural
1. Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad
Aja : jangan
Bungah : gembira
ing : pada,
oleh pangalem : pujian
aja : jangan
susah : susah
ing : pada,
oleh panacad : celaan
Arti yang tersirat dalam ungkapan itu sama dengan arti yang
tersurat yaitu jangan gembira oleh pujian dan jangan susah oleh
celaan. Makna kultural ungkapan itu mengandung nilai pendidikan
ke arah pemilikan jiwa yang besar seperti ungkapan aja mongkok
ing pambombong, aja nglokro ing penyendhu. Orang yang berjiwa
besar tidak menjadi lupa daratan karena pujian dan tidak berkecil
hati karena ccelaan. Orang yang berjiwa besar selalu sadar bahwa
setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan, pujian merupakan
bantuan atau solidaritas yang menunjukkan kelebihan, sedangan
celaan merupakan solidaritas yang menunjukkan kelemahan.
Mengetahui kelebihan maupun kelemahan yang terdapat pada diri
kita mengetahui kelebihan maupun kelemahan yang terdapat pada
diri kita masing-masing merupakan hal positif, sebab jika kita
mengetahu kelebihan yang terdapat pada diri kita sendiri, kita
akan mengembangkannya lebih lanjut, sedangkan jika kita
mengetahui kelemahan yang terdapat pada diri kita sendiri, kita
dapat segera mengatasinya. Dunia dan isinya adalah ciptaan Tuhan,
di antara ciptaan Tuhan itu manusia adalah yang termulia, sebab
manusia mempunyai raga, jiwa dan roh, serta terdapat cipta, rasa
dan karsa. Tetapi dibandingkan dengan Tuhan, manusia sama sekali
tidak berarti, sebab manusia masih penuh dengan kelemahan. Karena
itu sudah sepatutnya manusia saling mengingatkan di antara
sesamanya. Jika kita manusia selalu saling mengingatkan antara
satu dengan yang lain, dapat diharapkan bahwa kita akan tetapi di
jalan yang benar.
Pengaruh ungkapan ini pada warga masyarakat menjadi tidak
emosional, baik dicela maupun dipuji tetap tenang-tenang saja,
sebab bagi mereka, baik celaan maupun pujian pada hakekatnya
sama, yaitu sebagai dorongan untuk mawas diri. Meskipun di antara
warga masyarakat tidak semua menghayati nilai yang terkandung
dalam ungkapan Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad ,
tetapi karena warga masyarakat yang merupakan pendukung ungkapan
tadi terutama terdiri dari para tokoh pemerintahan dan tokoh
masyarakat, maka ungkapan tadi telah menyebabkan berlangsungnya
kebijaksanaan yang rasional.
2. Aja dhemen metani alaning liyan
Aja : jangan
Dhemen : senang, suka
Metani : Mencari-cari
Alaning : buruk, jelek
Liyan : orang lain
Arti yang tersirat dalam ungkapan ini sama dengan artinya yang
tersurat, yaitu agar kita tidak mencari-cari keburuan, kejelekan
atau kesalahan orang lain. Ungkapan Aja dhemen metani alaning
liyan ini mengandng nilai pendidikan ke arah sikap mengekang diri
terhadap kecenderungan yang terdapat di dalam hati masing-masing
untuk mencari-cari atau membicarakan keburukan-keburukan yang ada
pada orang lain seperti ungkapan Aja ngethung becike dhewe.
Jelaslah bahwa pendidikan yang terkandung dalam ungkapan dalam
ungkapan ini amat penting, sebab: (1) membicarakan keburukan-
keburukan orang lain tidak ada gunanya, (2) jika orang yang
menjadi objek itu akhirnya mendengar/mengetahui bahwa kita
membicarakan keburukan-keburukannya, mungkin menjadi marah dan
benci kepada kita, (3) suka membicarakan keburukan orang lain
adalah suatu tanda keburukan pribadi.
Makna kultural falsafah ungkapan ini dalam alam pikiran orang
Jawa, Tuhan digambarkan sebagai zat yang maha tinggi dan maha
agung, pencipta alam semesta beserta seluruh isinya, serta
bersifat rahman dan rahim. Berbeda dengan sifat Tuhan yang
sedemikian itu manusia sebagai makhluk yang paling dicintai Tuhan
ternyata lebih suka membenci daripada mengasihi, lebih suka
mencelalakan daripada membahagiakan, lebih suka memfitnah
daripada mengharumkan nama orang. Tetapi di antara manusia-
manusia di dunia yang semuanya mempunyai kecenderungan kepada
hal-hal yang tidak baik itu terdapat perbedaan-perbedaan
gradual. Ada manusia yang kecenderungannya kepada hal-hal yang
tidak baik itu besars sekali, tetapi ada pula manusia yang
kecenderungannya semacam itu kurang sekali, hampir tidak ada. Hal
ini tergantung pada kemampuan masing-masing manusia mendidik diri
sendiri dan mengekang diri. Orang yang mampu mendidik diri
sendiri atau mengekang diri kecenderungannya kepada hal yang
tidak baik tentu kecil sekali atau hampir tidak ada. Ungkapan ini
masih sering terdengar dalam percakapan dalam pergaulan sehari-
hari, ungkapan ini mempunyai nilai ajaran ke arah sikap mengekan
diri terhadap kecenderungan hati untuk mencari-cari atau
membicarakan keburukan orang lain, ungkapan ini menyebabkan orang
menjadi lebih sadar bahwa berbicara tentang keburukan orang lain
adalah perbuatan yang tidak terpuji atau perlu dihindari.
3. Aja dumeh
Aja : jangan
Dumeh : mentang-mentang
Arti yang tersirat dalam ungkapan ini jangan mentang-mentang,
jangan mentang-mentang kaya, pandai, berkuasa, berkedudukan
tinggi, keturunan bangsawan. Ungkapan ini mengandung nilai ajaran
atau nasehat, agar orang bersikap wajar tidak berlebih-lebihan.
Jangan mengagung-agungkan kedudukan tinggi, jangan mengagungkan
kekayaan dan kekuasaannya. Makna kultural/falsafah ungkapan ini
yaitu pandangan hidup orang Jawa yang menekankan sikap sederhana,
tidak memamerkan barang yang dimilikinya. Tidak memamerkan
kekayaan, kelebihan-kelebihan lain, misal kepandaian, kekuasaan,
kekuatan dan sebagainya. Kesemuanya itu diperas menjadi satu
ungkapan yang singkat yaitu aja dumeh. Kalu diuraikan lebih
lanjut dari ungkapan ini dapat luas penggunaannya, misalnya aja
dumeh sugih, aja dumeh pinter, aja dumeh kuwasa, aja dumeh
menang . Ungkapan ini berpengaruh besars terhadap kehidupan
masyarakat dengan adanya ungkapan ini, maka orang memiliki
pengontrol atau pengekang dalam pergaulan sehari-hari, agar tidak
bersikap memamerkan segala kelebihan yang dimiliki.
4. Aja lali marang asale
Aja : jangan
Lali : lupa
Marang: pada
Asale : asalnya
Arti yang tersirat jika keadaan kita sudah menjadi lebih baik
daripada keadaan kita pada waktu yang lalu, janganlah hendaknya
kita mengubah sikap kita terhadap orang lain, misal menjadi
sombong atau congkak. Itulah salah satu arti dari ungkapan aja
lali marang asale. Ungkapan ini dapat pula berarti bahwa kita
harus selalu ingat pada sumber segala kebaikan, yaitu Tuhan. Jika
kita menjadi orang kaya, kita harus ingat bahwa kekayaan yang
kita miliki berasal dari Tuhan yang sekedar dititipkan kepada
kita. Karena itu, janganlah kekayaan yang kita miliki menyebabkan
kita sombong, sebalinya hendaknya kita lebih berbakti kepada
Tuhan dan menggunakan kekayaan tadi untuk kemuliaan Tuhan.
Demikian pula jika kita menjadi orang pandai, hendaknya kita
tidak menjadi sombong karena kepandaian kita, tetapi kita lebih
banyak beramal dengan kelebihan kita. Ungkapan itu mengingatkan
agar kita tidak menjadi lupa daratan karena kemajuan yang sudah
kita capai dalam kehidupan. Kita diingatkan kepada masa lampau
kita dimana kita pernah mengalami keadaan yang tidak atau kurang
menyenangkan, supaya kita sadar bahwa nasib setiap manusia pasti
pasang surut. Ungkapan itu juga mengingatkan agar kita semua
manusia pasti pasang surut. Ungkapan itu juga mengingatkan agar
kita semua manusia selalu ingat apa saja yang kita miliki, misal
kekayaan, pangkat atau ilmu, berasal dari Tuhan. Karena itu
semuanya harus kita pakai untuk mengagungkan nama Tuhan. Makna
kultural falsafah masyarakat Jawa terdapat ajaran
cangkramanggilingan, yang menyatakan bahwa kehidupan manusia itu
seperti roda yang selalu berputas. Artinya kehidupan manusia itu
selalu mengalami perubahan. Senang dan susah, sejahtera dan
sengasara silih berganti, kaya gilir gumilir rina lawan wengi
yang artinya: seperti pergantian siang dengan malam. Karena itu
pada waktu sedang hidup senang, supaya kita tidak menjadi lupa
daratan, sebaliknya kita mengingatkan masa yang lampau dimana
kehidupan yang sengsara kita alami. Sementara itu dalam
masyarakat Jawa juga terdapat ajaran yang menyatakan bahwa
kekayaan, pangkat, kepandaian itu berasalh dari Tuhan, sering
diungkapkan dengan ungkapan manungsa mung saderma nggadhuh yang
artinya manusia hanya sekedar meminjam atau memiliki semetara.
Karena kepandaian dan sebagainya jangan menjadi sombong dan
congkak, tetapi hendaknya menggunakan semua kelebihan itu untuk
memuliakan nama Tuhan. Memuliakan nama Tuhan berarti tidak
melanggar larangan Tuhan dan melaksanakan perintah Tuhan.
Ungkapan ini mempunyai pengaruh positif terhadap masyarakat dalam
arti dapat menjadi pencegah terhadap sikap lupa daratan yang
mulai atau akan tumbuh pada diri warga masyarakat yang pada masa
lampau mengalami penderitaan sedang pada masa kemudian mengalami
kebahagiaan. Ungkapan ini juga merupakan satu kekuatan yang dapat
menahan kecenderungan kepada sikap melupakan Tuhan sebagai sumber
segalanya.
5. Ana bapang sumimpang
Ana : ada
Bapang : rintangan;
penghalang; hambatan
Sumimpang : menghindar; berganti haluan
Arti yang tersirat kalau menjumpai penghalang atau penghambar
yang membahayakan keselamata atau kesejahteraan, lebih baik
menghindar, menyingkir, menjauhi. Di dalam hidup bermasyarakat,
lebih baik kita mencari dan memupuk tali persaudaraan dan
menjauhi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan atau
permusuhan Ungkapan ini mengandung nilai pendidikan yang
tujuannya ialah untuk mencapai kerukuan dan kedamaian di dalam
pergaulan, demi terciptanya kesejahteraan bersama. Diskusi,
saling tukar menukar pendapat, sangat baik manfaatnya dan perlu
selalu dilaksanakan, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
ilmu yang kita kuasai. Itu semua berjalan baik dan dapat
menelorkan hasil sesuai dengan sasaran yang akan dicapai, bila
semua pihak yang terlibat dapat memahami tujuan yang baik. Kalau
di antara mereka yang terlibat ada yang berpendapat bahwa hal itu
bertujuan untuk mengadu kepandaian, kekuatan serta bersikap tidak
mau musyawarah untuk mufakat, maka hasilnya bukanlah kesatuan dan
kerukunan melainkan perpecahan atau permusuhan. Dalam usaha kita
untuk mncapai cita, tidak jarang menghadapi penghalang. Tujuan
yang baik sering dihambat oleh gangguan-gangguan yang mungkin
dapat mengagalkan tercapainya tujuan itu, misalnya malas belajar.
Makna kultural/falsafah ungkapan ini seperti dadi wong becik iku
akeh godhane (menjadi orang baik itu banyak godaannya). Begitulah
nasihat yang diwariskan oleh orang tua. Godaan-godaan yang
bermacam ragam cara serta wujudnya itu, di dalam perjalanan hidup
tiap orang merupakan batu ujian. Kalau orang dapat menghindarkan
gangguan-gangguan atau godaan itu, kalau ada orang tidak mudah
tergiur atau terpengaruh oleh bujukan dan rangsangan untuk
menyelewengka, maka akan lulus orang itu menempuh ujian hidup.
Dasar pemikiran inilah yang melatar belakangi munculnya ungkapan
yang berbunyi Ana bapang sumimpang. Ungkapan ini memiliki
pengaruh yang posotif terhadap kehidupan masyarakt. Dengan adanya
ungkapan ini, maka orang senantiasa merasa diingat, agar di dalam
perjalanan
hidupnya selalu ingat dan waspada menghadapi maksu-maksud jahat,
yang menghambat tercapainya sasaran yang akan dituju.
6.Bibit, bebet, bobot
Bibit : benih
Bebet : kekayaan
Bobot : kepandaian
Arti yang tersirat adalah orang memilih jodoh hendaknya
diperhatikan adanya tiga syarat yaitu bibit, bebet, bobot.
Dimaksudkan oleh ungkapan ini ialah memberi petunjuk kepada calon
mempelai agar perkawinan kelak hari tidak mengalami kesulitan.
Sebab 3 syarat tersebut merupaka modal pokok atau modal dasar
yang harus dimiliki setiap orang. Ungkapan ini mengandung nilai
moral yang artinya perkawinan yang diharapkan hanya sekali seumur
hidup hendaknya dipersiapkan secara baik sebelumnya agar supaya
keturunannya nanti tidak mengalami kesulitan dikelak kemudian
hari. Cacat cela pada keluarga oleh masyarakat dapat terjadi
kalau perkawinan kurang diperhatikan. Makna kultural/falsafah
ungkapan ini di dalam adat pemilihan jodoh, masih berlaku tata
cara meneliti calon pasangan. Biasanya yang menjadi ‘informan’
dalam meneliti adalah orang yang ada hubungannya dengan keluarga
dengan calon pasangan. Dengan cara meneliti ini diharapkan
seseorang dalam mendapat jodoh tidak meleset. Kebiasaan
masyarakat Jawa, pada waktu orang akan melakukan perkawinan,
orang tua selalu melibatkan diri dalam memberi pertimbangan itu
dikenal dnegan nama ‘persatoan salaki-rabi’ atau petungan dalam
perkawinan, sumber petungan ini lengkapnya terdapat dalam
primbon. Di dalam kehidupan masyarakat, ungkapan bibit, bebet,
bobot masih diperhatikan, tetapi berlaku dan kadarnya berlainan.
Ungkapan yang bersifat ideal ini sudah barang tentu sulit untuk
dipenuhi. Tetapi sebagi suatu ungkapan yang mengandung nasegat,
merupakan peringatan bagi setiap orang yang akan melaksanakan
hidup berkeluarga. Sehingga dalam sistem memilih jodoh, perlu
diperhatikan pula kualitas manusianya. Sudah barang tentu
ungkapan itu berlakunya sangat relatif, tergantung dengan strata
sosialnya.
7. Digdaya tanpa aji, sugih tanpa bandha, menang tanpa ngasorake
Digdaya : kebal, sakti
Tanpa : tanpa
Aji : benda atau syarat untuk membuat kebal serta sakti
Sugih : kaya
Bandha : harta kekayaan
Menang : menang
Tanpa : tanpa
Ngasorake : mengalahkan, menaklukkan
Arti yang tersirat dalam ungkapan ini yaitu itikat baik
mengalahkan segalanya. Keluhuran budi itu merupakan bekal hidup
yang sangat tinggi nilainya. Orang yang memiliki keluhuran budi,
tentu memiliki kewibawaan yang tinggi, ibarat orang yang sakti.
Keluhuran budi diibaratkan sebagai kekayaan yang sangat tinggi
nilainya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini ialah ajaran
atau dorongan agar orang senantiasa beritikat baik dan berbudi
luhur. Sikap demikian itu sangat tinggi nilainya, baik dalam
hidup bermasyarakat, di dalam organisasi sosial maupun di dalam
badan-badan pemerintah. Seperti pedoman hidup yang dipegang
teguh oleh masyarakat Jawa terpatri dalam ungkapan berbunyi sura
dira jayaningrat lebur dening pangastuti (segala sesuatu, bahkan
maksud yang tidak baik akan dapat dikalahkan oleh perbuatan baik.
Kemarahan yang meluap akan dapat dikalahkan oleh sikap rendah
hati. Di dalam kehidupan masyarakat, keluhuran budi merupakan
sikap yang ideal. Ungkapan ini berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Orang yang sikap dan perbuatannya tercela dicemooh
kalau tidak berani secara terang-terangan lalu dilakukan dengan
cara tersembunyi, digosipkan. Orang yang sikap dan perbuatannya
terpuji dihargai dalam pergaulan.
8. Kaya mimi lan mintuna
Kaya : seperti
Mimi : ikan (betina)
Lan : dan
Mintuna : ikan (jantan)
Arti yang tersirat yaitu perkawinan yang kekal. Kekekalan
perkawinan oleh orang Jawa dikatakan tekan kaken-kaken ninen-
ninen (sampai tua). Perkawinan yang demikian itu merupakan
keberhasilan dalam rumah tangga atau perjodohan. Sedangkan
kegagalan perjodohan kalau sampai terjadi perceraian. Ungkapan
ini mengandung nilai pendidikan, yang artinya memberi petunjuk
kepada setiap orang berumah tangga, bahwa arti dan hakekat
perkawinan adalah untuk selamanya, bukan bersifat sementara.
Karena keluarga adalah ruang sosial yang terkecil, setiap anak
belajar bersosialisasi pertama melalui keluarga, jadi baik
buruknya sosialisasi tergantung pada keluarga. Jika keluarga
retak maka masyarakat retak.
Makna kultural falsafah ungkapan kaya mimi lan mintuna sebenarnya
berbunyi kaya mimi maituna yang artinya seperti mimi yang sedang
bersetubuh. Persetubuhan di sini melambangkan persatuan total
antara suami istri untuk mencapai kebahagiaan abdi dalam rumah
tangga. Kemudian ungkapan ini berubah menjadi mimi lan mintuna
untuk jenis ikan mimi tidak dibedakan namanya diantara ikan mimi
betina dan jantan. Tetapi untuk lebih menggambarkan keintiman
ikan mimi dibedakan jenis kelaminnya. Lawan jenis yang
dilambangan dengan dua nama tersebut menambah arti dari persatuan
suami istri. Sebagai kenyataan tidak pernah ikan mimi berenang
sendiri tetapi selalu berdua. Di dalam kehidupan masyarakat,
perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang monogami (satu istri
satu suami) yang kekekalannya sangat dijunjung tinggi.
Pertentangan antara suami istri harus dapat diselesaikan, jangan
berakhir dengan perpecahan yang kemudian sampai kepada
perceraian.
9. Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung
Dawa : panjang
Sadawa-dawane : sepanjang-panjangnya, betapun panjangnya
Lurung : lorong, jalan
Isih : masih
Gurung : tenggorokan
Arti yang tersirat yaitu pembicaraan orang dapat tersebar luas
sehingga tak terbatas. Apa yang dituturkan oleh seseorang, lebih-
lebih tentang cela seseorang, mudah sekali tersiar kemana-mana
tanpa mengenal batas. Ungkapan ini mengandung nilai positif,
ialah ajaran atau nasehat agar orang jangan bersikap dan berbuat
tidak baik. Setiap anggota masyarakat memiliki kebiasaan senang
membicarakan cela orang lain, sehingga perbuatan yang tercela
mudah sekali beritanya tersiar luas. Makna kultural/ falsafah
ungkapan ini, seperti yang pendapat Padmosusastra yang
mengatakan ‘watake wong Jawa dhemen ngrasani tanggane’ artinya
sifat orang Jawa senang
membicarakan/menggosipkan tetangganya. Mungkin sifat senang gosip
itu bukan hanya milik orang Jawa, melainkan dimiliki oleh setiap
orang di seluruh muka bumi. Berdasarkan kenyataan bahwa setiap
orang senang gosip, maka terlahirlah ajaran, nasihat atau pesan
yang terpateri di dalam sebuah ungkapan sadawa-dawane lurung
isih dawa gurung . Ungkapan ini sangat berpengaruh terhapa
kehidupan masyarakat. Ungkapan ini memagari atau membatasi sikap
dan perbuatan orang untuk tidak berbuat cela. Orang lalu menjadi
berhati-hati, menghindari mencela orang lain agar jangan menjadi
sasaran gosip orang lain. Apalagi suatu berita akan lebih
dibesar-besarkan atau ditambah-tambahi daripada kenyataannya,
seperti ungkapan undhaking pawarta sudaning kiriman.
2. Fungsi
1. Fungsi nasihat ditunjukkan oleh ungkapan :
a.Ana bapang sumimpang
Ungkapan tersebut berbentuk kalimat perintah jika dilihat dari
konteksnya, walaupun tidak menggunakan tanda seru. Dalam fungsi
sebagai nasihat karena konteks kalimatnya berisi menasehati agar
menghindari bahaya/ hal buruk.
b.Bibit, bebet, bobot
Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita menggunakan kata
dasar yang sudah memiliki arti. Dalam fungsinya sebagai nasihat
karena menyarankan dalam memilih pasangan hidup dengan
memperhitungkan dari segala aspek.
c.Kaya mimi lan mintuna
Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, yang mengibaratkan
kehidupan manusia melalui hewan (ikan). Dalam fungsinya sebagai
nasihat agar manusia dapat meniru sikap hewan yang setia kepada
pasangan sampai akhir.
d.Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung
Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, kalimat tersebut
memperbandingkan benda satu dengan benda yang lain. Dalam fungsi
sebagai nasihat agar manusia bisa menjaga bicaranya dengan baik.
2. Fungsi larangan ditunjukkan oleh ungkapan :
a)Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad
b)Aja dhemen metani alaning liyan
c)Aja dumeh
d)Aja lali marang asale Secara keseluruhan ungkapan larangan
menggunakan kata aja sebagai pewatas dalam melarang yang memberi
peringatan kepada mitra tutur.
BAB IV
PENUTUP
Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk lambang
referensial yang berbentuk bahasa lisan, merupakan lambang yang
membutuhkan pemahaman sendiri. Ungkapan tradisional telah
mencerminkan gambaran hidup orang Jawa cara menghayati
kehidupannya, pranata-pranata masyarakat dapat menjadi pelajaran
yang berarti bagi generasi penerus bangsa. Karena berisi nasihat
dalam pendidikan, moral, etika, bersosial dll. Ungkapan
tradisional dengan fungsinya sebagai nasihat dan larangan dalam
penelitian ini tidak menunutup kemungkinan terdapat fungsi yang
lain. Ungkapan tradisional Jawa dalam penelitian ini masih sangat
terbatas, masih banyak ungkapan tradisional Jawa yang lain.
Data Informan
Nama : Sri Murni Umur : 68 tahun Pendidikan : SMP Nama : Daniel
Murtopo Umur : 50 tahun Pendidikan : akademi Nama : Ninik
Suryani Umur : 46 tahun Pendidikan : SMA
DAFTAR PUSTAKA
Imam Sutarjo. 2006.
Mutiara Budaya Jawa
. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Shri Ahimsa Putra. 1997.
Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian (makalah).
Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa, Surakarta : Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Wakit Abdullah.
2013.
Etnolinguistik : Teori, Metode dan Aplikasinya
. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa. ____ dkk. 2005.
Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta : Bina Media. ___ dkk. 1984.
Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan DIY.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah: Jakarta. Skripsi Etnolinguistik
www.kamusbesar.com www.artikata.com