Post on 11-Mar-2023
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS
Nama Mahasiswa : Richard Antonius
NIM : 11 2013 071 Tanda Tangan
Pembimbing:Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Luluk
Adipratikto, Sp. P
BAB I
PENDAHULUAN
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit
yang dapat dicegah dan dapat dirawat dengan karakteristik yaitu
pembatasan aliran udara yang persisten yang biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi kronis oleh udara dan partikel
atau gas iritan. Kekambuhan dan faktor komorbid berkontribusi pada
tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.
Asap rokok bukan merupakan satu-satunya penyebab PPOK, tetapi
banyak partikel polusi udara yang dapat menjadi penyebab PPOK.
Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi
alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari
protease serin.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2014, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK
ringan), derajat 2 (PPOK sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4
(PPOK sangat berat).
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak
nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko
(+). Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan
baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit
yang dapat dicegah dan dapat dirawat dengan karakteristik yaitu
pembatasan aliran udara yang persisten yang biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi kronis oleh udara dan partikel
atau gas iritan. Kekambuhan dan faktor komorbid berkontribusi pada
tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.
Gejala PPOK meliputi:
Dispnea
Batuk kronis
Produksi sputum kronis1
Spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis klinis PPOK.
Kehadiran dari hasil post-bronkodilator FEV/FVC <0,70 dapat
memastikan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten dan
PPOK.
FAKTOR RESIKO
Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk
PPOK adalah merokok. Udara tempat kerja, polusi udara lingkungan
luar dan udara dalam ruangan. – Polusi udara yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar biomassa juga merupakan faktor risiko PPOK
utama lainnya. dengan kata lain orang yang tidak merokok juga dapat
terkena PPOK.
Risiko PPOK terkait dengan total beban partikel yang terhirup
seseorang selama hidupnya:
• Asap tembakau, termasuk rokok pipa, cerutu, dan jenis-jenis
rokok tembakau populer di banyak negara,
• Polusi udara dalam ruangan dari bahan bakar biomassa yang
digunakan untuk memasak dan pemanas di rumah-rumah yang
sirkulasi udaranya tidak baik merupakan faktor risiko yang
terutama mempengaruhi perempuan di negara-negara berkembang
• Debu dan bahan kimia (uap, iritasi, dan asap) di tempat kerja
ketika terpapar dalam kondisi cukup intens atau dalam waktu
yang berkepanjangan
• Polusi udara terbuka juga memberikan kontribusi terhadap
partikel yang terhirup kedalam paru-paru, meskipun tampaknya
memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan PPOK
Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru selama
masa kehamilan dan masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah,
infeksi pernapasan, dll) memiliki potensi untuk meningkatkan
risiko seseorang terkena PPOK.1
PATOLOGI
Asap rokok yang terhirup dan partikel iritan gas lainnya
menyebabkan inflamasi di paru yang dimana merupakan suatu respons
yang normal pada pasien yang berkembang menjadi PPOK. Inflamasi
kronis ini dapat menginduksi perusakan jaringan parenkim
(menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan (menghasilkan fibrosis di jalan nafas kecil).
Perubahan patologis ini membawa pada terjebaknya udara dan
pembatasan aliran udara yang progresif. Secara singkat, patologi
dari perubahan menuju PPOK adalah jaringan selular dan mekanisme
molekular dan bagaimana ketidaknormalan fisiologi dan karakteristik
gejala dari penyakit ini.
Perubahan patologis pada PPOK ditemukan pada jalan nafas,
parenkim paru dan vaskular pulmonal. Perubahan patologis termasuk
inflamasi kronis, dengan peningkatan jumlah tipe sel inflamasi yang
spesifik dalam bagian paru yang berbeda dan perubahan struktur
hasil dari luka berulang dan perbaikannya. Secara umum, inflamasi
dan perubahan struktural pada jalan nafas meningkat seiring dengan
keparahan penyakit dan banyaknya jumlah merokok.
Beberapa faktor yang dapat berperan pada timbulnya penyakit
PPOK adalah :
Oxidative stress
Protease-Antiprotease imbalance
Sel inflamasi
Mediator inflamasi
PATOFISIOLOGI
Saat ini ada sebuah pemahaman yang baik tentang bagaimana penyakit
yang menyertai proses terjadinya PPOK menghasilkan karateristik
fisiologi yang abnormal dan gejalanya. Contohnya adalah inflamasi
dan penyempitan dari jalan nafas perifer menghasilkan berkurangnya
FEV1. Kerusakan parenkim akibat emfisema juga berperan pada
terbatasnya aliran udara dan menghasilkan penurunan pengiriman
udara.
Airflow Limitation and Air Trapping.
Kelanjutan dari inflamasi, fibrosis dan eksudat di saluran nafas
kecil berhubungan dengan berkurangnya FEV1 dan ratio FEV1/FVC dan
kemungkinan dengan karateristik cepatnya penurunan FEV1 pada PPOK.
Obstruksi jalan nafas perifer ini secara bertahap menahan udara
saat expirasi, yang akhirnya menjadi hiperinflasi. Walaupun
emfisema lebih berhubungan dengan abnormalitas pertukaran gas
daripada berkurangnya FEV1, namun tetap berkontribusi kepada
penahan udara saat expirasi. Hal ini khususnya karena hubungan
alveoli dengan saluran nafas kecil rusak saat keparahan penyakit
meningkat. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi sehingga FRC
meningkat, terutama saat aktivitas (dynamic hyperinflation),
menghasilkan peningkatan dispnea dan pembatasan aktivitas. Faktor
ini berkontribusi pada kontraktilitas dari otot pernafasan yang
menghasilkan meningkatnya regulasi dari inflamasi sitokin.
Bronkodilator bekerja pada saluran nafas perifer untuk mengurangi
udara yang terperangkap, oleh karena itu mengurangi volume paru-
paru dan memperbaiki gejala dan kapasitas aktivitas.
Gas Exchange Abnormalities
Keabnormalan pertukaran gas berakibat terjadinya hipoksemia dan
hiperkapnea, dan memiliki beberapa mekanisme dalam PPOK. Secara
umum, pertukaran udara untuk oxigen dan karbondioksida menjadi
buruk seiringi bertambah parahnya penyakit. Berkurangnya ventilasi
juga dapat terjadi karena berkurangnya aliran ventilasi. Hal ini
dapat menyebabkan retensi karbon dioksida saat terajdi bersama
dengan berkurangnya ventilasi akibat kerja keras proses pernafasan
karena obstruksi yang parah dan hiperinflasi serta terganggunya
otot ventilasi.
Mucus Hypersecretion
Hipersekresi mukus berakibat pada batuk kronik yang produktif yang
manjdi tanda dari bronkitis kronik dan tidak terlalu dihubungkan
dengan pembatasan aliran udara. Jadi, tidak semua pasien PPOK
memiliki gejala hipersekresi mukus. Ketika ada, itu karena
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa
yang berespon pada iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok dan
gas iritan lainnya. beberapa mediator dan protease menstimulasi
hipersekresi mukus dan banyak dari mereka berefek melalui aktivasi
EGFR (epidermal growth faktor receptor).
Pulmonary Hypertension
Hipertensi pulmonal dapat terlambat terbentuknya pada kasus PPOK
dan biasanya akibat vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal
kecil dan berakibat pada perubahan struktural termasuk hiperplasia
intima dan hipertrofi/hiperplasia otot polos.
Exacerbations
Eksaserbasi dari gejala pernafasan sering muncul pada pasien dengan
PPOK, dan dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus, polutan
lingkungan, atau faktor lainnya yang tidak diketahui. Pasien dengan
episode bakteri atau viral memiliki respons karakteristik berupa
peningkatan inflamasi. Saat eksaserbasi, terdapat peningkatan
hiperinflasi dan udara yang terjebak, dengan aliran expirasi yang
berkurang, dan meningkatnya dispnea. Kondisi lain seperti
pneumonia, thromboembolisme dan gagal jantung akut dapat terjadi
mirip seperti eksaserbasi PPOK.
Systemic Features
Sudah banyak disadari bahwa banyak pasien dengan PPOK memiliki
komorbid yang memiliki dampak mayor pada kualitas hidup dan
survival. Pembatasan aliran udara dan hiperinflasi mempengaruhi
fungsi kardiak dan pertukaran gas. Mediator inflamasi pada
sirkulasi dapat berkontribusi pada penyia-nyian otot skeletal dan
kakexia, dan dapat memperburuk komorbid seperti iskemik heart
disease, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes,
sindrom metabolik dan depresi.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien
yang memiliki dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum yang
berlebih, dan riwayat paparan terhadap faktor risiko untuk penyakit
PPOK
Indikator Kunci untuk Mengingat Diagnosis PPOK
Pikirkan diagnosa PPOK, dan lakukan spirometri, jika ada
indikator ini hadir dalam individu di atas usia 40. Indikator-
indikator ini tidak diagnostik sendiri, tetapi adanya beberapa
indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri
diperlukan untuk menetapkan diagnosis PPOK. Gejala yang dapat
ditemukan :
Dispnea yang : Progresif (memburuk dari waktu ke waktu)
Khas memburuk dengan aktivitas
Persisten
Batuk kronis
Sering merupakan gejala pertama dari PPOK. Batuknya
mungkin intermiten kemudian lama-lama menjadi setiap hari dan
sering menjadi sepanjang hari. Batuk pada PPOK mungkin tidak
produktif.
Produksi sputum kronik :
Setiap pola produksi sputum kronis dapat menggambarkan
PPOK. Produksi reguler sputum selama 3 bulan atau lebih dalam
2 tahun berturut-turut adalah definisi untuk bronkitis kronis,
tetapi ini tidak dapat menggambarkan rentang produksi sputum
pada pasien PPOK. Produksi sputum sering sulit untuk di
evaluasi karena pasien dapat menelan sputumnya daripada
mengeluarkan. Pasien yang memproduksi sputum dalam jumlah
banyak dapat memiliki bronkiektasis yang menyertai. Keberadaan
sputum yang purulen menggambarkan peningkatan mediator
inflamasi dan perkembangannya dapat mengidentifkasi onset dari
eksaserbasi bakterialis.
Riwayat paparan faktor risiko :
Asap tembakau
Asap saat memasak
Debu hasil pekerjaan dan bahan kimia
Riwayat keluarga PPOK1
Spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis klinis PPOK.
Kehadiran dari hasil post-bronkodilator FEV/FVC <0,70 dapat
memastikan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten dan
PPOK.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak
ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Klasifikasi PPOK (GOLD Guideline 2015)
Derajat Karakteristik
0: Ber-Resiko Normal spirometry
gejala menahun batuk berdahak
I: Ringan FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 80% predicted
dengan atau tanpa gejala menahun batuk berdahak
II: Sedang FEV1/FVC < 70%; 50% ≤ FEV1 < 80% predicted
dengan atau tanpa gejala menahun batuk berdahak,
sesak
III: Berat FEV1/FVC < 70%; 30% ≤ FEV1 < 50% predicted
dengan atau tanpa gejala menahun batuk berdahak,
sesak
IV: Sangat Berat FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% predicted or FEV1
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus 2
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrelchest (diameter antero – posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugular isi leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal
paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed- lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.2
B. Pemeriksaan Penunjang
a. COPD Assesment Test (CAT)
COPD Assesment Test adalah sebuah ukuran 8-item undimensional
tentang status kesehatan pada pasien PPOK. Tes ini
dikembangkan agar dapat digunakan di seluruh dunia dan
beberapa terjemahan yang telah di validasi tersedia dalam
banyak bahasa. Skor dari test ini dalam rentang 0 – 40,
berkorelasi secara dekat dengan SGRQ, dan telah di
dokumentasi di banyak penerbitan.
b. COPD Control Questionnaire (CCQ)
COPD control questionnaire adalah sebuah questionnaire 10 item
self-administered yang dikembangkan untuk mengukur kontrol
klinis pada pasien dengan PPOK. Walaupun konsep dari
terkontrol pada PPOK masih kontroversial, CCQ sangat simpel
dan mudah untuk dikerjakan.
c. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1,VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau VEP1/KVP (% ).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1pred) <80% VEP1% (VEP1/KVP)
< 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Tabel di atas memperlihatkan hasil spirometri antara
pasien normal dan PPOK. Pasien dengan PPOK
menunjukkan penurunan pada FEV1 dan FVC.
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian.
- Dilihat perubahan nilai VEP1atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah
rutin
Hb,Ht,
leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum /teardrop/eyedrop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
d. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
2. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250
ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru
setelah pemberian kortikosteroid.
3. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
4. Radiologi
CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
foto toraks polos.
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
5. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
6. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
7. Kadar alfa-1antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema padausia muda), defisiensi antitripsin alfa-1
jarang ditemukan di Indonesia.2
Assesment of Exacerbations
Eksaserbasi dari PPOK didefinisikan sebagai serangan akut yang
memperburuk pernafasan pasien melebihi variasi normal sehari-hari
dan membawa pada perubahan pengobatan. Kemungkinan timbulnya
eksaserbasi sangat berbeda tiap pasiennya. Hal yang dapat
memprediksi kemungkinan seringnya timbul eksaserbasi adalah riwayat
pengobatan sebelumnya. Sebagai tambahan, perburukan aliran nafas
berhubungan dengan meningkatnya prevalensi eksaserbasi dan berujung
pada buruknya prognosis dan mningkatnya resiko kematian.
Combined Assesment of COPD
Symptoms :
Gejala ringan (mMRC 0-1 or CAT < 10) : pasien adalah (A)
atau (C)
Gejala berat (mMRC ≥ 2 or CAT ≥ 10) : pasien adalah (B)
atau (D)
Airflow Limitation :
Low risk (GOLD 1 or 2) : pasien adalah (A) atau (B)
High risk (GOLD 3 or 4) : pasien adalah (C) atau (D)
Exacerbations :
Low risk : ≤ 1 per tahun dan tidak dirawat saat eksaserbasi :
pasien adalah (A) atau (B)
High risk : ≥ 2 per tahun atau ≥ 1 dengan dirawat di RS :
pasien adalah (C) atau (D)
Diagnosis Banding
Pada beberapa pasien dengan asma kronis, perbedaan yang jelas
dengan PPOK tidak dapat ditemukan dengan gambaran sekarang dan
dengan teknik pemeriksaan fisik, dan pada pasien-pasien ini di
asumsikan terdapat keduanya yaitu asma dan PPOK. Pada kasus seperti
ini, tatalaksana saat ini akan termasuk penggunaan obat anti-
inflamasi dan tatalaksana lain yang perlu diperhatikan per orang
nya. Diagnosis lain yang potensial umumnya lebih mudah untuk
dibedakan dari PPOK.
PPOK dan Diagnosis BandingPPOK Onset pada mid-life
Gejala timbul perlahan-lahan
Riwayat merokok atau terpapar asap lain Asma Onset pada masa kecil
Gejala bervariasi setiap harinya
Gejala memberat pada malam/pagi hari
Alergi, Rhinitis, dan/atau eczema dapat menyertai
Riwayat asma pada keluargaC H F Roentgen dada menunjukan dilatasi jantung, edema
pulmonal
Tes fungsi paru-paru menunjukan restriksi volume, bukan
airflow limitation.Bronkietasis Sputum purulen dalam volume yang besar
Biasanya berhubungan dengan infeksi bakterial
Roentgen dada/ CT scan menunjukan dilatasi bronkial,
penebalan dinding bronkialTuberculosis Onset pada semua umur
Roentgen dada menunjukan infiltrasi paru-paru
Konfirmasi secara mikrobiologis
Daerah prevalensi tinggi TBC
PENATALAKSANAAN
A. Therapeutic Options
1. Kebiasaan Merokok merupakan hal yang paling penting
dalam menimbulkan riwayat penyakit PPOK. Semua tenaga medis
harus memotivasi pasien untuk berhenti merokok.
Pendekatan dengan konseling oleh tenaga medis telah
mengurangi jumlah perokok yang berhenti karena keinginan
sendiri secara signifikan. Bahkan konseling secara
singkat selama 3 menit dapat membuat perokok berhenti
merokok sekitar 5-10%.
Terapi pengganti nikotin (nikotin gum, inhaler, nasal
spray, transdermal patch, tablet sublingual) dapat juga
dengan farmakoterapi dengan varenicline, bupropion, atau
nortriptiline meningkatkan penghentian merokok jangka
panjang dan terapi ini lebih efektif daripada placebo.
2. Larangan Merokok : menggalakan peraturan larangan merokok
dengan program yang jelas, konsisten dan berlanjut terus.
Bekerja sama dengan pemerintah untuk mengontrol tempat-
tempat yang dilarang untuk merokok dan memotivasi pasien
untuk tidak merokok di rumah.
3. Polusi Udara Indoor dan Outdoor :
Anjurkan untuk menghindari polusi udara dalam ruangan
dari proses memasak dan memanaskan dalam ruangan yang
berventilasi buruk. Anjurkan pasien untuk memonitor
pengumuman umum tentang kualitas udara dan tergantung
keparahan penyakit pasien, hindari kegiatan luar rumah
atau berada dalam rumah saat ada polusi.
4. Aktivitas Fisik : semua pasien PPOK diuntungkan dari
aktivitas fisik reguler dan dapat diulangi untuk tetap
aktif.
B. Terapi Farmakologi untuk PPOK Stabil
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi dan
meningkatkan status kesehatan dan toleransi aktivitas. Setiap
regimen terapi ditujukan spesifik per pasien dikarenakan
hubungan antara keparahan gejala dan keparahan dari
keterbatasan aliran udara dipengaruhi faktor lain seperti
frekuensi dan keparahan eksaserbasi, kehadiran gagal nafas,
faktor komorbid dan status kesehatan umum. Pemilihan obat yang
diberikan tergantung dari respon pasien dan ketersediaan obat.
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
Farmakologi
Non Farmakologi
Patien
t
Group
Essential Recommended Depending on local
guidelines
A Smoking cessation (can
include pharmacologic
treatment)
Physical
Activity
Flu vaccination
Pneumococcal
vaccinationB, C,
D
Smoking cessation (can
include pharmacologic
treatment)
Pulmonary
rehabilitation
Physical
Activity
Flu vaccination
Pneumococcal
vaccination
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi
Sebuah eksaserbasi dari PPOK didefinisikan sebagai
sebuah serangan akut dengan ciri memburuknya gejala
pernapasan pasien yang melampaui variasi hari-hari normal dan
membawa pada perubahan pengobatan. Penyebab paling sering
adalah infeksi saluran nafas oleh virus atau bakteri.
Bagaimana mengetahui Derajat Keparahan Eksaserbasi?
• Pengukuran gas darah arteri (di RS) : PaO2 < 8.0 kPa (60
mmHg) dengan atau tanpa PaCO2 > 6.7 kPa, (50 mmHg) ketika
bernafas di dalam ruangan mengindikasikan kegagalan
pernafasan.
• Radiografi dada berguna untuk menyingkirkan diagnosa
banding
• EKG dapat membandingkan dengan diagnosa untuk masalah
jantung
Eksaserbasi PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang
dan berat. Penatalaksanaan derajat ringan diatasi di
poliklinik rawat jalan. Derajat sedang dapat diberikan obat-
obatan per injeksi kemudian dilanjutkan dengan peroral.
Sedangkan pada eksaserbasi derajat berat obat-obatan
diberikan per infus untuk kemudian bila memungkinkan dirujuk
kerumah sakit yang lebih memadai setelah kondisis darurat
teratasi.
Pilihan Terapi :
Oksigen: Pemberian oksigen harus diberikan untuk memperbaiki
saturasi oksigen pasien hipoksemia dengan target saturasi 88-
92%.
Bronkodilator: beta2-agonis inhalasi kerja pendek dengan atau
tanpa antikolinergik kerja-pendek merupakan pilihan terapi
bronkodilator untuk serangan eksaserbasi. Penambahan dosis
bronkodilator dan frekuensi pemberiannya. Bila terjadi
eksaserbasi berat obat diberikan secara injeksi, subkutan,
intravena atau per drip, misal :
- Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali
setiap 1 jam dan dapat dilanjutkan dengan pemberian per
drip 3 ampul per 24 jam
- Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati
- Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran)
dilanjutkan dengan per drip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam
- Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-
sama dalam 1 botol cairan infuse yang dipergunakan adalah
Dektrose 5%, NaCl 0,9% atau Ringer laktat.
Kortikosteroid sistemik: kortikosteroid sistemik memperpendek
masa pemulihan, meningkatkan fungsi paru (FEV1) dan arterial
hipoksemia (PaO2) dan mengurangi resiko kekambuhan dini,
kegegalan terapi, dan masa rawat di Rumah Sakit. Dosis 40 mg
prednison per hari selama 5 hari sangat di rekomendasikan.
Antibiotik: Antibiotik harus diberikan pada pasien :
- Dengan tiga gejala kardinal : peningkatan dispnea,
peningkatan volume sputum, peningkatan purulensi sputum
- Dengan peningkatan purulensi sputum dan satu gejala
kardinal lainnya
- Yang memerlukan ventilasi mekanik
Antibiotik diberikan dengan dosis dan lama pemberian yang
adekuat (minimal 10 hari dapat sampai 2 minggu), dengan
kombinasi dari obat yang tersedia. Pemilihan jenis antibiotic
disesuaikan dengan efek obat terhadap kuman Gram negative dan
Gram positif serta kuman atipik.
Adjunct Therapies : tergantung dari kondisi klinis pasien,
pengaturan cairan yang baik dengan perhatian khusus pada
diuretik, antikoagulan, penanganan komorbid, dan aspek nutrisi
harus dipertimbangkan. Dalam setiap waktu, tenaga medis harus
membantu meyakinkan pasien untuk berhenti PPOK. Pasien yang
dirawat di RS karena eksaserbasi PPOK meningkatkan resiko deep
vein trombosis dan emboli pulmonal.
DEFINISI PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus
terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertain
infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara
klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,
parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan, dan
lain-lain. Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk. Sedang keradangan paru yang
disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia, radiasi,
obat-obatan, dan lain-lain) lazimnya disebut pneumonitis.
Berdasarkan asal penyakit, pneumonia dibagi menjadi dua
jenis, yaitu Pneumonia yang berkembang di luar rumah sakit
disebut dengan Community Acquired Pneumonia (CAP atau Pneumonia
Komunitas), dan pneumonia yang terjadi 72 jam atau lebih
setelah perawatan di rumah sakit adalah nosokomial, atau
Hospital Acquired Pneumonia (HAP atau Pneumonia Nosokomial) dan
penggunaan ventilator yaitu Ventilator Associated Pneumonia
(VAP) (2).
PNEUMONIA KOMUNITAS
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat atau terjadi pada infeksi diluar RS. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan
angka kematian tinggi di dunia.
Untuk mengetahui tentang pneumonia komunitas, pertama harus
dapat mengerti dahulu definisi dan gejala yang timbul oleh
penyakit ini. Definisi klinis dari pneumonia komunitas telah
digunakan secara luas tetapi memiliki kompleks gejala dan
tanda dari saluran pernafasan dan keadaan umum kesehatan
pasien. Tanda seperti demam (>38˚C), nyeri dada, sesak dan
takipneu dan gejala dari pemeriksaan fisik dari dada sangat
bermakna ketika dibandingkan dengan cara gold standar dengan
radiologi untuk mendiagnosa pneumonia komunitas.
Pneumonia komunitas dapat di definisikan sebagai :
- Gejala dari penyakit akut saluran napas bawah (batuk
dan setidaknya 1 gejala saluran napas bawah lain)
- Pada pemeriksaan didapatkan tanda fokal dada baru
- Setidaknya satu gejala sistemik (gejala sistemik
seperti berkeringat, demam, menggigil, nyeri dan sakit
dan temperatur lebih dari 38˚C)
- Tidak ada penjelasan lain untuk penyakitnya, yang di
tatalaksana sebagai pneumonia komunitas dengan
antibiotik.
ETIOLOGI
Etiologi dari CAP dapat bersumber dari berbagai macam
bakteri, virus, dan bahkan jamur. Tabel dibawah menunjukkan
penyebab umum CAP. S.pneumoniae adalah patogen yang paling
sering ditemukan. Bakteri penyebab dibagi menjadi bakteri
rawat jalan dan rawat inap.
Penyebab lain berupa Hemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis, pada pasien
dengan penyakit bronkopulmonar, dan S.aureus terutama
selama outbreak influenza. Risiko infeksi oleh spesies
Enterobakteri dan P.aeruginosa sebagai etiologi CAP karena
pemberian steroid oral kronik atau penyakit penyerta
bronkopulmonar, alkoholisme, dan jumlah terapi antibiotik.
Penyebab yang paling jarang pneumoniae contohnya Sterptococcus
pyogenes, Neisseria meningitidis, Pasteurella multocida, dan
H. Influenza type b. Organisme atipikal, tidak dapat dideteksi
oleh gram dan kultur termasuk M.pneumoniae, C.pneumoniae,
Legionella species, dan virus respirasi. Legionella merupakan
mikroorganisme tersering pneumonia.
Selain bakteri, ada juga virus sebagai etiologi CAP, contoh
virusnya berupa RSV, adenovirus, dan parainfluenza virus,
begitu pula penyebab yang paling jarang termasuk
metapneumovirus, herpes simpleks virus, varicella-zoster
virus, SARS-assosiated coronavirus, dan measles virus. Pasien
dewasa imunokompetens 18% etiologi adalah virus. Penyebab lain
yang berumlah hanya 2-3% ditentukan secara epidemiologi
seperti M.tuberculosis, Chlamydophila psittaci (psittacosis),
Coxiella burnetti (Q fever), Francisella tularensis
(tularemia), Bordetella pertussis (whooping cough), dan fungi
endemis (Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis,
Cryptococcus neoformans, dan Blastomyces hominis).
Diagnosis
Anamnesis
• Demam sampai menggigil 400C>
• Batuk dengan dahak mukoid,purulent kadang ada darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
Pemeriksaan fisik
• Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S.pneumoniae,
Streptococcus spp, Staphylococcus.
• Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk
kering nonproduktif.
• Awitan lebih samar dan ringan pada orang tua/imunitas menurun
akibat kuman yang kurang patogen misalnya Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacter, anaerob, dan jamur.
• Tanda-tanda fisik pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan
berupa demam, sesak napas,
• Tanda-tanda konsolidasi paru seperti inspeksi dada
tertinggal, fokal fremitus lebih kuat, perkusi paru yang
redup / pekak, dan auskultasi ronki nyaring, suara pernapasan
bronkial.
Pemeriksaan penunjang
a.Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "airbroncogram",
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi
pada lobus atas kanan.
b. Pemeriksaan labolatorium
Kultur darah. Kultur darah sebelum pengobatan menunjukkan
hasil positif untuk patogen tertentu pada 5%-14% pada pasien
yang dirawat karena CAP. Penyebab yang paling banyak ditemukan
adalah S.pneumoniae. Hasil false positif berhubungan dengan
lama dirawat di RS, perubahan tatalaksana karena kokus gram
positif, dan koagulase negative streptococcus sehingga banyak
penggunaan vankomisin secara sembarangan. Kultur darah
dilakukan sebelum pemberian antibiotika. Indikasi kultur darah
hanya pada CAP berat karena bisa terinfeksi selain oleh
S.pneumoniae yaitu S.aureus, P.aeruginosa, dan basil gram
negatif lainnya dan tidak mempan terhadap antibiotik empirik
dan potensi resistensi yang besar. Kultur darah juga
diindikasikan untuk pasien dengan asplenia dan leukopenia
karena defek menangani bakteremia.
Kultur sputum spesimen dan gram saluran nafas. Kultur
sputum memiliki 2 keuntungan, yaitu menunjukkan bakteri
spesifik sehingga penggunaan antibiotika yang tidak sesuai
tidak diperlukan, dan kedua dapat menghitung jumlah hasil
kultur dahak. Kultur sputum juga hanya dilakukan pada pasien
dengan CAP berat karena perbedaan kuman pada pasien dengan
infeksi primer dan infeksi nosokomial.
Penilaian derajat Keparahan penyakit
Tujuan dilakukan penilaian derajat keparahan penyakit
adalah untuk menetukan apakah pasien perlu dirawat inap atau
tidak. Penilaian menurut British Thoracic Society menggunakan
CRB65 pada pasien dalam komunitas atau CRUB65 pada pasien di
rumah sakit dalam pedoman tingkat keparahan penyakit.
Pasien dengan CRB65 skor 0, tidak memerlukan rawat inap
dengan resiko kematian rendah. Pasien dengan CRB65 skor 1-2
perlu dipertimbangkan apakah perlu untuk dirujuk untuk rawat
inap. Pasien dengan skor CRB65 3 - 4 memerlukan penanganan
segera di rumah sakit karena angka mortalitas tinggi dan juga
perlu antibiotik empirik jika mengancam nyawa.
Penilaian dengan CURB65 harus memenuhi syarat yaitu foto
thoraks dada terdapat konsolidasi dan pada pasien didapatkan
gejala pneumonia komunitas. Barulah dapat digunakan kriteria
CURB65 untuk menentukan derajat keparahan. Pasien dengan
CURB65 skor 0-1 memiliki kemungkinan kematian yang rendah
yaitu < 3%. Pasien dapat dirawat jalan. Untuk pasien dengan
skor 2, sebaiknya dirawat di Rumah Sakit. Dan pasien dengan
skor CURB65 3 atau lebih memiliki resiko kematian yang besar
sekitar 15-40%. Pasien harus segera dirawat di Rumah Sakit
untuk dapat diterapi. Jika skor pasien 4-5, sebaiknya pasien
dirawat di ruang ICU.
CRB65 Severity Score :1 Poin untuk setiap tanda yang ada :
• Confusion• Pernafasan >30/mnt• Tekanan darah (Sistol <90,
Diastol < 60 mmHg)• Umur > 65 tahun
CURB65 Severity Score :1 Poin untuk setiap tanda yang ada :
• Confusion• Urea > 7 mmol/l• Pernafasan >30/mnt• Tekanan darah (Sistol <90,
Diastol < 60 mmHg)• Umur > 65 tahun
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu
atau lebih kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
a. Frekuensi napas > 30/menit
b. Pa O2/Fi O2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan sistolik < 90 mmHg
f. Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
a. Membutuhkan ventilasi mekanik
b. Infiltrat bertambah > 50%
c. Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
d. Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk
indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu
dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah
ini :
a. Frekuensi napas > 30/menit
b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan sistolik < 90 mmHg
f. Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Penatalaksanaan
Menurut British Thoracic Society guideline, terapi ditentukan
dengan :
Saat etiologi spesifik dari CAP telah teridentifikasi secara
mikrobiologi yang terbukti, pemberian obat antimikroba diberikan
pada patogen khusus tersebut.
Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri
penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
PENCEGAHAN
a) Pola hidup sehat termasuk tidak merokok.
b) Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai
saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang
efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk
golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut (>= 50 tahun),
risiko influenza, penyakit kronik, diabetes, penyakit
jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi
yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang
terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyeab, dan penggunaan antibiotik yang tepat
serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Angka kematian pada pasien rawat jalan pneumonia komuniti adalah
kurang dari 5%. Sedangkan yang di rawat di Rumah Sakit menjadi
20%.
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap: Tn. G Pekerjaan : PetaniJenis kelamin : Laki-laki Pendidikan terakhir : SDSuku bangsa : Jawa Status perkawinan : KawinTanggal lahir : 1 Juli 1937
(77 thn)Nomor RM : 402396
Alamat : Genengmulyo RT.02
RW.06 Juwato, PatiTanggal masuk : 30 Januari 2015
Agama : Islam Dirawat di ruang : Betani B
A. ANAMNESIS
Diambil dari alloanamnesis : Tanggal 31 Januari 2015 Pukul
09:00 WIB
Keluhan Utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
2 minggu SMRS keluarga os mengatakan os mulai mengeluh
batuk dan sesak napas yang hilang timbul dan memberat bila
os beraktifitas. Selain batuk dan sesak, juga terdapat
keluhan demam yang disertai menggigil. Keluhan tidak
dipengaruhi oleh cuaca dingin. Sesak berkurang jika os
beristirahat.
3 hari SMRS keluarga os mengaku keluhan sesak napas
dirasakan semakin memberat. Keluhan sesak napas kali ini
tidak dipengaruhi aktifitas. Sesak napas dirasakan berkurang
ketika pasien tiduran. Os mengatakan setiap sesak napas
disertai batuk berdahak berwarna putih dan tidak disertai
darah. Keluarga pasien juga mengaku os adalah seorang
perokok berat sejak masih muda. Os juga sering memiliki
keluhan batuk yang disertai produksi dahak setiap tahun
minimal dua kali. Dan akhir-akhir ini os tidak nafsu makan
dan sering merasa lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Os memiliki riwayat hipertensi dan rutin minum obat anti-
hipertensi.
Riwayat TB disangkal
Riwayat asma disangkal
penyakit jantung disangkal
penyakit ginjal disangkal
kencing manis disangkal
alergi disangkal
Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit dikeluarga dengan keluhan yang sama
disangkal
B. PEMERIKSAAN JASMANI
a. Pemeriksan umum
Keadaan umum : tampak sesak
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital :
Tekanan darah: 140/100 mmHg
Nadi : 124 kali/menit (regular, isi dan tegangan
cukup)
Frekuensi napas: 32 kali/menit
Suhu aksila : 37,1o C
Berat badan : ±40 kg
Tinggi badan : ±165 cm
BMI : 14,7 kg/m2
b. Pemeriksaan Fisik
Rambut : putih , tidak merata, tampak alopesia.
Kulit : sawo matang, ikterik (-), pucat (-), lesi (-),
ptechiae(-).
Kepala : normocephali, turgor dahi cukup.
Mata : edem palpebra (-/-), konjungtiva palpebra pucat
(+/+), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor diameter 2 mm, refleks cahaya
langsung dan tak langsung
(+/+).
Hidung : pernafasan cuping hidung (-), sekret (-),
epistaksis (-), septum deviasi (-)
Mulut : bibir sianosis (-), pursed lips breathing (+),
ulkus (-), T1-T1 tenang,
faring hiperemis (-), atrofi papil lidah (-),
perdarahan gusi (-)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan
kelenjar tiroid, tidak ada benjolan, deviasi
trakea (-), JVP 5-2cm H20.
Thorax
Inspeksi : bentuk thorax normal, sela iga melebar,
pergerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, tipe pernafasan torakoabdominal
menggunakan otot bantu tambahan, retraksi sela
iga (+),benjolan (-)
Pulmo
Anterior PosteriorInspeksi Pergerakan dinding
dada simetris saat
statis dan dinamis,
jejas trauma (-).
Pergerakan dinding
dada simetris saat
statis dan dinamis.
Palpasi Sela iga melebar,
fremitus taktil
simetris, nyeri
tekan (-).
Sela iga normal,
fremitus taktil
simetris, nyeri
tekan (-).Perkusi Hipersonor di lapang
paru kanan dan kiri,
batas paru hati: ICS
VI, batas peranjakan
hati: 2 cm
Hipersonor di lapang
paru kanan dan kiri.
Auskultasi Suara nafas dasar
bronkial, ekspirasi
memanjang suara
nafas tambahan:
rhonki basah halus
(-/+) di basal paru
Suara nafas dasar
bronkial, ekspirasi
memanjang, suara
nafas tambahan:
rhonki basah halus
(-/+) di basal paru
kiri, suara paru
basal kanan melemah.
wheezing (-/-).
kiri, basal paru
kanan melemah,
wheezing (-/-).
Cor
Inspeksi : ictus cordis terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba di 1 cm lateral linea
midclavicula sinistra ICS V.
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea
parasternal dextra.
Batas atas : ICS III linea sternal
sinistra.
Batas kiri : ICS V linea midclavicula
sinistra.
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur
(-).
Abdomen
Inspeksi : cekung, caput medusa (-), tidak tampak luka
bekas operasi, striae (-),
massa (-), spider nevi (-).
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : shifting dullness (-), area traube timpani,
nyeri ketok CVA(-),
Palpasi : supel, tidak teraba massa,nyeri tekan (-),
undulasi (-)
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : ballotemen tidak teraba
Genital : tidak dilakukan
Ekstremitas :
Superior InferiorSianosis -/- -/-Edema -/- -/-Akral hangat +/+ +/+Clubbing
finger
-/- -/-
Palmar
eritem
-/- -/-Ekstremitas Dextra SinistraSuperior Otot Normotonus NormotonusSendi Normal Normal Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatasKekuatan +5 +5Edema - -InferiorOtot : tonus Normotonus Normotonus Sendi Normal Normal Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatasKekuatan +5 +5Edema - -
Cor : batas kanan jantung sulit dinilai tertutup
perselubungan
Pulmo : Tampak kesuraman pada lapangan tengah-bawah paru
kiri dan kanan
Corakan bronkovesikuler meningkat
Kesan :
= Gambaran TB paru aktif (severe lesions) dengan efusi pleura
kanan dan suspek reaksi pleura kiri.
Elektrokardiografi Tanggal 30 J anuari 2015
KESAN: Sinus Takikardi dan RBBB inkomplit
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 30 Januari 2015
Hematologi lengkap
Hemoglobin 10,8 g/dl 13.2-17.3
Leukosit 12.69 ribu 3.8-10.6
Eosinofil 0.10% 1-3%
Basofil 0.20% 0-1%
Neutrofil 91.50% 50-70%
Limfosit 2.70% 25-40%
Luc 1 % 1-4
Monosit 8.10% 2-8%
MCV 89 fL 80-100
MCH 28 pg 26-34
MCHC 31 g/dL 32-36
Hematokrit 34.30 % 40-52
Trombosit 437 ribu/uL 150-440
Eritrosit 3,9 juta/uL 4.4-5.9
Gula Darah
Sewaktu136 mg/dl 75-110
C. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
1. Sesak napas
2. Batuk disertai dahak berwarna putih
3. Sputum berlebih
4. Riwayat demam menggigil
Pemeriksaan fisik
5. Inspeksi tubuh tampak gambaran “pink puffer”
6. Thorax : inspeksi : sela iga melebar, menggunakan otot
bantu nafas tambahan,
7. Perkusi : hipersonor, diafragma rendah
8. Auskultasi : Suara nafas dasar bronkial, ekspirasi
memanjang suara nafas tambahan: rhonki
basah halus (-/+) di basal paru kiri, suara paru basal
kanan melemah.
X-foto Thorax : Gambaran TB paru aktif (severe lesions) dengan
efusi pleura kanan dan suspek reaksi pleura kiri.
EKG : gambaran RBBB inkomplit
D. PROBLEM
1. PPOK eksaserbasi akut
2. Pneumonia komunitas
3. TB paru
4. Anemia
IPDx (Initial Plan Diagnosis) :
Foto rontgen thorax PA
Spirometri
Pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, hitung jenis
leukosit, dan trombosit)
Sputum BTA
Pemeriksaan mikrobiologi kultur darah
IPTx (Initial Plan Therapy) :
O2 inhalasi 3L/24 jam dengan nasal canule
Steroid (Fluticasone inhalasi 2x0,5 ml)
Long acting Beta- agonists
Long acting Muscarinic Agent
Theophylline/ Aminophyline
Ambroxol 30 mg 3 x 1 tab
Tranfusi darah PRC
IPMx (Initial Plan Monitoring):
Pemeriksaan fisik
TTV dan saturasi oksigen
Pemeriksaan darah rutin
IPEx (Initial Plan Education):
Menjelaskan penyakit kepada pasien dan keluarga
pasien
Hindari faktor resiko
Menggunakan masker untuk meminimalisasi paparan
Rutin membersihkan debu di rumah ataupun tempat-
tempat yang berpotensi terjadi penumpukan debu dan
menjadi tempat os beraktivitas lama.
E. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia
Follow up ( 1 Februari 2015)
S: Os mengeluh sesak, batuk (+)
O: keadaan umum: tampak sesak
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital: TD: 110/70 mmHg
Nadi: 100 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 30 x/menit
Suhu: 36,50C (aksila)
Thoraks: Inspeksi : Simestris statis dan dinamis, sela iga
melebar
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil +/+,
retraksi sela iga (+)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Suara napas dasar bronkial, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (-), BU (+) normal.
A: PPOK eksaserbasi akut + suspek Pneumonia Komunitas
P: IPDx: -
IPTx: infus RL +aminofilin 12 tpm
O2 inhalasi 3L/24 jam dengan nasal canule
Nebulizer (combivent, pulmicort, bisolvont) 3x1
IPMx: Tanda tanda vital
Saturasi oksigen
Follow up ( 2 Februari 2015)
S: Os mengeluh sesak, batuk (+), dahak (+)
O: keadaan umum: tampak sesak
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital: TD: 120/80 mmHg
Nadi: 102 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 32 x/menit
Suhu: 36,30C (aksila)
Thoraks: Inspeksi : Simestris statis dan dinamis, sela iga
melebar
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil +/+,
retraksi sela iga (+)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Suara napas dasar bronkial, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (-), BU (+) normal.
A: PPOK eksaserbasi akut + suspek Pneumonia Komunitas
P: IPDx: -
IPTx: infus RL +aminofilin 12 tpm
O2 inhalasi 3L/24 jam dengan nasal canule
Nebulizer (combivent, pulmicort, bisolvont) 3x1
IPMx: Tanda tanda vital
Saturasi oksigen
Follow up ( 3 Februari 2015)
S: Os mengeluh sesak, batuk (+), dahak (+)
O: keadaan umum: tampak sesak
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital: TD: 120/70 mmHg
Nadi: 96 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
Suhu: 36,30C (aksila)
Thoraks: Inspeksi : Simestris statis dan dinamis, sela iga
melebar
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil +/+,
retraksi sela iga (+)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Suara napas dasar bronkial, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (-), BU (+) normal.
A: PPOK eksaserbasi akut + suspek Pneumonia Komunitas
P: IPDx: -
IPTx: infus RL +aminofilin 12 tpm
O2 inhalasi 3L/24 jam dengan nasal canule
Nebulizer (combivent, pulmicort, bisolvont) 3x1
IPMx: Tanda tanda vital
Saturasi oksigen
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien menderita PPOK eksaserbasi akut
dimana ditemukan gejala sesak yang dipengaruhi aktifitas
yang dirasakan hilang timbul sejak beberapa tahun yang lalu.
Pasien juga mempunyai riwayat sering terkena infeksi saluran
napas dan sering batuk berdahak. Ditemukan pada anamnesis
adanya sesak napas sejak 2 minggu lalu dan sejak 3 hari SMRS
dirasakan semakin memberat serta didapatkan gejala batuk
yang disertai produksi sputum.
Pasien juga merupakan seorang perokok berat sejak muda.
Pada pemeriksaan fisik inspeksi ditemukan pursed lips
breating dan tanda “pink puffer”. Pasien juga masih
menggunakan otot nafas tambahan dan terdapat pelebaran sela
iga. Pada palpasi dalam fremitus taktil normal. Dan pada
perkusi didapatkan bunyi hipersonor. Pada auskultasi
didapatkan suara nafas dasar bronkial dimana ekspirasinya
memanjang pada sebagian besar area paru dan bunyi suara
tambahan berupa rhonki basah halus di basal lapang paru
kiri.
Pada pasien ini juga dapat dicurigai adanya pneumonia
komunitas. Hal ini dapat dicurigai atas dasar indikasi
pemenuhan gejala-gejala pneumonia yaitu ada batuk kronis
dengan produksi sputum, sesak napas, dan disertai dengan
riwayat demam menggigil.
Dengan pemeriksaan CRB65 score didapatkan hasil skor 3
untuk pasien ini yang dapat diinterpretasikan bahwa pasien
butuh untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Atas dasar-dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang diatas pasien ini mengarah kepada diagnosa PPOK
eksaserbasi akut dengan pneumonia komunitas. Untuk
memperkuat diagnosa dan menyingkirkan diagnosis lain dengan
keluhan yang mirip dianjurkan pemeriksaan spirometri, darah
rutin, sputum BTA dan kultur darah untuk mengetahui mikroba
spesifik yang menginfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonio et all 2014. Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. USA, Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
2. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan PPOK di indonesia
PDPI 2003
3. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan
Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5.
4. Lim WS, Baudouin S, George R, et al. The British Thoracic
Society : Guidelines for the management of community
acquired pneumonia in adults. British Thoracic Society
Reports, Vol 1,No. 3, 2009.
5. PDPI, 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia : Jakarta.